BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit sindroma koroner akut yang paling sering dijumpai pada usia dewasa. Penyakit ini terutama disebabkan karena adanya trombosis intrakoroner setelah adanya ruptur dari lesi atherosklerosis arteri koronaria. Tingkat mortalitas 24 jam pada IMA-EST adalah 30%, dimana 5-10% dari pasien yang selamat meninggal setelah 1 tahun. Adanya elevasi segmen ST pada elektrokardiogram (EKG) menandakan kerusaan transmural yang masih aktif berjalan. Tanpa adanya terapi reperfusi yang segera, kerusakan yang sedang terjadi akan berkembang menjadi nekrosis miokard yang ireversibel, yang ditunjukkan dengan adanya gelombang Q pada EKG. Nekrosis ini dapat berkembang menjadi gagal jantung dan merupakan substrat untuk munculnya kejadian aritmia yang mematikan (Topol et al., 1993). Oklusi trombus yang terjadi akan menetap pada sebagian besar pasien IMAEST. Pemberian terapi reperfusi secara tepat waktu adalah langkah yang paling efektif dalam memulihkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen di miokardium. Terdapat dua cara reperfusi, yaitu dengan percutaneous coronary intervention (PCI) primer atau dengan terapi fibrinolitik. PCI primer adalah strategi reperfusi yang lebih diutamakan apabila dapat dilakukan dalam waktu
1
120 menit dari kontak medis pertama pada RS yang tidak dapat melakukan PCI, atau 90 menit pada RS yang mampu melakukan PCI. Di Indonesia, hanya sedikit RS yang memiliki fasilitas ini. Oleh karena terdapat keterbatasan dalam melakukan PCI primer tepat waktu, terapi fibrinolitik tetap menjadi strategi reperfusi yang penting pada pasien IMA-EST (Steg et al., 2012). Dalam penelitian oleh grup FTT (Fibrinolytic Therapy Trialist) menunjukkan bahwa pemberian terapi fibrinolitik mencegah 20-30 kematian dalam 1000 pasien dengan penurunan mortalitas sebesar 25% (FTT, 1994). Salah satu kekurangan dari terapi fibrinolitik adalah terdapatnya resiko kegagalan terapi. Terapi fibrinolitik memiliki tingkat kesuksesan tergantung dari terapi fibrinolitik yang digunakan. Untuk saat ini, salah satu terapi fibrinolitik yang digunakan di Indonesia adalah streptokinase, yang memiliki tingkat kesuksesan tidak tinggi, hanya sebesar 60-68% (O’Gara et al., 2013). Sedangkan pada pasien yang mengalami kegagalan terapi fibrinolitik, angiografi darurat dan rescue PCI harus segera dilakukan. Untuk itu, sangat penting untuk dapat memperkirakan kemungkinan gagal tidaknya terapi fibrinolitik menggunakan streptokinase. Hanya terdapat sedikit studi yang meneliti dan mencari prediktor sukses tidaknya terapi fibrinolitik. Suatu penelitian yang melibatkan 800 pasien IMAEST dengan onset < 6 jam yang diberikan terapi fibrinolitik selama perjalanan ke RS menemukan bahwa onset terapi < 1 jam, indeks massa tubuh < 30 kg/m2, riwayat merokok, lokasi infark selain anterior, dan amplitudo elevasi ST < 3 mm adalah prediktor independen kesuksesan fibrinolitik (Rosencher et al., 2011).
Penelitian lain menyebutkan diabetes, hipertensi, infark anterior, waktu “doorto-needle”, dan leukositosis adalah prediktor kegagalan fibrinolitik (Lee et al., 2008). Sedang pada penelitian terbaru menunjukkan bahwa prediktor independen kegagalan terapi fibrinolitik adalah hiperglikemia saat pasien masuk RS, onset terapi fibrinolitik, dan lokasi infark (Kocas et al., 2014). Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, terdapat berbagai macam prediktor yang dapat memperkirakan kegagalan terapi fibrinolitik. Untuk menentukan prognosis terapi fibrinolitik menggunakan prediktor-prediktor tersebut cukup rumit. Sistem skor adalah suatu cara untuk memudahkan penentuan prognosis suatu penyakit maupun terapi (Dahlan, 2011). Akan tetapi, hingga saat ini penulis tidak menemukan sistem skor untuk memperkirakan kegagalan terapi fibrinolitik.
B. Masalah Penelitian IMA-EST adalah penyakit sindroma koroner akut yang paling sering dijumpai pada usia dewasa. Tanpa adanya terapi reperfusi yang segera, kerusakan yang sedang terjadi akan berkembang menjadi nekrosis miokard yang ireversibel dan dapat berkembang menjadi gagal jantung. Pemberian terapi reperfusi secara tepat waktu adalah langkah yang paling efektif dalam memulihkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen di miokardium. Oleh karena terdapat keterbatasan waktu dalam melakukan PCI primer tepat waktu, terapi fibrinolitik tetap menjadi strategi reperfusi yang penting pada pasien IMA-EST, walaupun memiliki resiko kegagalan. Pada pasien yang
mengalami kegagalan terapi fibrinolitik, angiografi darurat dan rescue PCI harus segera dilakukan. Untuk itu, sangat penting untuk dapat memperkirakan kemungkinan gagal tidaknya terapi fibrinolitik. Dari sedikit penelitian sebelumnya, telah ditemukan beberapa prediktor sukses tidaknya terapi fibrinolitik. Prediktor yang sudah diketahui menentukan hasil fibrinolitik ialah onset terapi < 1 jam, indeks massa tubuh, riwayat merokok, lokasi infark, amplitudo elevasi ST, diabetes, hipertensi, hiperglikemia saat pasien masuk RS, dan onset terapi fibrinolitik. Untuk memprediksikan kegagalan terapi fibrinolitik dengan mudah dan cepat dapat menggunakan sistem skoring, sehingga dapat mempersiapkan strategi penanganan lanjutan dengan tepat.
C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah sistem skoring dapat memprediksi kegagalan fibrinolitik pada pasien IMA-EST?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat sistem skoring yang dapat memprediksikan kegagalan fibrinolitik pada pasien IMA-EST
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik Sistem skoring ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan fibrinolitik sehingga dapat diprediksi apakah pasien akan termasuk kedalam kategori gagal atau sukses fibrinolitik 2. Manfaat Klinis Sistem skoring ini dapat menjadi panduan bagi klinisi untuk memprediksi kegagalan fibrinolitik yang nantinya perlu disiapkan tindakan PCI penyelamatan atau langsung dilakukan PCI primer tanpa melalui tindakan fibrinolitik
F. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada beberapa penelitian yang terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai prediktor sukses dan gagal fibrinolitik Peneliti Tahun Judul studi Hasil Sinkovic 2000 Prognostic Role of PAI-1 adalah prediktor Plasminogen- Activatorindependen kegagalan Inhibitor-1 Levels in fibrinolitik Treatment with Streptokinase in Patients with Acute Myocardial Infarction Lee et al. 2008 Thrombolytic failure with Diabetes, hipertensi, infark streptokinase in acute anterior, lama waktu door-tomyocardial infarction using needle, dan total leukosit adalah electrocardiogram criteria prediktor kegagalan fibrinolitik Rosencher 2011 A simple nomogram for Onset terapi < 1 jam, indeks et al. early prediction of massa tubuh < 30 kg/m2, myocardial reperfusion riwayat merokok, lokasi infark after pre-hospital selain anterior, dan amplitudo thrombolysis elevasi ST < 3 mm adalah prediktor independen kesuksesan fibrinolitik Kocas et 2014 Admission Hyperglycemia Hiperglikemia saat pasien al. Is Associated with Failed masuk RS, onset terapi Reperfusion Following fibrinolitik, dan lokasi infark Fibrinolytic Therapy in adalah prediktor independen Patients with STEMI: kegagalan fibrinolitik Results of a Retrospective Study Keterangan: PAI-1 = plasminogen activator inhibitor-1; STEMI: ST elevation myocardial infarction
Sepengetahuan peneliti hingga saat ini belum ada penelitian yang membuat suatu sistem skoring untuk membantu memprediksi kegagalan fibrinolitik.