HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN
WAHYUNI LATIFAH SARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan adalah benar karya saya dengan arahan dari Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Wahyuni Latifah Sari NIM I34090107
ABSTRAK WAHYUNI LATIFAH SARI. Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan. Dibimbing oleh Aida Vitayala S. Hubeis. Isu kesenjangan gender di perusahaan menjadi hambatan bagi perempuan dalam praktik pengembangan karir. Kesempatan pengembangan karir dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan yang meliputi motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, dan motivasi berkuasa. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sejauh mana hubungan antara kesenjangan gender dengan kesempatan pengembangan karir serta hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang berdasarkan perspektif perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan gender di PT. Xkom seperti stereotipi, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Selain itu diketahui juga bahwa terdapat hubungan antara tingkat subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda dengan kesempatan pendidikan pelatihan. Kesempatan promosi diketahui memiliki hubungan dengan tingkat stereotipi, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Sedangkan kaitannya dengan motivasi kerja, hanya motivasi berprestasi yang memiliki hubungan dengan kesempatan pengembangan karir. Kata kunci: isu kesenjangan gender, kesempatan pengembangan karir, motivasi kerja
ABSTRACT WAHYUNI LATIFAH SARI. The Relation of Career Development Opportunity with Women’s Work Motivation. Supervised by Aida Vitayala S. Hubeis. Gender gap issues in the corporate can be a barrier for women in the practice of career development (education and training, promotion). Career development opportunities to increase employee motivation which include needs for achievment, affiliation, and power. This study was conducted to analyze the extent to which relations between gender issues with career development opportunities as well as relations between career development with women’s work motivation. Methods of research using qualitative and quantitative approaches are based on the perspective of women. The results showed that the persistence of gender issues in PT. Xkom corporate such as stereotypes, subordination, marginalization, and the double burden. In addition there is a relation between the level of subordination, marginalization, and the double burden of education and training oppurtunities. Promotion oppurtunities have a relations with the level of stereotypes, marginalization, subordination, and the double burden. While the terms of motivation, need for achievement only have a relation with career development opportunities. Keywords: gender issues, career development opportunities, work motivation
HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN
WAHYUNI LATIFAH SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan Nama : Wahyuni Latifah Sari NIM : I34090107
Disetujui oleh Dosen Pembimbing
Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis NIP. 19470928 197503 2 001
Diketahui oleh Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah kesempatan pengembangan karir perempuan, dengan judul Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan tingat isu kesenjangan gender terhadap kesempatan pengembangan karir perempuan serta melihat sejauh mana hubungan kesempatan pengembangan karir terhadap motivasi kerja perempuan. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan kepada penulis. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan PT. Xkom Jakarta terutama kepada karyawan perempuan yang telah bersedia menjadi responden dan Bapak MN dari pihak Human Resource yang telah membantu selama proses penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda Qotamal dan ibunda Idjanawati serta kakak (Einstein, Ella, Siddiq, Fiqry, Husnul) dan adik (Bagus), yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tak henti kepada penulis. Terimakasih juga disampaikan kepada sahabat (Umi, Titin, Dina, Ollin, Devi, Mella, Regina, Cintya, Yeni, Indah, Amatul, Kiki), rekan sepembimbingan (Resty), serta temanteman seperjuangan SKPM46 yang telah memberikan masukan, dukungan, dan motivasi yang sangat membantu dalam proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Agustus 2013 Wahyuni Latifah Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Konsep Gender Studi tentang Perempuan dan Pembangunan
Isu Kesenjangan Gender Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Kerja Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Konsep Pengembangan Karir Konsep Pendidikan dan Pelatihan Konsep Promosi Konsep Motivasi Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengambilan Sampel Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum PT. Xkom Sejarah PT. Xkom Struktur Organisasi PT. Xkom Visi, Misi, dan Tujuan PT. Xkom Kebijakan Pengembangan Karir Perusahaan Azas Pengembangan Karir Sarana dan Prasarana Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Syarat Promosi Karyawan Sarana Pendukung Promosi Profil Karyawan PT. Xkom Karakteristik Jenis Kelamin Karakteristik Usia Karakteristik Tingkat Pendidikan Karakteristik Status Pernikahan Karakteristik Lama Bekerja Karakteristik Jabatan
Halaman xi xi xi 1 1 3 3 4 5 5 6
7 9 11 12 13 13 15 16 16 18 19 23 23 23 23 24 24 26 26 26 27 28 29 29 29 30 30 30 30 31 31 32 32 32
ANALISIS DESKRIPTIF VARIABEL PENELITIAN Isu Kesenjangan Gender Tingkat Stereotipi Tingkat Subordinasi Tingkat Marginalisasi Tingkat Kekerasan Tingkat Beban Ganda Kesempatan Pengembangan Karir Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Kesempatan Promosi Motivasi Kerja Motivasi Berprestasi Motivasi Berafiliasi Motivasi Berkuasa ANALISIS HUBUNGAN TINGAT KESENJANGAN GENDER DENGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR Hubungan Tingat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan Tingat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Promosi Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Promosi Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Promosi Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Promosi Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Kesempatan Promosi Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Promosi ANALISIS HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Kerja Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berprestasi Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berafiliasi Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berkuasa Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Kerja Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berprestasi Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berafiliasi Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berkuasa
34 34 34 35 37 38 39 40 40 41 42 42 43 44 45 45 45 46 48 48 49 51 52 53 53 54 55 57 57 57 59 60 61 61 62 63
PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
65 65 65 66 68 79
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Halaman Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis 1 Kelamin, 2007-2011 Perbedaan gender dan seks 5 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan usia, 2013 32 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan tingkat 32 pendidikan, 2013 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan status 32 pernikahan, 2013 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan lama bekerja, 33 2013 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan jabatan, 2013 33 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat stereotipi, 34 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat 35 subordinasi, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat 37 marginalisasi, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat kekerasan, 38 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat beban 39 ganda, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan 40 pendidikan dan pelatihan, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan 41 promosi, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 42 berprestasi, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 43 berafiliasi, 2013 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 44 berkuasa, 2013 Hasil pengujian hubungan tingat kesenjangan gender dengan 46 kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 46 menurut tingkat stereotipi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 47 menurut tingkat subordinasi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 48 menurut tingkat marginalisasi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 49 menurut tingkat kekerasan, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 50 menurut tingkat beban ganda, 2013 Hasil pengujian hubungan tingat kesenjangan gender dengan 51 kesempatan promosi, 2013
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat stereotipi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat subordinasi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat marginalisasi, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat kekerasan, 2013 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat beban ganda, 2013 Hasil pengujian kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berkuasa menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Hasil pengujian kesempatan promosi dengan motivasi kerja, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat kesempatan promosi, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat kesempatan promosi, 2013 Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat kesempatan promosi, 2013
52 53 54 55 55 57 58 59 60 61 62 63 65
DAFTAR GAMBAR 1.
Halaman Kerangka pemikiran hubungan kesempatan pengembangan karir 17 dengan motivasi kerja perempuan
DAFTAR LAMPIRAN Lokasi Penelitian Struktur Organisasi Data Populasi Karyawan Perempuan Uji Korelasi Rank Spearman
Halaman 68 69 70 73
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri yang terus terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan akan tenaga kerja, sehingga membuka kesempatan bagi setiap orang untuk berpartisipasi di dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006-2011 dalam Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (2012) menunjukkan adanya peningkatan partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Indonesia. Data ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan laki-laki di bidang ketenagakerjaan jauh lebih besar dibandingkan dengan perempuan tetapi cenderung mengalami penurunan tiap tahunnya. Berbeda dengan TPAK perempuan, walaupun masih lebih kecil dibandingkan laki-laki tetapi telah mengalami peningkatan tiap tahunnya. peningkatan jumlah TPAK ini telah menunjukkan partisipasi perempuan di public domain semakin meluas. Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, 2007-2011 Tahun Laki-Laki Perempuan Total
2007 83.6 51.3 134.9
2008 83.6 51.3 134.9
2009 83.6 51.8 135.4
2010 83.3 52.5 135.8
2011 84.9 55.1 140.0
Sumber: BPS, Sakernas 2006-2011
Peningkatan jumlah partisipasi perempuan di dunia kerja secara kuantitatif kurang didukung oleh perbaikan secara kualitatif. Pada kenyataannya, sebagian besar perempuan bekerja pada kedudukan yang memberikan penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi jenjang kepangkatan, semakin sedikit perempuan yang mendudukinya. Umumnya perempuan yang bekerja di sektor formal menduduki posisi yang kurang penting. Perempuan sering ditempatkan di bagian front office perusahaan. Hal ini sering dikaitkan dengan kemampuan perempuan yang lebih terbatas, yang seringkali merupakan cerminan dari pendidikannya yang lebih rendah daripada laki-laki. Sedangkan laki-laki cenderung memegang posisi utama yang memiliki pertanggungjawaban yang lebih besar. Dapat dilihat bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal hanya bekerja untuk membantu urusan finansial keluarga bukan untuk peningkatan karir (Sedyono 1996). Penyalahartian gender sebagai jenis kelamin oleh masyarakat menyebabkan pembagian peran sering kali berdasarkan jenis kelamin. Pembagian peran ini dikategorikan dalam kelompok feminin dan maskulin. Laki-laki sebagai kepala keluarga bertanggung jawab terhadap urusan finansial keluarga. Sedangkan perempuan memiliki tanggung jawab domestik yang meliputi pemeliharaan dan pengasuhan anggota keluarga. Kebebasan perempuan yang masih terikat dengan norma-norma budaya dan agama menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan posisi atau jabatan yang lebih tinggi dari pria (fenomena glass-ceiling).
2
Perempuan yang bekerja di perusahaan dipandang kurang memiliki komitmen yang kuat terhadap perusahaan. Hal ini dikarenakan perempuan bekerja memikul beban ganda, selain harus bekerja di kantor mereka juga dituntut untuk tetap menjalankan tugas domestiknya. Sedyono (1996) menyatakan bahwa dilihat dari segi hukum, tidak ada kendala bagi perempuan untuk bekerja. Hal ini senada dengan pendapat Uli (2005) menyatakan bahwa sudah terdapat undang-undang yang membahas persamaan kedudukan dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Seperti UUD 1945 pada BAB X Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum sejak 1945. Ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam rangka menuju kepastian hukum, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita melalui UU No.7/Tahun 1984. Kendala perempuan di tempat kerja dapat berasal dari lingkungan kerja itu sendiri, menyangkut perlakuan yang diterima oleh perempuan bekerja. Mitos terkait gender role dan diskriminasi seksual oleh sosial budaya membentuk suatu pandangan yang meyakini bahwa laki-laki ditakdirkan sebagai makhluk yang statusnya lebih tinggi dari perempuan. Berbagai stereotipi tentang perempuan dapat dianggap bukan hanya mengecilkan kepentingan perempuan bekerja, tetapi juga menurunkan harkatnya sebagai manusia. Akibatnya dari berbagai pandangan tersebut adalah perlakuan diskriminatif, baik secara terang-terangan maupun terselubung, terhadap perempuan bekerja di sektor formal (Sedyono 1996). Bias gender yang terjadi di perusahaan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap produktivitas kerja perempuan sebaliknya stereotipi positif pada karyawan perempuan dapat meningkatkan performa mereka menjadi lebih kreatif. Selain itu, adanya segregasi vertikal yang mencolok antara perempuan dan lakilaki dalam dunia kerja berpotensi menimbulkan ketidakpuasan dan hilangnya motivasi yang berpotensi menurunkan produktivitas kerja (Dhania 2010). Hal-hal tersebut menjadi hambatan bagi perempuan bekerja untuk menunjukkan kreatifitas, kemampuan, dan pengetahuannya, yang pada akhirnya menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan laki-laki dalam mencapai posisi puncak di dunia kerja. Perempuan yang telah diterima sebagai pegawai di suatu perusahaan memiliki HAK dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam kegiatan pengembangan karir, baik promosi maupun pendidikan dan pelatihan. Kesempatan pendidikan dan pelatihan tidak hanya kesempatan dalam mengikuti kegiatan tetapi juga berupa dukungan perusahaan terhadap perempuan agar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Jumlah perempuan yang jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki pada posisi senior level menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pengembangan karir (pendidikan dan pelatihan, promosi) cenderung masih rendah hal ini dikarenakan kebijakan manajemen sumber daya manusia yang cenderung bersifat maskulin. Posisi perempuan yang minoritas juga menyebabkan mereka terkadang tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan karir. Perspektif perempuan dapat digunakan dalam menilai kebijakan perusahaan, apakah kebijakan yang
3
dibuat perusahaan sudah memperhitungkan kebutuhan perempuan sebagai kelompok minoritas. Perusahaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu perusahaan yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi dengan keterampilan tinggi dan memegang peranan penting dalam teknologi informasi. Sedangkan perempuan diposisikan pada pekerjaan dengan keterampilan rendah seperti bagian call center ataupun bagian administrasi (Lestari 2011). Rosenbloom (2006) diacu oleh Lestari (2011) menjelaskan penyebab rendahnya keterlibatan perempuan dalam bidang teknologi informasi karena perempuan dipandang kurang produktif pada pekerjaan yang bersifat teknis. Artinya perempuan dianggap kurang atraktif dan fleksibel pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan bidang teknis dibandingkan lakilaki. PT. Xkom sendiri merupakan perusahaan informasi dan komunikasi yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Selain itu, PT. Xkom merupakan perusahaan jaringan telekomunikasi terbesar di Indonesia yang memiliki beberapa program CSR berkelanjutan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, kemitraan, lingkungan, penanggulan bencana, maupun pelayanan kepada masyarakat di bidang sarana dan prasarana. Namun, apakah tanggung jawab sosial masyarakat (eksternal stakeholders) yang diberikan oleh PT. Xkom juga sejalan dengan tanggung jawab sosial kepada karyawannya (internal stakeholders), khususnya pegawai perempuan? Kemajuan perempuan bekerja di perusahaan tidak terlepas dari peran Manajemen Sumber Daya Manusia. Pemberian kesempatan bagi perempuan dalam praktik pengembangan karir (pendidikan dan pelatihan, promosi) menjadi cara bagi perempuan untuk menunjukkan potensi dan keterampilannya. Kebijakan perusahaan yang responsif gender menjadi salah satu bentuk tanggung jawab sosial bagi pekerja. Uraian di atas menjadi alasan penulis untuk mengkaji lebih dalam hubungan kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan.
Masalah Penelitian
1. 2. 3.
Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: Isu-isu kesenjangan gender apa saja yang berhubungan dengan kesempatan pengembangan karir perempuan? Sejauh mana hubungan tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan pengembangan karir perempuan? Bagaimana hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan?
4
Tujuan Penelitian
1. 2. 3.
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Mengidentifikasi isu kesenjangan gender apa saja yang berhubungan dengan kesempatan pengembangan karir. Menganalisis sejauh mana hubungan tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan pengembangan karir perempuan. Menganalisis hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan.
Kegunaan Penelitian
1.
2.
3.
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian mengenai hubungan kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan. Bagi perempuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang hak-hak mereka dalam mendapatkan kesempatan pengembangan karir. Penelitian ini juga diharapkan mampu memotivasi perempuan pekerja untuk berprestasi di dunia kerja sebagai pembuktian akan kemampuan yang mereka miliki. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman perusahaan mengenai kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan pekerja.
5
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Gender Hubeis (2010) mengungkapkan bahwa gender merupakan suatu relasi sosial perempuan dan laki-laki. Berbicara tentang gender tidak sama dengan berbicara tentang jenis kelamin. Secara biologis perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan tetapi tidak dalam hal potensi, kompetensi, dan kesempatan. Sedangkan perspektif gender merupakan suatu konsep yang dipergunakan untuk membedakan segala sesuatu yang bersifat normatif dan biologis serta segala sesuatu yang merupakan produk sosio-budaya dalam bentuk kesepakatan dan fleksibelitas sosial yang dapat ditransformasikan. Sadli (2010) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep sosial sedangkan jenis kelamin merupakan suatu kategori biologis. Istilah feminitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan pula dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang kompleks, yang telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya. Sasongko (2008) menyatakan bahwa gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. Secara singkat perbedaan ini dapat dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 2 Perbedaan gender dan seks Gender Bisa berubah Dapat dipertukarkan Tergantung musim Tergantung budaya masingmasing Bukan kodrat (buatan manusia)
Seks Tidak bisa berubah Tidak dapat dipertukarkan Berlaku sepanjang masa Berlaku di mana saja Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
Fakih (2004) menyatakan bahwa gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
6
Studi tentang Perempuan dan Pembangunan Kegiatan studi atau kajian tentang perempuan (women studies) di Indonesia dilandasi dan didorong oleh motivasi untuk lebih mengenal pengalaman perempuan dan untuk menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi hidupnya lebih tampak (visible). Studi tentang perempuan di Indonesia ditandai dengan ramainya kegiatan penelitian tentang kaum perempuan dengan fokus pada gender differences dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan (Sadli, 2010). Sadli (2010) juga mengungkapkan bahwa dengan menggunakan data empiris berupa hasil-hasil studi sejak Tahun 1970-an, ilmuwan perempuan Barat yang aktif dalam gerakan women studies mulai menunjukkan bahwa program pembangunan di negara berkembang sering berdampak merugikan bagi perempuan. Antara lain, proses pembangunan ternyata cenderung mengabaikan peran produktif yang mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah dimainkan oleh perempuan. Kesempatan kaum perempuan dalam memanfaatkan setiap peluang yang tersedia ternyata juga sering dikalahkan. Bahkan, ada kecenderungan untuk makin mempertegas batas antara sektor publik sebagai dunia lelaki dan sektor domestik sebagai dunia perempuan. Adapun tujuan utama penelitian itu sendiri adalah menyusun suatu program yang diinginkan dalam usaha meningkatkan kondisi hidup perempuan. Dari penelitian ini diharapkan kaum perempuan akan lebih cermat dalam menangkap berbagai peluang untuk memajukan kondisinya sendiri. Tujuan program studi perempuan adalah menjadikan pengalaman perempuan sebagai bagian dari pengetahuan akademis, yang hingga kini masih lebih didominasi pengalaman dan data riset yang berasal dari kaum pria. Studi tentang perempuan memiliki tiga ciri khas, yaitu: 1. Kajiannya terpusat pada perempuan. Artinya kegiatan studi perempuan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar tentang dirinya sendiri. 2. Pendekatannya multidisipliner. Setiap masalah harus ditinjau dari dari berbagai macam disiplin ilmiah karena masalah dan penghayatan perempuan tidak cukup untuk dapat dimengerti hanya berdasarkan satu disiplin ilmu tertentu saja. 3. Orientasinya mengarah kepada kegiatan konkret. Artinya, studi wanita tidak hanya bertujuan untuk menghimpun data tentang pengalaman perempuan. Wawasan yang diperoleh melalui kegiatan akademis tentang perempuan berikut permasalahannya juga diperlukan untuk dapat mengidentifikasikan masalah agar strategi dan program yang diperlukan dapat disusun secara tepat dalam rangka mengatasi masalah perempuan secara kongkret. Prinsip utama dalam studi perempuan adalah pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman-pengalaman perempuan inilah kemudian digunakan untuk menunjuk dan menganalisis struktur-struktur yang lebih besar serta untuk menghargai subjektivitas perempuan dan pengalaman hidup perempuan sebagai dasar untuk pembelajaran (Misiyah, 2006).
7
Isu Kesenjangan Gender Isu-isu kesenjangan gender menggambarkan gap capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia. Hubeis (2010) menyebutkan ada tiga isu kesenjangan gender yaitu: 1. Kesenjangan gender dalam ketenagakerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 1990-2007 dalam tingkat partisipasi tenaga kerja (TPAK) menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa pencapaian partisipasi tenaga kerja perempuan relatif masih tetap lebih lambat dibandingkan laki-laki. Penyebab turun-naiknya TPAK perempuan antara lain karena faktor sosial, demografis, dan budaya. 2. Kesenjangan gender dalam pendidikan. Target pencapaian tujuan ketiga MDGs dalam mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah menghilangkan kesenjangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, serta semua jenjang pendidikan. 3. Kesenjangan gender dalam bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh layanan kesehatan secara mudah, murah, dan merata, serta sebagai investasi modal dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sasongko (2008) menyatakan bahwa ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu: stereotipi (citra baku), subordinasi (penomorduaan), marginalisasi (peminggiran), beban ganda, dan kekerasan. Hal ini sejalan dengan pendapat Handayani dan Sugiarti (2008) berpendapat bahwa perbedaan dalam gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketimpangan gender. Ternyata perbedaan tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama bagi perempuan. Ketimpangan gender (permasalahan atau isu kesenjangan gender) dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi normatif atau kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan dengan kondisi obejktif atau kondisi gender sebagaimana adanya. Ketimpangan yang dialami perempuan menurut Handayani dan Sugiarti (2008) dapat tersebut termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk diantaranya sebagai berikut: 1. Marginalisasi sering disebut sebagai pemiskinan kaum perempuan atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi perempuan dapat berarti peminggiran perempuan. Pertama, perempuan terpinggirkan dari pekerjaan produktif karena perempuan dianggap tidak memiliki keterampilan tinggi. Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun dicirikan oleh “skala bawah”. Kedua, masalah yang dihadapi oleh buruh perempuan yaitu adanya kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki kestabilan kerja. Ketiga, adalah marginalisasi dengan adanya feminisasi sektor-sektor tertentu. Saat ini banyak ditemukan industri yang mulai dikuasai oleh perempuan, namun buruh perempua n
8
tersebut tetap saja dilapisan paling bawah. Keempat, yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki yang diindikasikan oleh perbedaan upah. 2. Subordinasi, perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikontruksikan secara sosial. Hal ini disebabkan karena belum terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi perempuan. Anggapan sementara perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Diskriminasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor pekerjaan misalnya persentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hakhak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya yang belum terpenuhi. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai oleh laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan sendiri pada akhirnya menganggap bahwa pekerjaan domestik dan reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan. 3. Stereotipi adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotipi adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum stereotipi merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut berdampak pada munculnya stereotipi yang dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang berpendidikan tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri. Akibat adanya pelabelan ini banyak tindakantindakan yang seolah-olah sudah menjadi kodrat. 4. Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan memiliki berbagai macam sumber, namun ada salah satu jenis kekerasan bersumber dari anggapan gender (gender-related violence). Kekerasan ini pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai di tingkat negara, bahkan tafsiran agama.Dalam hampir semua kelompok masyarakat, terdapat perbedaan tugas dan peran sosial atas laki-laki dan perempuan. Tanpa disadari, peran tugas dan peran ini telah menghambat potensi dasar laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Realitas ini menunjukkan bagaimana jenis kelamin telah menghambat seseorang untuk mempelajari ilmu pengetahuan
9
tertentu, mengembangkan bakat dan minat dalam bidang tertentu dan sebagainya, semata-mata karena alasan bahwa hal itu telah pantas (secara sosial budaya) bagi jenis kelamin tertentu. 5. Beban kerja. Berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun, perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah” peranannya yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran reproduktif). Maka dari itu perkembangan perempuan ini seifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itulah maka beban kerja perempuan terkesan berlebihan. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah.
Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Kerja Irianto (2007) mengungkapkan bahwa praktik manajemen sumber daya manusia (MSDM) dalam organisasi menghadapi isu sensitif berkaitan dengan masalah keanekaragaman pekerja (workers diversity). Isu keanekaragaman pekerja tersebut tampak dengan adanya perbedaan individu yang berperan sebagai pekerja. Mereka berasal dari berbagai suku, ras, agama, dan jenis kelamin termasuk di dalamnya adalah peran perempuan yang dapat dikaitkan dengan isu kesenjangan gender dalam management development. Aripurnami (1996) menyatakan bahwa perempuan bekerja hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sedyono (1996) yang mengungkapkan bahwa fenomena perempuan di luar rumah oleh banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat biasanya menilai pantas tidaknya perempuan bekerja berdasarkan nilai-nilai yang berlaku. Perempuan disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu. Mereka disiapkan untuk menjadi makhluk yang patuh dan tidak asertif. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarir seperti agresif, ambisius, produktif, dan sebagainya. Dari sinilah kemudian muncul isu bahwa perempuan bekerja di luar rumah hanyalah sekedar menjalankan pekerjaan (do a job) dan bukan berkarir (make a career) seperti laki-laki. Di banyak negara, perempuan bekerja, terutama perempuan eksekutif masih menghadapi rintangan dari lingkungan. Misalnya prasangka kuno ataupun resistensi seperti mitos “lady supervisor means trouble”. Masih sering terjadi bahwa sistem manajemen secara sadar tidak sadar melakukan diskriminasi antara lelaki pekerja dan perempuan pekerja dalam perusahaannya. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan diyakini mampu membangun martabat dan kapasitas individu sehingga pada akhirnya kaum perempuan memiliki kemampuan untuk terlibat dalam proses keorganisasian. Sekalipun demikian harus disadari bahwa kaum perempuan masih mengalami
10
sejumlah diskriminasi organisasional sebagai praktik kebijakan manajemen sumber daya manusia yang cenderung bersikap maskulin. Secara normatif organisasi di semua negara harus memperlakukan semua pegawainya secara fair di samping tetap mengedepankan effectiveness bagi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Namun secara empiris kaum perempuan di beberapa negara yang bekerja dalam organisasi justru menghadapi sejumlah hambatan yang mempersempit akses dalam memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan serta hambatan perempuan dalam pengembangan karir. Pelatihan dan pengembangan merupakan instrumen utama dalam meningkatkan kapasitas individu dan bekal kompetensi sebagai penunjang melaksanakan tugas di organisasi. Dengan adanya kesempatan mengikuti pelatihan, perempuan memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menjawab tuntutan pekerjaan. Kemampuan melaksanakan pekerjaan tersebut merupakan landasan utama dalam mengukur kinerja individu. Dengan demikian pelatihan diyakini sebagai suatu cara yang paling penting dalam meningkatkan kinerja pegawai. Secara teoritis, pelatihan secara langsung dapat mempengaruhi kinerja (Irianto 2007). Lestari (2011) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan teknis seperti perusahaan yang bergerak di bidang informasi dan komunikasi biasanya lebih dikuasai oleh laki-laki. Bagi masyarakat, budaya patriarkhi dianggap sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, karena hal tersebut telah dikaitkan dengan kodrat terkait dengan adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun diciptakan berbeda. Anggapan teknologi merupakan tugas laki-laki akhirnya menimbulkan kesenjangan dan subordinasi bagi perempuan. Narsa (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perusahaan yang menyaratkan praktik rekruitmen berdasarkan jenis kelamin menunjukkan adanya sex-role stereotypes. Sex-role stereotypes merupakan keyakinan bahwa sifat dan kemampuan perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga muncul spesifikasi pekerjaan tertentu sesuai untuk jenis kelamin tertentu. Spesifikasi pekerjaan yang baik seharusnya tidak diskriminatif terhadap jenis kelamin. Pembatasan tersebut justru memungkinkan kerugian bagi perusahaan, yaitu hilangnya calon pegawai potensial. Wijayanti (2009) mengungkapkan bahwa perempuan dalam manajemen menjadi topik penting. Hal ini terkait dengan adanya peningkatan jumlah perempuan pekerja tetapi hanya sedikit yang menduduki posisi senior level management. Perempuan hanya mampu mencapai posisi middle level management yaitu seseorang yang menjalankan strategi atau kebijakan dari senior level management. Fenomena ini dikenal sebagai fenomena glass ceiling. Hal ini dikarenakan adanya praktik seperti rekruitmen maupun promosi perusahaan yang lebih cenderung memilih karyawan laki-laki karena dianggap mempunyai kemampuan yang lebih dari pada perempuan. Selain itu, glass ceiling juga dapat disebabkan karena adanya budaya perusahaan seperti stereotipi yang menggambarkan perempuan memiliki karakteristik yang kurang untuk menjadi manajer sukses. Beban ganda atau peran ganda juga merupakan suatu masalah yang sering dihadapi perempuan bekerja. Perempuan harus memilih antara tidak menikah dan sukses berkarir atau menikah dan menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia saat ini berbaur antara nilai-nilai
11
tradisional dan modern. Keseimbangan antara karir dan keluarga merupakan kendala utama bagi perempuan bekerja (Sedyono 2012). Beban ganda yang dimiliki perempuan bekerja pada akhirnya akan memengaruhi keterlibatan perempuan dalam praktik pengembangan karir. Sejalan dengan pendapat Sedyono (2012), Schwartz (1996) dalam Narsa (2006) yang mengungkapkan bahwa sangat mudah untuk mengetahui alasan mengapa jumlah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki karena adanya budaya yang diciptakan untuk laki-laki (patriarkhi) serta adanya stereotipi tentang perempuan, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perempuan memiliki keterikatan (komitmen) pada keluarga yang lebih besar daripada keterikatan terhadap karir. Efrini (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa masih banyak organisasi atau perusahaan yang tidak melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan. Umumnya hanya laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sedangkan perempuan lebih banyak diabaikan pendapatnya. Sehingga dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan suatu organisasi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena masih banyak stereotipi dan subordinasi yang melekat pada diri individu dan lingkungan organisasi tersebut. Efrini (2009) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa subordinasi perempuan di perusahaan dapat dilihat dari penempatan posisi atau karir perempuan. Perempuan cenderung ditempatkan pada posisi kedua, seperti menjadi sekretaris ataupun bendahara, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai ketua atau pemimpin. Subordinasi ini disebabkan oleh stereotipi yang sudah melekat sejak kecil di setiap individu, bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, bersifat lemah lembut, tidak mampu menjadi pemimpin dan hanya berdiam diri di rumah saja. Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi adanya keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender (gender role) sebagai bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan hal ini sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik dalam pendidikan, sosial budaya, politik, dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan dapat saja terjadi karena berbagai hal antara lain marginalisasi dalam pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotipi terhadap perempuan, dan tingkat pendidikan perempuan yang rendah (Khotimah 2009).
Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia Racmawati (2007) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan konsep luas tentang filosofi, kebijakan, prosedur, dan praktik yang digunakan mengelola individu atau manusia melalui organisasi. Penggunaan konsep sumber daya manusia adalah kontrol secara sistematis dari proses jaringan fundamental organisasi yang mempengaruhi dan melibatkan semua individu dalam organisasi, termasuk perencanaan sumber daya manusia, desain pekerjaan, susunan kepegawaian, pelatihan dan pengembangan, representasi dan perlindungan tenaga kerja, serta pengembangan organisasi. Untuk mengendalikan dan mengatur proses tersebut, sistem harus direncanakan dikembangkan, dan diimplementasikan oleh manajemen puncak. Sunyoto (2012) berpendapat bahwa
12
manajemen sumber daya manusia pada umumnya untuk memperoleh tingkat perkembangan karyawan yang setinggi-tingginya, hubungan yang serasi di antara para karyawan dan penyatupaduan sumber daya manusia secara efektif atau tujuan efisiensi dan kerja sama sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas kerja. Sejalan dengan pendapat Sunyoto (2012), Ardana et al. (2012) berpendapat bahwa manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memusatkan perhatian pada unsur manusia. Unsur manusia (man) ini berkembang menjadi bidang ilmu khusus untuk mengajari bagaimana mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu dan dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak. MSDM adalah suatu bidang manajemen yang mempelajari hubungan dan peranan manusia dalam organisasi atau perusahaan. Fokus yang dipelajari dalam MSDM adalah masalah yang terkait dengan tenaga kerja manusia. MSDM adalah suatu pendekatan dalam mengelola masalahmasalah manusia yang berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu: 1. Sumber daya manusia adalah harta atau aset yang paling berharga dan paling penting dimiliki oleh satu organisasi/perusahaan, karena keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh unsur manusia. Manusia berperan sebagai perencana, pelaksana, dan sekaligus pengendali terwujudnya tujuan organisasi/perusahaan. 2. Keberhasilan sangat mungkin dicapai jika kebijaksanaan prosedur dan peraturan yang berkaitan dengan manusia dari perusahaan saling berhubungan dan menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalam perusahaan. 3. Budaya dan nilai perusahaan serta perilaku manajerial yang berasal dari budaya tersebut akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian hasil terbaik. Mangkuprawira dan Hubeis (2006) mengungkapkan bahwa sekitar Tahun 1990-an, perhatian para peneliti dan praktisi terhadap strategi dan pentingnya sistem SDM dalam organisasi semakin besar. Sebelumnya para ahli hanya menguji metodologi dan praktik yang difokuskan pada sisi individu dan karyawan, jenis pekerjaan, dan praktiknya, seperti dalam hal rekruitmen dan seleksi, pelatihan, dan kompensasi.
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Ardana et al. (2012) menyatakan bahwa manajemen SDM adalah bagian dari manajemen umum yang memfokuskan perhatiannya pada unsur kegiatan manusia, terutama berkepentingan dengan input SDM yang dimiliki suatu perusahaan. Dalam mempelajari manajemen SDM yang memfokuskan pembahasannya pada unsur SDM, dapat dilihat dari tiga aspek utama manajemen SDM yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi Manajerial Sumber Daya Manusia 2. Fungsi manajerial adalah fungsi yang mempunyai wewenang terhadap SDM lain. Manajer SDM atau kepala bagian personalia adalah seorang manajer yang harus menjalankan fungsi-fungsi manajemen yaitu
13
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan Fungsi Operasional Manajemen Sumber Daya Manusia Fungsi operasional MSDM meliputi pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja. 3. Peranan SDM dalam Pencapaian Tujuan Perusahaan Aspek penting ketiga dari MSDM adalah peranannya dalam mencapai tujuan perusahaan secara terpadu, dalam arti melihat kepentingan individu karyawan, kepentingan perusahaan, dan kepentingan masyarakat luas menuju efektivitas dan efisien perusahaan.
Konsep Pengembangan Karir Ardana et al. (2012) mengungkapkan bahwa titik awal pengembangan karir seseorang adalah prestasi kerjanya yang dipercayakan kepadanya sekarang. Tanpa prestasi kerja yang memuaskan sulit bagi karyawan untuk dipertimbangkan dalam promosi ke pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi oleh atasan. Namun pada akhirnya tanggung jawab dalam mengembangkan karir terletak pada karyawan masing-masing. Pihak lain, seperti pimpinan, atasan langsung, kenalan, dan spesialis di bagian kepegawaian, hanya berperan memberikan bantuan. Semua bergantung pada karyawannya sendiri dalam memanfaatkan kesempatan pengembangan diri. Berbagai kesempatan tersebut seperti keikutsertaan program pelatihan, melanjutkan pendidikan di luar jam kerja, atau berusaha supaya dialihtugaskan. Apabila kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik maka akan membawa manfaat positif untuk karyawan dan organisasi. Pemanfaat kesempatan pengembangan karir dapat dilihat sebagai manifestasi keinginan untuk tumbuh dan berkembang. Sunyoto (2012) menyatakan bahwa fungsi manajemen sumber daya manusia terdiri dari fungsi manajerial dan fungsi operasional. Pengembangan karyawan termasuk ke dalam fungsi operasional yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap karyawan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Konsep Pendidikan dan Pelatihan Pelatihan dan pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karir karyawan. Pelatihan dan pendidikan ini dilaksanakan untuk karyawan baru agar dapat menjalankan tugas-tugas baru yang dibebankan dan untuk karyawan lama guna meningkatkan mutu pelaksanaan tugasnya sekarang maupun masa datang. Pelatihan dan pendidikan merupakan suatu proses berlanjut. Munculnya kondisi baru sangat mendorong pimpinan organisasi atau perusahaan untuk terus memperhatikan dan menyusun program-program latihan dan pendidikan secara kontinyu. Latihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan menggunakan metode yang lebih mengutaman praktik dari pada teori (Ardana et al. 2012).
14
Rachmawati (2007) mengungkapkan bahwa pelatihan dan pengembangan mempunyai kegunaan untuk karir jangka panjang dan membantu karyawan menghadapi tanggung jawab yang lebih besar di waktu mendatang. Program pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan penting yang menjadi investasi organisasi dalam hal sumber daya manusia. Pelatihan dan pengembangan ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi kerja saat ini, sedangkan pengembangan ditujukan untuk meningkatkan prestasi saat ini dan masa datang. Mangkuprawira dan Hubeis (2006) berpendapat bahwa pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja. Biasanya pelatihan merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan dengan segera. Sedangkan pendidikan memberikan pengetahuan tentang subjek tertentu, tetapi sifatnya lebih umum dan lebih terstruktur untuk jangka waktu yang lebih panjang. Hasibuan (2002) menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan keahlian teoritis, konseptual, dan moral karyawan, sedangkan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan. Beberapa konsep pendidikan dan pelatihan yang dipaparkan Hasibuan (2002) antara lain: a. Menurut instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tanggal 13 September 1974 Pendidikan adalah segala usaha membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmaniah, dan rohaniah, yang berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah, dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila. Latihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori. b. Tujuan Pendidikan Nasional Menurut Tap. MPR No. 11/MPR/1993 Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional, bertanggung jawab dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat harus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju.
15
Konsep Promosi Menurut Mangkuprawira (2004), promosi terjadi karena karyawan dipindahkan dari suatu pekerjaan ke posisi yang lebih tinggi dalam pembayaran gaji, tanggung jawab, dan atau tingkat status keorganisasiannya. Promosi memiliki manfaat antara lain: (1) promosi dapat memungkinkan perusahaan memanfaatkan kemampuan karyawan, (2) promosi dapat mendorong tercapainya kinerja yang baik, karyawan umumnya berupaya melakukan pekerjaan sebaik mungkin jika mereka percaya kinerja yang tinggi mengarah pada adanya promosi, (3) terdapat korelasi signifikan antara kesempatan untuk kenaikan pangkat dan tingkat kepuasan kerja. Ardana et al. (2012) berpendapat bahwa promosi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dari suatu pekerjaan ke suatu pekerjaan yang lain dalam hierarki wewenang dan tanggung jawab yang lebih tinggi dibandingkan dengan wewenang dan tanggung jawab telah dibebankan sebelumnya. Peningkatkan tersebut tidak hanya terbatas kedudukan manajerial saja, tetapi juga menyangkut setiap penugasan kepada pekerjaan yang lebih berat. Hasibuan (2002) menyatakan bahwa promosi memberikan peran penting bagi setiap karyawan. Dengan promosi berarti ada kepercayaan dan pengakuan mengenai kemampuan serta kecakapan karyawan bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, promosi akan memberikan status sosial, wewenang (authority), tanggung jawab (responsibility), serta penghasilan (outcomes) yang semakin besar bagi karyawan. Jika karyawan diberikan kesempatan berdasarkan asas keadilan dan objektivitas maka karyawan akan terdorong bekerja giat, bersemangat, berdisiplin, dan berprestasi kerja sehingga sasaran perusahaan secara optimal dapat dicapai. Besarnya peranan promosi bagi karyawan menuntut manajer personalia untuk menetapkan program promosi dan serta menginformasikannya kepada karyawan. Program-program promosi harus memberikan informasi tentang asas-asas, dasar-dasar, dan syaratsyarat karyawan yang dapat dipromosikan dalam perusahaan yang bersangkutan. Program promosi harus diinformasikan secara terbuka. Jika hal ini diinformasikan dengan baik, akan menjadi motivasi bagi karyawan untuk bekerja sungguhsungguh. Asas promosi jabatan harus dituangkan dalam promosi secara jelas. Asas-asas promosi jabatan tersebut antara lain: 1. Kepercayaan. Promosi hendaknya berdasarkan kepercayaan mengenai kejujuran, kemampuan, dan kecakapan karyawan bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik pada jabatan tersebut. 2. Keadilan. Promosi berdasarkan keadilan, terhadap penilaian kejujuran, kemampuan, dan kecakapan semua karyawan dimana penilainya harus jujur dan obejktif serta tidak pilih kasih. Promosi berdasarkan asas keadilan akan menjadi motivasi tersendiri bagi karyawan untuk meningkatkan prestasinya. 3. Formasi. Promosi harus berdasarkan formasi yang ada, karena promosi karyawan mungkin dilakukan jika ada formasi jabatan yang kosong. Untuk itu harus ada uraian pekerjaan dan job description yang akan dilaksanakan karyawan.
16
Hasibuan (2002) juga mengungkapkan bahwa program promosi hendaknya memberikan informasi yang jelas. Pedoman untuk mempromosikan karyawan yaitu berdasarkan pengalaman (senioritas), kecakapan (ability), dan kombinasi antara pengalaman dan kecakapan. Hal ini sejalan dengan penelitian Applebaum et al. (2001) diacu Wibowo (2006) yang menunjukkan bahwa pengembangan karir berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Konsep Motivasi Suryono (2011) menyatakan bahwa motivasi merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang yang tidak terlepas dari daya dorong dan sikap yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan pedapat Swasto (2001) yang menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kegiatan psikologis tertentu dalam diri seseorang yang muncul oleh adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan. Dari motivasi akan timbul tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Motivasi tidak akan muncul apabila tidak dirasakan adanya suatu kebutuhan dan kepuasan serta keseimbangan. Mangkuprawira dan Hubeis (2006) menyatakan bahwa motivasi merupakan dorongan yang membuat karyawan melakukan sesuatu dengan cara dan untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak ada keberhasilan mengerjakan sesuatu tanpa adanya motivasi. Teori kebutuhan McCleland dalam Ardana et al. (2011) menekankan bahwa kebutuhan seseorang terbentuk melalui proses belajar dan diperoleh dalam interaksinya dengan lingkungan. Teori ini mengkategorikan kebutuhan menjadi tiga mcam yaitu: a. Need for achievment (nAch) yaitu keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien, menguasai masalah, atau menguasai tugas yang sulit. b. Need for power (nPow) yaitu keinginan untuk mengawasi atau mengendalikan orang lain, mempengaruhi perilaku mereka, atau bertanggung jawab atas orang lain. c. Need for affiliation (nAff) yaitu keinginan untuk membangun dan memelihara hubungan yang bersahabat dengan orang lain.
Kerangka Pemikiran Pengembangan karir merupakan fungsi operasional manajemen sumber daya manusia perusahaan yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada karyawan sebagai modal untuk meningkatkan jenjang karir karyawan. Jumlah perempuan yang jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki pada posisi senior level menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pengembangan karir (pendidikan dan pelatihan, promosi) cenderung masih rendah hal ini dikarenakan kebijakan manajemen sumber daya manusia yang cenderung bersifat maskulin. Rendahnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan pengembangan karir juga dapat dikaitkan dengan adanya isu kesenjangan gender di perusahaan.
17
Perusahaan yang bergerak di bidang informasi dan komunikasi umumnya didominansi oleh laki-laki. Kebijakan-kebijakan yang dibuat biasanya disesuaikan dengan kebutuhan secara umum karyawannya, sehingga perempuan sebagai pihak minoritas sering terabaikan posisinya. Oleh karena itulah maka penelitian ini menggunakan perspektif perempuan dalam menilai kebijakan perusahaan. Persepsi perempuan ini juga dapat memerlihatkan sejauh mana kesadaran perempuan terhadap isu-isu kesenjangan gender dan hak-hak mereka dalam pembangunan. Persepsi perempuan terhadap tingkat kesenjangan gender memerlihatkan posisi perempuan terhadap kebijakan perusahaan. Apabila tingkat kesenjangan gender berada pada kategori tinggi maka posisi tawar perempuan terhadap kebijakan perusahaan menjadi rendah sehingga keterlibatan perempuan dalam praktik pengembangan karir pun menjadi rendah. Keterlibatan perempuan dalam praktik pengembangan karir dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja yang kemudian dapat menurunkan motivasi kerja perempuan. Kesempatan pengembangan karir perempuan dapat dilihat dari kesempatan perempuan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan serta promosi jabatan. Indikator kesempatan pendidikan dan pelatihan merujuk pada penelitian Sodikin (2007) dan Salsabila (2008) yaitu materi pendidikan dan pelatihan, dukungan perusahaan, fasilitias, dan waktu pendidikan dan pelatihan. Sedangkan indikator kesempatan promosi merujuk pada penelitian Maulida (2010) yaitu kejelasan informasi, asas promosi, dan prosedur promosi. Tingkat stereotipi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda di perusahaan diduga memiliki hubungan dengan kebijakan perusahaan dalam memberikan kesempatan karyawan perempuan untuk mengikuti program pendidikan dan pelatihan serta promosi jabatan. Motivasi kerja perempuan dapat diukur berdasarkan dorongan mereka untuk memenuhi kebutuhan berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa yang merujuk pada teori motivasi kerja Mc.Cleland.
Tingkat kesenjangan gender: 1. Stereotipi 2. Subordinasi 3. Marginalisasi 4. Kekerasan 5. Beban ganda
Keterangan:
Kesempatan Pengembangan Karir: 1. Pendidikan dan pelatihan 2. Promosi
Motivasi Kerja: 1. Berprestasi 2. Berkuasa 3. Berafiliasi
hubungan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan
18
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Semakin tinggi tingkat kesenjangan gender maka semakin rendah kesempatan pengembangan karir karyawan perempuan. a. Semakin tinggi tingkat stereotipi maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. b. Semakin tinggi tingkat subordinasi maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. c. Semakin tinggi tingkat marginalisasi maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. d. Semakin tinggi tingkat kekerasan maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. e. Semakin tinggi tingkat beban ganda maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. f. Semakin tinggi tingkat stereotipi maka semakin rendah kesempatan promosi. g. Semakin tinggi tingkat subordinasi maka semakin rendah kesempatan promosi. h. Semakin tinggi tingkat marginalisasi maka semakin rendah kesempatan promosi. i. Semakin tinggi tingkat kekerasan maka semakin rendah kesempatan promosi. j. Semakin tinggi tingkat beban ganda maka semakin rendah kesempatan promosi. 2. Semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi kerja perempuan. a. Semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berprestasi. b. Semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berafiliasi. c. Semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berkuasa. d. Semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berprestasi. e. Semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berafiliasi. f. Semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berkuasa.
19
Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Tingkat kesenjangan gender adalah gap capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki yang dilihat dari tingkat stereotipi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda. a. Tingkat stereotipi, adalah pelabelan negatif yang diberikan kepada perempuan pekerja. Skor pernyataan untuk tingkat stereotipi dibagi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. b. Tingkat subordinasi adalah penomorduaan perempuan dalam pekerjaan dan praktik pengembangan karir. Skor pernyataan untuk tingkat subordinasi dibagi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. c. Tingkat marginalisasi adalah peminggiran terhadap perempuan yang menyebabkan ketidakberdayaan perempuan. Skor pernyataan untuk tingkat marginalisasi dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. Tingkat kekerasan adalah tindakan atau perbuatan yang baik dilakukan secara verbal/non verbal yang menimbulkan ancaman bagi pekerja
20
perempuan atau perasaan tidak nyaman. Skor pertanyaan untuk tingkat kekerasan dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. d. Tingkat beban ganda adalah permasalahan pekerjaan yang timbul akibat beban ganda yang ditanggung perempuan. Skor pernyataan untuk tingkat beban ganda dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. 2. Pengembangan karir adalah fungsi operasional perusahaan yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada karyawan sebagai modal untuk peningkatan jenjang karir karyawan. Kesempatan pengembangan karir karyawan dilihat dari kesempatan pendidikan dan pelatihan serta kesempatan promosi yang diberikan perusahaan kepada karyawan perempuan. a. Pendidikan dan pelatihan adalah fungsi operasional manajemen sumber daya manusia untuk meningkatkan keahlian teoritis, konseptual, moral, dan keterampilan teknis karyawan yang dilakukan secara kontinyu. Penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan berdasarkan pada materi pendidikan dan pelatihan, dukungan perusahaan, fasilitas, dan waktu pendidikan dan pelatihan. Skor penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5.
21
b. Promosi adalah proses pemindahan karyawan dari suatu jabatan ke jabatan yang memiliki status dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Pengukuran kesempatan promosi berdasarkan pada kejelasan informasi prosedur promosi, asas promosi, dan syarat promosi. Skor penilaian kesempatan promosi dibagai menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 21 – 24 (2) Cukup Tinggi : 16 – 20 (3) Cukup Rendah : 11 – 15 (4) Rendah : 6 – 10 Untuk skor tertinggi 24 dan skor terendah 6. 3. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan yang dilihat dari dorongan untuk berprestasi, berafiliasi, dan berkembang. a. Berprestasi adalah dorongan seseorang untuk berbuat sungguh-sungguh apabila merasakan mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Pengukuran dorongan berprestasi berdasarkan pada kesediaan untuk menerima kebijakan dan peraturan yang berlaku, disiplin, dan inisiatif. Skor penilaian dorongan berprestasi dibagi menjadi empat yaitu : (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5. b. Berafiliasi adalah dorongan bekerja sungguh-sungguh agar dapat membina hubungan yang baik dengan atasan maupun rekan sekerja. Pengukuran dorongan berafiliasi berdasarkan pada kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kemampuan bekerjasama dengan rekan sekerja. Skor penilaian dorongan berafiliasi dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 26 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5.
22
c. Berkuasa adalah dorongan untuk mengawasi, mengendalikan, mempengaruhi, dan bertanggung jawab atas orang lain. Dorongan berkuasa dapat dilihat dari sejauh mana perempuan bekerja berusaha untuk meningkatkan jenjang karir mereka. Skor penilaian dorongan berafiliasi dibagi menjadi empat yaitu: (1) Sangat Setuju, skor 4 (2) Setuju, skor 3 (3) Kurang Setuju, skor 2 (4) Tidak Setuju, skor 1 Total jawaban pernyataan dibagi ke dalam empat kategori, antara lain: (1) Tinggi : 17 – 20 (2) Cukup Tinggi : 13 – 16 (3) Cukup Rendah : 9 – 12 (4) Rendah : 5–8 Untuk skor tertinggi 20 dan skor terendah 5.
23
PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di perusahaan PT. Xkom Jakarta (nama perusahaan disamarkan demi kepentingan perusahaan). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa perusahaan PT. Xkom sesuai dengan latar belakang penelitian serta adanya pertimbangan pihak instansi, khususnya karyawan perempuan, untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Mei 2013.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan informasi berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung di lapang, wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan, baik informan maupun responden, serta dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Sedangkan data sekunder diperoleh dari arsip data perusahaan dan studi literatur mengenai teori-teori serta penelitian sebelumnya yang dapat mendukung penelitian.
Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitaif, yaitu metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian yang mengumpulkan informasi menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Penelitian survei adalah salah satu jenis penelitian yang digunakan untuk melihat fenomena sosil tertentu (Singarimbun 1989). Penelitian ini akan menjelaskan fenomena sosial tentang gender dalam pengembangan karir perempuan pekerja. Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner ke 80 karyawan PT. Xkom Jakarta secara bertahap. Dari 80 kuesioner yang disebar hanya 42 kuesioner yang kembali. Sedangkan dari 42 kuesioner yang kembali hanya 40 kuesioner yang digunakan. Dua kuesioner dianggap cacat dan tidak memiliki variasi jawaban sehingga tidak digunakan. Selain melakukan penyebaran kuesioner, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada informan untuk memperkuat data. Informan penelitian berasal dari divisi Human Resource karena dianggap mengetahui kebijakan-kebijakan praktik pendidikan dan pelatihan serta promosi karyawan. Data populasi karyawan perempuan dapat dilihat pada lampiran 3.
24
Teknik Pengumpulan Data Informasi penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur. Kuesioner penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu kuesioner yang berhubungan dengan tingkat kesenjangan gender, kuesioner tentang praktik pengembangan karir karyawan (pendidikan dan pelatihan serta promosi jabatan), dan kuesioner yang berhubungan dengan motivasi bekerja karyawan perempuan. Selain itu, data penelitian juga dikumpulkan melalui pengamatan langsung,wawancara, dan studi kepustakaan. Studi kepustakaan meliputi data-data perusahaan dan studi literatur mengenai teori-teori dan penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat mendukung penelitian. Kuesioner yang disebarkan berupa daftar pernyataan tertutup dengan menggunakan bobot nilai skala Likert dari satu sampai empat.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu pertama, melakukan pengkodean pada berbagai jenis pertanyaan, baik tertutup, terbuka, maupun semi terbuka, kemudian memasukkan data ke buku kode atau lembara n data (code sheet). Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabulasi silang. Ketiga, mengedit yakni mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabulasi silang, baik pada saat mengisi kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Effendi et al. 1989). Pada penelitian ini, jenis pernyataan yang digunakan hanya pernyataan tertutup dengan pengkategorian skala Likert. Analisis Deskriptif Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual dimana dapat dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar dan tulisan. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi atau tabulasi silang (crosstab). Tabel frekuensi digunakan untuk menghitung jumlah pemilih atau responden dengan kategori tertentu sedangkan tabulasi silang digunakan untuk melihat jumlah responden berdasarkan hubungan antar variabel. Analisis Korelasi Non Parametik Rank Spearman Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis korelasi Rank Spearman dengan menggunakan Microsoft Excel dan Statistical Product and Service (SPSS) 16.0 for windows. Uji korelasi ini digunakan untuk melihat hubungan antara tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan pengembangan karir serta melihat hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan motivasi perempuan bekerja. Sarwono (2009) menyatakan bahwa korelasi Rank Spearman umumnya digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dua variabel atau lebih berskala ordinal (non-parametik). Dalam teknik ini, setiap data dari variabel yang diteliti harus ditetapkan peringkatnya dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil misalnya tinggi, cukup tinggi, cukup rendah, dan rendah. Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:
25
..............................................................................
1
Keterangan : ρ atau rs : koefisien korelasi Rank Spearman di : determinan n : jumlah data atau sampel Sarwono (2009) berpendapat bahwa agar penafsiran dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan maka diperlukan kriteria yang dapat menunjukkan kuat lemahnya hubungan kedua variabel. Kriteria tersebut antara lain: 0 : tidak ada korelasi : korelasi sangat lemah >0 – 0,25 >0,25 – 0,5 : korelasi cukup >0,5 – 0,75 : korelasi kuat >0,75 – 0,99 : korelasi sangat kuat Korelasi dapat bernilai positif atau negatif. Korelasi positif menunjukkan arah yang sama hubungan antar variabel, artinya jika salah satu variabel besar, maka variabel yang lain semakin besar pula. Sebaliknya, korelasi negatif menunjukkan arah yang berlawanan, artinya jika salah satu variabel satu besar, maka variabel yang lain semakin kecil. Signifikansi hubungan dau variabel dapat dianalisis dengan ketentuan sebagai berikut: (1) jika probabilitas atau signifikansi < 0,05 maka hubungan kedua variabel signifikan, (2) jika probabilitas atau signifikansi > 0,05 maka hubungan kedua variabel tidak signifikan.
26
GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum PT. Xkom Sejarah PT. Xkom PT. Xkom merupakan perusahaan informasi dan komunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi yang terkemuka di Indonesia dimana sahamnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah. PT. Xkom juga menyediakan beragam layanan telekomunikasi lainnya, termasuk interkoneksi, jaringan, data, internet, serta layanan terkait lainnya. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan jaringan telekomunikasi yang handal serta layanan telekomunikasi dan informasi berkualitas tinggi. Sejarah PT. Xkom dimulai pada tanggal 23 Oktober 1856, yaitu pada saat pengoperasian telegrap elektromagnetik pertama di Indonesia yang berhubungan dengan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selanjutnya, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan perusahaan swasta yang menyediakan layanan pos dan telegrap domestik dan kemudian layanan telegrap. Layanan telepon mulai diperkenalkan Tahun 1882. Tahun 1961, sebagian besar layanan ini dialihkan kepada perusahaan milik negara. Tahun 1965, pemerintah memutuskan pemisahan layanan pos dan telekomunikasi ke dalam dua perusahaan milik negara, yaitu PN Pos dan Giro serta PN Telekomunikasi. Struktur Organisasi PT. Xkom Struktur organisasi PT. Xkom terdiri dari Corporate Office Group, yang terdiri dari Direktorat Human Capital and General Affairs, Direktorat Keuangan, Direktorat Information Technology and Supply, Direktorat Compliance and Risk Management, Unit Strategic Investment and Corporate Planning, Internal Audit Department, Corporate Affairs and Corporate Communications Department. Sementara itu, Business Operation Groups terdiri dari Direktorat Konsumer, Direktorat Enterprises and Wholesale, dan Direktorat Network and Solution. Direktorat Keuangan memfokuskan pada pengelolaan keuangan Perusahaan, mengelola operasi keuangan secara terpusat. Tugas ini dibebankan kepada Unit Finance Center. Direktorat Human Capital and General Affairs memfokuskan pada manajemen sumber daya manusia Perusahaan, mengelola fungsi dan operasional sumber daya manusia secara terpusat melalui Unit Human Resources Center.Direktorat IT, di bawah Chief Information Officer (CIO), terfokus pada manajemen TI perusahaan serta supply management dan Information Service Center dan Supply Center. Kemudian Direktorat Compliance and Risk Management terfokus pada kepatuhan, manajemen hukum dan risiko manajemen perusahaan. Sementara itu, Direktorat Network and Solution terfokus pada pengembangan infrastruktur dan manajemen jasa selain itu mengarahkan operasional Divisi Infrastruktur Telekomunikasi, Divisi Multimedia, Divisi PT. Xkom Flexi, Research and Development Center dan Maintenance Service Center. Direktorat Konsumer terfokus pada pengelolaan pelayanan bagi segmen pasar ritel serta pengelolaan tujuh divisi regional. Sedangkan, Direktorat Enterprise and
27
Wholesale terfokus pada pengelolaan jalur pelayanan bagi segmen pasar Enterprise and Wholesale serta pengelolaan Divisi Enterprise Service dan Divisi Carrier and Interconnection Service. Agar tercapai sinergi antara PT. Xkom dengan anak-anak perusahaannya, pada bulan April 2009, beberapa posisi strategis dibentuk. Posisi tersebut adalah Senior Vice President (SVP) yang langsung melapor dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama PT. Xkom. Untuk mempercepat dan memastikan proses pengambilan keputusan yang efektif, Direksi didukung oleh Komite Eksekutif yang terdiri dari: Komite Etika, SDM dan Organisasi; Komite Costing, Tariff, Pricing and Marketing; Komite Corporate Social Responsibility; Komite Regulasi; Komite Disclosure; Komite Pengelolaan Anak Perusahaan; Komite Produk, Infrastruktur dan Investasi; Komite Treasury, Keuangan dan Akuntansi; dan Komite Risiko. Fondasi organisasi PT. Xkom dirancang dan dibangun untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang dengan fokus pada pemenuhan tingkat kepuasan pelanggan, pembangunan infrastruktur cutting-edge, penyediaan layanan berkualitas dan pemanfaatan sumber daya manusia yang kompeten. Visi, Misi, dan Tujuan PT. Xkom PT. Xkom sebagai perusahaan informasi dan komunikasi terbesar Indonesia memiliki obsesi secara berkelanjutan membantu mengembangkan usaha kecil dan menengah menjadi usaha skala besar, dengan tetap mengutamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Visi PT. Xkom sendiri yaitu to be come a leading telecommunications, information, media, edutainment, and services (TIMES) player in region. Untuk mencapai visi tersebut maka dijabarkan dua misi sebagai berikut; 1. To provide TIME with excellent quality and competitive price; dan 2. To be the role model as the best managed Indonesia corporation. Adapun tujuan PT. Xkom yaitu untuk mencapai posisi terdepan dengan memperkuat warisan bisnis dan pertumbuhan bisnis gelombang baru untuk memperoleh 60 persen dari pendapatan industri pada Tahun 2015.
Kebijakan Pengembangan Karir Perusahaan Kebijakan ini berisi tentang dukungan perusahaan terhadap peningkatan kompetensi karyawan dan tercapainya perencanaan karir karyawan. Kebijakan ini berisi tentang azas dan sarana prasarana pendukung pengembangan karir karyawan. Kebijakan tersebut dirumuskan sebagai berikut: Azas Pengembangan Karir Perusahaan PT. Xkom mengembangkan tiga azas dalam pengembangan karirnya. Tiga azas tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Tanggung jawab bersama Karyawan memiliki tanggung jawab dalam merencanakan dan meningkatkan kompetensi dalam mendukung perencanaan karir. Sedangkan perusahaan, memiliki tanggung jawab mendukung karyawan agar terccapai perencanaan karir karyawan dengan menyediakan sarana
28
dan prasarana pendukung untuk pengembangan kompetensi karyawan dan informasi yang diperlukan untuk pergerakan karir karyawan. 2. Kesamaan kesempatan Keputusan karir karyawan berdasarkan kesamaan kesempatan dengan mempertimbangkan kriteria yang jelas, terukur, dan obyektif. 3. Transparansi dan akuntabilitas Keputusan karir karyawan harus memenuhi aspek transparansi terhadap para kandidat dan sesuai dengan ketentuan berlaku. Sarana Prasarana Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diberikan antara lain: 1. Kamar tidur Kegiatan pendidikan dan pelatihan yang biasanya dilaksanakan selama beberapa hari dan karyawan yang mengikuti kegiatan juga berasal dari berbagai daerah maka disediakan kamar tidur sebagai tempat beristirahat karyawan. 2. Ruang rapat Mendukung kegiatan seminar, meeting, serta pendidikan dan pelatihan. 3. Ruang kelas Ruang kelas berbentuk konvensional yang dapat dijadikan ruang diskusi. 4. Kafetaria Memiliki kapasitas 200 orang dengan manu makan yang disajikan bervariasi dan diolah dengan baik. 5. Jalan dan parkir Sarana jalan dan tempat parkir memberi kenyamanan komplek asrama sehingga terbebas dari polusi udara. 6. Sarana olahraga Terdapat dua lapangan tenis yang berjarak 50 meter dari tempat pendidikan dan pelatihan lengkap dengan fasilitasunya. 7. Masjid Masjid berjarak 20 meter dari pusat pendidikan dan pelatihan yang dapat menampung sekitar 500 jamaah yang juga dilengkapi dengan peralatan sholat. Syarat Promosi Karyawan Promosi karyawan bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada karyawan yang kompeten dan memiliki performansi yang baik untuk mengisi posisi yang kosong. Promosi jabatan dilakukan secara obeyektif, jujur, dan transparan. Adapun persyaratan promosi karyawan PT. Xkom antara lain: 1. Masa kerja minimal satu tahun pada Band posisi terakhir; 2. Nilai performansi dan kompetensi harus sesuai dengan standar yang diberlakukan; 3. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau proses kasus; dan 4. Memenuhi persyaratan posisi yang ditetapkan berdasarkan nilai standar tertentu dari hasil proses seleksi karyawan yang ditempuh.
29
Sarana Pendukung Promosi Karyawan Perusahaan menyediakan informasi karir sebagai sarana untuk membantu karyawan dalam merencanakan dan mengembangkan karir. Informasi karir dapat berupa: 1. Workforce Planning, yaitu rencana kebutuhan tenaga kerja perusahaan jangka panjang yang dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori tertentu; 2. Position Profile, yaitu informasi yang berkaitan dengan deskripsi posisi dan syarat-syarat untuk menduduki posisi tersebut; 3. Buku panduan karir yang berisi kebijakan terkait pengembangan kompetensi; dan 4. Hasil Assessement, baik yang dilakukan secara online maupun yang dilakukan oleh Assessement Center. Penerapan penilaian kompetensi pegawai dengan menggunakan kompetensi Assessment Tool melalui Assessment Online penilaian dilakukan secara langsung yang melibatkan pegawai yang bersangkutan, atasan langsung, rekan sekerja, dan bawahan, serta dokumen nilai kinerja individu. Dengan menggunakan metode Assessment Tool dapat diketahui potensi karyawan sebagai penilaian dalam hal penempatan jabatan dan promosi. Sedangkan metode Job Tender dilakukan dengan cara menawarkan jabatan yang kosong kepada karyawan dengan menerapkan prinsip keadilan dan transparan. Sebelum melakukan penawaran jabatan kepada karyawan, perusahaan menginformasikan kepada karyawan mengenai adanya posisi kosong serta persyaratannya.
Profil Karyawan PT. Xkom Jakarta Karakteristik Jenis Kelamin PT. Xkom kantor Graha Citra Caraka memiliki 1339 karyawan tetap yang tersebar di berbagai divisi. Berdasarkan jenis kelamin, karyawan PT. Xkom Jakarta terdiri dari 1080 karyawan laki-laki dan 259 karyawan perempuan dengan persentase masing-masing yaitu 80,7 persen dan 19,3 persen. Sebagai perusahaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, PT. Xkom merupakan salah satu perusahaan yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Rosenbloom (2006) dalam Lestari (2011) menjelaskan penyebab rendahnya keterlibatan perempuan dalam bidang teknologi informasi karena perempuan dipandang kurang produktif pada pekerjaan yang bersifat teknis. Artinya perempuan dianggap kurang atraktif dan fleksibel pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan bidang teknis dibandingkan laki-laki. Karakteristik Usia Berdasarkan data karyawan PT. Xkom Jakarta diketahui bahwa mayoritas karyawan yang berusia antara 46–50 tahun sebesar 384 karyawan. Umumnya karyawan tersebar pada rentang usia antara 41–45 tahun, 46–50 tahun, dan 51–55 tahun dengan total persentase sebesar 77,9 persen, banyaknya karyawan pada usia ini menyebabkan belum adanya pergantian posisi sehingga jumlah rekruitmen karyawan di bawah 40 tahun lebih sedikit dengan persentase sebesar 21,7 persen. Sedangkan karyawan yang berusia lebih besar dari 55 tahun memiliki persentase
30
sebesar 0,3 persen hal ini dikarenakan persyaratan pensiun karyawan PT. Xkom berusia 55 tahun. Tabel 3
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan usia, 2013
Usia Laki – Laki % 18 – 25 tahun 1 0.1 26 – 30 tahun 28 2.1 31 – 35 tahun 43 3.2 36 – 40 tahun 117 8.7 41 – 45 tahun 241 18.0 46 – 50 tahun 337 25.2 51 – 55 tahun 307 23.0 > 55 tahun 5 0.4 Total 1080 80.7 Sumber : Data Karyawan PT. Xkom Jakarta
Perempuan 4 37 35 26 68 47 43 0 259
% 0.2 2.8 2.6 1.9 5.1 3.5 3.2 0.0 19.3
Total 5 65 78 143 309 384 350 5 1339
% 0. 3 4.9 5.9 10.6 23.1 28.7 26.2 0.4 100
Karakteristik Tingkat Pendidikan Dari data diketahui bahwa tingkat pendidikan karyawan terendah adalah pada jenjang Sekolah Dasar atau SD sedangkan tingkat pendidikan karyawan tertinggi pada jenjang Strata 3 atau S3. Mayoritas karyawan PT. Xkom Jakarta berpendidikan Strata 1 atau S1 dengan total persentase sebesar 48,8 persen. Jika dilihat berdasarkan total karyawan, karyawan laki-laki memiliki persentase yang lebih tinggi dari pada karyawan perempuan. Namun, jika dilihatkan berdasarkan proporsi per jenis kelamin, dari 259 karyawan perempuan terdapat 137 karyawan yang berpendidikan S1 atau sebesar 52,9 persen, sedangkan dari 1080 karyawan laki-laki terdapat 517 karyawan yang berpendidikan S1 atau sebesar 47,8 persen. Hal ini dapat disimpulkan, walaupun jumlah karyawan perempuan lebih sedikit dari pada karyawan laki-laki namun umumnya karyawan perempuan yang bekerja di PT. Xkom berpendidikan S1. Hal ini juga memerlihatkan bahwa perempuan sudah dapat mengakses pendidikan setara dengan laki-laki. Tabel 4
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan, 2013
% Tingkat Pendidikan Laki-Laki SD 1 0.1 SMP 2 0.1 SMA/STM 98 7.3 D1 69 5.1 D2 41 3.1 D3 93 7.0 S1 517 38.6 S2 258 19.3 S3 1 0.1 Total 1080 80.7 Sumber : Data Karyawan PT. Xkom Jakarta 2013
Perempuan 0 0 35 10 12 7 137 58 0 259
% 0.0 0.0 2.6 0.8 0.9 0.5 10.2 4.3 0 19.3
Total 1 2 133 79 53 100 654 316 1 1339
% 0.1 0.1 9.9 5.9 4.0 7.5 48.8 23.6 0.1 100
Karakteristik Status Pernikahan Mayoritas karyawan PT. Xkom berstatus sudah menikah yaitu sebesar 1237 karyawan atau 92,4 persen. Hal ini dikarenakan umumnya karyawan PT. Xkom berada pada kategori usia pernikahan. Karyawan perempuan yang menikah dilihat dari total karyawannya memiliki persentase yang jauh lebih kecil dari pada laki-
31
laki yaitu hanya sebesar 14,8 persen. Namun jika dilihat proporsi per jenis kelaminnya, dari 259 karyawan perempuan terdapat 198 karyawan yang telah menikah atau sebesar 76,4 persen. PT. Xkom sendiri menetapkan usia 18 tahun sebagai batasan minimum rekruitmen karyawannya. Usia ini sendiri termasuk dalam kategori usia yang sudah diizinkan untuk melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 1 pasal 7 ayat 1 tahun 1974 tentang perkawinan dimana disebutkan bahwa batas minimum perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Tabel 5 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan status pernikahan, 2013 Status Laki-Laki % Perempuan Duda/Janda 9 0.7 18 Menikah 1039 77.6 198 Belum Menikah 32 2.4 43 Total 1080 80.7 259 Sumber : Data Karyawan PT. Xkom Jakarta 2013
% 1.3 14.8 3.2 19.3
Total 27 1237 75 1339
% 2.0 92.4 5.6 100
Karakteristik Lama Bekerja Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas karyawan PT. Xkom Jakarta telah bekerja selama 15–19 tahun yaitu sebesar 28,2 persen atau 377 karyawan. Sedangkan untuk masa kerja < 5 tahun terdapat 51 karyawan atau sebesar 3,8 persen. Secara umum lama bekerja karyawan menyebar pada kategori 15–19 tahun, 20–24 tahun, dan 25–29 tahun dengan total persentase sebesar 71,9 persen. Hal ini dikarenakan umumnya karyawan berada pada kategori usia antara 41 sampai dengan 55 tahun. Tabel 6
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan lama bekerja, 2013
Lama Bekerja Laki-Laki % Perempuan 0 – 4 tahun 24 1.8 27 5 – 9 tahun 44 3.3 43 10 – 14 tahun 59 4.4 18 15 – 19 tahun 300 22.4 77 20 – 24 tahun 252 18.8 27 25 – 29 tahun 269 20.1 38 30 – 34 tahun 132 9.9 29 Total 1080 80.7 259 Sumber : Data Karyawan PT. Xkom Jakarta 2013
% 2.0 3.2 1.3 5.8 2.0 2.8 2.2 19.3
Total 51 87 77 377 279 307 161 1339
% 3.8 6.5 5.7 28.2 20.8 22.9 12.1 100
Karakteristik Jabatan Dari data yang didapat diketahui bahwa mayoritas karyawan PT. Xkom Jakarta memegang posisi Officer 1 yaitu sebanyak 363 karyawan atau sebesar 27,1 persen. Jika dilihat dari total karyawannya, karyawan perempuan umumnya memiliki jabatan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Namun jika dilihat dari proporsinya per jenis kelamin, dari 259 karyawan perempuan terdapat 85 karyawan yang menduduki posisi Officer 1 atau sebesar 32.8 persen. Sedangkan
32
proposi karyawan laki-laki per jenis kelamin, dari 1080 karyawan laki-laki terdapat 279 karyawan yang menduduki posisi Officer 1 atau sebesar 25,8 persen. Data karakteristik jabatan juga menunjukkan semakin tinggi jenjang karir maka semakin sedikit perempuan yang mendudukinya. Hal ini dapat dikaitkan dengan jumlah karyawan perempuan yang juga lebih sedikit dari pada laki-laki sehingga kesempatan mereka untuk meningkatkan karirnya juga kecil. Tabel 7 Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan jabatan, 2013 Jabatan Direktur VP/OVP AVP OGM/EGM Deputy EGM SM/OSM Manajer/OM Asisten Manajer SO Officer 1 Officer 2/Supervisor Officer 3 Tenaga Ahli Engineer Auditor Lainnya Total
Sumber
Laki-Laki 3 21 43 18 10 37 180 49 103 279 218 64
% 0.2 1.6 3.2 1.3 0.7 2.8 13.4 3.7 7.7 20.8 16.3 4.8
Perempuan 0 2 2 0 1 1 26 3 17 85 88 24
% 0.0 0.1 0.1 0.0 0.1 0.1 1.9 0.2 1.3 6.3 6.6 1.8
Total 3 23 45 18 11 38 206 52 120 363 306 88
% 0.2 1.7 3.3 1.3 0.8 2.9 15.3 3.9 9.0 21.1 22.9 5.6
11 11 33 1080
0.8 0.8 2.5 80.7
0 5 6 259
0.o 0.4 0.4 19.3
11 16 39 1339
0.8 1.2 2.9 100
: Data Karyawan PT. Xkom Jakarta 2013
Keterangan
: SO: Senior Officer; SM/OSM/OM: Senior Manager/Operational Manager; OGM/EGM: Operational General Manager/Executive General Manager; AVP: Assistant Vice President; dan VP/OVP: Vice President/Operational Vice President.
33
ANALISIS DESKRIPTIF VARIABEL PENELITIAN Isu Kesenjangan Gender Isu kesenjangan gender yang diteliti dalam penelitian ini meliputi stereotipi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda. Penilaian tingkat kesenjangan gender berdasarkan perspektif karyawan perempuan terkait isu gender di perusahaan. Penilaian terhadap tingkat kesenjangan gender terdiri dari empat kategori yaitu tinggi, cukup tinggi, cukup rendah, dan rendah. Tingkat Stereotipi Tingkat stereotipi adalah tingkat pelabelan negatif yang diberikan kepada perempuan bekerja. Penilaian karyawan terhadap tingkat stereotipi merupakan pandangan karyawan perempuan terhadap pelabelan negatif yang ada di perusahaan terkait sifat-sifat yang dianggap cenderung dimiliki oleh perempuan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat 21 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan dua karyawan perempuan memberikan penilaian yang tinggi terhadap tingkat stereotipi. Sedangkan terdapat 16 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan satu karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat stereotipi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat stereotipi di PT. Xkom cenderung berada pada kategori tinggi dan cukup tinggi dengan total persentase sebesar 57,5 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap tingkat sterotipi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 8 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat stereotipi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 2 5.0 Cukup Tinggi 21 52.5 Cukup Rendah 16 40.0 Rendah 1 2.5 Total 40 100 Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan merasa pelabelan negatif terkait sifat-sifat perempuan masih sering terjadi di perusahaan. Perempuan menilai bahwa mereka bekerja cenderung masih dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan, mereka juga merasa masih sering dianggap kurang memiliki ketegasan jika menjadi pemimpin, serta dipandang emosional dan irrasional dalam mengambil keputusan. Namun secara umum, dari data diketahui bahwa perempuan cenderung memiliki pertanggunganjawaban yang sama besarnya dengan laki-laki karena tanggung jawab pekerjaan disesuaikan dengan jenis pekerjaan dan jabatan masing-masing karyawan. Pelabelan ini merupakan hasil konstruksi sosial yang kemudian dianggap menjadi hal yang biasa dalam
34
masyarakat. Hal ini senada dengan pernyataan karyawan perempuan sebagai berikut: “Setuju ya mbak, soalnya nggak hanya di kantor sini yah. Di lingkungan luar kantor juga suka ada pendapat seperti itu. Nggak langsung sih, tapi pendapat kayak gitu emang udah sering saya denger. Kalo perempuan kerja mah emang suka dianggap buat nambah-nambahin pendapatan suami” (UM, 28 tahun). “Iya perempuan juga suka dianggep kurang teges kalo jadi pemimpin. Ya bisa diliat kan, kebanyakan yang jadi atasan itu memang laki-laki. Kalau secara fisik laki-laki dianggap lebih berwibawa dari perempuan. Kalau masalah tanggung jawab kerjaan sesuai pekerjaan masing-masing. Setiap karyawan menurut saya sudah dikasih porsi kerjanya masing-masing” (RIM, 29 tahun). Hal ini diperkuat oleh pendapat informan, Bapak MN 52 tahun, sebagai berikut: “Kita mencari pemimpin yang memang dapat mengambil keputusan yang tepat dan tegas, dan mampu mengarahkan bawahan dengan baik. Ya, memang umumnya laki-laki yang menjadi pemimpin. Selain karena jumlah laki-laki yang lebih banyak, karakteristik pemimpin memang lebih lekat dengan sosok laki-laki”. Tingkat Subordinasi Konsep subordinasi adalah penomorduaan perempuan dalam pekerjaan dan praktik pengembangan karir. Tingkat subordinasi memerlihatkan sejauh mana laki-laki diutamakan dalam pekerjaan, pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan promosi dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat 21 karyawan perempuan yang memberikan penilaian penilaian cukup tinggi dan satu karyawan perempuan memberikan penilaian yang tinggi terhadap tingkat subordinasi. Sedangkan terdapat 16 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan dua karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat subordinasi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tingkat subordinasi di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup tinggi dan tinggi dengan total persentase sebesar 55 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap tingkat subordinasi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 9 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat subordinasi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 1 2.5 Cukup Tinggi 21 52,5 Cukup Rendah 16 40.0 Rendah 2 5.0 Total 40 100
35
Hasil ini menunjukkan perempuan menganggap bahwa laki-laki cenderung masih lebih diutamakan dalam pekerjaan, pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan promosi. Karyawan laki-laki cenderung lebih sering mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan daripada perempuan, selain itu mereka juga cenderung lebih diutamakan dalam promosi jabatan. Pada dasarnya perusahaan telah memberikan kesempatan yang sama untuk semua karyawannya dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Namun, peraturan perusahaan yang tidak mengizinkan membawa anak pada saat kegiatan pendidikan dan pelatihan menjadi kendala perempuan dalam mengikuti kegiatan tersebut karena beban domestik yang ditanggungnya, khususnya karyawan perempuan yang memiliki anak usia batita. Sedangkan karyawan laki-laki yang disosialisasikan sebagai kepala rumah tangga tidak merasa terbebani dengan peraturan tersebut. Selain itu, pada promosi jabatan, perusahaan melakukan penilaian karyawan untuk promosi jabatan berdasarkan kinerja karyawannya. Namun, hasil di lapang menunjukkan bahwa karyawan perempuan menganggap karyawan cenderung laki-laki lebih sering dipromosikan dari pada karyawan perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan keterlibatan karyawan laki-laki dalam pekerjaan lebih besar dari pada karyawan perempuan seperti menyelesaikan pekerjaan di luar jam kantor (lembur). Karyawan laki-laki juga dipandang cenderung lebih dominan dalam pengambilan keputusan, hal ini dapat dilihat pada saat rapat, dimana biasanya laki-laki yang memimpin kegiatan rapat sedangkan perempuan biasanya diposisikan sebagai notulis. Seperti yang diutarakan oleh beberapa karyawan perempuan sebagai berikut: “Laki-laki emang lebih sering ikut pendidikan pelatihan. Kan kalo laki-laki enak nggak ada beban ngurusin anak. Kalo kita mah susah kalo harus ninggalin rumah lama, kasihan juga sama anak nggak ada yang ngurusin. Kalau lembur sih emang perempuan jarang lembur ya. Kayaknya pertimbangan keamanan juga sih ya, kan bahaya kalau perempuan pulang malem-malem”(S, 30 tahun). “Yang suka mengambil keputusan memang biasa laki-laki. Contohnya pas kita lagi rapat, biasanya yang ngasih masukan sama mimpin rapat itu laki-laki. Ya perempuan juga suka dimintai pendapat, tapi biasanya yang dominan laki-laki. Perempuan sih kalau rapat seringnya jadi yang nulis-nulis hasil rapat” (EV, 49 tahun). Hal ini diperkuat oleh pendapat informan, Bapak MN 52 tahun, sebagai berikut: “Perempuan memang yang sering minta izin berhalangan mengikuti kegiatan. Izin urusan keluarga biasanya. Kalau yang laki-laki juga ada yang izin, tapi jarang, dan biasanya lebih ke masalah kesehatan. kalau untuk promosi sendiri penilaiannya berdasarkan kinerja. Ya, kalau lembur juga bisa dijadikan poin kinerja karyawan”.
36
Tingkat Marginalisasi Marginalisasi adalah isu gender dalam bentuk peminggiran perempuan di tempat kerja. Marginalisasi perempuan dapat berupa penempatan perempuan di bagian-bagian yang tidak memerlukan keterampilan khusus yang biasanya diikuti dengan pemberian upah yang cenderung lebih kecil daripada laki-laki. Marginalisasi diawali dengan adanya pelabelan terhadap perempuan yang pada akhirnya menyebabkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang dikategorikan ke dalam kelompok feminin dan maskulin. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 22 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan empat orang karyawan perempuan memberikan penilaian yang tinggi terhadap tingkat marginalisasi. Sedangkan terdapat 13 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan satu karyawan perempuan memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat marginalisasi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa perempuan berpendapat tingkat marginalisasi di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup tinggi dan tinggi dengan total persentase sebesar 65 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap tingkat marginalisasi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 10 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat marginalisasi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 4 10 Cukup Tinggi 22 55.0 Cukup Rendah 13 32.5 Rendah 1 2.5 Total 40 100 Hasil ini menunjukkan bahwa karyawan perempuan menilai peminggiran perempuan di tempat kerja masih sering mereka rasakan. Posisi pemimpin masih didominasi oleh laki-laki, selain itu masih sering adanya anggapan yang menyatakan bahwa pekerjaan domestik sebagai pekerjaan utama perempuan. Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan adanya pembagian kerja berdasarkan kategori maskulin dan feminin. Karakteristik pemimpin dianggap lebih sesuai dengan laki-laki. Sedangkan perempuan yang disosialisasikan sebagai penanggungjawab urusan domestik bertanggungjawab melayani dan mengurus anggota keluarga. Sehingga pada akhirnya bagian yang berhubungan dengan pelayanan dan administrasi umumnya diduduki oleh perempuan. Sedangkan posisi pemimpin dan bidang teknis umumnya diduduki oleh laki-laki. Hal ini diperkuat dengan pendapat salah seorang karyawan perempuan sebagai berikut: “Dari rekruitmen karyawannya juga sudah kelihatan ya. Kalau bagian front office biasanya memang kebanyakan perempuan. Kalau bagian teknis gitu biasanya memang laki-laki yang dipriotitasin”(EV, 49 tahun).
37
Tingkat Kekerasan Kekerasan merupakan bentuk perlakuan secara verbal ataupun non-verbal yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman ataupun perasaan terancam. Kekerasan dapat berbentuk kekerasan fisik atau pelecehan seksual yang merupakan hubungan fisik yang dipaksakan atau tidak diinginkan. Sedangkan kekerasan dalam bentuk verbal dapat berupa perkataan-perkataan yang bersifat menghina terkait bentuk fisik, jenis kelamin, agama, maupun budaya yang dapat menimbulkan perasaan terintimidasi. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat tiga karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi terhadap tingkat kekerasan. Sedangkan terdapat 26 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan 11 karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat kekerasan. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tingkat kekerasan di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup rendah dan rendah dengan total persentase sebesar 92,5 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap tingkat kekerasan tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 11 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat kekerasan, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 0 0.0 Cukup Tinggi 3 7.5 Cukup Rendah 26 65.0 Rendah 11 27.5 Total 40 100 Hasil ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja, baik verbal maupun non-verbal, umumnya tidak pernah dirasakan oleh perempuan. Kekerasan verbal seperti adanya anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, perempuan bekerja cenderung masih dianggap kurang mampu mengurus rumah tangga dengan baik, anggapan yang menyatakan perempuan yang menduduki posisi pemimpin menyalahi nilai-nilai budaya dan agama, serta tindakan yang meremehkan kedudukan perempuan sebagai pemimpin, yang dapat mengintimidasi posisi perempuan di perusahaan, hampir tidak pernah dirasakan oleh perempuan. Begitupun kekerasan non-verbal, seperti pelecehan secara fisik yang dapat menimbulkan perasaan terancam dan tidak nyaman, tidak pernah dialami oleh karyawan perempuan. Hal ini dikarenakan, PT. Xkom telah menjamin keselamatan, kesehatan, dan kenyaman kerja karyawan yang tertuang dalam kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) No: CTEL.13/UM-400/CA-14/2009. Kebijakan ini menjamin keselamatan kerja karyawan baik secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan salah seorang karyawan perempuan sebagai berikut: “Kalau kekerasan di tempat kerja tidak ada. Setahu saya, kekerasan fisik atau kata-kata yang menghina seperti itu belum pernah terjadi. Lagian memang sudah ada peraturan yang menjamin perlindungan karyawan” (SP, 35 tahun).
38
Hal ini senada dengan pendapat informan, Bapak MN 52 tahun, sebagai berikut: “Perusahaan tidak pernah mendapat laporan karyawan terkait masalah kekerasan. Perusahaan memang sudah memiliki peraturan tentang keselamatan kerja karyawan. Perusahaan dengan tegas akan memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang dengan sengaja dapat menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan kerja. Sanksi bisa berupa pemutusan hubungan kerja bahkan pelaporan ke pihak berwajib”. Tingkat Beban Ganda Tingkat beban ganda dianggap berdasarkan sejauhmana beban ganda yang dimiliki perempuan dianggap dapat mempengaruhi pekerjaan karyawan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat 22 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan satu karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi terhadap tingkat beban ganda. Sedangkan terdapat 11 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan enam karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat beban ganda. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa karyawan perempuan menilai tingkat beban ganda di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup tinggi dan tinggi dengan persentase sebesar 55 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap tingkat beban ganda tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 12 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat beban ganda, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 1 2.5 Cukup Tinggi 22 55.0 Cukup Rendah 11 27.5 Rendah 6 15.0 Total 40 100 Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan merasa beban ganda yang mereka miliki cenderung masih dianggap dapat mempengaruhi pekerjaan mereka. Status perempuan sebagai istri dan ibu sering dianggap dapat mempengaruhi komitmen terhadap perusahaan, menjadi kurang fokus dalam bekerja, serta dapat mempengaruhi loyalitas terhadap perusahaan. Selain itu, status perempuan sebagai istri dan ibu juga dianggap salah satu kendala perempuan dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Bentuk loyalitas dan komitmen perempuan terhadap perusahaan merupakan beberapa poin yang dapat menjadi standar perusahaan dalam menentukan kinerja karyawan yang pada akhirnya menjadi dasar penilaian dalam promosi jabatan. Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan informan, Bapak MN 52 tahun, sebagai berikut:
39
“Kalau dilihat dari komitmen dan loyalitas memang laki-laki lebih sering terlibat dalam pekerjaan. Saya percaya perempuan juga memiliki komitmen dan loyalitas terhadap perusahaan. Tetapi kadang-kadang memang ketika mereka dihadapkan dengan urusan keluarga, urusan kantor jadi sedikit terganggu. Misalnya saja mereka terpaksa tidak masuk kerja karena harus mendaftarkan anaknya sekolah atau tidak dapat ikut kegiatan pendidikan dan pelatihan karna tidak ada yang mengurus rumah. Ya memang hal-hal seperti itu (komitmen dan loyalitas) juga bisa menjadi penilaian kinerja”. Kesempatan Pengembangan Karir Pengembangan karir merupakan fungsi operasional perusahaan yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada karyawan sebagai modal untuk peningkatan jenjang karir karyawan. Kesempatan pengembangan karir karyawan dilihat dari kesempatan pendidikan dan pelatihan serta kesempatan promosi yang diberikan perusahaan kepada karyawan perempuan. Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan dapat dilihat dari materi pendidikan dan pelatihan yang diberikan, dukungan perusahaan, fasilitas, dan waktu pelaksanaan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan karyawan secara adil. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa bahwa terdapat 24 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan lima karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Sedangkan terdapat 11 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup rendah dan rendah dengan total persentase sebesar 72,5 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 13 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 0 0.0 Cukup Tinggi 11 27.5 Cukup Rendah 24 60.0 Rendah 5 12.5 Total 40 100 Dilihat dari program pendidikan dan pelatihannya, PT. Xkom telah memberikan materi pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan karyawan. Materi pendidikan dan pelatihan yang diberikan juga telah mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan. Perusahaan juga telah memberikan kesempatan yang sama untuk semua karyawannya dalam mengikuti kegiatan
40
pendidikan dan pelatihan. Penetapan keikutsertaan karyawan dalam keseluruhan program pengembangan kompetensi atau pelatihan juga telah ditentukan berdasarkan kebutuhan perusahaan dan karyawan dengan memperhatikan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan dari pihak luar terkait pengelolaan SDM PT. Xkom. Namun, belum adanya kebijakan dan dukungan khusus kepada karyawan perempuan, seperti kebijakan membawa anak usia batita pada saat pendidikan dan pelatihan serta fasilitas tempat penitipan anak, menyebabkan karyawan perempuan khususnya yang memiliki anak usia batita sulit untuk mengakses kesempatan pendidikan dan pelatihan tersebut. Hal ini senada dengan tanggapan salah satu karyawan perempuan yang menyatakan bahwa: “Kalau buat program pendidikan dan pelatihan, perusahaan sudah kasih kesempatan sama buat karyawannya, materi pendidikannya juga sudah sesuai kebutuhan seluruh karyawan laki-laki dan perempuan. Tapi kalau buat izin bawa anak atau fasilitas TPA waktu pendidikan pelatihan sih belum ada“ (UM, 28 tahun). Kesempatan Promosi Penilaian karyawan terhadap kesempatan promosi dilihat dari kejelasan informasi terkait syarat, asas, dan prosedur promosi yang diberikan oleh perusahaan kepada seluruh karyawan tanpa membedakan jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat 26 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan tiga karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang rendah terhadap kesempatan promosi. Sedangkan terdapat 10 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan satu karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi terhadap kesempatan promosi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa kesempatan promosi di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup rendah dan rendah dengan total persentase sebesar 72,5 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap kesempatan promosi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 14 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan promosi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 1 2.5 Cukup Tinggi 10 25.0 Cukup Rendah 26 65.0 Rendah 3 7.5 Total 40 100 Dari informasi yang didapat diketahui bahwa sistem promosi jabatan yang dilakukan perusahaan sudah menetapkan syarat promosi berdasarkan pengalaman (senioritas) dan kecakapan. Perusahaan juga telah menjelaskan uraian pekerjaan/jabatan kepada karyawan secara jelas. Namun untuk penilaian karyawannya, karyawan perempuan merasa perusahaan cenderung masih membedakan antara kemampuan perempuan dan laki-laki. Prosedur pemilihan
41
karyawannya juga masih dilakukan secara tertutup. Hal ini senada dengan penjelasan salah satu karyawan perempuan yang menyatakan: “Untuk informasi jabatan yang kosong informasinya sudah jelas. Standar promosinya juga sudah sesuai lama bekerja dan kinerja karyawan. Tapi kalau penilaiannya sih emang masih tertutup.“ (UM, 28 tahun). Motivasi Kerja Motivasi kerja adalah suatu dorongan yang menimbulkan semangat kerja. Penilaian motivasi kerja karyawan perempuan menggunakan teori motivasi kerja McCleland yaitu dilihat dari motivasi berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa. Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi adalah dorongan seseorang untuk berbuat sungguhsungguh apabila merasakan mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Pengukuran dorongan berprestasi berdasarkan pada kesedian untuk menerima kebijakan dan peraturan yang berlaku, disiplin, dan inisiatif. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat 20 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan dua karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi terhadap motivasi berprestasi. Sedangkan terdapat 16 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan dua karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah terhadap motivasi berprestasi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi karyawan perempuan di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup tinggi dan tinggi dengan total persentase sebesar 55 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap motivasi berprestasi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 15 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi berprestasi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 2 5.0 Cukup Tinggi 20 50.0 Cukup Rendah 16 40.0 Rendah 2 5.0 Total 40 100 Hasil ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan perempuan telah dapat menerima kebijakan dan peraturan yang dibuat perusahaan tanpa terbebani. Mereka juga sudah menyadari tanggung jawab pekerjaannya dan berusaha datang tepat waktu ke kantor untuk memastikan pekerjaan mereka telah siap. Namun dari data lapang yang didapat juga diketahui bahwa karyawan perempuan umumnya masih sering izin pada jam kerja untuk keperluan yang bersifat pribadi. Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan salah seorang karyawan perempuan sebagai berikut:
42
“Kalau saya pribadi menerima peraturan perusahaan. Karena peraturan dibuat memang tujuannya agar karyawan disiplin. Saya juga berusaha untuk melakukan tugas saya dengan sebaik-baiknya. Tapi memang jujur saya juga pernah keluar pada jam kantor. Biasanya sih kalau memang sudah mendesak banget.Misalnya, anak lagi sakit, mau nggak mau ya harus izin keluar” (EV, 49 tahun). Motivasi Berafiliasi Motivasi berafiliasi adalah dorongan bekerja sungguh-sungguh agar dapat membina hubungan yang baik dengan atasan maupun rekan sekerja. Pengukuran dorongan berafiliasi berdasarkan pada kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kemampuan bekerjasama dengan rekan sekerja. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat 34 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan dua karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi terhadap motivasi berafiliasi. Sedangkan terdapat empat karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah terhadap motivasi berafiliasi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa motivasi berafiliasi karyawan perempuan di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup tinggi dan tinggi dengan total persentase sebesar 95 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap motivasi berafiliasi tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 16 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi berafiliasi, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 4 10.0 Cukup Tinggi 34 85.0 Cukup Rendah 2 5.0 Rendah 0 0.0 Total 40 100 Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun karyawan perempuan masih sering merasa tertekan dengan persaingan kerja di kantor tetapi secara umum mereka telah dapat bekerjasama dengan rekan sekerja dan dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan karyawan perempuan lebih merasa nyaman ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan bekerja secara individu, mereka juga bersedia untuk saling membantu dan bertukarpikiran mengenai pekerjaan. Persaingan kerja walaupun sering membuat mereka merasa tertekan tetapi tidak mempengaruhi hubungan antar karyawan. Hal ini sesuai dengan pendapat salah seorang karyawan perempuan sebagai berikut: “Kalau saya sendiri lebih nyaman ketika bekerja dalam tim. Banyak untungnya, kerjaan jadi lebih cepat selesai dan bisa saling sharing juga masalah kerjaan. Persaingan kerja pasti ada, tapi nggak sampai bikin berantem juga” (UM, 28 tahun).
43
Motivasi Berkuasa Berkuasa adalah dorongan untuk mengawasi, mengendalikan, mempengaruhi, dan bertanggung jawab atas orang lain. Dorongan berkuasa dapat dilihat dari sejauh mana perempuan bekerja berusaha untuk meningkatkan jenjang karir mereka. Peningkatan jenjang karir dapat ditunjukkan dengan seberapa besar komitmen dan loyalitas karyawan perempuan dalam melakukan pekerjaan yang dibebani kepadanya, baik pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabnya ataupun pekerjaan tambahan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan hasil penelitian memerlihatkan bahwa terdapat 14 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi dan satu karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi terhadap motivasi berkuasa. Sedangkan terdapat 22 karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup rendah dan tiga karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah terhadap motivasi berkuasa. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa motivasi berkuasa karyawan perempuan di PT. Xkom cenderung berada pada kategori cukup rendah dan rendah dengan total persentase sebesar 62,5 persen. Adapun jumlah dan persentase sebaran responden memberikan penilaian terhadap motivasi berkuasa tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 17 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi berkuasa, 2013 Kategori Frekuensi Persen (%) Tinggi 1 2.5 Cukup Tinggi 14 35.0 Cukup Rendah 22 55.0 Rendah 3 7.5 Total 40 100 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenjang karir yang lebih tinggi bukan menjadi tujuan utama karyawan perempuan dalam bekerja. Perempuan bekerja juga cenderung lebih memprioritaskan keluarga. Ketika mereka dihadapkan dengan pilihan antara keluarga atau pekerjaan, baik pekerjaan yang menjadi tanggung jawab pribadi maupun di luar tanggung jawab pribadi, perempuan cenderung lebih memilih menghabiskan waktu dengan keluarga. Hal ini senada dengan pendapat salah seorang karyawan perempuan sebagai berikut: “Dijalanin pelan-pelan aja (karir) itu mah. Kalau dikasih kerjaan tambahan sebenernya nggak apa-apa, tapi kalau lagi waktu kumpul bareng suami sama anak, nggak deh. Senin sampe jumat udah kerja dari pagi sampe sore masa hari libur juga mesti kerja.Hehehe” (RIM, 29 tahun).
44
ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KESENJANGAN GENDER DENGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR Hubungan Tingkat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hubungan tingkat kesenjangan gender (stereotipi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda) dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil korelasi kedua variabel disajikan dalam Tabel 18 di bawah ini: Tabel 18 Hasil pengujian hubungan tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Variabel Tingkat Koef. No p-value Keterangan Keterangan kesenjangan gender Korelasi 1 Tingkat Stereotipi 0.145 Tidak Nyata -0.172 Sangat Lemah 2 Tingkat Subordinasi 0.000 Sangat Nyata -0.507** Kuat 3 Tingkat Marginalisasi 0.002 Sangat Nyata -0.437** Cukup kuat 4 Tingkat Kekerasan 0.281 Tidak Nyata 0.094 Sangat Lemah 5 Tingkat Beban Ganda 0.004 Sangat Nyata -0.416** Cukup kuat Keterangan: * Berhubungan nyata pada p<0,05; ** Berhubungan sangat nyata pada p<0,01; negatif (-) hubungan berlawanan Dari hasil korelasi dapat diketahui bahwa, terdapat beberapa isu gender yang berhubungan dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Tingkat subordinasi, tingkat marginalisasi, dan tingkat beban ganda memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Sedangkan tingkat stereotipi dan tingkat kekerasan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hasil korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat stereotipi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat stereotipi dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,145 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin tinggi tingkat stereotipi maka semakin rendah kesempatan pengembangan karir ditolak. Dari data tabulasi silang, Tabel 19, juga terlihat kecenderungan karyawan perempuan yang memberikan penilaian tingkat stereotipi dalam kategori tinggi atau cukup tinggi umumnya memberikan penilaian rendah dan cukup rendah pada kesempatan pendidikan dan pelatihan sebaliknya karyawan perempuan yang memberikan penilaian tingkat stereotipi pada kategori rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan pada
45
kategori cukup tinggi. Namun dari hasil tabulasi silang juga diketahui bahwa terdapat beberapa karyawan perempuan yang memberikan penilaian tingkat stereotipi pada kategori rendah dan cukup rendah juga memberikan penilaian cukup rendah pada kesempatan pendidikan dan pelatihan sehingga tidak terlihat adanya pola hubungan antara kedua variabel. Tabel 19 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat stereotipi, 2013 Tingkat Stereotipi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Cukup Tinggi Rendah Tinggi 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2,5%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 7 (17,5%) 6 (15.0%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 15 (37.5%) 4 (10.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%)
Total 1 (2.5%) 16 (40.0%) 21 (52,5%) 2 (5.0%) 40 (100%)
Hubungan yang sangat lemah ini disebabkan karena pelabelan negatif yang ditujukan kepada perempuan tidak menjadi dasar penilaian perusahaan dalam memberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Perusahaan telah memberikan kesempatan yang sama antara karyawan perempuan dan laki-laki untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hasil korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat subordinasi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,01 (p<0,01) atau memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat subordinasi dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,000 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang kuat dan berlawanan arah yang artinya semakin tinggi tingkat subordinasi maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. Dari data hasil tabulasi silang yang disajikan oleh Tabel 20 juga terlihat bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi pada tingkat subordinasi cenderung memberikan penilaian yang rendah dan cukup rendah terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Sebaliknya, karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah pada tingkat subordinasi cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan.
46
Tabel 20 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat subordinasi Tingkat Subordinasi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Cukup Tinggi Rendah Tinggi 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 8 (20.0%) 7 (17.5%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 16 (40.0%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%)
Total 2 (5.0%) 16 (40.0%) 21 (52.5%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Rendahnya kesempatan perempuan dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dikarenakan laki-laki cenderung lebih dilibatkan dalam pengambilan keputusan sedangkan perempuan sering diabaikan pendapatnya ini dikarenakan adanya subordinasi yang melekat pada diri perempuan. Hal ini dapat terlihat ketika perempuan ingin mengajukan izin untuk membawa anak ke lokasi pendidikan dan pelatihan, permintaan ini biasanya ditolak perusahaan dengan alasan akan membuat karyawan tidak fokus ketika mengikuti pendidikan dan pelatihan. Karyawan dituntut untuk dapat profesional dalam bekerja, memisahkan antara urusan rumah tangga dan pekerjaan. Sesuai dengan pendapat salah seorang karyawan perempuan yang menyatakan: “Pernah mbak minta izin ke atasan. Tapi tetep nggak bisa, alasannya sih memang udah peraturan dari sananya, takut malah jadi nggak fokus pas lagi kegiatan. Padahal nggak juga yah, malah kalo anak ditinggalin di rumah lebih kepikiran lagi” (S, 30tahun). Hal senada juga diungkapkan oleh informan, Bapak MN 52 tahun, yang mengungkapkan sebagai berikut: “Perusahaan sudah memberikan kesempatan yang sama untuk semua karyawan, tapi waktu pelaksanaan yang menghadiri memang lebih banyak laki-laki soalnya jumlahnya juga lebih banyak. Saat pelaksaanaanya tidak jarang perempuan meminta izin tidak dapat mengikuti kegiatan pendidikan pelatihan karena urusan keluarga khususnya masalah anak. Ya,memang kebijakan seperti itu belum ada jadi kita juga tidak bisa memberikan izin sembarangan. Karyawan harus dapat profesional, takutnya kalau diizinin bawa anak mereka jadi tidak fokus. Tapi, saya bisa memaklumi kalau mereka lebih memilih untuk merawat anggota keluarga karena memang kodrat mereka seperti itu. Harapan saya, mereka dapat profesional antara pekerjaan dan urusan rumah tangga. Kalau sudah seperti ini ya saya balikan lagi ke individu masing-masing. Mana yang menjadi prioritas mereka.Yang penting perusahaan sudah memberikan kesempatan.”
47
Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hasil uji korelasi Rank Spearman yang menunjukkan bahwa tingkat marginalisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,01 (p<0,01) atau memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat marginalisasi dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,002 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup kuat dan berlawanan arah yang berarti semakin tinggi tingkat marginalisasi maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan. Dari hasil tabulasi silang yang disajikan pada Tabel 21 juga terlihat bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi pada tingkat marginalisasi cenderung memberikan penilaian yang rendah dan cukup rendah terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Sedangkan karyawan perempuan yang memberikan penilaian tingkat marginalisasi pada kategori rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian yang tinggi terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Tabel 21 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat marginalisasi, 2013 Tingkat Marginalisasi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Cukup Tinggi Tinggi Rendah 0 (0.0%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 6 (15.0%) 6 (15.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 17 (42.5%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%)
Total 2 (5.0%) 12 (30.0%) 23 (57.5%) 3 (7.5%) 40 (100%)
Adanya pembagian kerja yang dikategorikan dalam kelompok feminin dan maskulin menyebabkan pembagian kerja sering dikaitkan dengan jenis kelamin. Pekerjaan-pekerjaan dibidang teknis dan yang memiliki pertanggunganjawaban yang besar cenderung didominasi oleh laki-laki, sedangkan bagian pelayanan dan adminitrasi cenderung diduduki oleh perempuan. Pembagian kerja ini juga menunjukkan bahwa jabatan yang dimiliki laki-laki cenderung lebih tinggi daripada perempuan. Posisi perempuan yang lebih rendah serta jumlah mereka yang minoritas inilah yang kemudian menyebabkan mereka sulit untuk menegosiasikan kebijakan pendidikan dan pelatihan kepada atasan. Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hasil korelasi Rank Spearman yang disajikan oleh Tabel 17 menunjukkan bahwa tingkat kekerasan memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat kekerasan dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,281 (p>0,05) dan memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa semakin
48
tinggi tingkat kekerasan maka semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan ditolak. Dari uji tabulasi silang diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kekerasan dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Terlihat bahwa responden yang memberikan penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan pada kategori tinggi dan rendah cenderung memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat kekerasan sehingga tidak terlihat adanya hubungan antara kedua variabel. Untuk lebih jelasnya kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat kekerasan dapat dilihat pada Tabel 22 sebagai berikut: Tabel 22 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat kekerasan, 2013 Tingkat Kekerasan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Cukup Tinggi Rendah Tinggi 2 (5.0%) 7 (17.5%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 14 (35.0%) 9 (22.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27,5%) 0 (0.0%)
Total 11 (27.5%) 26 (65.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 40 (100%)
PT. Xkom Tbk. telah menjamin keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya. Sehingga intimidasi dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal hampir tidak pernah dirasakan oleh perempuan. Sehingga tidak ada alasan bagi karyawan, baik karyawan laki-laki maupun perempuan, tidak mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan karena alasan ancaman kekerasan di lingkungan kerja dan lingkungan pendidikan dan pelatihan. Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Hasil korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat beban ganda memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) atau memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat beban ganda dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,004 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup kuat dan berlawanan arah. Artinya semakin tinggi tingkat beban ganda maka semakin rendah kesempatan pengembangan karir. Hasil tabulasi silang yang disajikan oleh Tabel 23 menunjukkan karyawan perempuan yang memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi pada tingkat beban ganda cenderung memberikan penilaian yang rendah dan cukup rendah terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan. Sebaliknya karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan dan cukup tinggi terhadap kesempatan pengembangan karir.
49
Tabel 23 Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan menurut tingkat beban ganda, 2013 Tingkat Beban Ganda Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi 1 (2.5%) 3 (7.5%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 4 (10.0%) 7 (17.5%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 17 (42.5%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%)
Total 6 (15.0%) 11(27.5%) 22 (55.0%) 0 (0.0%) 40 (100%)
Beban ganda yang dimiliki perempuan dapat menyebabkan mereka sulit untuk mengakses kesempatan pendidikan dan pelatihan. Perusahaan telah memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan. Namun, belum adanya kebijakan khusus bagi perempuan, seperti kebijakan terkait reproduksi (menyusui, menstruasi, dan melahirkan), menyebabkan karyawan perempuan sulit untuk mengakses pendidikan dan pelatihan. Pada akhirnya perempuan terpaksa harus memilih antara mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan atau mengurus anggota keluarga. Sehingga diperlukan suatu kebijakan khusus yang memperhatikan faktor-faktor reproduksi perempuan yang memungkinkan perempuan dapat mengakses kesempatan pendidikan dan pelatihan tanpa merasa terbebani dengan perasaan bersalah akibat meninggalkan anggota keluarga. Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan karyawan perempuan sebagai berikut: “Belum ada sih ijinnya. Saya juga pernah pengalaman terpaksa nggak ikutan kegiatan pendidikan pelatihan gara-gara nggak tega ninggalin anak masih kecil. Kalo dibolehin bawa (anak) saya pasti ikutan”. (EF, 31 tahun) “Memang berat ya mbak kalau harus ninggalin anak, apalagi kalau anaknya masih ASI. Suka kasihan kalau ditinggalin lama.Ya mau nggak mau jadi kepaksa deh nggak ikutan (kegiatan pendidikan dan pelatihan)”. (S, 30 tahun)
50
Hubungan Tingkat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Promosi Hubungan tingkat kesenjangan gender (stereotipi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda) dengan kesempatan promosi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil korelasi kedua variabel disajikan dalam Tabel 24 di bawah ini: Tabel 24 Hasil pengujian hubungan tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan promosi, 2013 Variabel Tingkat Koef. No p-value Keterangan Keterangan Kesenjangan Gender Korelasi 1 Tingkat Stereotipi 0.044 Sangat Nyata -0.274* Cukup kuat 2 Tingkat Subordinasi 0.006 Sangat Nyata -0.390** Kuat 3 Tingkat Marginalisasi 0.028 Nyata -0.304* Cukup kuat 4 Tingkat Kekerasan 0.241 Tidak Nyata -0.114 Sangat Lemah 5 Tingkat Beban Ganda 0.001 Sangat Nyata -0.486** Cukup kuat Keterangan: * Berhubungan nyata pada p<0,05; ** Berhubungan sangat nyata pada p<0,01; negatif (-) hubungan berlawanan Dari hasil korelasi dapat diketahui bahwa, terdapat beberapa isu gender yang berhubungan dengan kesempatan promosi. Tingkat stereotipi dan tingkat marginalisasi memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi, tingkat subordinasi dan tingkat beban ganda memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan promosi. Sedangkan tingkat kekerasan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi. Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Promosi Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat stereotipi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) atau memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat stereotipi dengan kesempatan promosi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,044 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup kuat dan berlawanan arah. Sehingga hipotesis yang menyatakan semakin tinggi tingkat stereotipi maka semakin rendah kesempatan promosi dapat diterima. Dari tabulasi silang dapat dilihat bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian tinggi cukup tinggi pada tingkat stereotipi cenderung memberikan penilaian yang rendah dan cukup rendah terhadap kesempatan promosi. Sedangkan karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah pada tingkat stereotipi cenderung memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi terhadap kesempatan promosi. Untuk lebih jelasnya kesempatan promosi menurut tingkat stereotipi dapat dilihat pada Tabel 25 sebagai berikut:
51
Tabel 25 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat stereotipi, 2013 Tingkat Stereotipi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 3 (7.5%)
Kesempatan Promosi Cukup Cukup Rendah Tinggi 1 (2.5%) 0 (0.0%) 6 (15.0%) 8 (20.0%) 18 (45.0%) 2 (5.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 26 (65.0%) 10 (25.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 1 (2.5%)
Total 1 (2.5%) 16 (40.0%) 21 (52.5%) 1 (2.0%) 40 (100%)
Pelabelan negatif terhadap perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan bekerja hanya sebagai pencari nafkah tambahan, kurang tegas, emosional, kurang rasional, serta memiliki pertanggung jawaban yang kecil terhadap pekerjaan, terkadang secara sadar maupun tidak sadar seringkali menjadi dasar penilaian perusahaan untuk memberikan promosi jabatan. Sifat-sifat maskulin seperti tegas, beribawa, dan rasional, yang cenderung dimiliki laki-laki, dianggap layak atau pantas dalam berkarir. Perempuan yang ingin mencapai posisi puncak harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara salah seorang karyawan perempuan yang menyatakan bahwa: “Biasanya sih yang dipilih (promosi) kebanyakan laki-laki ya mbak. Jumlahnya juga emang lebih banyak sih. Mungkin emang (laki-laki) lebih pantes juga kali ya” (S, 30 tahun). Pendapat ini juga diperkuat oleh informan, bapak MN (52 tahun), yang menyatakan: “Prosedur promosinya sih standar. Pertama karyawan diinformasikan dulu kalau ada posisi yang kosong. Lalu dilakukan penilaian prestasi kerja karyawan. Tujuannya biar tahu kemampuan karyawan itu seperti apa. Kalau prosedur penilaiannya sendiri sih biasanya perusahaan melibatkan karyawannya langsung, ditambah data-data dari atasan dan rekan sekerja karyawan bersangkutan. Setelah dilakukan penilaian kepada semua calon karyawan yang akan dipromosikan, kemudian dilakukan penyaringan lagi oleh pihak Human Resource karyawan mana yang dianggap tepat untuk menduduki posisi itu. Sebenarnya perusahaan tidak membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun memang laki-laki lebih sering dipromosikan, itu memang karena kinerja mereka. Kalau perempuan juga memiliki kinerja yang baik mereka juga memiliki peluang yang sama untuk dipromosikan. Tapi secara pribadi kalau saya liat memang laki-laki lebih memiliki semangat kerja.”
52
Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Promosi Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat subordinasi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,01 (p<0,01) atau memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan promosi. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat marginalisasi dengan kesempatan promosi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,006 (p<0,01). Hasil korelasi menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin tinggi tingkat subordinasi maka semakin rendah kesempatan promosi diterima. Dari tabulasi silang dapat juga dilihat bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian cukup tinggi pada tingkat subordinasi cenderung memberikan penilaian yang cukup rendah terhadap kesempatan promosi. Sebaliknya karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi pada kesempatan promosi. Untuk lebih jelasnya kesempatan promosi menurut tingkat subordinasi dapat dilihat pada Tabel 26 sebagai berikut: Tabel 26 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat subordinasi, 2013 Tingkat Subordinasi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 1 (2.5%) 3 (7.5%)
Kesempatan Promosi Cukup Cukup Rendah Tinggi 0 (0.0%) 2 (5.0%) 11 (27.5%) 4 (10.0%) 15 (37.5%) 4 (10.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 26 (65.0%) 10 (25.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%)
Total 2 (5.0%) 16 (40.0%) 21 (52.5%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih sering dilibatkan baik dalam pengambilan keputusan ataupun kegiatan-kegiatan di luar jam kantor. Keterlibatan dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan dapat dijadikan sebagai indikator kinerja karyawan. Pada akhirnya, kinerja yang tinggi akan mengarah pada promosi jabatan. Hal ini didukung dengan pernyataan salah seorang karyawan perempuan yang mengungkapkan bahwa: “Selain lama bekerja, penilaian promosi jabatan itu juga tergantung dari prestasi karyawannya. Tapi untuk cara pengukuran prestasinya sendiri saya tidak tahu seperti apa. Hanya pihak HR yang tahu kriteria pengukurannya. Ya, biasanya memang laki-laki yang lebih sering dipromosikan” (EF, 31 tahun). Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Promosi Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat marginalisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) atau memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat marginalisasi dengan kesempatan promosi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,028 (p<0,05). Hasil korelasi menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin tinggi tingkat marginalisasi maka semakin rendah kesempatan promosi diterima. Hasil tabulasi silang yang disajikan oleh Tabel 27 juga menunjukkan bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi pada
53
tingkat marginalisasi cenderung memberikan penilaian rendah dan cukup rendah pada kesempatan promosi. Sebaliknya, karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi pada kesempatan promosi. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel tingkat marginalisasi dengan kesempatan promosi. Tabel 27 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat marginalisasi, 2013 Tingkat Marginalisasi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 2 (5.0%) 3 (7.5%)
Kesempatan Promosi Cukup Cukup Rendah Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 8 (20.0%) 4 (10.0%) 18 (45.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 26 (65.0%) 10 (25.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%)
Total 2 (5.0%) 12 (30.0%) 23 (57.5%) 3 (7.5%) 40 (100%)
Rendahnya kesempatan perempuan dalam promosi jabatan dikarenakan penempatan posisi karyawan sudah dilakukan sejak awal perekrutan. Sejak awal perekrutan perempuan umumnya ditempatkan pada bagian yang berhubungan dengan pelayanan atau administrasi sedangkan laki-laki umumnya diposisikan pada bagian teknis dengan pertanggungjawaban dan risiko kerja lebih besar sehingga sulit bagi perempuan untuk dapat menduduki posisi senior level karena adanya sistem pembagian kerja yang sudah menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi. Hubungan Tingkat Kekerasan Dengan Kesempatan Promosi Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat kekerasan memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat kekerasan dengan kesempatan promosi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,241 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil korelasi menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin tinggi tingkat kekerasan maka semakin rendah kesempatan promosi ditolak. Dari uji tabulasi silang diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kekerasan dengan kesempatan promosi. Terlihat bahwa karyawan perempuan yang memberikan penilaian kesempatan promosi pada kategori tinggi dan rendah cenderung memberikan penilaian yang rendah terhadap tingkat kekerasan. Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa kekerasan perempuan sudah berada pada kategori rendah, baik kekerasan secara non-verbal berupa kekerasan seksual ataupun kekerasan verbal berupa penghinaan dan intimidasi terhadap perempuan. Untuk lebih jelasnya kesempatan promosi menurut tingkat kekerasan dapat dilihat pada Tabel 28 sebagai berikut:
54
Tabel 28 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat kekerasan, 2013 Tingkat Kekerasan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%)
Kesempatan Promosi Cukup Cukup Rendah Tinggi 7 (17.5%) 4 (10.0%) 17 (42.5%) 5 (12.5%) 2 (5.0%) 1 (2.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 26 (65.0%) 10 (25.0%)
Total
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%)
11(27.5%) 26 (65.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 40 (100%)
PT. Xkom telah menjamin keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya. Sehingga intimidasi dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal hampir tidak pernah dirasakan oleh perempuan. Sehingga perusahaan tidak melihat kekerasan yang dialami perempuan sebagai indikator untuk menentukan promosi. Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Promosi Hasil korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tingkat beban ganda memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,01 (p<0,01) atau memiliki hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan promosi. Berdasarkan hasil pengujian antara tingkat beban ganda dengan kesempatan promosi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,001 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup dan berlawan arah yang artinya semakin tinggi tingkat beban ganda maka semakin rendah kesempatan promosi. Dari hasil tabulasi silang juga dapat dilihat bahwa secara umum karyawan perempuan yang memberikan penilaian tingkat beban ganda pada kategori tinggi dan cukup tinggi cenderung memberikan penilaian cukup rendah pada kesempatan promosi. Sebaliknya karyawan perempuan yang memberikan penilaian rendah dan cukup rendah pada tingkat subordinasi cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi terhadap kesempatan promosi. Untuk lebih jelasnya kesempatan promosi menurut tingkat beban ganda dapat dilihat pada Tabel 29 sebagai berikut: Tabel 29 Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat beban ganda, 2013 Tingkat Beban Ganda Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 0 (000%) 2 (5.0%) 1 (2.5%) 3 (7.5%)
Kesempatan Promosi Cukup Cukup Rendah Tinggi 2 (5.0%) 4 (10.0%) 7 (17.5%) 3 (7.5%) 17 (42.5%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 26 (65.0%) 10 (25.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%)
Total 6 (15.0%) 11(27.5%) 22 (55.0%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Perempuan bekerja memiliki beban yang lebih besar karena selain harus bekerja domestik mereka juga memiliki tanggung jawab pekerjaan di sektor publik. Dari hasil penelitian diketahui bahwa peran ganda yang dimiliki oleh perempuan bekerja sering dianggap dapat mempengaruhi komitmen terhadap perusahaan. Fokus mereka dalam bekerja juga dapat terbagi antara urusan kantor
55
dan urusan domestik yang pada akhirnya dianggap dapat mempengaruhi loyalitas mereka terhadap perusahaan. Berbeda dengan laki-laki yang disosialisasikan sebagai penanggung jawab utama urusan finansial keluarga, mereka dianggap memiliki komitmen yang kuat terhadap pekerjaannya. Loyalitas mereka terhadap perusahaan juga dianggap cerminan dari fokus mereka dalam mengembangkan karir. Komitmen dan loyalitas karyawan sendiri dapat dijadikan indikator perusahaan dalam menilai kinerja karyawan yang pada akhirnya mengarah pada promosi jabatan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan rendahnya kesempatan promosi jabatan bagi perempuan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jenjang karir mereka, perempuan harus bekerja lebih keras daripada laki-laki dan mampu menyeimbangkan antara kepentingan domestik dan publik. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan informan, Bapak MN 52 tahun, sebagai berikut: “Kalau dilihat dari komitmen dan loyalitas memang laki-laki lebih sering terlibat dalam pekerjaan. Saya percaya perempuan juga memiliki komitmen dan loyalitas terhadap perusahaan. Tetapi kadang-kadang memang ketika mereka dihadapkan dengan urusan keluarga, urusan kantor jadi sedikit terganggu. Misalnya saja mereka terpaksa tidak masuk kerja karena harus mendaftarkan anaknya sekolah atau tidak dapat ikut kegiatan pendidikan dan pelatihan karna tidak ada yang mengurus rumah. Ya memang hal-hal seperti itu (komitmen dan loyalitas) bisa menjadi penilaian kinerja karyawan”.
56
HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR DENGAN MOTIVASI KERJA Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Kerja Hubungan tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja perempuan (motivasi berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa) dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil korelasi kedua variabel disajikan dalam Tabel 30 di bawah ini: Tabel 30 Hasil pengujian kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja, 2013 Variabel Motivasi Koef. No p-value Keterangan Keterangan Kerja Korelasi 1 Motivasi Berprestasi 0.036 Nyata 0.287* Cukup kuat 2 Motivasi Berafiliasi 0.209 Tidak Nyata 0.098 Sangat Lemah 3 Motivasi Berkuasa 0.136 Tidak Nyata -0.178 Sangat Lemah Keterangan : * Berhubungan nyata pada p<0,05; ** Berhubungan sangat nyata pada p<0,01; negatif (-) hubungan berlawanan Hasil korelasi memerlihatkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Sedangkan motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berprestasi Hasil korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) atau memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi berprestasi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,036 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup kuat dan searah yang artinya semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berprestasi karyawan perempuan. Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa secara umum karyawan perempuan yang memberikan penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan pada kategori rendah cenderung memberikan penilaian motivasi berprestasi pada kategori rendah pula sebaliknya karyawan perempuan yang memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi terhadap kesempatan pendidikan dan pelatihan cenderung memberikan penilaian yang tinggi dan cukup tinggi terhadap motivasi berprestasi. Untuk lebih jelasnya motivasi berprestasi menurut kesempatan pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada Tabel 31 di bawah ini:
57
Tabel 31 Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%)
Motivasi Berprestasi Cukup Cukup Rendah Tinggi 2 (5.0%) 3 (7.5%) 14 (35.0%) 8 (20.0%) 0 (0.0%) 9 (22.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 16 (40.0%) 20 (50.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%)
Total 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%) 40 (100%)
Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa beberapa responden yang memberikan penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan pada kategori rendah cenderung memiliki motivasi berprestasi yang rendah pula. Hal ini dikarenakan, tujuan dari kegiatan pendidikan dan pelatihan selain untuk meningkatkan kinerja dan prestasi karyawan juga untuk meningkatkan moral karyawan melalui pembinaan disiplin kerja dan loyalitas karyawan. Pengukuran prestasi karyawan dapat dilihat dari kesedian karyawan dalam menerima kebijakan-kebijakan perusahaan, disiplin, loyalitas, dan inisiatif karyawan. Sehingga karyawan dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan yang rendah cenderung memiliki loyalitas, dan disiplin kerja yang rendah karena belum bisa membagi waktu dengan baik antara urusan domestik dan publik. Walaupun mereka dapat menerima kebijakan dan peraturan perusahaan, namun karyawan perempuan juga masih meninggalkan kantor pada saat jam kantor untuk menyelesaikan urusan yang bersifat pribadi. Selain itu inisiatif mereka seperti datang ke kantor lebih awal untuk memastikan pekerjaan mereka telah siap, juga masih rendah. Hal ini dikarenakan perempuan bekerja memiliki beban domestik, dimana sebelum berangkat kerja mereka harus menyiapkan kebutuhan anggota keluarga terlebih dahulu. Begitu pula dengan lembur, selain karena alasan keamanan, perempuan jarang melakukan lembur karena mereka memiliki beban domestik juga harus diperhatikan. Hal ini sejalan dengan pendapat salah seorang karyawan perempuan yang menyatakan bahwa: “Waktu pendidikan pelatihan memang ada sih pembekalan seperti itu (disiplin dan loyalitas karyawan). Kalau saya sendiri memang beberapa kali terpaksa nggak ikut karena anak juga masih kecil. Kalau masalah datang tepat waktu sih harus ya mbak. Tapi kalau datang jauh lebih awal nggak sih. Soalnya mesti nyiapin keperluan anak sama suami dulu. Kalo lembur juga susah ya mbak, soalnya juga masih ada kerjaan rumah. Kalo kerjaannya emang bisa dibawa pulang sih mending dikerjain di rumah” (RIM, 29 tahun). Berbeda halnya dengan karyawan perempuan yang memberikan pernyataan kesempatan pendidikan dan pelatihan pada kategori tinggi cenderung memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini dikarenakan walaupun mereka memiliki anak dan suami, mereka tetap mendapatkan dukungan sosial dari keluarga untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Sehingga masalah pengasuhan anak tidak menjadi kendala bagi mereka. Mereka mengakui bahwa kebijakan perusahaan untuk membawa anak memang belum ada, tetapi mereka menganggap hal tersebut tidak mengurangi kualitas pendidikan dan pelatihan itu sendiri.
58
Mereka merasa materi pendidikan dan pelatihan yang diberikan perusahaan sudah sangat baik dan memiliki manfaat dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kinerja karyawan. Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berafiliasi Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berafiliasi. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi berafiliasii memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,209 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil korelasi juga menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berafiliasi ditolak. Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan tidak memiliki hubungan dengan motivasi berafiliasi karyawan perempuan. Hal ini dikarenakan, responden yang memberikan pernyataan kesempatan pendidikan dan pelatihan baik pada kategori tinggi maupun rendah umumnya memberikan penilaian yang tinggi terhadap motivasi berafiliasi. Untuk lebih jelasnya motivasi berafiliasi menurut kesempatan pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada Tabel 32 di bawah ini: Tabel 32 Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%)
Motivasi Berafiliasi Cukup Cukup Rendah Tinggi 0 (0.0%) 4 (10.0%) 2 (2.5%) 22 (55.0%) 0 (0.0%) 8 (20.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (2.5%) 34 (85.0%)
Tinggi 1 (2.5%) 0 (0.0%) 3 (7.5%) 0 (0.0%) 4 (10.0%)
Total 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11 (27.5%) 0 (0.0%) 40 (100%)
Kemampuan berafiliasi salah satu kemampuan yang penting dalam bekerja. Kemampuan berafiliasi meliputi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kemampuan bekerjasama dengan rekan sekerja. Kemampuan berafiliasi dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan. Namun, dari hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa karyawan perempuan telah memiliki motivasi berafiliasi pada kategori cukup tinggi. Mereka sejak awal kerja sudah menyadari pentingnya adaptasi dengan lingkungan kerja. Walaupun masih sering merasa tertekan dengan persaingan kerja tetapi umumnya mereka telah mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja dan bekerjasama dengan rekan sekerja. Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang karyawan yang menyatakan bahwa: “Yang namanya persaingan kerja mah udah biasa ya mbak. Gimana kita menyikapinya aja. Dari awal masuk kerja kita harus udah siap dengan lingkungannya.” (SP, 35 tahun)
59
Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Berkuasa Hasil uji korelasi Rank Spearman memerlihatkan bahwa kesempatan pendidikan dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berkuasa. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi berkuasa memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,182 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa semakin rendah kesempatan pendidikan dan pelatihan maka semakin rendah motivasi berkuasa ditolak. Tabel 33 Jumlah responden berdasarkan motivasi berkuasa menurut tingkat kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013 Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 1 (2.5%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%)
Motivasi Berkuasa Cukup Cukup Rendah Tinggi 1 (2.5%) 3 (7.5%) 17 (42.5%) 6 (15.0%) 4 (10.0%) 5 (12.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 22 (55.0%) 14 (35.0%)
Tinggi 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%)
Total 5 (12.5%) 24 (60.0%) 11(27.5%) 0 (0.0%) 40 (100%)
Hasil tabulasi silang yang disajikan oleh Tabel 33 juga menunjukkan bahwa responden yang memberikan penilaian kesempatan pendidikan dan pelatihan baik pada kategori tinggi maupun rendah cenderung memberikan penilaian rendah pada motivasi berkuasa. Sehingga tidak terlihat adanya hubungan antara kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan motivasi berkuasa. Motivasi berkuasa dapat dilihat dari dorongan bekerja bersungguh-sungguh untuk meningkatkan jenjang karir. Salah satu tujuan kegiatan pendidikan dan pelatihan adalah untuk meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan. Namun, hasil data lapang juga memerlihatkan bahwa walaupun ada beberapa karyawan perempuan yang menganggap bahwa kualitas pendidikan dan pelatihan yang diberikan telah baik, namun tetap tidak menumbuhkan dorongan mereka untuk berkuasa dengan meningkatkan jenjang karir mereka. Hal ini dikarenakan, mereka merasa bekerja hanya sebagai bentuk aktualisasi diri sedangkan jenjang karir yang tinggi bukan tujuan utama mereka. Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan salah seorang responden yang menyatakan bahwa: “Kegiatan pendidikan dan pelatihan memang tujuannya untuk motivasi karyawan supaya berprestasi. Tapi kalau saya sendiri karir mah bukan tujuan utama saya kerja. Awalnya sih kerja ya buat nyenengin orang tua. Udah sekolah tinggi-tinggi kalau cuma di rumah aja kan sayang mbak. Sekarang udah nikah, suami juga punya kerjaan yang tetep ya cukuplah ya. Kalau karir mah dijalanin aja nggak muluk-muluk yang penting ada kerjaan tetap” (UM, 28 tahun). Kegiatan pendidikan dan pelatihan selain bertujuan untuk meningkatkan prestasi dan kompetensi karyawan juga merupakan salah satu poin dalam peningkatan jenjang karir karyawan. Namun umumnya, karyawan perempuan
60
yang mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan hanya untuk meningkatkan prestasi dan kompetensinya saja. Perempuan menganggap selain posisi mereka yang minoritas, keterikatan mereka terhadap keluarga juga menjadi pertimbangan dalam peningkatan jenjang karir. Hal ini senada dengan hasil salah satu karyawan perempuan sebagai berikut: “Pendidikan dan pelatihan memang menjadi poin buat promosi jabatan. Tapi kalau saya sendiri sih ikut kegiatan pendidikan pelatihan memang buat kebutuhan kerja. Ilmu-ilmu yang didapet pas kegiatan kan bisa diaplikasiin buat kerjaan. Kalau untuk peningkatan jenjang karir, saya sih nggak ngoyo ya mbak, selain memang sainganya banyak harus ada pertimbangan dari suami dulu.”
Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Kerja Hubungan tingkat kesempatan promosi dengan motivasi kerja perempuan (motivasi berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa) dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil korelasi kedua variabel disajikan dalam Tabel 34 di bawah ini: Tabel 34 Hasil pengujian kesempatan promosi dengan motivasi kerja, 2013 Variabel Motivasi Koef. No p-value Keterangan Keterangan Kerja Korelasi 1 Motivasi Berprestasi 0.026 Nyata 0.310* Cukup kuat 2 Motivasi Berafiliasi 0.218 Tidak Nyata 0.127 Sangat Lemah 3 Motivasi Berkuasa 0.125 Tidak Nyata -0.187 Sangat Lemah Keterangan: * Berhubungan nyata pada p<0,05; ** Berhubungan sangat nyata pada p<0,01; negatif (-) hubungan berlawanan Hasil korelasi memerlihatkan bahwa kesempatan promosi hanya memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Sedangkan motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa tidak memiliki hubungan dengan kesempatan promosi. Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berprestasi Hasil uji korelasi Rank Spearman memerlihatkan bahwa kesempatan promosi memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) atau memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan promosi dengan motivasi berprestasi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,026 (p<0,05) serta memiliki hubungan yang cukup kuat dan searah yang artinya semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berprestasi karyawan perempuan. Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa secara umum karyawan perempuan yang memberikan penilaian kesempatan promosi pada kategori rendah dan cukup rendah cenderung memberikan penilaian motivasi berprestasi pada kategori rendah dan cukup rendah pula. Sebaliknya karyawan perempuan yang
61
memberikan penilaian kesempatan promosi pada kategori tinggi dan cukup tinggi cenderung memberikan penilaian tinggi dan cukup tinggi pula terhadap motivasi berprestasi. Untuk lebih jelasnya motivasi berprestasi menurut kesempatan promosi dapat dilihat pada Tabel 35 di bawah ini: Tabel 35 Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat kesempatan promosi, 2013 Kesempatan Promosi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%)
Motivasi Berprestasi Cukup Cukup Rendah Tinggi 1 (2.5%) 2 (5.0%) 15 (37.5%) 9 (22.5%) 0 (0.0%) 8 (20.0%) 0 (0.0%) 1 (2.5%) 16 (40.0%) 20 (50.0%)
Tinggi 0 (0.0%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 2 (5.0%)
Total 3 (7.5%) 26 (65.0%) 10 (25.0%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Walaupun sistem promosi jabatan sudah memberikan informasi dengan jelas dan penilainnya sudah berdasarkan senioritas dan prestasi, namun karyawan perempuan merasa laki-laki cenderung lebih sering dipromosikan. Sehingga pada akhirnya menyebabkan dorongan mereka untuk berprestasi menjadi rendah. Mereka hanya melakukan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban mereka saja tidak memiliki inisiatif lebih untuk menunjukkan kemampuan dan komitmen kerja mereka. “Berat juga sih, kan emang biasanya laki-laki yang dipromosiin. Saya mah jalanin aja, kerjain yang udah jadi tugas saya aja. Kalau kerjaan saya dianggep baik ya alhamdulillah ya mbak” (RIM, 29 tahun). Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berafiliasi Hasil uji korelasi Rank Spearman memerlihatkan bahwa kesempatan promosi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berafiliasi. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan promosi dengan motivasi berafiliasi memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,218 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berafiliasi ditolak. Hasil uji tabulasi silang juga menunjukkan bahwa kesempatan promosi tidak memiliki hubungan dengan motivasi berafiliasi. Hal ini dikarenakan, karyawan perempuan yang memberikan penilaian kesempatan promosi pada kategori rendah maupun tinggi cenderung memberikan penilaian motivasi berafiliasi pada kategori tinggi. Untuk lebih jelasnya motivasi berafiliasi menurut kesempatan promosi dapat dilihat pada Tabel 36 di bawah ini:
62
Tabel 36 Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat kesempatan promosi, 2013 Kesempatan Promosi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%)
Motivasi Berafiliasi Cukup Cukup Rendah Tinggi 0 (0.0%) 2 (5.0%) 2 (5.0%) 23 (57.5%) 0 (0.0%) 9 (22.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (5.0%) 34 (85.0%)
Tinggi 1 (2.5%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 1 (2.5%) 2 (5.0%)
Total 3 (7.5%) 26 (65.0%) 10 (25.0%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Lemahnya hubungan antara kesempatan promosi dan motivasi berafiliasi dikarenakan karyawan perempuan merasa bahwa hubungan dan adaptasi dengan lingkungan kerja merupakan suatu hal sudah harus dimiliki sejak awal bekerja. Ketika mereka telah memutuskan untuk bekerja maka kantor menjadi tempat kedua mereka. Untuk jangka waktu yang lama mereka akan berinteraksi dengan lingkungan kerja. Sehingga karyawan perempuan menyadari pentingnya membina hubungan dengan rekan sekerja maupun dengan atasan. Hal ini sejalan dengan pendapat salah seorang responden yang menyatakan bahwa: “Kalau menurut saya, membina hubungan yang baik dengan lingkungan kerja memang sudah harus ada sejak awal kerja. Kita kerja nggak sebentar, waktu kita juga kebanyakan di kantor. Kalau kita nggak bisa adaptasi dengan lingkungan kerja, kita sendiri yang bakal susah” (SP, 35 tahun). Hubungan kesempatan promosi dengan motivasi berkuasa Hasil uji korelasi Rank Spearman memerlihatkan bahwa kesempatan promosi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05) atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berkuasa. Berdasarkan hasil pengujian antara kesempatan promosi dengan motivasi berkuasa memiliki nilai probabilitas (sig) sebesar 0,470 (p>0,05) serta memiliki hubungan yang sangat lemah. Hasil korelasi juga menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan semakin rendah kesempatan promosi maka semakin rendah motivasi berkuasa ditolak. Hal ini dikarenakan, responden yang memberikan penilaian kesempatan promosi baik pada kategori tinggi maupun rendah umumnya memberikan penilaian yang rendah pada motivasi berkuasa. Hasil uji tabulasi silang juga menunjukkan bahwa kesempatan promosi tidak memiliki hubungan dengan motivasi berkuasa. Hal ini dikarenakan, karyawan perempuan yang memberikan penilaian kesempatan promosi pada kategori rendah maupun tinggi cenderung memberikan penilaian motivasi berkuasa pada kategori rendah. Untuk lebih jelasnya motivasi berkuasa menurut kesempatan promosi dapat dilihat pada Tabel 37 di bawah ini:
63
Tabel 37 Jumlah responden berdasarkan motivasi berkuasa menurut tingkat kesempatan promosi, 2013 Kesempatan Promosi Rendah Cukup Rendah Cukup Tinggi Tinggi Total
Rendah 0 (0.0%) 1 (2.5%) 2 (5.0%) 0 (0.0%) 3 (7.5%)
Motivasi Berkuasa Cukup Cukup Rendah Tinggi 1 (2.5%) 1 (2.5%) 16 (40.0%) 9 (22.5%) 4 (10.0%) 4 (10.0%) 1 (2.5%) 0 (0.0%) 22 (55.0%) 14 (35.0%)
Tinggi 1 (2.5%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 2 (2.5%)
Total 3 (7.5%) 26 (65.0%) 10 (25.0%) 1 (2.5%) 40 (100%)
Motivasi berkuasa dapat dilihat dari dorongan bekerja bersungguh-sungguh untuk meningkatkan jenjang karir. Salah satu tujuan promosi jabatan adalah untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan dalam meningkatkan jenjang karir. Namun, hasil data lapangan juga memerlihatkan bahwa walaupun ada beberapa responden yang menganggap bahwa prosedur promosi jabatan sudah cukup baik, namun tetap tidak menumbuhkan dorongan mereka untuk berkuasa dan meningkatkan jenjang karir. Hal ini dikarenkan mereka merasa bahwa perempuan tidak harus memiliki jenjang karir yang tinggi. Ketika jenjang karir mereka semakin tinggi beban pekerjaan juga semakin besar sedangkan mereka juga memiliki tanggung jawab domestik yang besar pula. Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan responden yang menyatakan bahwa: “Prosedur promosi sudah cukup baik. Kalaupun saya diberi kesempatan sih saya nggak nolak. Tapi kalau harus ngorbanin waktu sama keluarga mesti dipertimbangin dulu ya mbak. Untuk posisi ini saja saya sudah cukup kewalahan membagi waktu” (UM, 28 tahun).
64
PENUTUP
1.
2.
3.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Isu gender yang berhubungan dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan antara lain subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Sedangkan isu gender yang berhubungan dengan kesempatan promosi antara lain sterotipi, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Tingkat kesenjangan gender yang berhubungan sangat nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan adalah tingkat subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Sedangkan tingkat kesenjangan gender yang tidak memiliki hubungan nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan adalah tingkat stereotipi dan kekerasan. Untuk tingkat kesenjangan gender yang berhubungan sangat nyata dengan kesempatan promosi adalah tingkat subordinasi dan tingkat beban ganda. Tingkat stereotipi dan tingkat marginalisasi memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi. Sedangkan tingkat kekerasan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan promosi. Kesempatan pendidikan dan pelatihan memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Sedangkan motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Kesempatan promosi hanya memiliki hubungan yang nyata dengan motivasi berprestasi. Sedangkan motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa tidak memiliki hubungan dengan kesempatan promosi.
Saran Isu gender gender di perusahaan dapat diantisipasi dengan melakukan sosialisasi mengenai konsep gender di lingkungan perusahaan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan melibatkan ahli gender untuk memberikan pemahaman tentang gender dan pemahaman terhadap kebijakan-kebijakan yang responsif gender. Untuk bidang ketenagakerjaan, pada kegiatan pendidikan dan pelatihan, perusahaan harus lebih peka memperhatikan kebutuhan semua karyawan khususnya perempuan. Seperti penyediaan ruang penitipan anak, atau izin membawa anak pada saat kegiatan pendidikan dan pelatihan. Dengan adanya izin ini, akan mempermudah perempuan dalam memanfaatkan kesempatan pendidikan dan pelatihan. Selain itu, untuk kegiatan promosi jabatan, perusahaan seharusnya dapat lebih terbuka lagi terhadap penilaian promosi jabatannya. Keterbukaan penilaian promosi ini dapat menjadi standar semua karyawan dalam meningkatkan jenjang karirnya. Keterbukaan penilaian promosi ini juga sebagai cerminan dari kepercayaan perusahaan terhadap kinerja karyawan baik laki-laki maupun perempuan.
65
DAFTAR PUSTAKA Ardana IK, Mujiati NW, Utama IWM. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Aripurnami S. 1996. Cengeng, Cerewet, Judes, Kurang Akal dan Buka-Bukaan: Gambaran Perempuan dalam Film Indonesia. Di dalam: Gardiner MO, Mildred LEW, Suleeman, Sulastri, editor. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dhania DR. 2010. Bias Gender dan Segregasi Vertikal Pada Produktivitas Wanita di Dunia Kerja. Majalah Ilmiah Mawas Universitas Muria Kudus [internet]. [diunduh pada 11 Oktober 2012]. Tersedia pada http://himcyoo.files.wordpress.com/2012/06/bias-gender-dan-segregasivertikal-pada-produktivitas-wanita-di-dunia-kerja.pdf. Effendi TN, Tukiran, Sucipto HP. 1989. Pengolahan Data. Di dalam: Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S). Efrini D. 2009. Analisis Relasi Gender dan Keberhasilan Organisasi Koperasi Warga (KOWAR) SMP Negeri 7 Bekasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fakih M. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Handayani T dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Hasibuan. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press. Irianto J. 2007. Perempuan dalam Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik [internet]. [diunduh 13 September 2012]; 10(4). Tersedia pada http://journal.unair.ac.id/ filerPDF/Perempuan%20dalam%20Praktik%20Manajemen.pdf. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. 2012. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. [internet]. [diunduh 8 September 2013]. Tersedia pada http://www.pdii.lipi.go.id/wp-content/uploads/2013/02/Pembangunanmanusia-berbasis-gender-2012.pdf Khotimah K. 2009. Diskriminasi Gender terhadap Perempuan dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender dan Anak [internet]. [diunduh 10 Desember 2012]. 4(1): 158-180. Tersedia pada http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/issue/vie/43. Lestari RB. 2011. Teknologi Informasi dan Pemberdayaan Perempuan. Jurnal Teknologi dan Informatika (Teknomatika) [internet]. [diunduh 22 Maret 2013]. 1(1): 83-94. Tersedia pada http://news.palcomtech.com/wpcontent/uploads/2012/01/RETNO-TE01012011.pdf. Mangkuprawira S. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mangkuprawira S, Hubeis AV. 2006. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia. Maulida N. 2010. Pengaruh Penilaian Prestasi Kerja terhadap Promosi Jabatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
66
Misiyah. 2006. Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan [internet]. [diunduh 15 Februari 2013]; 48(39): 39-53. Tersedia pada http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/JP48cetak.pdf. Munandar SCU. 2001. Wanita Karier: Tantangan dan Peluang. Narsa IM. 2006. Sex-Role Stereotype dalam Rekruitmen Pegawai Akuntansi dan Keuangan: Observasi terhadap Pola Rekruitmen Terbuka di Media Masa. Jurnal Akuntansi dan Keuangan [internet]. [diunduh 11 Oktober 2012]; 2(5): 71-77. Tersedia pada puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU060802/AKU0608025. pdf. Rachmawati IK. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Sadli S. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Bachtiar I, editor. Jakarta: Kompas. Salsabila. 2008. Analisis Hubungan Efektivitas Pelatihan Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Dengan Kinerja Karyawan (PT. Surveyor Indonesia Divisi Sumber Daya Manusia) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sarwono J. 2009. Statistik Itu Mudah: Panduan Lengkap Untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Andi Offset. Sasongko SS. 2008. Konsep dan Teori Gender. BKKBN : Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan. Sedyono CH. 1996. Perempuan di Sektor Formal “Kerja Ya, Karier Tidak”. Di dalam: Gardiner MO, Mildred LEW, Suleeman, Sulastri, editor. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Singarimbun M. 1989. Metode dan Proses Penelitian Survei. Di dalam: Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S). Sodikin. 2007. Pengaruh Pelatihan Terhadap Produktivitas Karyawan Pada PT. Gunung Madu Plantation [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sunyoto. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: UB Press. Suryono. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: UB Press. Swasto. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: UB Press. Uli S. 2005. Pekerja Wanita di Perusahaan dalam Perpektif Hukum dan Jender. Dalam Jurnal Equality [internet]. [diunduh pada 10 Desember 2012]. 10(2) :87-92. Tersedia pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 15235/1/equ-agu2005-5.pdf. Umar H. 2003. Metode Riset Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Wibowo. 2006. Analisis Pengaruh Peran Kepemimpinan dan Pengembangan Karir terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Wijayanti. 2009. Glass Ceiling dalam Karir Wanita: Mampukah Wanita Mengatasi Glass ceiling?. Jurnal Manajemen dan Bisnis [internet]. [diunduh 13 September 2012].2. Tersedia pada http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/segmen/article/view/38.
67
Lampiran 1 Lokasi Penelitian
68
Lampiran 2 Struktur Organisasi
69
Lampiran 3 Data Populasi Karyawan Perempuan
Y
S
PS
K
EV
DE
YP
S
PA
JLM
EVD
D
YF
STK
P
JVDV
EKD
DR
YYG
SS
PU
I
ERM
DI
YYK
SLT
PT
IS
ELD
DS
YW
SL
OJH
ISA
EIR
DR
YM
SK
N
IH
EA
DMS
YS
SH
NYS
IGA
E
DI
YS
SH
NDU
IDWRA
ER
CN
YL
SD
NR
IAP
EW
BDH
WD
SA
NP
ID
ERI
BJS
WA
SAH
NHS
IH
ES
A
WS
SW
NDW
IP
EA
AW
WL
SA
NH
IA
EL
AS
WDW
SA
NDP
IGAYTD
EK
ARS
W
SET
MR
IGAAKT
EY
AAS
W
SU
M
HEP
EW
AT
WL
SR
ML
HWI
ES
AN
VJ
SW
M
H
EM
AS
V
SD
M
HT
EMA
ASN
UM
S
MMM
HS
EW
AAK
TH
S
MM
HR
EY
AVR
TS
R
MM
HS
EW
ADS
TS
R
MY
HSH
ES
ADTW
TWN
RD
MR
HB
EA
AF
TM
R
M
HAI
ES
AS
TDL
RG
MH
HD
EF
AYH
TM
RHS
MU
GAM
ED
AH
TL
RF
M
GG
DN
DA
TA
R
M
GHG
DLB
DAPSH
70
TR
RDA
MUP
GR
DA
K
TP
RDK
MSW
FRS
DPI
EY
TA
RDE
MDH
FH
DI
DKR
TR
RN
LM
FHI
DAD
S
TN
RIM
LD
FS
DIP
PJ
TB
RPK
LO
FRW
DJ
KH
TP
RP
LF
FL
DSH
FY
S
RMK
L
FIS
DAW
DS
SA
RYR
LLP
FHR
DM
S
RM
KP
FDD
DE
S
RDR
KW
FL
DMP
SK
PK
K
FL
DFP
71
Lampiran 4 Uji Korelasi Rank Spearman Uji Korelasi Tingkat Pengembangan Karir
Kesenjangan
Gender
dengan
Kesempatan
Correlations Kesempatan Pendidikan Tingkat Stereotipi Spearman's rho
Tingkat Stereotipi
Correlation Coefficient
1.000
-.172
.
.145
40
40
-.172
1.000
.145
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Pendidikan Correlation Coefficient Pelatihan
Sig. (1-tailed)
Pelatihan
N
Correlations Kesempatan
Spearman's rho
Tingkat Subordinasi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Kesempatan Pendidikan Correlation Coefficient Pelatihan
Sig. (1-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Tingkat
Pendidikan
Subordinasi
Pelatihan
1.000
**
-.507
.
.000
40
40
-.507**
1.000
.000
.
40
40
72
Correlations Kesempatan
Spearman's rho Tingkat Marginalisasi
Tingkat
Pendidikan
Marginalisasi
Pelatihan
1.000
-.427**
.
.003
40
40
-.427**
1.000
.003
.
40
40
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Kesempatan Pendidikan Correlation Coefficient Pelatihan
Sig. (1-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Correlations Kesempatan Pendidikan Tingkat Kekerasan Spearman's rho
Tingkat Kekerasan
Correlation Coefficient
1.000
.094
.
.281
40
40
.094
1.000
.281
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Pendidikan Correlation Coefficient Pelatihan
Sig. (1-tailed)
Pelatihan
N
Correlations Kesempatan
Spearman's rho
Tingkat Beban Ganda
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Kesempatan Pendidikan Correlation Coefficient Pelatihan
Sig. (1-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Tingkat Beban
Pendidikan
Ganda
Pelatihan 1.000
-.416**
.
.004
40
40
-.416**
1.000
.004
.
40
40
73
Correlations Kesempatan Tingkat Stereotipi Spearman's rho Tingkat Stereotipi
Correlation Coefficient
1.000
-.274*
.
.044
40
40
-.274*
1.000
.044
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
Promosi
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). Correlations
Kesempatan Tingkat Subordinasi Spearman's rho Tingkat Subordinasi
Correlation Coefficient
1.000
-.390**
.
.006
40
40
-.390**
1.000
.006
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
Promosi
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Correlations
Spearman's rho Tingkat Marginalisasi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Tingkat
Kesempatan
Marginalisasi
Promosi
1.000
-.304*
.
.028
40
40
-.304*
1.000
.028
.
40
40
74
Correlations Tingkat Kekerasan Kesempatan Promosi Spearman's rho
Tingkat Kekerasan
Correlation Coefficient
1.000
-.114
.
.241
40
40
-.114
1.000
.241
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Correlations Tingkat Beban Ganda Spearman's rho
Tingkat Beban Ganda Correlation Coefficient
Kesempatan Promosi 1.000
-.486**
.
.001
40
40
-.486**
1.000
.001
.
40
40
Sig. (1-tailed) N Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Uji Korelasi Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Correlations
Spearman's rho Kesempatan Pendidikan Pelatihan
Motivasi
Pendidikan Pelatihan
Berprestasi
1.000
.287*
.
.036
40
40
Correlation Coefficient
.287*
1.000
Sig. (1-tailed)
.036
.
40
40
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berprestasi
Kesempatan
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
75
Correlations Kesempatan Pendidikan Pelatihan Motivasi Berafiliasi Spearman's rho
Kesempatan Pendidikan
Correlation Coefficient
1.000
.209
.
.098
40
40
Correlation Coefficient
.209
1.000
Sig. (1-tailed)
.098
.
40
40
Sig. (1-tailed)
Pelatihan N Motivasi Berafiliasi
N Correlations Kesempatan
Pendidikan Pelatihan Motivasi Berkuasa Spearman's rho
Kesempatan Pendidikan Pelatihan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berkuasa
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000
-.178
.
.136
40
40
-.178
1.000
.136
.
40
40
Correlations Kesempatan Pendidikan Pelatihan Motivasi Berkuasa Spearman's rho Kesempatan Pendidikan Pelatihan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berkuasa
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000
-.178
.
.136
40
40
-.178
1.000
.136
.
40
40
76
Correlations Motivasi Kesempatan Promosi Spearman's rho Kesempatan Promosi
1.000
.310*
.
.026
40
40
Correlation Coefficient
.310*
1.000
Sig. (1-tailed)
.026
.
40
40
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berprestasi
Berprestasi
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). Correlations
Kesempatan Promosi Motivasi Berafiliasi Spearman's rho Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient
1.000
.127
.
.218
40
40
Correlation Coefficient
.127
1.000
Sig. (1-tailed)
.218
.
40
40
Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berafiliasi
N Correlations
Kesempatan Promosi Motivasi Berkuasa Spearman's rho Kesempatan Promosi
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
Motivasi Berkuasa
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000
-.187
.
.125
40
40
-.187
1.000
.125
.
40
40
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, pada tanggal 16 Juni 1990. Penulis adalah anak ke enam dari tujuh bersaudara, dari pasangan Bapak Qotamal S.E dan Ibu Idjanawati B.A. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Yayasan Sosial Pendidikan PUSRI 1 (1996-2002), Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 (2002-2005), dan Sekolah Menengah Atas Plus Negeri 5 Palembang (2005-2008). Kemudian pada tahun 2009, penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis beberapa kali mengikuti kepanitian antara lain kepanitian Pekan Ekologi Manusia (PEM) tahun ajaran 2011-2012 divisi PDD (Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi), kepanitian Himasiera Olah Talenta 2012 pada divisi HUMAS (Hubungan Masyarakat), kepanitian PASTA 1 tahun 2012 pada divisi konsumsi, dan kepanitian PASTA 2 tahun 2013 pada divisi PDD. Penullis juga tercatat sebagai volunteer Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) pada divisi fundrising.