HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN
Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh: FARKHAN BASYIRUDIN 104070002346
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya Farkhan Basyirudin, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah hasil karya asli sendiri, guna mendapatkan gelar sarjana Strata 1 (S 1) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa meniru karya lainnya baik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau Universitas lainnya. 2. Semua sumber penulisan yang tercantum sudah sesuai dengan kebijakan atau aturan yang sudah di tentukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti melanggar aturan yang ada, penulis siap mengikuti aturan atau kebijakan yang telah di tetapkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2010
Farkhan Basyirudin
HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN
Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh: FARKHAN BASYIRUDIN 104070002346
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Diana Mutiah, M.Si
Gazi Saloom, M.Si.
NIP 196710291996032001
NIP 19711214 2007011 014
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2010 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi. Jakarta, 9 Desember 2010 Sidang Munaqasyah
Dekan/ Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekan/ Sekertaris Merangkap Anggota
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 195612231983032001
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 552 Anggota :
Penguji II
Gazi Saloom, M.Si NIP. 19711214 2007011 014
Pembimbing I
Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP. 196710291996032001
MOTTO
Keep on trying Keep on moving Keep on fighting
Hadiah kecil ini aku persembahkan untuk Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku tercinta Semoga Tuhan selalu mendampingi setiap langkah keluarga ini…
ABSTRAK (A) Fakultas Psikologi (B) Desember, 2010 (C) Farkhan Basyirudin (D) Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying Para Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Serang Banten (E) Halaman xviii + 73 Nilai-nilai keagamaan yang di ajarkan di pesantren bertujuan membentuk kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat. Ternyata hal itu tidak mempengaruhi dan menekan perilaku bullying di kalangan santri. Ini disebabkan adanya kegagalan dalam pembentukan kode moral benar atau salah, dan kegagalan dalam merubah konsep moral khusus ke umum. Moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. Tapi dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan perilaku bullying. Perilaku bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Jenis penindasan (bullying): verbal, fisik, dan relasional/psikologis yang melibatkan pelaku bullying, korban bullying, dan penonton/saksi. Penalaran moral adalah suatu bentuk pertimbangan atau pemikiran yang digunakan dalam menilai dan mengambil keputusan apakah tindakan yang dilakukan tersebut benar atau salah yang didasari oleh prinsip moral yang dimilikinya. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari secara empirik hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasi. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 100 orang santri pondok pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Dari jumlah tersebut dipilih 80 orang responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen pengumpulan data adalah Skala model Likert. Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan analisa statistika dengan menggunakan program SPSS 18.00, pada uji validitas menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson dan untuk menguji reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan Korelasi Product Moment. Jumlah item yang valid untuk skala penalaran moral 25 item dan 11 item yang tidak valid. Reliabilitas skala penalaran moral adalah 0.923. sedangkan pada skala perilaku bullying terdapat 29 item yang valid dan 7 ietm yang tidak valid. Reliabilitas perilaku bullying adalah 0.908. Berdasarkan analisa korelasi Product Moment dari Pearson terhadap hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil bahwa terdapat i
hubungan yang negatif dan signifikan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Karena r hitung (- 0.298) p < 0.01 yang berarti jika penalaran moralnya rendah maka perilaku bullyingnya tinggi. Disarankan agar pembina pondok pesantren lebih meningkatkan penalaran moral santri sehingga dapat menekan perilaku bullying. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menguji faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan tipe kepribadian. (F) Daftar Pustaka : 26 buku (1980-2009) + 1 jurnal + 5 website
ii
ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology (B) December, 2010 (C) Farkhan Basyirudin (D) The correlation Between Moral Reasoning With Bullying behavior in students. (E) Pages xviii + 73 (F) Religious values that induced in the boarding school students aimed at creating a personality that fit with the prevailing moral standards in society. Apparently it did not affect and reduce bullying behavior among students. This is due to the failure in forming a moral code of right or wrong, and failure to change the moral concepts specific to the general. Post-conventional morality should be achieved during adolescence. But with still there are teenagers at the preconventional or conventional, it would not be surprised if among adolescents are still many who do the bullying behavior. Bullying behavior is a negative action, that is aggressive or manipulative in a series of actions taken by one or more persons against another person during a specified time period based on the imbalance of power. Type of persecution (bullying): verbal, physical, and relational / psychological bullying involving the perpetrator, victim of bullying, and spectators / witnesses. Moral reasoning is a form of consideration or thought that is used to evaluate and make a decision whether the action taken is right or wrong based on moral principles he had. Stages of development of moral reasoning is pre-conventional, conventional, and post-conventional. This research was conducted to study empirically the correlation between moral reasoning with bullying behavior. This type of research used in this study is the quantitative approach with correlation research method. The population in this study were 100 people boarding school students Assa'adah, Serang, Banten. Of these respondents 80 people selected as the study sample using random sampling technique. Data collection instruments are Likert Scale model. Forms processing and data analysis using statistical analysis using SPSS 18.00, on the validity test using the correlation Product Moment from Pearson and to test the reliability of the instrument with Cronbach Alpha. Meanwhile, to test the research hypothesis using the Product Moment. The number of valid items for the scale of moral reasoning are 25 items and 11 items that are not valid. Reliability scale of moral reasoning is 0923. Whereas on the scale of bullying behavior there are 29 valid items and 7 items invalid. Reliability of bullying behavior is 0908. Based on the correlation analysis of Product Moment from Pearson to the hypothesis proposed, results showed there is a negative and significant relationship between moral reasoning with bullying behavior. Because the count r (- 0298)
iii
Hopefully, the students further enhance moral reasoning in order to reduce bullying behavior. For further research is expected to examine other factors that influence bullying behavior such as social situation, parenting, and personality type. (G) References: 26 books (1980-2009) + 1 journal + 5 websites
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK
PESANTREN
ASSA’ADAH
SERANG
BANTEN”
untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, karena keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan, kemampuan, pengalaman, dan juga waktu. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dorongan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Jahja Umar,Ph.D Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2.
Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si dosen pembimbing I dan Bapak Gazi Saloom, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing II serta sebagai dosen penasehat akademik,
v
yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi dan bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3.
Seluruh dosen, staf administrasi dan
keluarga besar Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendukung dan membantu penulis selama penulis mengikuti perkuliahan. 4.
Pimpinan Pondok pesantren Assa’adah Ust. Mujib, para staf ustadz/ustadzah, dan para santriwan/i yang telah memberikan bantuan pada penulis dalam pengumpulan informasi dan data penelitian ini. Segenap pengurus dan santri pondok pesantren Bina Tahfiz Al Qur’an yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan Try Out penelitian.
5.
Penulis secara khusus menyampaikan terimakasih yang sangat pribadi kepada kedua orang tua penulis, Bapak Nasikin, Ibu Harsunah, kakak-kakaku Mas Yazid, Mba Khusnul, Mas Badruz, Bang Saiman, Mba Lasmi, Nur, Iis, Keponakanku Najma, Najah, dan Yasmine serta saudara-saudara yang selalu memberikan doa, dorongan, kepercayaan dan dukungan baik secara moril maupun materil serta kasih sayang yang tiada terkira.
6.
Kawan-kawan seperjuangan di KPA. Arkadia, FP2I, Alumni MWI ’04, teman-teman kelas C ’04. Teruslah berkarya dalam bendera keilmuan, semoga persahabatan kita tidak terputus oleh ruang dan waktu.
vi
Semoga semua kebaikan dan bantuan yang diberikan akan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan, kekurangan atau kekeliruan dalam menyusun skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal’alamin.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN MOTTO PERSEMBAHAN ABSTRAK …………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
v
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
viii
DAFTAR SKEMA…………………………………………………………
x
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
xi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xiii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang Masalah…………………..………………..
1
1.2. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah……….…….
10
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……….………...
12
1.4. Sistematika Penulisan …………………..………………….
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………….………………………….
14
2.1.
Bullying…………………………………………….……..
14
2.5.
Pengertia Penalaran Moral………………………..……….
26
2.8.
Kerangka Berpikir…………………………...……………
43
2.9.
Hipotesis ………………………………………………….
43
BAB III METODE PENELITIAN ……..………………………………….
44
3.1.
Jenis dan Tipe Penelitian ……….………………….…….
44
3.2.
Identifikasi dan Klasifikasi Variabel………………………
45
3.3.
Definisi konseptual dan operasional variabel.……….........
45
3.4.
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel………
46
viii
3.5.
Metode dan Instrumen Pengumpulan Data …………..…..
47
3.6.
Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian…………….………..
50
3.7.
Teknik Uji Instrumen Penelitian……………..……………
53
3.8.
Teknik Analisa Data……………………………………….
53
3.9.
Prosedur Penelitian………………………….……………
54
BAB IV HASIL PENELITIAN ……………………………………………
56
4.1.
Gambaran Umum Sample Penelitian........ ……………….
56
4.2.
Uji Persyaratan………………………………..…………..
58
4.3.
Distribusi Penyebaran Skor Responden..………………….
63
4.4.
Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis…………..……
66
BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN ………….…………..
70
5.1.
Kesimpulan ...………………………………….….………
70
5.2.
Diskusi …………………………………….……...………
70
5.3.
Saran…………...………………………….……………...
72
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
75
ix
DAFTAR SKEMA Halaman SKEMA 1
Tahap Perkembangan Moral Kohlberg …………………..…..
34
SKEMA 2
Kerangka berpikir ……………………………..……………..
42
x
DAFTAR TABEL Tabel 3.1.
Halaman Rasio populasi dan sample……………………………………. 45
Tabel 3.2.
Bobot Nilai Skala……………………………………………...
47
Tabel 3.3..
Blue Print Skala Perilaku Bullying............................................
48
Tabel 3.4
Blue Print Skala Perilaku Moral................................................
48
Tabel 3.5
Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying.............................................. 49
Tabel 3.6.
Kisi-kisi Skala Penalaran Moral................................................
50
Tabel 3.7
Klasifikasi Reliabilitas.........................................................
51
Tabel 4.1
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …
55
Tabel 4.2
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ……………
56
Tabel 4.3
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jurusan ……
56
Tabel 4.4
Hasil Uji Normalitas Skala Penalaran Moral
58
Tabel 4.5.
Hasil Uji Normalitas Skala Perilaku Bullying
59
Tabel 4.6.
Hasil Uji Homogenitas Penalaran Moral………………………..
61
Tabel 4.7.
Hasil Uji Homogenitas Perilaku Bullying...................................
61
Tabel 4.8
Statistik Deskriptif.....................................................................
62
Tabel 4.9
Norma Penalaran Moral.............................................................
63
Tabel 4.10
Norma Perilaku Bullying...........................................................
63
Tabel 4.11
Kategorisasi Skor Penalaran Moral Berdasarkan Usia..............
64
Tabel 4.12
Kategorisasi Skor Perilaku Bullying Berdasarkan Usia.............
65
Tabel 4.13
Hasil Uji Hubungan Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying..
66
Tabel 4.14
Regresi Sederhana.......................................................................
67
Tabel 4.15
Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin..............
67
Tabel 4.16
Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin.............
xi
68
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1
Skatterplot skala Penalaran Moral…………………
58
Gambar 4.2
Skatterplot skala Perilaku Bullying…………………
59
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Try Out skala Penalaran Moral
Lampiran 2
Hasil Try Out skala Prilaku Bullying
Lampiran 3
Validitas dan Reliabilitas skala Penalaran Moral
Lampiran 4
Validitas dan Reliabilitas skala Prilaku Bullying
Lampiran 5
Hasil penelitian skala Penalaran Moral
Lampiran 6
Hasil penelitian skala Prilaku Bullying
Lampiran 7
Kategori skor Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 8
Frekuensi Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 9
Normalitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 10
Homogenitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 11
Korelasi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying
Lampiran 12
Regresi Sederhana
Lampiran 13
Uji Beda
Lampiran 14
Skala try out Penelitian
Lampiran 15
Skala Penelitian
xiii
xiv
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam penentuan masa depan suatu bangsa dimana pendidikan adalah sebagai alat atau metode untuk membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Sukses tidaknya dunia pendidikan bergantung pada peserta didik, tenaga pendidik dan pemerintah sebagai regulasi pendidikan. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab II Pasal 4 menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (LeKDiS, 2005), Namun, dewasa ini banyak beredar berita baik di media cetak maupun elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh para pelajar. Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng, sampai tindak kekerasan dan penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior kepada juniornya. Pada dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak lain melalui penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terjadi secara
2
berulang selama periode waktu tertentu baik berupa kekerasan fisik maupun psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying (Sullivan, 2001). Masih menurut Sullivan (2005) Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan penindasan ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta psikologis
seperti
mengintimidasi,
mengucilkan,
mengabaikan,
dan
mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar maupun di dalam sekolah. Coloroso
(2007)
menambahkan,
perilaku
bullying/bullies
tidak
memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban. Tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikologis.
3
Menurut Lipkins (2008), kebanyakan mereka menjadi pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi korban penindasan. Mereka pernah di tindas, menyaksikan penindasan, dan pada akhirnya sampai tiba giliran mereka untuk menindas. Mereka itulah para anggota senior yang mempunyai kedudukan penting, kemampuan yang lebih, atau kepribadiannya yang disegani. Biasanya siswa-siswa senior bergerak dalam satu angkatan. Mereka melakukan bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa mendapatkan kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying saat menjadi siswa junior. Sementara siswa-siswa korban mereka pun dibina untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat mereka menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008). Seperti halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di SMAN 82 (3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi korban kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga pingsan selama 3 jam. (www.detiknews.com). Pada kenyataannya, tindak kekerasan pada remaja tidak hanya berlaku pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan sudah merambah ke dunia pesantren. Sebagai contoh kasus, dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk RS Panti Waluyo dipukuli seniornya (13/7/2007). Pemukulan itu dilakukan oleh para santri pembimbing usai santri-
4
santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa Assalaam berasal dari berbagai suku di Indonesia (www.suaramerdeka.com). Setidaknya berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas Perlindungan Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20% dibanding pada tahun 2008. Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009) telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. (www.detiknews.com) Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena bullying masih baru. Akan tetapi dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi bullying asal Amerika, Huneck (2006) mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan
ataupun
didorong,
sedikitnya
sekali
dalam
seminggu.
(http://run18.multiply.com) Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa, dari 3.312 subjek laki-laki dan perempuan, yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer menunjukkan perilaku bullying oleh remaja populer berhubungan pada alasan perbedaan status sosial yang melekat pada mereka. Menurut penelitian dari Yayasan Sejiwa sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey pada workshop antibullying pada 28 April 2006. hasil survey yang di hadiri oleh 250 peserta tersebut, 94,9 % peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying
5
memang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan bullying yang mereka laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA, 2008). Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan dan penindasan atau bisa disebut dengan perilaku bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai penalaran dan nilai-nilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut. Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral manusia terdiri dari tiga tingkat, yaitu tingkat pra-konvensional,
konvensional,
dan
pasca-
konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral (Santrock, 2002). Kohlberg menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980). Akan tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”.
6
Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima. Artinya, sesuai yang dikatakan oleh Yusuf (2002), dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying. Hal ini dikarenakan masa remaja sebagai periode badai dan tekanan. Suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena masa remaja berada dibawah tekanan sosial menghadapi kondisi baru, sedangkan saat masa kanakkanak kurang mempersiapkan
diri untuk menghadapi keadaan itu (Hurlock,
1980). Pada dasarnya remaja diharapkan sudah mampu menggali konsep-konsep yang berlaku khusus di masa kanak-kanak, dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Sekarang ia akan membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi
7
dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan gurunya (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, remaja diharapkan mampu mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua atau guru. Namun terkadang remaja mudah dipengaruhi oleh stimuli yang bersifat negatif dari lingkungannya tanpa berfikir panjang terhadap akibat yang akan ditimbulkannya. Apabila ia mengalami ketidakmatangan dalam proses perkembangan perilaku sosialnya. Selain itu pada sisi kognitif, remaja mempunyai persepsi untuk bersikap dan mencari nilai ideal dengan berbagai perangkat untuk meraihnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Piaget bahwa, semakin orang terbuka dengan banyak pengalaman di dunia luar, maka ia akan semakin dibantu untuk mengembangkan pengetahuan dan cara berfikirnya (Suparno, 2001). Selanjutnya menurut Gunarsa (1989), remaja hendaknya mampu bersikap kritis terhadap tata cara yang pernah diterimanya, dan menyadari penilaian baik dan buruk yang telah dianutnya. Akan tetapi jika remaja belum memperoleh azasazas baru yang lebih bersifat umum dan belum terikat pada sistem penilaian yang pasti, maka ia masih akan mengalami kebimbangan dan keraguan. Sehingga ia akan melakukan segala sesuatunya dengan semaunya. Ini menandakan bahwa moralitas pada masa ini masih dipengaruhi oleh dirinya sendiri, dan belum mencapai taraf objektivitas.
8
Hal ini menunjukkan bahwa proses perkembangan tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat ini bisa bersifat internal maupun eksternal (Yusuf, 2002). Adapun Usia remaja ditandai dengan terjadinya perubahan yang besar dalam aspek biologis, perubahan kognitif, maupun perubahan sosio-emosional (Santrock, 2003). Remaja pada umumnya berada pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA ), atau setara dengan santri pada tingkat Aliyah. Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren.
Pondok
Pesantren
adalah
sekolah
pendidikan
agama
yang
kurikulumnya lebih banyak ilmu-ilmu keagamaan dibanding ilmu-ilmu umum. Selanjutnya, tujuan Pondok pesantren adalah membentuk kepribadian Muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat dan Negara (Qomar, 2005). Pada kenyataannya, kebanyakan alasan para orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren, mereka ingin membina atau memperbaiki akhlak anaknya. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Akibatnya, anak-anak yang “bermasalah” ini kerap kali mempengaruhi temantemannya, termasuk didalamnya memicu perilaku bullying.
9
Sebagaimana dari pengamatan dan observasi penulis pada salah satu pondok pesantren, di Pondok Pesantren Assa’adah di daerah Serang, Banten, terkait dengan hal tersebut di atas, ada beberapa tindak kekerasan dan penindasan yang sering terjadi pada sebagian santri. Perilaku negatif tersebut berupa pemalakan yang biasa dilakukan para senior kepada juniornya. Sebagaimana pengakuan salah seorang santri yang bernama SH (nama samaran), siswa kelas 1 Takhassus atau sederajat tingkat kelas satu SMA bahwa sering kali setiap baru mendapat kiriman uang, beberapa dari santri senior meminta uang. Biasanya diikuti dengan intimidasi, pengucilan, bahkan kekerasan fisik jika kemauan para seniornya tidak terpenuhi. Santri baru atau junior seringkali tidak mampu berbuat apapun selain membentuk kelompok sendiri untuk menghindari penindasan dari para senior. Selain kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus lain yang lebih kompleks mengenai penindasan senior dengan alasan demi mendisiplinkan juniornya. Pada akhirnya mereka tidak memandang aturan-aturan atau nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat sehingga para santripun dapat melakukan tindakan demikian. Sebagaimana
dikatakan
Kohlberg
bahwa
perkembangan
moral
bersangkutan dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-
10
aturan kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997). Maka jelaslah bahwa, ternyata banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di tanamkan di pesantren untuk menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat, tidak mempengaruhi dan menekan perilaku bullying di kalangan santri. Melihat fenomena tersebut diatas, terjadinya perilaku bullying pada santri merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas, apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan dengan penalaran moral. Oleh karena itu, timbullah persoalan yang menarik untuk diteliti yaitu tentang hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah
1.2.
Perumusan dan Pembatasan Masalah
A.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: ”Apakah ada hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang Banten?”
11
B.
Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai berikut : a.
Perilaku Bullying disini merupakan perilaku kekerasan yang terjadi di pesantren, yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya (Coloroso, 2007).
b.
Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif (Kohlberg, 1995).
c.
Santri yang dimaksud, adalah Santri yang meliputi santri laki-laki dan perempuan kelas 3 pada jenjang Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Menurut Gunarsa (1989), pada jenjang ini merupakan masa remaja, yang meliputi adanya perubahan fisik dan psikis, seperti halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan pembentukan rencana hidup dan sistem nilai sendiri
12
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
A.
Tujuan
Penelitan ini mempunyai tujuan untuk mencari hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang Banten. B.
Manfaat
Praktis. Penelitian ini diharapkan memberi maanfaat secara pragmatis secara
khusus
kepada para santri, pembina pondok pesantren, dan bagi masyarakat luas pada umumnya. Hal tersebut supaya dapat dijadikan suatu bahan pengetahuan tentang hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri. Teoritis Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang penalaran moral dan perilaku bullying santri, serta keterkaitan antara keduanya.
1.4.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini, yang berjudul “Hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri” yang terdiri dari lima bab pembahasan, yaitu:
13
BAB I
: Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya mencakup pembahasan dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah,
tujuan dan manfaat, serta sistematika
penulisan. BAB II
: Adalah bab yang membahas kajian pustaka mengenai Definisi penalaran moral, Tahapan-tahapan penalaran moral, faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral, definisi perilaku bullying, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, definisi santri, pondok pesantren, kerangka berpikir dan keterkaitan antara ketiganya, serta hipotesis.
BAB III
: Adalah bab metodologi penelitian yang didalamnya mencakup jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sample, metode dan instrument penelitian, prosedur penelitian, teknik pengolahan dan analisa data.
BAB IV
: Berisi tentang hasil penelitian, yaitu gambaran umum subjek penelitian, pelaksanaan penelitian, dan analisis data.
BAB V
: Berisi kesimpulan yang mengemukakan uraian tentang pernyataan mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas tujuan dan masalah penelitian. Kemudian dilanjutkan diskusi dan saran.
14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Bullying
Kamus Marriem Webster menjelaskan bully sebagai to treat abusively (perlakuan secara tidak sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan). (www.e-psikologi.com). Sullivan (2005) memberikan definisi bullying sebagai berikut: Bullying is a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or more people against another person or people usually over a period of time. it is abusive and is based on imbalance of power. Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Menurut Coloroso (2007) Penindasan atau Bullying adalah aktivitas sadar, disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agreasi lebih lanjut, dan menciptakan teror. Apakah penindasan ini direncanakan lebih dulu atau terjadi tiba-tiba saja, nyata atau tersembunyi, dihadapan anda atau dibelakang punggung anda, mudah diidentifikasi atau
15
terselubung dibalik pertemanan yang tampak, dilakukan oleh seorang anak atau sekelompok anak. Sedangkan menurut Lipkins (2008) bullying atau penindasan adalah tindakan penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik atau psikologis, atau keduanya. Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying biasa disebut bully. Sedangkan pengertian Bullying itu sendiri adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok (SEJIWA, 2008). Menurut Sullivan (2001), bullying mengandung unsur-unsur berikut : 1. Dimaksudkan untuk merugikan 2. Ketidakseimbangan kekuatan 3. Terorganisasi dan sistematis 4. Dilakukan berulang, terjadi selama periode waktu tertentu 5. Kekerasan yang dialami oleh korban bullying dapat bersifat eksternal (fisik) dan internal (psikologis). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku Bullying merupakan perilaku kekerasan yang sistematis dilakukan oleh senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya.
16
Selanjutnya Coloroso (2007) menambahkan ada empat tanda-tanda penindasan : 1. Ketidak seimbangan kekuatan: penindas bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahie secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial, berasal dari ras yang berbeda, atau tidak berjenis kelamin sama. Sejumlah besar anak yang berkumpul bersama-sama untuk menindas dapat menciptakan ketidakseimbangan. Penindasan bukan persaingan antar saudara kandung dan bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara. 2. Niat untuk mencederai: penindasan berarti menyebabkan kepedihan emosional dan/atau luka fisik, memerlukan tindakanuntuk dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di hati sang penindas saat menyaksikan luka tersebut. Tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada keseleo lidah atau godaan yang main-main, tidak ada kaki yang salah tempat, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan. 3. Ancaman agresi lebih lanjut: baik pihak penindas maupun pihak yang tertindas mengetahui bahwa penindasan dapat dan kemungkinan akan terjadi kembali. Penindasan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali saja. Ketika eskalasi penindasan meningkat tanpa henti, elemen keempat muncul: 4. Teror: penindasan adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Terror yang menusuk tepat dijantung korban penindasan bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan penindasan, terror itulah yang menjadi tujuan penindasan. Ini
17
bukanlah suatu insiden agresi sekali saja yang dikeluarkan oleh kmarahan karena sebuah isu tertentu, bukan pula tanggapan impulsive atas suatu celaan. Para penindas (bullies) biasanya bertindak sendirian atau dalam kelompok kecil dan memilih orang-orang yang mereka anggap rentan untuk mereka jadikan korban. Dan biasanya menginginkan sesuatu bisa berupa uang, bekal makan seorang siswa, jawaban pekerjaan rumah, atau mungkin cuma perhatian. Atau mungkin penindas bertingkah hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, dengan demikian mereka menandaskan status sebagai “jagoan” (Lipkins, 2008). Pihak yang kuat di sini bukan saja kuat secara fisik, tapi juga kuat secara mental (SEJIWA, 2008). Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Coloroso (2007), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).
Atas
kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Dari penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya.
18
Abraham Maslow (1970, dalam Sullivan, 2001) mengembangkan teori bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai tahapan kebutuhan selanjutnya. Teori Maslow berguna untuk menjelaskan beberapa kemungkinan efek bullying. Jika anak-anak diintimidasi, kebutuhan rasa aman mereka belum dipenuhi. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menghindari perilaku bullying atau melarikan diri dengan mencari tempat aman di sekolah dan masyarakat. jika mereka secara emosional mendapat intimidasi, dikucilkan atau terisolasi, maka mereka sulit untuk mendapatkan teman di sekolah.
2.2. Jenis-jenis Perilaku Bullying Coloroso (2007) menyebutkan terdapat tiga jenis penindasan: verbal, fisik, dan relasional. Pada dasarnya secara substansi, masing-masing dapat menimbulkan masalah sendiri-sendiri. Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk menciptakan tekanan yang lebih kuat. 2.2.1. Penindasan Verbal Kekerasan secara verbal mungkin adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Penindasan verbal dapat diteriakan di sekolah dan bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar oleh para guru, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik diantara rekan sebaya. Ketika seorang anak menjadi sasaran lelucon, ia kerap diabaikan oleh yang lain, terutama dalam aktivitas sosial, menjadi yang terakhir dipilih dan menjadi yang pertama dieliminasi (untuk kegiatan tertentu).
19
Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan baik bersifat pribadi maupun rasial, dan pernyataan berupa ajakanajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu penindasan verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip bisa menjadi bentuk penindasan. 2.2.2. Penindasan Fisik Yang termasuk jenis penindasan ini adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi, menekuk anggota tubuh anak yang ditindas hingga posisi yang menyakitkan, dan merusak serta menghancurkan pakaian dan barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis penindasan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius. 2.2.3. Penindasan Relasional/Psikologis Jenis penindasan ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran suatu tindakan penyingkiran adala alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin tidak mengetahui gosip tersebut, namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
20
helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar. Menurut Smith (1999, dalam Sullivan, 2001) perilaku bullying anak lakilaki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki lebih cenderung melakukan secara langsung yaitu bullying secara fisik, dan anak perempuan lebih cenderung melakukan secara tidak langsung, seperti menyebarkan gosip tentang korban.
2.3. Komponen-komponen dalam Perilaku Bullying Pada dasarnya perilaku bullying merupakan sebuah situasi yang tercipta ketika tiga komponen atau karakter
bertemu di satu tempat, yaitu pelaku bullying,
korban bullying, dan penonton/saksi (Coloroso, 2007). Situasi ini bagaikan sebuah pertunjukan dengan tiga aktor yang memainkan perannya masing-masing. 2.3.1. Pelaku Bullying Inilah aktor utama perilaku bullying. Dialah sang agresor, provokator, sekaligus inisiator situasi bullying. Si pelaku bullying umumnya seorang anak atau murid yang berfisik besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau sedang namun memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan temantemannya. Selain itu pelaku bullying umumnya temperamental. Mereka melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga menciptakan situasi bullying supaya memiliki pengikut dan kelompok sendiri. Atau mereka takut menjadi korban bullying, sehigga menggambil inisiatif sebagai pelaku bullying untuk keamanan sendiri (SEJIWA, 2008).
21
Menurut Sullivan (2005), karakteristik dari pelaku bullying adalah mereka tahu bagaimana menggunakan kekuasaan, dan menggunakan kepemimpinan yang dimiliki sebagai kekuatan untuk menindas. Menurut Lipkins (2008), mereka adalah para anggota senior kelompok atau anggota-anggota yang punya kedudukan penting karena besar badan, kedudukan, kemampuan, atau kepribadian. Kebanyakan dari mereka menjadi pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi korban. 2.3.2. Korban Bullying Korban bullying bukanlah sekedar pelaku pasif dari situsi bullying. Ia turut berperan serta memelihara dan melestarikan situasi bullying dengan bersikap diam. Sang korban umumnya tidak berbuat apa-apa dan membiarkan saja perilaku bullying berlangsung padanya, karena ia tidak memiliki kekuatan diri untuk membela diri atau melawan. Sikap diam sang korban ini tentunya beralasan. Alasan yang utama, mereka berpikir bila melaporkan kegiatan bullying yang menimpanya tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika guru menindak pelaku bullying, hasilnya justru akan memperparah situasi bullying pada sang korban. Selain itu, anak-anak bisa jadi telah mempunyai sistem nilai bahwa dengan mengadukan orang lain adalah wujud sifat kekanak-kanakan, manja, lemah dan sama sekali tidak dewasa. Bagi sang korban, lebih baik menanggung beban penderitaan ini daripada harus melanggar tata nilai di kalangan anak-anak dan mengadukan anak lain.
22
Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001). 2.3.3. Saksi Bullying/Penonton Menurut Lipkins (2008), Penonton adalah orang-orang yang diterima kelompok dan sudah dilantik menjadi anggota. Dalam beberapa kasus, mereka yang juga baru bergabung dalam kelompok bisa menjadi penonton, atau beberapa anggota senior bisa menjadi penonton dengan tipe yang beraneka ragam. Lipkins (2008) menambahkan, pada dasarnya ada dua jenis penonton, yakni aktif dan pasif. Saksi aktif biasanya ikut berseru dan turut menertawakan korban bullying yang tengah dianiaya, atau bisa jadi telah menjadi anggota kelompok yang di pimpin oleh pelaku bullying. Atau hanya sekedar ikut-ikutan untuk menyelamatkan dirinya daripada menjadi korban atau nalurinya untuk bergabung dengan pelaku bullying. Saksi pasif yang juga berada di arena bullying lebih memilih diam karena alasan yang wajar yaitu takut. Jika ia melakukan intervensi, atau melaporkan kepada orang dewasa, ia tidak mau mengambil resiko sebagai korban pelaku bullying selanjutnya. Situasi seperti ini biasanya menumpulkan empati para saksi demi keselamatan dirinya. Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan bakat mereka untuk menindas orang lain. Para penindas tidak muncul dari rahim
23
sebagai penindas, tapi temperamen sejak lahir merupakan sebuah faktor. Namun ada faktor lain, yaitu apa yang dikatakan oleh Bronfenbrenner (dalam Coloroso, 2007), seorang ilmuwan sosial, sebagai pengaruh lingkungan: kehidupan di rumah si penindas, kehidupan di sekolah, masyarakat, serta budaya (termasuk media) yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa para penindas diajari untuk menindas. Penindasan bukanlah tentang kemarahan, tetapi juga bukan konflik. Penindasan adalah sebuah penghinaan, yaitu sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap tidak berharga, lemah, atau tidak layak, mendapatkan penghargaan. Dengan kata lain, penindasan adalah arogansi yang terwujud dalam tindakan. Anak-anak yang menindas memiliki semacam hawa superioritas yang kerap merupakan sebuah topeng untuk menutupi luka yang dalam dan ketidakmampuannya. Mereka berdalih bahwa superioritas yang dimilikinya membolehkan mereka melukai seseorang yang mereka anggap hina, padahal ini merupakan dalih untuki merendahkan seseorang sehingga mereka dapat merasa lebih unggul (Coloroso, 2007).
2.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
24
2.4.1. Faktor Internal Secara internal pada dasarnya perilaku bullying muncul dari penalaran moral anak yang rendah. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin mendapatkan penghargaan diri dari orang lain dan anak belum memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral. Sebagaimana pendapat Budiningsih (2004) mengatakan bahwa penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Penalaran moral ini yang menjadi indikator dari tahapan kematangan moral seseorang. Adanya penalaran moral anak tersebut dapat mengakibatkan anak memiliki kemampuan untuk menilai tindakan bullying yang menyakiti orang lain sebagai perbuatan yang tidak boleh di lakukan, sehingga anak dengan penalaran moral yang tinggi tidak melakukan perilaku bullying. Akan tetapi bagi anak yang kurang memiliki penalaran moral, tidak memikirkan setiap tindakannya apakah mengandung nilai-nilai yang baik atau buruk. Anak tersebut tidak mau tahu apakah perbuatannya akan melukai temannya atau tidak. Sebagaimana yang di katakan Bukhim (2008) bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan anak disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Akibatnya anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying.
25
2.4.2. Faktor Eksternal a. Faktor Keluarga Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam. b. Faktor Sekolah Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. c. Faktor Kelompok Sebaya Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
26
2.5.
Pengertian Penalaran Moral
Moral berasal dari kata latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986 dalam Ali, Asrori, 2009). Sedangkan menurut Hurlock (1981) moral berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Menurut Yusuf (2002), Istilah moral dari bahasa Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Moral menurut Rogers (1986, dalam Ali, Asrori, 2009) merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. moral merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial. Kohlberg menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka ia pun menamakannya penalaran moral. Dengan demikian orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu ( dalam Lickona, 1976, dalam Sarwono, 2005).
27
Menurut
Kohlberg
perkembangan
moral
bersangkut-paut
dengan
bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidahkaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya. Seseorang
telah
memperkembangkan
aspek
moral,
bilamana
ia
telah
menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997) Penalaran moral berhubungan dengan peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengn orang lain, yang diteliti dalam 3 domain (Santrock : 2003) : 1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis. 2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya? 3. Bagaimana perasaan remaja mengenai perasaan moral? Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif.
2.5.1. Teori Penalaran Moral Piaget Piaget membagi perkembangan penalaran moral menjadi dua tahap, yaitu: 1. Heteronomous morality ialah tahap pertama perkembangan moral Piaget, yang terjadi kira-kira umur 4 – 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan
28
sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh diubah, yang lepas dari kendali manusia. 2. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak usia 7 -10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap, menunjukkan ciri dari keduanya. Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent justice), yakni suatu konsep bila aturan dilanggar, maka hukuman akan dikenakan segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat disekitar dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua yakni pemikir yang otonomous, menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman tidak terelakkan (Santrock, 2002). Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota
29
memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan di kordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan sehingga pada akhirnya disepakati. Relasi orang tua–anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. (Santrock, 2002). 2.5.2. Teori Psikoanalisa Freud Freud menyebutkan bahwa struktur kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Super ego merupakan cabang moral dan salah satu dari tiga struktur utama kepribadian. Terbentuk ketika anak mengatasi konflik Oedipus dan mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang berjenis kelamin sama di awal masa kanak-kanak. Melalui identifikasi anak-anak dan remaja memasukan standar orang tua mereka terhadap apa yang benar dan apa yang salah. Individu menyesuaikan diri mereka dengan standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah. Dalam pandangan Freud, Super ego terdiri dari dua komponen utama yaitu ego ideal dan concience (kata hati). Ego ideal merupakan persepsi manusia mengenai sosok manusia yang didambakan. Seseorang akan memberikan reward dengan memunculkan rasa bangga, dan nilai pribadi bila ia melakukan tindakan yang sesuai dengan standar moral. Sementara concience (kata hati) akan menghukum individu tersebut bila ia melakukan tindakan yang tidak bermoral, dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga (Santrock, 2003).
30
2.5.3.
Teori Erikson
Erikson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral yaitu pembelajaran moral yang spesifik di masa anak-anak, perhatian terhadap ideologi pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa. Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideologi yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka. Agar suatu ideologi dapat diterima harus ada bukti nyata dan haruslah sesuai dengan kemampuan remaja untuk berpikir logis. Bila orang lain juga memiliki ideologi yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakatpun terbentuk. Bagi Erikson ideologi berperan sebagai pelindung identitas selama masa remaja karena ideologi memberikan perasaan adanya tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi arti bagi tingkah laku. 2.5.4. Teori Kohlberg Menurut teori Kohlberg (dalam Santrock, 2002) telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anakanak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-
31
tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer: ” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anakanak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
32
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut : Tingkat satu : Penalaran Pra-konvensional Penalaran Pra-konvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan
internalisasi
nilai-nilai
moral.
Penalaran
moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) atau hukuman eksternal. Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap kedua dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
33
Tingkat dua: Penalaran Konvensional Penalaran Konvensional (conventional reasoning) adalah tingkat kedua atau menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini internalisasi individual ialah menengah. Seseorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan masyarakat. Tahap 3. Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik”. Tahap 4. Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Tingkat Tiga: Penalaran Pasca-konvensional Penalaran Pasca-Konvensional (postconventional reasoning) ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternaltif, menjajaki pilihanpilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
34
Tahap 5. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual rights) ialah tahap kelima dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturanaturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Tahap 6. Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan tertinggi dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hakhak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dalam tahap perkembangannya terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Sebelum mencapai usia 9 tahun kebanyakan penalaran anak dalam menghadapi dilema moral dilakukan dengan cara yang pra-konvensional. Pada awal masa remaja, penalaran mereka dilakukan dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan penalar remaja berada pada tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. pada awal masa dewasa, sejumlah kecil individu berpikir dengan cara pasca konvensional (Santrock, 2002). Akan tetapi tahap pasca-konvensional tidak terjadi pada semua remaja, tetapi hanya terjadi pada sebagian dari mereka. Mereka yang mencapai tahap ini
35
mendasarkan penilaian terhadap aturan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip moral umum sesuai dengan tingkat 5 dan 6 (Sarwono, 2008). Skema 2.1 Tahap Perkembangan Moral menurut Kohlberg (Gunarsa, 1997) : Tingkat Tahap
Ciri Khusus
Tingkat I : Pra-konvensional Tahap 1. Orientasi terhadap kepatuhan Harus patuh agar tidak di hukum. dan hukuman. Ada faktor pribadi yang relatif dan Tahap 2. Relativistik hedonism prinsip kesenangan. Tingkat II : Konvensional Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang Agar menjadi anak yang baik, baik. perbuatannya harus diterima oleh masyarakat. Tahap 4. Mempertahankan norma-norma Menyadari kewajibannya untuk ikut sosial dan otoritas. melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya ada norma-norma. Tingkat III : Pasca-konvensional Tahap 5. terhadap perjanjian antara dirinya Perjanjian antara dirinya dengan dengan lingkungan sosial. lingkungan sosial. Berbuat baik agar diperlakukan baik. Tahap 6. Prinsip universal.
Berkembangnya norma etik (kata hati) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip uiversal.
Menurut Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”.
36
Kohlberg
menambahkan,
semua
tahap-tahap
perkembangan
tidak
ditentukan oleh pendapat atau pertimbangan-pertimbangan khusus, melainkan oleh cara berpikir mengenai soal-soal dan dasar-dasar moral untuk mengadakan pilihan. Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap “pra-moral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan 4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu pada “prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan hingga 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.
2.6.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral.
Menurut Kohlberg (1995) faktor-faktor utama yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan
moral,
tampaknya
berupa
jumlah
dan
keanekaragaman
pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain. Senada apa yang telah disebutkan Kohlberg, Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral erat kaitannya dengan proses kemampuan menentukan sesuatu peran dalam pergaulan dan menjalankan peran tersebut. Kemampuan berperan memungkinkan individu menilai berbagai situasi sosial dari berbagai sudut pandangan. Dengan perkembangan moral, cara berperan bertambah luas sehingga semakin
37
bertambahnya peran yang di pegang, semakin banyak pengalaman yang merangsang perkembangan moral. 2.6.1. Perubahan Konsep Moral Menurut Hurlock, (1980) salah satu tugas penting yang harus diakuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orangtua dan guru. Hurlock (1980) menambahkan, ada dua kondisi yang membuat penggantian konsep moral khusus ke dalam konsep yang berlaku umum tentang benar dan salah yang lebih sulit daripada yang seharusnya 1. Kurangnya bimbingan dalam mempelajari prinsip pokok tentang benar dan salah, orangtua dan guru jarang menekankan dalam usaha pembinaan remaja untuk melihat hubungan antara prinsip khusus yang dipelajari sebelumnya dengan prinsip umum yang penting untuk mengendalikan perilaku dalam kehidupan orang dewasa. 2. Kondisi kedua yang membuat sulitnya penggantian konsep moral yang berlaku khusus dengan konsep moral yang berlaku umum berhubungan dengan jenis disiplin yang diterapkan dirumah dan disekolah. Karena
38
orangtua dan guru mengasumsikan bahwa remaja mengetahui apa yang benar, maka penekanan kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman pada perilaku salah yang dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai alasan salah tidaknya suatu perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang memberi ganjaran bagi remaja yang berperilaku benar. 2.6.2. Pembentukan Kode Moral Selanjutnya Hurlock (1980) menjelaskan, ketika memasuki masa remaja, anakanak tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orangtua, guru, bahkan teman-teman sebaya. Sekarang ia sendiri ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama. Pembentukan
kode
moral
terasa
sulit
bagi
remaja
karena
ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakkonsistenan membuat remaja bingung
dan
terhalang dalam proses pembentukan kode moral yang tidak hanya memuaskan tetapi akan membimbingnya untuk memperoleh dukungan sosial. Bagi anak-anak berbohong merupakan hal yang buruk, namun bagi banyak remaja “berbohong sosial” atau berbohong untuk menghindari kemungkinan menyakikan hati orang lain kadang-kadang dibenarkan (Hurlock, 1980).
39
2.7. Pondok Pesantren Menurut Qomar (2005), Pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Dhofier
(1994, dalam Qomar, 2005) memandang membagi pesantren
menjadi dua kategori yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorongan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedang pesantren khalafi telah memasukan pelajaranpelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren. Disamping itu Dhofier juga membagi berdasarkan jumlah santri dan pengaruhnya. Ada pesantren kecil, menengah dan besar. Pesantren kecil biasanya mempunyai santri mempunyai santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri, yang mempunyai pengaruh dan menarik santri-santri dari berbagai kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki lebih dari dua ribu santri yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi. Pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Bedanya, di pesantren para pelajar disediakan tempat untuk menginap. Tindak kekerasan di pesantren muncul karena para santri dalam jumlah besar tinggal di satu tempat. Dalam satu kamar kecil bisa dihuni oleh banyak
40
santri. Mereka beraktivitas, mandi, mencuci, makan, dan tidur bersama. Mulai dari santri junior maupun senior. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Sehingga para santri dan santriwati bermasalah ini kadangkala mempengaruhi teman-temannya. Ada dugaan bahwa pengelolaan konflik tidak penting di pesantren, mengingat secara demonstratif di lembaga pendidikan tersebut tidak nampak adanya konflik. Hal itu karena semua hal yang terkait dengan pesantren tunduk pada inisiatif dan kebijakan Kiyai. Akan tetapi perlu dicatat bahwa di lingkungan pendidikan apapun sebenarnya akan ditemukan dua macam konflik. Yaitu konflik yang nyata (manifested conflict) dan konflik tersembunyi (hidden or latent conflict) (Mastuki dkk, 2004). Namun begitu, pada dasarnya peran kependidikan menurut Haedari (2007), pesantren tidak terhenti pada mobilitas vertikal saja (materi-materi agama), tetapi juga berkembang hingga memasuki wilayah mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di tanamkan di pesantren hendaknya mampu menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat.
41
2.8.
Kerangka Berpikir
Pesantren merupakan salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pesantren merupakan cikal bakal dari sistem pendidikan Islam yang ada di tanah air ini. Namun begitu, peristiwa bullying di pesantren terkadang bisa dilihat tapi sulit dibuktikan karena, sering diselesaikan secara kekeluargaan. Lantas mengapa praktik tersebut sering terjadi dilembaga yang bertugas mencetak pada agamawan? Tindakan bullying ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan
mengejek,
serta
psikologis
seperti
mengintimidasi,
mengucilkan,
mengabaikan, dan mendiskriminasi (Coloroso, 2007). Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001). Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan atau bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai alasan, pola pikir dan nilainilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut. Terlebih mereka hidup di lingkungan pondok pesantren.
42
Menurut teori Kohlberg perkembangan moral manusia terdiri dari tiga tingkat. Yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral (Santrock, 2002). Kohlberg menambahkan bahwa, moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980). Hurlock menambahkan, bahwa remaja diharapkan mampu mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima. Menurut Yusuf (2002), Proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Ini artinya bahwa dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying.
43
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat penalaran moral santri, maka semakin rendah perilaku bullyingnya dan semakin rendah tingkat penalaran moral santri, maka semakin tinggi perilaku bullyingnya. Skema 2.2 Pondok Pesantren Penalaran Moral
Pra-konvensional
Kegagalan membentuk kode moral Benar/ Salah Fisik
Bullying
Non-Fisik
Konvensional
Kegagalan merubah konsep moral Khusus/ Umum
Pasca-konvensional
Tidak terjadi Bullying
Psikologis
2.9. Hipotesa Penelitian a. Hipotesis Nihil (Ho) “Tidak ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying” b. Hipotesis Alternatif (Ha) “Ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying”
44
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini mengkaji hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri. Berdasarkan pendekatan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan, meramalkan dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus dari data numerik (Santoso, 2000). Pada penelitian kuantitatif ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional (descriptive correlational study), sebab peneliti ingin mencari hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Menurut Suryabrata (2006), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel serta saling hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan secara serentak dalam kondisi yang realistik. Hal ini juga memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel satu dengan variabel yang lain.
45
3.2. Identifikasi dan klasifikasi variabel Yang menjadi variabel bebas (independence variable) adalah penalaran moral, sedangkan yang menjadi variable terikat (dependence variable) adalah perilaku Bullying.
3.3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel 3.3.1. Definisi Konseptual Perilaku Bullying merupakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya(Coloroso, 2007). Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif (Kohlberg, 1995).
3.3.2. Definisi Operasional Perilaku Bullying adalah skor yang diperoleh dari responden melalui skala perilaku Bullying yang diajukan kepada santriwan dan santriwati tingkat Aliyah (SMA) berdasarkan penilaiannya yang mencakup penindasan secara fisik, penindasan verbal, dan penindasan psikologis.
46
Penalaran moral adalah skor yang diperoleh dari jawaban responden terhadap skala penalaran moral yang di ukur melalui aspek-aspeknya, yaitu orientasi hukuman dan ketaatan, individualisme, norma-norma interpersonal, moral dalam sistem sosial, hak-hak masyarakat, prinsip-prinsip etis universal.
3.4. Populasi dan Subyek Penelitian 3.4.1. Populasi Gay (1976; dalam Sevilla, 1993) mendefinisikan populasi sebagai kelompok di mana peneliti akan menggeneralisasikan hasil penelitiannya. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Untuk penelitian ini jumlah populasi sebesar 108 santri kelas 3 Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Serang, Banten.
3.4.2. Subyek (sampel) Sedangkan subyek (sampel), menurut Ferguson (1980; dalam Sevilla, 1993), adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi atau porsi dari suatu populasi. Ukuran sampel minimum yang dapat diterima berdasarkan tipe penelitian korelasional adalah sampel dapat dikatakan besar bila terdiri dari 30 orang atau lebih. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 108 santri kelas 3 Aliyah. Sedangkan sampel yang di ambil sebanyak 80 subjek. Tabel 3.1 : Jumlah populasi dan sampel Populasi 108 orang
Sampel 80 orang
47
3.4.3. Teknik Pengambilan Subyek Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara probability sampling dengan teknik simple random sampling. Menurut Suryabrata (2006),
bahwa
teknik simple random sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang digunakan jika populasi dianggap homogen, dan tersedia daftar, nomor urut dari seluruh unit populasi. Karena dilakukan secara probability sampling, maka semua individu akan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel dalam penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi subyek penelitian ini adalah santri kelas 3 Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Santri kelas 3 Aliyah jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Teknik penelitian ini dengan undian menggunakan kertas kecil-kecil yang di tuliskan nomor subjek, satu nomor untuk setiap kertas. Kemudian kertas digulung, dengan tanpa prasangka di ambil beberapa gulungan kertas sehingga nomor-nomor yang tertera pada gulungan kertas yang terambil itulah yang merupakan nomor subjek penelitian (Arikunto, 2006).
3.5. Instrumen Penelitian Metode dan Instrumen Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan skala, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari responden, dengan item pernyataan positif (favorable) dan negatif (unfavorable). Skor akhir subjek adalah skor total dari jawaban pada setiap pernyataan. Terdapat empat jawaban alternatif, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
48
Subyek diminta memilih derajat kesetujuan dan ketidaksetujuan untuk setiap pernyataan. Skoring yang digunakan untuk setiap kategori pada setiap item dalam penelitian ini adalah berdasarkan norma pada tabel di bawah ini. Skor untuk untuk masing-masing penyataan: Tabel 3.2 : Bobot Nilai Skala Skala Favorable Sangat Sesuai 4 Sesuai 3 Tidak Sesuai 2 Sangat Tidak Sesuai 1
Unfavorable 1 2 3 4
Adapun skala dalam penelitian ini adalah menggunakan skala model Likert, yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi responden terhadap suatu objek karena pembuatannya relatif mudah dan reliabilitasnya tinggi. Dalam skala ini subjek diharuskan memilih jawaban yang paling menggambarkan tentang dirinya sendiri dan bukan pendapat orang lain tentang suatu pernyataan (Umar, 2008) Peneliti menggunakan skala model Likert yang terdiri dari 2 macam, yaitu skala Penalaran Moral dan Perilaku Bullying .
49
Tabel 3.3: Blue Print Skala Perilaku Bullying Jenis
No item favorable
No item unfavorable
14, 18
20, 21, 22, 23
13
19
15, 16, 17 1, 2, 3, 4, 5
24 8, 9, 10
6, 7
11, 12
26, 30
31, 32, 36
25,
34
27, 28, 29
33, 35
19
17
Indikator
• Menghina secara rasial Penindasan Verbal
Penindasan Fisik
• Memberikan julukan nama jelek • • • •
kepada korban Mengintimidasi secara kasar Menyakiti anggota tubuh Menghancurkan barang-barang milik korban Pandangan yang agresif
Penindasan • Psikologis
Bahasa tubuh yang kasar.
• Mengabaikan persahabatan korban Total
Jml.
12
12
12
36
Selanjutnya skor subyek pada setiap pernyataan dijumlahkan dan nilai total menjadi skor setiap subyek. Makin tinggi skor subjek, maka perilaku Bullying subyek semakin tinggi. Dan sebaliknya, semakin rendah skor subyek, maka semakin rendah perilaku Bullying subyek. Tabel 3.4: Blue Print Skala Penalaran Moral Aspek Orientasi Hukuman dan ketaatan Individualisme Norma-norma interpersonal Moral dalam sistem social
Indikator Penalaran moral didasarkan atas penghindaran hukuman Penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya
No Item No Item Favorable Unfavorable
Jml.
1, 2, 3
4, 5, 6
6
7, 8, 9
10, 11, 12
6
13, 14, 15
16, 17, 18
6
19, 20, 21
22, 23, 24
6
50
adanya norma Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Berbuat baik agar diperlakukan baik oleh lingkungan.
Prinsip-prinsip etis universal
Berkembangnya norma etik (kata hati)
25, 26, 27
28, 29, 30
6
31, 32, 33
34, 35, 36
6
18
18
36
Jumlah
Selanjutnya skor subyek pada setiap pernyataan dijumlahkan dan nilai total menjadi skor setiap subyek. Makin tinggi skor subyek, maka penalaran moral subyek semakin tinggi. Dan jika sebaliknya, yaitu semakin rendah skor subyek, maka semakin rendah pula penalaran moralnya.
3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Peneliltian 3.6.1. Hasil Uji Skala Perilaku Bullying Dari 36 item yang di uji cobakan, terdapat 29 item yang valid pada taraf kepercayaan 95 %, sedangkan 7 item lainnya tidak valid. Nomor item skala perilaku bullying yang valid dapat di lihat pada tabel berikut: Tabel 3.5: Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying
Jenis
Penindasan Verbal
Penindasan Fisik
No item favorable
No item unfavorable
14*, 18*
20*, 21*, 22*, 23*
13*
19*
15, 16*, 17*
24*
1*, 2*, 3*, 4*, 5*
8*, 9*, 10*
6, 7
11*, 12*
Jumlah Item Valid
11
10
51
Penindasan Psikologis Jumlah Item Valid
26, 30
31*, 32*, 36*
25*,
34*
27, 28*, 29*
33, 35*
13
16
8
29
Keterangan : * Item valid Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 36 item skala perilaku bullying, ada 29 item yang valid dengan α = 0,05, yaitu item 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35, dan 36. Itemitem yang valid itulah yang dijadikan alat ukur untuk penelitian. Dari uji coba reliabilitas item yang valid pada skala perilaku bullying, diperoleh koefisien alpha cronbach sebesar 0.908. angka tersebut dapat dikatakan reliabel karena menurut Azwar (2003), koefisien yang tinggi adalah yang mendekati angka 1.00.
3.6.2. Hasil Uji Skala Penalaran Moral Dari 36 item yang di uji cobakan, terdapat 25 item yang valid pada taraf kepercayaan 95 %, sedangkan 11 item lainnya tidak valid. Nomor item skala penalaran moral yang valid dapat di lihat pada tabel berikut: Tabel 3.6: Kisi-kisi Skala Penalaran Moral Aspek Orientasi Hukuman dan ketaatan Individualisme Norma-norma interpersonal
No Item Favorable
No Item Unfavorable
Jumlah Item Valid
1*, 2*, 3*
4*, 5, 6*
5
7*, 8, 9
10*, 11*, 12*
4
13, 14*, 15*
16*, 17*, 18*
5
52
Moral dalam sistem sosial
19, 20, 21*
22*, 23*, 24*
4
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
25, 26, 27*
28*, 29*, 30
3
Prinsip-prinsip etis universal
31*, 32, 33*
34*, 35*, 36
4
Jumlah Item Valid
10
15
25
Keterangan : * item valid Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 36 item skala perilaku bullying, ada 25 item yang valid dengan α = 0,05, yaitu item 1, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 31, 33, 34, dan 35. Item-item yang valid itulah yang dijadikan alat ukur untuk penelitian. Selanjutnya item yang valid pada skala penalaran moral, diperoleh koefisien alpha cronbach sebesar 0.923. Hasil tersebut menunjukkan bahwa skala penalaran moral ini dapat dikatakan reliabel karena menurut Azwar (2003), koefisien reliabilitas yang tinggi adalah yang mendekati angka 1.00. Adapun untuk mengetahui klasifikasi reliabilitas alat ukur dapat dilihat pada penjelasan berikut : Tabel 3.7: Klasifikasi Reliabilitas Koefisien reliabilitas > 0.90 0.70 – 0.89 0.40 – 0.69 0.20 – 0.39
Klasifikasi reliabilitas Sangat reliabel Reliabel Cukup reliabel Tidak reliabel
53
3.7. Teknik Uji Instrumen Penelitian Sesuai dengan kaidah penelitian, maka peneliti mengadakan uji instrumen penelitian yang akan peneliti gunakan. Tahap awal peneliti membuat item skala yang kemudian melakukan try out. Untuk menguji validitas dari setiap item pernyataan dilakukan analisis item, yaitu mengkorelasikan setiap item dengan skor total, koefesien korelasinya diperhitungkan sebagai validitas item-item yang memiliki korelasi signifikan langsung dipilih sebagai skala final dan dihitung, sedangkan item yang tidak memiliki korelasi signifikan diabaikan. Penghitungan korelasi dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi pearson-product moment, dan penghitungannya menggunakan program perangkat lunak SPSS 18.00. Adapun untuk menghitung reliabilitas dari kedua skala ini dilakukan dengan menggunakan rumus alpha cronbach, yaitu dalam pengolahannya, penghitungan reliabilitas ini menggunakan program komputer khusus untuk penghitungan data penelitian yaitu program perangkat lunak SPSS 18.00.
3.8. Teknik Analisis Data Untuk menganalisa data yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang menghubungkan antara penalaran moral dengan perilaku bullying santri, maka akan digunakan rumus korelasi pearson product moment dengan mengunakan program perangkat lunak SPSS 18.00.
54
Adapun untuk menganalisa data yang berkaitan dengan penelitian yang membandingkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap penalaran moral maupun perilaku bullying, maka digunakan t-test antar kelompok dan statistika sederhana dengan menggunakan program perangkat lunak SPSS 18.00.
3.9. Prosedur Penelitian 3.9.1. Tahap Persiapan 1. Di mulai dengan perumusan masalah 2. Menentukan variabel penelitian 3. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teoritis yang tepat 4. Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala penalaran moral dan skala perilaku bullying. 5. Menentukan lokasi penelitian 6. Melakukan uji coba alat ukur (try out)
3.9.2. Tahap Pengambilan Data 1. Menentukan sampel penelitian 2. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta kesediaan subyek untuk mengisi kuesioner penelitian. 3. Melaksanakan pengambilan data dengan memberikan kuesioner yang telah disiapkan kepada subjek penelitian
55
3.9.3. Tahap Pengolahan Data 1. Melakukan skoring terhadap hasil kuesioner yang telah diisi oleh responden. 2. Menghitung dan mencatat tabulasi data yang diperoleh, kemudian membuat tabel data. 3. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis penelitian.
3.9.4. Tahap Pembahasan 1. Menginterpretasikan dan membahas hasil analisis statistik berdasarkan teori. 2. Merumuskan kesimpulan hasil penelitian yang di peroleh dan dibahas berdasarkan data dan teori yang ada.
56
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Sampel 4.1.1. Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin Pengambilan responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 orang remaja yang berusia 17-20 tahun berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dapat di gambarkan sebagai berikut: Tabel 4.1 Gambaran Responden berdasarkan jenis kelemin
Jenis kelamin
Frekuensi
Persentase
Laki-laki
41
51.3
Perempuan
39
48.8
Jumlah
80
100.0
Dari tabel diatas dapat terlihat, frekuensi sampel dalam penelitian ini diperoleh dari 80 responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam penelitian ini sebanyak 51.3 % dari 41 responden laki-laki sedangkan untuk perempuan sebanyak 48.8 % dari 39 responden.
4.1.2. Gambaran Umum Berdasarkan Usia Rentang usia dalam penelitian ini adalah remaja akhir yaitu usia 17-20 tahun, berikut adalah tabel responden berdasarkan usia.
57
Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia
Usia 17 18 19 20 Jumlah
Frekuensi 3 58 15 4 80
Persentase 3.8 72.5 18.8 5.0 100.0
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 17-20 tahun , dimana responden berusia 17 tahun sebanyak 3 orang yaitu 3.8 %, responden berusia 18 tahun sebanyak 58 orang yaitu 72.5 %, responden berusia 19 tahun sebanyak 15 orang yaitu 18.8 %, dan responden berusia 20 tahun sebanyak 4 orang yaitu 5.0 %.
4.1.3. Gambaran Umum Berdasarkan Jurusan Selanjutnya responden berdasarkan jurusan, berikut tabel jumlah responden berdasarkan jurusan. Tabel 4.3 Gambaran responden berdasarkan jurusan
Jurusan IPA IPS Bahasa Jumlah
Frekuensi 26 26 28 80
Persentase 32.5 32.5 35.0 100.0
Responden pada kelompok kelas jurusan IPA sebanyak 26 orang atau 32.5 %, kelas jurusan IPS sebanyak 26 orang atau 32.5 %, dan kelas jurusan Bahasa sebanyak 28 orang atau 35.0 %.
58
4.2.
Uji Persyaratan
4.2.1. Uji Normalitas Uji kenormalan bertujuan untuk menguji apakah data sampel terdistribusi secara normal atau tidak normal, untuk menguji kenormalan data yang responden pengujiannya kurang dari 100 maka digunakan Shapiro Wilk. Karena uji Shapiro Wilk adalah salah satu cara untuk menguji kebaikan yang pantas (goodness of fit) dan baik digunakan apabila responden pengujian kurang dari 100 (Kuncono, 2005). Dalam hal ini digunakan untuk menentukan apakah distribusi frekuensi pengamatan dari suatu variabel secara signifikan berbeda dari yang diharapkan atau distribusi frekuensi teoritis. Sehingga hipotesis statistiknya adalah distribusi frekuensi hasil pengamatan bersesuaian dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis) (Sevilla, 1993). Adapun yang dapat diajukkan adalah :
Hο
= Sampel dari populasi yang bedristribusi normal
H¹
= Sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Dengan demikian, berdasarkan hasil uji normalitas shapiro wilk diperoleh data pada skala penalaran moral, dinyatakan nilai signifikansi adalah p 0,051 dengan menggunakan taraf signifikansi alpha 5 % (α 0,05). Maka diketahui nilai 0,051 > 0,05 sehingga data dalam penelitian ini berdistribusi normal, dan dalam uji hipotesanya termasuk dalam statistik parametrik.
59
Tabel 4.4 Hasil uji normalitas skala Penalaran Moral Tests of Normality
Penalaran_Moral
Kolmogorov-Smirnov Statistic df .121 80
a
Sig. .006
Statistic .969
Shapiro-Wilk df 80
Sig. .051
a. Lilliefors Significance Correction
Gambar 4.1 Scatterplot skala Penalaran Moral Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
2.5
Expected Normal
0.0
-2.5
40
50
60
70
80
90
100
Observed Value
Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa sebaran data variabel sikap terhadap penalaran moral tersebar dekat di sekeliling garis, yang berarti data tersebut bisa dikatakan berdistribusi normal (Santoso, 2000).
60
Sedangkan untuk uji normalitas skala perilaku Bullying dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 4.5 : Hasil uji normalitas skala perilaku bullying Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .129 80 .002
Perilaku_Bullying
Statistic .972
Shapiro-Wilk df 80
Sig. .081
a. Lilliefors Significance Correction
Dari tabel di atas dapat diketahui hasil uji normalitas data pada perilaku bullying diperoleh angka probabilitas sebesar 0.081 dengan menggunakan taraf signifikansi 5 %, maka diketahui bahwa nilai probabilitas 0.081 > 0.05 sehingga dapat di simpulkan bahwa data berdistribusi normal. Gambar 4.2 : Scatterplot skala perilaku bullying
Normal Q-Q Plot of Perilaku_Bullying
2
Expected Normal
0
-2 30
40
50
60
Observed Value
70
80
90
61
Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa sebaran data variabel perilaku bullying tersebar dekat di sekeliling garis, yang berarti data tersebut bisa di katakan berdistribusi normal (Santoso, 2000).
4.2.2. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk menguji bahwa dua atau lebih kelompok dari data sampel berasal dari populasi yang memiliki varian yang sama (Suharsimi, 2006). Kesamaan asal sampel ini antara lain dibuktikan dengan adanya kesamaan variasi-variasi kelompok yang membentuk sampel tersebut. Jika ternyata tidak terdapat perbedaan variasi di antara kelompok dan ini mengandung arti bahwa kelompok-kelompok tersebut homogen, maka dapat di katakan bahwa kelompokkelompok sampel tersebut berasal dari populasi
yang sama. Pengujian
homogenitas sampel sangat penting apabila peneliti bermaksud melakukan generalisasi untuk hasil penelitiannya serta penelitian yang data penelitiannya di ambil dari kelompok-kelompok terpisah yang berasal dari satu populasi (Suharsimi, 2006). Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan rumus One-Way Anova. Adapun hipotesis yang dapat diajukan adalah : Hο
= Varians data bersifat homogen atau identik
H¹
= Varians data bersifat tidak homogen atau tidak identik Ada dua macam cara pengambilan keputusan yang dapat dilakukan, yaitu
menggunakan probabilitas dan membandingkan uji F hitung dengan F tabel. Jika pengambilan keputusan menggunakan probabilitas, maka kesimpulan yang dapat
62
di ambil adalah probabilitas > 0,05, maka Hο diterima. Sedangkan probabilitas < 0,05, maka Hο ditolak. Jika pengambilan keputusan menggunakan perbandingan F hitung dan F tabel, maka kesimpulan yang dapat di ambil adalah F hitung < F tabel, maka Hο diterima. Tetapi, jika F hitung > F tabel, maka Hο ditolak. Berdasarkan hasil uji homogenitas yang dilakukan melalui program SPSS 18.00 diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.6 Test of Homogeneity of Variances Penalaran_Moral Levene Statistic 1.503
df1
df2 3
76
Sig. .220
Tabel 4.7 Test of Homogeneity of Variances Perilaku_Bullying Levene Statistic .775
df1
df2 3
76
Sig. .511
Pengambilan keputusan untuk data penelitian
ini menggunakan
perbandingan probabilitas. Dari tabel uji homogenitas di atas sebagaimana terdapat dalam lampiran kolom Test of Homogenity of Variances pada Levene Statistic, dapat diketahui bahwa skala sikap terhadap Penalaran Moral memiliki nilai signifikansi 0.220 > 0.05 sehingga Hο diterima, artinya varians data bersifat homogen atau populasi-populasi berasal dari varians yang sama. Sedangkan pada skala perilaku bullying memiliki nilai signifikansi 0.511 > 0.05 sehingga Hο diterima dan artinya varians data bersifat homogen.
63
4.3.
Distribusi Penyebaran Skor Responden
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 18.00 diperoleh sebagai berikut : Tabel 4.8 : Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Penalaran_Moral
80
47
91
69.07
10.887
Perilaku_Bullying
80
36
89
60.93
12.655
Valid N (listwise)
80
Dari tabel 4.8 dapat dijelaskan bahwa penalaran moral memiliki nilai minimum 47 dan nilai maksimum 91 dengan mean atau rata-rata 69.07 serta standard deviasi sebesar 10.887. Sedangkan untuk perilaku bullying diperoleh nilai minimum 36 dan nilai maksimum 89 dengan mean atau rata-rata 60.93 serta standard deviasi sebesar 12.655.
4.3.1. Kategorisasi Skor Responden Untuk mengetahui norma penalaran moral, maka penulis membaginya dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui untuk skala penalaran moral dengan mean sebesar 69.07dengan SD sebesar 10.887, maka untuk mengklasifikasikan berdasarkan skor yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut :
64
Kategori Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Tabel 4.9 : Norma Penalaran Moral Klasifikasi Skor Interval/Norma Jumlah Mean + 1 SD ke atas > 79.96 10 Mean ± 1 SD 58.18 - 79.96 59 Mean – 1 SD ke bawah < 58.18 11 80
Persentase 12.8 % 73.1 % 14.1 % 100
Dari tabel di atas diketahui bahwa responden yang memiliki kategori tinggi terhadap penalaran moral berjumlah 10 orang (12.8 %), responden yang memiliki kategori sedang penalaran moral berjumlah 59 orang (73.1 %), dan responden yang memiliki kategori rendah penalaran moral berjumlah 11 orang (14.1 %). Sedangkan, untuk mengetahui norma perilaku bullying maka penulis membaginya dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui untuk skala perilaku bullying dengan mean sebesar 60.93 dengan SD sebesar 12.655, maka untuk mengklasifikasikan berdasarkan skor yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut :
Kategori Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Tabel 4.10 : Norma Perilaku Bullying Klasifikasi Skor Interval/Norma Mean + 1 SD ke atas > 73.58 Mean ± 1 SD 48.27- 73.58 Mean – 1 SD ke bawah < 48.27
Jumlah 15 51 14 80
Persentase 19.1 % 63.3 % 17.6 % 100 %
Dari tabel di atas diketahui bahwa responden yang memiliki kategori tinggi terhadap perilaku bullying berjumlah 15 orang (19.1 %), responden yang memiliki kategori sedang perilaku bullying berjumlah 51 orang (63.3 %), dan responden yang memiliki kategori rendah perilaku bullying berjumlah 14 orang (17.6 %).
65
4.3.2. Kategorisasi Skor Responden Berdasarkan Usia Sesuai dengan keterangan di atas, maka data yang diperoleh berdasarkan sampel yang di ambil adalah sebagai berikut : Tabel 4.11 : Kategori Penalaran Moral Usia 17 tahun 18 tahun 19 tahun 20 tahun Total
Tinggi 0 8 1 1
Sedang 2 42 14 1
Rendah 1 9 0 1
Jumlah 3 59 15 3 80
Persentase 3.75 % 73.75 % 18.75 % 3.75 % 100 %
Berdasarkan data di atas diketahui banyaknya sebaran responden pada skala penalaran moral yang berusia 17 tahun berjumlah 3 orang, yaitu yang memiliki penalaran moral tinggi tidak ada, penalaran moral sedang 2 orang, penalaran moral rendah 1 orang santri. Usia 18 tahun berjumlah 59 orang, yaitu 8 santri memiliki penalaran moral yang tinggi, 42 orang santri memiliki penalaran moral sedang, dan 9 orang santri memiliki penalaran moral rendah. Usia 19 tahun berjumlah 15 orang, yaitu 1 orang memiliki penalaran moral tinggi, 14 orang santri memiliki penalaran moral sedang, dan tidak ada yang memiliki penalaran moral rendah. Usia 20 tahun berjumlah 3 orang, yaitu 1 santri memiliki penalaran moral yang tinggi, 1 orang santri memiliki penalaran moral sedang, dan 1 orang santri memiliki penalaran moral rendah.
66
Tabel 4.12 : Kategori Perilaku Bullying Usia 17 tahun 18 tahun 19 tahun 20 tahun Total
Tinggi 0 13 2 1
Sedang 3 35 11 2
Rendah 0 10 2 1
Total 3 58 15 4 80
Persentase 3.75 % 72.5 % 18.75 % 5% 100 %
Berdasarkan data di atas diketahui banyaknya sebaran responden pada skala perilaku bullying yang berusia 17 tahun berjumlah 3 orang, yaitu yang memiliki perilaku bullying tinggi tidak ada, penalaran moral sedang 3 orang, perilaku bullying rendah tidak ada. Usia 18 tahun berjumlah 58 orang, yaitu 13 santri memiliki perilaku bullying yang tinggi, 35 orang santri memiliki perilaku bullying sedang, dan 10 orang santri memiliki perilaku bullying rendah. Usia 19 tahun berjumlah 15 orang, yaitu 2 orang memiliki perilaku bullying tinggi, 11 orang santri memiliki perilaku bullying sedang, dan 2 orang santri memiliki perilaku bullying rendah. Usia 20 tahun berjumlah 4 orang, yaitu 1 santri memiliki perilaku bullying yang tinggi, 2 orang santri memiliki perilaku bullying sedang, dan 1 orang santri memiliki perilaku bullying rendah.
4.4. Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson,
yaitu dengan mengkorelasikan jumlah skor variabel
penalaran moral dengan perilaku bullying. Rumus korelasi product moment ini digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan antar dua variabel. Lalu peneliti menggunakan analisis uji beda (uji T) untuk melihat
67
perbedaan antara dua kelompok subjek pada masing-masing variabel. Untuk penghitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18.00 for windows. 4.4.1. Uji Hubungan Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying Tabel 4.13 : Hubungan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying Correlations Penalaran_Moral Penalaran_Moral
Pearson Correlation
Perilaku_Bullying 1
Sig. (2-tailed) N Perilaku_Bullying
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-.298** .007
80
80
**
1
-.298
.007 80
80
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan tabel di atas diketahui, bahwa koefisien korelasi antara skala Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying adalah sebesar - 0.298 dengan nilai signifikansi atau probabilitas 0.005 (p < 0.01) maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Artinya bahwa jika penalaran moralnya rendah maka perilaku bullyingnya tinggi. Hal ini menunjukkan ada hubungan yang negatif dan signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying. Dalam hal ini, untuk mengetahui sejauhmana penalaran moral di masa mendatang dapat diprediksi munculnya perilaku bullying, peneliti menggunakan regresi sederhana. Berikut penghitungan regresi sederhana dengan menggunakan SPSS 18.00 for windows.
68
Tabel 4.14 : Regresi Sederhana Model Summary Model 1
R R Square .298a .089
Adjusted R Square .077
Std. Error of the Estimate 12.156
a. Predictors: (Constant), Penalaran_Moral
Hubungan antara variabel penalaran moral (x) dan perilaku bullying (y) mempunyai R = 0,298 atau 29,8%. Dan besar sumbangan pengaruh variabel (x) terhadap (y) sebesar R Square (r2) = 0,089 atau 0,9%. R Square (r2) disebut koefisien determinasi, yang menggambarkan seberapa besar perubahan antar variasi dari variabel dependen yang dalam hal ini berarti 0,9% dari variansi perilaku bullying bisa dijelaskan oleh variabel penalaran moral. Sedangkan sisanya (100% - 0,9% = 99,1%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. r2 berkisar pada angka 0 sampai 1, dengan catatan semakin kecil r2, semakin lemah hubungan kedua variabel.
4.4.2. Uji Beda Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.15 : Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Penalaran_Moral
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.443
Sig. .233
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
.736
78
.464
1.797
2.442
-3.065
6.660
.734
75.752
.465
1.797
2.450
-3.082
6.677
69
Terlihat bahwa t
hitung
untuk penalaran moral dengan equal variances assumed
adalah 0,736, sedangkan t tabel bisa di hitung pada tabel t-test dengan α = 0,05, df = 80 (didapat dari rumus n-2, dimana n adalah jumlah sampel, 80 – 2 = 78) didapat t tabel
2.00 (0,736< 2,00). Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom sig. (2-
tailed) adalah 0.464 atau probabilitas di atas 0,05 (0,464 > 0,05). Dengan demikian Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan penalaran moral antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan. Artinya, penalaran moral antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan adalah sama. Tabel 4.16 : Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Perilaku_Bullying
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Terlihat bahwa t
hitung
.590
Sig. .445
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-.104
78
.917
-.296
2.848
-5.967
5.374
-.104
77.363
.917
-.296
2.851
-5.974
5.381
untuk penalaran moral dengan equal variances assumed
adalah 0,445, sedangkan t tabel bisa di hitung pada tabel t-test dengan α = 0,05, df = 80 (didapat dari rumus n-2, dimana n adalah jumlah sampel, 80 – 2 = 78) didapat t tabel
2.00 (0,445< 2,00). Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom sig. (2-
tailed) adalah 0.917 atau probabilitas di atas 0,05 (0,917 > 0,05). Dengan demikian Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan perilaku bullying antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan. Artinya, perilaku bullying antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan adalah sama.
70
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data dan pengujian hipotesis yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Hal ini ditunjukkan dari hasil perolehan nilai koefisien sebesar -0,298 yang signifikan, baik pada level significancy 0,01 atau pun 0,05. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin rendah penalaran moral maka semakin tinggi perilaku bullying. Selain itu dalam hasil tambahan dalam hasil Regresi sederhana aspek penalaran moral mempunyai pengaruh sebesar 0,9 %, sisanya 99,1% dijelaskan oleh variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini.
5.2. Diskusi Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya hubungan yang negatif signifikan antara penalaran moral terhahadap perilaku bullying berdasarkan pada perhitungan uji hipotesis dari Pearson terhadap skor skala penalaran moral dan perilaku bullying. Terdapat
korelasi yang negative dan signifikan antara
penalaran moral terhahadap perilaku bullying. Ini menjelaskan bahwa semakin tinggi penalaran moral maka semakin rendah perilaku bullying dan begitu juga sebaliknya.
71
Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Kaiser Fondation, Nickelodeon, dan Children Now (2001) hampir ¾ anak pra remaja di Amerika yang di wawancarai mengungkapkan bahwa bullying adalah peristiwa yang biasa terjadi di sekolah ketika mulai memasuki SMU; 86 % anak-anak yang berusia 12-15 tahun mengatakan bahwa mereka di ejek dan di tindas saat di sekolah (Coloroso, 2007). Selanjutnya, Pepler dkk (1991) melakukan studi deskriptif di Toronto Board of Education melakukan penelitian pada 211 siswa, mulai dari SD hingga SMP, juga guru-guru dan para orang tua memperoleh data statistik bahwa 35 % reponden terlibat langsung insiden bullying, 38% siswa pendidikan khusus mengalami bullying di banding presentase siswa lain hanya 18 %, 24 % perilaku bullying terkait dengan ras, selanjutnya 23 % siswa merasa di tindas dan 71 % guru-guru terlibat perilaku bullying (Coloroso, 2007). Dari hasil penelitian tersebut menandakan bahwa jenis keluarga, sekolah dan masyarakat memainkan peranan penting, namun sekolah adalah tempat anakanak mendapat pelajaran dalam pendidikan moral mereka. Pendidkan moral tidak hanya untuk mengajari kebaikan, tetapi juga untuk mengajari tentang hal yang termasuk perbuatan baik dan agar memiliki kekuatan untuk berbuat baik. Sebagaimana penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Miller dan Bersoff (Santrock, 2003) menunjukkan bahwa penalaran moral yang tinggi dapat memberikan prioritas yang utama pada kebutuhan interpersonal dalam situasisituasi konflik moral.
72
Selain itu, kebanyakan penelitian yang menggunakan sistem skoring Kohlberg tidak menemukan adanya perbedaan jenis kelamin (Walker, 1984, 1991a,1991b). Sebagai contoh, dalam suatu penelitian diketahui bahwa 53 dari 80 perempuan dan laki-laki menunjukkan salah satu, baik dari perspektif kepedulian maupun dari perspektif keadilan, namun 27 subyek menggunakan kedua orientasi tersebut tanpa ada yang lebih mendominasi (Gilligan & Attanucci, 1988 dalam Santrock, 2003). Bila sebuah pesantren secara konsisten membahas dan mengangkat nilai hormat menjadi salah satu prinsip yang ditegakkan oleh semua pihak, maka sikap guru terhadap santri, sikap santri dengan santri lain akan santun, penuh dukungan, saling memahami, dan menimbulkan kerjasama yang lebih kuat. Dengan demikian tindakan bullying akan dapat ditekan, karena fokus dan energi
semua pihak
tertuju pada kerjasama dan bagaimana untuk saling mengisidan menguatkan.
5.3. Saran Berdasarkan pengalaman yang dialami dalam melakukan penelitian dan dari hasil penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran untuk menyempurnakan penelitian-penelitian selanjutnya.
5.3.1. Saran Teoritis 1. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencari faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan tipe kepribadian. Hal ini dikarenakan perilaku bullying selain dipengaruhi
73
oleh faktor internal, di pengaruhi pula oleh faktor eksternal atau lingkungan melalui pergaulan teman sebaya dan tipe pengasuhan di rumah. 2. Wilayah pengambilan responden penelitian ini hanya terbatas pada lokasi tertentu, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas wilayah peneltian. Sehingga dapat memperoleh hasil secara representatif dari berbagai tipe maupun wilayah pondok pesantren lainnya. 3.
Ada baiknya untuk penelitian yang sejenis selanjutnya mengambil subjek penelitian dari fase-fase perkembangan yang lain. Hal ini penting supaya dapat diketahui adanya suatu perbedaan di setiap fase perkembangan lainnya.
4. Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar dapat mempertimbangkan dengan cermat untuk meneruskan penelitian ini, mengingat hasil regresi sederhana aspek penalaran moral hanya mempunyai pengaruh sebesar 0,9 %, terhadap perilaku bullying, sisanya 99,1% dijelaskan oleh variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini.
5.3.2. Saran Praktis 1. Untuk remaja/para santri pada umumnya agar terus menjaga dan mempertahankan kepribadian yang menghargai toleransi dan sikap menghargai orang lain serta meningkatkan perilaku tolong menolong, yakni dimulai dari diri pribadi masing-masing, keluarga dan lingkungan.
74
2. Harapan bagi para pengasuh pondok pesantren hendaknya mampu meningkatkan kualitas kepribadian santrinya melalui kegiatan Outbond, training kepemimpinan, atau kegiatan ektrakurikuler yang membangun kerjasama para santri. Mengingat pondok pesantren secara khas lebih dominan mengajarkan para santrinya pelajaran keagamaan, sehingga model pengajaran atau kegiatan-kegiatan pendukung di rasa penting pula. 3. Ada baiknya para orang tua turut ikut mengawasi pola pergaulan anakanaknya dengan memilih sekolah atau pesantren yang tepat, mengenal dengan dekat teman-teman sebayanya, menciptakan suasana keterbukaan di lingkungan rumah, supaya dapat termonitor dengan baik sehingga jika ada suatu hal yang sekiranya anak tersebut terlibat menjadi korban ataupun pelaku bullying maka dengan cepat di tangani.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Asrori, (2009) Psikologi remaja perkembangan peserta didik, Jakarta, Bumi aksara Arikunto, Suharsimi, (2006) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik, edisi revisi vi, Jakarta, PT Asdi Mahasatya Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas, Yogyakarta: Pustaka Belajar Burdiningsih, C A. (2004) Pembelajaran moral. berpijak pada karakteristik siswa dan budayanya. Jakarta: Rineka Cipta Bukhim, M. (2008). Membentuk moral anak melalui PAUD informal. Di akses 15 Desenber 2010. dari http://koranpendidikan.com Coloroso, Barbara. (2007). Stop bullying (memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Dijkstra Jan Kornelis dkk, Beyond the class norm: bullying behavior of popular adolescents and its relation to peer acceptance and rejection, dalam jurnal behavioral science; psychology and child and school psychology, journal of abnormal child psychology, volume 36, number 8, 2008, pages1289-1299 , University of Groningen, The Netherlands Gunarsa, Singgih., (1997), Dasar dan teori perkembangan anak, Jakarta; BPK Gunung Mulia. Gunarsa, Singgih & Ny. Gunarsa D. Y. Singgih (1989). Psikologi remaja. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia. Hurlock. Elizabeth, (1980), Psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan) Ed. 5, Jakarta, Erlangga Haedari, Amin, H. (2007) Transformasi pesantren; pengembangan aspek pendidikan, keagamaan, dan sosial, Jakarta: LekDis & Media Nusantara. Kohlberg, Lawrence, (1995) Tahapan-tahapan perkembangan moral, Kanisius, Yogyakarta Kuncono, (2005) Aplikasi komputer psikologi; diktat kuliah dan panduan praktikum, edisi ke II, Jakarta, Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
76
Lipkins,
Susan. (2008) Menghentikan perploncoan Tangerang: Inspirita Publishing.
di
sekolah/kampus.
Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman Dan Sosial (LeKDiS), (2005), Standar nasional pendidikan (PP RI NO. 19 TAHUN 2005), LeKDiS, Ciputat Mastuki dkk, (2004) Manajemen pondok pesantren, Jakarta, Diva Pustaka Qomar, Mujamil (2005) Pesantren dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi. Jakarta : Erlangga Santrock, W. John. (2002). Life span development (perkembangan masa hidup), jilid I. Jakarta: Erlangga Santrock, W. John. (2003). Adolence perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga. Sarwono, Sarlito,. (2004) Psikologi remaja. Jakarta: PT. Grasindo Persada Santoso, Singgih (2000) Buku latihan spss statistik parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Sevilla, C.G., dkk. (1993). Pengantar metode penelitian. Universitas Indonesia
Jakarta: Penerbit
SEJIWA, (2008), Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta: PT. Grasindo. Sullivan, Keith (2001) The anti bullying handbook, New Zealand, Oxford University Press Sullivan, Keith (2005) Bullying in secondary schools; what it looks like and how to manage it, London, Paul Chapmans Publishing Suparno, Paul. (2001). Teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Suryabrata, S. (2006). Metodologi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada Umar, Husen. (2008). Riset sumber daya manusia dalam organisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Yusuf. Syamsu. (2002). Psikologi perkembangan anak & remaja. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.
77
Internet: http://www.detiknews.com/read/2009/11/06/125625/1236590/10/siswa-sman-82dihajar-senior-gara-gara-lewat--jalur-gaza- /9:19 pm/04-07-2010 http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/23/nas01.htm/ 12:15 pm/04-07-2010 http://www.detiknews.com/read/2009/11/17/095752/1243038/159/ruangeksekusi-di-zona-antikekerasan/08:15 pm/04-07-2010 http://run18.multiply.com/reviews/item/3/11:12 pm/04-07-2010 http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp/11:19 pm/04-07-2010
LAMPIRAN 3 : Reliabilitas dan Validitas skala penalaran moral Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 80
100,0
0
,0
80
100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,923
36
Item Statistics Mean
Std. Deviation
N
VAR00001
3,0500
,52531
80
VAR00002
2,6250
,62389
80
VAR00003
2,9000
,34126
80
VAR00004
2,7250
,61572
80
VAR00005
2,3875
,80338
80
VAR00006
2,9375
,60261
80
VAR00007
2,6875
,70430
80
VAR00008
2,4875
,67494
80
VAR00009
2,5000
,77948
80
VAR00010
2,7125
,67868
80
VAR00011
2,6750
,59054
80
VAR00012
2,6500
,65796
80
VAR00013
3,0875
,69708
80
VAR00014
2,7125
,65976
80
VAR00015
2,6750
,77582
80
VAR00016
2,6750
,63195
80
VAR00017
2,9000
,78917
80
VAR00018
2,5625
,65301
80
VAR00019
3,1625
,60470
80
VAR00020
2,8750
,64386
80
VAR00021
2,9625
,66454
80
VAR00022
2,6000
,72216
80
VAR00023
2,8750
,48718
80
VAR00024
2,6500
,67693
80
VAR00025
2,8250
,63195
80
VAR00026
2,8000
,56029
80
VAR00027
2,9125
,73250
80
VAR00028
2,6375
,71589
80
VAR00029
2,9500
,54888
80
VAR00030
2,8875
,74619
80
VAR00031
2,6250
,62389
80
VAR00032
2,5625
,83959
80
VAR00033
2,7750
,72871
80
VAR00034
2,9000
,66751
80
VAR00035
2,7000
,70081
80
VAR00036
2,9125
,76628
80
Item-Total Statistics Corrected Item-
Cronbach's
Scale Mean if
Scale Variance
Total
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Correlation
Deleted
VAR00001
96,5125
152,481
,316
,922
VAR00002
96,9375
145,021
,762
,918
VAR00003
96,6625
153,695
,360
,922
VAR00004
96,8375
150,163
,418
,921
VAR00005
97,1750
151,260
,251
,924
VAR00006
96,6250
151,073
,366
,922
VAR00007
96,8750
142,769
,808
,917
VAR00008
97,0750
152,399
,240
,923
VAR00009
97,0625
154,794
,075
,926
VAR00010
96,8500
143,471
,795
,917
VAR00011
96,8875
145,696
,758
,918
VAR00012
96,9125
144,157
,776
,917
VAR00013
96,4750
153,873
,144
,925
VAR00014
96,8500
144,458
,754
,917
VAR00015
96,8875
149,721
,344
,923
VAR00016
96,8875
143,848
,832
,917
VAR00017
96,6625
146,783
,494
,921
VAR00018
97,0000
150,152
,392
,922
VAR00019
96,4000
154,547
,129
,924
VAR00020
96,6875
152,850
,226
,923
VAR00021
96,6000
150,370
,371
,922
VAR00022
96,9625
141,606
,857
,916
VAR00023
96,6875
149,635
,586
,920
VAR00024
96,9125
143,245
,812
,917
VAR00025
96,7375
152,171
,275
,923
VAR00026
96,7625
153,981
,184
,924
VAR00027
96,6500
149,749
,367
,922
VAR00028
96,9250
142,121
,833
,916
VAR00029
96,6125
149,886
,496
,921
VAR00030
96,6750
151,969
,235
,924
VAR00031
96,9375
143,983
,834
,917
VAR00032
97,0000
150,962
,252
,924
VAR00033
96,7875
143,815
,716
,918
VAR00034
96,6625
146,201
,633
,919
VAR00035
96,8625
143,715
,753
,917
VAR00036
96,6500
152,661
,191
,924
Scale Statistics Mean 99,5625
Variance 156,857
Std. Deviation 12,52425
N of Items 36
LAMPIRAN 4 : Reliabilitas dan validitas skala Bullying
Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 80
100,0
0
,0
80
100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,908
36
Item Statistics Mean
Std. Deviation
N
VAR00001
1,9000
,43864
80
VAR00002
1,8375
,58339
80
VAR00003
1,6500
,47998
80
VAR00004
2,1000
,88016
80
VAR00005
1,6250
,60326
80
VAR00006
1,8625
,70699
80
VAR00007
1,6625
,59414
80
VAR00008
2,2375
,86043
80
VAR00009
2,1375
,89646
80
VAR00010
2,5500
,70979
80
VAR00011
1,7000
,70081
80
VAR00012
1,9500
1,14627
80
VAR00013
2,1750
,65168
80
VAR00014
2,0625
,76875
80
VAR00015
2,5750
,70755
80
VAR00016
1,8625
,38133
80
VAR00017
1,9125
,57794
80
VAR00018
2,0250
,74587
80
VAR00019
1,7000
,68251
80
VAR00020
2,0250
,63595
80
VAR00021
1,7375
,49667
80
VAR00022
2,1750
,68943
80
VAR00023
1,9500
,67317
80
VAR00024
2,1750
,72522
80
VAR00025
2,0750
,68943
80
VAR00026
1,8000
,58244
80
VAR00027
1,9375
,48636
80
VAR00028
1,9625
,53825
80
VAR00029
1,9250
,56870
80
VAR00030
2,3000
,64435
80
VAR00031
1,8625
,74194
80
VAR00032
2,1625
,77040
80
VAR00033
2,3625
,90349
80
VAR00034
2,1625
,86337
80
VAR00035
2,3750
,78555
80
VAR00036
2,3500
,87294
80
Item-Total Statistics Corrected Item-
Cronbach's
Scale Mean if
Scale Variance
Total
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Correlation
Deleted
VAR00001
70,9625
146,163
,563
,905
VAR00002
71,0250
144,253
,552
,904
VAR00003
71,2125
147,790
,369
,906
VAR00004
70,7625
138,892
,610
,903
VAR00005
71,2375
142,082
,687
,902
VAR00006
71,0000
147,570
,248
,908
VAR00007
71,2000
149,428
,175
,909
VAR00008
70,6250
143,250
,405
,906
VAR00009
70,7250
138,328
,626
,902
VAR00010
70,3125
143,711
,476
,905
VAR00011
71,1625
140,113
,706
,902
VAR00012
70,9125
135,499
,581
,903
VAR00013
70,6875
146,167
,364
,906
VAR00014
70,8000
140,795
,599
,903
VAR00015
70,2875
149,271
,148
,909
VAR00016
71,0000
147,443
,511
,905
VAR00017
70,9500
146,403
,399
,906
VAR00018
70,8375
146,062
,316
,907
VAR00019
71,1625
144,340
,458
,905
VAR00020
70,8375
146,796
,332
,907
VAR00021
71,1250
145,604
,540
,905
VAR00022
70,6875
146,395
,327
,907
VAR00023
70,9125
144,410
,461
,905
VAR00024
70,6875
141,104
,621
,903
VAR00025
70,7875
143,030
,535
,904
VAR00026
71,0625
148,135
,271
,907
VAR00027
70,9250
152,728
-,053
,910
VAR00028
70,9000
146,648
,413
,906
VAR00029
70,9375
145,072
,506
,905
VAR00030
70,5625
147,869
,258
,908
VAR00031
71,0000
141,013
,611
,903
VAR00032
70,7000
139,757
,657
,902
VAR00033
70,5000
149,975
,069
,912
VAR00034
70,7000
138,922
,622
,902
VAR00035
70,4875
143,671
,427
,906
VAR00036
70,5125
138,177
,652
,902
Scale Statistics Mean 72,8625
Variance 152,323
Std. Deviation 12,34191
N of Items 36
LAMPIRAN 8 : Frekuensi Statistics
N
Valid Missing
penalaran_ moral 80 0
perilaku_ bullying 80 0
gender 80 0
penalaran_moral
Valid
47 49 51 52 53 54 58 59 60 61 62 63 64 65 70 71 72 73 74 75 77 78 79 80 85 86 87 88 89 90 91 Total
Frequency 1 3 1 1 1 3 1 2 3 3 5 5 6 3 1 2 4 2 8 2 6 4 3 1 1 1 2 1 2 1 1 80
Percent 1.3 3.8 1.3 1.3 1.3 3.8 1.3 2.5 3.8 3.8 6.3 6.3 7.5 3.8 1.3 2.5 5.0 2.5 10.0 2.5 7.5 5.0 3.8 1.3 1.3 1.3 2.5 1.3 2.5 1.3 1.3 100.0
Valid Percent 1.3 3.8 1.3 1.3 1.3 3.8 1.3 2.5 3.8 3.8 6.3 6.3 7.5 3.8 1.3 2.5 5.0 2.5 10.0 2.5 7.5 5.0 3.8 1.3 1.3 1.3 2.5 1.3 2.5 1.3 1.3 100.0
Cumulative Percent 1.3 5.0 6.3 7.5 8.8 12.5 13.8 16.3 20.0 23.8 30.0 36.3 43.8 47.5 48.8 51.3 56.3 58.8 68.8 71.3 78.8 83.8 87.5 88.8 90.0 91.3 93.8 95.0 97.5 98.8 100.0
perilaku_bullying
Valid
36 41 42 44 46 47 50 51 52 56 57 58 59 60 62 64 66 67 68 71 72 73 74 76 77 79 80 82 83 84 85 86 89 Total
Frequency 3 1 4 2 2 2 1 3 2 5 3 4 9 7 2 5 2 2 1 1 3 1 2 2 1 1 3 1 1 1 1 1 1 80
Percent 3.8 1.3 5.0 2.5 2.5 2.5 1.3 3.8 2.5 6.3 3.8 5.0 11.3 8.8 2.5 6.3 2.5 2.5 1.3 1.3 3.8 1.3 2.5 2.5 1.3 1.3 3.8 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 100.0
Valid Percent 3.8 1.3 5.0 2.5 2.5 2.5 1.3 3.8 2.5 6.3 3.8 5.0 11.3 8.8 2.5 6.3 2.5 2.5 1.3 1.3 3.8 1.3 2.5 2.5 1.3 1.3 3.8 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 100.0
Cumulative Percent 3.8 5.0 10.0 12.5 15.0 17.5 18.8 22.5 25.0 31.3 35.0 40.0 51.3 60.0 62.5 68.8 71.3 73.8 75.0 76.3 80.0 81.3 83.8 86.3 87.5 88.8 92.5 93.8 95.0 96.3 97.5 98.8 100.0
gender
Valid
Frequency 41
Percent 51.3
Valid Percent 51.3
Cumulative Percent 51.3
perempuan
39
48.8
48.8
100.0
Total
80
100.0
100.0
laki-laki
LAMPIRAN 9 : Normalitas
Explore [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Case Processing Summary Cases Missing N Percent 0 .0%
Valid N Penalaran_Mora
80
Percent 100.0%
Total N 80
Percent 100.0%
Descriptives Penalaran_Mora Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic 69.08 66.65
Std. Error 1.217
71.50 69.07 71.00 118.526 10.887 47 91 44 15 .030 -.638
.269 .532
Tests of Normality a
Penalaran_Moral
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .121 80 .006
a. Lilliefors Significance Correction
Statistic .969
Shapiro-Wilk df 80
Sig. .051
Penalaran_Moral
Histogram
12.5
Frequency
10.0
7.5
5.0
2.5
Mean =69.08 Std. Dev. =10.887 N =80
0.0 50
60
70
80
90
Penalaran_Moral
Penalaran_Moral Stem-and-Leaf Plot Frequency 4.00 9.00 25.00 32.00 8.00 2.00 Stem width: Each leaf:
Stem & 4 5 6 7 8 9
. . . . . .
Leaf 7999 123444899 0001112222233333444444555 01122223344444444557777778888999 05677899 01
10 1 case(s)
Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
Expected Normal 2.5
0.0
-2.5
40
50
60
70
80
90
100
Observed Value
Detrended Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
0.3
0.2
Dev from Normal 0.1
0.0
-0.1
-0.2
-0.3
40
50
60
70
Observed Value
80
90
100
100
90
80
70
60
50
40
Penalaran_Moral
Explore [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav Case Processing Summary
Valid N Perilaku_Bullying
80
Percent 100.0%
N
Cases Missing Percent 0 .0%
Total N 80
Percent 100.0%
Descriptives Perilaku_Bullying Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic 60.93 58.11
Std. Error 1.415
63.74 60.85 59.00 160.146 12.655 36 89 53 17 .152 -.408
.269 .532
Tests of Normality a
Perilaku_Bullying
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .129 80 .002
a. Lilliefors Significance Correction
Perilaku_Bullying
Statistic .972
Shapiro-Wilk df 80
Sig. .081
Histogram
25
Frequency
20
15
10
5
Mean =60.92 Std. Dev. =12.655 N =80
0 40
50
60
70
80
90
Perilaku_Bullying
Perilaku_Bullying Stem-and-Leaf Plot Frequency 3.00 11.00 27.00 19.00 12.00 8.00 Stem width: Each leaf:
Stem & 3 4 5 6 7 8
. . . . . .
Leaf 666 12222446677 011122666667778888999999999 0000000224444466778 122234466799 00234569
10 1 case(s)
Normal Q- Q Plot of Perilaku_Bullying
Expected Normal
2
0
-2 30
40
50
60
70
80
90
Observed Value
Detrended Normal Q- Q Plot of Perilaku_Bullying
Dev from Normal
0.25
0.00
- 0.25
30
40
50
60
Observed Value
70
80
90
90
80
70
60
50
40
30
Perilaku_Bullying
LAMPIRAN 11 : Korelasi
Correlations [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Correlations Penalaran_ Moral Penalaran_Moral
Perilaku_Bullying
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 80 -.298** .007 80
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Perilaku_ Bullying -.298** .007 80 1 80
LAMPIRAN 10 : Homogenitas
Oneway [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Test of Homogeneity of Variances Penalaran_Moral Levene Statistic 1.503
df1
df2 3
Sig. .220
76
ANOVA Penalaran_Moral
Between Groups Within Groups Total
Post Hoc Tests
Sum of Squares 186.547 9177.003 9363.550
df 3 76 79
Mean Square 62.182 120.750
F .515
Sig. .673
Multiple Comparisons Dependent Variable: Penalaran_Moral
(I) Usia Tukey HSD 17
18
19
20
Bonferroni
17
18
19
20
(J) Usia 18 19 20 17 19 20 17 18 20 17 18 19 18 19 20 17 19 20 17 18 20 17 18 19
Homogeneous Subsets
Mean Difference (I-J) -5.178 -7.800 -3.833 5.178 -2.622 1.345 7.800 2.622 3.967 3.833 -1.345 -3.967 -5.178 -7.800 -3.833 5.178 -2.622 1.345 7.800 2.622 3.967 3.833 -1.345 -3.967
Std. Error 6.506 6.950 8.393 6.506 3.183 5.681 6.950 3.183 6.184 8.393 5.681 6.184 6.506 6.950 8.393 6.506 3.183 5.681 6.950 3.183 6.184 8.393 5.681 6.184
Sig. .856 .677 .968 .856 .843 .995 .677 .843 .918 .968 .995 .918 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -22.27 11.91 -26.06 10.46 -25.88 18.21 -11.91 22.27 -10.98 5.74 -13.58 16.27 -10.46 26.06 -5.74 10.98 -12.28 20.21 -18.21 25.88 -16.27 13.58 -20.21 12.28 -22.80 12.45 -26.63 11.03 -26.57 18.90 -12.45 22.80 -11.24 6.00 -14.04 16.73 -11.03 26.63 -6.00 11.24 -12.79 20.72 -18.90 26.57 -16.73 14.04 -20.72 12.79
Penalaran_Moral
Usia Tukey HSDa,b 17 20 18 19 Sig.
N 3 4 58 15
Subset for alpha = . 05 1 63.67 67.50 68.84 71.47 .611
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.995. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Oneway [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Test of Homogeneity of Variances Perilaku_Bullying Levene Statistic .775
df1
df2 3
Sig. .511
76
ANOVA Perilaku_Bullying Sum of Squares Between Groups 101.269 Within Groups 12550.28 Total 12651.55
Post Hoc Tests
df 3 76 79
Mean Square 33.756 165.135
F .204
Sig. .893
Multiple Comparisons Dependent Variable: Perilaku_Bullying
(I) Usia Tukey HSD 17
18
19
20
Bonferroni
17
18
19
20
(J) Usia 18 19 20 17 19 20 17 18 20 17 18 19 18 19 20 17 19 20 17 18 20 17 18 19
Homogeneous Subsets
Mean Difference (I-J) -2.632 -3.933 1.083 2.632 -1.301 3.716 3.933 1.301 5.017 -1.083 -3.716 -5.017 -2.632 -3.933 1.083 2.632 -1.301 3.716 3.933 1.301 5.017 -1.083 -3.716 -5.017
Std. Error 7.609 8.127 9.815 7.609 3.722 6.643 8.127 3.722 7.231 9.815 6.643 7.231 7.609 8.127 9.815 7.609 3.722 6.643 8.127 3.722 7.231 9.815 6.643 7.231
Sig. .986 .962 1.000 .986 .985 .944 .962 .985 .899 1.000 .944 .899 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -22.62 17.35 -25.28 17.42 -24.70 26.86 -17.35 22.62 -11.08 8.48 -13.73 21.17 -17.42 25.28 -8.48 11.08 -13.98 24.01 -26.86 24.70 -21.17 13.73 -24.01 13.98 -23.24 17.98 -25.95 18.08 -25.51 27.67 -17.98 23.24 -11.39 8.78 -14.28 21.71 -18.08 25.95 -8.78 11.39 -14.57 24.61 -27.67 25.51 -21.71 14.28 -24.61 14.57
Perilaku_Bullying
Usia Tukey HSDa,b 20 17 18 19 Sig.
N 4 3 58 15
Subset for alpha = . 05 1 57.25 58.33 60.97 62.27 .906
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.995. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
LAMPIRAN 12 : Regresi
Regression [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav b Variables Entered/Removed
Model 1
Variables Variables Entered Removed Penalaran_ a . Moral
Method Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Perilaku_Bullying
Model Summary Model 1
R R Square .298a .089
Adjusted R Square .077
Std. Error of the Estimate 12.156
a. Predictors: (Constant), Penalaran_Moral
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1125.651 11525.90 12651.55
df 1 78 79
Mean Square 1125.651 147.768
F 7.618
Sig. .007a
a. Predictors: (Constant), Penalaran_Moral b. Dependent Variable: Perilaku_Bullying
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Penalaran_Mora
Unstandardized Coefficients B Std. Error 84.875 8.783 -.347 .126
a. Dependent Variable: Perilaku_Bullying
Standardized Coefficients Beta -.298
t 9.663 -2.760
Sig. .000 .007
LAMPIRAN 13 : Uji beda
T-Test [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Group Statistics Gender Penalaran_Mora Laki-laki Perempuan
N
Mean 69.95 68.15
41 39
Std. Deviation 10.247 11.584
Std. Error Mean 1.600 1.855
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Penalaran_Mora Equal variances assume Equal variances not assumed
F 1.443
Sig. .233
t-test for Equality of Means
.736
78
Sig. (2-tailed) .464
Mean Difference 1.797
.734
75.752
.465
1.797
t
df
Std. Error Difference 2.442 2.450
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -3.065 6.660 -3.082
6.677
T-Test [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Group Statistics Gender Perilaku_Bullying Laki-laki Perempuan
N 41 39
Mean 60.78 61.08
Std. Deviation 12.483 12.995
Std. Error Mean 1.950 2.081
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Perilaku_Bullying Equal variances assumed Equal variances not assumed
F .590
Sig. .445
t-test for Equality of Means
t -.104 -.104
78
Sig. (2-tailed) .917
Mean Difference -.296
77.363
.917
-.296
df
Std. Error Difference 2.848 2.851
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -5.967 5.374 -5.974
5.381
LAMPIRAN 14 : SKALA TRY OUT PENELITIAN
PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb Responden yang terhormat, Saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melaksanakan tugas skripsi mengenai remaja. Dalam rangka mengumpulkan data, Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner ini. Data ini sangat tergantung jawaban Anda yang sejujurnya dan sesuai dengan diri Anda. Bantuan Anda sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan. Atas segala bantuan dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih. Hormat saya,
Peneliti
IDENTITAS RESPONDEN Nama (inisial)
: .....................
Usia
: .....................
Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jakarta,
(
Agustus 2010
)
Data Diri Responden 1. Usia : ....... 2. Jenis Kelamin :L/P 3. Suku : ........ 4. Tingkat Pendidikan: ......... 5. Masa Kerja : .......
Berikut ini terdapat sejumlah pernyatan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan tersebut. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda silang (X) dalam kotak di depan salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu
SS
= Sangat Sesuai
S
= Sesuai
TS
= Tidak Sesuai
STS
= Sangat Tidak Sesuai
Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang di anggap salah, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh : No
Pernyataan
1
Saya merasakan ketenangan setelah selesai shalat
STS
TS
***SELAMAT MENGERJAKAN***
S X
SS
Skala Try Out Perilaku Bullying No
Pernyataan SS
1 2 3 4 5 6 7
8
Saya akan mendorong adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar ia tidak mendekati saya. Saya menendang adik kelas/teman karena kesal kepadanya Saya akan memukul adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar tidak mengganggu saya dan kelompok geng saya Saya merasa berani untuk menampar orang yang tidak saya sukai, ketika bersama teman-teman saya. Saya merasa sangat puas jika bisa memukul/menendang musuh/teman yang tidak saya sukai di depan teman-teman saya. Saya akan mengambil/merusak secara diam-diam barang milik teman saya yang mempunyai sifat pelit Saya meminta dengan paksa ketika adik kelas/teman yang terlihat lemah, baru saja mendapat uang kiriman/oleh-oleh dari keluarganya. Bagi saya, mengganggu adik kelas/ teman yang lebih lemah sama saja sebagai pengecut.
9
Bagi saya, tindakan memukul/menendang, dan menampar teman adalah tindakan diluar batas.
10
Mengancam orang yang tidak saya sukai dengan hal-hal yang membuatnya merasa takut, merupakan hal yang diluar batas. Meski tidak mempunyai uang, saya tidak akan memaksa meminta uang kepada adik kelas/teman. Bagi saya merusak/atau memeras barang milik orang lain merupakan tindakan kriminal Saya memanggil nama teman/adik kelas saya dengan nama yang jelek Saya mengejek teman-teman lain dengan ejekan yang menyangkut bentuk tubuh, seperti sebutan ‘gendut/cungkring’.
11 12 13 14
15 16 17 18
Saya tidak segan-segan untuk memaki teman/adik kelas jika perilakunya sangat menyebalkan Saya langsung membentak jika adik kelas/teman ada yang menertawakan kesalahan saya Saya menggertak adik kelas/teman yang tidak saya sukai jika memandang ke arah saya Jika teman-teman mengolok-olok adik kelas/teman, saya ikut bergabung karena menyenangkan
19
Saya selalu memanggil nama teman saya dengan nama aslinya.
20
Saya mengabaikan untuk ikut bersorak ketika adik kelas/teman sedang di olok-olok/berkelahi dengan teman
21
Bagi saya, sangat tidak penting mengejek teman yang tidak kita sukai dengan kekurangan atau kelebihan dari bentuk badannya
Pertimbangan S TS STS
(seperti sebutan: gendut/cungkring). 22
Jika ada teman yang menjadi bahan ejekan, maka saya akan mencoba untuk merangkulnya
23
Jika ada teman yang mengejek, maka saya cukup membalasnya dengan senyuman tipis.
24
Saya bersikap biasa kepada orang yang saya benci
25
Saya akan membuat gerakan ejekan sambil berkata ‘bencong’ pada teman yang tidak saya sukai. Saya akan membuat bentuk muka yang sangat mengejek, sehingga teman yang tidak saya sukai menunduk dan pergi.
26
27
Saya mengabaikan teman yang saya anggap tidak penting/tidak untuk menjadi teman saya
28
Tanpa memperdulikan perasaan sahabat/teman sekamar saya, saya akan memilih teman baru yang menguntungkan bagi saya.
29
Saya akan mempengaruhi teman dari musuh saya untuk membuat persahabat mereka retak.
30
Saya akan memandang dengan sinis, jika teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
31
Saya akan mencoba ramah pada orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun.
32
Jika teman yang tidak saya sukai datang menghampiri saya, maka saya akan memberikan senyuman manis padanya.
33
Suatu hal yang tidak pantas bagi saya untuk merusak persahabatan orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun
34
Saya rasa teman yang aneh (bencong) itu bukan untuk dikucilkan, tapi ditemani dan diarahkan
35
Menurut saya, rasa setia kawan antar teman tidak perlu jika hal tersebut hanya akan menyakiti orang lain Saya akan memandang dengan ramah, teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
36
Skala Try Out Penalaran Moral No
Pernyataan SS
1 2 3 4 5
Saya patuh pada peraturan Pondok Pesantren karena takut mendapat hukuman Saya tidak menyukai segala bentuk hukuman yang diberikan oleh ustadz/pengurus pondok Saya sangat takut untuk kabur dari pesantren karena hukuman yang di terapkan oleh pihak pondok pesantren sangat keras Saya mengabaikan peraturan yang di terapkan oleh pengurus pondok pesantren Bagi saya melanggar peraturan merupakan tantangan tersendiri yang sangat menyenangkan di lingkungan pesantren
6
Saya kabur dari asrama tanpa memperdulikan hukuman yang diterapkan jika saya ketahuan oleh pengurus pondok
7
Saat ustadz favorit saya sedang mengajar, saya selalu berusaha aktif di dalam kelas supaya dapat menarik perhatiannya dan dapat nilai bagus Saya lebih memilih mendekati teman yang popular/berprestasi di pesantren, supaya saya bisa ikut di kenal/mudah mengerjakan tugas. Saya sangat menginginkan menjadi pengurus OSIS supaya bisa mendapat kesempatan beasiswa/populer di lingkungan pesantren
8
9
10 11
Saat pelajaran berlangsung, saya lebih memilih diam karena takut di tunjuk oleh ustadz untuk mengerjakan soal di depan santri lain Bagi saya, menjadi pengurus OSIS merupakan hal yang tidak penting karena hanya membuang-buang waktu saja.
12
Saya selalu merasa malu jika prestasi saya mendapat pujian/sanjungan dari teman-teman dan para ustadz
13
Ketika saya melakukan kesalahan pada santri lain, saya tidak sungkan terlebih dulu untuk meminta maaf Saya sangat senang membuat teman saya merasa bahagia walau kadang saya sedang merasa sedih
14
15 16
Jika ada berita tidak baik tentang teman saya, sebisa mungkin saya menyimpannya sendiri Saya merasa gengsi jika saya yang terlebih dahulu untuk meminta maaf kepada santri lain
17
Bagi saya, menceritakan gosip terbaru mengenai santri lain merupakan suatu hal yang menyenangkan di waktu luang
18
Ketika saya sedang sedih, saya merasa cuek dengan permasalahan teman-teman saya
19
Peraturan Pondok Pesantren merupakan hal yang penting
Pertimbangan S TS STS
sebagai acuan dalam kenyamanan belajar mengajar 20
Bagi saya, mengerjakan piket kelas atau asrama suatu hal yang menyenangkan karena telah menjalankan peratuan yang ada
21
Saya akan menolak ajakan teman untuk menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi Kadang-kadang saya ingin melanggar peraturan sekolah yang menyebalkan Bagi saya, mengerjakan piket kelas/asrama merupakan aktifitas paling menyebalkan Saya suka mencuri waktu ketika sedang istirahat untuk dapat menghisap rokok Sebisa mungkin saya menghindari pertengkaran dengan santri lain di pesantren Saya berusaha untuk menepati janji kepada siapapun, walaupun saya sering di ingkari
22 23 24 25 26
27
Saya ikut mengantri saat mengambil makan di asrama, walaupun banyak yang menyerobot antrian
28
Saya sering terlibat pertengakaran dengan santri lain, hal itu merupakan hal yang biasa terjadi pesantren Saya merupakan orang yang susah untuk menepati janji karena banyaknya kesibukan saya
29
30
Jika saya terburu-buru, saya suka menyerobot antrian makan
31
Jika saya kehabisan bekal, saya mengambil barang milik teman saya
32 33
Ketika saya tidak mendapat izin untuk pulang menjenguk orang tua saya yang sakit, Saya takut untuk nekat kabur dari pesantren Saya semangat untuk masuk kelas, walau sedang malas/sakit.
34
Jika saya kehabisan bekal, maka saya puasa
35
Jika saya tidak di beri izin untuk pulang secara mendadak karena orang tua saya sakit, saya akan nekat untuk kabur dari pesantren Ketika saya merasa malas masuk kelas, saya pura-pura sakit
36
LAMPIRAN 15 : SKALA PENELITIAN
PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb Responden yang terhormat, Saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melaksanakan tugas skripsi mengenai remaja. Dalam rangka mengumpulkan data, Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner ini. Data ini sangat tergantung jawaban Anda yang sejujurnya dan sesuai dengan diri Anda. Bantuan Anda sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan. Atas segala bantuan dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih. Hormat saya,
Peneliti
IDENTITAS RESPONDEN Nama (inisial)
: .....................
Usia
: .....................
Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jakarta,
(
September 2010
)
Data Diri Responden 1. Usia : ....... 2. Jenis Kelamin :L/P 3. Suku : ........ 4. Tingkat Pendidikan: ......... 5. Masa Kerja : .......
Berikut ini terdapat sejumlah pernyatan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan tersebut. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda silang (X) dalam kotak di depan salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu
SS
= Sangat Sesuai
S
= Sesuai
TS
= Tidak Sesuai
STS
= Sangat Tidak Sesuai
Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang di anggap salah, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh : No
Pernyataan
1
Saya merasakan ketenangan setelah selesai shalat
STS
TS
***SELAMAT MENGERJAKAN***
S X
SS
Skala Perilaku Bullying No
Pernyataan SS
1 2 3 4 5 6
Saya akan mendorong adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar ia tidak mendekati saya. Saya menendang adik kelas/teman karena kesal kepadanya Saya akan memukul adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar tidak mengganggu saya dan kelompok geng saya Saya merasa berani untuk menampar orang yang tidak saya sukai, ketika bersama teman-teman saya. Saya merasa sangat puas jika bisa memukul/menendang musuh/teman yang tidak saya sukai di depan teman-teman saya. Bagi saya, mengganggu adik kelas/ teman yang lebih lemah sama saja sebagai pengecut.
7
Bagi saya, tindakan memukul/menendang, dan menampar teman adalah tindakan diluar batas.
8
Mengancam orang yang tidak saya sukai dengan hal-hal yang membuatnya merasa takut, merupakan hal yang diluar batas. Meski tidak mempunyai uang, saya tidak akan memaksa meminta uang kepada adik kelas/teman. Bagi saya merusak/atau memeras barang milik orang lain merupakan tindakan kriminal Saya memanggil nama teman/adik kelas saya dengan nama yang jelek Saya mengejek teman-teman lain dengan ejekan yang menyangkut bentuk tubuh, seperti sebutan ‘gendut/cungkring’.
9 10 11 12
13 14 15
Saya langsung membentak jika adik kelas/teman ada yang menertawakan kesalahan saya Saya menggertak adik kelas/teman yang tidak saya sukai jika memandang ke arah saya Jika teman-teman mengolok-olok adik kelas/teman, saya ikut bergabung karena menyenangkan
16
Saya selalu memanggil nama teman saya dengan nama aslinya.
17
Saya mengabaikan untuk ikut bersorak ketika adik kelas/teman sedang di olok-olok/berkelahi dengan teman
18
Bagi saya, sangat tidak penting mengejek teman yang tidak kita sukai dengan kekurangan atau kelebihan dari bentuk badannya (seperti sebutan: gendut/cungkring).
19
Jika ada teman yang menjadi bahan ejekan, maka saya akan mencoba untuk merangkulnya
20
Jika ada teman yang mengejek, maka saya cukup membalasnya dengan senyuman tipis.
Pertimbangan S TS STS
21
Saya bersikap biasa kepada orang yang saya benci
22
Saya akan membuat gerakan ejekan sambil berkata ‘bencong’ pada teman yang tidak saya sukai. Tanpa memperdulikan perasaan sahabat/teman sekamar saya, saya akan memilih teman baru yang menguntungkan bagi saya.
23
24
Saya akan mempengaruhi teman dari musuh saya untuk membuat persahabat mereka retak.
25
Saya akan mencoba ramah pada orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun.
26
Jika teman yang tidak saya sukai datang menghampiri saya, maka saya akan memberikan senyuman manis padanya.
27
Saya rasa teman yang aneh (bencong) itu bukan untuk dikucilkan, tapi ditemani dan diarahkan
28
Menurut saya, rasa setia kawan antar teman tidak perlu jika hal tersebut hanya akan menyakiti orang lain Saya akan memandang dengan ramah, teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
29
Skala Penalaran Moral No
Pernyataan SS
1 2 3 4 5
6
7 8
Saya patuh pada peraturan Pondok Pesantren karena takut mendapat hukuman Saya tidak menyukai segala bentuk hukuman yang diberikan oleh ustadz/pengurus pondok Saya sangat takut untuk kabur dari pesantren karena hukuman yang di terapkan oleh pihak pondok pesantren sangat keras Saya mengabaikan peraturan yang di terapkan oleh pengurus pondok pesantren Saya kabur dari asrama tanpa memperdulikan hukuman yang diterapkan jika saya ketahuan oleh pengurus pondok Saat ustadz favorit saya sedang mengajar, saya selalu berusaha aktif di dalam kelas supaya dapat menarik perhatiannya dan dapat nilai bagus Saat pelajaran berlangsung, saya lebih memilih diam karena takut di tunjuk oleh ustadz untuk mengerjakan soal di depan santri lain Bagi saya, menjadi pengurus OSIS merupakan hal yang tidak penting karena hanya membuang-buang waktu saja.
9
Saya selalu merasa malu jika prestasi saya mendapat pujian/sanjungan dari teman-teman dan para ustadz
10
Saya sangat senang membuat teman saya merasa bahagia walau kadang saya sedang merasa sedih
11
Jika ada berita tidak baik tentang teman saya, sebisa mungkin saya menyimpannya sendiri Saya merasa gengsi jika saya yang terlebih dahulu untuk meminta maaf kepada santri lain
12
13
Bagi saya, menceritakan gosip terbaru mengenai santri lain merupakan suatu hal yang menyenangkan di waktu luang
14
Ketika saya sedang sedih, saya merasa cuek dengan permasalahan teman-teman saya
15
Saya akan menolak ajakan teman untuk menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi Kadang-kadang saya ingin melanggar peraturan sekolah yang menyebalkan Bagi saya, mengerjakan piket kelas/asrama merupakan aktifitas paling menyebalkan Saya suka mencuri waktu ketika sedang istirahat untuk dapat menghisap rokok Saya ikut mengantri saat mengambil makan di asrama, walaupun banyak yang menyerobot antrian
16 17 18 19
20
Saya sering terlibat pertengakaran dengan santri lain, hal itu
Pertimbangan S TS STS
21
merupakan hal yang biasa terjadi pesantren Saya merupakan orang yang susah untuk menepati janji karena banyaknya kesibukan saya
22
Jika saya kehabisan bekal, saya mengambil barang milik teman saya
23
Saya semangat untuk masuk kelas, walau sedang malas/sakit.
24
Jika saya kehabisan bekal, maka saya puasa
25
Jika saya tidak di beri izin untuk pulang secara mendadak karena orang tua saya sakit, saya akan nekat untuk kabur dari pesantren