PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA HAK ASUH ANAK YANG DILAHIRKAN SEBELUM PERKAWINAN SAH TERJADI (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 36/Pdt.G/2011/PTA.JK) Endang Purwanti
Wismar Ain Marzuki
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email :
[email protected]
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang bagaimana putusan hakim terhadap pemberian hak asuh anak terkait dengan anak yang lahir diluar perkawinan dan masih dibawah umur. Sebelum perkawinan sah terjadi, sepasang pria dan wanita telah mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sepuluh bulan setelah anak tersebut lahir, sepasang pria dan wanita tersebut melangsungkan perkawinan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Ketika terjadi perceraian, timbul permasalahan mengenai pengasuhan anak, yakni kepada siapa yang lebih pantas anak itu dipelihara. Dalam putusan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1563/Pdt.G/2010/PA.JS, hakim menetapkan hak asuh anak kepada ibu. Sedangkan, dalam putusan perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No.36/Pdt.G/2011/PTA.JK, hakim menetapkan hak asuh anak kepada bapak. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi dokumen dengan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif.
Kata Kunci: Perkawinan, Hak asuh anak dibawah umur.
ABSTRACT
This thesis discusses how the judge's decision in granting a custodian right of the child, in relation to the under age child, who was born in an un-legally marriage spouses. In this case, before legally marriage, this spouse man and woman have had a son who was born outside of legal marriage according to the Islamic Law and the Marriage Law No. 1 of 1974. Later on, in ten (10) months after the child was born, the spouses have their marriages recorded in the Office of Religious Affairs (KUA) of District of Cilandak, Jakarta Selatan. When this spouse is divorce, then there will be a case on who has more preference to have the child custodian. In the District of Religion Court of Jakarta Selatan No. No.1563/Pdt.G/2010/PA.JS, the judges given an award the child custodian to the mother, while in the Jakarta Religion High Court No.36/Pdt.G/2011/PTA.JK, the judges given an award the child custodian to the father. The research is conducted with secondary data documents that are juridis normative. Keyword: Marriage, Underage Child Custodian
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Latar Belakang Permasalahan Dalam hukum Islam, anak yang lahir sebelum perkawinan melekat pada ibunya. Kemudian, dalam hal terjadi perceraian, maka hak asuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan hanya mempunyai nasab dengan ibunya.1 Terkait dengan hukum perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, maka dianggap anak tidak sah. Selain itu, anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibunya.2 Namun, hal ini menjadi permasalahan ketika setelah anak lahir kemudian terjadi perkawinan. Contohnya, dalam kasus yang Penulis akan analisis, dimana 10 (sepuluh) bulan setelah anak lahir, lalu kedua orang tua anak tersebut menikah. Akan tetapi, perkawinan mereka tidak berjalan dengan baik sehingga mereka harus memutuskan untuk bercerai, yang mana kemudian timbul permasalahan mengenai hak asuh anak. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilihat siapakah yang lebih memiliki kewenangan dalam hal mengasuh anak meskipun dalam hukum Islam, anak yang masih dibawah umur menjadi hak asuh dibawah umur menjadi hak asuh dibawah ibunya. Skripsi ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana putusan hakim tentang pemberian hak asuh anak terkait dengan anak yang lahir diluar perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi dari kedua calon suami istri, akan tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Sebelum melangkah ke jenjang perkawinan, harus dimulai dengan suatu persiapan yang matang baik fisik maupun mental, karena dengan persiapan yang matang itulah kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada saat berlangsungnya perkawinan bisa dilewati dengan baik. Perkawinan merupakan suatu langkah yang sakral, penting, tidak dapat dipermainkan dan menjadi sebuah sarana untuk melegalkan suatu hubungan dengan membentuk sebuah keluarga bahagia agar menjadi sah dimata agama dan hukum. Dengan adanya perkawinan, maka rumah tangga dapat ditegakkan, serta dibina sesuai dengan Norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga, berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami dan istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita1
Indonesia (a), Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 100 dan Pasal 105 huruf (a). 2
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Pasal 42 dan Pasal 43.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT. Perkawinan pada hakekatnya adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.3 Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30) ayat 21 menyatakan, yang terjemahannya adalah sebagai berikut : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”4 Selain itu, dalam Surat An-Nur (24) ayat 32 yang terjemahannya adalah sebagai berikut : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”5 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan), perkawinan adalah :6 “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedangkan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa :
3
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga “Perspektif Hukum Perdata Barat, Hukum Islam dan Hukum Adat”, Cet. Ke-1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), Hal. 70. 4
Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Beserta Transliterasi Arab Latin, (Bandung : CV. Gema Risalah Press Bandung). Hal. 803. 5
Ibid., Hal. 692.
6
Indonesia (b), Op.Cit., Pasal. 1.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.7 Dari kedua Firman Allah SWT yang terkandung didalam surat Ar-Rum dan An-Nur serta pengertian perkawinan yang tertuang dalam UU Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk hidup berpasang-pasangan sebagai suami istri. Bagi laki-laki yang tidak beristri atau wanita-wanita yang tidak bersuami, maka disarankan agar dapat melangsungkan perkawinan dengan berlandaskan agama. Dengan demikian, perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaannya sehingga dapat dilihat bahwa perkawinan mempunyai hubungan unsur lahir (jasmani) dan batin (rohani). Ketentuan mengenai perkawinan yang berlandaskan agama pada uraian diatas, merupakan pencerminan dari kewajiban pemerintah dalam rangka mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945), yakni tepatnya ketentuan dalam Pasal 29 yang menyatakan bahwa :8 (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan dalam Pasal 29 tersebut, tampak bahwa negara Republik Indonesia sangat memperhatikan masalah agama serta menjamin masyarakat-masyarakatnya untuk dapat menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, maka khusus bagi yang beragama Islam juga dapat menggunakan Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut KHI) sebagai pedoman serta peraturan mengenai perkawinan. Apabila kita lihat dari KHI, maka perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu :9 “Akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. 7
Ibid., Pasal 2 ayat (1).
8
Dwi Zalyunia, “Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi No.mor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang No.mor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. (Thesis magister keNo.tariatan Universitas Indonesia, Depok, 2012), Hal. 3. 9
Indonesia (a), Op.Cit, Pasal 2.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Setiap perkawinan pasti mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah dan mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan harus didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mencintai orang lain kecuali pasangannya. Cinta dan kasih sayang merupakan jembatan dari suatu pernikahan dan dasar dalam pernikahan adalah memberikan kebahagiaan. Tujuan dilakukannya perkawinan adalah membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia yang akan berlangsung selamalamanya. Keinginan untuk membentuk keluarga yang kekal tersebut adalah cita-cita setiap keluarga, namun terkadang hal tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Terkadang hubungan suami istri merenggang dengan tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan, sehingga menimbulkan terjadinya suatu perselisihan berkepanjangan yang mana hal ini dapat memicu timbulnya keinginan untuk mengakhiri perkawinan. Perkawinan dengan keadaan buruk seperti itu sangat tidak sehat apabila tetap dilanjutkan oleh kedua pihak sehingga perkawinan tersebut lebih baik diakhiri dengan jalan perceraian. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.10 Perceraian harus dijalankan dengan menaati syarat-syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang, karena perceraian menimbulkan akibatakibat yang tidak hanya melibatkan suami dan istri saja, namun pihak-pihak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kedua pihak tersebut. Oleh karena itu, untuk memungkinkan terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu mengingat bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtera. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang berwenang.11 Gugatan/permohonan yang diajukan ke pengadilan harus benar-benar diperhatikan secara tepat kepada badan peradilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili sengketa yang timbul. Untuk menegakkan hukum dan keadilan di negara Indonesia, maka negara mempunyai kekuasaan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya yang disebut kekuasaan kehakiman.12 Dalam menjalankan fungsi tersebut, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya, yang antara lain adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah 10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke-XXVI, (Jakarta : Internusa, 1994), Hal.42.
11
WahyoNo. Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Ed. 1, Cet. Ke-2, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), Hal. 105. 12
Indonesia (c), Undang-Undang Dasar 1945, Pasal. 24 ayat (1) : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Konstitusi.13 Keberadaan badan peradilan tersebut, diatur kemudian ketentuannya lebih lanjut didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti, Peradilan Agama yang diakui keberadaannya di Indonesia karena telah diatur didalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang yang baru tersebut memperluas kewenangan Peradilan Agama yang tidak hanya memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu tetapi perkara tertentu, yakni bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah dan ekonomi syariah.14 Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada umat manusia agar segera dilaksanakan sebagaimana perintah Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadits. Menurut hukum Islam, perkawinan adalah perbuatan suci yang mana merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, perkawinan dalam Islam tidak semata-mata hanya sebagai hubungan antara suami dan istri yang berlainan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) untuk dapat hidup bersama, akan tetapi juga untuk memperoleh serta melanjutkan keturunan dengan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Sudah menjadi kodrat alam bahwa sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup. “Hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut perkawinan”.15 Untuk melaksanakan suatu perkawinan, tentu saja harus mengikuti peraturanperaturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan.16
13
Indonesia (d), Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal. 18 Jo. Pasal 25 ayat (1). 14
Sulaikin Lubis, et al, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Ed. 1, Cet. Ke-3, (Jakarta : Kencana, 2008), Hal. 110. 15
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), Hal. 15. 16 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-7, (Bandung : Sumur Bandung, 1981), Hal. 7.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status hukum seseorang dalam arti :17 a. Dengan perkawinan timbul kedudukan sebagai suami dan sebagai istri; b. Bila dalam perkawinan lahir anak maka akan timbul hubungan antara orang tua dan anak. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Indonesia, untuk setiap golongan dan daerah digunakan hukum perkawinan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:18 a) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepiir dalam Hukum Adat; b) Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74); d) Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e) Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka; f) Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; g) Dalam hal perkawinan campuran misalnya antara orang Indonesia asli kawin dengan seorang keturunan Tionghoa maka dalam hal ini berlaku hukum perkawinan suami.19 Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi, Undang-Undang tersebut mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Terkait hal ini, bagi umat Islam yang hendak melangsungkan perkawinan, maka selain tunduk pada Undang-Undang Perkawinan, ia juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan tunduk pada 17
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. Ke-1, (Jakarta : Gitama Jaya, 2005), Hal. 27. 18
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. Ke-3, (Jakarta : Rizkita Jakarta, 2008), Hal. 1, Penjelasan Umum angka 2. 19
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi., Op.Cit., Hal. 27.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang dapat dijadikan pedoman serta peraturan hukum dalam memecahkan masalah yang timbul mengenai perkawinan di masyarakat. KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan. Dengan demikian, KHI berinduk kepada UU Perkawinan sehingga materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan. Disamping pengertian dan perumusan diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana, yaitu : a) Menurut Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H. : perkawinan adalah suatu perserikatan atau perkumpulan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan perundang-undangan negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga yang kekal dan abadi.20 b) Menurut Prof.Subekti, S.H. : perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.21 c) Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. : perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.22 d) Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. : perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.23 e) Menurut K. Wantjik Saleh, S.H. : perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. 24 f) Menurut Hukum Islam g) Istilah perkawinan dalam agama Islam disebut “Nikah” atau “Ziwaj”. Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut syara’, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwizin (mengawinkan).25 20
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata buku Kesatu, Buku Ajar Kuliah Hukum Perkawinan dan Keluarga, Pasca Sarjana UI, (Depok : 2006), Hal. 55. 21
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1987), Hal. 23.
22
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., Hal.7.
23
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984),
24
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. Ke-8 (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987), Hal.
Hal. 36. 14. 25
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Hal. 33.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
h) Nikah yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin diantara keduanya, atas dasar sukarela dan keridhoan untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.26 Selain itu, nikah merupakan hubungan seks antara suami istri, sedangkan ziwaj adalah kesepakatan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.27 i) Prof. Dr. Amir Syarifuddin mengkaji pengertian perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj berarti “bergabung”, “hubungan kelamin”, dan juga yang berarti ”akad”.28 Sedangkan dalam pengertian terminologis, pada kitab-kitab fiqh terdapat kata-kata yang berarti akad atau perjanjian yang mengandung maksud memperbolehkan suatu hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.29 j) Dari sudut pandangan Islam, perkawinan adalah satu-satunya cara yang berguna untuk menjaga kebahagiaan umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain itu, perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengaruh kerusakan masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang berbeda dapat dipenuhi melalui perkawinan yang sah dan hubungan yang halal. Dengan adanya suatu pernikahan yang apabila dilihat dari segi hukum Islam, maka suami istri tersebut menjadi sah dan halal untuk berhubungan seksual dengan tujuan untuk mencapai keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, penuh kasih sayang, kebajikan, dan saling menyantuni.30 k) l) Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah :31 m) “Perjanjian suci membentuk keluarga antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan.” 26
Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan UUP (Yogyakarta : Liberty 1999), Hal. 8.
27
R. Abdul Djamali, Hukum Islam “Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam II”, Cet. Ke-1. (Bandung : Mandar Maju,1992), Hal. 74. 28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia “Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan”, Cet. Ke-1, (Jakarta : Prenada Media, 2006), Hal. 35 – 36. 29
Ibid., Hal. 37.
30
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992), Hal. 188.
31
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke-2, (Jakarta : Universitas Indonesia), Hal. 47.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
n) o) Menurut beliau, pandangan suatu perkawinan dari segi agama merupakan bagian yang sangat penting dan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang mana kedua pihak dihubungkan untuk menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana yang diingatkan oleh ayatNya dalam AlQur’an Surat An-Nisa ayat 1, yang terjemahannya adalah sebagai berikut :32 p) q) “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” r) s) Pengertian nikah menurut empat mahzab, yaitu :33 t) 1.
Menurut sebagian mazhab Hanafi;
u) Nikah secara hakiki (asli) bermakna al-wath (bersetubuh), kemudian secara majazi (metaforis) diartikan dengan akad. Digunakan istilah akad karena ia merupakan sebab yang secara syariat membolehkan untuk bersetubuh, atau karena akad memiliki arti berkumpul. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan nikah dengan akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. v) 2.
Menurut sebagian mazhab Maliki;
w) Nikah adalah sebuah ungkapan bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. x) 3.
Menurut mazhab Syafi’i;
y) Nikah menurut aslinya adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan antara pria dan wanita Al-Malibarai yang juga dari Mazhab Syafi’I mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahah) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij.
32
Pentafsir Al-Qur’an, Op.Cit., Hal. 141.
33
Atik Andrian, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2004), Hal. 67.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
z) 4.
Menurut mazhab Hanbali;
aa) Akad dan al-wath’ adalah makna sebenarnya (hakiki) dari kata nikah. Namun, Ibn Qudamah lebih cenderung mengartikan kata nikah dengan akad, karena penggunaan arti tersebut lebih masyhur, baik di dalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun penuturan orang. Adapun nikah menurut syariat adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Peradilan Agama di Indonesia Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, karena jenis perkara yang boleh diadili adalah jenis perkara menurut ajaran Islam. Kata “Peradilan Islam” yang dirangkaikan dengan kata-kata “di Indonesia”, maksudnya adalah Peradilan Islam menurut konsepsi Islam, yang mana meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip yang sama karena hukum Islam itu hanya satu, berlaku di mana saja dan tidak hanya untuk suatu bangsa atau negara tertentu saja.34 Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia.35 Peradilan Agama adalah salah satu diantara 3 (tiga) Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.36 Peradilan Agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Untuk menegakkan keadilan masyarakat muslim, maka pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Pengadilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia.37 Untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 di lingkungan Peradilan Agama, diundangkanlah UU Nomor 7 Tahun 1989. Pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, ditetapkan tugas kewenangan Peradilan Agama adalah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah. Kemudian, ada suatu perubahan atau perluasan kewenangan Peradilan Agama pada pasal 49 setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undangundang yang baru tersebut memperluas kewenangan Peradilan Agama yang tidak hanya 34
Roihan A. Rasyid, Op. Cit., Hal. 6.
35
Indonesia (d), Op.Cit., Pasal 18 Jo. Pasal 25 ayat (1).
36
Roihan A. Rasyid, Op. Cit., Hal. 5.
37
Sulaikin Lubis, et al,Op. Cit., Hal. 81.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu tetapi perkara tertentu, yakni bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah dan ekonomi syariah.38 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu Peradilan Negara di Indonesia yang bersifat Peradilan Khusus, dan mempunyai wewenang untuk mengadili jenis perkara Islam tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.39 Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan Pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 UU Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Peradilan Agama, meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Asas-Asas Umum Peradilan Agama Asas umum peradilan agama merupakan asas hukum tertentu dalam bidang hukum acara yang secara khusus dimiliki oleh oleh peradilan agama yang diatur didalam U No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Disebut asas-asas umum peradilan agama adalah hanya untuk membedakan dengan asas khusus yang melekat pada suatu masalah tertentu. Asas-asas ini menjadi pedoman umum dalam melaksanakan penerapan undang-undang dan keseluruhan pasal-pasal. Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan apa yang sudah tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum.40 Asas-asas umum dalam UU No. 7 Tahun 1989, adalah :41 Asas Personalitas Keislaman 38
Ibid., Hal. 110. Kemudian UU Peradilan Agama diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No. 7 Tahun 1989. 39
Indonesia (d), Op.Cit., Pasal. 25 ayat (3).
40
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Ed. 1, Cet. Ke-2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), Hal. 37. 41
Ibid., Hal. 37-45, dan Sulaikin Lubis, et al,Op. Cit., Hal. 65-78.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Asas ini diatur dalam Pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1, yang masing-masing berbunyi :
Pasal 2 “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.” Penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan Pasal 49 ayat (1), yang pada intinya adalah : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf, shadaqah dan ekonomi syariah.” Ciri asas personalitas keislaman yang lainnya tertuang pula dalam pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, yaitu kepala putusan pada Pengadilan Agama tidak hanya harus dimulai dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tetapi juga harus didahului dengan kalimat “Bismillahirrahmannirrahim”. Selain itu, pada Pasal 13, 14, dan 27, juga mengandung asas personalitas keislaman, yaitu syarat hakim dan panitera harus beragama Islam.42 Asas ini bermakna bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang beragama Islam. Dengan kata lain, apabila mereka beragama non Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Agama. Maksud atau penegasan asas ini adalah :43 1. Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. 2. Perkara perdata yang dipersengketakan harus mengenai perkara-perkara dibidang perkawinan kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan ekonomi syariah. 3. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam dan diselesaikan berdasarkan hukum Islam.
42
Mardani, Op. Cit., Hal. 38.
43
Sulaikin Lubis, et al,Op. Cit., Hal. 66.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Asas Kebebasan/Kemerdekaan Asas kebebasan hakim pengadilan diatur didalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 53 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Asas kebebasan kekuasaan kehakiman merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan, karena merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis), seperti : 1. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lain, yang berarti hakim memutuskan perkara secara murni berdiri sendiri, tidak berada dibawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuasaan lainnya. 2. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, yang artinya hakim tidak boleh dipaksa, diarahkan atau direkomendasikan dari luar lingkungan kekuasaan peradilan. 3. Kebebasan melaksanakan wewenang peradilan, yang terbatas pada : a) Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang benar dan tepat dalam menyelesaikan perkara yang sedang diperiksanya. b) Menafsirkan hukum yang tepat melalui metode penafsiran yang dibenarkan. c) Bebas mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, hukum adat, yurisprudensi dan melalui pendekatan realism, yaitu mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, kesusilaan, kepatutan, agama dan kelaziman.
Asas Wajib Mendamaikan Asas kewajiban mendamaikan ini diatur dalam 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam penjelasan Pasal 82 dinyatakan bahwa selama perkara belum diputus, maka usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan. Menurut ajaran Islam, apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Islah” seperti yang tertera di dalam QS. Al-Hujuraat (49) ayat (10), yang terjemahannya adalah sebagai berikut: "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat."
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Dari ketentuan diatas, dapat dilihat bahwa asas kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, telah sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Selain itu, asas upaya mendamaikan juga tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1/1974, dan Pasal 143 KHI yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Pasal 39 ayat (1) UU No.1/1974 : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 : (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 143 KHI : (1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Asas ini semakin penting, karena peradilan agama identik dengan peradilan keluarga. Peradilan agama sebagai peradilan keluarga memiliki dua fungsi, yang mana tidak hanya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman atau lembaga hukum (court of law) dengan menerapkan hukum keluarga secara tegar dan kaku (impersonal), tetapi lebih diarahkan pada usaha penyelesaian sengketa-sengketa keluarga untuk memperkecil kerusakan rohani dan keretakan sosial di kalangan pencari keadiIan. Dalam hal terjadi perceraian, maka perdamaian diusahakan semaksimal mungkin agar keutuhan ikatan perkawinan, pemeliharaan dan pembinaan anak secara normal dapat diselamatkan, serta kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut.
Kasus Posisi Perkara ini merupakan salah satu contoh perkara mengenai perceraian. Adapun perkara perceraian ini terjadi antara pasangan suami istri, yang mana istri berinisial DN adalah sebagai Penggugat dan suami berinisial BWR sebagai Tergugat. Pada awalnya,
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Penggugat dan Tergugat telah mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu AFW. AFW telah dilahirkan oleh Penggugat pada tanggal 4 Desember 2003, yang mana hal itu terjadi sebelum Penggugat dan Tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan Kutipan Akta Nikah Nomor YYY/47/X/2004, tanggal 10 Oktober 2004. Pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan rukun. Namun, sejak bulan Maret 2007 ketentraman rumah tangga mereka mulai goyah karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, yang penyebabnya antara lain adalah telah hilangnya kepercayaan diantara Penggugat dan Tergugat, serta sudah tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, maka tidak ada keharmonisan lagi dalam rumah tangga mereka dan sudah tidak ada kecocokan satu sama lain. Timbulnya banyak masalah dan ketidakcocokan yang tidak dapat ditolerir tersebut membuat Penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Setelah Penggugat mendapat Jawaban dari Tergugat, maka Penggugat baru memberikan kuasa kepada kuasa hukum dengan menandatangani surat kuasa, karena permasalahan yang dihadapi oleh Penggugat tidak semudah yang dipikir dan Penggugat mendapat jawaban dari Tergugat dengan bahasa hukum yang sulit dimengerti oleh orang awam. Dalam jawabannya, Tergugat yang menyatakan bahwa Penggugat masih sering meminta uang kepada Tergugat untuk kebutuhan Penggugat sendiri walaupun Penggugat sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Hal dapat dilihat bahwa tanpa disadari oleh Tergugat, bahwasanya pengakuan Tergugat tersebut telah membenarkan dalil Penggugat yang mana Tergugat memang sudah tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada Penggugat, sedangkan hal tersebut merupakan kewajiban Tergugat. Dengan demikian, maka pernyataan Tergugat tersebut menunjukkan bahwa sifat Tergugat yang tidak bertanggungjawab sebagai suami, yang dikarenakan bahwa Penggugat sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Bahwa niat baik Penggugat untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga direspon dengan tidak baik oleh Tergugat, padahal Penggugat selalu menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga berdasarkan persetujuan Tergugat. Akan tetapi, apabila Pengugat minta sebagian penghasilan Tergugat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun pada saat Penggugat sedang butuh uang untuk pembayaran tagihan bulanan, maka hal
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
tersebut dianggap oleh Tergugat adalah sebagai hutang yang harus dikembalikan oleh Penggugat. Bahwa hilangnya kepercayaan dalam rumah tangga adalah dengan tidak dilibatkannya Penggugat untuk mengetahui dan mengelola penghasilan Tergugat guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Disamping itu, Tergugat terlalu sibuk dengan hobinya sehingga tidak memprioritaskan kepentingan rumah tangga. Sedangkan laki-laki yang dituduhkan Tergugat merupakan kenalan Penggugat yang memiliki usaha kap lampu, sehingga hubungan Penggugat dengan laki-laki tersebut hanya sebatas hubungan kerjasama usaha/bisnis dan tidak lebih dari itu. Bahwa dalil Tergugat yang menyatakan bahwa Penggugat sudah tidak memperdulikan kondisi anak-anak dan masih melakukan aktivitas lain setelah pulang kerja dan selalu pulang larut malam adalah sangat mengada-ada dan cenderung bersifat fitnah, karena Penggugat sudah tiba di rumah paling lambat pukul 21.00 WIB atau pukul 21.30 WIB. Adapun kegiatan yang dilakukan setelah jam kerja hanya nge-gym (olah raga) dan tidak lebih serta tidak pula melalaikan kewajibannya sebagai istri. Sebaliknya, Tergugatlah yang sering pulang larut malam tanpa pernah memperdulikan kondisi anak istri di rumah. Bahwa dengan adanya bepergian keluar kota bukanlah merupakan suatu kegiatan rutin. Terkait dengan hal tersebut, Tergugat tidak pernah bertanya perihal kepergian Penggugat, dan tidak pernah menghubungi untuk menanyakan kondisi atau mengabarkan kejadian, baik melalui sms atau telepon kepada Penggugat. Selain itu, Penggugat baru mengetahui bahwa anaknya sakit pada saat Penggugat kembali dari tugas. Bahwa keluarnya Tergugat dalam manajemen perusahaan tempatnya bekerja dikarenakan Tergugat sendiri yang mau keluar dan bukanlah karena demi kepentingan keutuhan rumah tangga, melainkan demi kepentingan Tergugat yang ingin punya usaha sendiri. Selain itu, Tergugat bersifat pasif dan tidak pernah menunjukkan usaha yang signifikan untuk mencari solusi kebuntuan komunikasi hubungan suami istri. Bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada keharmonisan lagi yang bukan disebabkan oleh pihak ketiga, melainkan disebabkan karena sudah tidak ada saling kepercayaan, Tergugat sudah melalaikan kewajibannya sebagai suami dengan tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Dengan adanya dalil-dalil diatas, maka majelis hakim memutuskan untuk memenangkan pihak Penggugat. Putusan yang diberikan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada Tingkat I, ternyata tidak seperti yang diharapkan oleh pihak Tergugat, sehingga Tergugat mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Kesimpulan Kesimpulan Penulis dalam penulisan ini, yaitu: 1. Cara untuk mendapatkan hak pengasuhan anak apabila terjadi perceraian, adalah dengan mengajukan gugatan bersamaan dengan diajukannya gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Setelah semua pemeriksaan perkara sampai pada kesimpulan, maka didalam putusan, majelis hakim memutuskan mengenai hak pengasuhan anak. Jika tidak terjadi perceraian, maka Pemohon dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dan majelis hakim memberikan penetapan yang menyatakan mengenai hak pengasuhan anak. Terkait dengan anak zina, majelis hakim harus memutuskan bahwa hak pengasuhan anak jatuh kepada ibunya karena anak zina hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu kandungnya dan keluarga ibunya, serta tidak bernasab kepada bapak biologisnya. Terkait dengan anak yang belum mumayyiz, maka sudah sepantasnya hakim memutuskan bahwa hak pengasuhan anak jatuh kepada ibu kandungnya.
Pertimbangan hakim dalam mengambil putusan terkait dengan pemberian hak asuh anak di Pengadilan Agama Tingkat I di Jakarta Selatan, dengan melihat fakta-fakta hukum, keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan keterangan para pihak serta bukti lainnya, bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran, yang penyebabnya antara lain adalah telah hilangnya kepercayaan diantara Penggugat dan Tergugat di bidang ekonomi, maupun adanya ketidakpercayaan Tergugat terhadap Penggugat yang mana Tergugat mempunyai kecurigaan bahwa Penggugat mempunyai hubungan dengan laki-laki lain. Bahwa Penggugat dan Tergugat sudah pisah ranjang selama kurang lebih 3 (tiga) tahun dan pisah tempat tinggal selama kurang lebih 1 (satu) bulan karena Penggugat meninggalkan Tergugat dan pulang ke rumah orang tuanya. Bahwa pihak keluarga Penggugat berusaha untuk mendamaikan Penggugat dan Tergugat, namun tidak berhasil. Telah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Dengan demikian, berarti alasan perceraian sebagaimana hal tersebut dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU Pekawinan Jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, telah terbukti. Dengan demikian, rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat ditegakkan lagi dan hakim memutuskan hak pengasuhan anak jatuh kepada ibu.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Sedangkan pertimbangan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, menyatakan bahwa hubungan suami istri sering berselisih dan cekcok setiap saat, adanya ketidakpercayaan terhadap istri karena istri sibuk dengan kepentingannya sendiri, serta sering pulang larut malam, rumah tangga sudah tidak harmonis dan keadaan ekonomi istri tidak mencukupi apabila hak asuh jatuh ke tangan istrinya, maka berdasarkan pertimbangan itu pembanding meminta hak asuh jatuh kepada bapaknya. 2. Putusan hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 36/Pdt.G/2011/PTA.JK yang menolak gugatan Penggugat Rekonvensi dan Menetapkan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sebagai pemegang hak hadhanah/pemelihara atas anak yang bernama AFW yang lahir pada tanggal 4 Desember 2003, dengan tidak mengurangi hak Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi selaku ibu kandungnya. Artinya, dalam hal ini hak asuh anak jatuh kepada bapaknya. Terkait hal ini, menurut Penulis kurang tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa berdasarkan Pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Oleh karena itu, anak yang masih dibawah umur seharusnya hak pengasuhan jatuh kepada ibu kandungnya, dengan pertimbangan bahwa ibunya adalah ibu yang baik, mampu mengurus dan membesarkan anaknya dengan kasih sayang, bertanggung jawab, memiliki penghasilan yang cukup karena bekerja di perusahaan, tidak gila atau terganggu ingatan, tidak dalam keadaan dikurung badannya karena suatu putusan pengadilan serta tidak berperilaku buruk. Dengan demikian, sudah sepatutnya putusan hakim di Pengadilan Tinggi Agama memutuskan bahwa hak pengasuhan anak dalam perkara ini jatuh kepada ibu kandungnya.
Saran Saran yang dapat Penulis sampaikan adalah : 1. Mengenai cara untuk mendapatkan hak pengasuhan anak akibat dari sebuah perceraian terhadap anak dibawah umur hendaknya ketentuan mengenai hak pengasuhan anak dapat lebih diperjelas dan diperinci lebih lanjut sehingga masyarakat dapat lebih memahami ketentuan mengenai hak pengasuhan anak. Pertimbangan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan melihat fakta-fakta hukum serta saksi dan bukti sudah jelas dan tepat, dengan demikian alasan dikabulkan penceraian oleh hakim memang harus berdasarkan pertimbangan tersebut . Namun Demikian, beda halnya dalam Pertimbangan Hakim di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Karena ada pertimbangan dari keberatan-keberatan Pembanding, yang menyatakan bahwa
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
penghasilan istri tidak mencukupi sehingga selalu meminta kepada suami, maka hakim mempertimbangkan hal berbeda dengan pertimbangan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Menurut Penulis, ini sangat membingungkan, padahal sudah jelas ibunya bekerja dan memiliki penghasilan. 2. Putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang mana memutuskan mengenai pengasuhan anak dibawah umur jatuh kepada ibunya, dapat dilihat bahwa hakim memiliki rasa kemanusiaan dan itikat baik. Sedangkan putusan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 36/Pdt.G/2011/PTA.JK, yang mana hak asuh anak jatuh kepada bapaknya menambah ketidakpastian, karena sudah jelas dikatakan dalam Pasal Pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian adalah anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Apabila anak sudah bisa memilih, maka ia dipersilahkan memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Pengadilan pada umumnya memberikan hak pemeliharaan anak dibawah umur kepada ibu kandungnya. Akan tetapi, bapak tetap bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Oleh karena itu, sebaiknya hakim di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta memutuskan berdasarkan ketentuan diatas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek). ________. Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. ________. Reglemen Bumiputera yang Diperbaharui (Het Herzienne Regeling (HIR)). ________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ________. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076. ________. Undang-Undang Tentang Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, LN No. 159 Tahun 2009, TLN No. 5078. ________. Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. ________. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, LN No. 109, TLN No. 4235. Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma No. 2 Tahun 2003. ________. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Mediasi Di Pengadilan. Perma No. 1 Tahun 2008.
B. BUKU Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Ed. 1, Cet. Ke-2, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. ________, Wahyono, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya,Cet. Ke-3, Jakarta : Rizkita Jakarta, 2008. ________, Wahyono, Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata buku Kesatu, Buku Ajar Kuliah Hukum Perkawinan dan Keluarga, Pasca Sarjana UI, Depok : 2006. Dewi, Gemala (ed), Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005. Djamali, R. Abdul. Hukum Islam “Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam II”, Cet. Ke-1. Bandung : Mandar Maju,1992. Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. ________, Neng. Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Cet. Ke-1. Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. Ke-3. Bandung : CV Mandar Maju, 2007. ________, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. Ke-1. Bandung : Mandar Maju, 1990.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
________, Hilman. Hukum Waris Adat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. Hamami, Taufiq. Hukum Acara Perdata Agama “Teori dan Prakteknya dalam Proses Peradilan Agama”, Cet. Ke-1. Jakarta : Tatanusa, 2004. Jauhari, Iman Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003. Kartohadiprodjo, Soediman. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984. Lubis, Sulaikin et al,. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Ed. 1, Cet. Ke-3, Jakarta : Kencana, 2008. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Ed. 1, Cet. Ke2. Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Mertokusumo,Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberti, 1998. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata “Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia”. Jakarta : Djambatan, 1999. Nuruddin, Amiur dan Azhari Kamal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. Ke-3. Jakarta : Kencana, 2006. Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Beserta Transliterasi Arab Latin, Bandung : CV. Gema Risalah Press Bandung. Prodjodikoro,Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-7, Bandung : Sumur Bandung, 1981. Projodikoro,Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung : Sumur, 1982. Ramulyo, Muh. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-1. Jakarta : Sinar Grafika, 1996. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. 2, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 1998. Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. Ke-8. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987. Sabiq, Sayyid Fikih Sunnah “Jilid 3”, Cet. Ke-1. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2008. ________, Sayyid. Fikih Sunnah “Jilid 4”, Cet. Ke-1. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, Jakarta: Universitas Indonesia, 2006. ________, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Ed. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2007. Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan UUP. Yogyakarta : Liberty 1999. Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat. Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. Ke-1. Jakarta : Gitama Jaya, 2005. Subekti, R. Hukum Acara Perdata, Cet. Ke-3. Bandung : Bina Cipta, 1989. _______, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke-XXVI. Jakarta : Internusa, 1994. Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992. Sumiarni, MG. Endang dan Chandera Halim. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga. Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2000. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Cet. Ke-11. Bandung : CV. Mandar Maju, 2009. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia “Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Cet. Ke-1. Jakarta : Prenada Media, 2006. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke-2. Jakarta : Universitas Indonesia. Witanto, D.Y. Hukum Keluarga “Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan”, Cet. Ke-1. Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2012.
C. LAIN-LAIN Andrian, Atik. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”. Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Juminan, Mendrofa “Pengaruh Hukum Perkawinan beda agama yang dilangsungkan di Luar Negeri dan yang telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Jakarta terhadap hubungan perdata suami isteri dan Harta Benda Perkawinan serta anak yang dilahirkan”. Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2006.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Sjahril Nasution, Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Hukum Yang Mengesampingkan Akta Perdamaian, (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2011). Yamani, Achmad Zaki. “Aspek Hukum Perlindungan Anak Pasca Perceraian Berdasarkan Analisis Putusan Pengadilan Agama Di Jakarta”, Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 2012. Zalyunia, Dwi. “Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Thesis magister kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2012.
Putusan hakim..., Endang Purwanti, FH UI, 2014