Hubungan antara Kecurangan Akademik dan Tipe Nilai Schwartz pada Mahasiswa Universitas Indonesia Ria Fuzy Oktavia Simatupang1, Airin Yustikarini Saleh2 1,2
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan tipe nilai dan kecurangan akademik pada mahasiswa Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan alat ukur Portrait Value Questionnaire (PVQ) dari Schwartz (1992) untuk mengukur nilai dan menggunakan alat ukur kecurangan akademik dari Lin dan Wen (2000) untuk mengukur perilaku kecurangan akademik. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian pada 179 mahasiswa menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara tiga tipe nilai yaitu tipe nilai self direction, conformity, universalism, dengan kecurangan akademik. Dengan kekuatan korelasi yang cukup lemah self direction (r= -.193; n= 179; p <0,001, one tail), conformity (r =-.198; n= 179; p <0,001, one tail) dan universalism (r= -.0148; n= 179; p <0,001, one tail). Karena lemahnya korelasi antara kedua variabel, maka terdapat beberapa saran yang direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya mengenai kecurangan akademik dan nilai. Kata kunci: nilai, kecurangan akademik, mahasiswa.
The Relationship Between Academic Dishonesty and Schwartz Value Type of Students in University of Indonesia Abstract This research is using Portrait Value Questionnaire (PVQ) from Schwartz (1992) for measuring values, and using academic dishonesty questionnaire from Lin and Wen (2000) for measuring academic dishonesty behavior. This research is conducted to describe correlation between type of values and academic dishonesty in University of Indonesia students. This study is a correlation study with quantitative approach. A sample of 179 college students was used to investigate the relationship between values and academic dishonesty behavior. The result indicate that there is a relationship between three type of values self direction, conformity, and universalism with academic dishonesty behavior. With weak correlation self direction (r= -.193; n= 179; p <0,001, one tail), conformity (r =.198; n= 179; p <0,001, one tail) dan universalism (r= -.0148; n= 179; p <0,001, one tail) . Based on the advice given in the thesis, further research is needed. Keywords: values, academic dishonesty, college students.
Pendahuluan Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan yang berkualitas adalah nilai evaluasi dari hasil pembelajaran yang telah dilakukan (Nursalam, Bani, & Munirah, 2013). Setiap pelajar berharap mendapatkan hasil evaluasi akademik yang baik,
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
karena mereka menganggap bahwa dengan hasil/nilai yang baik yang baik mereka bisa membanggakan orangtua dan dipandang sebagai pelajar yang pintar. Selain itu pula, dengan mendapatkan nilai yang baik mereka merasa akan mampu bersaing di dunia karir dan mendapatkan karir yang baik. Karena adanya anggapan yang seperti ini, akhirnya segala daya dan upaya dilakukan agar dapat berhasil dalam ujian ataupun dalam pengerjaan tugas-tugas, termasuk dengan melakukan kecurangan akademik (academic dishonesty). Berangkat dari istilah dishonesty yang artinya adalah kecurangan atau ketidakjujuran, sedangkan academic merupakan semua hal yang berhubungan dengan akademis, teori dan pengetahuan. Dari definisi tersebut maka kecurangan akademik (academic dishonesty) dapat diartikan sebagai semua tindakan curang atau tidak jujur dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan prestasi akademik siswa (dalam Yakin,2001). Lin dan Wen (2007) menyatakan bahwa kecurangan akademik adalah setiap perilaku dalam proses belajar siswa yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, dengan tujuan untuk memperoleh nilai yang tinggi. Seperti yang kita ketahui belum lama ini muncul berita yang cukup menghebohkan masyarakat luas, dimana puluhan mahasiswa Harvard ketahuan melakukan kecurangan saat mengikuti ujian akhir di kampus. Skandal menyontek massal ini terungkap ke publik pada Agustus 2012 lalu. Saat itu, dilaporkan sekitar 125 mahasiswa Harvard saling menyontek ketika mengikuti ujian akhir. Pihak kampus menyatakan adanya sejumlah mahasiswa yang melakukan tindakan tidak terpuji (dalam website detik.com). Fenomena mengenai kecurangan akademik di Indonesia juga tidak kalah menarik perhatian. Berdasarkan penelitian Nursalam, Bani, dan Munirah (2013) yang mengutip hasil survei Litbang Media Group pada 19 April 2007 terhadap 480 responden dewasa di enam kota besar di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas anak didik menyatakan pernah melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek ketika masih sekolah atau kuliah. Bahkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti ditemukan adanya tugas akhir (skripsi) mahasiswa yang mengindikasikan adanya praktik copy paste atau plagiarism dari satu skripsi dengan skripsi yang lainnya (Nursalam, Bani, & Munirah 2013). Selain itu data lainnya yang mendukung bahwa adanya perilaku curang yang dilakukan pelajar di indonesia adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian Yunissa (2012) yang meneliti tentang
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
perilaku menyontek mahasiswa di Universitas Indonesia menujukkan bahwa 53% dari responden penelitian memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menyontek, sedangkan pada penelitian Lasmahadi (1992) terhadap sekelompok mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 1991, menunjukkan bahwa 80,82% dari subyek melaporkan pernah menyontek. Menurut Monte dan Fish (1989 dalam Lashmahadi,1992), tingkah laku curang merupakan suatu interaksi antara faktor situasional dan faktor pribadi. Faktor pribadi adalah faktor yang terdapat dalam diri individu (faktor intrinsik) seperti nilai yang dianut, inteligensi, malas belajar dan takut akan kegagalan, self esteem dan need of approval, usia, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti tingkat resiko yang dihadapi, reward, tekanan dari orangtua untuk memperoleh nilai baik, norma kelompok, dan punishment. Penelitian ini sendiri ingin melihat hubungan dari salah satu faktor pribadi yaitu nilai yang dianut dengan perilaku kecurangan akademik yang dilakukan individu. Nilai dapat memberikan penjelasan terhadap alasan seseorang melakukan kecurangan. Pada penelitian Rokeach (1973) ditemukan bahwa nilai kejujuran memiliki korelasi yang tinggi dengan tingkah laku curang. Dimana semakin tinggi nilai kejujuran yang dianutnya maka akan semakin kecil kemungkinan seseorang menampilkan perilaku curang. Dalam penelitian Haryono (1998) dinyatakan bahwa nilai hedonisme dan konformitas memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku menyontek saat ujian pada mahasiswa. Selain itu juga nilai dapat memberikan penjelasan pada dua faktor yang mempengaruhi perilaku curang yang dinyatakan oleh Newstead, Stokes dan Armstead (1996) yaitu motivasi dan moralitas. Melalui motivasi, nilai akan mengarahkan dan memberikan intensitas emosional terhadap tindakan-tindakan yang diambil individu. Sedangkan melalui moralitas, nilai menjadi standar untuk menilai dan membenarkan suatu tindakan. Nilai menjadi standar untuk merasionalisasikan tindakan yang sebelumnya tidak dapat diterima secara personal maupul sosial. Dalam hal ini tindakan yang dirasionalisasikan tersebut adalah melakukan kecurangan akademik. Dalam penelitian ini sendiri akan menggunakan teori nilai dari Schwartz. Schwartz (1994) menyatakan bahwa nilai adalah tujuan-tujuan yang dikehendaki dalam beragam situasi yang bertindak sebagai prinsip pedoman dalam hidup seseorang atau perwujudan sosial lainnya. Ketika kita berpikir tentang nilai-nilai yang kita miliki, maka kita akan berpikir bahwa hal itu merupakan suatu yang penting
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
dalam kehidupan kita. Teori mengenai nilai yang terbaru lebih berfokus pada nilai dasar (basic values) yang dapat ditemui di semua budaya. Schwartz (2012) menyatakan bahwa setiap individu memiliki nilai-nilai dasar ini dengan beragam derajat kepentingan. Beberapa nilai mungkin akan sangat penting pada satu individu namun tidak dirasa penting oleh individu lainnya. Nilai ini diidentifikasi dalam sepuluh tipe nilai yang mengandung motivasi yang berbeda-beda dan hubungan yang dinamis satu dengan yang lainnya (Schwartz,2012). Nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa nilai dasar, setiap nilai mempunyai wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Schwartz (2012) berusaha merumuskan nilai-nilai yang terdapat dalam individu pada berbagai budaya dan menghasilkan 10 nilai dasar, yakni: power, hedonism, stimulation, self-direction, universalism, benevolence, tradition, konformitas, dan security. Beberapa nilai bertentangan satu dengan lainnya (contoh: benevolence (kebaikan) dan power (kekuatan)),
namun
yang
lainnya
memiliki
kecocokan
(contoh:
conformity
(konformitas) dan security (keamanan)). Adanya hubungan konflik dan keselarasan antara tipe nilai ini menunjukkan adanya struktur nilai. Nilai terstruktur dengan cara yang sama di seluruh kelompok budaya yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat susunan motivasi yang universal. Namun, meskipun sifat nilai-nilai dan struktur nilainya universal, individu dan kelompok memiliki perbedaan prioritas nilai yang dianut. Dalam penelitian ini sendiri akan menggunakan mahasiswa Universitas Indonesia sebagai partisipan penelitian. Berdasarkan pengalaman peneliti, ternyata memang masih ada saja mahasiswa yang melakukan kecurangan baik saat ujian maupun saat mengerjakan tugas. Ketika ujian masih banyak mahasiswa yang berani menggunakan telepon genggam untuk menyontek dan menyalin jawaban dari internet. Kebanyakan dari mereka menginginkan hasil yang memuaskan tanpa usaha yang keras dengan melakukan hal terlarang seperti itu dan juga tidak adanya kepercayaan diri dalam diri mereka yang dapat meyakinkan mereka bahwa sebenarnya
mereka
sanggup
mengerjakan
ujian
tanpa
harus
melakukan
kecurangan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tujuan yang ingin dicapai oleh UI, karena dengan melakukan tindakan curang tidak mungkin menjadi seorang lulusan yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut maka sebenarnya sangat penting untuk melihat bagaimana kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Indonesia dan melihat apakah perilaku curang tersebut memiliki hubungan dengan nilai-nilai yang mereka pegang sebagai pedoman hidup mereka. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kecurangan akademik dengan tipe nilai yang dipaparkan oleh Schwartz pada mahasiswa Universitas Indonesia . Tinjauan Teoritis Kecurangan Akademik Kecurangan akademik yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah kecurangan akademik dalam arti tidak hanya kecurangan dalam ujian saja, namun juga kecurangan saat melakukan tugas ataupun melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa saat menjalankan kegiatan akademik. Hal ini diperjelas dengan defenisi kecurangan akademik dari Lin dan Wen (2007)
yang
menyatakan bahwa kecurangan akademik adalah setiap perilaku
dalam proses belajar siswa yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, dengan tujuan untuk memperoleh nilai yang tinggi, contohnya, menyontek saat ujian, menyalin tugas orang lain, dan plagiat. Kecurangan akademik, menghalangi guru untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan akademik masing-masing siswa dan kemampuan lainnya yang dapat menunjang kemajuan siswa di kelas. Thorpe dalam Blair, Jones dan Simpson (1975) mengajukan 4 hal yang mungkin menjadi penyebab tingkah laku curang, yaitu: sulitnya tugas yang diberikan, standard yang dianut orangtua, guru atau anak terlalu tinggi, orangtua atau anak memberi penekanan lebih terhadap angka atau peringkat dibandingkan dengan pemahaman dan anak merasa tidak mampu atau tidak aman dalam banyak situasi. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku curang dibedakan menjadi 2 yaitu, faktor pribadi dan faktor situasi. Houston dan Mills (1958 dalam Haryono, 1998) menyatakan bahwa tingkah laku curang atau cheating dipengaruhi oleh faktor situasi. Sedangkan Monte dan Fish (1989 dalam Lashmahadi, 1992) menyatakan bahwa tingkah laku curang dalam tes merupakan hasil interaksi antara faktor situasi dan pribadi.
Haryono (1998) memaparkan bahwa faktor pribadi yang berkaitan
dengan tingkah curang yaitu: 1) takut akan kegagalan, 2) hasrat berprestasi, 3) harga diri, 4) moralitas, 5) nilai, 6) jenis kelamin.
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Hetherington
dalam Anderman dan Murdock (2007) mengelompokkan empat
bentuk kecurangan, yaitu: a) Individual-opportunistic cheating; mengganti suatu jawaban ketika ujian/tes berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru yang
mengawas
keluar
dari
ruangan.,
b)
Independent-planned
cheating;
menggunakan catatan untuk dijiplak ketika ujian berlangsung atau membawa jawaban yang telah selesai saat ujian daripada menuliskan kembali ketika ujian berlangsung., c) Social active cheating; menyontek atau menyalin jawaban orang lain., d) Social passive cheating; mengijinkan orang lain untuk menyontek’menyalin jawabannya. Nilai Secara umum, nilai merujuk pada arti penting dari suatu obyek bagi individu. Sesuatu dikatakan bernilai jika ia memiliki arti atau makna kepentingan bagi seseorang. Nilai yang dikemukakan dalam penelitian Schwartz (1992) dinyatakan sebagai pedoman hidup. Dengan demikian kita memisalkan seseorang menyatakan nilai kebebasan sebagai nilai/ pedoman hidup yang utama, maka ia akan mengarahkan tindakannya untuk mempertahankan atau memperoleh kebebasan tersebut. Berarti nilai memiliki dimensi tujuan dan memotivasi tindakan. Jika contoh tersebut kita letakkan pada titik yang ekstrim, maka individu dengan nilai kebebasan tersebut mungkin akan melakukan tindakan-tindakan untuk melukai atau menyakiti orang lain demi “kebebasan” yang berusaha diraihnya. Schwartz (1994) bahwa nilai adalah tujuan-tujuan yang dikehendaki dalam beragam situasi yang bertindak sebagai prinsip pedoman dalam hidup seseorang atau perwujudan sosial lainnya. Dalam definisi tersebut, maka nilai merupakan tujuan yang dikehendaki didalam beragam situasi dan tujuan ini kemudian berfungsi sebagai prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup seseorang atau suatu pranata sosial. Tujuan-tujuan yang dimiliki oleh individu itu berbeda dalam derajat kepentingannya, sehingga pada situasi tertentu akan timbul konflik antara satu tujuan yang lain (satu nilai dengan nilai yang lain). Penelitian Schwartz (1994) mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai (value type). Teori mengenai nilai yang terbaru lebih berfokus pada nilai dasar (basic values) yang dapat ditemui di semua budaya. Nilai ini diidentifikasi dalam sepuluh tipe nilai yang mengandung motivasi yang berbeda-
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
beda dan hubungan yang dinamis satu dengan yang lainnya (Schwartz,2012). Lalu masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah nilai yang lebih khusus. Setiap tipe nilai merupakan wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Schwartz (1994) menyatakan bahwa secara khusus, nilai mewakili, dalam bentuk tujuan yang disadari, respons terhadap tiga persyaratan universal yang harus diatasi oleh individu maupun masyarakat : kebutuhan individu sebagai organisme biologis (organisme), kebutuhan akan interaksi sosial yang terkoordinasi (interaksi), dan kebutuhan akan .kelancaran fungsi dan kehidupan kelompok (kelompok). Kesepuluh tipe nilai tersebut adalah kekuasaan,
prestasi,
hedonisme,
stimulasi,
pengarahan
diri,
universalisme,
kebaikan, tradisi, konformitas, dan keamanan. . Berikut adalah penjelasan mengenai 10 tipe nilai (values types) tersebut , yaitu: 1. Power (Kekuasaan) Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasikan melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (specific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition. 2. Achievement (Prestasi) Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential. 3. Hedonism (Hedonisme) Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan
dengan
pemuasan
kebutuhan
tersebut.
Tipe
nilai
ini
mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk dalam tipe nilai ini adalah: pleasure, enjoying life. 4. Stimulation (Stimulasi) Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivational dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, variabel life, exciting life. 5. Self Direction (Pengarahan Diri) Tujuan
utama
dari
nilai
ini
adalah
pikiran
dan
tindakan
yang
tidak
terikat(independent), seperti memilih , mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent. 6. Universalism (Universalisme) Tujuan motivasional dari universalisme adalah pemahaman, apresiasi, toleransi dan perlindungan atas kesejahteraan setiap orang dan alam Hal ini sangat berbeda dengan nilai kebaikan yang memiliki fokus yang lebih sempit. Tujuan motivasional dari universalisme didasarkan pada kebutuhan akan kelangsungan hidup bagi kelompok atau individu yang menjadi nyata ketika orang melakukan kontak dengan orang lain yang berasal dari luar kelompok primernya dan menyadari kelangkaan sumber daya alam. Orang mungkin kemudian menyadari bahwa kegagalan untuk menerima orang lain yang berbeda dan memperlakukan mereka dengan adil akan menghasilkan perjuangan yang mengancam jiwa dan kegagalan melindungi lingkungan ilmiah akan menghasilkan kehancuran sumber daya tempat bergantungnya hidup. Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broadminded, social justice, equality, wisdom, inner harmony. 7. Benevolence (Kebaikan) Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik untuk
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
afiliasi. Tujuan motivational dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love. 8. Tradition (Tradisi) Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect for tradition. 9. Conformity (Konformitas) Tujuan dari tipe nilai ini adalah adanya pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Nilai
ini diambil dari kebutuhan
individu untuk mengurangi
perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring, parents and elders, self dicipline. 10. Security (Keamanan) Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging. Mahasiswa Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Indonesia. Peneliti memilih menggunakan mahasiswa UI sebagai partisipan penelitian karena mengingat UI adalah universitas terbaik di Indonesia sehingga menarik jika diteliti perilaku kecurangan akademik di kalangan mahasiswa UI. Mahasiswa UI adalah mahasiswa-mahasiswa pilihan yang melalui berbagai seleksi untuk dapat menjadi salah satu mahasiswa di Universitas Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara yang
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
peneliti lakukan dengan orang-orang
yang berada di luar civitas ui, mereka
mengatakan bahwa mahasiswa UI adalah orang-orang pintar dan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak benar seperti melakukan kecurangan akademik karena akan merusak nama universitas dan juga mempermalukan diri mereka sendiri.
Berdasarkan pengalaman peneliti,
ternyata masih banyak mahasiswa UI yang melakukan kecurangan akademik. Dan tingkah laku ini bertolak belakang dengan visi misi yang dianut oleh Universitas Indonesia yang ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas dan memiliki akhlak yang baik. Mahasiswa berada pada tahap perkembangan dewasa muda (young adulthood). Tahap dewasa muda dimulai dari usia 20-40 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Tahapan ini disebut juga dengan istilah emerging adulthood yaitu masa dimana individu tidak lagi remaja, namun belum menjadi dewasa sepenuhnya. Tahap perkembangan ini ditandai oleh beberapa tugas perkembangan yaitu kuliah di perguruan tinggi, kerja, tinggal di tempat yang jauh dari rumah, menikah, dan punya anak, dimana urutan dan waktu perkembangan ini berbeda-beda bagi setiap individu (Schulenberg, O’Malley, Bachman & Johnson dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007). Masa perkuliahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan penemuan yang bersifat intelektual dan perkembangan diri terutama kemampuan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, serta penalaran moral (Montgomery dan Cote, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007). Dan juga merupakan hal yang penting untuk membangun hubungan sosial yang kuat dan membuat jaringan di lingkungan akademik baik dengan teman sebaya maupun staff pengajar (Montgomery dan Cote, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007). Crown dan Spiller (1998 dalam Yunissa, 2012) melihat adanya indikasi yang konsisten bahwa mahasisw akan menyontek apabila ia melihat mahasiswa lain melakukannya, atau jika mereka mempersepsikan bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan hal yang wajar serta dapat diterima oleh teman-temannya. McCabe dan Trevino (1997) menambahkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap penolakan dan celaan dari teman-teman seperkuliahan dapat menjadi prediktor yang sangat kuat dalam menurunkan perilaku menyontek. Metode Penelitian
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Hipotesis Hipotesis Alternatif 1 (Ha1) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai power (kekuasaan) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 2 (Ha2) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai achievement (prestasi) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 3 (Ha3) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai hedonism (hedonisme) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 4 (Ha4) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai stimulation (stimulasi) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 5 (Ha5) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai self-direction (pengarahan diri) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 6 (Ha6) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai universalism (universalisme) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 7 (Ha7) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai benevolence (kebaikan) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 8 (Ha8) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai tradition (tradisi) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 9 (Ha9)
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai conformity (konformitas) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Hipotesis Alternatif 10 (Ha10) Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara skor tipe nilai security (keamanan) dengan skor kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Variabel Penelitian Variabel Pertama dari peneltian ini adalah kecurangan akademik. Definisi konseptual dari kecurangan akademik adalah setiap perilaku dalam proses belajar siswa yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, dengan tujuan untuk memperoleh nilai yang tinggi, contohnya, menyontek saat ujian, menyalin tugas orang lain, dan plagiat (Lin dan Wen, 2007). Definisi operasional dari kecurangan akademik adalah skor total dari alat ukur kecurangan akademik, dimana semakin tinggi skor total dari alat ukur kecurangan akademik, maka semakin sering kecurangan akademik yang dilakukan individu dan berlaku sebaliknya. Variabel kedua dalam penelitian ini adalah nilai yang dikembangkan oleh Schwartz (1994) yang terdiri dari tipe nilai power, achievement, hedonism, stimulatiion, self direction, universalism, benevolence, tradition, conformity, dan security. Definisi operasional dari nilai adalah berdasarkan centered value scores dari alat ukur Portrait Value Questionnaire (PVQ) 40 item yang dikembangkan oleh Schwartz (1994). Namun untuk mengetahui gambaran prioritas, diperoleh melalui rata-rata skor total dari masing-masing tipe nilai yang diperoleh melalui pembagian skor total dengan jumlah item masing-masing tipe nilai. Desain dan Strategi Penelitian Tipe penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan aplikasi penelitian, berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, dan berdasarkan tujuan penelitian (Kumar, 2012). Penelitian ini tergolong applied research, karena teknik, prosedur, dan metode penelitan diaplikasikan untuk memperoleh informasi mengenai aspek dari situasi, isu, dan masalah atau fenomena yang terjadi. Berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, karena data yang diperoleh berupa angka yang akan diolah dengan perhitungan statistik
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
yang kemudian diinterpretasikan untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian korelasional, yaitu untuk mengetahui hubungan antara nilai dan perilaku curang. Partisipan Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa program sarjana di Universitas Indonesia yang berada pada tahap perkembangan remaja akhir dan dewasa awal (emerging adulthood) berusia 18-22 tahun. Partisipan yang dipilih adalah partisipan yang sedang menjalani semester akhir. Karena, mahasiswa semester akhir (semester 7,8 dan 9) dianggap lebih memiliki banyak pengalaman dalam mengerjakan ujian dan juga sudah banyak mengerjakkan tugas-tugas selama menjalani masa perkuliahan dibandingkan dengan mahasiswa semester awal. Berdasarkan pengalaman dari peneliti ternyata masih banyak mahasiswa yang melakukan kecurangan akademik selama kuliah. Instrumen Penelitian Portrait Value Questionnaire (PVQ) ― Schwartz Portrait Value Questionnaire (PVQ) adalah tes tipikal yang bertujuan untuk mengukur value
priorities yang membentuk suatu sistem nilai . Sebelumnya
Schwartz telah mengkonstruksi Schwartz Value Survey (SVS). Alat ukur nilai SVS menggunakan item-item yang sifatnya abstrak, sehingga orang yang tidak terbiasa berpikir secara abstrak tidak dapat menunjukkan performa yang baik pada tes ini. Berbeda dengan SVS, PVQ menggunakan item yang menggambarkan suatu pribadi dengan lebih konkret.
Setiap item mendeskripsikan tujuan, aspirasi, keinginan
seseorang yang secara implisit, mengarah pada pentingnya sebuah nilai. Orang yang tidak terbiasa berpikir abstrak pun dapat mengerjakan tes tersebut dengan baik. bahkan Schwartz sendiri mengemukakan bahwa tes ini dapat dikerjakan oleh partisipan usia 11 tahun sampai dengan lansia (Schwartz, 2007). Academic Dishonesty Questionnaire Alat ukur yang digunakan untuk menelitik tingkat kecurangan akademik pada mahasiswa diadaptasi dari alat ukur yang dikembangkan oleh Lin & Wen (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Academic Dishonesty in Higher Education. Peneliti melakukan adaptasi terhadap alat ukur ini dengan menterjemahkan ke dalam bahasa
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
indonesia serta melakukan expert judgement dengan dosen yang memiliki pengalaman cukup banyak terhadap topik yang diangkat oleh peneliti. Alat ukur kecurangan akademik yang dikembangkan oleh Lin & Wen ini merepresentasikan empat area dalam kecurangan akademik yaitu curang dalam ujian (cheating on test), curang dalam pengerjaan tugas (cheating on assignment), plagiat (plagiarism), dan bentuk lainnya (others). Dalam alat ukur ini mahasiswa akan ditanyai tentang sikap dan tingkah laku mereka. Prosedur Pengolahan Data Pada proses pengolahan data, peneliti menggunakan Microsoft Excel untuk mempermudah
proses
skoring.
Selanjutnya
hasil
skoring
diolah
dengan
menggunakan SPSS for Windows. Teknik olah data yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1.
Statistik Deskriptif Teknik statistik ini digunakan untuk mengolah data demografis dan data demografis yang tersedia. Hasil dari teknik ini dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristik dari sampel peneltian yang berdasarkan frekuensi, nilai rata-rata (mean), nilai maksimum, nilai minimum, dan persentase skor.
2.
Pearson Correlation Untuk mengetahui hubungan antara setiap tipe nilai dengan
kecurangan
akademik, peneliti tidak menggunakan teknik partial correlation. Hal ini dikarenakan
setiap nilai pada
individu
yang terbuang melalui partial
correlation merupakan hal yang sangat bermakna (Schwartz,2014). Oleh sebab itu peneliti memilih untuk menggunakan
pearson correlation untuk
melakukan korelasi masing-masing tipe nilai dengan kecurangan akademik. Menurut Gravetter dan Wallnau (2009), teknik pearson correlation digunakan untuk mengukur seberapa besar hubungan linear dari dua variabel penelitian. Pada penelitian ini, peneliti akan mengkorelasikan variabel kecurangan akademik dengan nilai pada mahasiswa
Universitas Indonesia. Selain itu,
sebagai hasil tambahan, peneliti juga akan mengkorelasikan kecurangan akademik dengan dimensi nilai, yaitu self-transcedence, openness to change, self-enhancement, dan conservation. 3.
Independent Sample t-test
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Teknik ini digunakan untuk mengetahui perbandingan skor nilai dan kecurangan akademik berdasarkan aspek demografis terhadap dua kelompok sampel. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tabel 4.1 Gambaran Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Karakterisitik Partisipan Jenis Kelamin
Usia
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
90
50,3
Perempuan
89
49,7
18-20 tahun
63
35,2
>20 tahun
116
64,8
179
100
Total
Tabel 4.1 menunjukkan gambaran partisipan berdasarkan jenis kelamin, dimana laki-laki berjumlah 90 orang dengan persentase sebesar 50,3%, sementara perempuan berjumlah 89 orang dengan persentase sebesar 49,7%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa dari total keseluruhan responden,
jumlah
partisipan laki-laki dan perempuan tidak terlalu berbeda. Tabel. 4.4 Hubungan antara Kecurangan Akademik dan Nilai Mahasiswa UI
Kecurangan akademik
Tipe Nilai Self-Direction Stimulation Hedonism Achievement Power Security Conformity Tradition Benevolence Universalism
r
P
-.193 -.026 .137 .133 -.061 .087 -.198 .200 .060 -.148
.006 .370 .037 .042 .214 .131 .005 .004 .217 .027
Dari tabel diatas diketahui bahwa adanya hubungan antara kecurangan akademik dengan enam tipe nilai. Adapun nilai yang secara signifikan berkorelasi secara negatif adalah self direction, conformity, dan universalism (p<0,05). Dengan besaran korelasi (r) antara kecurangan akademik dengan self direction, conformity
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
dan
universalism
masing-masing
sebesar -0,193, -0,198, dan -0,148. Artinya
semakin tinggi skor self direction,conformity, dan universalism
maka semakin
rendah skor kecurangan akademik. Selanjutnya nilai yang secara signifikan berkorelasi positif dengan kecurangan akademik adalah hedonism, achievement, dan tradition (p<0,005). Dengan besaran korelasi
(r) antara kecurangan akademik dengan hedonism, achievement, dan
tradition masing-masing sebesar 0,137, 0,133, 0,200. Artinya semakin tinggi skor hedonism, achievement, dan tradition maka semakin tinggi pula skor kecurangan akademik.
Kesimpulan Hasil korelasi antara variabel kecurangan akademik dengan variabel nilai menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dan signifikan pada enam tipe nilai. Tipe nilai yang memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan adalah tipe nilai self direction, conformity, dan universalism yang berkorelasi negatif dengan kecurangan akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan skor pada domain self direction, conformity, dan universalism akan diikuti dengan penurunan skor pada variabel kecurangan akademik dengan kata lain semakin tinggi self direction, conformity, dan universalism seseorang maka akan semakin rendah tingkat kecurangan akademiknya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan nilai yang bermakana signifikan dan berkorelasi positif adalah tipe nilai hedonism, achievement, dan tradition. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan skor domain hedonism, achievement dan tradition maka semakin tinggi pula skor kecurangan akademik. Dengan kata lain semakin tinggi hedonism, achievement, dan tradition seseorang maka akan semakin tinggi juga tingkat perilaku kecurangan akademiknya. Diskusi Tipe nilai yang berhubungan secara negatif dan signifikan adalah tipe nilai self-direction
(pengarahan
diri),
conformity
(konformitas)
dan
universalism
(universalisme). Dalam Schwartz (1994) dinyatakan bahwa pengarahan diri memiliki tujuan utama untuk memiliki pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), seperti memilih, mencipta dan menyelidiki, selain itu juga tipe nilai ini mengarahkan
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
seseorang untuk memiliki ide baru, berencana, memiliki sifat ingin tahu dan mengerti (mastery). Dilihat dari tujuan tipe nilai ini maka seseorang yang memiliki tipe nilai ini akan berusaha untuk mengerti akan hal-hal yang dia pelajari dan tidak melakukan kecurangan akademik karena dia berusaha untuk bersikap mandiri, tidak tergantung pada contekan kecil atau meminta bantuan orang lain utnuk memberikan jawaban saat mengerjakan ujian ataupun tugas. Pada penelitian ini tidak terlihat hubungan yang negatif dan signifikan dengan tipe nilai benevolence (kebaikan) yang memiliki nilai khusus kejujuran dengan perilaku kecurangan akademik, sedangkan dalam penelitian Rokeach (1973) tentang hubungan antara nilai dengan perilaku curang dalam kelas ditemukan bahwa kejujuran memiliki koralasi negatif dengan perilaku curang. Untuk nilai universalism sendiri, Schwartz (1994) menyatakan bahwa tujuan motivational dari nilai ini adalah pemahaman. Sehingga berdasarkan hal ini maka memang sesuai jika seorang mahasiswa paham akan pelajaran yang diajarkan maka kemungkinan semakin kecil intensi dia untuk melakukan kecurangan. Pada nilai conformity, Schwartz menjelaskan bahwa nilai ini memiliki tujuan pembatasan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Berdasarkan tujuan tersebut maka jika seseorang yang memiliki nilai conformity yang tinggi maka semakin kecil kemungkinan dia untuk melakukan kecurangan, karena kecurangan akademik merupakan suatu hal yang tidak sesuai dalam norma-norma sosial. Dalam penelitian Haryono (1998) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan siginfikan pada tipe nilai hedonisme dengan perilaku menyontek serta terdapat hubungan yang negatif dan signifikan pada tipe nilai konformitas dengan perilaku menyontek. Hal ini sejalan dengan penemuan dalam penelitian ini yang menunjukkan signifikan negatif pada tipe nilai conformity dan signifikan positif pada tipe nilai hedonism. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tipe nilai hedonism, achievement, dan tradition berkorelasi positif dan signifikan. Achievement dan hedonism memiliki pencapaian nilai yang seiring satu sama lain, yaitu keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi kegairahan dalam diri. Dalam Schwartz (1994) dinyatakan bahwa tipe nilai hedonism bertujuan untuk mengutamakan kesenangan dan kepuasaan untuk diri sendiri. Berdasarkan dengan tujuan tersebut maka seseorang seseorang melakukan kecurangan akademik disebabkan karena keinginan dari dalam dirinya untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Misalnya seorang mahasiswa akan dapat memenuhi kebutuhan akan pleasure dengan mendapatka nilai yang
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
tinggi dan dianggap pintar maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dia melakukan segala upaya salah satunya dengan melakukan kecurangan akademik. Jika berdasarkan asumsi tersebut maka memang benar jika tipe nilai hedonism berkorelasi secara positif dengan perilaku kecurangan akademik. Sedangkan untuk tipe nilai achievement, Schwartz (1994) menyatakan bahwa tipe nilai ini mengutamakan keberhasilan pribadi. Berdasarkan hal tersebut jika seseorang yang memprioritaskan tipe nilai ini maka dapat melakukan apapun untuk mencapai keberhasilan pribadi, salah satunya dengan melakukan kecurangan akademik. Pada tipe nilai achievement, tipe nilai bertujuan untuk menunjukkan kompetensi sehingga dianggap sebagai seseorang yang capable dan succesfull (Schwartz,1994), berdasarkan hal tersebut seseorang melakukan kecurangan bukan untuk memuaskan diri karena mendapatkan nilai yang bagus namun untuk mendapatkan pandangan yang positif dari orang lain dan dianggap berhasil dalam pendidikan. Seperti yang dijelaskan oleh Thorpe dalam Blair, Jones dan Simpson (1975) bahwa ternayata perilaku curang itu dapat juga disebakan oleh tuntutan dari orangtua ataupun guru yang terlalu tinggi, sehingga menyebabkan anak melakukan segala hal untuk mencapai tuntutan tersebut dengan salah satunya melakukan kecurangan akademik. Jika berdasarkan asumsi tersebut maka benar jika achievement berkorelasi positif dengan kecurangan akademik. Pada tipe nilai tradition Schwartz menyatakan bahwa tipe nilai ini memiliki tujuan untuk mendapatkan penghargaan, komitmen dan penerimaan terhadap kebiasaan atau tradisi. Berdasarkan hal tersebut maka ada kemungkinan seseorang yang memiliki nilai tradition merasa bahwa dilingkungannya sudah merupakan suatu kebiasaan ataupun tradisi untuk melakukan kecurangan akademik, mungkin karena sulitnya tugas yang diberikan. Thorpe dalam Blair, Jones dan Simpson (1975) menyatakan bahwa tugas diberikan dengan tujuan untuk melatih keterampilan anak. Ketika tugas dirasakan terlalu berat dan anak menerima tekanan untuk mampu menyelesaikannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan menyontek. Oleh sebab itu mahasiswa tersebut mengikuti tradisi maupun kebiasaan yang sudah ada, sehingga benar bahwa tradisi berkorelasi positif dengan kecurangan akademik Dalam
beberapa
studi
disebutkan
bahwa
perbedaan
jenis
kelamin
memengaruhi tingkah laku curang pada mahasiswa. Laki-laki diketahui lebih berani dalam
melakukan
kecurangan
akademik
dibandingkan
dengan
perempuan
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
(Calabrase & Cochran et al, dalam Anderman & Murdock, 2007) karena perempuan memiliki standar moral yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Namun hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kecurangan akademik pada laki-laki maupun perempuan. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti merasa terdapat kendala pada sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam pengumpulan data membuat penyebaran kuesioner menjadi tidak merata, baik dari jenis kelamin, dan usia. Hal ini disebabkan karena peneliti tidak menentukan jumlah partisipan laki-laki dan perempuan secara seimbang, selain itu juga usia partisipan yang tidak merata. Kriteria-kriteria yang tidak merata tersebut dapat menjelaskan beberapa temuan penelitian yang tidak signifikan. Jumlah subjek untuk penelitian kuantitatif ini juga dirasakan masih kurang. Subjek dalam penelitian ini hanya berjumlah 179 orang, sementara populasi mahasiswa Universitas Indonesia sangat besar. Oleh sebab itu jumlah partisipan kurang bisa mewakili mahasiswa Universitas Indonesia. Selain itu peneliti juga memiliki masalah dalam alat ukur. Pada alat ukur kecurangan akademik peneliti tidak melakukan uji social desirability terlebih dahulu, padahal topik yang diangkat merupakan topik yang cukup sensitif sehingga ada kemungkinan partisipan tidak menjawab sesuai dengan kenyataan. Pada alat ukur nilai, persebaran item di setiap komponen tidak merata dan peneliti tidak melakukan kajian ulang atau revisi item terhadap alat ukur yang dipakai. Pada instrumen penelitian alat ukur nilai peneliti tidak menggunakan narasi di awal kuesioner padahal narasi tersebut cukup penting untuk membuat partisipan mengerti akan maksud dari tiap item yang terdapat dalam alat ukur terlebih karena alat ukur nilai yang digunakan merupakan bentuk potret diri seseorang sehingga ada kemungkinan partisipan penelitian kurang paham akan apa yang mereka harus lakukan. Selain itu juga ada kemungkinan bahwa proses adaptasi yang dilakukan masih kurang tepat sehingga kurang sensitif dalam mengukur variabel yang ingin diukur. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, terdapat beberapa saran metodologis yang dapat peneliti ajukan untuk dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, yaitu: 1). Mencari sampel yang lebih dapat mewakili kriteria yang sesuai dengan topik penelitian (lebih heterogen).
2) Perlu dilakukan uji coba
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
untuk
mengukur tingkat social desirability pada alat ukur kecurangan akademik. 3) Pada alat ukur PVQ perlu dilakukan perbaikan seperti menambahkan penjelasan mengenai cara menjawab dan narasi yang digambarkan setiap item dalam alat ukur PVQ, sehingga partisipan lebih memahami cara mengisi alat ukur ini. 4) Pada instrumen penelitian, perlu adanya perbaikan instruksi alat ukur. Seperti pada alat ukur PVQ, dimana tidak adanya penjelasan mengenai cara menjawab dan hal yang digambarkan setiap item alat ukur sehingga adanya kemungkinan partisipan tidak mengerti dalam mengerjakan atau mengisi alat ukur PVQ dan tidak paham akan maksud setiap item sehingga jawaban yang diberikan kurang sesuai. 5) Perlu dilakukan pengujian di 3 rumpun ilmu di Universitas Indonesia, sehingga dapat terlihat bagaimana tingkat kecurangan akademik di masing-masing fakultas. 5) Mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum tipe nilai tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecurangan akademik, maka perlu diperhatikan faktor lain yang juga dapat memengaruhi individu melakukan kecurangan akademik. Selain nilai, juga perlu diketahui bahwa terdapat faktor lain seperti harga diri, moralitas, tingkat kecemasan dan hal lain yang mungkin terkait dengan kecurangan akademik yang bisa dimasukkan dalam variabel penelitian. Kepustakaan Anderman, E.M., Griesinger, T., & Westerfield, G. (1998). Motivation and Cheating During Early Adolescence. Journal of Educational Psychology, 90, 1, 84-93. Anderman, E. M., & Murdock, T. B. (2006). Motivational Perspectives on Student Cheating: Toward an Integrated Model of Academic dishonesty. Educational Psychologist, 41(3),129-145. Anderman, E. M., & Murdock, T. B. (2007). Psychology of Academic Cheating. Burlington: Elsevier Inc. Anastasi, A. & Urbina, S. (2007). Psychology Testing (7th ed.). New Jersey: PrenticeHall. Blair, M.G., Jones S.R., & Simpson R.H. 1975. Educational Psychology 4th edition. New York: McMillan Publishing Co. Bolin, A.U. (2004). Self-Control, Perceived Opportunity, and Attitudes as Predictors of Academic Dishonesty. Journal of Psychology, 138(2), 101-114. Davis, S. F., Drinan, P. F., & Gallant, T. B. (2009). Cheating in School. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Ebel, R. L., & Frisbie, D. A. (1986). Essential of Educational Measurement (4th ed). New Jersey: Prentice-Hall Inc.. Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2007). Statistic for the Behavioral Sciences. Belmont: Thomson Wadsworth. Gitaniali, B. (2004). Academic Dishonesty in Indian Colleges. Journal of Postgraduate
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Haryono, Marcellus. (1998). Hubungan Tingkah Laku Curang dalam Ujian dengan Nilai yang Dianut Manusia. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jensen, L. A., Arnett, J.J., Feldman, S.s., & Cauffman, E. (2001). It’s Wrong, But Everybody Does It: Academic Dishonesty among High School and College Students. Journal of Educational Psychology, 27, 209-228. Klausmeier, H.J. (1985). Educational Psychology. 5th ed. New York: Harper & Row. Lasmahadi, A. (1992). Hubungan Interaksi Self-Esteem Akademis, Takut Terhadap Kegagalan dan Strategi Coping Kecemasan Tes Terhadap Tingkah Laku curang Selama Ujian. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Lin, C., & Wen, Ling-Yu. (2007). Academic Dishonesty in Higher Education: A Nationwide Study in Taiwan. Research in Higher Education, 54, 85-97. Mccabe, D.L., & Trevino, L.K. (1997). Individual and Contextual Influences on Academic Investigation. Research in Higher Education, 38. Murdock, T. B., & Anderman, E. M. (2006). Motivational Perspective on Student Cheating: Toward an Integrated Model of Academic Dishonesty. Educational Psychologist, 41(3), 129-145. Newstead, S. E., Stokes, A.F., & Armstead, P. (1996). Individual Differences in Student Cheating. Journal of Educational Psychology. Vol. 88, No. 2, 229-241. Nursalam, Bani, S., & Munirah. (2013). Bentuk Kecurangan Akademik (Academic Cheating) Mahasiswa PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alaudin Makassar. Lentera Pendidikan, 16, 127-138. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: Mc-Graw Hill. Rokeach, Milton. (1973). The Nature of Human Values. Detroit: Free Press. Santrock, J. W. (2009). Educational Psychology .4th ed. New York: McGraw-Hill. Schwartz, S. H. (1992). Universal in the Content and Structure of Values: Theoretical Advances and Empirical Tests in 20 Countries. Advance in experimental social psychology, 25. Schwartz, S. H. (1994). Are There Universal Aspects in the Structure and Contents of Human Values? The Society for the Psychological Study of Social Issues. Schwartz, S. H. (2012). An Overview of the Schwartz Theory of Basic Values. Online Reading in Psychology and Culture. Sarwono, Sarlito W. Dkk. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Empat. Simkin, Mark G., & McLeod, Alexander. (2010). Why Do College Students Cheat?. Journal of Business Ethics, 94, 441-453. Yakin, Eky K. (2001). Hubungan Antara Sikap Moral Permisif dan Kecurangan Akademis. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Yunissa, R. A. (2012). Hubungan Antara Optimisme dan Menyontek Pada Mahasiswa. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hubungan antara perilaku kecurangan ..., Ria Fuzy Oktavia Simatupang, F.PSIKOLOGI UI, 2014