Hubungan Informasi Non-akuntansi dalam Prospektus dengan Tingkat Initial Return di Bursa Efek Jakarta: Bukti Lanjutan Tatang Ary Gumanti dan Sri Indah Cahyati Abstract This study examines the association between the firms’ initial return and non-accounting information available in the issue of prospectus of an initial public offerings (IPO) in the Jakarta Stock Exchange. Five nonaccounting information were examined. These include reputation of underwriters, reputation of auditor, company age, the percentage of retained ownership, and the value of the issue. A sample of 86 IPO firms that went public during the period of 1992-1995 was tested. An ordinary least square (OLS) regression was used to test the null hypothesis that the non-accounting information available in the issue prospectus is not related to the IPO’s initial return. Initial return was measured as the relative difference between the firm’s first day closing price and its offer price. Two measures of initial returns were examined: (1) initial return that does not incorporate the market return, that is the raw initial return, and (2) initial return adjusted for the market return, that is market adjusted initial return. Reputation of underwriters, reputation of auditors, company age, and offering value were expected to be negatively associated with initial returns. Retained ownership is predicted to have positif relationship. The results show that non-accounting information of prospectus is significantly associated with IPO initial returns meaning that the null hypothesis is rejected. The reputation of underwriters has a positive association with initial returns. Auditor reputation, retained ownership and the size of the issue have the expected relationship, but the relation between company age and initial return is positive. Only the size of issue is significantly related to the level of initial return. The results using market adjusted return produce qualitatively similar conclusions as that using raw initial return. Overall, the finding suggests that in making decision in the new issue stock, investors are encouraged to consider non-accounting information of prospectus in particular the size of the issue. Key words: Initial returns, initial public offering, reputation of underwriters, reputation of auditors, company age, percentage of offered shares, and offering value. Abstraksi Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh informasi nonakuntansi prospektus terhadap tingkat initial return pada perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offering) di Bursa Efek Jakarta. Lima variabel non-akuntansi yang terdiri dari reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, prosentase saham yang ditahan oleh pemilik lama, dan nilai penawaran saham diuji dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 86 perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1992-1995. Analisis Ordinary Least Square Regression (OLS) digunakan untuk menguji hipotesis nul bahwa informasi non-akuntansi tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan variasi initial return. Initial return merupakan selisih antara harga penutupan (closing price) pada hari pertama perdagangan dan harga penawaran. Tingkat initial return diukur dengan dua cara, yaitu (1) tanpa memperhitungkan risiko pasar dan (2) dengan memperhitungkan risiko pasar. Penelitian ini mengharapkan reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, dan nilai penawaran saham berhubungan negatif dengan tingkat initial return, sedangkan prosentase saham yang ditahan oleh pemilik lama (issuer) memiliki hubungan positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun secara keseluruhan informasi nonakuntansi prospektus berpengaruh signifikan terhadap tingkat initial return, namun secara parsial hanya nilai penawaran saham yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat initial return. Reputasi penjamin emisi berhubungan positif dengan tingkat initial return. Pengujian dengan menggunakan initial return yang disesuaikan dengan return pasar menghasilkan kesimpulan yang tidak berbeda dengan penggunaan raw initial return. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini membuktikan bahwa dalam pembuatan keputusan investasi di pasar modal, para investor menggunakan informasi tentang besarnya penawaran saham tersebut. Kata kunci: tingkat initial return, IPO, reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, prosentase penawaran saham, dan nilai penawaran saham.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
I. Pendahuluan Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering/IPO atau go public) adalah kegiatan penawaran efek untuk yang pertama kali dilakukan oleh perusahaan (emiten) dalam rangka menjual efek kepada khalayak ramai (public) di pasar modal. Keputusan untuk go public selain dimaksudkan untuk meningkatkan ekuitas perusahaan juga dapat dikatakan bahwa dengan tercatatnya dan diperdagangkannya saham perusahaan di pasar modal akan merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan. Beberapa alasan lain mengapa perusahaan melakukan go public antara lain adalah memungkinkan pendiri untuk diversifikasi usaha, mempermudah usaha pembelian perusahaan lain (akuisisi), ekspansi, meningkatkan nilai perusahaan, dan meningkatkan akses perusahaan. Hanafi dan Husnan (1991) dan Gumanti (2000), di antaranya, mendokumentasikan bahwa secara rata-rata perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengalami apa yang disebut sebagai underpricing. Fenomena yang sama juga dijumpai pada hampir semua pasar modal di dunia (lihat Loughran et al., 1994). Underpricing adalah suatu kondisi dimana harga pasar saham perusahaan yang baru go public, biasanya dalam hitungan hari atau minggu, secara rata-rata, lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawarannya. Dalam konteks IPO, underpricing merupakan salah satu anomali yang ada disamping dua anomali lain, yaitu adanya long-run underperformance dan circle in the extent of underpricing (Lihat ulasan lebih lengkap dalam Ritter, 1991). Underpricing tidak menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan IPO, karena dana yang diperoleh dari IPO menjadi tidak optimal. Di lain pihak, investor di pasar perdana memperoleh keuntungan dengan adanya underpricing. Sebaliknya jika terjadi overpricing, investor akan mengalami kerugian, karena mereka tidak memperoleh initial return positif, sedangkan bagi issuers keadaan tersebut tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai keuntungan. Menurut Beatty (1989), initial return adalah keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli efek pada saat harga penawaran dan menjualnya pada harga penutupan hari pertama perdagangan. Pemilik perusahaan berharap agar underpricing dapat dikurangi, karena akan menyebabkan tidak seimbangnya transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada para investor. Beatty (1989) menjelaskan bahwa underpricing atau positive initial return di pasar perdana saham (IPO) disebabkan oleh adanya asymmetric information (ketimpangan informasi). Ketimpangan informasi dapat terjadi antara emiten dan penjamin emisi, antara emitan dan calon investor, maupun antar investor. Dalam upaya mengurangi adanya ketimpangan informasi perusahaan yang akan melakukan IPO, sesuai dengan ketentuan otoritas bursa, harus menerbitkan prospektus. Keberadaan prospektus tentu akan mempermudah investor untuk mengetahui keadaan perusahaan dan juga
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
prospeknya. Prospektus harus dapat menggambarkan keadaan operasional perusahaan saat ini maupun masa yang akan datang dan juga laporan keuangan minimal dua tahun berurutan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar. Informasi prospektus dibedakan menjadi dua yaitu informasi akuntansi dan nonakuntansi. Informasi akuntansi berupa laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba/rugi, laporan arus kas, dan penjelasan laporan keuangan. Informasi non-akuntansi adalah informasi selain laporan keuangan seperti underwriter (penjamin emisi), auditor, konsultan hukum, appraisal (penilai), nilai penawaran saham, prosentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, dan/atau jumlah risiko. Literatur keuangan secara umum telah menegaskan bahwa informasi akuntansi, informasi nonakuntansi, dan bahkan informasi non-ekonomis dibutuhkan oleh para investor dalam proses pembuatan keputusan investasi di pasar modal. Informasi di dalam prospektus memberikan gambaran keadaan perusahaan dan adanya ramalan laba dapat menjadi dasar bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Bukti empiris mendukung hipotesis bahwa perusahaan yang mencantumkan ramalam laba (earnings forecast) di dalam prospektus cenderung mengalami tingkat underpricing yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mencantumkan ramalan laba (Firth dan Smith, 1992, How, 1996). Berdasarkan pada hal tersebut, maka penting bagi para investor untuk memperhatikan segala informasi yang disajikan oleh emiten dalam prospektus, sehingga investor tidak berpotensi mengalami kerugian ketika mengambil keputusan investasi. Fenomena underpricing pada IPO dan juga faktor-faktor yang mampu menjelaskan variasinya telah menjadi topik tersendiri di bidang manajemen keuangan dan telah menjadi obyek penelitian di banyak negara. Walaupun demikian, hasil yang konklusif masih belum sempurna. Untuk itu penelitian lanjutan harus terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh informasi nonakuntansi prospektus yang terdiri dari reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, prosentase saham yang ditawarkan, dan nilai penawaran saham terhadap tingkat initial return di Bursa Efek Jakarta. Hal ini dilakukan karena beberapa penelitian sebelumnya masih belum menghasilkan temuan yang konklusif di samping juga adanya perbedaan dalam variabel yang diteliti. Berdasarkan pada hasil analisis terhadap 86 sampel IPO, penelitian ini membuktikan bahwa tingkat initial return berhubungan positif tetapi tidak signifikan dengan kualitas penjamin emisi. Variabel-variabel lain yang diteliti tidak ada yang mempunyai hubungan signifikan dengan tingkat initial return, kecuali nilai penawaran saham (gross proceeds of the issue) yang berhubungan negatif dan signifikan. Walaupun demikian, model yang dibangun tidak dapat menolak hipotesis nol bahwa informasi non-akuntansi tidak berhubungan dengan tingkat initial return pada penawaran saham pertama di Indonesia periode tahun 1992 sampai dengan 1995.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Tulisan ini diatur dengan urut-urutan sebagai berikut. Bagian dua berisi kajian teoritis dan formulasi hipotesis. Bagian tiga memuat metodologi penelitian yang diikuti oleh analisis hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan dan rekomendasi mengakhiri tulisan ini. 2. Kajian Teoritis dan Formulasi Hipotesis 2.1 Kajian Teoritis Menurut Undang-Undang RI No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, penawaran umum perdana (IPO) diartikan sebagai kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan pelaksananya. Persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk melakukan IPO di BEJ adalah mendapatkan pernyataan efektif dari Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Seluruh informasi mengenai perusahaan harus disampaikan kepada Bapepam. Walaupun demikian tidak seluruh informasi tersebut dapat diketahui oleh publik, karena informasi tertentu hanya akan diketahui oleh Bapepam. Sedangkan informasi yang dapat diketahui secara terbuka oleh masyarakat tercakup dalam prospektus. Teori-teori yang menjelaskan fenomena underpricing dan yang telah diuji oleh berbagai penelitian empiris biasanya bermuara pada pendekatan ketimpangan informasi antar pelaku di pasar perdana (issuer, penjamin emisi, dan investor). Menurut Ibbotson dan Ritter (1995), setidaknya terdapat lebih dari delapan macam teori yang telah dikemukakan untuk menjawab pernyataan kenapa perusahaan yang baru go public secara rata-rata mengalami underpricing. Aderson et al (1995) juga
mengungkap lebih lengkap tentang teori-teori yang menjelaskan fenomena underpricing di pasar perdana saham. Berikut ini diulas beberapa teori tentang underpricing. Rock (1986) mengajukan teori yang disebut the Winner’s Curse yang dikenal juga dengan sebutan teori seleksi balikan (adverse selection). Teori ini berdasarkan pada asumsi bahwa bila permintaan terhadap suatu saham pada IPO perdana melebihi jumlah yang ditawarkan, maka akan terjadi penjatahan (rationing) terhadap pesanan yang masuk. Penjatahan itu sendiri tidak menyebabkan underpricing, tetapi bila beberapa investor kurang memiliki informasi yang memadai dibandingkan dengan investor yang lain, banyak di antara mereka yang akan menderita kerugian. Menurut Rock, pemilik perusahaan yang akan menjual sahamnya (issuer) termasuk penjamin emisinya tidak mampu meramalkan harga pasar saham yang akan ditawarkan (kepastian harga saham di pasar perdana). Untuk memudahkan analisis, Rock (1986) membagi investor ke dalam dua kelompok, yaitu (1) investor yang memiliki kelebihan informasi (perfectly informed investor), dan (2) investor yang tidak memiliki kelebihan informasi (completely uninformed investor). Kelebihan informasi di sini ada-
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
lah kemampuan investor dalam memprediksi harga pasar saham yang akan ditawarkan. Dalam model ini, informed investor hanya akan memesan saham yang mengalami underpricing. Sedangkan uninformed investor yang tidak mengetahui informasi prospek emiten, tidak mengetahui apakah saham yang ditawarkan akan mengalami underpricing atau overpricing, sehingga mereka akan membeli saham secara sembarangan baik saham yang underpriced maupun yang overpriced, dengan proporsi saham overpriced yang lebih besar. Uninformed investor menghadapi suatu fenomena yang disebut “the winner’s curse” atau kutukan bagi si pemenang, yaitu bila mereka mendapatkan semua saham yang mereka pesan itu terjadi karena informed investor tidak memesan saham tersebut. Dihadapkan pada masalah adverse selection (seleksi balikan, yaitu upaya untuk tidak jadi membeli karena adanya kekhawatiran rugi), uninformed investor hanya akan melakukan pemesanan bila secara rata-rata saham yang ditawarkan di-underpriced sebagai kompensasi adanya bias dalam alokasi terhadap saham baru tersebut. Dukungan terhadap teori Rock (1986) ditemukan pada penelitian IPO di Singapura oleh Koh dan Walter (1989) dan Keloharju (1993) di Finlandia. Baron dan Holmstrom (1980) dan Baron (1982) mengedepankan suatu teori yang disebut Investment Banker’s Monopsony Power. Menurut teori ini, penjamin emisi memanfaatkan kelebihannya tentang kualitas informasi di pasar untuk meng-underprice suatu IPO. Penjamin emisi dengan melakukan underpricing berarti akan memerlukan sedikit upaya pemasaran terhadap IPO tersebut disamping juga memungkinkan mereka untuk menjual saham tersebut kepada pelanggan rutin mereka. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Muscarella dan Vetsuypens (1989) tidak menemukan bukti yang cukup kuat untuk mendukung hipotesis tersebut. Khususnya, mereka menemukan bukti bahwa pada saat perusahaan penjamin emisi go public, perusahaan-perusahaan itu juga mengalami tingkat underpricing yang sama besarnya dengan perusahaan lain yang bukan penjamin emisi yang memiliki tingkat asset yang relatif sama. Benveniste dan Spindt (1989) mengajukan teori yang sebutan the Costly Information Acquisition. Teori ini beranggapan bahwa penjamin emisi melakukan underpricing untuk memaksa investor reguler untuk mengungkap informasi selama periode sebelum penjualan yang pada gilirannya dapat digunakan untuk membantu penilaian suatu IPO. Dalam upaya untuk ‘memaksa’ investor reguler membuka informasi secara sukarela, penjamin emisi mengkompensasi dengan memberikan underpricing untuk informasi yang semakin banyak terungkap. Sebaliknya, tingkat underpricing menurun bila informasi yang terungkap juga kurang banyak. Pendapat ini mengarah pada prediksi bahwa akan ada sedikit penyesuaian harga dibanding dengan harga yang ditawarkan seperti terdapat dalam prospektus. Hanley (1993) menemukan bukti yang mendukung hipotesis bahwa IPO yang mengalami
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
perubahan (revisi) harga penawaran naik cenderung mengalami tingkat underpricing yang lebih tinggi dibandingkan dengan IPO yang mengalami revisi penurunan harga. Teori yang lain dikenal dengan sebutan the Signaling Theory. Underpricing dalam IPO dikatakan sebagai “leave a good taste” kepada investor, yang memungkinkan issuer dan perusahaan untuk menjual saham lagi di masa mendatang pada harga yang lebih tinggi daripada tidak ada IPO sebelumnya. Argumentasi reputasi ini diformulasikan dalam model sinyal (signaling models) oleh Allen dan Faulhaber (1989), Welch (1989), dan Grinblatt dan Hwang (1989). Dalam model-model ini, perusahaan yang mengeluarkan saham memiliki informasi privat tentang apakah mereka memiliki nilai tinggi atau rendah. Mereka mengikuti strategi pengeluaran dinamis (dynamic issue strategy), dimana suatu IPO akan diikuti oleh penawaran lanjutan (seasoned issue offering). Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan bahwa investor akan merasa was-was tentang nilai sebenarnya IPO tersebut sebelum seasoned offering, dimana setiap aksi yang dilakukan pada saat IPO akan memiliki konsekuensi kecil atas dilaksanakannya seasoned offering. Tergantung parameter nilai, perusahaan yang bernilai tinggi mungkin memilih untuk meng-underprice IPO mereka sebagai suatu bentuk sinyal bahwa mereka merupakan perusahaan bernilai tinggi. Beatty (1989) meneliti 2.215 IPO di pasar modal Amerika tahun 1975-1984 dengan maksud untuk mengetahui aktor-faktor yang mampu menjelaskan variasi tingkat underpricing. Variabel bebas yang diuji adalah reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, prosentase saham yang ditahan, tipe kontrak penjamin emisi, umur perusahaan, dan indikator jenis industri. Beatty menggunakan dua kategori dalam pemeringkatan auditor, yaitu Big Eight dan Non-Big Eight, demikian juga dalam pemeringkatan penjamin emisi, yaitu menggunakan variabel dummy dengan dua kategori (1-0). Untuk tipe penjaminan penawaran saham digunakan dua kategori, dimana skor 1 untuk tipe kontrak Firm Commitment dan skor 0 untuk tipe kontrak Best Effort. Tingkat initial return dihitung dengan memperhitungkan risiko pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, tipe kontrak penjamin emisi, dan umur perusahaan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Sedangkan prosentase retained ownership dan indikator jenis industri (minyak dan gas) berhubungan positif dan signifikan dengan tingkat initial return. Bukti penelitian Beatty menunjukkan bahwa informasi non-akuntansi prospektus setidaknya mampu menjelaskan tingkat initial return. Carter dan Manaster (1990) meneliti 501 IPO di pasar modal Amerika (NASDAQ) tahun 1979-1983 dengan fokus utama pada kemampuan variabel keualitas penjamin emisi dalam menjelaskan tingkat initial return. Dalam pemeringkatan penjamin emisi, Carter dan Manaster menggunakan sepuluh kategori (9-0) untuk 117 penjamin emisi. Tingkat initial return diukur tanpa memperhitungkan risiko pasar. Carter dan Manaster menemukan bahwa reputasi penjamin emisi, prosentase sa-
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
ham yang ditahan, nilai penawaran saham, dan umur perusahaan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Nurhidayati dan Indriantoro (1998) meneliti 38 IPO di BEJ yang go public periode Januari 1995-Desember 1996 untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi initial return. Pemeringkatan penjamin emisi dan auditor dilakukan dengan mengggunakan 2 kategori (1-0). Pemeringkatan penjamin emisi ditetapkan berdasarkan pada jumlah saham yang dijamin oleh penjamin emisi, sedangkan pemeringkatan auditor berdasarkan pada jumlah klien yang diaudit. Initial return diukur tanpa memperhitungkan risiko pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Nasirwan (2000) meneliti pembatas-pembatas initial return terhadap 227 IPO di BEJ yang go public periode Juli 1989-Juli 1996. Nasirwan menggunakan ukuran Carter-Manaster (CM) dalam pemeringkatan penjamin emisi dengan sepuluh kategori (9-0) dan ukuran Johnson-Miller (JM) empat kategori (3-0) sesuai dengan pemeringkatan penjamin emisi berdasarkan jumlah fee yang telah dilakukan oleh tim Litbang majalah Uang dan Efek tahun 1995. Pemeringkatan auditor dilakukan dengan menggunakan ukuran tujuh kategori CM (7-1) dan ukuran tiga kategori JM (3-1) yang didasarkan pada jumlah klien yang diaudit. Tingkat initial return diukur tanpa memperhitungkan risiko pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya deviasi standar return yang memiliki hubungan positif dan signifikan dengan tingkat initial return. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pemeringkatan penjamin emisi dengan ukuran CM dan ukuran JM lebih baik daripada pemeringkatan pemjamin emisi dua kategori (1-0) yang digunakan Nurhidayati dan Indriantoro (1998) dan Trisnawati (1998). Berdasarkan pada bukti-bukti yang ada, nampak bahwa sejauh ini belum ada konsistensi hasil yang diperoleh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beatty (1989), Carter dan Manaster (1990), dan Nasirwan (2000) menunjukkan bahwa para investor mungkin menggunakan informasi non-akuntansi prospektus dalam pembuatan keputusan investasi di pasar perdana. Sedangkan Nurhidayati dan Indriantoro (1998) dan Trisnawati (1998) menunjukkan bahwa para investor tidak sepenuhnya menggunakan informasi non-akuntansi prospektus di pasar perdana. Salah satu penyebab perbedaan hasil penelitian terdahulu adalah adanya perbedaan dalam hal pemeringkatan penjamin emisi dan auditor. Nurhidayati dan Indriantoro (1998) dan Trisnawati (1998) menggunakan dua kategori (1-0). Kelemahan dalam pemeringkatan model ini adalah nilai data yang paling tinggi dianggap sama dengan nilai rata-rata data dan sebaliknya nilai data yang paling rendah dianggap sama dengan nilai rata-rata data. Hasil penelitian Nasirwan (2000) menunjukkan bahwa ukuran Johnson-Miller (3-0) dan ukuran Caster-Manaster (9-0) lebih baik daripada model dua kategori (10) dalam mengontrol pemeringkatan penjamin emisi.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
2.2 Formulasi Hipotesis Hipotesis 1 Titman dan Trueman (1986) menyatakan bahwa penjamin emisi yang bereputasi akan menyesuaikan terhadap ketidakpastian (uncertainty). Mereka menghindari kondisi ketidakpastian yang tinggi untuk meningkatkan ketepatan estimasi nilai perusahaan, untuk meminimalisasi partisipasi informed investor, dan untuk menjaga reputasi mereka. Penjamin emisi yang bereputasi tinggi meminta fee yang tinggi sebagai imbalan untuk tingkat underpricing yang rendah. Johnson dan Miller (1988) menjelaskan dua alasan tentang mengapa emisi saham baru yang dijamin oleh penjamin emisi yang berkualitas menghasilkan initial return yang lebih rendah. Pertama, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa IPO yang dijamin oleh penjamin emisi yang berkualitas kurang mengalami underpricing dibandingkan dengan yang dijamin oleh penjamin emisi yang tidak berkualitas. Kedua, initial return yang rendah ditunjukkan oleh penjamin emisi yang berkualitas karena emisi saham baru oleh penjamin emisi yang berkualitas menjadi kurang berisiko (ketidakpastiannya rendah). Oleh sebab itu, kualitas penjamin emisi dapat digunakan sebagai proxy untuk ketidakkepastian informasi. Penjamin emisi memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan perusahaan yang akan go public. Penjamin emisi yang baik adalah mereka yang bisa menentukan harga perdana secara wajar dan mengetahui kondisi pasar dengan baik. Penjamin emisi yang bereputasi tinggi akan memberikan harga (fee) yang tinggi sebagai konsekuensi dari kualitas penjaminannya. Hasil penelitian Johnson dan Miller (1988) dan Carter dan Manaster (1990) menunjukkan bahwa reputasi penjamin emisi berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Nasirwan (2000) menemukan bukti hubungan positif dan signifikan. Berdasarkan pada penjelasan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. H1: Reputasi penjamin emisi berhubungan negatif dengan tingkat initial return. Hipotesis 2 Ketika akan melakukan IPO, perusahaan harus membuat laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik (auditor) yang terdaftar di Bapepam. Hasil pengujian auditor sangat dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh auditor, secara tidak langsung, akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Semua itu berkaitan dengan kapasitas auditor sebagai pemegang jabatan kepercayaan masyarakat umum, dimana auditor tidak boleh memihak, bahkan harus bersikap obyektif, jujur, dan independen terhadap pihak yang diaudit.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Titman dan Trueman (1986) mengajukan signaling models yang menunjukkan bahwa auditor yang berkualitas akan menghasilkan informasi yang lebih baik bagi investor dalam menaksir nilai perusahaan yang akan melakukan IPO. Titman dan Trueman menggunakan dua tanda dalam modelnya. Pertama, tingginya kualitas auditor merupakan keuntungan komparatif yang menjadi dasar dari variabel informasi yang dilaporkan yang berhubungan dengan nilai perusahaan. Kedua, perusahaan dituntut untuk membayar “price premium” untuk kualitas audit yang tinggi. Menurut Titman dan Trueman, auditor yang berkualitas akan menghasilkan informasi yang lebih akurat bagi investor dalam menaksir nilai perusahaan yang melakukan IPO. Pengunaan auditor yang berkualitas akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang tidak akurat ke pasar, sehingga akan mengurangi ketidakpastian di masa mendatang. Selain itu, auditor yang berkualitas pada umumnya mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan auditor yang kurang berkualitas. Bachar (1988) juga menghadirkan teori signaling models untuk kualitas auditor dan kontrak penjamin emisi. Waktu yang digunakan oleh penjamin emisi untuk mengakuisisi informasi privat merupakan faktor utama dalam menilai kualitas auditor. Jika penjamin emisi menyajikan informasi privat setelah mengikat kontrak, auditor yang berkualitas akan mengusahakan penawaran yang lebih dan membentuk harga penawaran yang tinggi, sehingga kualitas auditor yang tinggi akan memberikan keuntungan kepada pemilik perusahaan dalam hal menaikkan harga penawaran. Balvers et al. (1988) membangun suatu model yang menunjukkan bahwa reputasi auditor dan reputasi penjamin emisi menolong untuk menurunkan underpricing. Penelitian Balvers et al. menunjukkan bahwa naiknya variabel reputasi berakibat pada turunnya variabel yang lain. Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa reputasi penjamin emisi yang tinggi cenderung berhubungan dengan reputasi auditor yang tinggi, dan ini akan menurunkan tingkat underpricing. Penelitian yang dilakukan Beatty (1989) menunjukkan bahwa reputasi auditor berhubungan secara negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Berdasarkan pada penjelasan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. H2: Reputasi auditor berhubungan negatif dengan tingkat initial return. Hipotesis 3 Umur perusahaan menunjukkan seberapa lama suatu perusahaan mampu bertahan di tengah ketatnya iklim persaingan. Dalam keadaan normal, semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi perusahaan tersebut yang diketahui oleh masyarakat. Menurut Chishty et al. (1996), tingkat kedewasaan suatu perusahaan dapat memperkecil risiko investasi pada suatu penawaran per-
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
dana, yang akan mengurangi ketimpangan informasi dan akan memperkecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang. Dengan demikian, calon emiten tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan yang melakukan IPO. Penelitian yang dilakukan oleh Beatty (1989) dan Carter dan Manaster (1990) menunjukkan bahwa umur perusahaan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Sedangkan hasil penelitian Nasirwan (2000) dan Gumanti (2000) menunjukkan bahwa umur perusahaan berhubungan negatif tetapi tidak signifikan dengan tingkat initial return. Berdasarkan pada penjelasan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. H3: Umur perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat initial return. Hipotesis 4 Leland dan Pyle (1977) membangun suatu signaling model dimana risiko yang dimiliki perusahaan ditunjukkan oleh tingkat kepemilikan yang ditahan (retained ownership) sebagai tanda kualitas perusahaan. Pemilik perusahaan (issuer) diasumsikan memiliki informasi yang lebih baik mengenai prospek perusahaan dibandingkan dengan investor potensial. Issuer lebih menyukai untuk menghilangkan risiko dari portfolio mereka, akan tetapi issuer harus menahan sejumlah saham sebagai tanda nilai perusahaan kepada pasar. Perusahaan yang bernilai tinggi akan menahan sejumlah besar kepemilikannya. Grinblatt dan Hwang (1989) mengajukan model yang hampir sama dengan model Leland dan Pyle mengenai underpricing pada IPO. Dalam model ini, risiko yang dimiliki perusahaan sebagai tanda perusahaan memiliki nilai, yang ditunjukkan oleh retained ownership dan tingkat underpricing. Informasi tingkat retained ownership akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan (atau semakin kecil prosentase saham yang ditawarkan) akan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang sehingga akan mengurangi tingkat underpricing. Selanjutnya, Leland dan Pyle (1977) menyatakan bahwa retained ownership menunjukkan adanya private information yang dimiliki oleh pemilik/manajer. Informasi retained ownership oleh entrepreneur (pemilik sebelum go public) akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Hasil penelitian Beatty (1989) dan Gumanti (2000) menunjukkan bahwa tingkat retained ownership berhubungan positif dan signifikan dengan tingkat initial return. Berdasarkan pada penjelasan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. H4: Prosentase saham yang ditahan berhubungan positif dengan tingkat initial return.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Hipotesis 5 Nilai penawaran saham (gross proceeds of the issue) menunjukkan tingkat kapitalisasi pasar dari saham yang ditawarkan oleh perusahaan pada saat IPO. Ritter (1991) menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang kuat bahwa terdapat hubungan yang terbalik (negatif) antara besarnya nilai penawaran saham (size of the issue) dan tingkat underpricing dimana semakin tinggi nilai penawaran semakin kecil tingkat underpricing. Hasil penelitian Caster dan Manaster (1990) menunjukkan bahwa nilai saham yang ditawarkan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar nilai saham yang ditawarkan tingkat underpricing akan semakin rendah. Hasil penelitian Nasirwan (2000) menunjukkan bahwa nilai saham yang ditawarkan berhubungan negatif tetapi tidak signifikan dengan tingkat initial return. Sedangkan Gumanti (2000) menemukan bukti hubungan negatif dan signifikan. Berdasarkan pada penjelasan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. H5: Nilai penawaran saham berhubungan negatif dengan tingkat initial return. 3. Metodologi Penelitian 3.1 Populasi dan Sampel Semua perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1992 sampai tahun 1995 merupakan populasi dari penelitian ini. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua perusahaan yang memiliki data yang dalam hal ini adalah prospektus. Perusahaan yang melakukan IPO setelah tahun 1995 tidak dimasukkan sebagai sampel karena pemeringkatan penjamin emisi berdasarkan jumlah perusahaan yang dijamin yang dilakukan oleh tim Litbang majalah Uang dan Efek pada tahun 1995 hanya untuk penjamin emisi yang melakukan penjaminan tahun 1977 sampai tahun 1995. 3.2 Pengukuran Variabel Dependen Initial return (IR) adalah selisih harga saham pada hari pertama penutupan (closing price) pada pasar sekunder dengan harga penawaran perdana (offering price). Ada dua metode perhitungan IR, yang pertama tanpa memperhitungkan risiko pasar, dan yang kedua dengan memperhitungkan risiko pasar (market adjusted initial return). Tingkat IR tanpa memasukkan risiko pasar, dihitung dengan rumus sebagai berikut.
IR1=[(Pt-Po)/Po] X 100% dimana: IR1 Pt Po
: Initial return dengan tanpa memperhitungkan risiko pasar : Harga penutupan pada hari pertama perdagangan : Harga penawaran perdana
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Perhitungan tingkat IR dengan risiko pasar, dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Pt Po IHSGt IHSGo IR2 100% IHSGo Po dimana : IR2 IHSGt IHSGo
: Initial return dengan memperhitungkan risiko pasar yang ditunjukkan dengan IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan pada hari pertama perdagangan : Indeks Harga Saham Gabungan pada saat penawaran
3.3 Pengukuran Variabel Independen Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, prosentase saham yang ditawarkan, dan nilai penawaran saham. Uraian selengkapnya tentang definisi dan pengukuran variabel penelitian disajikan dalam Tabel 1. 3.4 Model Estimasi Untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap tingkat initial return dengan menggunakan regresi berganda. Dengan formulasi sebagai berikut:
IR b0 b1 RPEi b2 RAi b3 LnUmur b4 PS b5 LnGP e Dimana: IR : Tingkat Initial return, yang dalam hal ini dapat berupa IR1 dan IR2 bo : Konstanta b1 – b5 : Koefisien regresi RPEi : Reputasi penjamin emisi RAi : Reputasi auditor LnUmur: Umur perusahaan PS : Prosentase saham ditahan LnGP : Nilai penawaran saham e : Disturbance error (kesalahan acak)
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Tabel 1 Ringkasan Pengukuran Variabel-variabel Penelitian Variabel
Penjelasan
Pengukuran
Variabel Dependen IR1
IR1=[(Pt-Po)/Po] X 100%
%
Pt Po IHSGt IHSGo IR2 100% IHSGo Po
%
IR2
Variabel Independen Reputasi Pejamin Emisi (RPE) Reputasi Auditor (RA) Umur Perusahaan (LnUmur) Prosentase Saham yang Ditahan (PS) Nilai Penawaran Saham(LnGp)
Penjamin emisi berdasarkan jumlah perusahaan yang dijamin dengan ukuran sembilan kategori Caster-Manaster. Auditor independen berdasarkan jumlah klien yang diaudit dengan ukuran tiga kategori Johnson–Miller. Umur perusahaan dihitung berdasarkan pada saat perusahaan didirikan sampai perusahaan melakukan IPO Prosentase jumlah saham yang ditahan oleh pemilik perusahaan (retained ownership) pada saat IPO. Nilai penawaran saham adalah nilai kapitalisasi pasar pada saat IPO
Estimasi Arah
Ukuran CM (0-9).
Negatif
Ukuran JM ( 1 – 3)
Negatif
Natural Logaritm
Negatif
Positif % Natural Logaritm
Negatif
3.5 Pengujian Hipotesis Pengujian terhadap hipotesis yang diajukan dilakukan dengan dua alat uji, yaitu uji F dan uji t. Uji F merupakan uji serempak untuk menjawab apakah secara bersama-sama variabel bebas yang diteliti mampu menjelaskan variasi dari variabel terikat. Sedangkan uji t diguanakan untuk menguji apakah secara sendiri-sendiri (parsial) variabel bebas mampu menjelaskan variasi dari variabel terikat. Pengujian tingkat signifikansi dilakukan dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% atau =5%. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Selama periode penelitian, yaitu tahun 1992 sampai dengan 1995, terdapat 104 perusahaan yang melakukan penawaran perdana. Dari jumlah tersebut beberapa perusahaan tidak dapat dimasukkan sebagai sampel karena prospektus perusahaan tidak tersedia sehingga tidak dapat diperoleh data untuk keperluan analisis adalah 18 perusahaan. Berdasarkan kenyataan tersebut, jumlah perusahaan yang memiliki data dan layak untuk dianalisis sebanyak 86 yang sekaligus digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Gambaran selengkapnya tentang ukuran tendensi sentral (statistik deskriptif) variabel-variabel yang diteliti ditunjukkan dalam Tabel 2. Harga penawaran bervariasi dari yang terendah Rp 500,sampai yang tertinggi Rp 9.000,- dengan rata-rata harga penawaran sebesar Rp 3.471,22. Bervariasinya harga penawaran saham tersebut sesuai dengan besarnya nilai penawaran (gross proceeds) dimana nilai penawaran terendah adalah Rp 4,8 milyar dan tertinggi adalah Rp 1.913,33 milyar dengan standard deviasi sebesar Rp 218,84 milyar. Rata-rata harga penutupan hari pertama adalah Rp 3.712,52 dengan harga penutupan minimum (paling rendah) adalah Rp 425,- dan maksimum adalah Rp 9.000,-. Rata-rata initial return tanpa memperhitungan return pasar (unadjusted atau raw initial return) adalah 9,27% dengan standard deviasi sebesar 16,16% serta IR minimum adalah -25,64% dan maksimum adalah 56,73%. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh bila initial return dihitung dengan memperhitungkan return pasar (market adjusted initial return). Initial return sebesar 9,27% secara statistik adalah lebih besar dari nol (mean > 0) dan signifikan pada tingkat < 0,01. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada periode penelitian ini secara rata-rata perusahaan yang melakukan IPO di BEJ mengalami underpricing yang besarnya hampir 10%. Artinya, secara rata-rata harga penutupan di hari pertama perdagangan adalah sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawarannya. Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel-variabel Penelitian Variabel
Rata-rata
Harga Penawaran
3.471,22
1.728,18
500,00
9.000,00
Harga Penutupan hari Pertama IR1 IR2 RPE RA LnUmur PS (%) LnGP Umur (tahun) GP (milyar)
3.712,52
1.894,22
425,00
9.000,00
0,1616 0,1581 3,3100 0,8100 0,6664 0,0929 1,0061 8,50 218,84
-0,2564 -0,2516 0,0000 1,0000 0,0000 0,3330 22,2919 1,00 4,80
0,5673 0,5666 9,0000 3,0000 3,9703 0,9725 28,2799 53,00 1.913,33
0,0927 * 0,0910 * 4,6700 2,2600 2,4661 0,7481 24,8005 13,94 108,07
Standard Deviasi
Minimum
Maksimum
Catatan: IR1 adalah raw initial return, IR2 adalah initial return yang dihitung dengan memasukkan return pasar, RPE adalah reputasi penjamin emisi, RA adalah reputasi auditor, LnUmur adalah natural logaritma umur perusahaan, PS adalah prosentase saham yang ditahan (retained ownership), LnGP adalah natural logaritma nilai penawaran saham, dan GP adalah gross proceeds (penerimaan kotor IPO). * menunjukkan nilai rata-rata berbeda dari nol dan signifikan pada = 0,01.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Untuk mengetahui apakah hasil estimasi regresi yang dilakukan betul-betul terbebas dari adanya gejala ketidak normalan data, gejala multikilinearitas, gejala heteroskedastisitas, dan gejala autokorelasi maka perlu dilakukan pengujian asumsi klasik. Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji ini digunakan untuk menguji perbedaan di antara distribusi komulatif dari nilai variabel kontinyu dan merupakan test of goodness of fit. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa semua variabel yang bukan dummy sudah berdistribusi normal dengan level pengujian 10%. Untuk mendeteksi gejala multikolinearitas dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) melihat pada matrik korelasi antar variabel independen dan (2) melihat pada nilai variance inflation factor (VIF) (Gujarati, 1992; Hair et al., 1995). Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model empiris yang diuji. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terdapatnya korelasi antar independen variable yang melebihi 0,80 dan nilai VIF untuk masing-masing variabel independen yang kurang dari 10. Selanjutnya, untuk mengetahui ada tidaknya heterokedastisitas digunakan uji Gletsjer. Prosedur yang dilakukan adalah dengan membuat model regresi yang menyertakan nilai absolut residual (IeI). Jika semua variabel independen signifikan secara statistik, maka dapat disimpulkan terjadi heterokedastisitas dalam model. Hasil uji Gletsjer terhadap model yang diuji menunjukkan bahwa t hitung dan F hitung tidak signifikan pada = 5%. Berdasarkan pada hasil uji t dan uji F dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat variabel independen yang signifikan pada level 5%. Dengan kata lain, model yang dibangun tidak mengandung gejala heterokedastisitas. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model empiris digunakan uji Durbin-Watson dengan cara membandingkan nilai Durbin-Watson test dengan tabel uji Durbin-Watson. Dalam penelitian ini digunakan derajat keyakinan () = 5%. Berdasarkan pada hasil uji autokorelasi dapat diketahui bahwa model empiris yang dibangun telah memenuhi asumsi, yaitu berdasarkan kriteria H o akan diterima bila (4-d) > du sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi antar variabel independen. Secara keseluruhan, hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model empiris layak diuji. Tabel 3 menyajikan matriks korelasi variabel-variabel yang diteliti. Dari Tabel 3 dapat diketahui indikasi awal hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat dan hubungan antar variabel bebas. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa dua variabel bebas, yaitu kualitas penjamin emisi (RPE) dan umur perusahaan (LnUmur), memiliki hubungan parsial tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan tiga variabel bebas lainnya, yaitu kualitas auditor (RA), prosentase saham yang ditahan (PS), dan LnGP, memiliki arah hubungan seperti yang diprediksikan. Se-
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
bagaimana dapat dilihat dalam Tabel 3, antar variabel bebas tidak ada yang memiliki koefisien korelasi sangat tinggi (> 0,80). Tabel 3 Matriks Korelasi Pearson Variabel-variabel Penelitian Variabel
IR1
IR2
RPE
RA
LnUmur
PS
LnGP
1.000
IR1 IR2 RPE RA LnUmur PS LnGP
0.972 (0.000) 0.162 (0.137) -0.247 (0.022) 0.069 (0.528) 0.075 (0.491) -0.386 (0.000)
1.000 0.177 (0.103) -0.258 (0.016) 0.039 (0.723) 0.063 (0.567) -0.413 (0.000)
1.000 -0.025 (0.816) 0.081 (0.456) 0.258 (0.016) -0.072 (0.509)
1.000 0.039 (0.722) -0.029 (0.793) 0.197 (0.069)
1.000 0.435 (0.000) -0.099 (0.363)
1.000 -0.002 (0.986)
1.000
Catatan: IR1 adalah raw initial return, IR2 adalah initial return yang dihitung dengan memasukkan return pasar, RPE adalah reputasi penjamin emisi, RA adalah reputasi auditor, LnUmur adalah natural logaritma umur perusahaan, PS adalah prosentase saham yang ditahan (retained ownership), dan LnGP adalah natural logaritma nilai penawaran saham. Angka dalam kurung merupakan tingkat signifikansi hubungan antar variabel (p-value).
Tabel 4 menyajikan ringkasan hasil uji regresi berganda (OLS) terhadap model yang dibangun dalam penelitian ini. Panel A pada Tabel 4 menyajikan hasil regresi dengan variabel terikat IR 1, sedangkan panel B berisi hasil regresi dengan variabel terikat IR 2. Penyajian dua hasil regresi tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih nyata tentang ada tidaknya perbedaan penggunaan raw initial return dan market adjusted initial return dalam model regresi yang diuji. Hipotesis pertama yang memprediksi adanya hubungan negatif antara reputasi penjamin emisi dan tingkat initial return ternyata secara statistik tidak dapat diterima (t-statistik = 1,1872; p-value = 0,2387). Arah hubungan pada hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang dihipotesiskan dimana dalam penelitian ini diperoleh arah hubungan positif yang tentunya berlawanan dengan arah yang diprediksi. Hasil positif ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi reputasi penjamin emisi yang melakukan penjaminan maka semakin tinggi tingkat initial return yang diterima oleh investor. Seharusnya, penjamin emisi yang berkualitas akan memberikan initial return yang rendah seiring dengan meningkatnya kualitas informasi yang disajikan dalam prospektus perusahaan. Hasil ini tentu saja berlawanan dengan anggapan dan temuan pada beberapa penelitian sebelumnya, khususnya yang ada di Amerika
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Serikat, seperti Johnson dan Miller (1988) dan Caster dan Manaster (1990). Namun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Daljono (2000) dan Nasirwan (2000). Perbedaan koefisien hubungan antara penjamin emisi dan tingkat initial return yang ditemukan di pasar modal Indonesia dan Amerka Serikat tersebut ada kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi antar investor. Di Indonesia, justru penjamin emisi yang berkualitas yang diharapkan memberikan informasi yang lebih baik (berkualitas) dan lebih ‘menjanjikan’ dalam hal prospek perusahaan yang dijamin diterjemahkan terlalu optimis oleh investor. Akibatnya, semakin tinggi kualitas penjamin emisi, semakin tinggi pula harapan investor terhadap adanya apresiasi harga yang pada gilirannya menyebabkan naiknya harga di pasar sekunder yang secara otomatis menaikkan tingkat initial return. Reputasi auditor berhubungan negatif dengan tingkat initial return tetapi signifikan hanya pada tingkat 10% (t-statistik = -1,7266, p-value = 0,0768). Koefisien regresi yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu negatif. Artinya, ada hubungan terbalik antara kualiats auditor dan tingkat iinitial return, dimana semakin berkualitas auditor yang mengaudit perusahaan yang akan melakukan IPO, semakin kecil tingkat initial return. Karena tingkat signifikansi tidak sampai 5%, maka secara statistik hipotesis kedua (H2) tidak dapat diterima. Dari seluruh perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1992-1995, sebanyak 67 perusahaan atau 77,9% diaudit oleh 2 KAP besar dan sisanya sebanyak 19 perusahaan atau 22,1% diaudit oleh 10 KAP lainnya. Oleh sebab itu, proporsi jumlah perusahaan yang diaudit oleh KAP besar lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang diaudit oleh KAP kecil. Koefisien negatif berarti perusahaan yang menyewa auditor yang berkualitas akan mengalami tingkat initial return yang rendah. Dengan kata lain, arah koefisien regresi yang diperoleh telah sesuai dengan yang diharapkan.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Tabel 4 Hasil Uji Regresi Model Konstanta
RPE
RA
LnUmur
PS
LnGP
Fvalue
Adj. R2
(p-value)
Panel A: Dependen Variabel IR1 Koef t-stat. p-value
1,6242 3,3512 0,0012
0,0069 1,1872 0,2387
-0,0401 -1,7266 0,0881
0,0054 0,1731 0,8630
0,0006 0.2522 0,8015
-0,0623 -3,2932 0,0013
3,9566 (0,0029)
0,1482
-0,0428 -1,7925 0,0768
0,0040 0,1251 0,9008
0,0006 0,2349 0,8149
-0,0707 -3,6333 0,0005
4,6389 (0,0009)
0,1763
Panel B: Dependen Variabel IR2 Koef t-stat. p-value
1,8515 3,7128 0,0004
0,0081 1,3671 0,1754
Catatan: IR1 adalah raw initial return, IR2 adalah initial return yang dihitung dengan memasukkan return pasar, RPE adalah reputasi penjamin emisi, RA adalah reputasi auditor, LnUmur adalah natural logaritma umur perusahaan, PS adalah prosentase saham yang ditahan (retained ownership), dan LnGP adalah natural logaritma nilai penawaran saham.
Variabel LnUmur mempunyai hubungan positif tetapi tidak signifikan dengan tingkat initial return (t-statistik = 0,1731, p-value = 0,8638). Koefisien positif menunjukkan bahwa semakin lama perusahaan berdiri maka tingkat initial return akan semakin tinggi. Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana seharusnya semakin lama suatu perusahaan berdiri, seharusnya akan menghasilkan tingkat initial return yang rendah karena informasi yang diperoleh masyarakat mengenai kondisi perusahaan juga semakin banyak dan ketidakpastiannya (ex ante uncertainty) semakin kecil. Dengan ditolaknya hipotesis ini berarti hasil penelitian yang diperoleh tidak konsisten dengan hasil penelitian Beatty (1989), Caster dan Manaster (1990), Nasirwan (2000), dan Gumanti (2000). Variabel PS mempunyai hubungan positif tetapi tidak signifikan dengan tingkat initial return (t-statistik = 0,2522, p-value = 0,8015). Koefisien positif tersebut menunjukkan bahwa semakin sedikit saham yang ditawarkan pada saat IPO atau semakin tinggi tingkat retained ownership, maka semakin tinggi initial return yang dihasilkan. Dengan kata lain, semakin banyak porsi saham yang ditahan oleh pemilik (high ownership retention), semakin tinggi tingkat initial return. Hal ini terjadi, karena semakin sedikit banyak calon investor yang tidak dapat mendapatkan porsi saham yang diminta bila terjadi kelebihan permintaan (oversubscribed) dan ada penjatahan (rationing). Akibatnya, investor melakukan aksi beli di pasar sekunder yang akhirnya akan mengangkat harga saham dan terjadinya underpricing. Tentunya, kenyataan yang ditemukan dalam penelitian ini telah sesuai dengan harapan yang memprediksi bahwa hubungan antara tingkat saham yang ditahan oleh pemilik lama dan tingkat
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
initial return akan positif. Karena secara statistik koefisien regresi tidak signifikan, maka hipotesis keempat (H4) ditolak. Variabel LnGP mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan tingkat initial return (tstatistik = -3,2932, p-value = 0,0029). Dengan kata lain, hipotesis kelima (H5) secara statistik tidak dapat ditolak. Koefisien negatif menunjukkan bahwa semakin kecil (tinggi) dana yang dihimpun dari penawaran perdana, maka semakin rendah (tinggi) tingkat initial return yang dihasilkan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Caster dan Manaster (1990) dan, khususnya, Ritter (1991) dan penelitian-penelitian di negara lain. Temuan dalam penelitian ini memperkuat anggapan bahwa perusahaan yang menawarkan IPO dalam jumlah besar, yang biasanya secara ukuran (big size) lebih besar, dan memiliki kecenderungan tingkat risiko yang lebih stabil akan mengalami tingkat initial return yang lebih kecil. Sebaliknya, semakin sedikit nilai penawaran, yang merupakan ciri dari perusahaan dengan skala usaha kecil (low size), semakin berisiko perusahaan tersebut, sehingga tingkat initial return juga akan semakin tinggi. Hasil uji F menunjukkan bahwa secara bersama-sama kelima variabel yang diteliti mampu menjelaskan variasi tingkat initial return yang ditunjukkan dengan signifikannya koefisien regresi yang diperoleh (F-statistik = 3,9566, p-value = 0,0029). Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas yang diuji, yaitu informasi non akuntansi prospectus, mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat initial return dan mampu menjelaskan variasi dari initial return. Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh adalah 0,1482. Hal ini berarti bahwa informasi non-akuntansi prospektus yang ada pada model regresi mampu menjelaskan variasi variabel IR sebesar 14,82%. Bila diperhatikan, nilai koefisien dan juga arah yang diperoleh secara kualitatif tidak berbeda bila dikaitkan dengan penggunaan dua buah variabel terikat yang diteliti. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti antara model dengan menggunakan IR1 dan dengan menggunakan IR2. Beberapa hal yang perlu dicermati berkenaan dengan hasil penelitian yang disajikan khususnya yang terkait dengan ditemukannya arah koefisien yang tidak sama adalah sebagai berikut: (1) kondisi perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia belum sebaik kondisi perusahaan yang menjadi sampel yang digunakan oleh Beatty (1989) dan Carter dan Manaster (1990); (2) kondisi pasar modal Indonesia tidak seefisien pasar modal Amerika; dan (3) perbedaan persepsi investor Indonesia dengan investor di luar negeri terhadap suatu IPO. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh informasi non-akuntansi prospektus terhadap tingkat initial return pada perusahaan yang melakukan IPO di BEJ. Pengujian dilakukan ter-
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
hadap 86 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1992-1995. Secara umum penelitian ini menemukan bukti bahwa informasi non-akuntansi prospektus berpengaruh signifikan terhadap tingkat initial return. Reputasi penjamin emisi menunjukkan pengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat initial return. Reputasi auditor dan umur perusahaan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat initial return. Demikian pula halnya dengan prosentase saham yang ditahan. Nilai penawaran menunjukkan pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat initial return. Secara keseluruhan hasil yang diperoleh dalam penelitian masih banyak yang bertentangan dengan hasil penelitian terdahulu, khususnya yang dilakukan di Amerika Serikat. Perbedaan tingkat kedewasaan investor, setting pasar modal (peraturan), dan juga arti penting informasi bisa jadi merupakan penyebab adanya perbedaan tersebut. Walaupun demikian, secara statistik hasil penelitian ini membuktikan bahwa informasi nonakuntansi yang terdapat di dalam prospektus, khususnya besarnya penawaran saham, mempengaruhi tingkat initial return di pasar perdana Indonesia. Konsekuensinya, bagi perusahaan yang akan melakukan IPO, dalam menyusun dokumen prospektus harus memberikan informasi akurat yang berguna bagi investor dan calon investor untuk mengambil keputusan investasi. Sedangkan bagi investor dan calon investor sebelum membuat keputusan investasi di pasar perdana terlebih dahulu memperhatikan informasi yang disajikan emiten dalam prospektus. Penelitian ini hanya menggunakan 86 perusahaan sebagai sampel, untuk itu penelitian lebih lanjut sebaiknya menambah jumlah perusahaan sampel untuk memperoleh hasil yang lebih baik atau kuat. Penambahan sampel juga akan memperbaiki normalitas data, autokorelasi, dan homokedastisitas. Dalam penelitian ini koefisien reputasi penjamin emisi ditemukan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena kurang tepatnya penggunaan proxy penilaian kualitas penjamin emisi. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan lebih akurat dalam melakukan perangkingan untuk menilai kualitas penjamin emisi, misalnya dengan menggunakan model binary dummy. Selanjutnya, pemeringkatan auditor yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat subyektif, sehingga perlu dilakukan pemeringkatan auditor oleh lembaga yang dipercaya kredibilitasnya untuk dapat lebih akurat mencerminkan kualitas servis yang diberikan yang sekaligus merupakan cerminan dari kualitas informasi akuntansi yang disajikan. Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh ada kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi namun tidak dimasukkan dalam penelitian ini, misalnya kondisi pasar modal yang menjadi tempat penelitian sebagaimana dilakukan oleh dan Gumanti (2000), yaitu antara periode ramai (bullish) dan kondisi sepi (bearish). Variabel lain yang juga memungkinkan untuk dimasukkan dalam analisis adalah tingkat penyimpangan return setelah penawaran (ex post standard deviation of
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
return). Variabel-variabel tersebut telah menjadi salah satu variabel penjelas yang cukup siginifikan terhadap besar kecilnya tingkat initial return karena kemampuannya dalam menjelaskan ketidakpastian yang terjadi di pasar sekunder. Nasirwan (2000) dan Gumanti (2000) memasukkan variabel ketidakpastian pasca penawaran dalam model mereka dan menemukan hubungan positif dan signifikan dengan tingkat initial return. Terakhir, dalam penelitian ini informasi non-akuntansi yang digunakan hanya lima buah, yaitu reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan, prosentase penawaran saham, dan nilai penawaran saham. Untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya memasukkan informasi non-akuntansi yang lain, seperti jenis industri, pengalaman manajemen, ukuran atau skala perusahaan, dan konsultan hukum yang digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kemungkinan lain adalah dengan memasukkan variabel akuntansi sebagai penjelas dari variasi tingkat initial return karena secara teoritis dan juga empiris beberapa variabel akuntansi ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan besar kecilnya tingkat initial return.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Daftar Pustaka Aggarwal, R. dan P. Rivoli, ”Evaluating the Cost of Raising Capital Through on Initial Public Offering”, Journal of Business Venturing 1991, 6, page 351-361. Allen, F. dan Faulhaber, G., “Signaling by underpricing in the IPO market”, Journal of Financial Economics, 1989, 18, page 303-323.
Anderson, S.C., Beard, T.R., dan Born, J.A., Initial Public Offerings: Findings and Theories, 1995, Kluwer Academic Publishers, Boston. Balvers, R.J., McDonald, B. & Miller, R.E., “Underpricing of new issues and the choice of auditor as a signal of investment banker reputation, Accounting Review, 1988, 63 (3), page 605-622. Baron, D. , “A model of the demand for investment banking advising and distribution services for new issues”, Journal of Finance, 1982, 37 (3), page 955-976. Baron, D.P. dan Holmstrom, B., “The Investment Bankeing Contract for New Issues Under Asymmetric Information: Delegation and the Incentive Problem”, Journal of Finance, 1980, 35 (3), page 1115-1138. Beatty, R.P. ”Auditor Reputation and The Pricing of Initial Public Offerings”, The Accounting Review, 1989, 44 (3), page 693-707. Benveniste, L.M. dan Spindt, P.A., “How Investment Bankers determine the Offer price and Allocation of New Issues”, Journal of Financial Economics, 1989, 24, page 343-363. Booth, J.R. dan Chua, L., ”Ownership Dispersion, Costly Information, and IPO Underpricing”, Journal of Financial Economics, 1996, 41 (2), page 291-310. Carter, R.B. dan Manaster, S., ”Initial Public Offerings and Underwriter Reputation”, The Journal of Financial, 1990, 45(4), page 1045-1067. Chisthy, M., Hasan, I dan Smith, S.D., ”A Note on Underwriter Competition and Initial Public Offerings”, Journal of Business Finance and Accounting, 1996, 23 (May and June), page. 905914. Daljono, ”Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Initial return Saham yang Listing di Bursa Efek Jakarta Tahun 1990-1997”, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional Akuntansi 2000, Universitas Indonesia, page 556-572. Firth, M. dan Smith, A., “The Accuracy of Profit Forecast in Initial public Offerings”, Accounting and Business Research, 1992, 22 (87), page 239-247. Grinbatt, M. dan Hwang, C.Y., “Signaling and the pricing of new issues”, Journal of Finance, 1989, 44 (2), page 393-420. Gujarati, D., Essential of Econometrics, 1992, Mc Graw-Hill, New York. Gumanti, T.A., Accounting Information and the Underpricing of Indonesian Initial Public Offerings, 2000, Dissertasi, Edith Cowan University, Perth, Western Australia, Australia. Hair Jr, J .F., Anderson, R. E., Tatham, R. L., dan Black, W. C., Multivariate Data Analysis with Readings, 4th ed., 1995, Prentice Hall, New Jersey. Hanafi, M. dan Husnan, S., “Perilaku harga saham di pasar perdana: Pengamatan di Bursa Efek Jakarta selama 1990”, Manajemen dan Usahawan Indonesia, 1991, 20 (11), page 11-15. Hanley, K.W., “The Underpricing of Initial Public Offerings and the Partial Adjustment Phenomenon”, Journal of Financial Economics, 1993, 34, page 231-250. How, J.C.Y., “Voluntary forecast disclosure and the underpricing of IPOs, Accounting Research Journal, 1996, 9 (1), page 17-28. Ibbotson, R.G. dan Ritter, J.R.., “Initial public offerings”, dalam R. Jarrow, et al., (Eds), Handbooks in Operation Research and Management Science, 1995, vol. 9, page 993-1016. Ibbotson, R.G., Sindelar, J.L. dan Ritter, J.R., ”Initial Public Offerings”, Journal of Applied Corporate Finance, 1994, 7, page 6-14.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,
Johnson, J.M. dan Miller, R.E., “Investment banker prestige and the underpricing of initial public offerings”, Financial Management, 1988, 17 (Summer), page 19-29. Keloharju, M., “The winner’s curse, legal liability, and the long run price performance of initial public offerings in Finland”, Journal of Financial Economics, 1993, 34,page 251-277. Koh, F. dan Walter, T., ”A direct test of Rock’s model of the pricing of unseasoned issues”, Journal of Financial Economic, 1988, 23, page 251-272. Leland, H.E. dan Pyle, D.H., “Information asymmetric, financial structure, and financial intermediations”. Journal of Finance, 1977, 32 (2), 371-387. Loughran, T., Ritter, J. dan Rydqvist, K., “Initial public offerings: International insights, Pacific-Basin Finance Journal, 1994, 2, page 165-199. Muscarella, C.J. dan Vetsuypens, M.R., “A simple test of Baron's model of IPO underpricing, Journal of Financial Economics, 1989, 24 (1), page 125-1136. Nasirwan, ”Reputasi Penjamin Emisi, Return Awal, Return 15 hari sesudah IPO, dan Kinerja Perusahaan Satu Tahun Sesudah IPO di BEJ”, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional Akuntansi III, 2000, Universitas Indonesia. Noland, R.T. dan Pavlik, R.M., ”The Underpricing of Initial Public Offerings : Review, Critique, and Integration”, Quantitative Analysis of Finance and Accounting, 1998, 6, page 75-78. Nurhidayati, S dan Indriantoro, N., ”Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Underpriced Pada Penawaran Perdana Di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, , 1998, 13(1), page 21-30. Ritter, J.R. “The long run performance of initial public offerings”, Journal of Finance, 1991, 46 (1) page 3-27. Rock, K., “Why are new issues underpriced”, Journal of Financial Economics, 1986, 15, page 187212. Titman, S. dan Trueman, B., “Information quality and the valuation of new issues, Journal of Accounting and Economics, 1986, page 159-172. Trisnawati, Pengaruh Informasi Prospektus terhadap Return Saham di pasar perdana pada Bursa efek Jakarta, 1998, Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Uang dan Efek, Agustus 1995. Uang dan Efek, Oktober 1995. Welch, I., ”Seasoned offerings, imitation costs, and underpricing of initial public offerings, Journal of Finance, 1989, 44 (2), page 421-429.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Manajemen, 9 (1): 34-52,