Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah: Urgensi Akuntabilitas Laporan Keuangan Oleh: Marratu Fahri Abstract Mariana and Paskarina (2008), mention that democratic accountability assumes that government has to be responsible to people who have given mandate to government. There are two kinds of accountability. The first is internal accountability that is given by second party, the ones who give authority to government and financial support. The second is external accountability. It is a responsibility to those who are the target in government’s policy. Key words: Government, accountability, policy, financial
Pendahuluan Akuntabilitas mestinya berlaku untuk semua bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publiknya. Terlebih lagi untuk pertanggungjawaban keuangan negara hal mana mencerminkan semua aktivitas pemerintah dalam menjalankan roda kehidupan negara. Bentuk pertanggungjawaban keuangan negara dapat dilihat secara nyata oleh publik dalam laporan keuangan negara yang dikeluarkan. Dengan demikian publik diharapkan mampu menilai apakah pertanggungjawaban keuangan sebagaimana terlihat dalam laporan keuangan tersebut layak diterima atau tidak. Laporan keuangan merupakan suatu hasil dari proses akuntansi untuk suatu periode tertentu. Agar suatu laporan keuangan negara dapat dinilai oleh publik maka diperlukan suatu standar akuntansi yang dapat digunakan sebagai dasar penilaiannya. Dengan adanya standar akuntasi yang baik, laporan keuangan menjadi lebih berguna, dapat diperbandingkan, tidak menyesatkan dan dapat menciptakan transparansi. Di samping itu, laporan keuangan agar dapat dikatakan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan maka haruslah bersifat menyeluruh sehinga mengungkap semua sumber-sumber yang dimiliki maupun digunakan dalam aktivitas atau kegiatan yang dilakukan. Dari paparan latar belakang tersebut terdapat dua permasalahan mendasar berkaitan dengan laporan keuangan yang secara otomatis terkait pula dengan proses penyusunan laporan keungan tersebut, maupun bentuk laporan keuangan yang dihasilkan, yakni: Pertama, diperlukannya standar akuntansi yang mengatur proses maupun bentuk laporan keuangan sesuai dengan yang berlaku umum. Kedua, bagaimana laporan keuangan yang disusun tersebut mampu menggambarkan semua potensi, posisi dan kondisi keuangan negara yang sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan singkat ini hendak mengkaji tentang urgensi akuntabilitas laporan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks mewujudkan clean government dan good governance di era otonomi daerah.
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
59
Marratu Fahri; 59 - 63
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Pengertian Hubungan Keuangan Pusat-Daerah K.J. Davey, sebagaimana dikutip Yuswanto (2010), bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah menyangkut pembagian tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai perimbangan antara berbagai pembagian, di samping itu antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah dapat sesuai. Lebih lanjut dikatakan K.J. Davey, intisari dari hubungan pusat-daerah adalah menyangkut pembagian kekuasaan; tentang hak mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah termasuk bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Hubungan tersebut mencerminkan tujuan politik yang mendasar karena perannya menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemda dalam seluruh sistem pemerintahan dalam mana hubungan itu harus serasi (harmonis) dengan peranan yang dimainkan pemda yang bersangkutan. Adapun tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah, meliputi; pertama, pembagian kekuasaan yang rasional antarberbagai tingkatan pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintah, yakni suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi. Kedua, bagian yang memadai dari sumber-sumber dana secara keseluruhan untuk membiyai pelaksanaan fungsi-fungsi, penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah. Ketiga, pembagian yang adil antardaerah atas pengeluaran pemerintah, atau sekurangkurangnya ada perkembangan ke arah itu. Dan, keempat, suatu upaya perpajakan (tax effort) dalam memungut pajak dan distribusi oleh pemda yang sesuai dengan pembagian yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, di negara manapun, dalam pandangan Yana Ekana (2010), selalu ada campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintahan yang dalam pecaturan ekonomi negaranya berperan semata-mata sebagai ”wasit” atau ”polisi”, yang hanya berfungsi membuat undang-undang dan peraturan, untuk kemudian menjadi pelerai jika timbul masalah. Tidak ada satu perekonomian pun, termasuk negara maju, bebas dari intervensi pemerintahnya. Dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dipilah menjadi empat macam, yakni : 1) Peran alokatif, yakni peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi; 2) Peran distributif, yakni peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya, kesempatan dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar; 3) Peran stabilatif, peran pemerintah dalam memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam disequibilirium, dan; 4) Peran dinamisatif, peran pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih capat tumbuh, berkembang dan maju.
60
Marratu Fahri; 59 - 63
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, efisien, dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan: a) potensi b) kondisi c) kebutuhan daerah d) besaran-besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah sebagaimana tercantum dalam UU No.33 Tahun 2004, dimaksudkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah. Termasuk dalam hal ini adalah perimbangan dalam kebijakan fiskal. Prinsip perimbngan fiskal sebagaimana tercantum dalam UU No.33 Tahun 2004 pasal 2 mencakup tiga hal: Pertama, perimbangan keuangan subsistem pembagian wewenang (Money follow functions). Kedua, desentralisasi fiskal memerhatikan stabilitas dan keseimbangan. Ketiga, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Dana perimbangan dimaksud tadi terdiri atas: a) Dana Bagi Hasil; b) Dana Alokasi Umum (DAU), dan; c) Dana Alokasi Khusus. Tabel 1. Komposisi Dana Perimbangan Jenis Dana Alokasi Umum Alokasi Khusus Bagi Hasil
Pusat (%) 3 60 58
Daerah (%) 97 40 42
Sumber : Ditjen Anggaran Depkeu
Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam . Sumber penerimaan pajak terdiri dari: a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b) Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan; c) Pajak Penghasilan (PPH 25 dan 29) dan PPh 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari : a) Kehutanan; b) Pertambangan Umum; c) Perikanan; d) Pertambangan Minyak Bumi, dan; e) Pertambangan Gas Bumi. Proporsi bagi hasil sumber daya alam antara daerah dengan pusat berbeda untuk setiap jenis SDA, sebagaimana ditunjukkan tabel di bawah ini : Tabel 2. Proporsi Bagi Hasil SDA Antara Pusat dan Daerah Sumber Daya Alam HPH & PSDH Dana Reboisasi Pertambangan Umum Perikanan (dari nasional) Minyak Bumi (hsl bersih) Gas Bumi (hasil bersih) Panas Bumi
Nasional (%) 20 60 20 20 84,5 69,5 20
Daerah (%) 80 40 80 80 15,5 30,5 80
Sumber : Joe Fernandez, 2006
61
Marratu Fahri; 59 - 63
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Akuntabilitas Laporan Keuangan Negara Setiap Produk kebijakan yang dibuat pemerintah sesungguhnya harus dikembalikan dikembalikan pada publik untuk menilainya. Di antara berbagai kebijakan pemerintah dengan segala produknya itu, hal yang paling penting adalah berkaitan dengan anggaran karena melalui itulah segala macam pemenuhan kebutuhan masyarakat mendapat legitimasinya (Mariana dan Paskarina, 2008:53). Pertanggungjawaban keuangan negara tercermin dalam Perhitungan Anggaran Negara (PAN) maupun Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (PAPBD), di dalam jenis kedua pertanggungjawaban keuangan itu, prinsip kas telah digunakan oleh pemerintah sebagai dasar untuk mengakui pendapatan belanja. Dalam prinsip kas, pendapatan diakui pada saat dikeluarkan pada Kas Umum Negara dan belanja diakui pada saat dikeluarkan dan kas umum negara. Standard akuntansi keuangan sektor publik merupakan salah satu prasarana yang perlu dan seharusnya dipersiapkan dalam mempercepat proses transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan negara, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Saat ini usaha untuk menciptakan suatu standar akuntansi keuangan untuk sektor publik telah dilaksanakan dan metode akuntansi yang dipilih adalah dasar akrual. Dengan dasar ini laporan keuangan diharapkan mampu memberikan informasi kepada para pemakai baik mengenai transaksi masa lalu yang melibatkan pembayaran dan penerimaan kas maupun kewajiban pembayaran kas di masa datang serta sumber dana yang menyajikan kas yang akan diterima di masa mendatang. Selain itu dengan adanya standar akuntansi sektor publik diharapkan laporan keuangan yang dihasilkan oleh pemerintah dapat lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan karena publik dapat melakukan penilaian atas laporan keuangan tersebut apakah telah sesuai standar yang telah ditentukan atau belum. Adanya standar akuntansi sektor publik ini sejalan pula dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah terutama pasal 35 yang menyebutkan bahwa penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku. Sementara pasal 38 menyebutkan bahwa Kepala Daerah menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang terdiri atas laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah, nota perhitungan APBD, laporan aliran kas dan neraca daerah. Dalam kaitan ini, lahirnya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebelumnya, semestinya menjadi langkah awal untuk membangun komitmen bersama ke arah sistem keuangan daerah yang lebih akuntabel. Pemberlakuan kedua UU ini seiring dengan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan negara menegakkan bahwa pengelolaan keuangan merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah utnuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yakni bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan 62
Marratu Fahri; 59 - 63
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yakni dalam Undang-undang mengenai pemerintahan daerah. Disusunnya standar akuntansi sektor publik maka salah satu permasalahan yang berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan suatu laporan keuangan negara yang transparan dan akuntabel telah mulai dilaksanakan. Permasalahan kedua berkaitan dengan usaha mewujudkan transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan negara adalah upaya untuk menghasilkan suatu laporan keuangan pemerintah yang komprehensif, secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak parsial ataupun terpisah-pisah antara pusat dan daerah. Penutup Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah menyangkut pembagian tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatankegiatan tersebut. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah sebagaimana tercantum dalam UU No.33 Tahun 2004, dimaksudkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah. Setiap Produk kebijakan yang dibuat pemerintah sesungguhnya harus dikembalikan pada publik untuk menilainya. Di antara berbagai kebijakan pemerintah dengan segala produknya itu, hal yang paling penting adalah berkaitan dengan anggaran karena melalui itulah segala macam pemenuhan kebutuhan masyarakat mendapat legitimasinya. Standard akuntansi keuangan sektor publik merupakan salah satu prasarana yang perlu dalam mempercepat proses transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan negara, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Dengan demikian, segala bentuk tindakan penyelewangan keuangan negara baik di tingkat pusat maupun di daerah dapat hindari atau sekurang-kurangnya dapat dieliminir. Dus, program pembangunan demi peningkatan kesejahteraan rakyat (baca: pelayanan publik) dapat berjalan efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Mubarak, M. Zaki, dkk. (ed). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa Mariana, Dede, dan Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Wiratma, I Made, dkk. 2007. Membangun Indonesia dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Jakarta : CSIS Ekana.PS, Yana. 2010. ”Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah Di Indonesia”. Bahan Diskusi Mata Kuliah Analisis Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Bandar Lampung: FISIP UNILA Yuswanto. 2010. ”Pengertian Hubungan Pusat Keuangan”. Bahan Ajar Mata Kuliah Analisis Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Bandar Lampung: PPs MIP FISIP UNILA
63
Marratu Fahri; 59 - 63