HUBUNGAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI DENGAN PEMBERIAN MAKANAN FORMULA PADA ANAK BADUTA ( Studi Kasus di Kelurahan Baranangsiang, Kecarnatan
Bogor Timur, Kotamadya B o g o r )
Oleh
TUNGGUL WAROHANI A.251088
JURUSAN GI21 MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANlARl BOGOR 1993
TUNGGUL WARDHANI.
Hubungan Keadaan sosial Ekonomi dengan pemberian Makanan Formula pada Anak Baduta (Studi Kasus di Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, Kotamadya Bogor). (Di bawah bimbingan SIT1 MADANIJAH dan LILIK KUSTIYAH)
.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan pemakaian makanan formula, hubungan antara pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu dengan pemakaian makanan formula, hubungan frekuensi ibu mendapatkan informasi tentang makanan formula dengan pemakaian makanan formula, hubungan kontribusi makanan formula dengan tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein, hubungan pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein, serta status gizi anak baduta dikaitkan dengan tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein dan berat badan lahir. Penelitian dilakukan di Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, Kotamadya Bogor mulai bulan Agustus sampai pertengahan bulan Nopember 1992. Pemilihan contoh dilakukan secara acak sederhana (Singarimbun & Effendi, 1989) dengan populasi dibatasi pada keluarga yang mempunyai anak berumur 1-24 bulan, telah mendapatkan makanan selain AS1 dan pada saat penelitian masih mengkonsumsi makanan formula. Contoh yang diambil berjumlah 60 yang terdiri dari 20 contoh berumur 1-6 bulan, 19 contoh berumur 7-12 bulan, dan 21 contoh berumur 13-24 bulan. Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang meliputi data identitas anak baduta, pendapatan keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, informasi tentang makanan formula dan konsumsi pangan anak baduta yang diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner. Data sekunder berupa keadaan geografis dan potensi wilayah Kelurahan Baranangsiang. Data konsumsi pangan anak baduta diperoleh dengan cara recall konsumsi pangan 24 jam terakhir selama dua hari berturut-turut. Selanjutnya besar kecilnya konsumsi makanan formula dilihat dari kontribusi konsumsi pangan yanq berasal dari makanan formula terhadap konsumsi pangan total. Tingkat konsumsi energi (TKE) dan protein (TKP) dikelompokkan menjadl tiga tingkatan yaitu <SO% angka kecukupan yang dianjurkan WHOIFAOJUNU, 80%-100% dan 2100% angka kecukupan. Status gizi anak baduta ditentukan dengan berat badan lahir berclasarkan standar WHO-NCHS dan hasil semiloka Antropometri Indonesia 1991. Frekuensi ibu mendapatkan informasi tentang makanan formula dihitung berdasarkan frekuensi selama sebulan dari berbagai sumber yaitu televisi, radio, media cetak, Posyandu/Klinik dan
tetangga. Pendapatan keluarga dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi berdasarkan 40% kelompok pendapatan terbawah, 40% tengah dan 20% teratas. Tingkat pengetahuan gizi ibu dibagi menjadi tiga kelompok yaitu rendah (skor
80% dan TKP >80% (80,00%). Sebagian kecil (3,33%) anak baduta lahir dengan berat badan lahir rendah. Pada umumnya (70,00%) anak baduta berstatus gizi baik, termasuk di dalamnya anak baduta dengan berat badan lahir rendah. Makanan formula digunakan oleh para ibu terutama karena kepraktisannya. Terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan keluarga dan pendidikan ibu dengan peningkatan kontribusi makanan formula terhadap konsumsi total. Kecenderungan ini juga terjadi jika pemakaian makanan formula dilihat dari jumlah jenis dan jumlah merk makanan formula yang pernah digunakan tetapi hubungannya tidak nyata secara statistik. Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan gizi ibu dengan jumlah jenis dan jumlah merk makanan formula yang pernah digunakan, dan hubungan positif antara pengetahuan gizi ibu dengan peningkatan kontribusi makanan formula terhadap konsumsi total tetapi hubungan ini tidak nyata secara statistik. Informasi yang diperoleh lebih berhubungan dengan peningkatan jumlah jenis dan jumlah merk makanan formula yang pernah digunakan, tetapi peningkatan kontribusinya terhadap konsumsi total lebih terkait dengan faktor sosial ekonomi. Pendidikan ibu adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan kontribusi makanan formula sedangkan informasi merupakan faktor yang paling berpengaruh pada peningkatan jumlah jenis dan jumlah merk makanan formula yang pernah digunakan . Semakin tinggi kontribusi makanan formula, TKE dan TKP anak baduta semakin tinggi. Sehingga dalam ha1 meningkatkan konsumsi energi dan protein makanan formula cukup baik untuk konsumsi anak-anak. Secara umum TKE dan TKP meningkat dengan meningkatnya keadaan sosial ekonomi keluarga. Status gizi anak baduta lebih terkait dengan TKE dari ada TKP dan berat badan lahir.
.
HUBmGAN ICEADAAN SOSIAL EICONOMI DENGAN PEhlBERIAN RIAKANAN FORMULA PADA AA'AIC BADUTA (Studi Kasus di 1Celumha11Baranangsiang, I<ecarnatan Bogor Timur, Kotarnadya Bogor)
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh T n T G G U LWARDHANI A.251088
JURUSAN GIZI RIASYARAKAT DAN SWBERD.AYA KELUARGA FAICULTAS PERTANIAN mSTITUT PERTANIAN BOGOR 1993
JUDUL
:
HUBUNGAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI DENGAN P m E R I A N -AN FORKLTLA PADA ANAK BADUTA (Studi Kasus di Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, Kotamadya Bogor)
NAMA
:
TUNGGUL WARDHANI
NOMOR POKOK
:
A.251088
Menyetujui Dosen Pembimbincz I
Dosen Pembimbing I1
Ir. Siti Madanijah, M.S. NIP. 130541472
Ir. Lilik Kustiyah NIP. 131669945
Tanggal Lulus :
18 Agustus 1993