HUBUNGAN ANTARA KOMPOSISI JENIS KELAMIN MAJELIS HAKIM DENGAN PUTUSAN KUASA HAK ASUH ANAK Petra Audrey Gretchen A. Y. Sitompul Komplek Srondol Bumi Indah, Semarang.
[email protected] Pembimbing : Reza Indragiri Amriel M. Crim (For Psych)
Abstrak Perceraian merupakan efek yang panjang bagi anak. Ketika hakim memberikan kuasa hak asuh anak, hakim harus memastikan bahwa anak bahwa efek tersebut dapat dilalui dengan baik oleh anak. Salah satunya adalah dengan memastikan bahwa anak berada dibawah pengasuhan yang tepat. Pengaruh jenis kelamin rupanya membawa pengaruh pada hakim dalam memberikan kuasa hak asuh anak, diluar negeri ada beberapa perbedaan yang melatar belakangi hakim dalam memberikan putusan kuasa hak asuh anak seperti pendidikan dan pola asuh yang didapat. Namun di Indonesia, perbedaan tersebut tidak nampak karena mayoritas putusan hak asuh anak diberikan pada pihak Ibu. Sole custody adalah mayoritas jenis hak asuh anak yang ada di Indonesia. Untuk melakukan penelitian ini, digunakan Archival Study. Kata Kunci : Sole Custody, Perbedaan jenis kelamin, Perceraian. Abstrac Divorce is a long effect for children. When the judge authorizes child custody, the judge must ensure that the child that these effects can be passed to either the child. One way is to ensure that the child is under proper care. The influence of sex apparently had an impact on the judge authorizes child custody, overseas there are some differences in the background of judges giving child custody ruling power, such as education and parenting is obtained. But in Indonesia, the difference is not seen as the majority decision of child custody given to the mother. Sole custody is the majority of the types of child custody in Indonesia. To conduct this research, used Archival Study. Keyword : Sole Custody, Different Gender, Divorce
Pendahuluan Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang timbul dalam diri anak bahwa kelak dia pun ingin memiliki keluarga yang harmonis seperti yang ia miliki saat ini. Menikah sendiri merupakan hal yang untuk sebagian orang merupakan sesuatu hal yang harus atau wajib dilakukan, bahkan ada beberapa organisasi atau bahkan keluarga yang menjadikan sebuah pernikahaan merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi untuk memenuhi standar suatu organisasi atau keluarga tersebut. Berdasarkan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan pernikahan, suatu keluarga baru dikatakan sebagai keluarga yang lengkap apabila memiliki seorang atau beberapa orang keturunan yang dapat membawa kelangsungan adat (marga, fam, atau nama keluarga). Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, keluarga sendiri adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Dalam suatu keluarga tugas orang tua dalam adalah memastikan semua kebutuhan anak baik dalam segi pangan, sandang, pendidikan, dan lain-lain. Keluarga inti memiliki fungsi sebagai berikut : a. Keluarga menjamin keselamatan dan keamanan anak b. Keluarga menjamin kesejahteraan anak c. Keluarga memberikan fasilitas yang bertujuan untuk menunjang kesuksesan anak baik secara fisik maupun mental, dan secara akademis. Permasalahan dapat terjadi dalam kehidupan perkawinan yang berujung dengan perceraian. Anak adalah individu pertama yang mengalami guncangan secara psikologis ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai dan biasanya anak-anak remaja lebih mengalami kesulitan untuk menerima perceraian orang tua mereka. Menurut penelitian Maier & Lachman (dalam Sukirno & Hadjam, 2010) menunjukan bahwa seorang remaja yang memiliki orang tua bercerai, memiliki penerimaan diri yang rendah dibandingkan pada remaja yang memiliki orang tua yang utuh. Pada remaja, umumnya mereka lebih sulit menerima kenyataan perceraian orang tua karena sering kali perceraian diwarnai dengan konflik, baik itu selama proses perceraian maupun setelah perceraian (Laumann-Billings & Emery 2000). Perbedaan yang besar antar pasangan dapat membuat konflik yang lebih sulit untuk diselesaikan sehingga cenderung untuk membuat pasangan tidak bahagia dalam pernikahan (Chan, 1990). Kepuasan dan stabilitas dalam suatu hubungan tergantung pada tingkat komitmen yang dimiliki oleh pasangan (Rusbult, 1983). Dalam kehidupan perkawinan, diperlukan komitmen untuk meningkatkan kemungkinan bahwa pasangan akan tetap bersama-sama sekalipun dalam masa yang sulit (Kelley, 1983).Saat terjadi perceraian, biasanya merupakan hal yang lumrah saat kedua pihak memperebutkan hak asuh anak. Menurut Weisberg (2008) pengasuhan mengacu pada hak untuk pengasuhan anak, termasuk kemampuan untuk membuat keputusan tentang tempat tinggal anak, disiplin, pendidikan, perawatan medis. Pada awalnya dampak perceraian pada anak adalah mereka merasa tidak aman dengan lingkungan sekitarnya, dan juga merasa tertekan dengan keadaan sekitar yang terjadi. Untuk sebagian anak, masalah perceraian orang tua mempengaruhi kepribadian seperti misalnya menarik diri dari lingkungan sekitarnya, tidak fokus dengan akademisnya, atau bahkan terjerumus pada obat-obatan. Menurut Miller, Lerner, Scheimberg, & Anderson (2003) ada dua jenis pengasuhan utama yaitu Legal Child Custody yang mengacu pada hak untuk membuat semua keputusan penting tentang kesehatan anak, kesejahteraan, pendidikan, dan pengembangan agama. Sedangkan Physical Child Custody adalah hak untuk perawatan sehari-hari dan mengontrol anak. Tetapi pada prakteknya, mungkin ditemui hak asuh anak yang berbeda, yang melibatkan berbagai kombinasi dari legal child custody dan physical child custody seperti :
1.
2.
3.
4.
5.
Sole Legal custody Yaitu orang tua mendapatkan kuasa asuh tunggal atas anak-anak mereka. Untuk contoh kasus seperti anak ikut dengan ibu, tinggal dirumah ibu, berada dalam pengawasan ibu, serta ibu-lah yang memiliki andil dalam membuat keputusan untuknya. Sedangkan untuk orang tua yang tidak memenangkan kuasa hak asuh anak, tetap memiliki hak untuk bertemu dan mengajak anak liburan atau menginap. Sole Physical Custody Yaitu orang tua memiliki hak ekslusif untuk memelihara dan merawat anak, dan orang tua yang tidak memenangkan kuasa hak asuh anak tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak. Joint Legal custody Yaitu hakim memberikan putusan hak asuh pada kedua orang tua. Jadi masing-masing orang tua memiliki andil yang sama besarnya dalam mengasuh anak dan memutuskan apa yang terbaik bagi anak, sekalipun mereka telah memutuskan untuk bercerai. Dalam Joint custody, orang tua harus memiliki pandangan yang sama dan setuju untuk hal yang sama terkait kesejateraan anak. Joint Physical custody Yaitu kedua orang tua mendapat hak mengasuh anak, tetapi waktu untuk bersama dengan anak tidaklah sama. Orang tua yang memiliki hak asuh ini memiliki rencana pengasuhan, permintaan yang spesifk pada pengadilan, atau pengaturan informal yang menentukan waktu untuk anak dalam menghabiskanwaktu dengan masing-masing orangtua. Split Custody Bila dalam suatu keluarga memiliki dua orang anak, kemudian terjadi perceraian, maka masing-masing orang tua mengasuh anak mereka secara terpisah. Dengan artian bahwa anak tersebut dipisahkan dengan saudaranya yang lain akibat dari pengasuhan yang berbeda.
Karena itu hakim dapat dijadikan penengah yang kompeten dalam memutuskan hak asuh anak. Hakim tahu jika mereka menyimpang terlalu jauh dari pedoman kasus hukum sebelumnya atau undang-undang, putusan mereka dapat diajukan banding dan kemungkinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (Vidmar, 2011). Untuk memutuskan pihak mana yang paling baik dalam mengasuh anak, para hakim harus mencari tahu terlebih dahulu latar belakang dari kedua orang tua. Menurut American Psychology (1994) ini, pengadilan dapat menggunakan jasa seorang psikolog untuk mencari tahu : 1. 2. 3.
Penilaian terhadap kapasitas orang dewasa untuk mengasuh anak, atribut, keterampilan, kemampuan, atau kekurangan. Penilaian terhadap fungsi psikologis dan kebutuhan perkembangan dan keinginan dari masing-masing anak. Penilaian kemampuan fungsional dari setiap orang tua untuk memenuhi kebutuhan perkembangan, termasuk evaluasi interaksi antara setiap orang dewasa dan anak.
Karena begitu banyak keputusan hakim yang diragukan pada saat pengambilan keputusannya mengenai kuasa hak asuh anak yang berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak dan dalam membuat prinsip dalam mencari kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi ambigu (Elster, 1989; Breen, 2002; Skivenes, 2002; Freeman, 2007). Ketika orang bertanya apakah hakim membuat keputusan yang baik, secara tidak langsung orang akan membandingkan keputusan hakim dengan standard normatif. Menurut Klein & Mitchell (2010), Orang dapat merujuk pada studi empiris bahwa ada 3 komponen dasar yang dapat merujuk pada kualitas hakim, yaitu: 1. Patokan normatif yang lebih sepesifik 2. Perubahan patokan dari perilaku yudisial yang diuji menjadi unit yang dapat diukur. 3. Interpretasi dari hasil perbandingan apapun untuk menarik kesimpulan yang tepat tentang kesenjangan deskriptif-normatif. Dalam memberikan putusan, terlebih dalam memberikan putusan hak asuh anak, setiap hakim memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda. Klein & Mitchell (2010) mengatakan, ada empat ciri bagi hakim dalam mengambil keputusan. Yaitu legal model, attitudinal model, strategic model, dan case manager model.
1.
2.
3.
4.
Legal model Sebagian besar dari orang-orang hukum bertumpu pada kesimpulan yang normatif, bahwa hakim harus mengabdikan diri mereka untuk menafsirkan hukum dengan benar dan menerapkan aturan yang sesuai penafsiran dari hukum yang berlaku. Menurut studi yang dilakukan Rachlinski (2009), ketika hakim memiliki informasi lebih rinci atau berurusan dengan doktrin hukum yang harus diselesaikan, seperti pencarian dan penyitaan, hakim harus memiliki lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan dan memusyawarahkan. Dalam hal mempertimbangkan dan memusyawarahkan kasus yang mereka tangani, pelatihan yang didapatkan oleh hakim sebelum mereka dilantik menjadi seorang hakim, memungkinkan mereka untuk memproses informasi secara berbeda dari orang awam. David Klein (2002) berpendapat bahwa hakim di pengadilan federal banding menanggapi keputusan pengadilan setingkat di bawahnya, sebagian besar atas dasar komitmen untuk menafsirkan hukum dengan lebih baik. Attitudinal model Pada attitudinal model ini lebih merujuk pada prilaku hakim dalam mengambil suatu keputusan. Premis dari studi ini adalah bahwa hakim bertindak harus berdasarkan konsep mereka tentang kebijakan mereka berikan pada publik. Upaya untuk mengikuti aturan yang lebih relevan, interpretasi hukum juga mungkin mempengaruhi pilihan mereka, tetapi pada pertimbangan kebijakan keseluruhan lebih berpusat pada pertimbangan hukum. Dalam bentuk aslinya, attitude mode tidak terkait dengan motivasi hakim. Hubungan antara sikap dan keputusan diperlakukan kurang lebih sebagai tolok ukur. Pada tahun 1960, baik ahli hukum yang menganut attitudinal model dan perilaku maupun orang hukum lainnya, melakukan penelitian yudisial yang diasumsikan sebagai tujuan peradilan yang sadar untuk mencapai kebijakan yang baik (Rohde, 1972). Strategic model Dalam penggunaan model ini, hakim dalam strategic model akan berusaha untuk mencapai hasil yang diinginkan dari tindakan mereka dengan memperhatikan respon orang lain untuk tindakan tersebut. Dalam penggunaannya di attitude model, hakim tidak memiliki sikap yang strategis ketika mereka memberikan suara pada hasil kasus. Sebaliknya, mereka mengambil posisi yang paling mencerminkan preferensi kebijakan mereka terlepas dari bagaimana orang lain mungkin bereaksi terhadap apa yang mereka lakukan. Dalam strategic model, sebaliknya hakim mungkin menyimpang dari kebiasaan mereka yang disukai jika hal itu akan mencapai hasil yang lebih baik. Untuk mengambil contoh yang paling umum, seorang hakim banding mungkin mengambil posisi doktrinal yang kurang liberal dalam suatu kasus daripada dia lebih memilih untuk mengamankan mayoritas untuk posisi yang relatif liberal. Sebagai gambaran ini menunjukkan, strategic model mengalihkan fokus dari suara pada hasil kasus dikotomi sebagai variabel dependen ke posisi doktrinal pada spektrum ideologis. Robbennolt, MacCoun, & Darley (2010) menyebutkan bahwa strategic model terjadi ketika hakim tidak lagi berpusat pada dirinya dan pada kasus yang ia tangani. Jika hakim melihat kemungkinan bahwa dengan mengambil keputusan tertentu akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, misalnya mendapat opini yang positif dari publik, maka hakim akan cenderung mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan strategis tersebut. Sebaliknya, jika hakim merasa keputusan tersebut tidak akan mendatangkan keuntungan untuknya, maka hakim tidak akan berpihak pada keputusan tersebut Case manager model. Model ini menekankan bahwa proses pengambilan keputusan hakim dipengaruhi oleh tekanan bobot kasus yang ia tangani. Perlu diketahui, cakupan tanggung jawab yang dimiliki oleh hakim bukan semata-mata menangani kasus, tetapi juga meliputi urusan administratif dan struktural sehingga beban tugas tersebut berpotensi mempengaruhi keputusan hakim yang dibuatnya. Ditambah lagi, waktu kerja hakim juga terbatas. Dalam menjalankan fungsi manajerial tersebut, hakim terdorong untuk membuat strategi maupun perencanaan dalam mengelola tanggung jawab yang dimilikinya. Berdasarkan fungsi kerjanya yang mirip seorang manajer, model ini disebut dengan managerial model atau case managerial model (Baum, 2010). Artinya, perilaku hakim dalam mengambil keputusan tentang penetapan hak asuh anak berpeluang dipengaruhi oleh tekanan bobot kasus yang ditanganinya. Sekalipun jaman sudah berkembang dengan pesat, namun kedudukan wanita didunia hukum masihlah sedikit. Pada catatan kejaksaan agung pada tahun 1999, hakim perempuan di lembaga peradilan tidak lebih dari 25%. Bahkan perempuan yang menjabat sebagai hakim agung hanya 13% (Silaen, 2007). Tidak menutup kemungkinan bahwa adanya bias gender yang diterima oleh perempuan dalam dunia hukum. Bias gender berjalan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat secara langsung (Atchison, 1998). Menurut Feliciano (2002) ada beberapa indikator bias gender yang biasanya muncul diruang persidangan, indikator tersebut adalah :
1.
2. 3.
Peran dari laki-laki dan perempuan dalam ruang persidangan. Komposisi gender dari orangorang yang terlibat dalam pengadilan dan data tentang titik potong dari gender, ras, dan etnisitas. Interaksi dari mereka yang terlibat dalam persidangan di ruang sidang. Peran konstruksi gender pada keputusan-keputusan yang diambil.
Berdasarkan pengamatan sementara, karena proses pemberian kuasa hak asuh anak merupakan hal yang pelik maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara komposisi majelis hakim berdasarkan jenis kelamin dengan jenis hak asuh anak yang diputuskan. 3.1 Variabel Penelitian 3.1.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.1.1.1 Jenis Putusan Kuasa Hak Asuh Anak Hak asuh adalah perkara yang dibawa oleh kedua orang yang bercerai kedalam perceraian, dan termasuk dalam pertimbangan hakim. Ketika dijatuhkannya putusan hak asuh anak, akan terlihat apakah hakim memberikan putusan yang sudah berasaskan the best interest of child. 3.1.1.2 Keputusan Hakim Keputusan hakim adalah hasil dari evaluasi masalah di persidangan mengenai hak asuh anak dan mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan jenis kelamin pada hakim dalam memberikan putusan kuasa hak asuh anak. Dasar dari penelitian ini adalah Archival Study. Dikarenakan kuantitatif harus menjadi acuan dalam penulisan ilmiah ini, maka walaupun archival study lebih banyak digunakan pada metode kualitatif tetapi archival study juga dapat digunakan pada metode kuantitatif. Dengan menggunakan archival study sebagai dasar dari penelitian ini, dapat mempermudah peneliti dalam pengumpulan data. Ada dua alasan utama bagi penulis untuk menggunakan metode ini, yaitu: 1. 2.
Masalah reaktivitas (orang mengubah prilakunya karena tahu bahwa dirinya sedang diobservasi) tidak muncul. Penelitian terhadap jejak-jejak fisik mempresentasikan sebuah komponen berharga dari pendekatan multimetode untuk pengujian hipotesis. (Shaughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2007).
Selain itu peneliti tidak diharuskan untuk mencari data dari face-to-face atau secara langsung berhadapan dengan orang-orang, melainkan hanya dengan mencari data valid dari suatu website, datadata dari institusi pemerintah, dan lain-lain. Jejak-jejak fisik (archival study) sangat penting dan berharga bagi peneliti karena merupakan ukuran nonreaktif dari prilaku (Webb, 1981). Ukuran prilaku bersifat reaktif apabila kesadaran partisipan terhadap keberadaan pengamat mempengaruhi proses pengukurannya (Shaughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2007). Peneliti memiliki 126 data atau putusan dari beberapa pengadilan negeri yang ada di seluruh Indonesia dan terhitung keseluruhan data yang diambil merupakan arsip pemerintah dari tahun 2010. Untuk pengambilan data-data, didapat dari website http://putusan.mahkamahagung.go.id/ditjen/umum Penelitian ini menggunakan non-probability sampling karena tidak mengisyaratkan bahwa semua populasi memiliki peluang untuk terpilih sebagai sample. Alasannya dikarenakan pemilihan sample berdasarkan pertimbangan peneliti. Untuk menentukan sample dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan Purposive atau Judgemental Sampling. Dengan teknik Purposive Sampling dipersempit ciri-cirinya berdasarkan kelompok (Adi, 2004). Ciri-ciri yang digunakan oleh penulis adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Memasukan putusan hakim terkait dengan hak asuh anak Putusan yang diambil merupakan putusan dari tahun 2010 Objek sengketa adalah anak-anak yang berusia kurang dari 17 tahun. Putusan merupakan pengadilan umum tingkat pertama Semua putusan diambil dari pengadilan negeri
Dalam penelitian ini diambil 126 putusan hakim yang berhubungan antara komposisi majelis hakim berdasarkan jenis kelamin dengan jenis hak asuh anak. Menurut Abrami, Cholmsky, dan Gordon (2001) menyebutkan, sampel penelitian yang berjumlah 30 responden dianggap mendekati distribusi normal. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan gambaran akan suatu kejadian dan variable-variable yang saling berkaitan. Frick (2008) mengatakan bahwa metode deskriptif dapat digunakan secara kuantitatif. Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan guna mencari tahu korelasi antara jenis kelamin antara hakim laki-laki dan hakim perempuan menyatakan bahwa memang ditemukan beberapa korelasi yang signifikan (Gruhn, Spoll, & Whelch, 1981; Kritzer & Ulhman, 1977). Menurut Snyder & Greene (1996) hakim perempuan lebih halus dan tidak agresif dalam bertindak dan dalam mengambil keputusan. Hakim perempuan juga lebih menekankan pada reformasi hukum dan obejektifitas dalam membuat keputusan daripada hakim laki-laki (Henham, 1990). Pada pengadilan negeri di Indonesia, ternyata faktor gender pada hakim laki-laki dan hakim perempuan tidak memberikan pengaruh yang besar. Hal tersebut ditunjukan dengan seimbangnya putusan hak asuh yang diberikan, yang sebagian besar hak asuh jatuh kepada pihak ibu, kecuali hasil dari pengadilan negeri di Bali mengenai putusan hak asuh anak karena berlandaskan hukum adat. Pertimbangan yang dilakukan oleh hakim mengenaik hak asuh anak diambil dari Undang-Undang Perkawinan 1974. Dalam pasal 41a menyatakan bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. Selain menggunakan Undang-undang perkawinan 1974 sebagai dasar asumsi para hakim dalam memberikan kuasa hak asuh, hakim juga mempertimbangkan hukum adat sebagai bagian dari mengambil keputusan. Hal ini ditemukan dari beberapa pengadilan negeri yang memberikan kuasa hak asuh anak pada ayah seperti yang terjadi di Bali. Batas usia anak juga menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan hak asuh anak. Usia yang ditentukan oleh Undang-undang adalah anak yang masih berusia dibawah 18 tahun. Namun pertimbangan ini tetap melihat pada permohonan para pihak mengenai permintaan untuk mengasuh anak-anak mereka. Apabila dalam suatu sidang perceraian dan hak pengasuhan atas anak diperebutkan oleh kedua pihak, maka pada umumnya hakim memberikan hak asuh anak kepada pihak ibu (baik sebagai penggugat atau tergugat) dengan alasan bahwa ibu lebih layak untuk merawat, mengasuh, dan mengayomi anak. Dalam penelitian ini, peneliti mencari tahu korelasi antar jenis kelamin hakim dengan dibuatnya putusan kuasa hak asuh anak dari suatu perceraian. Peneliti memiliki 126 putusan pengadilan mengenai perceraian yang terjadi di beberapa pengadilan di Indonesia, yang di dalamnya terdapat keputusan hakim mengenai hak asuh anak dari perceraian yang terjadi. Semua putusan yang dimiliki oleh peneliti kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel. Peneliti juga memaparkan hasil penelitian dengan menyajikan tabeltabel putusan hakim yang berisi tentang nomor putusan hakim, jenis kelamin hakim yang memimpin persidangan, dan pihak yang pada akhirnya memegang hak asuh anak berdasarkan putusan dari hakim tersebut. 4.2 Seluruh Putusan Hakim (dari Sample yang dimiliki) 4.2.1 Deskripsi Keputusan Hakim (Seluruh Sampel Penelitian)
Table 4.1
Dari seluruh data sampel yang berjumlah 126 putusan, hakim memberikan kuasa hak asuh pada ayah sebanyak 32 kali, sedangkan pada kuasa hak asuh untuk ibu, hakim memberikan sebanyak 72 kali. Untuk pengasuhan bersama (joint custody) terdapat 21 kali. Hanya ada 1 kali putusan untuk split custody atau diasuh terpisah. 4.2.1.1 Uji Korelasi Antar Nominal Untuk mempertajam analisis, peneliti turut menyajikan analisis data inferensial dengan menggunakan alat ukur SPSS 20. Analisis data inferensial adalah menyajian statistik yang dihasilkan dari penelitian secara sampel. Analisis data inferensial digunakan untuk menganalisis data sampel yang hasilnya digunakan untuk memperkirakan populasi. Ciri-ciri analisis data ini adalah penyajian data dalam bentuk tabel dan ukuran-ukuran statistik (Purwoto, 2007). Melalui analisis tersebut, peneliti dapat memperoleh informasi tentang korelasi jenis kelamin hakim dengan putusan kuasa hak asuh anak. Uji analisis yang digunakan dalam uji korelasi nonparametrik. Analisis uji korelasi nonparametrik bertujuan untuk mencari tahu hubungan antara dua variabel atau lebih. Hanya pada korelasi nonparametrik, data atau variabel yang akan diuji atau diukur korelasinya adalah data nominal atau ordinal (Santoso, 2010). Untuk melakukan pengujian korelasi, peneliti menggunakan chi-square (of association) untuk menguji dua variabel dengan data nominal.
4.4 Deskripsi Perhitungan Uji Korelasi Chi-Square of Association
Tabel 4.4 Hasil dari penghitungan ini menunjukan bahwa Asymp. Signifikant lebih dari 0,05. Hasil yang didapatkan adalah 0,746. Tidak ditemukannya korelasi ini dikarenakan asumsi variable independen tidak memiliki efek, oleh karena itu ditolak. Dengan demikian hasil penelitian tidak menemukan adanya korelasi antara komposisi jenis kelamin hakim dengan pemberian hak asuh anak dikarenakan sebagian besar hakim memberikan kuasa hak asuh anak kepada pihak ibu. 4.5 Pembahasan Di bab 2, telah diuraikan mengenai gender hakim dalam memberikan putusan hak asuh anak. Di dunia barat, menyatakan bahwa adanya pengaruh gender dalam pemberian putusan hak asuh anak. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dilatar belakangi seperti latar belakang pendidikan, keluarga, agama, dll. Kenyataannya pada hukum peradilan di Indonesia ternyata tidak ada pengaruh dari perbedaan gender dalam memberikan putusan kuasa hak asuh anak. Tidak adanya perbedaan gender dalam memberikan kuasa hak asuh dapat dilandasi dengan positivisnya hakim ketika menimbang dan memutuskan kuasa asuh anak. Dengan maksud bahwa
hakim menggunakan undang-undang yang berlaku dalam memberi putusan hak asuh anak. Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagian besar kuasa hak asuh anak, diberikan pada pihak ibu dari anak tersebut. Dalam memberikan putusan kuasa hak asuh anak, hakim juga mempertimbangkan putusanputusan hakim yang terdahulu pada kasus yang serupa (yurisprudensi), yang mana sebagian besar kuasa hak asuh anak diberikan kepada ibu dari anak tersebut akibat dari adanya perceraian yang terjadi. Pada saat persidangan, hakim hanya menggunakan dasar-dasar tersebut dalam memberikan putusan hak asuh anak, tanpa menggunakan jasa ahli seperti psikolog, dinas sosial dan instans-instansi lainnya untuk membantu hakim (baik dengan memberikan keterangan atau sebuah survey) dalam memberikan putusan yang berasas the best interest of child. Kesimpulan Hasil dan kesimpulan yang peneliti dapat dalam penelitian ini adalah bahwa memang komposisi jenis kelamin (gender) majelis hakim terkait dengan putusan hak asuh anak tidak saling berhubungan, karena sama ratanya putusan hak asuh anak yang diberikan oleh para hakim. Dalam proses pemberian kuasa hak asuh anak, hakim merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai landasan untuk memutuskan perkara hak asuh anak dari orang tua yang bercerai, tetapi kurangnya perhatian hakim dalam menggunakan jasa atau pihak lain seperti seorang psikolog atau jasa dari dinas sosial sehingga membuat hakim tidak terlalu memperhatikan kesejateraan anak. Berdasarkan putsusan-putusan pengadilan yang dimiliki oleh peneliti, mayoritas jenis hak asuh anak di Indonesia adalah sole custody. Seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya, sole custody merupakan jenis hak asuh anak yang dipegang oleh salah satu orang tua saja, dan mayoritas hak asuh dipegang oleh ibu. Hal tersebut diputuskan oleh hakim yang didasari pada peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia, yang mana apabila kasus perceraian terjadi maka pihak ibu akan memegang kuasa hak asuh anak yang dianggap belum dewasa, atau masih berumur dibawah 12 tahun. Namun dibeberapa daerah seperti di Bali, hak kuasa asuh anak sebagian besar diberikan pada pihak ayah karena hakim juga mempertimbangkan hukum adat yang berlaku di Bali. Sekalipun hak asuh anak telah dimenangkan oleh orang tua, tetapi permasalahan dari dalam diri anak masih belum selesai. Secara teoritis, anak adalah individu pertama yang mengalami guncangan secara psikologis ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Saran Penggunaan jasa ahli diruang persidangan merupakan salah satu solusi kongkrit untuk membantu hakim dalam memberikan putusan, terutama yang berkaitan dengan anak. Hakim perlu mengetahui bahwa dalam situasi perceraian, putusan yang dijatuhkan bersifat jangka panjang baik pada orang tua maupun anak. Ada baiknya apabila hakim lebih memperhatikan jangka panjang tersebut pada efek psikologis anak terkait dengan putusan yang diberikan. Selain perlu memperhatikan jangka panjang tersebut, sebaiknya hakim juga memeriksa latar belakang dari masing-masing orang tua baik dari segi kesehatan mental, pekerjaan, dan lingkungan baik dari lingkungan keluarga maupun sekitar sebelum akhirnya memberikan kuasa hak asuh anak pada salah satu orang tua dari anak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan bahwa nantinya anak mengalami pengabaian (neglect) atau bahkan kekerasan pada anak akibat orang tua yang mungkin mengalami depresi pasca perceraian.
Daftar Pustaka Artis, J. E. (2004). Judging the Best Interests of the Child: Judges' Accounts of the Tender Years Doctrine. Journal Article Law & Society Review, Vol 38(4),769806. Bower, J. R., Thomann, M. E., Hardesty, J. L., & Hughes. R. (2011). A review of online divorce education programs. Journal Article Family Court Review, Vol 49(4). Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. Sussex: Routledge Clark-Carter, D. (2010). Quantitative Psychological Research: The Complete Student's Companion. Sussex: Psychology Press Inc. Crossman, A. M., Powell, M. B., Principe, G. F., & Ceci, S. J. (2002). Child testimony in custody cases: A review. Journal of Forensic Psychology Practice, Vol 2(1), 132 Duffy, M. (1982). Impact of Divorce on the Extended Family. New York: The Haworth Press. Emery, R. E. (1999). Marriage, Divorce, and Children's Adjustment. London: Sage Publication Inc. Frick, H. (2008). Pedoman Karya Ilmiah. Yogyakarta: Kanisius. Garber, B. (2009). Developmental Psychology for Family Law Professionals: Theory, Application and the Best Interests of the Child. New York: Springer Publishing Company, LLC.
Geerken, H. H. (2011). A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno. Jakarta: Kompas
Media Nusantara :
Goodwin, J. C .(2010). Research In Psychology: Methods and Design. River Street: John Wiley & Sons. Holtzman, M. (2011). Family Definitions and Children's Rights in Custody Decision Making: The importance of a changing litigant context. Journal Article Family Court Review, Vol 49(3), 591-60. Irianto, S. & Cahyadi, A. (2008). Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kelly, R. F., Ramsey, S. H. (2009). Child custody evaluations: The need for systemslevel outcome assessments. Journal Article Family Court Review, Vol 47(2), 286303. Klein, D. & Mitchell, G. (2010). The Psychological of judicial making. Oxford: Oxford University Press.