HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DAN KETAKUTAN AKAN KEGAGALAN DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA NASKAH PUBLIKASI
Di susun Oleh : MAOLANA MOHAMMAD SAH S 300 110 032
MAGISTER SAINS PSIKOLOGI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DAN KETAKUTAN AKAN KEGAGALAN DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA Maolana Mohammad Sah (S 300 110 032) ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek pada siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab. Sragen yang berjumlah 353 siswa. Peneliti menggunakan teknik cluster random sampling untuk mencari sampel 187 siswa dan untuk mempermuda penelitian, peneliti menggunakan skala perilaku menyontek, skala locus of control dan skala ketakutan akan kegagalan. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek. Dimana perilaku menyontek dan ketakutan akan kegagalan memiliki kategori sedang, serta locus of control memiliki kategorik sangat rendah. Hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang positif signifikan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek. Sumbangan efektif locus of control terhadap perilaku menyontek sebesar = 2,94 %, dengan aspek chance lebih dominan mempengaruhi dan sumbangan efektif ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek sebesar = 10,76 %, dengan aspek perfectionist lebih dominan mempengaruhi. Total sumbangan efektif locus of control dan ketakutan akan kegagalan adalah 13,7 %. Walaupun itu, pengaruh locus of control dan ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan.
Kata kunci : Perilaku menyontek, Locus of control dan Ketakutan akan kegagalan
RELATIONSHIP BETWEEN LOCUS OF CONTROL AND FEAR OF FAILURE WITH CHEATING BEHAVIOR OF STUDENTS Maolana Mohammad Sah (S 300 110 032) ABSTRACT The purpose of this study was to determine the relationship between locus of control and fear of failure with cheating behavior of students. The population in this study was a class XI student of SMK Negeri 1 Miri in Sragen = 353 students. Researchers using cluster random sampling technique to sample 187 students and seek to rejuvenate the study, researchers used a scale of cheating behavior, locus of control scale and the scale of the fear of failure. The results showed no significant relationship between locus of control and fear of failure with cheating behavior. Where cheating and the fear of failure has a medium category, and locus of control has a very low categorical. The results of analysis show that there is a significant positive relationship between locus of control and fear of failure with cheating behavior. Effective contribution of locus of control on cheating at = 2.94%, with the chance aspect more dominant and effective contribution to the fear of failure cheating at = 10.76 %, with the more dominant aspect perfectionist. The total contribution of the effective locus of control and fear of failure is 13.7%. Despite that, the influence of locus of control and fear of failure against cheating behavior between men and women did not differ significantly.
Keywords : Cheating Behavior, Locus of control and Fear of failure
(Hendra, 2012), Evans dkk (Sartelee, 2002) dan Alhadza (Jahja 2007), menyebutkan salah satu yang mempengaruhi perilaku menyontek adalah ketakutan akan kegagalan. Sedangkan, Anderman dkk, (2007), Rotter (Stone dkk, 2010), Wideman (2008), menyebutkan bahwa salah satu yang mempengaruhi perilaku menyontek adalah locus of control. Berdasrkan uraian diatas, peneliti ingin membuktikan secara empiris hubungan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek pada siswa SMKN 1 Miri, sehingga dapat diketahui apakah perilaku menyontek yang terjadi di SMKN 1 Miri berhubungan dengan locus of control dan ketakutan akan kegagalan. . TINJAUAN PUSTAKA 1. Perilaku Menyontek
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap tahun banyak media masa mengungkapkan perilaku menyontek terjadi hampir disetiap wilayah. Selain itu perilaku menyontek bisa dijumpai disetiap jenjang pendidikan. Hal ini memberikan efek yang negatif terhadap tujuan pendidikan yang ingin membentuk siswa yang memiliki karakter dan kecerdasan (Sari dkk, 2013). Selama 30 tahun terakhir perilaku menyontek mengalami peningkatan yang signifikan, peningkatan ini disebabkan oleh kepercayaan siswa bahwa perilaku menyontek bisa dibenarkan dibeberapa situasi (Cizek, dalam Murdock dkk, 2006) dan dianggap sesuatu yang biasa (Jahja, 2007). Hal ini dipertegas oleh Etter dkk (2006) yang menyatakan bahwa siswa melihat perilaku menyontek sebagai suatu cara yang layak dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Hasil kuesioner terbuka yang dilakukan peneliti kepada 37 siswa (29 laki-laki dan 8 perempuan) di kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab. Sragen, diperoleh 100% siswa telah melakukan perilaku menyontek. Walaupun dilatar belakangi dengan alasan-alasan yang berbeda. 64,86% disebabkan karena soalnya sulit, 13,51% disebabkan mendapatkan nilai bagus, 13,51% disebabkan tidak belajar, 5,4% disebabkan takut remedial dan 2,7% disebabkan tidak percaya diri. Beberapa penelitian tentang perilaku menyontek, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi variabel tersebut. Misalnya, Mobarok
Strom, dkk (2007) mengatakan perilaku menyontek merupakan perilaku yang tidak jujur dengan cara menyalin bahan materi dari buku, jurnal, atau sumber di Internet dan membuat suatu catatan materi yang dipersiapkan dari rumah. Menurut Hard, dkk (2006), perilaku menyontek adalah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru dengan cara memberi atau menerima bantuan yang tidak diperbolehkan. Dalam menjelaskan dimensi memberi atau menerima. Calabrese, dkk (Lestari, 2013) membagi 2 macam perilaku menyontek, yakni perilaku menyontek pasif adalah membantu siswa lain dalam menyelesaikan tugas dan periaku menyontek aktif
1
adalah menyelesaikan tugas dengan tidak jujur dengan tujuan meningkatkan nilainya sendiri. Anderman dkk (2007) mengkategorikan faktor yang menyebabkan perilaku menyontek yakni: (1) Demografi (usia, jenis kelamin, perbedaan kebudayaan), (2) Kepribadian (dorongan mencari sensasi, self-control, perkembangan moral dan sikap, locus of control), (3) Motivasi (tujuan dan alasan dalam pembelajaran) dan (4) Akademik meliputi kemampuan, subjek area, institusi dan organisasi. Jahja (2007) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruh perilaku menyontek pada siswa, yakni: Adanya pengaruh dari orang yang melakukan perilaku menyontek, adanya peluang untuk melakukan perilaku menyontek, ketakutan akan kegagalan, keinginan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, tidak percaya diri, dan siswa terlalu cemas dalam menghadapi ujian. Menurut Marsden, dkk (2005) bentuk-bentuk perilaku menyontek terdiri dari; menggunakan catatan dalam ujian, mencari jawaban melalui teman saat ujian, bekerjasama dengan teman dalam ujian, dan bekerjasama dalam meyelesaikan tugas.
orang lain (eksternalitas), yang biasa dikaitan dengan komitmen tinggi serta berkelanjutan untuk mengubah (Munir dkk, 2010). Sementara Lantara (2012) mengatakan locus of control dapat didefinisikan sebagai sikap siswa yang menunjukkan suatu peristiwa yang dialami oleh mereka dapat dikendalikan atau tidak. Menurut Andriati (2009), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi locus of control seseorang, anatra lain: a. Orangtua. Perkembangan locus of control didukung oleh peran orangtua, dimana orangtua yang fleksibel dan mengajar siswa mandiri akan mendorong siswa ke internal locus of control. Sedangkan orangtua yang memiliki sifat menghukum, memusuhi dan otoriter akan mendorong siswa ke arah external locus of control. b. Kognitif. Kesadaran dalam berpikir dan menggunakan pengetahuan dapat mengarahkan dan mempengaruhi seberapa besar siswa memiliki locus of control. c. Perbedaan respon. Pemberian respon yang sesuai dengan perilaku siswa, akan menimbulkan motif yang dipelajari (internal locus of control). Sedangkan pemberian respon yang tidak tepat, akan mengarahkan siswa kepada suatu tanggapan bahwa perilakunya tidak mempunyai nilai positif terhadap lingkungannya. Sehingga siswa percaya bahwa lingkunganlah yang dapat menentukan kehidupannya. d. Lingkungan adalah faktor terakhir disposisi locus of
2. Locus of Control Locus of control juga didefinisikan sebagai kecenderungan siswa untuk percaya bahwa yang mengendalikan peristiwa dalam kehidupannya adalah dirinya sendiri (internalisasi), yang biasa dikaitkan dengan afektif tinggi dan komitmen normatif untuk mengubah atau dikontrol oleh faktor luar, seperti
2
control. Lingkungan yang tidak memberikan kesempatan dan selalu memberikan hambatan kepada siswa, akan membentuk external locus of control pada siswa. Sebaliknya, lingkungan yang mendukung peran siswa dan selalu memberikan kesempatan, dapat membentuk internal locus of control pada siswa. Sedangkan Levenson (Azwar, 2008) mengungkapkan beberapa aspek yang mengungkap locus of control, yakni: a. Aspek Internal (I), adalah keyaki nan siswa akan kejadian-kejadian dalam kehidupannya ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri. b. Aspek Powerful Others (P), adala h keyakinan siswa bahwa kejadia n dalam hidupnya ditentukan ole h orang lain yang lebih berkuasa. c. Aspek Chance (C), adalah keyaki nan siswa bahwa kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh nasib, p eluang, dan keberuntungan. Dalam skala IPC, aspek internal (I) adalah aspek yang mengungkap internal locus of control, sedangkan aspek powerful others (P) dan chance (C) adalah aspek yang mengungkap external locus of control. Menurut Halpert, dkk (2011), skala IPC milik Levenson merupakan perkembangan dari skala Rotter, dimana skala tersebut dapat mengungkap dimensi external Locus of control. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek locus of control adalah internal, powerful others, dan chance.
2. Ketakutan Akan Kegagalan Ketakutan akan kegagalan (fear of failure; faalangst) adalah suatu perasaan yang disertai kegelisaan dan ketegangan yang dihadapi dimana terhadap suatu tekanan secara terus-menerus baik dari orang lain maupun diri sendiri untuk mendapatkan prestasi yang baik (Winkel, 2009). Elison, dkk (2012) mendefinisikan takut gagal sebagai disposisi untuk menghindari kegagalan atau menghindari rasa malu atau penghinaan yang merupakan konsekuensi dari kegagalan. Menurut Winkel (2009) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rasa takut gagal pada siswa: a. Suasana dalam kelas Hubungan guru dan siswa yang kurang harmonis, kesukaran materi pelajaran,tingkat pentingnya bidang studi dalam kurikulum, dan cara evaluasi belajar. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya ketakutan yang bersifat negatif. b. Suasana dalam keluarga Orang tua yang sering menuntut prestasi tinggi pada siswa dalam bidang tertentu membuat siswa dikejar-kejar dengan harapan orang tua dan akan merasa khawatir menngecewakan orang tau serta mengecewakan dirinya sendiri. Selain itu orang tua juga jarang memberikan umpan positif dengan hasil yang didapat dan meragukan kemampuan anak dengan menyalahkannya. c. Alam pikiran siswa Dampak dari tekanan yang didapat dari sekolah maupun
3
dirumah menyebabkan siswa membentuk konsep yang negatif mengenai dirinya sendiri.
untuk mencari cara lain selain belajar. Cara yang paling efektif untuk mengurangi ketegangan dan stres dalam kondisi tersebut, adalah melalui aktivitas motorik atau tindakan fisik (Halleck, dalam Shon, 2006). Hal ini serupa dengan perilaku menyontek yang melibatkan investasi yang signifikan dari waktu yang disediakan, energi, dan sumber daya, apalagi, melibatkan sejumlah besar tindakan fisik sebelum dan selama ujian. Hal ini disebabkan, perilaku menyontek sangatlah bergantung pada peluang, kesempatan dan kelebihan orang lain. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa locus of control cenderung mendorong sisiwa melakukan perilaku menyontek. Sari, dkk (2013) dari 148 orang yang diteliti juga mengungkapkan bahwa secara umum siswa yang memiliki external locus of control cenderung melakukan perilaku menyontek. Sedangkan siswa yang memiliki internal locus of control memiliki korelasi negatif terhadap perilaku menyontek. Menurut Rotter (Stone dkk, 2010), juga menunjukkan konsistensi antara pelanggaran akademik dengan siswa yang memiliki external locus of control dibandingkan siswa yang memiliki internal locus of control. Perilaku menyontek juga sangat dipengaruhi oleh ketakutan akan kegagalan. Sebab, adanya tuntutan dari orang tua atau guru serta harga diri yang dipertaruhkan dari sebuah kompetisi yang diskriminasi membuat siswa mengkhawatirkan dirinya dalam memperoleh prestasi yang baik. Hal ini ditegaskan berdasarkan dari
Aspek-aspek ketakutan akan kegagalan menurut Rothblum, dkk (Damayanti, 2008) antara lain: a. Perfectionist. Seseorang yang perfectionis akan menginginkan hasil yang sempurna. Dengan pola kepribadian ini akan berusaha mencapai targetnya dengan berorientasi pada prestasi yang baik. Namun, apabila standar tersebut tidak tercapai maka siswa akan mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang bisa menimbulkan suatu kegagalan. b. Low self-esteem (penghargaan diri yang rendah). Penghargaan diri yang rendah akan cenderung berpikir negatif. Pikiran negatif ini mendorong anak menjadi cemas, panik, dan muncul perasaan bersalah yang mengganggu kosentrasi. Sehingga siswa yang berpikiran negatif akan berfokus pada kegagalan. c. Evaluation anxiety (kecemasan terhadap evaluasi). Kecemasan ini membuat siswa akan takut dinilai negatif oleh teman, guru dan orang tua. Hal ini dapat mengakibatkan siswa merasa takut akan kegagalan yang akan dihadapi.
3. Hubungan Locus of Control dan Ketakutan Akan Kegagalan dengan Perilaku Menyontek Setiap tahun tuntutan merahi prestasi menjadi meningkat, serta adanya tuntutan orang tua atau guru yang memaksa siswa untuk mendapatkan prestasi yang baik. Hal ini membuat siswa menjadi jenuh dalam belajar, kehilangan semangat belajar, dan kemampuan siswa yang semakin menurun (downshifting) (Chatib, 2012). Hal ini dapat mengakibatkan siswa lebih memilih
4
sebuah penelitian awal yang menggunakan kuesioner terbuka, mencatat ada 21,62% yang takut tidak naik kelas. Penelitian yang telah dilakukan oleh Evans, dkk (Sartelee, 2002), menyatakan bahwa salah satu faktor yang menetukan perilaku menyontek adalah ketakutan akan kegagalan. Selain itu Anderman dkk (Nora, 2010), perilaku menyontek berkaitan dengan ketakutan akan kegagalan dan memiliki hubungan terbalik antara keberhasilan akademik dan kecurangan (Murdock dkk, dalam Nora 2010).
akan kegagalan disusun berdasarkan aspek perfectionist, low self-esteem, dan evaluation anxiety . Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi berganda, stepwise, dan chow test. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Perilaku Menyontek Berdasarkan kriteria kategorik skala perilaku menyontek dengan nilai mean hipotetiknya adalah 50 , mean empirik perilaku menyontek adalah 46,98 dan berada pada rentang skor 40 – 60, hal ini dimaksudkan bahwa perilaku menyontek dalam kategorik sedang. Namun menurut Cizek (dalam Murdock dkk, 2006) selama 30 tahun terakhir perilaku menyontek mengalami peningkatan yang signifikan, peningkatan ini disebabkan oleh kepercayaan siswa bahwa perilaku menyontek bisa dibenarkan dibeberapa situasi dan dianggap sesuatu yang biasa (Jahja, 2007).
METODE Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab. Sragen yang berjumlah 353 siswa dengan Jurusan Teknik Mekanik Otomotif terdiri dari 4 kelas berjumlah 130 siswa, Teknik Gambar Bangunan (Arsitek) terdiri dari 1 kelas berjumlah 32 siswa, Teknik Instalasi Tenaga Listrik (Listik Pemakaian) terdiri dari 2 kelas berjumlah 63 siswa dan Teknik Informatika / Multimedia terdiri dari 4 kelas berjumlah 128 siswa. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 187 siswa kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab. Sragen. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah cluster random sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala yang terdiri dari : skala perilaku menyontek yang merupakan modifikasi dari skala perilaku menyontek Lestari (2013), skala locus of control yang difiltrasi dari skala locus of control Levenson (Azwar, 2008) serta skala ketakutan
2. Locus of Control Hasil analisis kategorik juga diketahui variabel locus of control memiliki rerata empirik 11,73 lebih kecil dari rerata hipotetik 52,5 yang berarti locus of control siswa sangat rendah. Sedangkan peranan atau sumbangan efektif locus of control terhadap perilaku menyontek sebesar = 2,94%. Walaupun itu, menurut Hume dkk (2006), Keyakinan pada perilaku menyontek telah menjadi suatu harapan siswa dalam memperoleh nilai yang bagus. Sebab
5
siswa mempercayai hasil yang diperoleh berada di bawah kendali keberuntungan, nasib, atau orang lain yang lebih kuat dari dirinya. siswa yang melakukan perilaku menyontek tidak memiliki inisiatif untuk berusaha atau belajar lebih giat dan siswa lebih cenderung untuk berpegang pada integritas pribadi untuk memanfaatkan banyak kesempatan melakukan perilaku menyontek. Diketahui pula bahwa aspek chance (n = 47, rata-rata = 5,864) lebih mempengaruhi perilaku menyontek daripada aspek Power Others (n = 71, rata-rata = 0,518) dan internal (n = 56, rata-rata = 6,382). Keyakinan ini menunjukkan bahwa dominan siswa memiliki external locus of control akan melakukan perilaku menyontek, dibandingkan dengan siswa yang memiliki internal locus of control. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh stone (2010) menyatakan locus of control memiliki keterkaitan yang konsistensi terhadap perilaku menyontek dengan eksternalitas lebih mungkin untuk menipu daripada internal. Rotter (Stone dkk, 2010) juga mengatakan bahwa locus of control menunjukkan konsistensi antara pelanggaran akademik dengan siswa yang memiliki external dibandingkan siswa yang memiliki internal. Hal yang senada diungkapkan oleh Davis dkk (2007) & Underwood dkk (2003) bahwa ada hubungan negatif antara internal locus of control dengan perilaku menyontek. Selain itu Sari, dkk (2013) dari 148 orang yang diteliti juga mengungkapkan bahwa secara umum siswa yang
memiliki external locus of control cenderung melakukan perilaku menyontek. Sedangkan siswa yang memiliki internal locus of control memiliki korelasi negatif terhadap perilaku menyontek. 3. Ketakutan Akan Kegagalan Ketakutan akan kegagalan memiliki rerata empirik 39,18 lebih besar dari rerata hipotetik 47,5, hal ini berarti bahwa ketakutan akan kegagalan siswa tergolong sedang. Evans, dkk (Sartelee, 2002), menyatakan bahwa salah satu faktor yang menetukan perilaku menyontek adalah ketakutan akan kegagalan. Selain itu Anderman dkk (Nora, 2010), mengatakan perilaku menyontek berkaitan dengan ketakutan akan kegagalan dan memiliki hubungan terbalik antara keberhasilan akademik dan kecurangan (Murdock dkk, dalam Nora 2010). Smith (Shon, 2006) mengatakan, siswa memiliki tekanan untuk mencapai IPK tertinggi dan mendapatkan ancaman dengan penghapusan beasiswa serta mendapatkan tekanan dari orang tua, memungkinkan untuk melakukan perilaku menyontek dari pada yang tidak mengalami hal tersebut. karena siswa dengan kemampuan rendah merasa tidak mampu untuk bersaing dengan siswa-siswa yang memiliki kemapuan yang tinggi. Hal ini akan mendorong siswa untuk mencari suatu cara untuk membantu siswa tersbut untuk dapat berkompetisi dengan siswa-siwa yang lain. Sedangkan sumbangan efektif ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek sebesar = 10,76 %. Dimana aspek
6
perfectionist (n = 68, rata-rata = 6,24) mimiliki lebih mempengaruhi perilaku menyontek daripada aspek low self-esteem (n = 55, rata-rata = 8,481) dan evaluation anxiety (n = 56, rata-rata = 2,241). Hamachek (dalam Aditomo, A dkk. 2004) mengatakan perfectionist yang menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi daripada kemampuan yang dimiliki, mengakibatkan kesulitan mencapai rasa puas, disebut perfeksionis yang neurotic. Sedangkan aspek low self-esteem merupakan aspek yang memiliki pengaruh terhadap perilaku menyontek sangat rendah, yakni nilai jumlah rata-rata = -8,481. Walaupun ketakutan akan kegagalan bisa menjadi sumber motivasi yang positif, namun bisa juga menjadi sumber motivasi negatif (Heller 2008). Dengan kata lain siswa akan lari dari masalah atau menjadi konservatif dalam mencapai suatu tujuan akan melakukan perilaku menyontek. Hal serupa dikatakan oleh Anderman dkk (Nora dkk, 2010), perilaku menyontek berkaitan dengan ketakutan akan kegagalan dan memiliki hubungan terbalik antara keberhasilan akademik dan kecurangan (Murdock dkk, dalam Nora dkk 2010). Adanya hasil yang diperoleh oleh siswa dari perilaku menyontek. Seperti menghindar dari kegagalan, mengakibatkan timbulnya ketergantungan siswa pada perilaku tersebut.
4. Hubungan Locus of Control dan Ketaktan Akan Kegagalan dengan Perilaku Menyontek Berdasarkan analisis regresi kedua variabel prediktor tersebut terhadap perilaku menyontek menunjukkan nilai F=14.607 dan p=0,000. Dengan demikian, hipotesis “locus of control dan ketakutan akan kegagalan memiliki peranan dalam perilaku menyontek” terbukti. Selain itu, diketahui pula bahwa locus of control umum berkorelasi positif secara sangat signifikan dengan perilaku menyontek (r = 0,480; p = 0,001), begitupun juga ketakutan akan kegagalan berkorelasi positif secara sangat signifikan dengan depresi (r = 0,529; p=0,000). Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa semakin tinggi locus of control dan ketakutan akan kegagalan siswa maka semakin tinggi perilaku menyonteknya, dan sebaliknya. Hasil penelitian yang menunjukkan sumbangan efektif variabel locus of control dan ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek sebesar 13,7% yang ditunjukkan oleh koefisien determinan ( ) 0,137. Namun dalam masalah perbedaan jenis kelamin, pengaruh locus of control dan ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek tidak memiliki perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini mengakibatkan ketidakjujuran akademik bukan lagi persoalan baru dalam dunia akademik, namun menjadi keanehan moral dalam dunia publik. Sebab dari beberapa penelitian menunjukkan siswa yang mengakui telah melakukan perilaku
7
menyontek akan lebih sedikit daripada yang tidak mengakuinya (Gino dkk, 2009; Mazar dkk 2008). Berdasarkan dari hasil sumbangan total dari kedua variable preditor, berarti terdapat 86,3% variabel lain yang mempengaruhi perilaku menyontek diluar variabel locus of control dan ketakutan akan kegagalan.
(ME=11,73<MH=52,5) dan ketakutan akan kegagalan tergolong sedang, hal ini diperoleh dari rerata empirik ketakutan akan kegagalan yang lebih kecil dari pada rerata hipotetik (ME=37,18<MH=47,5), sedangkan perilaku menyontek tergolong sedang hal ini diperoleh dari rerata empirik lebih kecil dari rerata hipotetik (ME=46,98<MH=50). e. Sumbangan efektif locus of control dan ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek adalah 13,7%. Dimana locus of control memberikan sumbangan efektif 2,94% terhadap perilaku menyontek, sedangkan sumbangan efektif ketakutan akan kegagalan 10,76% terhadap perilaku menyontek. f. Aspek variabel locus of control yang lebih mempengaruhi perilaku menyontek adalah aspek Chance (5,864). Sedangkan aspek variabel ketakutan akan kegagalan yang lebih mempengaruhi perilaku menyontek adalah aspek Perfectionist (6,24). g. Siswa laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan secara signifikan dalam hubungan locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek.
PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa : a. Ada hubungan yang sangat signifikan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek. Artinya variabel locus of control dan ketakutan akan kegagalan secara bersama-sama dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksikan perilaku menyontek. b. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara locus of control dengan perilaku menyontek. Semakin tinggi locus of control, maka semakin tinggi perilaku menyontek, begitu sebaliknya. c. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek. Semakin tinggi ketakutan akan kegagalan, maka semakin tinggi perilaku menyontek, begitu sebaliknya. d. Subjek penelitian memiliki locus of control yang tergolong sangat rendah, dimana rerata empirik locus of control yang lebih kecil dari pada rerata hipotetik
2. Saran-Saran Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian beberapa saran yang penulis berikan adalah : a. Bagi Guru BK dan Guru mata pelajaran, diharapkan menjadi
8
fasilitator yang ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan menciptakan suasana yang aman untuk siswa, bukan menjadi pemimpin yang harus diikuti dan ditakuti. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat menyelami alam pikir siswa sehingga mampu mendorong siswa untuk berkembang, mampu menerima kesalahan siswa dan menuntun siswa untuk memperbaiki kesalahan. Serta bisa menjadi inspirator segala bentuk akhlak yang baik. b. Bagi Orang Tua, diharapkan memberikan waktu istirahat untuk anak, sebab kondisi anak yang dipaksa belajar dari sekolah sampai mengikuti bimbingan belajar membuat anak akan menjadi jenuh dalam belajar, kehilangan semangat belajar, dan kemampuan siswa yang semakin menurun. Hal ini biasa disebut doghwnshifting. Ketergantungan anak pada bimbingan belajar juga akan menghilangkan fungsi orang tua untuk mendidik moral anak di luar jam sekolah. c. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian yang serupa dengan mempelajari kelemahankelemahan dalam penelitian ini, misalnya keterbatasan peneliti yang tidak memperhitungkan interaksi guru dan siswa, pengawasan saat ujian serta pola asuh yang mungkin bisa mempengaruhi perilaku menyontek siswa. ataupun dengan mengembangkan penelitian ini dengan dilatarbelakangi oleh faktor-
faktor yang belum disebutkan, sehingga penemuan selanjutnya dapat dijadikan perbandingan dari hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aditomo, A & Retnowati, S. 2004. Perfeksionisme, harga diri, dan kecenderungan depresi pada remaja akhir. Jurnal Psikologi; 1, 1-14. Andriati, K. 2009. Peran selfefficacy, self-esteem, internal locus of control, problem solving, dan forgiveneess terhadap kecenderungan neurosis pada perawat. Tesis. Surakarta: Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Azwar, S. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chatib, M. 2012. Orangtuannya Manusia (Melejitkan Potensi dan Kecerdasan Dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak). Bandung: PT Mizan Pustaka. Damayanti, N. 2008. Pengaruh kompetensi guru, ketakutan akan kegagalan, dan self efficacy terhadap motivasi belajar matematika. Masters thesis, Unika Soegijapranata. Elison, J & Patridge, J.A. 2012. Relationship between shamecoping, fear of failure, and perfectionism in college
9
athletes. Journal of Hebavior; 35 (1), 19.
Sport
Hume, E.C & Smith, A. 2006. University Student Ethics: The differential explanatory effect of locus of control. Academy of Educational Leadership Journal; 10 (3), 49.
Etter, S., Cramer, J.J., & Finn, S. 2006. Origins of academic dishonesty: ethical orientations and persionality factor associated with attitudes about cheating with information technology. Journal of Research on Technology in Education; 3992, 133-155.
Jahja, A.S. 2007. Integritas akademik dalam membangun sdm profesional di pengguruan tinggi: Kasus academic dishonesty stie perbanas. Jurnal Ilmu Pendidikan; 14 (1), 46-61.
Gino, F., Ayal, S., & Ariely, D. 2009. Contagion and differentiation in unethical behavior: The effect of one bad apple on the barrel. psychological Science; 20, 393–398.
Lantara, N.F. 2012. The effect of woman leadership style and organizational culture on locus of control, work achievement, and work satisfaction of employee. Journal of Public Admnistration and Governance; 2 (4), 21617104.
Halpert, Rita & Hill, Russ. 2011. 28 Measures of Locus of Control.
Lestari, Rizki. 2013. Hubungan antara konformitas kelompok dan pengaturan diri dalam belajar dengan perilaku menyontek. Tesis. Surakarta: Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hard, S. F., J. M. Conway, and A. C. Moran. 2006. Faculty and college student beliefs about the frequency of student academic misconduct. Journal of Higher Education; 77 (6), 1058–80.
Marsden, H., Carroll, M., & Neill, J. 2005. Who cheats at university? A self-report study of dishonest academic behaviours in a sample of Australian university students. Australian Journal of Psychology; 57 (1), 1-10.
Heller, R. 2008. Seri Maestro Bisnis: Andrew Grove Ed. 2 (Inovator yang Mentodenya Melejitkan Revolusi Industri Berteknologi Tinggi). Jakarta. Erlangga. Hendra, H. 2012. Hubungan antara efikasi diri dan orientasi akademik dengan perilaku menyontek siswa pada mata pelajaran matematika. Tesis. Surakarta: Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mazar, N., Amir, O., & Ariely, D. 2008. The dishonesty of honest people: a theory of self-concept maintenance. Journal of Marketing Research; 45, 633634.
10
Munir, S & Sajid, M. 2010. Examining locus of control (loc) as a determinant of organizational commitment among university professors in pakistan. Journal of Bisiness Studies Quarterly; 1 (3), 78-93.
Stone, T.H., Jawahar, I.M & Kisamore, J.L. 2010. Predicting academic misconduct intentions and behavior using the theory of planned behavior and personality. Basic and Applied Social Psychology; 32, 35-45.
Murdock, T.B & Anderman, E.M. 2006. Motivational perspectives on student cheating: Toward an integrated model of academic dishonesty. Educational Psychologist; 41 (3), 129-145.
Strom, P & Strom, R. (2007). Cheating in middle school and high school. Educational Forum. Retrieved from Education Research Complete database; 71 (2), 104-116.
Nora, W.L.Y & Zhang, K.C. 2010. Motives of cheating among secandary students: The role of slef-efficacy and peer influence. Asia Pacific Educational; 11, 573-584.
Underwood, J & Szabo, A. 2003. Academic offences and elearning: Individual propensities in cheating. British Journal of Educational Technology; 34 (4), 467-477.
Sari, I., Marjohan., & Neviyarni. 2013. Locus of control dan perilaku menyontek serta implikasinya terhadap bimbingan dan konseling (studi pada siswa sekolah menengah atas padang ganting). Jurnal Ilmiah Konseling; 2, 267-272.
Wideman, M.A. 2008. academic in postsecondary education: A literature review. Transformative Dialogues: Teaching & Learning Journal; 2 (1). Winkel, W.S. 2009. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Jakarta Media Abadi.
Sarterlee, A.G. 2002. Academic dishonesty among students: Consequences and interventions. Retrieved from the ERIC Document Reproduction Service No. ED 469-468. Shon, P.C.H.. 2006. How College Students Cheat On In-Class Examinations: Creativity, Strain, and Techniques of Innovation. Ann Arbor, MI: MPublishing, University of Michigan Library; 1.
11