Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/DIVRE IV/2013
ISSN : 0853-8344
Harga eceran Rp.9.000,-
199/Thn. XIX/Oktober 2013
e-mail:
[email protected] /
[email protected];
kardiovk;
@kardio_vaskuler;
tpkindonesia.blogspot.com
Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi Koroner Perkutan Primer INTERVENSI koroner perkutan primer (IKPP) secara signifikan mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien infark miokard elevasi segmen ST (IMEST) dibandingkan dengan pemberian trombolisis dan lebih disarankan untuk tindakan reperfusi. Panduan klinis menyebutkan bahwa lama rawat di rumah sakit pasien yang dirawat dengan IKPP oleh sebab IMEST berkurang oleh karena penurunan komplikasi post infark yang dini (seperti aritmia, gagal jantung, iskemia rekuren dan kematian) serta memperbaiki stratifikasi risiko pasien IMEST, tidak terdapat rekomendasi mengenai durasi rawat inap yang tepat post tindakan IKPP.
Beberapa studi menunjukkan aman untuk memulangkan pasien IMEST dalam waktu tiga atau empat hari setelah dilakukannya IKPP. Walau demikian, studi yang menilai keamanan dan kelayakan rawat inap yang singkat setelah IKPP sangatlah sedikit dan kurangnya nilai kekuatan penelitiannya. Dilakukanlah studi oleh Noman et al. untuk menilai keamanan rawat jalan yang singkat pada pasien IMEST yang telah dilakukan IKPP dengan menganalisis mortalitas dini dan jangka panjang setelah pasien dirawat jalan. Analisis restrospektif dari 2448 pasien IMEST yang dilakukan IKPP yang selamat sampai pasien dirawat jalan. Mortalitas oleh sebab apapun setelah dirawat jalan dilapor-
kan pada hari 1, 7 dan 30 serta follow up jangka panjang. Total 1542 pasien (63%) dirawat jalan dalam dua hari (kelompok rawat jalan dini) dan 906 pasien (37%) setelah dua hari (kelompok rawat jalan lanjut). Kedua kelompok, tidak terdapat kematian pada hari 1 setelah dirawat jalan. Mortalitas kelompok rawat jalan dini dan lanjut muncul pada hari ke 7 dengan 0 dan 4 pasien (0.04%) dan diantara hari ke 7 dan 30 terdapat 11 (0.7%) dan 11 pasien (1.2%). Selama rerata follow up 584 hari, 178 pasien (7.3%) meninggal; 67 pasien pada kelompok rawat jalan dini (4.3%) dan 111 pasien pada kelompok rawat jalan lanjut (12.3%). Seperti yang diprediksikan, kelompok rawat jalan dini dan lanjut berbeda dalam banyak hal yang dapat diprediksikan dalam
beberapa harapa hidup. Sebagai contoh, kelompok rawat jalan dini lebih banyak terdapat pada usia muda dan sedikit komorbid serta sedikit penyakit kompleks dan IKPP dilakukan lebih sering pada radial. Panduan klinis mengenai manajemen IMEST menyebutkan bahwa lama rawat yang singkat (kira-kira 72 jam) sangat beralasan pada pasien dengan risiko rendah walau bukti klinis sangatlah terbatas. Studi ini menyimpulkan bahwa rawat jalan dini (dalam 2 hari) adalah aman dan laik pada pasien-pasien dengan risiko rendah. Rawat jalan dini juga mungkin membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan di setiap instansi kesehatan. (Eur H Journal: Acute Cardiovasc Care; 2013: 2(3):262-9) SL Purwo
Insidensi dan Faktor-faktor Risiko Terjadinya Kematian Jantung Mendadak pada Anak-anak dengan Kardiomiopati Dilatasi KARDIOMIOPATI dilatasi (KMD) merupakan kelainan jantung familial yang jarang terjadi pada anak-anak.1,2 Insidensi tahunannya diperkirakan sebesar 0,57 kasus dalam 100.000.3 Walaupun jarang, morbiditas dan mortalitas pada anak penderita kelainan ini masih tinggi dan prognosisnya secara keseluruhan adalah buruk, dimana 40 persennya menjalani transplantasi jantung atau meninggal dalam 5 tahun setelah terdiagnosis. 1,3 Pada suatu studi di India oleh Kothari SS, dkk ditemukan bahwa perjalanan klinis kelainan ini pada anak-anak cukup beragam.4 Angka mortalitas tertinggi kelainan ini ada pada kurun waktu setahun setelah anak terdiagnosis. Jumlah penderita yang bertahan hidup setahun setelah presentasi pertama adalah 79% sedangkan mereka yang bertahan hidup sampai lima tahun hanya sebesar 65%. Kematian dini pada dasarnya disebabkan oleh gagal jantung berat.1 Kematian lanjut karena kelainan ini biasanya berupa kematian karena henti jantung mendadak (SCD). Gagalnya ventrikel untuk berfungsi normal menyebabkan munculnya aritmia yang bertanggung jawab untuk hal tersebut. 1 Di Amerika Serikat, KMD turut berkontribusi terhadap angka kematian karena henti jantung mendadak pada pasien berusia kurang dari 25 tahun. Menurut perkiraan The Centers for Disease Control and Prevention angka kematian tersebut adalah sebesar 2000 orang setiap tahun 2 Meskipun telah disepakati akan tingginya risiko kematian pada kelainan ini, belum ada kesepakatan mengenai apa saja prediktor-prediktor terjadinya luaran yang buruk khususnya SCD.1 Hasil studi di India oleh Kothari SS, dkk menyebutkan bahwa di antara variabel-variabel prognostik, hanya variabel usia kurang dari satu tahun, rasio kardiothorakik yang tinggi, dan rasio dimensi diastolik ventrikel kiri/ketebalan dinding posterior yang dihubungkan
dengan luaran yang buruk pada analisis univariat.4 Sedangkan untuk faktor risiko terjadinya SCD, hanya sedikit informasi yang tersedia tentang hal tersebut. Hal ini karena, berdasarkan laporan-laporan dari satu senter studi, insidensi kematian jantung mendadak pada KMD pediatrik adalah rendah. Konsekuensinya, belum ada kriteria yang konsisten untuk pemasangan ICD sebagai prevensi primer SCD pada anak-anak dengan KMD.3 Untuk mengetahui insidensi dan faktor-faktor risiko kematian jantung mendadak pada anak-anak yang menderita kardiomiopati dilatasi dilakukanlah studi oleh Elfriede Pahl, dkk. Elfriede Pahl adalah seorang profesor di bidang kardiologi pediatrik dari Northwestern University Feinberg School of Medicine. Beliau tertarik pula pada aspek klinis dari transplantasi jantung pediatrik.3,5 Studi ini adalah studi kohort yang meneliti data 1803 anak dengan kelainan KMD di PCMR (Pediatric Cardiomyopathy Registry) pada rentang waktu 19902009 (yaitu sampai dengan Februari 2009). Semua pasien memenuhi minimal satu dari tiga kriteria yang ditentukan. Kriteria-kriteria tersebut adalah: 1) kriteria ekokardiografik yang ketat (dilatasi ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun); 2) temuan patologik dari otopsi atau
biopsi endomiokardial; dan 3) bukti klinis lain yang ditemukan oleh kardiologis. Anak-anak dengan abnormalitas miokard karena kausa sekunder yang spesifik (kelainan endokrin, riwayat kemoterapi, riwayat kardiotoksisitas terkait obat, aritmia kronis, penyakit parenkim atau vaskular paru, dan penyakit imunologis) telah
dieksklusi dari studi ini.3 Definisi SCD (sebagai luaran primer) yang dipakai pada studi ini adalah kematian yang muncul < 1 jam setelah onset kejadian kardiak simtomatik. Data kronologi kematian diambil dari rekam medis. Laporan-laporan otopsi dan ringkasan(Bersambung ke hal.4)
2
199/Thn. XIX/Oktober 2013
S Tabloid Profesi
KARDIOVASKULER STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995 tanggal 30 Oktober 1995 ISSN : 0853-8344
SUSUNAN REDAKSI Ketua Pengarah: Prof.DR.Dr. Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA Pemimpin Redaksi: Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Redaksi Konsulen: Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K) Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K) Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K) Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K) Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K) Tim Redaksi: Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K) Dr. Dyana Sarvasti, SpJP Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K) Dr. Radityo Prakoso, SpJP Bidang Cardiovascular Emergency Dr. Noel Oepangat, SpJP(K) Dr. Isman Firdaus, SpJP Bidang Clinical Cardiology Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K) Dr. Rarsari Soerarso, SpJP Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K) Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K) Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP Bidang Cardiovascular Intensive Care Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K) Dr. Siska Suridanda, SpJP Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K) Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care Dr. Bono Aji, SpBTKV Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular Medicine Dr. Iwan Dakota, SpJP(K) Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP Tim Editor: Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto Fotografer: Dr. M. Barri Fahmi Harmani Sekretaris/Keuangan: Endah Muharini Bagian Iklan: Bimo Sukandar Bagian Perwajahan: Asep Suhendar Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2, RS Jantung Harapan Kita, Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475 atau 5684085-93 pes. 5011 e-mail :
[email protected] atau
[email protected] Penerbit: H&B Heart & Beyond PERKI
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Pemimpin Redaksi
alam untuk seluruh pembaca setia Tabloid Profesi Kardiovaskuler. Pada edisi bulan Oktober 2013 ini seluruh jajaran Tim Redaksi Tabloid Profesi Kardiovaskuler mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H. bagi yang merayakannya. Kami juga mengucapkan Selamat kepada DR. dr. Amiliana M.S, SpJP(K) FIHA atas terpilihnya menjadi Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Artikel pilihan pada tabloid edisi ini kami buka dengan Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi Koroner Per kutan Primer sebagai Headline. Artikel tersebut kami jadikan headline karena mengandung informasi yang bermanfaat bagi pelayanan pasien. Artikel berikutnya tentang Insidens dan Faktor Risiko Kematian Jantung Mendadak Pasien Anak dengan Kardiomiopati Dilatasi. Halaman kedua kami sajikan galeri foto pelepasan PPDS baru yaitu anggota baru PERKI. Seperti biasa Prof Budhi dengan Kardiologi Kuantumnya mengingatkan kita untuk selalu
Pelepasan Dokter Spesialis Kardiovaskular, 24 September 2013, RSJPD Harapan Kita Jakarta
Transcendence to The Depth of The Heart and Beyond, adalah benang merah yang menghubungkan antara profesi penulis sebagai guru besar, dokter ahli jantung dan pembuluh darah dengan buku yang ditulisnya tentang Candra Jiwa Indonesia. Candra Jiwa Indonesia (CJI) adalah warisan ilmiah kepada dunia tentang jiwa manusia serta peta perjalanannya menuju candra ideal sebagai batas akhir dari perkembangan kesadaran manusia. Konsep tersebut telah dibandingkan secara ilmiah (disertasi Dr. Soemantri Hardjoprakoso: Indonesisch Mensbeeld als Basis ener Psycotherapie) dengan Candra Jiwa Freud, Adler, dan Jung di Rijkuniversiteit di Leiden (1956), Nederland; memang kandungan asli dari bumi Indonesia, dari bangsa Indonesia, dan dipertahankan oleh orang Indonesia pula. Dua orang putra Indonesia R. Soenarto Mertowardojo dan Dr. Soemantri Hardjoprakoso telah membuktikan hipotesis Jung tentang intuisi. Sejak itu Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) berdiri sejajar bahkan lebih lengkap dari candra jiwa sebelumnya dari Sigmund Freud, Alfred Adler, dan Carl Gustav Jung. Penulisnya berharap, buku ini dapat membantu memperluas pengetahuan kita tentang candra manusia dan candra dunia, karena dapat ’merangkum’ dari yang telah ada sebelumnya. Walaupun sedikit-banyak menyentuh masalah keyakinan dan kepercayaan justru memberikan dasar pendidikan budi pekerti, pembinaan mental spiritual dan mempertajam empati secara luas kepada siapa saja terutama para mahasiswa.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia)
Manajemen: Yayasan PERKI Pencetak: PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata letaknya sedikit konservatif tapi enak dipandang. Bukan media yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir --khususnya terkait bidang kardiovaskuler-bagi seluruh dokter Indonesia. Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini. Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun, transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler, RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.
sadar, kali ini terkait dengan Hari Raya Qurban. Di bawahnya adalah artikel dari sponsor kami. Artikel berikutnya tentang nefropati terkait warfarin yang sering luput dari perhatian. Bagi yang mengikuti Sejarah Kardiologi, pada edisi ini telah memasuki bagian ke empat. Lalu ada artikel liputan Kuliah tamu di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI yang dibawakan oleh dr. Delvac Oceandy, PhD sebagai pembicara. Topiknya adalah tentang peran Plasma Membrane Ca2+-ATPase sebagai target terapi di masa depan. Berikutnya artikel menarik untuk disimak menyangkut keamanan menurunkan laju nadi pada pasien STEMI pasca Primary PCI dengan menggunakan ivabradin. Halaman terakhir kami sajikan artikel tentang warfarin lagi, kali dibandingkan dengan dabigatran. Demikian sajian artikel kami edisi bulan Oktober ini, selamat membaca.***
Penulis Segenap jajaran Pengurus Pusat Perki dan Tabloid Profesi Kardiovaskuler mengucapkan selamat kepada Dokter SpJP baru lulusan Juli 2013: dr. Erwin Mulia, SpJP dr. Ignatius Yansen Ng, SpJP dr. Rendi Asmara, SpJP dr. Bimo Bintoro, SpJP dr. Haryadi, SpJP dr. Kabul Priyantoro, SpJP dr. Celly Anantaria, SpJP dr. Hendra Ginting, SpJP dr. I Made Putra Swi Antara, SpJP dr. Edrian, SpJP dr. Ika Komar, SpJP dr. Wishnu Aditya Widodo, SpJP
: Budhi Setianto Purwowiyoto Penyunting : Puji Santosa Penerbit : H&B / Heart and Beyond PERKI Size : 143 x 205 mm Tebal : xvii (dwi halaman) + 102 (dwi halaman) Kertas : Book paper BW Cover : Art Carton 310 gr F/C Harga : Rp. 75.000,(belum termasuk ongkos kirim) UNTUK TAHAPAWAL PENJUALAN HANYADENGAN PIHAK KANTOR KAMI. dapatkan HARGA KHUSUS bila Anda datang membeli langsung di alamat: Redaksi dan Tata Usaha Tabloid Profesi KARDIOVASKULER
3
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Kardiologi Kuantum (22)
Tri Hita Karana, Pemali, dan Asketisme Kurban “The ideas of the moral order and of God belong to the ineradicable substrate of the human soul.” ~C.G. Jung, Dreams~ SALAM KARDIO. Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka konferensi internasional Tri Hita Karana Pembangunan Berkelanjutan yang berfokus pada pariwisata, sebagai bagian aktivitas KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, Minggu siang. Selanjutnya ANTARA News memberitakan bahwa “Tri Hita Karana adalah filosofi masyarakat Bali di mana manusia harus menjaga tiga elemen keharmonisan, yaitu manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, jika ketiganya tercapai maka kemakmuran akan terwujud,” kata Yudhoyono. Pariwisata dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata —salah satu tiga pilar yang diusung Indonesia— menarik perhatian para anggota ekonomi KTT APEC 2013. Isu ini cukup sentral karena bisa mendorong berbagai sektor lain bergerak bersama. Disayangkan, ketiga elemen Tri Hita Karana itu, belum bisa diseimbangkan saat ini. Beberapa aktivitas perekonomian masih berbenturan dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Presiden RI menyerukan setidaknya ada empat aksi bersama yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan elemen tersebut, terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. Pertama, negara-negara harus siap beradaptasi dan berkembang menghadapi perubahan yang ada, terutama dalam hal lingkungan hidup. Kedua, negara-negara harus jujur dalam mengenali kekuatan dan kekurangan dalam menghadapi isu ling-
kungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga, negara-negara harus mempercepat integrasi antara kebutuhan lingkungan yang lestari terhadap strategi pembangunan. Keempat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain harus menjalin kerjasama. “Kurangi persaingan geopolitikal yang ada, keempat aksi bersama itu dapat diterapkan dalam sektor pariwisata sehingga generasi mendatang masih dapat menikmati keindahan alam yang sekarang ada,” kata Presiden. Pemali, adalah larangan-larangan yang seyogyanya diikuti oleh manusia untuk dicegah karena akan menyebabkan rusaknya lingkungan, ketidak harmonisan hubungan sesama manusia dan akhirnya manusia akan semakin jauh dari Tuhannya. Ajakan hidup sehat sebenarnya sudah mengandung larangan untuk tidak memanfaatkan hasil bumi yang merusak tubuh seperti tembakau untuk merokok, ganja dan kokain untuk mabuk-mabukan termasuk alkohol yang seyogyanya bermanfaat untuk sektor kesehatan malah digunakan untuk merusak tubuh. Ketika minuman yang memabukkan itu dipakai oleh pengendara mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang kerap kali merenggut banyak nyawa. Kenyataannya masih saja harus dibuat aturan-aturannya agar diikuti dan disertai dengan ancaman-ancaman bila melanggarnya. Setiap negara tentu saja memiliki undang-undang yang mengatur tentang hubungan manusia dengan lingkungannya untuk menjaga kelestarian kehidupan bersama. Peraturan-peraturan daerah banyak diterbitkan untuk mengatur ulah manusia tentang bagaimana harus membuang sampah serta masalah kebersihan lainnya.
Dilarang merokok di tempat-tempat umum, di pompa-pompa bensin bahkan tentang bahaya merokok sudah dicantumkan di bungkus rokoknya itu sendiri. Kenyataannya manusia masih banyak yang melanggarnya dengan semua konsekwensinya. Melanggar undang-undang negara dan segala peraturannya adalah persoalan yang luas, mulai yang sederhana sampai yang serius seperti keinginan untuk melepaskan diri dari suatu negara. Sebaiknya setiap warga negara mematuhi undang-undang dan peraturannya agar tercapai harmoni diantara warga negara dengan pemerintahannya yang memang mendapat amanah untuk melindungi warga negaranya dengan peraturan yang adil, seadil-adilnya. Pemali yang paling mudah dilanggar didalam kehidupan bermasyarakat adalah cekcok yang berkelanjutan. Jaman sekarang percekcokan dari hal-hal yang sepele sering menjadi tawuran. Masih di bulan Oktober 2013 ketika tulisan ini dibuat tawuran antara pelajar sekolah bukan lagi dengan senjata tajam dan tumpul diantara mereka, sudah ada yang menyiramkan air keras ke bus yang sedang berjalan dan berakhir dengan korban anggota masyarakat umum. Tentu saja pelakunya ditangkap aparat keamanan untuk diminta pertanggung jawabannya di depan hukum. Percekcokan tersebut akan lebih indah bila itu dilakukan di dalam forum-forum diskusi yang terpimpin dan dikelola dengan baik. Percekcokan yang lebih keras diselesaikan dan disalurkan dalam olah raga bela diri, tinju, dan olahraga yang dinamis lainnya seperti badminton, tenis dan sebagainya. Jenis pemali unik yang tidak kalah pentingnya di lingkungan kita yang akhirakhir ini menjadi marak adalah pelampias-
an hawa nafsu luamah (sahwat, seks) terhadap lawan jenis. Sebenarnya pelampiasan hawa nafsu ini menjadi “lumrah” ketika dilaksanakan dalam koridor pernikahan. Pernikahan yang indah bukan karena diselenggarakan dengan penuh kemewahan tetapi justru karena kesederhanaannya. Cinta yang dibangun antara laki-laki dan perempuan, direstui oleh kedua orangtua dari kedua fihak yang terlibat dan disahkan oleh peraturan agama dan atau negara. Pengesahan oleh peraturan negara menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan ada yang mengasuhnya secara hukum sehingga masih terlindungi oleh hukum ahli waris sekiranya orang tuanya meninggal dunia. Tidak hanya artis yang kurang berhatihati dalam hal sahwat bahkan orang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi sampai mereka yang tergolong pendeta dan ulama. Ada kalanya ketidakhati-hatiannya itu berakhir diujung kematian akibat penyakit HIV Aids, lebih sulitnya lagi HIV Aids jaman sekarang dapat ditularkan juga di luar hubungan seksual. Sekiranya perserongan tersebut menghasilkan anak-anak yang memiliki masalah hukum bukan karena kesalahannya sendiri, semoga anakanak tersebut masih mendapatkan kasih sayang yang memadai dan pendidikan yang mencukupi dari yang terlibat. Masyarakat akan ikut menderita sekiranya banyak anak-anaknya yang dilahirkan dengan proses yang menyimpang tersebut. Ambil contoh di kampung-kampung ibukota yang dihuni oleh turis-turis hitam dari benua Afrika dan kebetulan terdapat banyak anakanak kecil yang kulitnya hitam legam padahal kedua orang tua mereka berkulit sawo (Bersambung ke hal.4)
Application submitted to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® in treatment of deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and prevention of recurrent DVT and PE • Data show Pradaxa® is as effective as the standard of care while offering safety advantages in the treatment of acute and the prevention of recurrent DVT and PE1,2,3 • Pradaxa® is already approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement or total knee replacement surgery4 • In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide5
thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and the prevention of recurrent DVT and PE.*
Ingelheim, Germany, June 24, 2013 – Boehringer Ingelheim today announced the submission of an application to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® (dabigatran etexilate) for the treatment of acute deep vein
“Given the risk of potentially fatal consequences and recurrences of a deep vein thrombosis or pulmonary embolism, there is a need for safe and effective therapies to improve outcomes for patients,” said Professor Klaus Dugi,
Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim
Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Our studies have demonstrated that Pradaxa® offers an effective treatment with significant safety benefits compared to warfarin both for acute treatment as well as in the long-term prevention of recurrent events. We are convinced that this treatment option can provide benefits to patients with acute DVT or PE, or those at risk of recurrent DVT and PE.” The EMA submission is based on the results of four global Phase III studies investigating the efficacy and safety of Pradaxa® in the treatment of acute DVT and PE and in secondary prevention of recurrent DVT and PE.1,2,3 In these studies, Pradaxa® was proven to be as effective as warfarin, with lower rates of clinically relevant bleeding (which includes major bleeding) and total bleeding for patients with DVT or PE.1,2,3 When compared to placebo, Pradaxa® prevented nine out of ten episodes of recurrent DVT and PE.1 The results of the RE-COVER®, RE-
MEDYTM and RE-SONATE® studies have been published in the New England Journal of Medicine.1,2 All studies are part of the extensive REVOLUTION® clinical trial programme investigating Pradaxa® in multiple indications. Pradaxa® is already widely approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement and total knee replacement surgery. 4 In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patientyears in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide.5 Pradaxa® is currently not approved for the acute treatment or prevention of recurrent DVT and PE. (References available at www.tpkindonesia.blogspot.com) SPONSORED ARTICLE
4
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Nefropati Terkait Warfarin PENINGKATAN kreatinin serum > 0.3mg/ dl pada pasien dengan pemberian warfarin serta nilai INR > 3 disebut dengan nefropati terkait warfarin (WRN). Studi pertama mengenai WRN adalah studi biopsi ginjal pada pasien koagulopati warfarin yang berkembang menjadi AKI tanpa penyebab yang jelas. Temuan biopsi ginjal mengindikasikan AKI disebabkan oleh perdarahan glomerulus yang luas menyebabkan obstruksi akibat terbentuknya silinder sel darah merah. Studi lainnya yang menggunakan 103 pasien CKD yang diobati dengan warfarin dengan INR > 3, ditemukan 37% pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pasien-pasien tersebut mengalami perburukan CKD. Studi kohort lainnya juga memperlihatkan 4006 pasien dengan INR > 3, 20.5% akan berkembang menjadi WRN (peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl dengan INR > 3 tanpa adanya bukti perdarahan). WRN dihubungkan dengan penurunan angka harapan hidup, sesuai dengan beberapa laporan sebelumnya tentang peningkatan nilai mortalitas pada pasien hemodialisis kronis yang diberikan warfarin. Nilai mortalitas dihubungkan
dengan komorbid lainnya seperti diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler. Beberapa mekanisme terjadinya WRN diantaranya pengobatan dengan obat yang cenderung meningkatkan tekanan hidrostatik glomerular dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Sebagai tambahan, terapi tambahan aspirin juga dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Kedua temuan tersebut konsisten menyatakan bahwa terjadi perdarahan glomerulus yang menyebabkan obstruksi tubulus yang mungkin menjadikan mekanisme dominan terjadinya AKI terkait WRN.
Warfarin digunakan secara luas sebagai anti koagulan untuk mengobati komplikasi thrombosis. Sekarang ini, lebih dari 30 juta penggunaan resep untuk warfarin setiap tahunnya di Amerika Serikat. Banyak studi memperlihatkan bukti yang nyata bahwa koagulopati warfarin dihubungkan dengan peningkatan substansial risiko AKI dan mortalitas akut, terutama pasien CKD. Mekanisme yang pasti mengenai pathogenesis terjadinya WRN ini belumlah jelas, dibutuhkan studi lebih lanjut. (Kidney International 2011; 80: 181-9) SL Purwo
(Insidensi.................... hal.1)
portional hazards regression. Lalu digunakan metode classification and regression tree (CART) guna menggolongkan sampel menjadi risiko rendah dan tinggi untuk mengalami kejadian SCD.3 Studi ini menemukan bahwa sebagian besar kausa dari KMD yang ditemukan saat presentasi awal adalah idiopatik (1286 sampel). Usia rata-rata saat terdiagnosis adalah 5.3 ± 6.1 tahun. Z-score LV EDD rata-rata adalah 4.3 ± 2.7 mm. LV fractional shortening rata-rata adalah 16 ± 9% dan LVEF rata-rata adalah 28 ± 14%.3 Dari total 280 kematian, kematian karena SCD adalah sebanyak 35, karena nonSCD sebanyak 189, dan karena sebab yang tidak diketahui sebanyak 56. Persentase kematian karena SCD adalah 16% dari jumlah total kematian yang diketahui penyebabnya dan 1,9% dari jumlah total yang hidup dan mati dengan diketahui penyebabnya. Mayoritas SCD (26 sampel, 74%) terjadi <2 tahun setelah presentasi awal. Adapun kematian karena non-SCD, sebagian besarnya adalah karena gagal jantung kongestif.3 Terdapat dua macam penerapan metode CART pada studi ini. Pertama, CART diterapkan dengan menggunakan parameterparameter yang diukur saat KMD terdiagnosis. Kedua, ia diterapkan dengan parameter-parameter saat follow up terakhir.3 Parameter-parameter pada penerapan pertama meliputi: z-score LV PWT saat akhir diastol, usia saat terdiagnosis, ketebalan septum saat akhir diastol, serta terapi antiaritmia. Sedangkan pada penerapan kedua
meliputi: z-score LV ESD, usia saat terdiagnosis, serta rasio LV PWT -LV EDD. Penerapan pertama ternyata memiliki sensitifitas hanya 57% sedangkan yang kedua mencapai 86%.3 Penerapan pertama menggunakan cut off point -1,73 untuk parameter z-score LV PWT saat akhir diastol; 13,1 tahun untuk parameter usia saat terdiagnosis; -0,83 untuk parameter ketebalan septum saat akhir diastol, serta diberikan atau tidaknya terapi antiaritmia dalam 30 hari sejak presentasi awal. Risiko tertinggi terjadinya SCD ada pada sampel dengan z-score LV PWT saat akhir diastol <-1,73; usia saat terdiagnosis <13,1; z-score ketebalan septum saat akhir diastol <-0,83, serta terapi antiaritmia dalam 30 hari sejak presentasi awal.3 Sedangkan penerapan kedua menggunakan cut off point 2,6 untuk parameter z-score LV ESD; 14,3 tahun untuk parameter usia saat terdiagnosis; serta 0,14 untuk parameter rasio LV PWT-LV EDD. Risiko tertinggi terjadinya SCD ada pada sampel dengan z-score LV ESD e”2,6; usia saat terdiagnosis <14,3 tahun; dan rasio LV PWTLV EDD <0,14. Pada kedua penerapan CART tersebut terdapat kesamaan dan dapat disimpulkan bahwa risiko SCD makin tinggi seiring makin berdilatasinya LV, makin tipisnya dinding posterior LV, serta makin mudanya sampel saat terdiagnosis.3 Akhirnya, dari studi ini dapat disimpulkan bahwa insidensi SCD dalam lima tahun pada penderita KMD pediatrik adalah lebih rendah dibandingkan pada penderita dewasa (<3%) dan faktor-faktor risiko terja-
dinya SCD (dengan sensitivitas 86%) pada pasien-pasien tersebut adalah: dilatasi LV, umur saat terdiagnosis yang kurang dari 13-14 tahun, penipisan dinding posterior LV, serta terapi antiaritmia dalam 1 bulan setelah terdiagnosis. Pasien KMD pediatrik yang memenuhi kriteria-kriteria risiko tinggi tersebut dalam jangka waktu lama seharusnya dipertimbangkan untuk dipasang ICD (Implantable Cardioverter-Defibrillator). Data hasil studi tersebut memperkuat paradigma sebelumnya bahwa mungkin tidak semua pasien KMD memerlukan pemasangan ICD.3 (Referensi ada pada Redaksi) Andi K
ringkasan catatan kematian telah diteliti untuk memastikan kesesuaiannya dengan klasifikasi SCD yang telah ditentukan. Semua data kematian yang ditemukan lalu dikategorikan menjadi tiga, yaitu: SCD, kematian jantung non-SCD, serta kematian dengan sebab tidak diketahui. Sebanyak 56 pasien dengan sebab kematian tidak diketahui tidak diikutkan dalam analisis faktor risiko. Selain angka kematian, luaran lain yang dicatat adalah angka kesintasan baik dengan transplantasi jantung maupun tanpa even terapi apapun (no event).3 Model stratifikasi risiko yang digunakan dalam studi ini adalah dengan memanfaatkan pengukuran secara ekokardiografik saat presentasi awal dan saat evaluasi tahunan. Parameter yang diukur adalah left ventri-cular (LV) end-diastolic dimension (EDD), LV end-systolic dimension, LV fractional shortening, ketebalan septum dan LV posterior wall thickness (PWT) saat akhir diastol, massa LV berdasarkan M-mode, dan keberadaan regurgitasi trikuspid atau mitral. Zscore ekokardiografik dari masing-masing parameter tersebut, kecuali LV EDD dan LV ESD yang menggunakan usia sebagai pembanding, dikalkulasi dengan membandingkannya terhadap area permukaan tubuh masing-masing sampel.3 Angka insidensi kumulatif luaranluaran tersebut diperkirakan dengan menggunakan metodologi competing risks. Faktorfaktor risiko univariat untuk terjadinya SCD diidentifikasi menggunakan model Cox pro-
(Kardiologi.................... hal.3)
matang, apakah kita masih dapat tersenyum? Dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan akan terlihat harmonis apabila tercapai kesepakatan secara sukarela diantara manusia untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sangat menyedihkan ketika melihat dalam surat kabar cetak maupun elektronik dalam satu agama saja ketika beribadah dipisahkan oleh sekat padahal sukunya sama dan menyebut nama Tuhannya dalam istilah yang sama pula. Sudah terlalu banyak konflik SARA yang secara kebetulan kita ketahui. Asketisme kurban. Masih di bulan yang sama, ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya di akhir tulisannya merenungkan spirit berkurban pada Idul Adha tahun ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan bangsa, agar kehidupan kembali menemukan adabnya. Bukankah semangat berkorban yang diteladankan manusia pergerakan yang membuat Republik ini bisa keluar dari jerat kolonialisasi? Berkorban bukan hanya benda, raga, bahkan nyawa. Termasuk berkorban dengan menjatuhkan pilihan hidup asketik. Hatta yang tidak terbeli sepatu Bally, Natsir yang jasnya robek, Bung Karno yang masih punya utang 80 gulden kepada Karim Oei, Agus Salim yang hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lain sampai akhir hayatnya, Syahrir yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang berganti pakaian, dan lain sebagainya. Kepada mereka, penghormatan tulus segenap rakyat dipersembahkan. Kepada keluhuran budi, sikap jujur, akal sehat, gaya hidup yang halal, dan satunya kata dengan perbuatan. Mereka dengan gemilang telah sukses menyembelih “hasrat kebinatangan” ketika diberi amanah menjadi penyelenggara negara. Walaupun mereka tidak berkalikali naik haji, tidak terlampaui fasih melapalkan teks kitab suci. Demikianlah hubungan antara manusia dengan lingkungan, antar sesamanya dan kebaktiannya kepada Tuhan YME seperti yang terasa dalam Tri Hita Karana masih memerlukan penjelasan. Menjadi lebih jelas ketika disandingkan dengan konsep Pemali yang berlawanan itu dan diakhiri dengan semangat menyembelih “hasrat kebinatangan” manusia ketika berhubungan dengan sesamanya. Salam Kuantum. Budhi S. Purwowiyoto
5
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Sejarah Kardiologi (Bagian Keempat) Garis besar konsensus tersebut, adalah :
Bagian Kardiologi RSCM sesuai dengan SK Dirjen Pembinaan Kesehatan no. 862/ P.Kes/D/72, dibentuk untuk lebih menertibkan prosedur kerja untuk meningkatkan efisiensi penggunaan fasilitasfasilitas yang ada demi kepentingan penderita jantung. Fasilitas yang merupakan sarana Bagian Kardiologi terdiri dari fasilitas ex Lembaga Kardiologi Nasional digedung bekas Eyckman bagian depan, Pav V, dua kamar di Pav Tjendrawasih, Unit Kateterisasi dan ICCU. Personal Inti bagian Kardiologi RSCM terdiri dari : dr. Lie kioeng Foei - Chief de Clinique dr. Sukaman - Chief de Policlinique dr. I.S.F. Ranti - Kepala Penelitian, Percobaan dan Laboratorium Kardiopulmonal. dr. Tagor G.M.Siregar - Koordinator urusan non medik dr. Lethfi Oesman - Kepala Pendidikan Post Graduate dr. Asikin Hanafiah - Berfungsi sebagai penanggungjawab penderita golongan anak dan membantu Chief de Clinique dan Policlinique untuk golongan ini dr. I. Santoso dan dr. Surarso - Bersama-sama mengepalai Bedah Jantung
Prosedur kerja : Poliklinik: Poliklinik para penderita penyakit jantung, hanya dilakukan dipoliklinik Bagian Kardiologi. Bagian Ilmu Penyakit dalam dan bagian ilmu Kesehatan Anak melalui polikli-
nik kardiologi dapat ikut memfollow-up para penderita penyakit jantung yang pernah dirawat di bagian-bagian tersebut
Perawatan Penderita : 1. Para penderita yang perlu dirawat di fasilitas Bagian Kardiologi dapat disalurkan ke fasilitas perawatan Bagian Penyakit Dalam/Bagian ilmu Kesehatan Anak, bila fasilitas tidak mengijinkan dan tanggung jawab pengobatan berada pada bagian-bagian tersebut. 2. Para penyakit jantung yang dirawat melalui poliklinik bagian Penyakit Dalam/Bagian Ilmu Kesehatan Anak dirawat di fasilitas perawatan Divisi Kardiologi Bagian yang bersangkutan/ dapat disalurkan ke Bagian kardiologi, bila fasilitas tidak mencukupi. Untuk penelitian lebih lanjut para penderita tersebut dapat dipindahkan ke Bagian kardiologi. 3. Para penderita di Sub Divisi kardiologi Bagian tertentu dapat meminta konsult ke Bagian kardiologi yang disalurkan ke poliklinik Kardiologi.
Pendidikan : 1. Pendidikan kedokteran mahasiswa kedokteran FKUI, asisten ahli Penyakit Dalam, asisten ahli Ilmu Kesehatan Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bagian Penyakit Dalam/bagian Ilmu Kesehatan Anak. Bila bantuan untuk pendidikan tersebut dalam bidang kardiologi diperlukan, maka Bagian Kardiologi RSCM akan memberikan bantuan sepenuhnya. 2. Stase asisten-asisten ahli Ilmu Penyakit Dalam/Ilmu Kesehatan Anak, dapat diterima untuk bekerja di Bagian Kardiologi selama diperlukan.
3. Pendidikan Ahli Penyakit Jantung akan dilaksanakan di bagian Kardiologi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perkumpulan Kardiologi Indonesia. Para dokter di Bagian Penyakit dalam yang selama ini mengikuti pendidikan untuk menjadi seorang ahli penyakit jantung, akan segera dinilai oleh Perkumpulan kardiologi Indonesia. Lain-lain : 1. Sub-Divisi kardiologi di Bagian ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu kesehatan Anak sepenuhnya dibina oleh bagian yang bersangkutan 2. Segala fasilitas bagian kardiologi sebagai milik RSCM/FKUI dapat dipergunakan pula oleh Bagian-bagian di RSCM/FKUI dan bagian kardiologi sebagai koordinatornya. 3. Asisten-asisten Bagian Ilmu Penyakit dalam/Ilmu Kesehatan Anak yang ingin mendapat pendidikan ahli penyakit jantung dapat diterima di Bagian kardiologi. Asisten tersebut secara fungsional dilepaskan sepenuhnya dari bagian asalnya dan setelah selesai pendidikan akan dikembalikan ke Bagian yang bersangkutan.
Konsensus ini diumumkan pada tanggal 14 September 1972 ditandatangani Dekan FKUI dan Direktur RSCM. Selanjutnya dari consensus tersebut. Pada tanggal 26 September 1972, Dekan FKUI saat itu Prof.Dr. Rukmono dan Direktur RSCM Prof. Dr. O. Odang mengeluarkan Surat Keputusan bersama untuk masing-masing yang isinya memberhentikan kedudukannya di Lakarnas menjadi tim inti di Bagian Kardiologi RSCM.
(BERSAMBUNG)
PMCA: Target Potensial Terapi Kardiovaskular Masa Depan BARU-baru ini, di RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, telah diselenggarakan guest lecture (kuliah tamu) dengan materi yang cukup menarik berjudul Fixing the Broken Heart: Targeting the Membran Calcium Channel. Kuliah tamu ini menampilkan dr. Delvac Oceandy, Ph.D sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan pada hari Jumat, 20 September 2013 pagi di Ruang Konferensi RSJPD Harapan Kita dan cukup menarik perhatian para residen serta staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pihak Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI bukan tanpa alasan dalam mengundang sang pembicara. Di samping temanya yang cukup menggelitik dan berkaitan dengan masalah dasar fisiologi kardiovaskular, sang pembicara juga tidak kalah “menggelitik”. Pria muda asli Indonesia ini memang punya prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Beliau adalah penerima penghargaan Highest Scoring Abstract Presented dari European Society of Cardiology (ESC) pada ajang ESC Annual Congress di Munich pada tahun 2012, Young Investigator Award 1st Winner dari organisasi yang sama pada tahun 2006, dan Eumorphia Young Scientist Communication Award pada 2006.1 Pada acara ini sempat dipaparkan peran PMCA (plasma membrane Ca2+-ATPases) dalam bidang kardiovaskular. Paparan tersebut sekaligus menanggapi pertanyaan sederhana tetapi berbobot dari Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, Sp.JP (K), FIHA tentang perbedaan PMCA1 dan PMCA4 (isoform-isoform dari PMCA) menjelang akhir acara. Pembicara menjelaskan bahwa PMCA1 dan PMCA4 memiliki lokasi yang berbeda pada membran sel serta efek-efek seluler yang berbeda pula. Topik biomolekuler yang cukup menarik ini telah menggugah penulis untuk mengangkatnya pada artikel pendek ini. PMCA adalah suatu protein transporter membran plasma semua sel eukariot dan berfungsi untuk mengeluarkan ion kalsium
dari sitoplasma ke kompartemen ekstraseluler.2-5 Dengan perannya sebagai pompa kalsium tersebut, PMCA menjadi salah satu regulator utama konsentrasi ion kalsium intraseluler. 3,6 PMCA sendiri sebenarnya memiliki empat isoform yaitu PMCA1 sampai dengan PMCA4. Isoform-isoform tersebut diekspresikan di banyak organ, termasuk jantung, saraf, otot, dan sel astrosit otak.7,8 Dua isoform dari PMCA yang berperan penting terhadap regulasi fisiologis sistem kardiovaskular adalah PMCA1 dan PMCA4, khususnya subtipe PMCA4b yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan enzim nitric oxyde (NO) synthase. Interaksi ini akan menyebabkan berkurangnya produksi NO oleh enzim tersebut.3,9 Sedangkan dua isoform lainnya, PMCA2 dan PMCA3, karena bersifat lebih cepat teraktivasi, banyak terdapat pada sel yang eksitabel seperti sel saraf dan sel otot.7 Dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Delvac Oceandy, dkk dapat disimpulkan bahwa, di sel-sel yang eksitabel (seperti sel otot jantung dan otot skelet), PMCA dianggap mempunyai peran minor dalam homeostasis kalsium (yaitu regulasi konsentrasi global kalsium intraseluler) bila dibandingkan dengan pompa NCX (sodiumcalcium exchanger), suatu sistem pompa pemindah ion kalsium yang lain.5,10 Namun, ada bukti yang menunjukkan peran penting PMCA dalam transduksi sinyal. Contoh secara khusus, di aspek fisiologi jantung, adalah modulasi jalur penyinyalan nNOS (neuronal NO synthase) oleh PMCA4b.10 Selain itu, bukti mutakhir juga menunjukkan fungsi penting PMCA dalam memerantarai kontraktilitas jantung dan tonus vaskular.5 Sebagai target penemuan obat baru, bila dibandingkan dengan kanal influks ion kalsium, PMCA masih tertinggal jauh. Hal ini terutama karena kurangnya pemahaman mendetail tentang struktur dan fungsi spesifiknya.4 Dugaan adanya peran penting PMCA
pada jaringan jantung mencakup keterlibatannya pada patofisiologi hipertensi dan hipertrofi. Peran PMCA pada hipertensi terutama berdasarkan pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan nNOS, zat yang telah terbukti berperan pada siklus eksitasi-kontraksi miosit jantung (Barouch et al., 2002; Sears et al., 2003). Interaksi ini diperantarai oleh pengikatan domain PDZ.11 PDZ sendiri adalah domain interaksi protein yang sering mengenali motif-motif asam amino rantai pendek pada ujung C proteinprotein target.12 Bukti-bukti menunjukkan bahwa inhibisi nNOS (enzim yang tergantung ion kalsium dan kalmodulin) disebabkan karena ia disekuestrasi oleh PMCA pada lingkungan yang rendah kalsium. Buktibukti itu meliputi: 1) inhibisi tidak muncul jika yang diuji adalah mutan-mutan nNOS; 2) inhibisi juga tidak muncul jika yang diuji adalah PMCA4b yang sedikit memiliki domain PDZ; dan 3) ekspresi berlebihan PMCA4b yang mengalami mutasi pada Asp672Glu (sehingga mengurangi aktivitas pompa sebesar kira-kira 90%) ternyata tidak menyebabkan inhibisi nNOS. Bagaimanapun, peran PMCA pada hipertensi ini masih memerlukan penelitian lebih jauh.11 Selain PMCA4b, isoform lain, PMCA1, juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi. Ketiadaan PMCA1 pada mencit percobaan menyebabkan peningkatan ion kalsium basal, peningkatan ion kalsium (karena stimulasi epinefrin) pada selsel otot polos vaskular, vasokonstriksi arteri, dan peningkatan tekanan darah sistolik pada kondisi istirahat. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya ekspresi dan fungsi PMCA1 pada pembuluh darah adalah faktor risiko terjadinya hipertensi.4 Adapun kontribusi biomolekuler PMCA pada proses hipertrofi adalah terkait perannya dalam menghambat aktivasi nuclear factor of activated T-cell (NFAT). Peningkatan level kalsium intraseluler yang lama dalam miosit jantung akan menimbulkan hiper(Bersambung ke hal.6)
Keamanan Penggunaan Ivabradin IV pada Pasien IMAEST dengan IKPP: Studi Awal TAKIKARDIA merupakan masalah tersering yang muncul pada keadaan akut dari infark miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST), dimana dihubungkan dengan aktivasi sistem saraf simpatis akibat nyeri atau sebagai fenomena kompensasi dari komplikasi gagal jantung akut. Hal tersebut dapat meningkatkan imbalans diantara tersedianya oksigen terhadap daerah yang berisiko (kekurangan oksigen akibat oklusi dari arteri yang mengalami infark) dan kebutuhan oksigen miokard, dimana keduanya memainkan peranan penting. Sehingga diperlukan obat penurun denyut jantung, secara teori yang sangat menonjol dan diperlukan karena sudah terbukti di studi-studi klinis adalah penggunaan beta blocker, dimana obat tersebut dapat mengurangi daerah luasnya infark dan menurunkan mortalitas kardiovaskular. Walau demikian, beberapa studi tidak memperlihatkan hal serupa, studi COMMIT (Clopidogrel and Metoprolol In Myocardial Infarction) tidak memperlihatkan penurunan pada mortalitas. Lainnya, penggunaan awal beta blocker intravena dihubungkan dengan mortalitas awal, terutama pada pasien gagal jantung akut dengan peningkatan risiko syok kardiogenik. Obat penurun denyut jantung mempunyai efek terhadap tekanan darah dan fungsi ventrikel seperti ivabradin mungkin memiliki peranan pada keadaan ini. Dilakukanlah studi VIVIFY (eValuation of the IntraVenous If inhibitor ivabradine after STsegment elevation mYocardial infarction) dengan tujuan primer untuk mengetahui efek ivabradin intravena terhadap denyut jantung dan parameter hemodinamik setelah tindakan intervensi koroner perkutan (IKP). Sementara tujuan sekunder berupa untuk menilai keamanan dan toleransi ivabradin terhadap keadaan ini, serta efek penurunan denyut jantung terhadap luasnya infark. Studi ini merupakan studi multisenter, dengan pasien usia 40 – 80 tahun yang dirandomisasi setelah sukses dilakukan IKPP dalam enam jam onset IMAEST. Pasien dalam keadaan sinus ritme dan denyut jantung > 80 kali per menit, tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Dikelompokkan dalam 2 kelompok (rasio 2:1) yaitu kelompok ivabradin intravena (n = 82) (5mg bolus selama 30 detik, diikuti 5mg infus selama 8 jam) atau kelompok placebo (n = 42). Keluaran prmier berupa denyut jantung dan tekanan darah. Pada kedua kelompok, denyut jantung mengalami penurunan dalam 8 jam, dengan kecepatan penurunan yang nyata pada kelompok ivabradindibandingkan placebo (22.2 ±1.3 vs 8.9±1.8 bpm, p < 0.0001). Selama studi berlangsung tidak terdapat perbedaan tekanan darah pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan penanda biologis jantung (CKMB, troponin T dan I). ekokardiografi dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel, didapatan volum ventrikel kiri lwbih kecil pada kelompok ivabradin baik untuk volum akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDV) (87.1±28.2 vs 117.8±21.4 cc, p = 0.01) dan volum akhir sistolik ventrikel kiri (LVESV) (42.5±19 vs 59.1±11.3cc, p = 0.03) tanpa perbedaan pada perubahan volum atau fraksi ejeksi ventrikel kiri. Dapat ditarik kesimpulan, ivabradin intravena mungkin mempunyai nilai potensial untuk IMEST, dengan menurunkan denyut jantung tanpa menurunkan tekanan darah atau hemodinamik. (Eur H Jour: Acute Cardiovasc Care 2013; 2(3): 270-9) SL Purwo
6
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Dabigatran vs Warfarin pada Pasien dengan Katup Mekanik PENGGANTIAN katup jantung prostetik direkomendasikan pada beberapa pasien dengan penyakit jantung katup yang berat dan dikerjakan pada beberapa ratusan ribuan pasien di seluruh dunia setiap tahunnya. Katup mekanik lebih tahan lama dibandingkan katup bioprostetik tetapi membutuhkan antikoagulan seumur hidupnya. Penggunaan antagonis vitamin K memberikan proteksi yang terbaik dalam menghindari komplikasi tromboemboli pasien katup jantung mekanik, tetapi membutuhkan restriksi pada makanan, alkohol dan obatobatan serta pemantauan koagulasi seumur hidup. Karena keterbatasan antagonis vitamin K, banyak pasien yang memilih menggunakan bioprostetik dibandingkan katup mekanik, walau risiko lebih tinggi pada gagalnya katup premature yang membutuhkan pengulangan operasi pada penggunaan katup bioprostetik. Dabigatran etexilate merupakan preparat oral inhibitor thrombin secara langsung yang efektif sebagai antikoagulan pengobatan pasien fibrilasi atrium pada studi RELY. Berdasarkan data ini dan adanya hasil yang memuaskan pada studi binatang, dimana menunjukkan adanya keuntungan dabigatran dalam mencegah thrombosis katup, dilakukanlah studi RE-ALIGN. Tujuan utama studi ini adalah untuk melakukan validasi preparat baru untuk pemberian dabigatran dalam mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik. Studi validasi dosis fase dua, menggunakan dua kelompok, yang dilakukan penggantian katup aorta atau mitral dalam tujuh hari terakhir dan yang dilakukan peng-
gantian paling tidak tiga bulan terakhir. Pasien dikelompokkan secara random dengan rasio 2:1 utntuk diberikan dabigatran atau warfarin. Pemilihan dosis awal dabigatran (150, 220 atau 300 mg dua kali sehari) didasarkan atas fungsi ginjal. Dosis disesuaikan untuk mendapatkan tingkat plasma yang palin sedikit 50 ng per milliliter. Dosis warfarin disesuaikan untuk mempertahankan rasio yang normal secara internasional sebesar dua sampai tiga atau 2.5 sampai 3.5 sebagai dasar risiko tromboemboli. Hasil akhir primer didasarkan pada tingkat plasma dabigatran. Studi ini dihentikan secara premature setelah mendapatkan 252 pasien dikarenakan tinggi kejadian tromboemboli dan perdarahan di antara pasien yang menggunakan dabigatran. Pada analisa pengobatan, dosis penyesuasian atau penghentian dabigatran dibutuhkan pada 52 dari 162 pasien (32%). Stroke iskemik atau tidak spesifik terjadi pada 9 pasien (5%) kelompok dabigatran dan tidak ada yang terkena pada pasien kelompok warfarin. Perdarahan mayor terjadi pada 7 pasien (4%) dan 2 pasien (2%). Semua pasien dengan perdarahan mayor terdapat perdarahan perikard. Kebanyakan kejadian tromboemboli terjadi pada kelompok dabigatran populasi A (pasien yang memulai penggunaan obat ini dalam waktu 7 hari setelah operasi katup), sedikit kejadian pada populasi B (pasien dengan implantasi katup lebih dari 3 bulan sebelum randomisasi). Kejadian perdarahan yang berlebihan di antara pasien yang mendapatkan dabigatran terjadi pada ke dua populasi tersebut. Kemungkinan yang mungkin adalah terjadinya peningkatan komplikasi tromboemboli dengan dabigatran termasuk ketidak-
adekuatan tingkat plasma dari obat tersebut dan mekanisme aksi yang berbeda dari warfarin. Nilai plasma dabigatran populasi A lebih rendah selama beberapa minggu pertama setelah operasi dan penurunan nilai setelah operasi katup mungkin mencetuskan formasi awal dari sumbatan darah yang secara klinis tidak bermanifestasi sampai nantinya akan muncul manifestasinya. Perbedaan mekanisme aksi dari dabigatran dan warfarin mungkin juga berperan dalam terjadinya thrombosis pada temuan studi ini. Pasien dengan fibrilasi atrium, terbentuknya thrombin di LAA pada aliran yang lemah, kondisi low-shear dimana pembentukan thrombin dipercaya sebagai pemicu stasis dan disfungsi endotel. Pasien dengan katup jantung mekanik, aktivasi koagulasi dan pembentukan thrombin terjadi karena pelepasan faktor jaringan dari kerusakan jaringan selama operasi mungkin berperan sebagian dari risiko tinggi komplikasi tromboemboli dini. Sebagai tambahan, pembentukan trombi dapat dipicu oleh terpaparnya darah terhadap permukaan artifisial daun katup mekanik dan cincin jahitan, dimana menginduksi aktivasi jalur koagulasi. Kebanyakan thrombin pada pasien dengan katup jantung prostetik nampaknya akan meningkat pada cincin jahitan, dimana tidak terjadi endoteliasisasi paling tidak selama beberapa minggu. Dipikirkan bahwa thrombin yang terbentuk pada cin-
cin jahitan menjadi lebih sedikit trombogenik ketika jaringan endotel yang terbentuk di antaranya. Warfarin lebih efektif dibandingkan darbigatran dalam menyupresi aktivasi koagulasi karena inhibisi aktivasi baik koagulasi yang terinduksi faktor jaringan (oleh inhibisi sintesis faktor koagulasi VII) dan koagulasi terinduksi kontak jalur oleh penghambatan sintesis faktor X dan thrombin pada jalur umum. Hasil dari studi ini mngindikasikan dabigatran tidak sesuai sebagai obat alternatif warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli yang membutuhkan antikoagulan setelah implantasi katup jantung prostetik. Rivaroxaban telah berhasil diujicoba untuk tindakan prevensi komplikasi tromboemboli dihubungkan dengan katup jantung mekanik pada studi pre klinik, tetapi temuan klinis tidak menunjukkan bukti keamanan dan kefektifan pemberian dosis tersebut. Sebagai kesimpulan, hasil dari studi fase ke dua mengindikasiakn dabigatran tidak seefektif seperti warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik dan dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan. Penggunaan dabigatran tidak memiliki nilai positif dan dihubungkan dengan peningkatan risiko pada pasen dengan katup jantung mekanik.(N Engl J Med 2013.DOI: 10.1056/NEJMoa1300615) SL Purwo
(PMCA .................... hal.5)
ran pada terjadinya komplikasi berat akibat DM tipe 2.11 Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa ketidaktepatan ekspresi, mutasi, dan ketiadaan PMCA terkait dengan kondisi-kondisi patologis seperti hipertensi, rendahnya densitas tulang, infertilitas pada laki-laki, berkurangnya pendengaran, serta ataksia serebelar.4 Dari paparan di atas dapat diketahui adanya dua hal penting yaitu: 1) mekanisme kerja PMCA dalam pencegahan kondisi-kondisi patologis kardiovaskular; serta 2) dampak negatif abnormalitas biomolekuler PMCA pada sistem kardiovaskular (bahkan sistem organ lain). Kedua hal tersebut telah menjadikan PMCA suatu target potensial terapi kardiovaskular di masa mendatang. Kuncinya adalah dengan memodulasi isoform-isoform PMCA secara selektif lewat penemuan suatu aktivator atau inhibitor spesifik PMCA.4 Saat ini, setelah lebih dari 50 tahun sejak PMCA ditemukan pertama kali pada membran sel darah merah, studi-studi lebih mendalam pada aspek biokimiawi, seluler, serta fisiologinya terus dilakukan demi menemukan terobosan baru dalam terapi kardiovaskular.3 Semoga kelak upaya-upaya ini membuahkan hasil yang bermanfaat bagi umat manusia. (Referensi ada pada Redaksi) Andy Kristyagita
trofi. Peningkatan jangka panjang dari ion kalsium-kalmodulin intraseluler ini akan mengaktifkan kalsineurin yang kemudian mendefosforilasi faktor transkripsi NFAT sehingga mengaktifkan NFAT (Molkentin et al., 1998). Aktivitas PMCA4b yang meningkat akan menyebabkan rekrutmen kalsineurin ke membran plasma (suatu lingkungan rendah kalsium) sehingga menghambat aktivasi NFAT.11 Tidak hanya itu, ternyata PMCA juga punya peran penting pada salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yaitu diabetes melitus (DM) tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis dimana terjadi peningkatan ion kalsium di berbagai tipe sel termasuk platelet (Balasubramanyam et al., 2001; Li et al., 2001). Peningkatan kalsium intraseluler ini akan menyebabkan agregasi dan hiperaktivitas platelet dan turut berkontribusi pada terjadinya komplikasi kardiovaskular kronis (Carr, 2001). Terjadi pula penurunan signifikan protein PMCA bersamaan dengan peningkatan level fosforilasi tirosin pada residu 76 (Rosado et al., 2004), suatu peristiwa fosforilasi yang menghambat aktivitas pompa kalsium tersebut (Wan et al., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa PMCA terlibat dalam aktivasi platelet dan jumlahnya yang menurun turut berpe-