Tatang Ary Gumanti, 2001, Earnings management pada penawaran pasar perdana di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 4 (2): 165-183
EARNINGS MANAGEMENT DALAM PENAWARAN SAHAM PERDANA DI BURSA EFEK JAKARTA RINGKASAN Penelitian ini menyelidiki apakah pemilik perusahaan yang akan go public memilih metode-metode akuntansi dengan melakukan income-increasing discretionary accruals pada periode sebelum penawaran perdana. Ada dua alasan utama mengapa issuers memiliki motivasi yang tinggi untuk menaikkan keuntungan yang dilaporkan. Pertama, tidak adanya informasi harga sebelum penawaran telah membuat sulit pihak-pihak yang terlibat dalam proses IPO untuk menetapkan harga secara rasional. Kedua, ketiadaan informasi harga pasar ditambah dengan kenyataan bahwa earnings merupakan salah satu target utama dalam valuasi harga saham di pasar modal semakin memberi peluang kepada issuers untuk mengatur tingkat keuntungan yang dilaporkan. Pengujian dilakukan terhadap 39 perusahaan yang go public tahun 1995 sampai dengan 1997 di Bursa Efek Jakarta. Model yang dikembangkan oleh Friedlan (1994) dipilih untuk keperluan pengujian. Friedlan menggunakan model total accruals sebagai proxy atas discretionary accruals karena dengan melakukan beberapa modifikasi sesuai dengan keterbatasan data dan kharakteristik IPO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa earnings management ditemukan pada periode dua tahun sebelum go public. Hipotesis bahwa nilai median discretionary accruals, perubahan total accruals, operating earnings, dan cash flow from operations lebih besar daripada nol tidak dapat ditolak. Earnings management tidak ditemukan dengan kuat (ada bukti lemah) pada periode setahun sebelum go public. Kata kunci: Earnings management, initial public offerings, accruals, discretionary accruals. ABSTRACT This paper examines whether issuers of initial public offerings (IPO) select accounting methods by making income-increasing discretionary accruals in the periods prior to the offering. Issuers are well motivated to increase the reported earnings given two potential reasons. First, the absence of market price information prior to the offering has made it difficult for parties involved in the new issue market, i.e., underwriter, issuers, and potential investors, to price the offering rationally. Second, this condition, coupled with the widely accepted argument that earnings performance has been the target of stock valuation for most investors in the capital market, may provide opportunity and motivation for the issuers the affect the firm’s reported earnings. Tests were conducted on 39 IPO firms that went public for the periods 1995-1997 at the Jakarta Stock Exchange. The method used to examine earnings management follows the one developed by Friedlan (1994) as has been tested in the US’ IPOs. Friedlan uses total accruals as proxy for discretionary accruals and modifies the model adjusted to account for the data limitation and specific characteristics of an IPO setting. The results show that accruals management is found in the period of two years prior to the offering. The hypotheses that the median discretionary accruals and median change of total accruals, operating earnings, and cash flow from operations are greater than zero can not be rejected. Interestingly, accruals management does not really exist in the period of one year prior to the offering. In other words, there is a weak evidence for earnings management one year prior to public offer. Key words: Earnings management, initial public offerings, accruals, discretionary accruals.
1. Pendahuluan Penelitian ini menguji apakah pemilik perusahaan (issuers) yang akan go public di pasar modal Indonesia memilih metode-metode akuntansi tertentu untuk menaikkan pendapatan (keuntungan yang dilaporkan) pada periode sebelum go public. Dengan kata lain, penelitian ini menguji apakah issuers memanaje laporan keuangan dengan menaikkan tingkat pendapatan atau keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan income-increasing
discretionary
accruals.
Lebih
tegasnya,
apakah
manajemen
keuntungan (earnings management) terjadi pada perusahaan yang untuk pertama kalinya melakukan penawaran perdana (initial public offerings atau IPO)1 di Bursa Efek Jakarta. Penelitian
terdahulu
telah
melaporkan
keberadaan
fenomena
earnings
management sebagai suatu wujud dari pencapaian keuntungan bagi perusahaan atau manajemen di beberapa aspek ekonomi tertentu (certain economic context). Uniknya, fenomena tersebut tidak selamanya terbukti, walaupun secara teroritis memungkinkan atau ada peluang bagi manajemen untuk memanaje keuntungan yang dilaporkan. Buktibukti empiris tentang adanya manajemen keuntungan antara lain ditunjukkan oleh Healy (1985), Ayres (1986), McNichols dan Wilson (1988), DeAngelo (1988), Trombley (1989), Jones (1991), Cahan (1992), Pourciau (1993), Perry dan Williams (1994), Friedlan (1994), DeFond dan Jiambalvo (1994), Holthausen, Larcker, dan Sloan (1995), Gaver, Gaver, dan Austin (1995), Burgstahler dan Dichev (1997), Teoh, Welch, dan Wong (1998), dan Rangan (1998). Sementara itu, penelitian-penelitian yang tidak menemukan adanya bukti earnings management atau terbukti tetapi lemah antara lain
1
Istilah initial public offerings dikenal juga dengan sebutan unseasoned equity offerings. Kebalikan dari unseasoned equity offerings adalah seasoned equity offerings yang merupakan peristiwa dimana perusahaan yang sudah go public melakukan penawaran ulang saham, yang juga dikenal dengan sebutan right issue. 2
adalah DeAngelo (1986), Liberty dan Zimmerman (1986), dan Aharony, Lin, dan Loeb (1993). Penetapan pada harga penawaran (offering price) berapa saham suatu perusahaan yang untuk pertama kalinya menawarkan sahamnya ke publik (go public) merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Ketepatan harga penawaran dalam pasar perdana akan memiliki konsekuensi langsung terhadap tingkat kesejahteraan pemilik lama (issuers). Pihak issuers tentu mengharapkan harga jual yang tinggi, karena dengan harga jual yang tinggi penerimaan dari hasil penawaran (proceeds) akan tinggi pula, yang berarti tingkat kesejahteraan (wealth) mereka juga akan semakin baik. Di sisi lain, harga yang tinggi dapat mempengaruhi respon atau minat calon investor untuk membeli atau memesan saham yang ditawarkan. Bila harga terlalu tinggi dan minat investor rendah, besar kemungkinan saham yang ditawarkan akan tidak begitu laku (kurang laku). Akibatnya, penjamin emisi (underwriters) harus menanggung resiko atas saham yang tidak terjual untuk suatu penjaminan yang full commitment. Dengan demikian jelas bahwa penetapan harga yang layak merupakan tugas antara issuers dan penjamin emisi. Salah satu penyebab kesulitan dalam penetapan harga jual di pasar perdana adalah tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebelum pelaksanaan penawaran perdana saham perusahaan belum diperdagangkan. Baik calon investor maupun issuers dan penjamin emisi sama-sama menghadapi kesulitan untuk menilai dan menentukan harga wajar suatu IPO. Di samping itu, keterbatasan informasi tentang apa dan siapa perusahaan yang akan go public tersebut membuat calon investor harus melakukan analisis yang menyeluruh sebelum mengambil keputusan untuk membeli (memesan) saham.
3
Salah satu sumber informasi yang relevan untuk digunakan dalam menilai perusahaan yang akan go public adalah laporan keuangan yang terdapat di dalam prospektus. Anggapan ini tidaklah aneh, selain karena memang sebagian besar isi prospektus adalah laporan keuangan (financial report) juga secara teoritis informasi keuangan memang merupakan salah satu sumber utama dalam proses penentuan harga suatu IPO (lihat misalnya, Perez 1986; Bloch 1986; Sutton dan Benedetto 1988; Buck 1990). Bukti-bukti empiris juga mendukung anggapan bahwa informasi keuangan atau informasi akuntansi (accounting information) digunakan sebagai salah satu sumber untuk menilai suatu IPO (lihat misalnya, Hughes 1986; Krinsky dan Rotenberg 1989a, 1989b; Kim, Krinsky, dan Lee 1994; 1995; Klein, 1996; Kim dan Ritter 1999). Kenyataan atas adanya hubungan antara informasi akuntansi dan harga penawaran suatu IPO mengarahkan pada suatu anggapan bahwa issuers memiliki insentif atau dorongan untuk memilih metode-metode akuntansi tertentu yang dapat meningkatkan penerimaan (proceeds) dari suatu IPO melalui pengaturan tingkat keuntungan yang dilaporkan. Penelitian manajemen keuntungan sejalan dengan konsep teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang beranggapan bahwa perilaku manajer atau pembuat laporan kuangan dalam proses pembuatan laporan keuangan dipengaruhi oleh banyak faktor (Watts dan Zimmerman 1986; 1990). Dengan kata lain, faktor-faktor atau variabelvariabel ekonomi tertentu dapat menentukan kualitas laporan keuangan suatu perusahaan. Watts dan Zimmerman (1990) menyimpulkan bahwa tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan perilaku manajer dalam pengaturan tingkat keuntungan, yang dikenal dengan tiga hipotesa: hipotesa model bonus (bonus scheme hypothesis), hipotesa biaya politis (political cost hypothesis), dan hipotesa rasio hutang terhadap aktiva (debt to equity hypothesis atau leverage hypothesis). 4
Penelitian yang sekarang menguji fenomena manajemen keuntungan di Bursa Efek Jakarta dengan sampel sebanyak 39 IPO yang go public antara tahun 1995 dan 1997. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bukti adanya upaya pemilik perusahaan untuk menaikkan tingkat keuntungan ditemukan pada periode dua tahun sebelum go public (antara periode T-1 dan T-2). Pada periode ini perubahan total accruals secara statistik adalah signifikan dan prosentase perilaku discretionary accruals juga menunjukkan lebih banyak yang positif. Untuk periode setahun sebelum go public (antara periode T dan T-1) tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa issuers telah menerapkan income-increasing discretionary accruals yang diindikasikan oleh lebih banyaknya perusahaan yang memiliki nilai discretionary accruals negatif (20 berbanding 19). Walaupun demikian, perubahan total accruals adalah positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa accruals management tetap ada, hanya tidak seagresif periode sebelumnya. Tulisan ini diatur sebagai berikut. Bagian kedua berisi literature review dan pengembangan hippotesis. Bagian ini diikuti oleh penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan. Bagian ke-empat berisi hasil dan pembahasan. Simpulan, keterbatasan, dan implikasi penelitian mendatang mengakhiri tulisan ini.
2. Literature Riview dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Sistem Akuntansi dan Pasar Modal di Indonesia Perkembangan pasar modal Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti setelah pemerintah mengeluarkan beberapa deregulasi pasar modal dan perbankan di tahun 1987 dan 1988. Deregulasi dimaksud berdampak positif terhadap pekembangan pasar modal. Hanya disayangkan bahwa perkembangan di pasar modal tidak diiringi dengan perkembangan yang memadai dalam peraturan akuntansi (standar akuntansi). Hal
5
ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa baru pada periode akhir 1994 Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mengeluarkan standar akuntansi keuangan (SAK) sebagai pengganti Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) 1984. Walapun Bapepam, sebagai otoritas pasar modal, telah menerapkan syarat-syarat yang ketat bagi prusahaan yang akan go public termasuk juga standar akuntansi, tidak adanya sistem akuntansi yang komprehensif, paling tidak, akan memberikan banyak peluang bagi perusahaan untuk memilih metode akuntansi yang menguntungkan. PAI 1984 sendiri memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang wajib membuat laporan keuangan, yaitu bilamana ada permasalahan akuntansi yang tidak tercantum dalam PAI, untuk menerapkan prinsip akuntansi selama tidak bertentangan dengan praktek akuntansi yang lazim (Generally Accepted Accounting Principles) dan selama didasarkan pada pertimbangan yang sehat. Kelangkaan peraturan akuntansi yang baik sebelum tahun 1995 tentu saja dalam banyak hal bisa menaikkan atau meningkatkan motivasi dan insentif serta kesempatan kepada para pembuat laporan keuangan untuk memilih metode akuntansi yang bisa “mempercantik” laporan keuangan yang ada (fashioning accounting reports). Hal lain yang bisa mendorong para pembuat laporan keuangan untuk memilih metode akuntansi yang menguntungkan adalah bahwa audit atau pemeriksaan akuntansi kurang begitu lazim bagi kebanyakan perusahaan di Indonesia, kecuali bagi perusahaan yang tercatat di bursa saham atau perusahaan multi-nasional atau perusahaan penjamin emisi dan perusahaan leasing (Briston 1990). Sementara itu, di pasar modal ada banyak permintaan dari para investor untuk adanya peningkatan prosedur dalam penawaran, peraturan atau undang-undang sekuritas, dan kualitas dari informasi yang tersaji dalam prospektus termasuk di dalamnya tuntutan peningkatan
atas
standar
akuntansi,
penjelasan-penjelasan 6
keuangan
(financial
disclosures), dan praktek-praktek akuntansi (Sender 1990; Shale 1992). Bahkan salah seorang pemain bursa dari Hong Kong menyatakan bahwa kualitas sajian informasi perusahaan yang tercatat di bursa masih kurang memadai (Anonim 1995). Dari beberapa kondisi di atas, ada satu alasan mendasar yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan adanya manajemen keuntungan pada perusahaan yang akan go public di bursa saham Indonesia. Alasan tersebut adalah bahwa keadaaan pasar modal yang sedang berkembang (emerging market) dengan segala kekurang-siapan peraturan pendukungnya serta sistem akuntansi yang belum berkembang, sepertinya membuka peluang bagi pembuat laporan keuangan (pemilik perusahaan) untuk menggunakan tehnik-tehnik akuntansi tertentu untuk menaikkan tingkat keuntungan perusahaannya.
2.2 Peranan Informasi Akuntansi Dalam Penentuan Harga Saham Perdana Go public adalah salah satu cara bagi perusahaan yang sedang berkembang untuk mendapatkan tambahan dana dalam rangka pembiayaan atau pengembangan usaha perusahaan. Dana yang diperoleh dari go public biasanya selain digunakan untuk keperluan ekspansi juga untuk pelunasan hutang yang pada gilirannya diharapkan akan semakin meningkatkan posisi keuangan perusahaan di samping untuk memperkuat struktur permodalan. Go public juga dimaksudkan untuk memperkuat modal kerja perusahaan. Agar saham yang ditawarkan dapat diserap pasar (investor), tentunya, pemilik perusahaan dituntut untuk bisa menunjukkan bahwa perusahaannya merupakan perusahaan yang prospektif. Prospek tersebut selain ditandai oleh “baiknya” aliran kas perusahaan juga oleh tingkat pertumbuhan yang dialami. Selain itu, tingkat keuntungan
7
yang diperoleh juga memegang peranan penting dalam keberhasilan penawaran perdana suatu perusahaan. Bukti-bukti empiris mendukung anggapan bahwa prestasi keuangan, khususnya tingkat keuntungan, memegang peranan yang cukup penting dalam penilain prestasi usaha perusahaan serta sering digunakan sebagai dasar dalam keputusan investasi lebih-lebih dalam pembelian saham (Watts dan Zimmerman 1990; DeAngelo 1990). Tingkat keuntungan juga memegang peranan penting dalam banyak hal, misalnya dalam pemberian bonus (bonus contracts) atau dalam pengajuan pinjaman (lending appraisal). Schipper (1989) menyatakan bahwa, ditinjau dari perspektif informasi (information perspective), earnings merupakan salah satu dari banyak sinyal yang mungkin digunakan sebagai acuan untuk membuat keputusan-keputusan penting, misalnya, dalam rangka investasi di pasar modal dan pengambil alihan (akuisisi) atau penggabungan usaha (merger). (Lihat juga DeAngelo 1990). Penggunaan informasi keuangan juga merupakan standard dalam penilaian IPO di sekolah-sekolah bisnis terkemuka di negara-negara maju. (Lihat Studi Kasus dalam Varaiya, Bergmark, dan Taylor 1997). Mengingat arti pentingnya tingkat keuntungan, pemilik perusahaan yang akan go public pasti mengharapkan agar saham yang ditawarkan dapat diserap oleh pasar, sebab semakin tinggi harga yang ditawarkan dan mampu diserap oleh pasar semakin tinggi pula penerimaan (proceeds) mereka. Dengan kata lain, tingginya tingkat keuntungan yang dicapai merupakan indikasi keberhasilan usaha suatu perusahaan. Jadi, tingkat keuntungan
merupakan
salah satu
faktor penting bagi
calon
dipertimbangkan untuk memutuskan memesan atau tidak suatu IPO.
8
investor yang
2.3 Penelitian Terdahulu Untuk keperluan penelitian ini manajemen keuntungan diartikan sebagai “disclosure management in the sense of purposeful intervention in the external reporting process, with intent of obtaining some private gain” (Schipper 1989:92)2. Dari definisi tersebut jelas bahwa manajemen keuntungan merupakan intervensi langsung manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu, baik bagi manajer maupun perusahaan. Beberapa definisi lain tentang manajemen keuntungan dapat dijumpai, tetapi definisi-definisi tersebut kurang lengkap atau terlalu luas sebagaimana yang didefinisikan oleh Schipper (1989). (Lihat misalnya, Merchant dan Rockness 1994; Ayres 1994; Rosenzweig dan Fischer 1994). Dalam perkembangannya, penelitian tentang manajemen keuntungan telah mencakup berbagai sektor (lihat ulasan di Schipper 1989; Dechow, Sloan, dan Sweeny 1995, misalnya). Salah satunya adalah kemungkinan munculnya manajemen keuntungan dalam pasar perdana (initial public offerings atau IPO). Penelitian manajemen keuntungan di pasar perdana antara lain dilakukan oleh Aharony, Lin, dan Loeb (1993), Friedlan (1994), Magnan dan Courmier (1997), dan Theo, Welch, dan Wong (1999) untuk IPO di pasar modal di Amerika Serikat dan Gumanti (1996) untuk IPO di pasar modal di Indonesia. Seperti diungkapkan di muka, bukti empiris tentang pengujian manajemen keuntungan telah banyak diungkapkan. Walaupun demikian, beberapa penelitian tidak menemukan bukti adanya manajemen keuntungan. Uniknya, beberapa penelitian dengan topik yang sama justru menemukan hasil yang tidak sama. Dengan kata lain, konflik
2
Istilah lain yang mungkin kita temui dalam mengartikan earnings management adalah pengelolaan laba atau pengelolaan keuntungan atau manajemen keuntungan. Peng-Indonesiaan istilah tersebut mengikuti Salno dan Baridwan (2000:18-19). Untuk keperluan pembahasan dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah manajemen keuntungan.
9
temuan antar penelitian dengan obyek yang sama masih ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian lanjutan perlu dilakukan sebagai upaya untuk menguji validitas eksternal penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian
tentang
manajemen
keuntungan
hampir
seluruhnya
menggunakan pendekatan accruals, sehingga tidak heran ada sebagian penulis yang menyebut
earnings
management
dengan
mengistilahkannya
sebagai
accruals
management. Pendekatan yang paling banyak digunakan dalam pengujian manajemen keuntungan adalah model yang dikembangkan oleh Jones (1991) dan modifikasi model Jones. Pada prinsipnya pendekatan yang digunakan tidak jauh berbeda. Perbedaan penggunaannya biasanya tergantung pada konteks dimana penelitian tersebut dilakukan. Tetapi, secara umum penelitian tentang manajemen keuntungan menggunakan pengukuran berbasis accruals (accruals-based measures) dalam mendeteksi ada tidaknya manipulasi. Salah satu kelebihan dari pendekatan total accruals adalah pendekatan tersebut berpotensi untuk dapat mengungkap cara-cara untuk menurunkan atau menaikkan keuntungan, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui oleh pihak luar (outsiders). DeAngelo (1986:408) menjelaskan bahwa accounting accruals mencerminkan keputusan manajemen, antara lain, untuk menghapuskan assets (write down assets), pengakuan atau penundaan pendapatan (recognition or defferal of revenues), atau menganggap biaya atau modal suatu pengeluaran (capitalize or expense certain costs). Ayres (1994) menambahkan cara-cara lain untuk mempengaruhi tingkat keuntungan, yaitu dengan penerapan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting changes) baik lebih awal dari tanggal berlakunya atau tepat
10
waktu dan perubahan-perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes). Penelitian-penelitian yang menemukan bukti adanya manajemen keuntungan cukup banyak jumlahnya. Manajemen keuntungan ditemukan untuk menghadapi investigasi pengecualian import (Jones 1991), pada saat proses penggantian pimpinan (proxy contests) (DeAngelo 1988), untuk mengurangi sangsi kecukupan hutang di perbankan (Moyer 1990), untuk mengurangi batasan-batasan hutang (Devond dan Jiambalvo 1994), atau dalam proses penggantian pimpinan puncak (Pourciau 1993). McNichols dan Wilson (1988) menemukan bukti adanya manajemen keuntungan dalam perlakuan atas pengakuan piutang ragu-ragu. Di sisi lain, Liberty dan Zimmerman (1986) tidak menemukan manajemen keuntungan pada saat perusahaan menghadapi konflik dan bernegosiasi dengan serikat buruh atau pada saat manajemen menghadapi management buy-out (DeAngelo 1986). Temuan Perry dan William (1995) bertentangan dengan DeAngelo (1986) dimana mereka menemukan bukti manajemen keuntungan pada peristiwa management buy-out. Temuan yang dilaporkan Healy (1985), Gaver et al. (1995), dan Holthausen et al. (1995) untuk pengujian manajemen keuntungan di seputar pemberian bonus pimpinan puncak (Chief Executive Officers atau CEO) menunjukkan bukti yang tidak konsisten walaupun secara keseluruhan menemukan adanya bukti earnings management. Dalam konteks penawaran perdana, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah issuers melakukan manajemen keuntungan pada periode-periode sebelum go public (Aharony et al. 1993; Friedlan 1994; Magnan dan Courmier 1997; Teoh et al. 1998). Neill, Pourciau, dan Schaever (1995) menemukan bukti yang kuat atas adanya hubungan antara pemilihan metode akuntansi dan earnings management di IPO. Bila 11
Aharony et al tidak menemukan bukti yang kuat adanya manajemen keuntungan, Friedlan, Magnan dan Cormier, dan Theo et al. justru menemukan bukti kuat bahwa pada periode sebelum go public pemilik perusahaan melakukan manajemen keuntungan dengan meningkatkan tingkat keuntungan yang ada. Ketiga penelitian ini menggunakan pasar modal Amerika serikat sebagai obyek penelitiannya. Dari keempat penelitian manajemen keuntungan di pasar perdana yang ada, terdapat perbedaan dalam pengujian yang digunakan. Friedlan dan Aharony et al menggunakan pendekatan accruals dengan uji nonparametrik, sementara Magnan dan Cormier dan Theo et al menggunakan uji regresi berganda sebagaimana dikembangkan oleh Jones (1991). Gumanti (1996) menguji kemungkinan adanya earnings management pada perusahan yang baru go public di Bursa Efek Jakarta. Penelitian dilakukan pada 62 perusahaan yang go public antara periode Juli 1991 dan Desember 1994. Gumanti tidak menemukan bukti yang kuat atas adanya ernings management pada periode sebelum go public. Bukti adanya earnings management justru ditemukan setahun setelah go public. Temuan tersebut cukup menarik untuk dicermati. Salah satu kemungkinan penafsiran dari ditemukannya earnings management pada periode setahun setelah go public adalah adanya upaya pihak manajemen perusahaan untuk menjaga tingkat pertumbuhan atau kenaikan keuntungannya selama periode sebelum go pbulic. Sisi menarik dari beberapa penelitian tentang earnings management di atas adalah bahwa di pasar modal yang system atau peraturan pendukungnya sangat baik (well established) ternyata masih memungkinkan untuk terjadinya manajemen keuntungan pada perusahaan yang akan go public. Penelitian yang sekarang dimaksudkan untuk menguji validitas dari penelitian di atas dengan meneliti perusahaan yang baru go public di pasar modal Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada 12
lembaga-lembaga atau pihak-pihak terkait dengan pasar modal di Indonesia juga kepada calon investor di pasar modal dalam mencermati kualitas laporan keuangan yang diterbitkan dalam prospektus.
2.4 Hipotesis Dari uraian dan penjelasan di atas hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah (dinyatakan dalam bentuk alternatifnya):
Ha
Pemilik perusahaan yang akan go public (issuers) memilih metode akuntansi dengan melakukan income increasing discretionary accruals untuk menaikkan tingkat keuntungan yang dilaporkan pada periode sebelum go public.
3. Metodologi Penelitian 3.1 Pemilihan Sampel dan Sumber Data Penentuan smpel dalam penelitian ini didasarkan pada metode purposive sampling, dimana sampel perusahaan yang terpilih didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Kriteria-kriteria dimaksud berturut-turut adalah rentang waktu penelitian, kelompok industri, dan kecukupan data. Sampel perusahaan yang diteliti adalah perusahaan yang melakukan penawaran perdana (go public) antara tahun 1995 dan 1997. Dipilihnya rentang waktu tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa berlakunya standard akuntansi keuangan (SAK) adalah per 1 Januari 1995. Di dalam SAK tersebut terdapat pengaturan tentang kewajiban bagi perusahaan untuk melaporkan aliran kas (cash flow), sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 2 tentang Laporan Arus Kas. Adanya PSAK No. 2 tersebut telah menyeragamkan pelaporan aliran kas perusahaan. Karena salah satu variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah laporan aliran kas, maka 13
adalah penting untuk mendapatkan keseragaman dalam pelaporannya. Alasan inilah yang mendasari pembatasan rentang waktu penelitian. Dalam penelitian ini sampel yang dipilih adalah semua perusahaan yang go public antara tahun 1995 dan 1997. Perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam kelompok industri properti, real estate dan konstruksi (Code 61-69) dan keuangan (Code 81-89) tidak dimasukkan dalam sampel. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perusahaanperusahaan yang tergolong dalam industri-industri tersebut memiliki struktur keuangan dan modal pelaporan keuangan, khususnya dalam pelaporan rugi laba dan komponenkomponen yang dilaporkan dalam laporan aliran arus kas, yang berbeda dengan perusahaan dalam kelompok industri yang lain. Secara terinci, proses pemilihan sampel perusahaan yang diteliti ditunjukkan dalam Tabel 1. Daftar selengkapnya sampel perusahaan yang diteliti ditunjukkan dalam Lampiran 1. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1, dari 66 perusahaan yang go public antara tahun 1995 dan 1997, terdapat 39 perusahaan yang memenuhi kriteria untuk diuji. Sampel penelitian terdiri dari 14 perusahaan go public tahun 1995, 12 perusahaan go public tahun 1996, dan sisanya, 13 perusahaan go public tahun 1997. Tabel 1 juga menunjukkan proporsi sampel untuk masing-masinf jenis industri.
14
Tabel 1: Gambaran Sampel Penelitian dan Jenis Industri Keterangan
Jumlah Persh.
Tidak Terpiliha
% Tidak Terpilih
Terpilih
% Terpilih
Perusahaan go public tahun 1995 Perusahaan go public tahun 1996 Perusahaan go public tahun 1997
21 15 30
7 3 17
33,33 20,00 56,67
14 12 13
66,67 80,00 43,33
Perusahaan go public 1995-1997
66
27
40,90
39
51,10
Jumlah Persh.
% Total Sampel
2 4 9 5 7 4 8 39
0,05 0,10 0,23 0,13 0,18 0,10 0,21 1,00
Panel A: Penentuan Sampel
Panel B : Jenis Industri Pertanian (11-19) Pertambangan (21-29) Kimia dan Industri Dasar (31-39) Industri Lain-lain (41-49) Industri Barang-barang Konsumsi (51-59) Infrastruktur dan Transportasi (71-79) Perdagangan dan Servis (91-99) Jumlah Catatan: a
Perusahaan tidak terpilih adalah perusahaan yang tergolong dalam industri properti, real estate dan konstruksi (Code 61-69) dan keuangan (Code 81-89). Pengelompokan industri didsarkan pada pengelompokan menurut JSX Fact Book.
3.2 Pengukuran Total Accruals Sama halnya dengan Aharony et al. (1993) dan Friedlan (1994), total accruals dihitung sebagai selisih antara laba operasi (operating income), yang dalam hal ini sama dengan pendapatan sebelum extraordinary items, dan aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating activities). Sebenarnya, total accruals juga dapat dihitung dengan pendekatan lain sebagaimana dilakukan oleh Jones (1991) yang dikenal sebagai model Jones dan modifikasi dari model Jones. Pengukuran dengan model Jones tidak memungkinkan untuk dilakukan karena keterbatasan data. Keterbatasan data yang dimaksud adalah laporan keuangan yang terdapat di dalam prospektus perusahaan yang akan go public di Indonesia rata-rata terdiri 15
dari tiga tahun. Sejauh pengamatan penulis tidak ada sebuah perusahaanpun yang menyajikan laporan keuangan untuk empat periode atau lebih laporan keuangan di dalam prospektus IPO di Indonesia. Bahkan pada awal booming pasar modal Indonesia, yaitu tahun 1989 sampai dengan 1991, sebagian besar perusahaan hanya menyajikan laporan keuangan untuk dua tahun. Untuk dapat menggunakan model Jones dan juga modifikasi model Jones diperlukan laporan keuangan yang terdiri, paling tidak, lima tahun. Dengan alasan ini model Jones dan modifikasinya krang bisa diterapkan dalam konteks IPO. Pendekatan total accruals yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan model awal yang dikembangkan oleh Healy (1985) dan DeAngelo (1986). Aharony et al (1993) dan Friedlan (1994) memodifikasi model DeAngelo (1986) dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang secara spesifik memungkinkan untuk kasus uji total accruals di IPO. Healy dan DeAngelo berpendapat bahwa total accruals terdiri dari discretionay dan non-discretionay accruals, dimana total accruals digunakan sebagai proxy dari discretionary accruals karena discretionary accruals tidak mudah terobservasi. Pendekatan ini berasumsi bahwa komponen non-discretionary accruals cenderung stabil sepanjang waktu, sehingga yang layak untuk dipertimbangkan adalah komponen discretionary accruals. Karena salah satu alasan utama perusahaan go public adalah pesatnya pertumbuhan, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengukuran discretionary accruals. Penyesuaian dilakukan untuk mengurangi kemungkinan bahwa pengukuran discretionary accruals sepenuhnya dipengaruhi oleh pertumbuhan. Aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating activities) diperoleh secara langsung dari laporan keuangan perusahaan sebagaimana terdapat di dalam prospektus. Pengambilan secara langsung dari prospektus memungkinkan dilakukan karena sesuai dengan PSAK No.2, perusahaan yang akan go public wajib menyajikan 16
laporan arus kas (cash flow statement) dalam laporan keuangannya. Pengambilan secara langsung juga dilakukan karena alasan keseragaman. Sebelum berlakunya PSAK No. 2, laporan arus kas yang terdapat di dalam prospektus perusahaan yang akan go public bervariasi dan cenderung tidak seragam di samping memang banyak yang masih melaporkan arus dana (fund flow), bukannya cash flow statement. Secara matematis total accruals untuk periode t atau disebut juga total accounting accruals sebagaimana diistilahkan oleh Aharony et al (1993) dapat dinyatakan dengan persamaan berikut. TACt = NIt - CFOt
dimana TACt adalah total accruals pada periode t, NIt adalah laba bersih operasi (net operating income) yang juga merupakan income before extraordinary items pada periode t, dan CFOt adalah aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating activities) pada periode t. Sebagaimana halnya Aharony et al (1993) dan Friedlan (1994), dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian terhadap perhitungan total accruals. Dalam penelitian ini untuk keperluan analisis digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Friedlan. Walaupun demikian, pendekatan yang digunakan oleh Aharony et al (1993) Dan DeAngelo (1986) juga dipertimbangkan sebagai pembanding.3 Friedlan (1994:5) mengasumsikan bahwa terdapat proporsi yang konstan antara total accruals dan penjualan pada periode yang berurutan. Oleh sebab itu, jumlah total accruals yang melekat pada diskresi manajemen adalah merupakan perbedaan antara total accruals pada periode yang diuji yang distandarisasi dengan penjualan pada periode yang diuji dan total accruals pada periode
17
dasar yang distandarisasi dengan penjualan pada periode dasar. Secara formal perhitungannya adalah sebagai berikut:
DACpt = (TACpt / SALEpt) – (TACpd / SALEpd)
dimana DACpt adalah dicretionary accruals pada periode tes (pt), TACpt adalah total accruals pada periode tes, SALEpt adalah penjualan pada periode tes, TACpd adalah total accruals pada periode dasar, dan SALEpd adalah penjualan pada periode dasar. Untuk ilustrasi yang lebih lengkap, lihat Friedlan (1994:5) dan untuk model lain pengukuran discretionary accruals lihat Aharony et al (1993:68), atau lihat DeAngelo (1986:409-410). Indikasi bahwa telah terjadi earnings management ditunjukkan oleh koefisien DAC yang positif, sebaliknya bila koefisien DAC negatif berarti tidak ada indikasi bahwa manajemen telah melakukan upaya untuk menaikkan keuntungan melalui income-increasing discretionary accruals.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Statistik Deskriptif Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif sampel perusahaan yang diteliti. Sebagaimana dapat dilihat di Tabel 2, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara nilai maksimum dan minimum data yang disajikan, kecuali untuk data tentang harga penawaran saham. Perbedaan yang mencolok tersebut disebabkan oleh adanya perusahaan yang secara keseluruhan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang lain. Perusahaan tersebut adalah PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (PT. Telkom). Apabila
3
Kesimpulan akhir dalam penelitian ini tidak terpengaruh walaupun model Aharony et al (1993) atau DeAngelo (1986) digunakan. Aharony et al. menggunakan rata-rata total assets sebagai pembagi sementara 18
PT. Telkom tidak diikutsertakan dalam perhitungan terjadi perubahan yang cukup berarti terhadap semua komponen yang tersaji di Tabel 2 tersebut, khususnya untuk komponen rata-rata, standar deviasi, dan nilai maksimum. Misalnya, nilai rata-rata total assets dan laba operasi dengan memasukkan PT. Telkom berturut-turut adalah 610 milyar dan 100 milyar. Nilainya berubah drastis bila PT. Telkom tidak dimasukkan, yaitu berturut-turut 317 milyar dan 35 milyar. Walaupun secara statistik deskriptif PT. Telkom cukup mempengaruhi, pengikutsertaan PT. Telkom dalam analisis accruals tidak berpengaruh. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam analisis accruals semua nilai distandarisasi, sehingga efek dari dominasi individual sampel tereliminir. Dari 39 sampel yang diteliti, ada tiga perusahaan yang menawarkan sahamnya dengan nilai nominal Rp 1.000,-, sisanya, yaitu 36 perusahaan menawarkan sahamnya dengan nilai nominal Rp 500,-. Fenomena perubahan nilai nominal per lembar saham yang ditawarkan yang cenderung merubah nilai nominal dari Rp 1.000,- menjadi Rp 500,semakin merebak khususnya di tahun 1995. Sebelum tahun 1995, hampir semua perusahaan yang melakukan IPO menawarkan saham dengan nilai nominal Rp 1.000,-. Apabila dibandingkan dengan harga jualnya, maka secara rata-rata harga saham yang dijual adalah 233% di atas nilai nominalnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat agio saham yang cukup tinggi yang diperoleh perusahaan yang melakukan penawaran perdana di pasar modal Indonesia.
DeAngelo menggunakan total assets sebagai pembagi total accruals. 19
Tabel 2: Statistik Deskriprif Sampel (n=39)a Mean
Median
Std. Deviasi
Minimum
Maksimum
Total Assetsb
610.326
225.996
1.858.119
17.497
11.746.565
Penjualanb
281.900
123.429
634.765
19.481
4.043.436
Operating Incomeb
67.667
18.960
206.034
1.343
1.303.676
Net Incomeb
39.923
9.675
126.140
1.005
794.550
Cash Flowb
61.613
7.650
250.468
-39.264
1.569.145
102
50
190
10
1.166
1685
1350
854
650
3200
192.074
75.000
517.229
13.500
3.266.667
Jumlah Saham yang Ditawarkanb Harga Penawaranc Penerimaan Kotorb Catatan: a
Total assets, penjualan, operating income, dan cash flow from operations adalah untuk periode T, yaitu periode satu tahun sebelum go public. Nilai yang dilaporkan biasanya merupakan nilai dari laporan keuangan yang diaudit dan merupakan laporan keuangan penuh untuk satu tahun. b Angka dalam jutaan. c Angka normal. Penerimaan kotor dihitung dari hasil perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dan harga penawaran per lembar saham.
Secara skematis analisis terhadap periode waktu dimana pengujian manajemen accruals ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut.
Tahun T-1
Akhir tahun T-2
Tahun T
Akhir tahun T-1
Akhir tahun T
Akhir tahun T+1
Tanggal IPO Gambar 1: Skema Analisis Periode Waktu dalam Pengujian Earnings Management di IPO (Sumber: Friedlan, 1994:9, dimodifikasi).
20
Sebagaimana disebutkan di muka, penelitian ini menggunakan pendekatan total accruals yang disesuaikan dengan tingkat penjualan. Penyesuaian ini dilakukan karena adanya asumsi bahwa perusahaan yang go public adalah perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan, baik pertumbuhan penjualan maupun total assetnya. Data yang disajikan dalam Tabel 3 menkonfirmasi asumsi adanya pertumbuhan yang signifikan pada periode sebelum go public. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 3, rata-rata pertumbuhan penjualan pada periode setahun (T) dan dua tahun (T-1) sebelum go public berturut-turut adalah 1,6030 dan 2,2327. Selama periode T dan T-1, terdapat 35 perusahaan yang mengalami pertumbuhan penjualan positif, demikian pula halnya untuk periode T-1 dan T-2 juga terdapat 35 perusahaan yang mengalami pertumbuhan penjualan positif. Rata-rata pertumbuhan penjualan menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu besar antara periode T dan T-1 dan antara periode T-1 dan T-2. Uji t terhadap hipotesis bahwa rata-rata pertumbuhan penjualan lebih besar daripada satu diterima pada tingkat keyakinan 99,9%. Uji Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median pertumbuhan penjualan lebih besar daripada satu diterima pada tingkat keyakinan 99,9%. Hasil yang sama juga ditemukan untuk uji rata-rata dan median pertumbuhan total assets.
21
Tabel 3: Pertumbuhan dan Test Pertumbuhan Penjualan dan Total Assets (n=40)a Keterangan
Rata-rata
Median
Std. Dev.
Minimum
Maksimum
Sales T dan T-1
1,6050*
1,2605*
1,3677
0,9217
5,5071
Sales T-1 dan T-2
1,5053*
1,3804*
0,7569
0,1429
5,0671
Asset T dan T-1
1,4577*
1,2875*
0,3940
0,9883
2,4312
Asset T-1 dan T-2
1,6451*
1,2857*
0,9081
0,9218
5,5507
Catatan: Tanda * menunjukkan bahwa p-value signifikan pada tingkat 0,01. a
Pertumbuhan dihitung dengan rumus (variabel t / variabel t-1), dimana variabel yang dimaksud adalah penjualan (sales) atau total assets. Uji t digunakan untuk menguji apakah rata-rata pertumbuhan periode lebih besar daripada satu. Uji Wilcoxon digunakan untuk menguji apakah nilai median pertumbuhan lebih besar daripada 1.
4.2 Pengujian Manajemen Keuntungan dan Pembahasan Sebagaimana disebutkan di muka, penelitian ini menggunakan pendekatan total accruals untuk menguji hipotesis ada tidaknya manajemen keuntungan pada periode sebelum go public pada perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana. Tabel 4 menyajikan hasil uji terhadap hipotesis apakah issuers menerapkan income-increasing discretionary accruals pada periode sebelum go public. Pengujian ada tidaknya manajemen keuntungan (accruals) ditekankan pada pengamatan terhadap perilaku discretionary accruals dan total accruals. Pengujian terhadap perilaku discretionary accruals dilakukan selama dua periode waktu, yaitu setahun sebelum go public (periode T) dan dua tahun sebelum go public (periode T-1). (Lihat Gambar 1 untuk penggambaran yang lebih jelas terhadap pembagian periode pengujian). Panel A Tabel 4 melaporkan hasil pengujian untuk periode T, yaitu periode setahun sebelum go public. Rata-rata dan median operating earnings pada periode ini berturut-turut adalah 6,31% dan 4,24% terhadap penjualan, dimana terdapat 34 (87,2%) perusahaan mengalami kenaikan operating earnings. Median total accruals dan cash flow 22
masing-masing adalah 4,01% dan 2,99% terhadap penjualan. Uji ranking tanda Wilcoxon yang menguji bahwa median lebih besar dari nol menunjukkan bahwa median total accruals secara signifikan berbeda dari nol (p < 0,01) dan median cash flow signifikan (p < 0,05). Terdapat 61,5% perusahaan mengalami kenaikan total accruals dan 64,1% mengalami kenaikan cash flow from operations. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat earnings management pada periode setahun sebelum go public. Pengujian terhadap perilaku discretionary accruals, anehnya, menunjukkan bahwa bukti accruals management kurang terbukti. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa hanya 19 dari 39 perusahaan yang diteliti yang memiliki nilai discretionary accruals positif. Pada periode dua tahun sebelum go public, yaitu periode T-1 dan T-2, ada bukti earnings management yang kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median perubahan operating earnings, total accruals, dan cash flow from operations lebih besar daripada nol adalah signifikan berturut-turut pada tingkat 0,01, 0,01, dan 0,05. Median perubahan operating earnings pada periode T2 ke T-1 terhadap penjualan sebesar 4,46% lebih besar dari nol dan secara statistik signifikan. Pada periode tersebut terdapat 31 perusahaan atau 79,5% yang mengalami kenaikan operating earnings, 24 perusahaan atau 61,5% yang mengalami kenaikan total accruals, 26 perusahaan atau 66,7% yang mengalami kenaikan cash flow from operations. Pengamatan terhadap perilaku discretionary accruals pada periode dua tahun sebelum go public mendukung hasil pengujian terhadap perilaku total accruals. Pada periode ini terdapat 32 perusahaan atau 82,1% yang memiliki nilai discretionary accruals positif. Uji Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median discretionary accruals lebih besar dari nol tidak dapat ditolak pada tingkat kepercayaan 99%. Hal ini berarti ada bukti yang
23
kuat bahwa, pada periode dua tahun sebelum go public, issuers di pasar perdana memilih metode akuntansi dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals. Secara keseluruhan hasil yang dilaporkan dalam Tabel 4 mendukung hipotesis bahwa issuers perusahaan yang melakukan go public melakukan earnings management dengan memilih metode akuntansi yang menaikkan tingkat keuntungan. Dengan kata lain earnings management terbukti pada sampel sebanyak 39 perusahaan yang go public di pasar modal Indonesia tahun 1995 sampai 1997, walaupun earnings management lebih terbukti pada periode dua tahun sebelum go public. Kenyataan ini mendukung temuan Friedlan (1994) dan setidaknya mengkonfirmasi temuan Aharony et al (1993) yang menemukan bukti yang lemah atas adanya earnings management. Mengapa earnings management terbukti pada periode dua tahun sebelum go public tetapi tidak begitu kuat ditemukan pada periode setahun go public adalah menarik untuk dicermati. Ada dua alasan yang dapat ditawarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, issuers tidak ingin bahwa upaya rekayasa keuntungan yang
dilakukannya terdeteksi oleh pihak luar (investor). Rekayasa keuntungan selama dua periode berturut-turut adalah riskan untuk dilakukan, karena akan dapat dengan mudah terdeteksi, baik lewat keanehan yang berupa lonjakan dalam komponen di neraca maupun di laporan rugi laba. Kedua, rekayasa keuntungan sendiri tidak dapat dilakukan terus menerus. Hal ini disebabkan oleh sifat dari accruals dimana discretionary accruals yang dilakukan pada suatu periode akan berakibat pada periode berikutnya. Akibatnya, issuers tidak dapat melakukannya terus menerus. Tentu saja masih terbuka jawaban lain atas temuan yang dilaporkan dalam penelitian ini. Untuk itu, penelitian dan telaah lebih lanjut atas fenomena earnings management di pasar perdana di pasar modal Indonesia perlu dilakukan. 24
Tabel 4: Hasil Pengujian Discretionary Acruals dan Perubahan Earnings (Operating Earnings), Total Accruals, dan Cash Flow pada Periode Sebelum a Keterangan
Earnings
Total Acrruals
Cash Flows
Discretionary Accruals c
Panel A: Pengujian Periode T dan T-1 Rata-rata 0,0631 0,0293 Median 0,0429 0,0401 Standard Deviasi 0,0837 0,1367 Persen Positif (%) 87,20 61,50 Persen Negatif (%) 12,80 38,50 Wilcoxon Z-value -4,3400 * -5,3308 * 4,4836 * 5,1241 * Sign Z-value b 2,0611 ** 1,2052 t-test Z-value b Panel B: Pengujian Periode T-1 dan T-2 Rata-rata Median Standard Deviasi Persen Positif (%) Persen Negatif (%) Wilcoxon Z-value Sign Z-value b t-test Z-value b
0,0559 0,0446 0,0757 79,50 20,50 -3,8516 * 3,5228 * 1,6211***
0,0535 0,1316 0,6859 61,50 38,50 -5,0657 * 4,8038 * 1,5059***
0,0337 0,0299 0,1359 64,10 35,90 -1,9118*** 1,6013*** 2,2415 **
-0,0181 -0,0082 0,1803 48,70 51,30 -0,9582 -0,7564 -0,6092
0,0024 0,0213 0,1914 66,70 33,30 -2,0095** 1,2810 0,4958
0,0541 0,0313 0,2062 82,10 17,90 3,4581 * 3,2541 * 1,6432***
Catatan: *; **; *** berarti p-value signifikan pada tingkat 0,01; 0,05; dan 0,10 berturut-turut. a
Keseluruhan pengujian berdasarkan uji satu sisi (one-tailed), kecuali untuk cash flow uji dua sisi (twotailed). Uji Wilcoxon dan uji Sign digunakan untuk menguji apakah nilai median variabel berbeda dari nol. Uji t digunakan untuk menguji apakah nilai rata-rata variabel berbeda dari nol. b Uji Sign dan Uji t digunakan sebagai pembanding saja. Persen positif dihitung bila nilai variabel periode t lebih besar dibandingkan dengan nilai variabel periode t1. Sebaliknya persen negatif dihitung bila nilai variabel periode t lebih kecil dibandingkan dengan nilai variabel periode t-1. Nilai rata-rata dan median yang dilaporkan merupakan nilai masing-masing variabel yang diukur dengan rumus berikut: (variabelt – variabelt-1) / penjualant, dimana variabel yang dimaksud berturut-turut adalah earnings, total accruals, dan cash flow. Total accruals merupakan selisih antara earnings (operating income) dan cash flow from operations. c Discretionary accruals diukur dengan rumus sebagai berikut:
DACpt = (TACpt / SALEpt) – (TACpd / SALEpd)
25
5. Simpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Untuk Penelitian Mendatang 5.1 Simpulan Penelitian ini menguji keputusan-keputusan akuntansi yang dilakukan oleh pemilik perusahaan (issuers) yang akan go public sebelum sahamnya diperdagangkan di bursa atau menguji apakah earnings management terjadi pada penawaran saham perdana di pasar modal Indonesia. Karena tingkat kesejahteraan issuers tergantung sepenuhnya dari besar kecilnya penerimaan atas penawaran dan karena penerimaan ditentukan oleh harga penawaran, issuers memiliki insentif atau dorongan untuk menawarkan sahamnya setinggi mungkin. Keterbatasan informasi tentang perusahaan yang akan go public menyebabkan tidak ada dasar yang relevan tentang bagaimana harga penawaran ditetapkan. Oleh sebab itu, issuers dan penjamin emisi harus menetapkan harga penawaran dengan informasi non-harga (non-price information). Sementara itu, literatur yang berkaitan dengan IPO menyarankan bahwa salah satu sumber informasi yang relevan sebagai dasar penetapan harga atau penilaian suatu IPO adalah informasi keuangan yang terdapat di dalam prospektus. Karena issuers dan pihak-pihak yang terlibat dalam IPO bertanggung jawab terhadap kebenaran isi informasi di prospektus, yang sebagian besar adalah informasi akuntansi, adalah relevan bila calon investor memanfaatkan informasi tersebut. Hasil pengujian terhadap 39 perusahaan IPO yang go public antara tahun 1995 dan 1997 dengan menggunakan pendekatan total accruals menunjukkan ada bukti yang kuat atas terjadinya manajemen keuntungan, khususnya pada periode dua tahun sebelum go public. Hal ini berarti issuers telah memilih metode-metode akuntansi yang menaikkan keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals. 26
Bukti lain menunjukkan bahwa earnings management tidak terbukti secara kuat pada periode satu tahun sebelum go public. Pada periode ini, walaupun perubahan total accruals adalah positif dan signifikan, discretionary accruals justru lebih banyak yang negatif,
yaitu
20
perusahaan
dari
keseluruhan
sampel
perusahaan.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa earnings management pada periode ini tidak begitu kuat terbukti atau dengan kata lain bukti earnings management masih lemah. Secara keseluruhan, bukti yang ditemukan dalam penelitian ini sejalan dengan temuan Friedlan (1994) atas adanya earnings management keuntungan pada perusahaan yang akan go public. Lemahnya bukti earnings management pada periode setahun sebelum go public bisa jadi karena issuers tidak ingin accruals management yang dilakukannya terdeteksi. Adalah cukup riskan bila dalam dua periode issuers melakukan accruals management.
5.2 Keterbatasan Ada beberapa keterbatasan yang teridentifikasi dalam penelitian ini. Pertama, sedikitnya sampel perusahaan yang diteliti dalam penelitian ini dengan tahun pengamatan hanya tiga tahun menyebabkan hasil yang dilaporkan kurang dapat digeneralisasi. Artinya, apa yang ditemukan dalam penelitian ini mungkin berbeda dengan penelitian sejenis dengan sampel yang berbeda. Sedikitnya jumlah sampel yang diteliti dalam penelitian ini menyebabkan ketidakmampuan penulis untuk memisah sampel yang ada baik berdasarkan ukuran maupun jenis industri untuk secara lebih detail mengamati perilaku dan perbedaan earnings management antara perusahaan besar dan kecil dan antara satu jenis industri dan jenis industri yang lain.
27
Kedua, pendekatan yang digunakan dalam pengujian ada tidaknya earnings management dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada perilaku total accruals. Beberapa penelitian terbaru tentang earnings management dalam IPO telah mengadopsi model Jones dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi data perilaku data IPO.
5.3 Implikasi Untuk Penelitian Mendatang Mengacu pada beberapa keterbatsan yang ada, beberapa implikasi untuk penelitian mendatang kiranya dapat penulis sarankan. Pertama, penelitian mendatang sebaiknya menggunakan sampel yang lebih banyak dengan harapan agar temuannya bisa lebih kuat (robust findings). Penggunaan sampel yang lebih banyak juga memungkinkan untuk memisah sampel berdasarkan ukurannya (total assets) untuk menguji apakah ada perbedaan antara motif atau kecenderungan earnings management perusahaan yang tergolong kecil dan perusahaan besar. Friedlan (1994) dan Aharony et al (1993) menegaskan bahwa earnings management lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang relatif berskala lebih kecil Perlu juga kiranya melakukan penelitian dengan memisah jenis industri untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku earnings management masing-masing industri. Penelitian seperti ini akan dapat mendeteksi perusahaan dalam industri mana yang cenderung melakukan earnings management. Selain itu, perlu kiranya dilakukan penelitian tambahan dengan mengevaluasi kinerja operasi perusahaan yang baru go public sebagaimana dilakukan oleh Jain dan Kini (1994), sehingga dapat diketahui hubungan antara earnings management sebelum go public dan kinerja operasi.
28
Terakhir, perlu kiranya penelitian mendatang untuk membandingkan perilaku accruals management pada periode-periode sebelum dan sesudah go public untuk mengetahui sejauh mana perilaku dan motivasi pemilik perusahaan (issuers) dalam kaitannya dengan kewenangan (discretion) mereka untuk mengatur tingkat keuntungan yang dilaporkan.
DAFTAR PUSTAKA Aharony, J.; C.J. Lin. dan M.P. Loeb. 1993. Initial public offering, accounting choices, and earnings management. Contemporary Accounting Research, 10 (1): 61-81. Anonim. 1995, January. A disciplinarian for Asia’s unruly markets. Institutional Investor, pp. 137-138 Ayres, F.L. 1994, March. Perception of earnings quality: What managers need to know. Management Accounting, hal. 27-29. Ayres, F.F. 1986. Characteristics of firms electing early adoption of SFAS 52. Journal of Accounting and economics, 8: 143-158. Bloch, E. 1986. Inside investment banking. Homewood Illionis: Dow Jones-Irwin. Briston, R.J. 1990. “Accounting in developing countries: Indonesia and the Solomon Islands as case studies for regional cooperation. Research in Third World Accounting, 1, 195-216. Buck, G.C. 1990. Pricing initial public offerings. Dalam Khun, R. (ed.), Capital Raising and Financial Structure, Richard D Irwin. Burgstahler, D. dan I. Dichev. 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting andl Economics, 24: 99-126. Cahan, S.F. 1992. The effects of antitrust investigations on discretionary accruals: A refined test of political-cost hypothesis. The Accounting Review, 67 (1): 77-95. DeAngelo, L.E. 1986. Accounting number as valuation substitutes: A study of management buyouts of public stockholders. The Accounting Review, 59: 400-420. ________. 1988. Managerial competition, information costs, and corporate governance: The use of accounting performance measures in proxy contests. Journal of Accounting and Economics, 12: 3-36. ________. 1990. Equity valuation and corporate control. Accounting Review, 65, (1), 93112. Dechow, P.M.; R.G. Sloan.; dan A.P. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review, 70 (2), 193-225. DeFond, M.L. dan Jiambalvo, J. 1994. Debt covenant violation and manipulation of accruals. Journal of Accounting and Economics, 17: 145-176. Friedlan, M.L. 1994. Accounting choices of issuers of initial public offerings. Contemporary Accounting Research, 11 (1): 1-31. Gaver, J, J.; K.M. Gaver.; dan J.R. Austin. 1995. Additional evidence on bonus plan and income management. Journal of Accounting and Economics, 19: 3-28. 29
Gujarathi, M.R. dan R.E. Hoskin. 1992. Evidence of earnings management by the early adopters of SFAS 96. Accounting Horizon, December: 18-31. Gumanti, T.A. 1996. Earnings Management and Accounting Choices in Initial Public Offerings: Evidence from Indonesia. Thesis Master, Edith Cowan University, Perth, Australia, tidak dipublikasikan. Healy, P.M. 1985. The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of Accounting and Economics, 10: 85-107. Holthausen, R.W.; K.M. Larke. dan R.G. Sloan. 1995. Annual bonus scheemes and the manipulation of earnings. Journal of Accounting and Economics, 12: 29-74. Jain, B.A. dan Kini, O. 1994. The post-issue operating performance of IPO firms. Journal of Finance, 49 (5), 1699-1726. Jones, J, J. 1991. Earnings management during import relief investigations. Journal of Accounting Research, 29 (2): 193-228. Kim, M. dan J.R. Ritter. 1999. Valuing IPOs. Journal of Financial Economics, 53, 409437. Kim, B.J.; I. Krinsky; dan J. Lee. 1994. The valuation of initial public offerings and accounting disclosure in prospectuses: New evidence from Korea. The International Journal of Accounting, 29, 24-61. ____________________. 1995. The role of financial variables in the pricing of Korean initial public offerings Pacific-Basin Finance Journal, 3, 449-464. Krinsky, I. dan W. Rotenberg, 1989a. The valuation of initial public offerings. Contemporary Accounting Research, 5 (2), 501-515. ____________________. 1989b. Signalling and the valuation of unseasoned new issued revisited. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 24 (2), 257-266. Liberty, S.E. dan J.L. Zimmerman 1986. Labor union contract negotiations and accounting choices. The Accounting Review, 61 (4), 692-712. Magnan, M. dan D. Cormier. 1997. The impact of forward-looking financial data in IPOs on the quality of financial reporting. Journal of Financial Statement Analysis, Spring, 6-17. McNichols, M. dan G.P. Wilson. 1988. Evidence of earnings management from the provision for bad debts. Journal of Accounting Research, 26 (Supplement): 1-31. Merchant, K.A. 1994. The ethics of managing earnings: An empirical investigation. Journal of Accounting and Public Policy, 13: 79-94. Moyer, S. 1990. Capital adequacy ratio regulations and accounting choices in commercial banks. Journal of Accounting and Economics, 13: 123-154. Neill, J.D.; S.G. Pourciau; dan T.F. Schaefer. 1995. Accounting method choice and IPO valuation. Accounting Horizons, 9 (3), 68-80. Perry, S, E. dan T.H. Williams. 1994. Earnings management preceding management buyout offers. Journal of Accounting and Economics, 18: 157-159. Pourciau, A. 1993. Earnings management and nonroutine executives changes. Journal of Accounting Economics, 16 (3): 317-336. Rangan, S. 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 101-122. Rosenzweig, K. dan M. Fischer. 1994, March. Is managing earnings ethically acceptable?. Management Accounting, pp. 31-34.
30
Salno, H.M. dan Z. Baridwan. 2000. Analisis perataan penghasilan (income smoothing): Faktor-faktor yang mempengaruhi dan kaitannya dengan kinerja saham perusahaan public di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 3 (1): 17-34. Schipper, K. 1989. Commentary on earnings management”. Accounting Horizons, 3 (4), 91-102. Sender, H. 1990, June. Jakarta: Everyone invited. Far Eastern Economic Review, p. 82. Shale, T. 1992, September. Indonesia: Which way forward. Euromoney, pp.86-92. Teoh, S.H.; I. Welch; dan T.J.Wong. 1998. Earnings management and the underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 63-99. Trombley, M.A. 1989. Accounting method choice in the software industry: Characteristics of firms electing early adoption of SFAS No. 87. Accounting Review, 64 (3): 529-538. Varaiya, N.; B. Bergmark, dan R. Taylor. 1997. F&C international: A case of an IPO valuation. Journal of Financial Education, 23, 114-123. Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. New York, Prentice Hall. ____________________. 1990. Positive accounting theory: A ten year perspective. The Accounting Review, 60 (1): 131-156.
31
Lampiran 1: Daftar nama Perusahaan No
Nama Perusahaan
1 Bukaka Teknik 2 Citra Marga Nusapala 3 Telagamas Pertiwi 4 Hexindo Adiperkasa 5 Budi Acid Jaya 6 Tunas Ridean 7 Cahaya Kalbar 8 Bimantara Citra 9 Mustika Ratu 10 Surya Hidup Satwa 11 Perdana Bangun Perk. 12 Tambang Timah 13 Miwon Indonesia 14 Komatsu Indonesia 15 Asahimas Flat Glass 16 Telkom 17 Citatah Ind. Marmer 18 Ramayana Lestari S. 19 Fiskaragung Perkasa 20 Surya Dumai Industri 21 Kedawung Setia Ind. 22 Selamat Sempurna 23 Pelangi Indah Canindo 24 Daya Guna Samudra 25 Siantar Top 26 Sierad Produce 27 Alumindo Light Metal 28 Alter Abadi 29 Mitra Rajasa 30 Daya Sakti Unggul 31 Inti Keramik Alamasri 32 Asia Inti Selera 33 Lautan Luas 34 Panasia Filament 35 Jakarta Kyoei Steel 36 Sunson Textile Manf. 37 Aneka Tambang 38 Astra Agro Lestari 39 Humpuss Intermoda
Tanggal Go Public 09-Jan-95 10-Jan-95 26-Jan-95 13-Feb-95 08-Mei-95 16-Mei-95 09-Juli-95 17-Juli-95 27-Juli-95 08-Ags-95 22-Ags-95 19-Okt-95 31-Okt-95 31-Okt-95 06-Nov-95 20-Nov-95 03-Juli-96 24-Juli-96 25-Juli-96 27-Juli-96 29-Juli-96 09-Sep-96 23-Sep-96 24-Okt-96 16-Des-96 27-Det-96 02-Jan-97 09-Jan-97 30-Jan-97 25-Mar-97 04-Juni-97 11-Juni-97 21-Juli-97 22-Juli-97 06-Ags-97 20-Ags-97 27-Nov-97 09-Des-97 15-Des-97
Jumlah Nilai Harga Gross Proceeds Saham Nominal Penawaran (000) (000) 40000 500 3200 128000000 122000 500 2600 317200000 10000 1000 1350 13500000 10000 1000 2800 28000000 30000 500 3000 90000000 28000 1000 2700 75600000 34000 500 1100 37400000 200000 500 1250 250000000 27000 500 2600 70200000 20660 500 1125 23242500 23000 500 950 21850000 50330 500 2900 145957000 25000 500 1950 48750000 32000 500 2100 67200000 86000 500 2450 210700000 1166667 500 2800 3266667600 44000 500 2375 104500000 80000 500 3200 256000000 100000 500 1325 132500000 78708 500 1000 78708000 50000 500 800 40000000 34400 500 1700 58480000 27500 500 650 17875000 100000 500 1950 195000000 27000 500 2200 59400000 250000 500 900 225000000 92400 500 1300 120120000 88919 500 900 80027100 30000 500 1175 35250000 50000 500 950 47500000 100000 500 750 75000000 45000 500 950 42750000 50000 500 2950 147500000 50000 500 650 32500000 50000 500 650 32500000 80000 500 850 68000000 430769 500 1400 603076600 125800 500 1550 194990000 74000 500 675 49950000
32