SELF DISCLOSURE OF RELATIONSHIPS WITH LONELY AT THE STUDENTS STAY IN PLACE WANDER KOST
Sitta Yuhana Undergraduate Program, Faculty of Psychology Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id
Keywords: Self-Disclosure, Loneliness, Overseas Students
ABSTRACT Most students living in the boarding house with the consideration that the proximity of shelter with the campus became the main reason. Living in a boarding house to make their relationship with family and friends and more distant, it can trigger a sense of loneliness. It required a new relationship in which open themselves needed in the process of establishing a more intimate relationship. The purpose of this study was to determine whether there is a relationship between self-disclosure with the students wander lonely living in a boarding place. The results showed that there is a negative significance between self-disclosure to loneliness in overseas students living in a boarding place. Also known R square of 0.211, which means self-disclosure contributes by 21.1% relative to the lonely. In addition, subjects in this study have averaged self-disclosure of the loneliness that is rated below average.
1
HUBUNGAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KESEPIAN PADA MAHASISWA MERANTAU YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST
Sitta Yuhana Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Abstrak Sebagian besar mahasiswa tinggal di tempat kost dengan pertimbangan bahwa kedekatan tempat bernaung dengan kampus menjadi alasan utama. Tinggal di tempat kost membuat hubungan mereka dengan keluarga dan teman lama semakin jauh, hal tersebut dapat memicu rasa kesepian. Untuk itu diperlukan hubungan baru dimana kerterbukaan diri diperlukan dalam proses menjalin hubungan yang lebih akrab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat signifikansi negatif antara keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Juga diketahui R square sebesar 0,211 yang berarti keterbukaan diri memberi sumbangan relatif sebesar 21,1% terhadap kesepian. Selain itu, subjek dalam penelitian ini memiliki keterbukaan diri dirata-rata atas dengan kesepian yang tergolong rata-rata bawah. Kata Kunci : Keterbukaan Diri, Kesepian, Mahasiswa Merantau
Pengantar Bagi sebagian besar mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga harus berpindah tempat dari tinggal bersama orang tua, menjadi tinggal bersama dengan orang lain, entah itu kost, kontrakan atau tinggal bersama saudara. Mencari teman yang cocok bukanlah hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman kuliah maupun di tempat sekitar tinggal biasanya juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Gagal mendapatkan teman yang sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian (Siswanto, 2007). Erikson, Freud & Sullivan (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengungkapkan bahwa umumnya remaja dan dewasa awal merupakan tahapan transisi yang sulit. Salah satu aspek penting dari transisi menuju dewasa adalah membentuk hubungan sosial orang dewasa. Pemuda menghadapi sejumlah besar transisi sosial, seperti meninggalkan rumah, hidup mandiri, memasuki
2
perguruan tinggi atau menerima pekerjaan, yang kesemuanya itu menimbulkan kesepian (Sears, Freedman & Peplau, 1994). Baron dan Byrne (1997) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan emosional yang berdasarkan dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang dekat tetapi tidak bisa mendapatkannya. Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hilangnya ciriciri tersebut bisa bersifat kuantitatif, yaitu mungkin tidak mempunyai teman, atau hanya mempunyai sedikit teman. Tetapi kekurangan itu dapat juga bersifat kulitatif, yaitu kita mungkin merasa hubungan kita dangkal, atau kurang memuaskan dibandingkan apa yang kita harapkan. Jones (dalam Peplau dan Perlman, 1982) menyebutkan bahwa orang yang kesepian pada umumnya menunjukkan pola pengungkapan diri yang tertutup atau kurang intim. Menurut Darlega dan Grzelak (dalam Peplau dan Perlman, 1982) timbulnya keintiman bergantung dari keterbukaan diri. Pearson (1983) menjelaskan bahwa terdapat beberapa keuntungan yang didapat secara langsung dari keterbukaan diri, keuntungan tersebut antara lain adalah seseorang akan lebih dapat memahami dan menerima dirinya sendiri, juga lebih dapat menerima dan memahami orang lain sehingga dapat mengembangkan hubungan yang lebih mendalam dan berarti. Jones (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa diantara siswa perguruan tinggi, kesepian berhubungan dengan tanda umum dari keterampilan sosial dan fungsi sosial termasuk kecenderungan berafiliasi dan sosialisasi serta kurang intimnya keterbukaan diri. Keterbukaan diri merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam interaksi sosial. Individu yang terampil melakukan keterbukaan diri mempunyai ciri-ciri yakni memiliki rasa tertarik kepada orang lain daripada mereka yang kurang terbuka, percaya diri sendiri, dan percaya pada orang lain (Taylor & Belgrave, 1986; Johnson, 1990). Menurut Miyer (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1994) keterbukaan diri sangat menguntungkan bagi dua orang yang melakukan hubungan keakraban, seperti antar teman, kenalan, keluarga atau saudara lain. Hubungan yang akrab akan menumbuhkan rasa kasih sayang, dan kepercayaan antar individu. Namun Sears, Freedman dan Peplau (1994) mengatakan bila seseorang merasa kehilangan hubungan yang dekat, kurang adanya perhatian satu dengan yang lain, meskipun ia berinteraksi dengan orang banyak, dia akan merasa kesepian. Penelitian yang dilakukan oleh Solano, Batten dan Parish (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1994) menyatakan bahwa mahasiswa yang kesepian biasanya memiliki pola pengungkapan diri yang tidak wajar, mencurahkan isi hati kepada seseorang yang baru saja dikenal atau mengungkapkan hal yang luar biasa sedikit tentang dirinya sendiri. Para 3
peneliti menyatakan bahwa tingkat pengungkapan yang tidak tepat ini bisa mengganggu pengembangan hubungan yang akrab. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada hubungan antara keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Hubungannya berarah negative, dimana jika keterbukaan diri pada mahasiswa tinggi maka kesepian yang dialaminya menurun. Sebaliknya, jika keterbukaan dirinya rendah maka ia mengalami kesepian yang tinggi.
Dasar Teori 1. Pengertian Keterbukaan diri Morton (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1994) menyebutkan, keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Keterbukaan diri sendiri dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Dalam keterbukaan diri deskriptif, seseorang melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya yang mungkin belum diketahui oleh pendengar (misalnya tentang pekerjaan, tempat tinggalnya, partai yang ia dukung pada pemilihan umum baru-baru ini, dan sebagainya). Sedangkan dalam keterbukaan diri evaluatif, seseorang mengemukakan pendapat atau perasaan pribadi (misalnya “kecemasan karena terlalu gemuk”, “tidak suka bangun pagi” dan lain sebagainya). Selain itu Pearson (1983) mengartikan keterbukaan diri sebagai komunikasi dimana seseorang dengan sukarela dan sengaja memberitahukan orang lain mengenai dirinya secara akurat, yang tidak dapat orang lain dapatkan atau ketahui dari pihak lain. Jika seseorang secara terpaksa memberitahukan dirinya secara detail kepada orang lain, maka hal ini tidak dapat dianggap sebagai keterbukaan diri karena yang termasuk keterbukaan diri adalah setiap informasi yang ditentukan oleh seseorang untuk dibagi kepada orang lain secara sukarela. Selain itu, keterbukaan diri adalah kesengajaan dan bukan kebetulan. Yang berarti, keterbukaan diri termasuk pernyataan yang disengaja yang dipilih untuk diberitahukan kepada orang lain. Keterbukaan diri juga merupakan keakuratan informasi mengenai dirinya sendiri. Selanjutnya, definisi keterbukaan diri yang dijelaskan oleh Pearson (1983) tidak termasuk informasi yang tidak jujur seperti kebohongan mengenai diri sendiri, bermaksud untuk menyembunyikan diri yang sebenarnya, atau informasi yang menyimpang dari dirinya agar terlihat baik.
4
Derlega (1993) mendefinisikan keterbukaan diri sebagai sesuatu yang individu ungkapkan secara verbal mengenai diri sendiri kepada orang lain, termasuk pikiran, perasaan dan pengalaman. Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi informasi secara verbal mengenai diri sendiri baik perasaan, pikiran dan pengalaman yang diberitahukan kepada orang lain serta dilakukan secara akurat, sengaja dan sukarela. Menurut Pearson (1983) keterbukaan diri memiliki beberapa dimensi, yaitu a. Jumlah (Amount) Keterbukaan diri dapat diuji dengan jumlah total seberapa banyak seseorang terbuka. Setiap orang tidak terbuka dalam jumlah informasi yang sama tentang dirinya. Ada orang yang sama sekali tidak terbuka mengenai dirinya dan ada orang lain yang memberitahukan semua pengalaman masa lalunya, keadaannya yang sekarang dan tujuan masa depannya. Literatur mengenai keterbukaan diri tidak menyediakan jawaban yang menentukan mengenai jumlah keterbukaan diri yang diharapkan; sebagai gantinya, penelitian sebelumnya menyarankan bahwa keterbukaan diri haruslah berbalasan (reciprocal). Ketika seseorang berbicara dengan orang yang banyak berbicara mengenai dirinya, orang tersebut juga akan merasa bebas untuk terbuka mengenai dirinya. Sebaliknya jika lawan bicara merasa enggan untuk membagi informasi mengenai dirinya maka kita juga akan berhati-hati dalam berbicara. Secara umum, jika keterbukaan diri seseorang meningkat, begitu juga dengan keterbukaan diri lawan bicaranya. Pola yang berbalasan ini akan muncul secara stabil dan dapat terbangun dalam interaksi selama lima menit pertama. b. Positive/Negative Nature Keterbukaan diri bermacam-macam sifatnya ada yang positif atau negatif. Sifat yang positif meliputi pernyataan mengenai diri sendiri yang dapat dikategorikan sebagai pujian. Sifat yang negatif adalah pernyataan yang secara kritis mengevaluasi mengenai diri sendiri. Salah satu contoh dari sifat positif keterbukaan diri adalah “saya merasa senang – berat badan saya turun tiga kilo selama seminggu” sementara contoh dari sifat negatif keterbukaan diri adalah “saya berharap saya memiliki kekuatan yang lebih - karena saya belum berhasil melakukan diet”, namun tidaklah selalu mudah untuk mengkategorikan keterbukaan diri sebagai positif atau negatif.
5
Keterbukaan diri yang negatif itu sendiri jika dilakukan secara ekstrim dapat memberikan masalah bagi orang lain. c. Kedalaman Keterbukaan diri bisa dalam atau dangkal. Membicarakan mengenai aspek diri sendiri dimana hal tersebut adalah unik dan menyebabkan diri menjadi lebih transparan termasuk mengenai tujuan yang spesifik dalam hidup dan keintiman yang dirasakan dalam hidup, adalah keterbukaan diri yang dalam. Sedangkan, keterbukaan diri yang dangkal termasuk pernyataan mengenai diri sendiri yang hanya menunjukkan permukaan saja dan tidak intim (seperti makanan kesukaan, dan lain sebagainya). d. Waktu Keterbukaan diri juga dapat diuji kaitannya dengan waktu yang terjadi dalam suatu hubungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan diri yang baik terjadi dengan orang asing dan pada awal langkah hubungan, lebih sedikit terjadi pada pertengahan hubungan, dan keterbukaan diri meningkat pada waktu hubungan tersebut juga meningkat. e. Lawan Bicara Orang yang menjadi target keterbukaan diri adalah orang yang kepada siapa seseorang ingin membuka diri. Seperti terbuka pada pasangan ketika menikah, pada orang yang menjadi teman kencan, atau teman yang berjenis kelamin sama. Orang yang kepada siapa seseorang ingin membuka diri adalah penting dan dimensi akhir yang harus dilihat. Terdapat empat kategori orang yang dapat menjadi lawan bicara yaitu 1) teman akrab yang sangat memperhatikan dan berhubungan dengannya, 2) orang yang jarang berhubungan dengannya namun memiliki hubungan yang sedang berjalan, seperti memiliki tugas bersama, atau membicarakan topik yang sedang didiskusikan, 3) pendengar yang sama sekali tidak memiliki hubungan, dan terjadi keterbukaan diri karena baru berkenalan, 4) terakhir, adalah orang lain yang tidak berhubungan sama sekali dan menerima keterbukaan seseorang tanpa adanya permohonan yang dibuat. 2. Pengertian Kesepian Kesepian menurut Deux, dkk (1993) didefinisikan sebagai suatu pengalaman subjektif yang tergantung bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa. Adakalanya seseorang mengalami kesepian meskipun seorang diri. 6
Sedangkan menurut Bruno (2000), kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang negatif ditandai terutama oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Selain itu, kesepian dapat diartikan sebagai bertambahnya ketidaktenangan pengalaman yang berhubungan dengan tidak tepatnya pelampiasan untuk berhubungan dengan sesama manusia untuk berhubungan perorangan (Sullivan dalam Peplau & Perlman, 1982). Kesepian tidak disebabkan sendirian tetapi disebabkan oleh keadaan tanpa kepastian akan hubungan persahabatan. Kesepian datang sebagai akibat dari ketiadaan suatu jenis hubungan, atau lebih tepatnya yang bersifat khusus (Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982). Kesepian juga ketidaksesuaian pengalaman antara jenis hubungan yang sedang dialami seseorang pada saat itu, dan jenis hubungan yang ingin didapatkan, dipengaruhi juga oleh pengalaman masa lampau atau suatu tahap ideal yang belum pernah dialami sebelumnya (Sermat dalam Peplau & Perlman, 1982). Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan bahwa kesepian merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, yang terjadi saat hubungan sosial seseorang menurun dalam beberapa hal yang penting, baik itu dalam kuantitas ataupun kualitas. Definisi lain tentang kesepian diungkap pula oleh Gordon (dalam Peplau & Perlman, 1982), bahwa kesepian merupakan perasaan tidak enak yang disebabkan oleh kekosongan akan suatu hubungan, rasa seolah ada yang kurang. Dan sejak timbul harapan untuk mengisi kekosongan, kesepian dapat disebut juga sebagai kebutuhan akan suatu hubungan khusus yang terpenuhi. Baron dan Byrne (1997) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan emosional yang berdasarkan dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang dekat tetapi tidak bisa mendapatkannya. Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subjektif, keadaan mental dan emosional yang negatif, perasaan tidak enak yang disebabkan oleh kekosongan akan suatu hubungan serta hubungan sosial yang menurun dalam beberapa hal yang penting, baik itu dalam kuantitas ataupun kualitas. Peplau dan Perlman (1982) menggolongkan manifestasi pengalaman kesepian ke dalam lima aspek, yaitu afektif, motivasional, kognitif, tingkah laku, serta aspek medis-sosial. Kelima aspek manifestasi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
7
a. Manifestasi Afektif Kesepian diasosiasikan dengan emosi-emosi negatif seperti tertekan, sedih, cemas, tidak bahagia dan tidak puas. Berdasarkan suatu studi Russel, Peplau dan Ferguson (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan bahwa mahasiswa yang kesepian cenderung mudah marah, merasa canggung, merasa hampa dan terasing. b. Manifestasi Motivasional Kesepian diyakini dapat menurunkan motivasi seseorang. Sebuah studi oleh Perlman (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan bahwa orang yang kesepian cenderung memiliki pernyataan-pernyataan yang apatis dan pesimistis. Lebih lanjut Peplau dan Perlman (1982) mengemukankan bahwa kesepian bisa memiliki efek yang berbeda sesuai dengan perpektif waktu. Kesepian sesaat dapat menjadi pendorong motivasi, sedangkan kesepian yang berlangsung lama bisa membuat seseorang frustasi. c. Manifestasi Kognitif Beberapa bukti menunjukkan bahwa orang yang kesepian lebih sulit berkonsentrasi atau memfokuskan perhatiannya secara afektif (Perlman dalam Peplau dan Perlman, 1982). Mereka yang kesepian juga cenderung terfokus atau sangat memperhatikan segala detail keadaan dirinya sendiri (self-focused) serta sangat berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang kesepian umumnya kurang percaya terhadap orang lain, mengevaluasi diri sendiri secara negatif, menganggap orang lain juga menilai dirinya secara negatif, cenderung menyalahkan dirinya sendiri serta cenderung bersikap sinis terhadap orang lain maupun dunia secara umum. d. Manifestasi Tingkah Laku Orang yang kesepian pada umumnya menunjukkan pola pengungkapan diri (self disclosure) yang tertutup atau kurang intim, memiliki kecenderungan berteman yang rendah dan kurang mampu mengekspresikan afeksi dan keterlibatan diri dengan orang lain. Selain itu tingkah laku orang yang kesepian sering kali merefleksikan fokus pada diri yang tinggi dibandingkan mereka yang tidak kesepian. Hal ini misalnya nampak dari perilakunya yang sedikit mengajukan pertanyaan ketika berkomunikasi dengan orang lain (Jones dalam Peplau dan Perlman, 1982). Peplau dan Perlman (1982) mengatakan bahwa orang yang kesepian biasanya lebih pemalu, menarik diri, enggan mengambil resiko dalam situasi-situasi sosial dan kurang asertif dalam berinterakasi dengan orang lain. 8
Mereka cenderung menghabiskan waktu dalam aktivitas soliter, memiliki sedikit pasangan untuk kencan dan hanya memiliki kenalan atau teman biasa dari pada sahabat dekat (Bell dalam Baron dan Byrne, 1996). e. Manifestasi Medis Sosial Beberapa bukti menunjukkan kesepian bisa dikaitkan dengan beberapa masalah kesehatan (Brenna dan Auslander dalam Peplau dan Perlman, 1982) antara lain, mereka yang kesepian menunjukkan beberapa gejala gangguan fisik seperti gangguan pola makan, pola tidur, sakit kepala atau mual-mual. Lynch (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan pula bahwa orang yang kesepian pada umumnya rapuh terhadap penyakit-penyakit fisik dan sering menggunakan berbagai layanan kesehatan secara berlebihan.
Subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah adalah mahasiswa tingkat pertama yang menyewa tempat hunian kost. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling nonprobabilitas yaitu sampling purposive (bertujuan) dimana terdapat penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel yang representatif dengan cara meliputi kelompokkelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya (Kerlinger, 1986). Deskripsi subjek dilakukan dengan membagi subjek yang berjumlah 60 orang menjadi beberapa kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, dan lamanya tinggal. Pada kelompok ini dibagi-bagi lagi berdasarkan sub-sub bagiannya. Pada deskripsi subjek berdasarkan usia terdiri dari 17-18 tahun, 19-20 tahun, lebih dari 21 tahun. Sedangkan pada deskripsi jenis kelamin terdiri dari pria dan wanita. Kemudian lamanya tinggal terdiri dari 1-4 bulan, 5-8 bulan, dan lebih dari 9 bulan. 1) Usia Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan usia, yaitu dari 60 subjek yang diteliti, subjek berusia 17 sampai 18 tahun memiliki prosentase 56,67% (N=34) dan subjek berusia 19 sampai 20 tahun memiliki prosentase 38,33% (N=23). Sedangkan subjek berusia lebih dari 21 tahun memiliki prosentase 5% (N=3). 2) Jenis Kelamin Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan jenis kelamin, yaitu dari 60 subjek yang diteliti, subjek berjenis kelamin pria memiliki prosentase 37% (N=22) dan wanita memiliki prosentase 63% (N=38).
9
3) Lamanya Tinggal Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan lamanya tinggal subjek di tempat kost, yaitu dari 60 subjek yang tinggal selama 1 sampai 4 bulan memiliki prosentase 35% (N=21) dan subjek yang tinggal selama 5 sampai 8 bulan memiliki prosentase 45% (N=27). Sedangkan subjek yang tinggal selama lebih dari 9 bulan memiliki prosentase 20% (N=12).
Metode penelitian Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah keterbukaan diri. Untuk mengukur tingkat keterbukaan diri seseorang digunakan alat ukur berupa skala keterbukaan diri yang berbentuk skala Likert dan disusun berdasarkan lima dimensi yang diungkapkan oleh Pearson (1983) yaitu jumlah (amount), positive/negative nature, kedalaman, lamanya waktu dan lawan bicara. Sedagkan variabel terikat (Y) adalah kesepian.
Variabel ini akan diukur
berdasarkan manifestasi pengalaman kesepian ke dalam lima aspek yang digolongkan oleh Peplau dan Perlman (1982) yaitu, afektif, motivasional, kognitif, tingkah laku dan medissosial. Pengujian validitas maupun reliabilitas, keduanya menggunakan bantuan program computer SPSS Ver 15.0 for windows. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi yaitu untuk mengetahui hubungan keterbukaan diri sebagai variabel bebas (X) dengan kesepian sebagai variabel terikat (Y). Dimana jika data kedua variabel dikatakan normal maka akan digunakan teknik anilis Product Moment dari Pearson. Namun jika data variabel tidak memenuhi syarat diatas, maka akan digunakan uji korelasi non parametrik dari Spearman rho.
Hasil Penelitian Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 Maret 2010, kepada 61 orang subjek penelitian. Eksemplar disebar kepada mahasiswa tingkat satu di Universitas Gunadarma Kampus G. Dari 61 angket yang disebar kepada subjek penelitian, hanya 60 angket yang dapat dianalisis karena sisa lainnya tidak diisi dengan lengkap. Pada skala kesepian, dari 40 item yang dianalisis diperoleh 32 item yang valid, sementara 8 item lainnya dinyatakan gugur. Korelasi skor total pada item-item valid bergerak antara 0,288 sampai 0,654. uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach diperoleh angka koefisien reliabilitas sebesar 0,879 berarti alat ukur tersebut dikatakan cukup tingkat 10
kepercayaannya. Sedangkan pada skala keterbukaan diri, dari item yang dianalisis diperoleh 25 item yang valid, sementara 15 item lainnya dinyatakan gugur. Korelasi skor total pada item-item valid bergerak antara 0,268 sampai 0,625. uji reliabilitas pada skala keterbukaan diperoleh angka koefisien reliabilitas sebesar 0,770 yang berarti alat ukur tersebut cukup sempurna tingkat kepercayaannya. Berdasarkan pengujian normalitas pada skala keterbukaan diri diperoleh signifikansi sebesar 0,200 pada Kolmogorov Smirnov (p > 0,05) dan Shapiro Wilk dengan signifikansi sebesar 0,412 (p > 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor keterbukaan diri pada subjek penelitian yang telah diambil, normal. Sedangkan pada variabel kesepian hasil signifikan sebesar 0,000 pada Kolmogorov Smirnov (p < 0,05) dan Shapiro Wilk dengan signifikansi 0,003 (p < 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor kesepian subjek penelitian yang telah diambil, tidak normal. Dari hasil pengujian regresi sederhana diperoleh nilai F sebesar 15,485 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05). Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa hubungan variabelvariabel di atas linear. Berdasarkan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan teknik uji korelasi Spearman rho, diperoleh koefisien korelasi sebesar -,425 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) diperoleh R square sebesar 0,211. Hal ini berarti terdapat korelasi keterbukaan diri secara signifikan terhadap kesepian dimana keterbukaan diri memberi sumbangan relatif sebesar 21,1% terhadap kesepian. Dari hasil tersebut terdapat hubungan negative antara keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost, hal ini berarti semakin tinggi keterbukaan diri maka akan semakin rendah kesepian yang dirasakan, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi ada hubungan keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost, diterima. Berdasarkan perhitungan pada skala kesepian dimana mean empirik memiliki skor sebesar 66,56 yang berada diantara MH – SDH < x ≤ MH + SDH (64 < x ≤ 96). Hal ini berarti secara umum subjek penelitian memiliki keterbukaan diri yang rata-rata. Sedangkan berdasarkan perhitungan skor skala keterbukaan diri memiliki mean empirik sebesar 70,56 yang berada diantara MH – SDH < x ≤ MH + SDH (49,9 < x ≤ 75,1). Hal ini berarti secara umum subjek penelitian memiliki keterbukaan diri yang rata-rata.
11
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman rho yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat hubungan arah negatif antara keterbukaan diri terhadap kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost dimana jika keterbukaan diri semakin tinggi maka akan diikuti dengan kesepian yang rendah, begitu
pula
sebaliknya.
Hal
ini
dikarenakan
keterbukaan
diri
berperan
dalam
mengembangkan suatu hubungan. Ketika seseorang membagi informasi mengenai dirinya, orang lain mendapatkan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik terhadap dirinya dan perilaku yang dimunculkannya sehingga apapun yang dilakukannya orang lain dapat memiliki penjelasan terhadap perilakunya tersebut. Sebaliknya, ketika seseorang tidak mengetahui mengenai orang lain dengan baik, ketika orang lain tidak melakukan keterbukaan diri, dan ketika ia hanya memiliki sedikit pemahaman terhadap orang lain terkadang ia akan menyimpulkan orang lain itu secara dangkal dan tidak menarik. Keterbukaan diri dapat membantu seseorang untuk memahami dan menghargai kompleksitas orang lain (Pearson, 1983). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa keterbukaan diri tergolong dalam rata-rata atas, ini disebabkan karena lamanya subjek tinggal di tempat kost. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pearson (1983) bahwa keterbukaan diri juga dapat diuji kaitannya dengan waktu yang terjadi dalam suatu hubungan. Durasi suatu hubungan mempengaruhi jumlah keterbukaan diri dan jenis keterbukaan diri yang muncul dengan tepat. Secara umum seseorang memulai dengan informasi yang tidak intim yang bersifat positif, netral, termasuk negatif. Mereka mengemukakan permulaan informasi dengan informasi negatif pada awalnya, diikuti dengan yang positif, kemudian netral. Menurut Darlega (1993) suatu hubungan berkembang seiring berjalannya waktu, demikian halnya dengan keterbukaan diri. Gagasan awal mengenai pengaruh waktu ini adalah bahwa kedalaman dan keluasan pesan akan selalu terus berkembang dan tiada berakhir. Individu akan mengungkapkan dirinya seiring berjalannya waktu dan bahwa hubungan akan berkembang terus, jadi keterbukaan diri senantiasa terus meningkat. Kesepian yang termasuk rata-rata bawah ini disebabkan kerena keterbukaan diri subjek yang telah berkembang. Menurut Altman dan Taylor (dalam Peplau dan Perlman, 1982) perkembangan persahabatan didasari atas kualiatas keterbukaan diri seperti komunikasi antar individu dengan meningkatkan lebih banyak informasi intim satu sama lain. Sejalan dengan perkembangan suatu hubungan dari yang dangkal sampai menjadi hubungan akrab, orang 12
akan semakin berani mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi tentang dirinya. Hubungan juga akan berubah dari sempit menjadi semakin luas, sejalan dengan waktu topik pembicaraan semakin banyak, kegiatan yang diikuti bersama makin beragam. Keterbukaan diri memberi sumbangan relatif sebesar 21,1 % terhadap kesepian. Keterbukaan diri dapat mempengaruhi kesepian karena menurut Peplau dan Perlman (1982) kesepian merupakan refleksi dari kurangnya dari kondisi atau sesuatu, sedangkan penawar kesepian meliputi kontak dengan orang lain, kedekatan dengan orang lain, hubungan yang berarti dan intimasi. Jourard, Darlega dan Chaikin (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengatakan bahwa intimasi adalah keterbukaan diri. Menurut Pearson (1983) makin banyak kita berbagi informasi dengan orang lain, maka kita akan makin mengerti mereka. Sama halnya semakin kita terbuka, semakin orang lain mengerti kita. Terdapat tiga keuntungan yang didapat dari kemampuan untuk terbuka, yaitu kita dapat mengembangkan pemahaman dan penerimaan diri kita, kita dapat mengembangkan pemahaman dan penerimaan orang lain serta kita juga dapat mengembangkan lebih dalam hubungan yang berarti. Sehingga intimasi dapat terjadi dan dapat terhindar dari kesepian (Peplau dan Perlman, 1982). Sisanya dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti penyesuaian diri yang dilakukan subjek selama dua semester. Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah orang yang dengan cepat mampu mengelola dirinya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Keberhasilan melakukan penyesuaian diri dalam menjalankan peranan sebagai mahasiswa akan mempengaruhi keberhasilan mereka selama menjalani studi maupun kehidupan selanjutnya (Siswanto, 2007). Mahasiswa memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengatasi kesepian
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan keterbukaan diri yang signifikan terhadap kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Hubungan tersebut bersifat negatif dimana jika keterbukaan diri dirasakan tinggi maka akan diikuti dengan kesepian yang rendah, begitu juga sebaliknya. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa subjek memiliki keterbukaan diri yang tergolong rata-rata atas dan kesepian yang berada pada rata-rata bawah. Disamping itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterbukaan diri memberikan sumbangan relatif sebesar 21,1% terhadap kesepian. Sisanya dapat dipengaruhi oleh faktor penyesuaian diri, harapan positif, kepribadian, optimisme, dan harga diri.
13
Referensi
Baron, R. A. & Byrne, D. (1994). Social psychology: Understanding humani interaction. New York: Simon & Schucter Inc. Derlega, V. J. & Margulis S. T. (1993). Self disclosure. New Bury Park: Sage Publication inc. Johnson, W. David. (1990). Reaching out; Interpersonal effectivenss and self actualization. Printice Internasionalin Jersey. Kerlinger, F. N. (1986). Asas-asas penelitian behavioral (3rd ed). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Pearson, J.C. (1983). Interpersonal communication: Clarity, confidence, concern. Illinois : Scott, Foresman and Company. Peplau, A. And Perlman, D. (1982). Loneliness: A source book of current theory, research and therapy. New york: John Wiley Interscience. Sears, D. O., Jonathan L. F., & Anne, L. P. (1994). Psikologi sosial. Jilid 1. Alih bahasa: Michael Adryanto, Savitri Soekrisno. Jakarta: Erlangga. Siswanto. (2007). Kesehatan mental: Konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
14