Laporan Kasus: Infark Miokard Akut dengan ST-Elevasi Pada Daerah Posteroinferior A. Latar Belakang Pedoman terkini tentang pengertian infark miokard sudah banyak direvisi. Infark miokard menunjukan adanya gejala iskemik pada pasien dan terdapat Elevasi Segmen ST yang persisten pada EKG pasien. Pada pasien sering munjukkan adanya peningkatkan biomarker khusus pada jantung yang mengalami nekrosis (Troponin I) dan pelebaran dari gelombang Q pada EKG dengan infark miokard yang sudah lama (Gabriel Steg et al; 2012). Infark miokard akut biasanya diakibatkan karena obstruksi arteri koroner yang berasal dari rupturnya plak aterosklerosis. Terapi reperfusi seperti primary percutaneous coronary intervention (PPCI) dan agen trombolitik adalah tindakan yang dianjurkan untuk mengurangi mortalitas dan membatasi luasnya infark yang terjadi pada pasien dengan ST-elevation myocardial infarction (STEMI). Keuntungan yang didapat, jika reperfusi dilakukan pada satu jam pertama dari onset munculnya gejala nyeri dada dan jika lebih dari tiga jam setelah onset gejala muncul maka tidak akan didapatkan manfaat dalam reperfusi dengan trombolitik tersebut (Grigorios Tsigkas et al; 2011).
B. Kasus Pria 60 tahun dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri yang awalnya muncul pada hari Minggu 24 Agustus 2014 pukul 12.00 dengan tiba-tiba. Nyeri dirasakan seperti diremas dan terasa panas, kemudian menjalar ke leher dan bahu sebelah kiri. Nyeri disertai keringat dingin, mual, dan muntah sekali. Kemudian jatuh tak sadarkan diri. Setelah itu MRS pada pukul 14.00. Kejadian ini adalah yang pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien merokok 1 bungkus untuk 2 hari. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum dari pasien adalah tampak sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis. Dengan tanda-tanda vital sebagai berikut: Tekanan darah 113/81 mmHg, heart rate 101x/menit, respiration rate 29x/menit, suhu badan 36,5°C, dan saturasi oksigen sebesar 99%. Untuk
1
pemeriksaan kepala dan leher, thorax, pulmo, cor, abdomen, dan extremitas semua tampak dalam batas normal. Dalam pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium adalah sebagai berikut: pada pemeriksaan hematologi ditemukan adanya penurunan nilai Hb yaitu 13,8 g/dL, Leukositosis 14.600 /cmm dan LED/BBS ditemukan peningkatan 46/67 mm/jam. Untuk pemeriksaan faal hati, nilai SGOT menurun menjadi 36 U/L dan SGPT 21 U/L. Sedangkan dalam pemeriksaan analisis gas darah terjadi penurunan pH menjadi 7,28, peningkatan PO2 menjadi 288 mmHg, peningkatan PCO2 menjadi 59,5 mmHg, peningkatan CO2 tetal menjadi 29,3 mmol/L, dan peningkatan HCO3 menjadi 27,5 mmol/L. Untuk hasil X-ray thorax didapatkan pembesaran dari ventrikel kiri dan hasil pemeriksaan ECG dengan kesimpulan Atrial Fibrillation Slow Respon 80 bpm, Inferoposterior Myocardial Infarction. Sedangkan hasil dari pemeriksaan angiografi adalah terdapat obstruksi pada arteri koroner kanan bagian proksimal dan obstruksi thrombus besar pada bagian middle right coronary artery, serta terdapat obstruksi juga pada left anterior coronary proximal and middle part. Hasil echokardiografi munujukan adanya hypokinetic (pada segmen basal, middle dan apical dari dinding inferior, segmen basal dan middle pada dinding posterior serta segmen apical pada dinding lateral dan anterior) sedangkan segmen lainnya dalam batas normal. Dari berbagai hasil pemeriksaan di atas diagnosis pada pasien adalah Infark miokard akut dengan ST elevasi pada daerah Posteroinferior. Untuk planing terapi hari pertama adalah O2 Nassal 2-4 lpm, Inf. Futrolit 500cc/24 jam. Untuk per oral menggunakan Clopidogrel 4tab (ekstra) lanjut 1x1. Aspilet 4tab (extra) lanjut 1x1. ISDN 5mg (ekstra). Untuk injeksi menggunakan Inj. Insomil 3x1amp. Inj. Acran (Ranitidine HCl) 2x1amp. Pada hari pertama serangan pasien sudah tidak merasakan nyeri dada lagi. Namun pengobatan tetap dilanjutkan sampai dilakukan tindakan PCI. Sedangkan hari ke 2 menggunakan Inf. RL/PZ 2:1 (1,5 liter/hari), Inj. Lovenox (Enoxaparin Na) 2x0,6cc SC, Inj. Sulbacef (Cefoberazone Na 500 mg, sulbactam Na 500 mg ) 2x1g IV, Inj. Acran (Ranitidine HCl) 2x1amp IV, Dominic (Dobutamine HCl) Pump 5mg / KgBB /
2
mnt, Invomit (Ondansetron HCl dehydrate) (k/p), Pidovix (Clopidogrel) 1x1. Kardio Aspirin 1x1, Tab. Litorcom (Atorvastatin) 0 – 0 – 20mg, dan Opilax Syr (Lactulosa) 0 – 0 – CI. Setelah pasien keadaan umunya membaik, pasien dirujuk ke RSU Dokter Sutomo Surabaya untuk dilakukan angiografi dan dilakukan PCI.
C. Pembahasan Kebanyakan pasien dengan STEMI tidak perhatian dengan gejala nyeri dada yang muncul pada dirinya sehingga biasanya rata-rata terlambat 2 jam dari mulainya onset gejala sampai pasien masuk rumah sakit dan diberi terapi trombolitik (Elliot M. Antman et al;2014). Pasien dengan STEMI harus segera dilakukan reperfusi dan hal ini sangat tergantung oleh waktu pemberian reperfusi. Mortalitas meningkat tergantung pada lokasi dan derajat infark serta luasnya area pada ST-elevasi dalam EKG. Menentukan STEMI secara konsisten dapat menguntungkan karena terapi yang akan diberikan dapat dilakukan secara cepat seperti pemberian agen fibrinolitik dalam mencegah terjadinya thrombus dan tindakan PCI (John M. Field et al;2009). Diagnosis cepat pada STEMI adalah hal yang sangat dibutuhkan karena berkaitan dengan manajemen pasien. Dalam investigasi tentang prevalensi, etiologi dan predictor yang menyebabkan diagnosis STEMI menjadi poistif palsu dalam penggunaan kateter yang berkaitan pada tanda-tanda pasti STEMI sangat membantu dalam memilah pasien STEMI dan non-STEMI untuk kateterisasi jantung. Pada pasien yang didiagnosis STEMI dan telah dilakukan PCI tidak jarang terjadi diagnosis STEMI yang positif palsu. Jadi, intepretasi EKG dalam mempertimbangkan apakah pasien benar-benar dalam kondisi STEMI atau kondisi lain sangat diperlukan agar tidak salah dalam manajemen menggunakan PCI (Myung Hwan Bae et al;2013). Klasifikasi STEMI dari KIllip dibuat untuk menentukan seberapa berat infark miokard yang dialami oleh pasien dan agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan terapi kepada pasien (Markku S. Nieminen et al;2005). Stage-I; Tidak terjadi gagal jantung dan tidak terlihat tanda-tanda decomp cordis. Stage-II; Terdapat gagal jantung dengan kriteria diagnostic meliputi rales, S3 gallop dan hipertensi vena pulmonalis. Kongestif pulmonal dengan wet rales pada setengah lapangan paru bagian inferior. 3
Stage-III; Terdapat gagal jantung berat. Terdapat edema paru yang tersebar merata diseluruh lapangan paru. Stage-IV; Terdapat syok kardiogenik. Yang meliputi tanda-tand sebagai berikut: Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg), dan terdapat tanda vasokontriksi perifer seperti, oliguria, sianosis, dan diaphoresis. STEMI ini diawali dari suatu proses aterosklerosis yang telah lama terbentuk. Lesi aterosklerosis terutama terjadi pada lapisan paling dalam dari dinding arteri yaitu lapisan intima. Lesi tersebut meliputi fatty streak, Fibrous plaque, Advance (complicated) plaque (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Proses
aterosklerosis
telah
dimulai
pada masa
kanak-kanak
dari
terbentuknya lapisan/timbunan kaya lemak. Lesi ini terdiri dari lapisan makrofag dan sel otot polos yang mengandung lemak yaitu kolesterol dan kolesterol oleat yang berwarna kekuningan → disebut fatty streak. Fatty streak mula-mula tampak pada dinding aorta yang jumlahnya semakin banyak pada usia 8-18 tahun dan baru nampak arteri koronaria pada usia 15 tahun (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Fibrous plaque merupakan kelanjutan dari fatty streak dimana terjadi poliferasi sel, penumpukan lemak lebih lanjut dan terbentuknya jaringan ikat serta bagian dalam yang terdiri dari campuran lemak dan sel debris akibat dari sel nekrosis. Lesi yang semakin matang ini tampak pada usia sekitar 25 tahun (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Secara makros lesi ini tampak berwarna putih dengan permukaan semakin meninggi ke dalam lumen arteri. Bila lesi ini semakin berkembang maka diameter lumen akan semakin sempit dan akan mengganggu aliran darah (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Pada fase ini terjadi poliferasi dari sel otot polos dimana sel ini akan membentuk fibrous cap. Fibrous cap ini akan menutup timbunan lemak ekstraseluler dan sel debris (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Fibrous plaque mendapat vaskularisasi baik dari lumen maupun dari tunika media. Pada lesi yg telah lanjut (advance) jaringan nekrosis yang merupakan inti dari lesi semakin membesar dan sering mengalami perkapuran (calcified), fibrous cap menjadi semakin tipis dan pecah sehingga lesi ini akan mengalami ulserasi 4
dan perdarahan serta terjadi trombosis yang dapat menyebabkan terjadinya oklusi aliran darah (Boedi Soesetyo Juwono;2003). Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Idrus Alwi;2009). Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (Lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari Fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap trombolitk (Idrus Alwi;2009). Selanjutnya, pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (Kolagen, ADP, Epinefrin, Serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (Vasokontriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap skuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti factor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi (Idrus Alwi;2009). Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Idrus Alwi;2009). Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST > 2 mm pada 2 sandapan precordial yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sandapan ekstrimitas (Idrus Alwi;2009).
5
Pasien dengan STEMI memerlukan perawatan di ruang perawatan koroner intensif setidaknya 72 jam pada infark tanpa komplikasi. Pada penderita dengan gangguan hemodinamik, iskemik yang menetap dan aritmia perawatan diruang intensif dapat lebih lama. Perawatan umum yang pertama kali dilakukan adalah Tirah baring total dan dipasang monitor EKG, tensi, pulse oximetri, untuk mengetahui secara dini penyulit misalnya aritmia, atrial fibrilasi dan syok serta diberikan oksigen 2-4 LPM bila terjadi distress napas dan penurunan saturasi oksigen (Jeffrey D. Adipranoto ;2010). Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien dengan STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama (Idrus Alwi;2009). Mengobati nyeri dada dan sesak sangat penting dilakukan tidak hanya sebagai pereda gejala saja karena mekanisme timbulnya nyeri dada dan sesak pada penyakit jantung koroner disebabkan oleh vasokontriksi atau obstruksi dari arteri koroner sehingga suplai oksigen ke otot jantung berkurang dan kontraktilitas dari otot jantung menurun, oksigen ke seluruh tubuh tidak dapat diteruskan sehingga akan mencetuskan nyeri dada dan sesak pada pasien (Gabriel Steg et al; 2012). Pemberian ISDN pada pasien bertujuan sebagai berikut: Secara in vivo nitrat organic merupakan pro drug yaitu menjadi aktif setelah dimetabolisme dan mengeluarkan
nitrogen
monoksida
(NO,
endothelial
derived
relaxing
factor/ERDF). Biotransformasi nitrat organic yang berlangsung intraseluler ini agaknya dipengaruhi oleh adanya reduktase ekstrasel dan reduced tiol (glutation) intrasel. NO akan membentuk kompleks nitrosoheme dengan guanilat siklase dan menstimulasi enzim ini sehingga kadar cGMP meningkat. Selanjutnya cGMP akan menyebabkan defosforilasi myosin, sehingga terjadi relaksasi otot polos. Efek vasodilatasi pertama ini bersifat non-endothelium-dependent (F D. Suyatna;2012). Mekanisme kedua nitrat organik adalah bersifat endothelium dependent , dimana akibat pemberian obat ini akan dilepaskan prostasiklin (PGI2 ) dari endothelium yang bersifat vasodilator. Pada keadaan dimana endothelium mengalami kerusakan seperti aterosklerosis dan iskemia, efek ini hilang. Atas dasar kedua hal ini maka nitrat organik dapat menimbulkan vasodilatasi dan mempunyai efek antiagregasi trombosit (F D. Suyatna;2012).
6
Hubungan antara pemberian ISDN dengan sesak dan nyeri dada adalah Nitrat organik menurunkan kebutuhan dan meningkatkan suplai oksigen dengan cara mempengaruhi tonus vascular. Nitrat organik menimbulkan vasodilatasi semua sitem vaskuler. Pada dosis rendah nitrat organik menimbulkan venodilatasi sehingga terjadi pengumpulan darah pada vena perifer dan dalam splanknikus. Venous pooling
ini menyebabkan berkurangnya aliran balik dara ke dalam
jantung, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan (preload) menurun. Dengan cara ini maka oksigen miokard akan menurun dan sesak serta nyeri dada pada pasien dapat diminimalisir (F D. Suyatna;2012). Pemberian Aspilet dan Clopidogrel sebagai antiplatelet merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi golongan aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg pada ruang emergensi. Selanjutnya aspilet dan clopidogrel diberikan oral dengan dosis 75-162 mg (Idrus Alwi;2009). Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada Antiplatelet trialists’ Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomized trial
dikumpulkan dan menunjukkan penurunan
relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. Paa penelitian ISIS2 pemeberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49% (Idrus Alwi;2009). Clopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang dilakukan PCI dianjurkan dosis loading 600 mg. sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari (Idrus Alwi;2009). Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan: Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG tetap normal, atau menunjukkan hanya ada perubahan gelombang T. Pada percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi Kontra indikasi terapi trombolitik yakni; Stroke, ada riwayat trauma mayor/bedah/luka kepala dalam 3 minggu, perdarahan Gastro Intestinal dalam 1 bulan terakhir, kelainan darah dan Dissecting aneurisma. Sedangkan Kontra 7
indikatif relative yakni; Serangan iskemia transient dalam 6 bulan terakhir, terapi coumadin/walfarin, kehamilan, puncture atau kebocoran yang tidak bisa ditekan saja, resusitasi trauma, hipertensi refrakter (sistolik>180mmHg) dan Riwayat terapi laser retina (Djangan Sargowo;2008). Penggunaan terapi antiplatelet dan anti thrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa thrombosis mempunyai peran penting
dalam
pathogenesis.
Tujuan
primer
pengobatan
adalah
untuk
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri coroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tedensi pasien menjadi thrombosis(Idrus Alwi;2009). Pemeberian Heparin berat molekul rendah (Lovenox) dapat diberikan sebagai ganti heparin konvensional, oleh karena pemberiannya lebih mudah dan tidak diperlukan monitoring aPTT yang ketat. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, kadar LDL harus diturunkan sampai <100 mg/dL, untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler yang fatal. Selain menurunkan kadar LDL golongan Statin (Litorcom) juga mempunyai efek lain disebut efek pleotrophic yaitu: stabilisasi plak atheroma, regresi inti lipid pada atheroma, anti agregasi platelet, antioksidan dan antiinflamasi. Semua jenis statin dapat digunakan pada pasien jantung koroner terutama STEMI (Jeffrey D. Adipranoto ; 2010). Heparin tidak memperbaiki lisis bekuan secara cepat tetapi patensi koroner yang dievaluasi dalam beberapa jam atau hari setelah pemberian trombolisis terlihat lebih baik dengan intravena heparin. Tidak ada perbedaan yang terlihat apakah heparin dan streptokinase diberikan secara subkutan atau intravena. Pemberian heparin yang diperpanjang tidak terlihat dapat mencegah reoklusi setelah terbukti secara angiografi terjadi trombolisis koroner, atau sebelum pemberian coumadin. Infus heparin setelah terapi t-PA dapat dihentikan setelah 24-28 jam. Obsevasi ketat dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan dengan resiko terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS-2, pemberian heparin subkutan (12.500U) tidak mempengaruhi mortalitas walau dikombinasi dengan
aspirin,
streptokinase,
alteplase,
atau
anistreplase
(Djangan
Sargowo;2008).
8
Pada pasien ini teradapat komplikasi dari iskemik myokard yakni terjadinya atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi sustained atau fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik atau ongoing iskemia harus diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut: pertama, kardioversi sinkronisasi dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial, didahului dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan. Kedua, fibrilasi yang tak berespon terhadap kardioversi elektrik atau berulang setelah periode ritme sinus, dianjurkan penggunaan terapi antiaritmia yang ditujukan untuk penurunan respon ventrikel. Satu atau lebih obat farmakologi sebagai berikut: Amiodaron IV, Digoksin IV untuk pengendalian laju respon ventrikel (rate control) terutama untuk pasien dengan disfungsi ventrikel kiri berat dan gagal jantung. Ketiga, Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien ongoing iskemia tetapi tanpa gangguan hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih obat berikut: penyekat beta lebih disukai, kecuali ada kontraindikasi, Diltiazem atau verapamil IV, Kardioversi sinkronisasi dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter, didahului dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan. Keempat, fibrilasi atrial atau fluter sustained tanpa gangguan hemodinamik atau iskemia, diindikasikan rate control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter sustained harus diberikan antikoagulan (Idrus Alwi;2009). Terdapat tiga modlitas dalam meningkatkan akses ke sarana yang memiliki PCI yaitu dengan diagnosis yang tepat selama pre-hospitalized ambulatory, Triage pasien yang tepat sebelum menuju sarana PCI dan mengetahui rumah sakit yang memiliki sarana PCI tersebut apakah tersedia tenaga yang ahli dalam melakukan PCI tersbut (James E. Tcheng;2009). Strategi invasive umumnya lebih disukai jika: laboratorium PCI yang mampu melakuka
backup surgical Medical contact-to-balloon atau door-
tobaloon time <90 menit (door-to-balloon – door-to-needle time < 1 jam), risiko tinggi STEMI (syok kardiogenik, Klas Killip lebih atau sama dengan 3, Kontraindikasi fibrinolysis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan perdarahan intracranial, presentasi terlambat (onset gejala > 3 jam yang lalu) dan diagnosis STEMI tidak yakin (Idrus Alwi;2009). Intervensi koroner perkutan atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) biasanya angioplasty dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolysis disebut
9
PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolysis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisi, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolysis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit (Idrus Alwi;2009). Angiografi menggunakan X-ray khusus yang memperlihatkan isi dari arteri. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah ada plak yang menyumbat arteri dan seberapa berat sumbatan tersebut (Valentine Fuster et al;2010). Coronary angioplasty atau yang biasa disebut Percutaneous Coronary Intervention (PCI), Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA), ataupun Ballon angioplasty. Angioplasty mungkin digunakan sebagai prosedur perencanaan bagi seseorang yang menderita angina atau terapi cepat jika gejala tidak stabil. Apabila punya angiogram koroner hal ini dapat dihindari kalau terapi sudah sesuai. Angioplasti koroner adalah juga ditujukan untuk terapi emergensi selama serangan jantung. Selama angioplasti, balon kecil yang dimasukan untuk menekan jaringan lemak yang menyempitkan arteri sehingga akan melebar kembali. Ini akan membuat aliran darah menjadi lebih lancer (Firman Doni et al; 2010).
D. Kesimpulan Kebanyakan pasien dengan STEMI tidak perhatian dengan gejala nyeri dada yang muncul pada dirinya sehingga biasanya rata-rata terlambat 2 jam dari mulainya onset gejala sampai pasien masuk rumah sakit dan diberi terapi trombolitik. Seperti pada pasien dalam laporan kasus ini terdapat keterlambatan salama 2 jam dari onset munculnya gejala sampai pasien masuk rumah sakit dan diberi terapi. Pada rumah sakit dimana pasien berada tidak tersedia fasilitas untuk dilakukan PCI, maka pasien ini direncanakan akan dirujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas PCI. Untuk sementara pasien diberikan terapi antiplatelet, anti
10
nyeri, anti aritmia dan anti kolesterol untuk menurunkan progresifitas dari infark miokard yang terjadi. Setelah dirawat pasien dirujuk ke fasilitas dengan PCI, disana pasien dilakukan angiografi untuk menentukan lokasi terjadinya obstruksi dari plak aterosklerosis atau pun thrombus. Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan beberapa lokasi yang terjadi sumbatan yaitu pada arteri koroner kanan beserta cabangnya dan arteri koroner kiri beserta cabangnya, serta dinding yang terkena adalah bagian anterior, inferior dan posterior. Dalam menangani kasus yang kompleks ini maka sarana PCI ini sangat diperlukan agar tidak terjadi kondisi yang lebih buruk lagi. Sehingga dalam kasus ini tindakan PCI merupakan pilihan superior dalam mereperfusi pasien tersebut.
Daftar Pustaka Adipranolo, Jeffrey D. et Suryawan, I Gde Rurus. 2010. Penyakit Jatung Koroner dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi. SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-UNAIR : Surabaya. (Halaman 100-110). Alwi, Idrus et al. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid II. Jakarta : EGC. (Halaman 1741-1754) Antman, Elliot M. et al.2014. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. USA: AHA. Bae, Myung Hwan et al. 2013. Etiologies and Predictors of ST-Segment elevation Myocardial Infarction. Korea : Korean Circulation Journal. Doni, Firman 2010. Jurnal Kardiologi Indonesia vol. 31, No. 2 Mei-Agustus 2010. (hal 112-117)
11
Fuster, Valentin et Bridget B. Kelly. 2010. A Critical Challenge to Achieve Global Health. USA : Promoting Cardiovascular Health in the Developing World: Field, John M. et al. 2009. Acute Coronary Syndrome dalam The Text Book Of Emergency Cardiovascular Care and CPR. China: Aptara Inc. Joewono, Boedi Soesetyo. 2003. Penyakit Jantung Koroner dalam Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press:Surabaya. (Halaman 121-134). Nieminen, Markku S. et al. 2005. Executive Summary of the Guidelines On The Diagnosis And Treatment of Acute Heart Failure. United Kingdom: European Heart Journal. (Halaman 387-389). Sargowo, Djanggan. 2008. Management of Acute Coronary Syndrome. Malang: Universitas Brawijaya Malang. (Halaman 8-9). Steg, Gabriel et al. 2012. ESC Guidelines For The Management Of Acute Myocardial Infarction In Patients Presenting With ST-Segment Elevation. Europe : European Heart Journal. Suyatna, F. D. et al. 2012. Obat Antiangina dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5 cetakan ulang. Jakarta : EGC (Halaman 362-365). Tcheng, James E. et al. 2009. Primary Angioplasty in Acute Myocardial Infarction. USA: Duke University Medical Centers (halaman 77-78). Tsigkas, Grigorios et al. 2011. A successfully Thrombolysed Acute Inferior Myocardial Infarction Due To Type A Aortic Dissection Wiyh Lethal Consequences: The Importance Of Early Cardiac Echocardiography dalam Journal Of Cardiothoracic Surgery. USA: Journal Of Cardiothoracic Surgery.
12