HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES PADA PERAWAT
Rennie Incisivi Sutedjo Retno Kumolohadi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara sense of humor dengan stres pada perawat. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara sense of humor dengan stres pada perawat. Semakin tinggi sense of humor seorang perawat, akan semakin rendah tingkat stresnya. Begitu pula sebaliknya semakin rendah sense of humor seorang perawat, maka semakin tinggi tingkat stresnya. Subjek dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja aktif di RSUD Kabupaten Cilacap. Terdiri dari perawat pria dan wanita. Dengan karakteristik usia, jenis kelamin, dan bekerja di Instalasi Intensive Care Unit, Instalasi Gawat Darurat, dan Instalasi Rawat Inap. Skala yang digunakan adalah Skala Stres yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) dan Skala Sense of Humor yang merupakan adaptasi dari Situational Humor Response Questionnaire yang disusun oleh Martin dan Lefcourt (1984). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11.0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara sense of humor dengan stres. Korelasi product moment dari spearman menunjukkan hasil korelasi sebesar r = -0.077 dengan p = 0.344 (p > 0.01), yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara sense of humor dengan stres. Jadi hipotesis tidak diterima.
Kata Kunci: Sense of Humor, Stres
1
PENGANTAR
Stres dapat menyerang seseorang terutama yang bekerja dengan tuntutan target tinggi dalam jangka waktu tertentu, di antaranya adalah pada profesi sebagai perawat. Tuntutan tinggi membuat perawat mengalami tekanan yang mendesak dan terus dalam keadaan konsentrasi penuh. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus tanpa selingan sejenak, maka stres akan mudah mendera. Stres muncul dengan kadar yang berbeda-beda pada setiap perawat. Tinggi rendahnya kadar stres bergantung pada berat ringannya tekanan yang dihadapi. Hal ini terkait dengan kemampuan dan kesiapan individu itu sendiri untuk mengendalikan tekanan di atas. Jika stres tak kunjung bisa diatasi tentu berdampak buruk pada kondisi kejiwaan. Masalah seperti ini yang sering dihadapi dalam kehidupan kerja sehari-hari. Yusuf (2004) menyebutkan lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres karena beberapa faktor, antara lain tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antar manusia yang buruk, kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karier, rasa kurang aman dalam kerja. Para peneliti menganalisa perbandingan dari 15.000 pasien serangan jantung dengan individu yang sama usia, jenis kelamin, dan lokasi untuk mengetahui korelasi faktor-faktor psikologis dan sosial dengan meningkatnya serangan jantung. Stres di kantor muncul sebagai hal yang paling
2
berpengaruh. Sekitar 23% pasien serangan jantung mengaku mengalami beberapa periode stres di kantor, sedangkan 18% dialami oleh sukarelawan yang sehat. Menurut Sarafino (1994) tuntutan kerja dapat menimbulkan stres dalam dua cara. Pertama pekerjaan itu mungkin terlalu banyak. Penelitian menemukan bahwa muatan kerja dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan masalah kesehatan. Van den Berg (Bart Smert, 1994) mendefinisikan ketidakmampuan melakukan kontrol yang dirasakan individu sebagai fungsi dari tinggi rendahnya tuntutan pekerjaan dengan tinggi rendahnya kebebasan mengambil keputusan. Suatu
studi dimana menggunakan data dari satu juta
pekerja yang ada di lima wilayah di Swedia yang masuk rumah sakit, hasilnya menunjukkan bahwa penderita sakit jantung (20%) berasal dari kelompok yang mempunyai tuntutan pekerjaan tinggi dan kebebasan mengambil keputusan rendah. Untuk kelompok yang mempunyai tuntutan pekerjaan rendah dan kebebasan mengambil keputusan tinggi, banyaknya penderita penyakit jantung adalah nol. Kedua, jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressful daripada jenis pekerjaan lainnya. Pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi kehidupan manusia cenderung mengakibatkan stres, contohnya seperti perawat. Perawat mempunyai beban kerja yang berat dan harus menghadapi situasi kehidupan dan kematian setiap harinya dan dapat menimbulkan konsekuensi yang serius jika berbuat
kesalahan.
Perawat
secara
umum
memiliki
tugas
mengamati,
mengintervensi, dan mengevaluasi keluhan-keluhan pasien, baik secara mental maupun fisik, supervisi perencanaan dan tindakan perawatan pasien secara
3
menyeluruh, melaksanakan instruksi dokter tentang obat-obatan dan pengobatan yang akan diberikan, mengawasi anggota tim kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan kepada pasien, melaksanakan prosedur dan teknik perawatan, khususnya pada tindakan yang membutuhkan keputusan, penyesuaian, pertimbangan berdasarkan data teknis, memberikan bimbingan kesehatan dan partisipasi dalam pendidikan kesehatan, dan membuat catatan dan laporan faktafakta secara teliti dan mengevaluasi perawatan pasien (Ali, 2002). Perawat mau tidak mau harus memberikan pelayanan kepada pasien dengan sebaik-baiknya. Dampak yang ditimbulkan dari situasi apabila perawat tidak bisa memenuhi tuntutan dari situasi yang ada adalah timbulnya stres. Stres pada perawat dipicu oleh kendala yang bermacam-macam. Seperti pada kasus-kasus yang terkait dengan profesi sebagai perawat, yang didapatkan melalui wawancara pada beberapa orang yang berprofesi sebagai perawat. Contoh kasus yang pertama yang didapat dari wawancara dengan Darmanto (41 tahun). Menurut Darmanto lingkungan kerja yang tidak nyaman dan sarana Rumah Sakit yang kurang lengkap dapat menimbulkan stres baginya. Contoh kasus yang kedua didapat dari wawancara dengan Sohamah (44 tahun). Menurut Sohamah hal yang dapat menimbulkan stres baginya adalah jika para pasien terlalu banyak menuntut. Contoh kasus yang ketiga didapat dari wawancara dengan Nyoman Tamiah (52 tahun). Menurut Nyoman Tamiah stres dapat timbul jika sarana rumah sakit tidak memadai sedangkan jumlah pasien yang membutuhkan cukup banyak. Contohcontoh kasus di atas dapat menggambarkan adanya masalah-masalah dalam profesi sebagai perawat yang dapat memicu timbulnya stres. Berdasarkan kasus-
4
kasus tersebut tampak bahwa profesi sebagai perawat merupakan pekerjaan yang sangat beresiko menimbulkan stres kerja. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan jika seorang perawat mengalami stres ialah dapat mengganggu interaksi sosialnya, baik itu dengan rekan kerja, dokter maupun pasien. Efektivitas kerja dapat pula menjadi terganggu, karena pada umumnya apabila seseorang mengalami stres, maka akan terjadi gangguan baik itu pada psikologisnya maupun keadaan fisiologisnya. Hans Selye (Pramadi, 2001) menggambarkan stres sebagai suatu sindrom biologis yang menyebabkan stres, dan ini disebut stressor. Stressor dapat beraneka ragam, fisik maupun psikososial, tetapi dapat mengakibatkan suatu reaksi fisik pada organisme yang dinamakan General Adaptation Syndrom (GAS) dengan tiga fasenya, yaitu reaksi alarm, fase pertahanan dan fase kehabisan tenaga. Beberapa aspek kehidupan manusia dapat membantu untuk mengurangi potensi untuk berkembangnya stressor dan membantu individu-individu mengatasi stres. Salah satu bentuk cara untuk mengatasi stres yang menggunakan penilaian kognitif adalah sense of humor. Menurut Dixon (Martin dan Lefcourt, 1983) humor mungkin berkembang sebagai strategi manusia yang unik untuk mengatasi stres. Melalui humor individu dapat menjauhkan diri dari perspektif yang berbeda yaitu dari segi kelucuannya untuk mengurangi perasaan cemas dan tidak berdaya yang seringkali melumpuhkan (O’Connel dalam Martin dan Lefcourt, 1983). Dalam penelitiannya Martin dan Lefcourt mengajukan hipotesis bahwa sense of humor dapat
5
mengurangi dampak yang merugikan dari pengalaman stres. Dalam masingmasing studi, checklist peristiwa negatif dalam kehidupan digunakan untuk memprediksi skor dari stres dalam ukuran mood yang tidak baik. Studi ini menggunakan ukuran yang berbeda-beda dari sense of humor subjek, termasuk empat skala yang berisi self report dan dua assesment perilaku subjek dalam membuat lelucon atau humor dalam kondisi nonstressful dan midly stressful condition. Analisis regresi menunjukkan hasil yang signifikan dari hubungan antara efek yang sedang dengan peristiwa negatif dalam kehidupan dan gangguan mood. Subjek dengan skor humor yang rendah memiliki hubungan yang lebih tinggi antara dua variabel daripada subjek dengan skor humor yang tinggi. Hasil ini membuktikan bahwa stres dapat diredakan dengan humor. Pengarang buku New York Times Best selling “Reviving Ophelia” Mary Pipher dalam bukunya “The Middle of Everywhere: The World’s Refugees Come to Nebraska” menceritakan kisah-kisah nyata yang mengenaskan, seperti ketika ia bertemu dengan seorang wanita dari Srebrenica yang menyaksikan 22 orang dari anggota keluarganya terbunuh sekaligus dalam satu hari. Dalam penelitiannya ini ia menggaris bawahi peran penting dari psychologists dalam memberikan perawatan setelah pengalaman yang membuat trauma itu. Apa yang dapat membantu mereka menjadi sembuh kembali adalah keluarga, komunitas, personal characteristics, seperti flexibility, sense of humor, hope, resiliency dan kemampuan untuk dekat dengan seseorang (Martin, 2001). Humor dapat secara dramatis mengubah kualitas dan pandangan hidup kita.
Humor
merupakan
cara
mudah
6
untuk
mengenali
perasaan
dan
mengontrolnya dalam situasi sulit, tetapi tertawa tidak sama dengan humor. Tertawa adalah respon psikologi terhadap humor. Dampak psikologi tertawa pada tubuh bermacam-macam, yang pertama adalah mengurangi stres, tertawa akan mengurangi tingkat stres tertentu dan menumbuhkan hormon. Kedua adalah tertawa akan meningkatkan sistem kekebalan, tertawa pada dasarnya akan membawa keseimbangan pada semua komponen dalam sistem kekebalan. Ketiga tertawa akan meningkatkan aliran darah dan oksigen dalam darah, yang dapat membantu pernapasan. Keempat adalah dapat mencegah penyakit (Yayan, 2003). Humor dapat diamati, dirasakan atau diungkapkan apabila individu memiliki sense of humor atau kepekaan terhadap humor. Menurut Lugo dan Hershey (Rachmaningrum, 1999) menyatakan bahwa sense of humor merupakan kemampuan individu untuk merasakan, mengamati, mengungkapkan kelucuan, dan tertawa dalam situasi yang tidak menyenangkan atau secara potensial menyakitkan tanpa mengakibatkan individu lain terluka secara fisik maupun psikis. Dengan kata lain melalui sense of humor yang dimilikinya individu dapat mengembangkan pemahaman diri dan memandang dirinya secara realistik. Individu yang mempunyai sense of humor yang tinggi tidak akan mengalami depresi apabila mengalami peristiwa hidup yang negatif. Sebaliknya, individu yang memiliki sense of humor rendah akan lebih mudah mengalami depresi (O’ Connell, dalam Martin, dkk. 1983). Berdasarkan fenomena di atas, stres pada perawat merupakan suatu topik yang sangat menarik untuk dibahas terkait dengan sense of humor pada perawat.
7
Oleh karena itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara sense of humor dengan stres pada perawat? Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara sense of humor dengan stres pada perawat. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah akan memberikan tambahan informasi yang bisa mengukuhkan hasil penelitian sebelumnya nyang telah diadakan oleh peneliti lain dan memperkaya khasanah teori psikologi terutama psikologi klinis. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah jika penelitian menunjukkan adanya hubungan antara sense of humor dengan stres pada perawat, maka diharapkan sense of humor dapat dikembangkan untuk mereduksi stres pada perawat. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mirip dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noviyanti (1994) tentang hubungan antara stres dan sense of humor dengan depresi. Dengan subjek penelitian adalah mahasiswa jurusan TK Fakultas TI ITS Surabaya tahun angkatan 1993/1994, yang mempunyai ciri-ciri mahasiswa tingkat pertama, berusia 18-21 tahun, berjenis kelamin pria dan wanita, masih di biayai oleh orang tua dan belum menikah. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mirip dengan penelitian Novianti, meskipun penelitian ini mirip dengan penelitian Novianti tetapi subjek penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, dengan subjek perawat yang memiliki karakteristik usia (21-30th, 31-40th, 41-50th), instalasi (Instalasi Intensive Care Unit, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Inap) dan jenis kelamin. Perbedaan lainnya yaitu jika pada peneliti sebelumnya mengkaitkan stres
8
dan sense of humor dengan depresi, disini peneliti akan meneliti tentang hubungan antara sense of humor dengan stres. Penelitian dengan judul hubungan antara sense of humor dengan stres pada perawat belum ada yang meneliti sehingga penelitian ini asli sepanjang yang diketahui peneliti.
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah perawat yang bekerja aktif di RSUD Cilacap. Terdiri dari perawat pria dan wanita. Dengan karakteristik usia, jenis kelamin, dan bekerja di instalasi Intensive Care Unit, Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap. Berikut ini dapat dilihat deskripsi subjek.
Tabel 1 Deskripsi subjek penelitian No. Faktor 1. Usia
2.
Kategori a. 21-30 b. 31-40 c. 41-50 a. Laki-laki b. Perempuan a. ICU b. IGD c. Instalasi Rawat Inap
Jenis Kelamin
3.
Instalasi
n 24 4 2 12 18 5 4 21
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Penelitian ini menggunakan dua macam skala sebagai alat pengumpul data. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala stres dan skala sense of humor. Skala ini juga menggunakan lembar identitas diri subjek sebagai pelengkap data penelitian.
9
Skala stres yang dipakai dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sendiri yang mengacu pada aspek-aspek yang dikembangkan oleh Sarafino (1994). Aspek-aspek tersebut adalah komponen psikologis, yang meliputi aspek kognitif/pola pikir, aspek emosi dan aspek perilaku sosial. Komponen berikutnya adalah Komponen fisiologis. Skala stres terdiri dari 40 butir, yang terdiri dari 20 pertanyaan favourable dan 20 pertanyaan unfavourable. Skala ini disusun menggunakan metode rating yang dijumlahkan (summated rating). Subjek penelitian hanya diperkenankan memilih salah satu dari empat pilihan jawaban dalam skala yang sesuai atau tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Skala dalam penelitian ini menggunakan metode likert yang telah dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban (Azwar, 1995), yaitu: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Masing-masing pilihan jawaban memiliki nilai yang berbeda. Pemberian nilai untuk aitem favourable adalah sebagai berikut: Sangat Sesuai mendapat nilai 4, Sesuai mendapat nilai 3, Tidak Sesuai mendapat nilai 2, dan Sangat Tidak Sesuai mendapat nilai 1. untuk butir unfavourable Sangat Sesuai mendapat nilai 1, Sesuai mendapat nilai 2, Tidak Sesuai mendapat nilai 3, dan Sangat Tidak Sesuai mendapat nilai 4. Skor total subjek dalam angket ini mencerminkan tingkat stres. Semakin tinggi skor total yang diperoleh berarti semakin tinggi stres pada subjek. Sedangkan skala sense of humor yang digunakan oleh peneliti merupakan adaptasi dari Situational Humor Response Questionnaire yang disusun oleh Rod A. Martin dan Herbert M. Lefcourt, terdiri dari 16 butir aitem, dengan masingmasing pilihan jawaban sebanyak 5 buah. Pemberian skor adalah untuk jawaban
10
(a) mendapat nilai 1, untuk jawaban (b) mendapat nilai 2, untuk jawaban (c) mendapat nilai 3, untuk jawaban (d) mendapat nilai 4, untuk jawaban (e) mendapat nilai 5. Skor total subjek dalam angket ini mencerminkan tingkat sense of humor pada diri subjek. Metode analisis statistik yang digunakan dalam model penelitian ini adalah korelasi dari spearman. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer SPSS 11.0 for windows.
HASIL PENELITIAN Deskripsi statistik subjek dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini. Tabel 2 Deskripsi Data Penelitian Variabel
Stres Sense of Humor
Hipotetik
Empirik
Min Maks Mean SD 23 92 57.5 11.5 10 50 30 6.667
Min Maks Mean SD 31 56 43.77 6.312 27 42 36.50 3.911
Tabel 3 Kategorisasi Variabel Stres Kategorisasi Skor Tinggi X > 69 Sedang 46 < X = 69 Rendah X = 46
Frekuensi 0 11 19
Prosentase 0% 36.67% 63.33%
Tabel 4 Kategorisasi Variabel Sense of Humor Kategorisasi Skor Tinggi X > 36.667 Sedang 23.333 < X = 36.667 Rendah X = 23.333
Frekuensi 17 13 0
Prosentase 56.67% 43.33% 0%
11
Tabel 5 Hasil iji asumsi dan uji hipotesis No. Skala Hasil Uji Normalitas 1. Stres K-SZ= 0.466 P= 0.982 (p> 0.05) . 2.
Sense of Humor
Hasil Uji Linieritas F= 1.002 p= 0.330 (p> 0.05)
Hasil Uji Hipotesis Koefisien Korelasi -0.077 p= 0.344 (p> 0.01)
K-SZ= 1.008 p= 0.262 (p> 0.05)
Hasil uji normalitas di atas menunjukkan bahwa kedua alat ukur tersebut memiliki sebaran normal, dengan linieritas antara sense of humor dengan stres yang bersifat tidak linier dan ada kecenderungan menyimpang dari garis linier. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan korelasi product moment dari spearman pad komputer SPSS versi 11.0 diperoleh angka koefisien korelasi sebesar –0.077 dengan p= 0.344 (p> 0.01). sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara sense of humor dengan stres tidak diterima. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel penelitian.
PEMBAHASAN Hasil analisis data penelitian menunjukkan tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara sense of humor dengan stres. Hubungan antara dua variabel tidak terbukti karena sense of humor pada perawat tidak memiliki kesempatan untuk diekspresikan, terhambat oleh tuntutan yang tinggi dan situasi di tempat kerja yang tidak memungkinkan bagi pengekspresian sense of humor. Tuntutan kerja perawat antara lain mengamati, mengintervensi, dan mengevaluasi keluhankeluhan pasien, baik secara mental maupun fisik, supervisi perencanaan dan
12
tindakan perawatan pasien secara menyeluruh, melaksanakan instruksi dokter tentang obat-obatan dan pengobatan yang akan diberikan, mengawasi anggota tim kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan kepada pasien, melaksanakan prosedur dan teknik perawatan, khususnya pada tindakan yang membutuhkan keputusan, penyesuaian, pertimbangan berdasarkan data teknis, memberikan bimbingan kesehatan dan partisipasi dalam pendidikan kesehatan, dan membuat catatan dan laporan fakta-fakta secara teliti dan mengevaluasi perawatan pasien. Sehingga sense of humor yang dimiliki oleh subjek tidak dapat menjadi treatmen untuk mengurangi stres. Subjek pada penelitian ini kemungkinan tidak mengenali tanda-tanda dari stres yang dialami, hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti selama penelitian berlangsung, dimana ketika seorang perawat mendapati dirinya menjadi mudah lelah, pusing, terganggu konsentrasinya, mudah emosi dan terganggu interaksinya dengan orang lain, kemudian ia menganggap bahwa hal ini hanya akibat kelelahan yang wajar dan menganggap hal sedemikian itu memang wajar terjadi. Menurut Selye (Feldman, 1994) dalam teorinya yang disebut dengan General Adaptation Syndrome (GAS) respon seseorang terhadap stres terdiri dari tiga tahap, yang pertama alarm and mobilization stage ( seseorang dalam keadaan yang sadar akan kehadiran stressor), yang kedua resistance stage ( coping dengan stressor) pada tahap ini seseorang yang mengalami stres biasanya mengambil tindakan atau berusaha untuk mengatasi masalah (fight) atau lari dari sumber stres (flight), dan yang ketiga adalah exhaustion stage ( kegagalan seseorang dalam beradaptasi dengan stressor dan membawa pengaruh pada fisik, psikologi serta keadaan
13
emosionalnya). Pada tahap yang kedua tanggapan fisik terhadap stres adalah perlawanan, hal ini terjadi bila stres tetap kuat. Karena tidak dapat diatasi dan dihindari, orang yang mengalami stres akan menyesuaikan diri dengan stressor. Pada subjek penelitian ini tingkat stresnya rendah, hal ini disebabkan karena pada saat subjek ada pada tahap alarm and mobilization stage subjek tidak menyadari atau dapat juga bahwa subjek menyadari tetapi berusaha mengesampingkan atau mengabaikan stres tersebut, sehingga tubuh tidak menanggapi bahwa sebenarnya ia sedang mengalami stres. Rapaport
(Atkinson)
menyatakan
bahwa,
banyak
peneliti
yang
menemukan kenangan yang lebih baik untuk situasi yang emosional daripada yang tidak emosional. Tingkat stres yang rendah pada subjek penelitian dapat dikarenakan karena subjek tidak mau mengingat-ingat kenangan yang tidak menyenangkan, yang menurutnya dapat menimbulkan stres. Memori seseorang tidak terlepas dari emosi. Seseorang terkadang mengingat sesuatu karena kandungan emosionalnya atau bahkan berusaha melupakan sesuatu karena kandungan emosionalnya. Proses melupakan ini dapat mempengaruhi hasil penelitian tingkat stres pada subjek. Sense of humor dapat juga dipengaruhi oleh faktor situasi, dimana ketika seseorang berada dalam situasi yang mendapat tekanan yang berat dan mendesak, seorang individu yang memiliki sense of humor yang tinggi dapat melihat keadaan tersebut menjadi lebih positif, karena dia dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda yang lebih positif sehingga dia dapat mengubah rasa stres tersebut menjadi eustress, dibandingkan dengan orang yang memiliki sense of humor yang
14
rendah dia akan cenderung melihat tekanan sebagai masalah yang selalu datang dan menimbulkan stres, karena dia melihat tekanan tersebut dengan sudut pandang yang negatif sehingga stres tersebut menjadi distress. Faktor lainnya adalah dalam keseharian ada orang yang mudah tertawa, namun ada juga yang tidak. Sebagai contoh dalam menonton lelucon. Ada dua hal penyebabnya, pertama mungkin orang sudah mengetahui materi gurauannya sehingga dia tidak menghadapi keadaan krisis yang bisa mencetuskan tawa. Kedua, orang melihatnya tidak dari sudut kejenakaan, tetapi dari sesuatu yang diinterpretasikan sebagai hal yang tidak lucu. Namun tidak berarti kelompok yang tidak mudah tergelitik urat tawanya tidak memiliki sense of humor. Sense of humor berbeda-beda bagi beberapa orang (Miller, 2005). Pada subjek penelitian ini tingkat sense of humor tinggi, hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak memiliki masalah pada materi gurauan dan dapat melihat sudut kejenakaan dari materi gurauan. Berdasarkan hasil hipotesis yang tidak diterima, menunjukkan bahwa stres dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang diduga lebih berpengaruh, antara lain yaitu kondisi individu, meliputi: umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi, kondisi fisik. Karakteristik kepribadian, seperti: introvertekstrovert, stabilitas emosi secara umum, tipe A, kepribadian ‘ketabahan’ (hardiness), locus of control, kekebalan, ketahanan.Variabel sosial-kognitif, seperti: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial. Dan Strategi coping (Smet, 1994). Hal ini
15
didukung oleh pernyataan Robbins (Iswanto, 2001) bahwa timbul tidaknya stres pada seseorang yang diakibatkan oleh adanya stressor ditentukan oleh: persepsi seseorang terhadap suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi, pengalaman seseorang, dukungan sosial, locus of control dan jenis kepribadian. Menurut Markam (2003) seseorang dapat melakukan bermacam-macam cara penyesuaian diri untuk mengatasi berbagai macam stres. Tiap orang mempunyai cara-cara penyesuaian diri yang khusus, tergantung dari kemampuankemampuan yang dimiliki, pengaruh-pengaruh lingkungan, pendidikan, dan bagaimana ia mengembangkan dirinya. Anak dan orang dewasa memiliki cara penyesuaian diri yang berbeda terhadap stres dan lingkungan, begitu pula ada perbedaan dalam penyesuaian diri antara orang yang berpendidikan tinggi dengan yang buta huruf, antara kelompok sosial tinggi dan menengah, dan sebagainya. Dalam menghadapi stres, seseorang dapat mengadakan penyesuaian diri secara efektif, yaitu mengarahkan tindakannya pada sasaran tertentu untuk mengatasi sebab-sebab stres. Sifat-sifat dan tindakan yang terarah pada sasaran ialah objektif, rasional dan efektif. Brewin (Smet, 1994)
menjelaskan bahwa kepribadian mempengaruhi
individu untuk mengalami stres, yang kemudian akan mempengaruhi kesakitan. Ada kepribadian yang rentan terhadap stres dan depresi, sehingga mudah menjalar pada keluhan fisik berat. misalnya saja kepribadian tipe A, orang tipe ini cenderung dikuasai oleh aturan waktu, tidak sabar, agresif, kompetitif, dan sulit untuk merasa santai sehingga dalam kadar tertentu akan rentan terhadap penyakit seperti resiko terkena serangan jantung (Diahsari, 2001).
16
Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans (Iswanto, 2001), menurutnya tingkat stres yang tinggi akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis seseorang dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja yang semakin menurun. Dengan demikian kepribadian tipe A pada dasarnya akan memperkuat tingkat stres seseorang pada gilirannya akan menurunkan kinerja orang yang bersangkutan. Kondisi itu akan berbeda jika yang terkena adalah individu dengan kepribadian tipe B, yaitu individu yang digambarkan sebagai pribadi penyabar, tidak terburu-buru, tidak kompetitif dan kurang agresif. Konsep dari Kobasa juga membahas tentang hardiness sebagai tipe kepribadian yang penting sekali pada perlawanan terhadap stres. Hardiness dianggap menjaga seseorang menjaga seseorang tetap sehat walaupun mengalami kejadian-kejadian hidup yang penuh stres (Smet, 1994). Sedangkan para humoris pada umumnya tergolong dalam kelompok yang sentimentil, aktifitasnya kecil tapi mereka mempunya sikap yang kontemplatif atau matang. Humoris yang bersifat primer mempunyai emosionalitas yang besar, sejajar dengan sifat-sifat serius dan memiliki perasaan yang mendalam terhadap nilai-nilai ethis. Mereka tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kekurangan sendiri dan bersikap lunak terhadap kekurangan terhadap sesama manusia. Yang bersifat sekunder selalu suka memaafkan orang lain. Ada resignasi atau ketawakalan kepada Tuhan, terhadap kekurangan-kekurangannya sendiri (Kartono, 1980). Broedk dkk (Smet, 1994) mengambarkan stres sebagai suatu proses meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan
17
transaksional. Individu dalam sebuah organisasi memang komponen yang unik, dan menyimpan sumber kekuatan yang besar. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Muchhinsky, menurut pendapatnya dalam organisasi kerja individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya tetapi interaksi tersebut tidak selalu menguntungkan.interaksi yang pas akan menghasilkan perdormansi tinggi, kepuasan dan tingkat stres yang rendah, sebaliknya ketidakharmonisan interaksi akan menyebabkan performansi kerja yang buruk, ketidakpuasan dan tingkat stres yang tinggi (Diahsari, 2001). Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor yang penting untuk mencapai kepuasan kerja. Adanya dukungan sosial dari rekan sekerja, pihak manajemen maupun keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya stres (Diahsari, 2001). Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ritter (Smet, 1994) yang mengatakan bahwa segi-segi fungsional mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, pemberian bantuan material. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang melindungi orang-orang terhadap konsekuensi negatif dari stres. Strategi coping dapat mempengaruhi stres, secara umum coping itu sendiri mempunyai dua macam fungsi. Yang pertama emotion focused coping, digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakata yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull, individu akan cenderung untuk mengatur
18
emosinya. Yang kedua problem focused coping, untuk mengurangi stressor individu akan mengatasi dengan cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin dapat mengubah situasi. Metode atau fungsi masalah ini lebih sering digunakan oleh para dewasa (Cohen dan Lazarus dalam Smet, 1994). Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa sense of humor seperti yang peneliti sebutkan berpengaruh besar terhadap stres ternyata tidak berpengaruh setelah dilakukan penelitian dan analisis data.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara sense of humor dengan stres adalah tidak signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori sense of humor pada subjek termasuk tinggi, sedangkan kategori stres pada pada subjek termasuk rendah. Artinya sense of humor yang dimiliki oleh seorang perawat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mengakibatkan sense of humor yang dimilikinya tidak dapat terekspresikan.
SARAN 1. Saran Kepada Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan bahasan yang sama, disarankan untuk menggunakan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi stres, misalnya karakteristik kepribadian, kontrol pribadi atau strategi coping dan
19
lain sebagainya. Peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan subjek yang berbeda untuk penelitiannya.
20