HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEADILAN ORGANISASI DENGAN KOMITMEN KARYAWAN PADA ORGANISASI DI PT HAJI ALI SEJAHTERA SURABAYA Komi Damayanti Fendy Suhariadi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRAKSI Pertumbuhan ekonomi yang pesat membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan, diantaranya adalah terbukanya peluang untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi kerja atau perusahaan. Organisasi adalah unit pemrosesan yang mengubah input tertentu menjadi keluaran (output) tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka organisasi dituntut untuk dapat menciptakan iklim kerja yang kondusif yang sangat berperan dalam efektivitas dan efisiensi kerja, yang dibuktikan dengan adanya nilai-nilai yang dianut bersama. Salah satu nilai yang dianggap sangat berperan dalam pertumbuhan organisasi tersebut yaitu keadilan organisasi yang berpotensi menjadi motivator terhadap tinggi rendahnya tingkat komitmen seorang karyawan pada organisasi. Subjek penelitian ini adalah karyawan PT Haji Ali Sejahtera Surabaya dengan karakteristik sampel sebagai berikut, yaitu berusia 25-50 tahun, memiliki masa kerja lebih dari 2 tahun, berpendidikan minimal SMU. Penelitian ini dilakukan di bagian Iklan, Pemasaran, Redaksi dan Pracetak. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuisioner Skala Likert yang disusun sesuai dengan indikator-indikator yang dapat peneliti temukan dari teori-teori yang relevan dengan maksud penelitian. Variabel Persepsi terhadap keadilan organisasi menggunakan Teori Colquitt (2001) dan Laventhal. Variabel Komitmen pada organisasi menggunakan Teori affective commitment organization Allan dan Myer (1990). Penelitian ini dilengkapi dengan data sekunder yang diperoleh dari kuesioner untuk menambah deskripsi subjek yang berkaitan dengan karakteristik sampel penelitian agar dapat lebih memberikan pemahaman lebih jauh tentang subjek dan variabel penelitian. Keseluruhan penghitungan validitas dan reliabilitas, uji asumsi serta teknik analisa data menggunakan paket SPSS versi 10.00. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa baik variabel persepsi terhadap keadilan organisasi dan komitmen pada organiasi dinyatakan valid dan reliabel. Selanjutnya dari hasil analisa data dengan menggunakan korelasi product moment diperoleh hasil r sebesar 0,462 dengan nilai p sebesar 0,000, hal ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap keadilan organisasi dengan komitmen karyawan pada organisasi, sehingga hipotesis penelitian ini diterima. Kata Kunci: Persepsi terhadap Keadilan Organisasi, Komitmen Karyawan pada Organisasi
Adanya pertumbuhan perekonomian membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan, diantaranya adalah terbukanya peluang untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi kerja atau perusahaan. Organisasi kerja ini, sama halnya dengan bentukbentuk organisasi yang lain, merupakan sistem yang menghubungkan sumberdaya-
sumberdaya sehingga memungkinkan pencapaian tujuan atau sasaran tertentu. Organisasi merupakan perangkat sosial dan teknologis yang terdiri dari faktor-faktor manusia dan fisik. Dibantu oleh penerapan teknologi, manusia melaksanakan fungsi atau tugas yang menuntun kepada tercapainya sasaran yang ditentukan secara rasional. Untuk mencapai tujuannya, suatu organisasi harus dapat memaksimalkan motivasi individu yang terlibat di dalamnya, mengkoordinasikan aktivitas dalam kelompok, menerapkan sistem kepemimpinan yang tepat dan lain sebagainya. Dengan kata lain, suatu organisasi haruslah menciptakan suatu iklim yang membuat individu-individu yang terlibat di dalamnya dapat bekerja secara efektif dan efisien yang membuat produktivitas meningkat dan pada gilirannya tujuan organisasi dapat tercapai. Berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan organisasi ini, kita tidak boleh mengabaikan keberadaan dari sumberdaya manusia. Seperti diketahui efektivitas organisasi pada dasarnya juga dipengaruhi oleh mutu sumberdaya manusia, yang dalam hal ini tercermin baik pada pelaksana maupun (terutama) pada para pimpinan satuan kerjanya. Berkenaan dengan peran sumberdaya manusia dalam efektivitas organisasi ini, pada dasarnya organisasi harus memenuhi tiga persyaratan penting agar mampu memastikan keberhasilan akhir (Steers, 1985). Pertama, setiap organisasi harus mampu membina dan mempertahankan suatu armada kerja yang mantap yang terdiri dari pekerja pria dan wanita yang terampil. Kedua, organisasi harus dapat menikmati peranan prestasi yang dapat diandalkan dari para pekerjanya. Ketiga, organisasi yang efektif juga menuntut agar pekerja mengusahakan bentuk tingkah laku yang spontan dan inovatif. Apabila ketiga persyaratan yang telah diuraikan di atas ini kita telaah lebih lanjut, tampak bahwa syarat yang pertama, yaitu menarik dan mempertahankan anggota, tak terlepas dari masalah komitmen pada organisasi, yang dikaitkan dengan pemuasan kebutuhan karyawan. Berkenaan dengan hal ini, maka tenaga kerja yang berkualitas mutlak diperlukan. Makna dari yang berkualitas di sini tidak hanya terbatas pada pekerja yang mempunyai pendidikan dan keahlian saja, melainkan juga yang memiliki motivasi dan komitmen pada pekerjaan dan organisasi. Suatu organisasi akan efektif bila para pekerjanya memiliki komitmen yang kuat pada organisasi tempat ia bekerja, di mana ia akan rela mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk kepentingan organisasi. Komitmen yang dimaksud di sini mempunyai arti peristiwa dimana individu sangat tertarik pada tujuan, nilai-nilai dan sasaran-sasaran organisasi. Jadi komitmen lebih dari hanya sekedar keanggotaan karena meliputi sikap kesetiaan untuk berusaha dengan segenap kemampuannya bagi kepentingan organisasi dan memperlancar pencapaian tujuan (Steers, 1985). Masalah yang serius akan timbul bila pekerja kurang mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; tidak ada rasa kepentingan untuk mengerjakan tugas pekerjaan; kurang memberikan sumbangan untuk memecahkan masalah kecuali bila dipaksa; pekerja tidak menemukan solusi terbaik; tidak ingin mencoba memecahkan kembali masalah yang ada di antara mereka untuk kepentingan kinerja yang baik. Permasalahan dalam lingkup organisasi kerja atau perusahaan yang sering dikaitkan dengan perihal komitmen pada organisasi ini adalah turn over dan absenteeisme. Para ahli menyatakan bahwa individu yang mempunyai komitmen pada organisasi lebih kecil kecenderungannya untuk mangkir (absen) atau keluar dari pekerjaannya dibandingkan dengan individu yang memiliki komitmen yang lebih rendah pada organisasinya (Dipboye et al, 1994). Masalah absenteeisme dan turn over ini bisa berdampak merugikan bagi perusahaan
atau organisasi, yaitu bila menghambat efektivitas dan efisiensi kerja yang selanjutnya akan menurunkan tingkat produktivitas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkap pengaruh nilai pada perilaku dan sikap kerja. Karyawan bisa memunculkan reaksi yang beragam tentang bagaimana mereka mempersepsikan kondisi lingkungan kerja dan organisasi mereka. Nilai adalah keyakinan yang bersifat evaluatif dan petunjuk tentang benar dan salah yang berhubungan dengan situasi dan tujuan tertentu (Schwartz dan Bilsky, 1987). Maslow telah mengemukakan sebelumnya teori yang melandasi motivasi seseorang. Motivasi didasari oleh kebutuhan dasar (basic need) dan metakebutuhan. Yang tergolong kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, cinta kasih, harga diri, dan aktualisasi diri. Sedangkan yang termasuk metakebutuhan adalah, keadilan, kebaikan, keindahan dan sebagainya. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan akibat kekurangan, sedangkan metakebutuhan adalah kebutuhan untuk pertumbuhan (Hall & Lindzey, 1993). Ann-Marie Rizzo (dalam Faturochman, 2002) berpendapat bahwa salah satu nilai yang dianggap penting dalam suatu organisasi yaitu keadilan yang pada proses selanjutnya disebut sebagai keadilan organisasi yang menekankan bagaimana reward, insentif, pekerjaan, dan juga sanksi dalam suatu lembaga (organisasi) dialokasikan secara adil dan proporsional berdasarkan karakteristik sosial demografis yang ada. Berbagai macam tindakan dan keputusan yang dihasilkan dalam suatu organisasi akhirnya akan menimbulkan persepsi karyawan tentang adil atau tidaknya keputusan atau tindakan tersebut. Persepsi adalah proses sesorang memilih dan mengorganisasikan masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambaran yang bermakna tentang dirinya (Kotler, 1996). Di dalam mempersepsikan tentang orang lain, dalam diri individu terjadi suatu proses untuk mengetahui, menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain tentang sifat, kualitas dan keadaan lain yang ada pada orang yang dipersepsi. Persepsi tentang orang lain ini disebut persepsi sosial (Walgito, 1994). Penelitian tentang keadilan telah lama dilakukan oleh Adams (dalam Fischer, 2002:1). Sedangkan penelitian tentang keadilan organisasi telah lama menjadi topik penelitian karena dianggap sebagai determinan penting bagi perilaku dan sikap kerja. Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan keadilan organisasi juga sudah banyak muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas keputusan yang telah dihasilkan oleh pihak manajemen yang dirasakan tidak adil oleh karyawan. Tidak heran jika kemudian bermunculan aksi demonstrasi buruh atau karyawan perusahaan yang menuntut keadilan. Baik itu merupakan tuntutan normatif, yaitu di antaranya tuntutan UMR (prosentase kasus 21,98 %), hak cuti (18,68 %), PHK (13,19%) dan lain sebagainya. Kemudian ada juga tuntutan yang bersifat non-Normatif yaitu kenaikan upah (23,67%), tunjangan sembako (4,52%) dan lain sebagainya (http://www.epsikologi.com). Dikemukakan juga bahwa dalam suatu perusahaan ada seseorang yang berpendapatan puluhan bahkan ratusan juta rupiah dalam sebulan, sementara ada sekelompok pekerja yang hanya diberi upah sekitar Rp 5.000,00 per hari (Tim Prisma, 1992). Komitmen Karyawan pada Organisasi Pengertian tentang komitmen terhadap organisasi (organizational commitment) telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Steers (1985) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan peristiwa dimana individu sangat tertarik pada (atau merupakan ketertarikan individu terhadap) tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasi. Jadi komitmen lebih dari sekedar keanggotaan, karena meliputi kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi, demi memperlancar pencapaian tujuan.
Porter dan Smith (dalam Steers, 1985) mendefinisikan komitmen pada organisasi sebagai sifat hubungan seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seseorang yang mempunyai komitmen yang tinggi memperlihatkan: 1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan 2. Kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi tersebut 3. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi Berdasarkan definisi-definisi di atas terlihat adanya suatu kesamaan, yaitu bahwa komitmen pada organisasi ditandai dengan bentuk loyalitas dan identifikasi diri terhadap organisasi. Komitmen pada organisasi tidak hanya menyangkut pada kesetiaan karyawan pada organisasi yang bersifat positif tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi, dimana karyawan bersedia atas kemauan sendiri untuk memberikan segala sesuatu yang ada pada dirinya guna membantu merealisasikan tujuan dan kelangsungan organisasi. Maka komitmen pada organisasi dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, kepercayaan dan penerimaan akan nilai-nilai dan tujuan organisasi, serta kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin dan kepentingan organisasi. Persepsi Menurut Luthans (1991) persepsi meliputi suatu intensi yang sulit, dimana terdiri atas kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran. Persepsi lebih luas dan kompleks jika dibandingkan dengan penginderaan, dimana pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus dari lingkungan dipengaruhi oleh proses belajar dan pengolahan masa lalu. Menurut Isbandi (1994), persepsi sosial dapat dikatakan sebagai kesadaran dan penilaian individu akan adanya orang lain dan perilaku orang lain yang terjadi disekitarnya. Selain itu persepsi sosial juga dapat dikatakan sebagai penilaian terhadap penampilan fisik (physical appearance) dan ciri-ciri perilaku orang lain. Keadilan Organisasi Deustch (1985) & Tornblom (1992) mendefinisikan Keadilan organisasi menjadi 3 tipe, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional. Pertama, keadilan distributif adalah keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil dari keputusan alokasi, misalnya yaitu standar gaji. Laventhal (1976) dan Thibault & Walker (1975) mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dipersepsikan terhadap suatu alokasi, misalnya bagaimana suatu proses penentuan gaji itu ditempuh, adil atau tidak. Sedangkan tipe yang ketiga yaitu keadilan interaksional, Biacs (1987) dan Bies & Moag (1986) menyatakannya sebagai keadilan tentang perlakuan interaksional pembuat keputusan (decision maker) terhadap bawahan atau karyawan (Cropanzano et all, 2000). Secara umum keadilan digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi (Lind & Tyler, 1988). Nilai dasar keadilan adalah martabat manusia sehingga prinsip dasar keadilan adalah penghargaan atas martabat dan hak-hak yang melekat padanya (Keraf, 1996). Pemahaman tentang makna keadilan sering lebih menekankan pada distribusi yang adil dibandingkan dengan prosedur dan interaksi yang adil, yang selanjutnya kemudian disebut sebagai keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional. Keadilan Prosedural Aturan pokok Keadilan prosedural : a. Konsistensi
b.
c.
d.
e.
f.
Prosedur yang adil harus konsisten baik dari orang satu keada orang yang lain maupun dari waktu ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama. Minimalisasi Bias Ada dua sumber bias yang sering muncul, yaitu kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya, dalam upaya minimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun pemihakan harus dihindarkan. Informasi yang akurat Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian keadilan harus akurat adalah harus mendasarkan pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan, dan informasi yang disampaikan harus lengkap. Dapat diperbaiki Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting perlu ditegakkan keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul. Representatif Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan subsub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka. Dalam perkembangan selanjutnya, aspek reprensentatif ini menjadi bagian penting dari model penilaian keadilan prosedural (Lind & Tyler, 1988), yaitu model kepentingan pribadi dan model nilai-nilai kelompok. Etis Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Dengan demikian, meskipun berbagai hal tersebut dipenuhi, bila substansinya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa dikatakan adil.
Keadilan Distributif Tingkatan Keadilan Distributif : Pertama, terletak pada nilai. Pada tingkat nilai, keadilan hanya berlaku sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil karena nilai tersebut dianut. Kedua, keadilan distributif terletak pada perumusan nilai-nilai menjadi peraturan. Meskipun satu prinsip keadilan distributif telah disepakati sehingga ketidakadilan pada tingkat nilai menjadi tidak muncul, belum tentu keadilan distributif telah ditegakkan. Ketiga keadilan distributif terletak pada implementasi peraturan. Untuk menilai distribusi adil atau tidak, dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang diterapkan. Bila peraturan yang disepakati tidak dijalankan sama sekali atau dijalankan sebagian, keadilan distribusi tidak tercapai (Van den Bos, 1999). Keadilan Interaksional Menurut Tyler (1989, 1994) menyebutkan ada tiga hal penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, ketiga aspek tersebut adalah: a. Penghargaan Penghargaan, khususnya penghargaan kepada status sesorang, tercermin dalam perlakuan, khususnya dari orang yang berkuasa terhadap anggota kelompoknya. Makin
baik kualitas perlakuan penguasa terhadap anggotanya maka interaksinya dinilai makin adil (Donovan dkk, 1989). b. Netralitas Konsep tentang netralitas berkembang dari keterlibatan pihak ketiga ketika ada masalah hubungan sosial antara satu pihak dengan pihak yang lain. Netralitas dapat tercapai bila dasar-dasar dalam pengambilan keputusan, misalnya, menggunakan fakta dan bukan opini, yang objektif dan validitasnya tinggi c. Kepercayaan Aspek keadilan interaksional yang banyak dikaji adalah kepercayaan. Kepercayaan sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang didalamnya mencakup resiko yang berkaitan dengan harapan tersebut. Sztompka (1999) menyebutkan kepercayaan sebagai suatu pertaruhan terhadap hasil masa depan dengan menyerahkan kepada orang lain. Berdasarkan uraian teoritis di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara persepsi tentang keadilan organisasi dengan komitmen karyawan terhadap organisasi. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan PT Haji Ali Sejahtera Surabaya dengan karakteristik sampel sebagai berikut, yaitu berusia 25-50 tahun, memiliki masa kerja lebih dari 2 tahun, berpendidikan minimal SMU. Penelitian ini dilakukan di bagian Iklan, Pemasaran, Redaksi dan Pracetak. Populasi ditentukan sebesar 70 karyawan dan subjek penelitian sejumlah 59 orang dengan menggunakan simple random sampling. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Alat Kuesioner yang menggunakan Skala Likert. Kuesioner ini dilakukan untuk mengukur skala sikap responden dengan menggunakan S (Setuju) , SS (Sangat Setuju) , TS (Tidak Setuju) , STS (Sangat Tidak Setuju) pada pernyataan favorable dan unfavorable. Variabel Persepsi terhadap keadilan organisasi diukur dengan menggunakan Teori Organizational Justice Colquitt (2001) dan Laventhal dengan 10 indikator. Variabel komitmen pada organisasi diukur dengan menggunakan Teori Affective Commitment Organization Allan Myer (1990) dengan 3 indikator. Metode Analisis Data Teknik Analisa Data menggunakan SPSS versi 10.00 dengan menggunakan Korelasi Product Moment dari Karl Pearson. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a) Normalitas, dimana variabel Y (variabel terikat) distribusinya normal terhadap nilai X (variabel bebas). Berdasarkan hasil analisis Uji Normalitas Sebaran dengan menggunakan Program SPSS versi 10.00 pada variabel X dengan nilai Kolmogorov-Smirrov Z adalah 1, 248 dengan nilai p 0.089, hal ini menunjukkan sebarannya dalam kondisi normal karena p>0.05. b) Uji Linieritas hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya
Setelah dilakukan analisa dengan menggunakan Uji Linieritas Hubungan didalam program SPSS 10.00 didapatkan bahwa variabel bebas dalam penelitian ini berhubungan secara signifikan linier dengan variabel terikatnya. Ini berarti bahwa semakin baik persepsi seseorang terhadap keadilan organisasi, maka semakin tinggi pula komitmen karyawan terhadap organisasi. c) Uji Korelasi Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan, didapatkan bahwa X berhubungan secara signifikan terhadap Y dan hasil tersebut terlihat jelas pada hasil uji signifikansi diperoleh nilai r sebesar 0,462 dengan nilai p=0,000, yaitu dapat dilihat berdasarkan probabilitas, untuk p<0,05 maka Ho ditolak berarti Ha diterima yang berarti ada hubungan yang signifikan antara X dengan Y. KESIMPULAN Selanjutnya dari hasil analisa data dengan menggunakan korelasi product moment diperoleh hasil r sebesar 0,462 dengan nilai p sebesar 0,000, hal ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap keadilan organisasi dengan komitmen karyawan pada organisasi, sehingga hipotesis penelitian ini diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Allan, N.J., & Meyer,J.P. (1990). The measurement and antecedents of affective, continguance and normative commitment to the organization. Journal of occupational psychology, 63, 1-18. Deutsch, M. (1975). Equity, Equality and Need : What Determines Which Values Will be Used as the Basis of Distributive Justice ? Journal of Applied Psychology Issues, 31, 134-150. Dipboye, R., & de Pontbriand, R. (1981). Correlates of Employee Reactivity to Performance Appraisal and Appraisal System. Journal of Applied Psychology, 66, 248-251. Donovan, M. A., Drasgrow, F. & Munson, L. J. (1998). The Perception of Fair Interpersonal Treatment Scale : Development and Validation of a Measure of Interpersonal Treatment in the Workplace. Journal of Applied Psychology, 83 (5), 683-692. Fisher, R. & Smith, Peter B. (2002). Justice, values, work attitude : Makalah dipresentasikan pada Kongres the International Association for Cross-Cultural Psychology, Yogyakarta. Keraf, A. S. (1996). Pasar Bebas, Keadilan, dan Peran Pemerintah. Kanisius, Yogyakarta. Kotler, Philip. (1996). Marketing Manajemen : Analysis. Planning, Implementation and Controlling (Seventh edition). Engelwood Cliffs. New Jersey : Prentice Hall inc. Lind, E. A. & Tyler, T. R. (1988). The Social Psycholgy of Procedural Justice. Plenum Press, New York. Luthans, Fred. (1995). Organizational Behavior (7th edition). Singapore : Mc Graw Hill. International Edition Schwartz, S. H., Billsky, W. (1987). Toward a Universal Psycological Structure of Human Values. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 550-562. Steers, Robert. Efektivitas Organisasi (Seri Manajemen 47). (Alih Bahasa : Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen. (1997). Erlangga, Jakarta. Tim Prisma. (1994). Laporan Khusus : Pasang Naik Gelombang Pemogokan dan Politik Perburuhan. Prisma, 23 (4), 48-73. Walgito, B. (1994). Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Offset.