8
koefisien regresi berganda dari variabel tak bebas Y terhadap variabel bebas Xi. Pada kasus ini, persamaan mengandung arti sebagai berikut, seperti yang telah dimodelkan Merdun (2003) di Sungai Saluda, California Utara : Y : Debit Aliran Sungai (m3/s) A0 : Titik potong atau intersep Ai : Koefisien regresi berganda ke-i Xi : Curah Hujan Stasiun ke-i (mm) ɛ : Sisaan
Uji kelayakan model dan pemeriksaan asumsi Performa model secara umum dalam metode regresi berganda dapat dilihat dari nilai p-value. Model dikatakan layak apabila nilai p-value lebih kecil dari α yang digunakan (Tasker dan Mily 2005). Setelah model dikatakan layak secara umum, dilakukan uji multikolinearitas. Dalam regresi berganda terdapat asumsi tambahan yang harus dipenuhi, dimana masing-masing variabel bebas yang diamati harus terbebas dari gejala multikolinearitas. Gejala multikolinearitas adalah gejala korelasi antar variabel, dan masing-masing variabel saling mempengaruhi. Variance inflation factor (VIF) dapat menjadi alat untuk mendeteksi gejala ini. Nilai VIF yang lebih besar dari 5 – 10 mengindikasikan terdapat gejala multikolinearitas yang signifikan. Menurut Matson (2007), tahapan lebih lanjut dalam menilai kebaikan model analisis regresi adalah pemeriksaan asumsi dari sisaan ɛ yang dihasilkan, antara lain : i. Galat saling bebas satu sama lain atau tidak ada masalah kolinier Secara eksploratif, plot sisaan yang dapat dipergunakan untuk memeriksa asumsi ini adalah plot antara sisaan dengan urutan sisaan tersebut. Apabila sisaan saling bebas, maka plot tersebut tidak akan memiliki pola apapun. ii.
Memiliki ragam yang konstan (homogen) Asumsi kehomogenan ragam memainkan peranan yang sangat penting di dalam pendugaan dengan metode kuadrat terkecil. Asumsi ini berimplikasi bahwa setiap pengamatan pada peubah respon mengandung infomasi yang sama penting. Pengaruh dari tidak dipenuhinya asumsi ini adalah presisi penduga metode kuadrat terkecil menjadi lebih kecil. Secara eksploratif ragam dikatakan
homogen jika titik-titik tersebar secara merata atau seimbang baik di atas maupun dibawah garis, dengan maksimum ragam yang kecil. iii. Galat mengikuti sebaran normal Pemeriksaan terhadap asumsi kenormalan dapat dilakukan dengan histogram sisaan maupun plot normal. Data menyebar normal apabila titik-titik sisaan berada disekitar garis atau mengikuti pola pada kurva normal.
Transformasi Transformasi merupakan suatu teknik untuk mengatasi apabila asumsi dalam regresi berganda tidak terpenuhi, khususnya masalah data yang tidak normal dan ragam yang tidak homogen. Transformasi merupakan usaha untuk mengubah peubah dependen menggunakan fungsi matematika tertentu (Agarwal dan Pant 2009). IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Kondisi Umum Daerah Penelitian Karakteristik data curah hujan di ketiga stasiun (Gunung Mas, Citeko, Katulampa), meliputi curah hujan rata-rata bulanan, curah hujan maksimum dan minimum bulanan selama lebih kurang 30 tahun. Berdasarkan analisis, rata-rata curah hujan di wilayah kajian termasuk tinggi, dimana hujan hampir terjadi sepanjang tahun. Curah hujan bulanan rata-rata maksimum terjadi terutama pada musim hujan yaitu bulan Januari dan Februari baik di Stasiun Gunung Mas, Citeko maupun Katulampa. Curah hujan rata-rata tahunan di stasiun Gunung Mas, Citeko, dan Katulampa berdasarkan perhitungan menggunakan periode 1978-2010, berturut-turut bernilai 3496 mm/tahun, 3185 mm/tahun, dan 4170 mm/tahun (Gambar 3a, 3b dan 3c). Kejadian banjir di mercu Bendung Katulampa, dari tahun 1996-2008 terdiri dari 142 kejadian banjir. Berdasarkan kejadian tersebut, sebagian besar banjir terjadi pada bulan Januari dan Februari. Dari data yang diperoleh, curah hujan ekstrim harian yang pernah terjadi di Stasiun Gunung Mas adalah pada tanggal 4 Februari 2007, sebesar 247 mm, Stasiun Citeko sebesar 245 mm pada hari yang sama, dan Stasiun Katulampa sebesar 172 mm pada tanggal 3 Februari 2007.
9
1000
Curah Hujan (mm )
Curah Hujan (mm )
1200
800 600 400 200 0 Jan
Feb Mar Apr Mei Rerata
Jun
Jul Ags Sep Max
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 Jan
Okt Nop Des Min
Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Rerata
Ags Sep Okt Nop Des
Max
Min
(b)
(a)
Curah Hujan (mm )
1000 800 600 400 200 0
Jan
Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Rerata
Ags Sep Okt Nop Des Max
Min
(c) Gambar 3 Curah hujan rata-rata, maksimum dan minimum bulanan stasiun (a) Gunung Mas 1978 – 2010 (b) Citeko 1981 – 2008 (c) Katulampa 1981 - 2010
4.2 Analisis Regresi Berganda 4.2.1 Hubungan Curah Hujan (Dua dan Tiga Stasiun) terhadap Debit Banjir Siaga IV Hingga Siaga I Persamaan dibuat berdasarkan data curah hujan beberapa hari sebelum terjadi debit banjir, hingga sesuai dengan hari kejadian banjir yang terjadi pada tahun 1996-2008. Tabel 5 Hari Ke-
Persamaan regresi hubungan antara debit stasiun Katulampa pada hari H dengan curah hujan pada hari H dan curah hujan beberapa hari sebelum hari H pada model 1
Persamaan Regresi
R2
GM – CT – KT VS Q H
H-1
H-2
H-3
H-4
H-5
Hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa indikator untuk peringatan dini banjir kemungkinan dapat dikembangkan berdasarkan persamaan stasiun debit dan stasiun curah hujan hari H. Hal ini terlihat dari nilai R2 yang paling besar, baik berdasarkan hubungan tiga stasiun curah hujan terhadap debit, maupun hubungan dua stasiun hujan terhadap debit.
Q = 118 + 0,417 GM + 0,436 CT + 0,858 KT 13,0%
Q = 178 + 0,690 GM - 0,330 CT - 0,214 KT 2,5%
Q = 180 + 0,028 GM + 0,281 CT - 0,046 KT 0,7%
Q = 182 - 0,463 GM + 0,704 CT + 0,114 KT 1,4%
Q = 188 + 0,319 GM + 0,089 CT - 0,584 KT 1,4%
Q = 166 + 0,670 GM - 0,161 CT + 0,544 KT 3,5%
Keterangan: α 5%, N= 142 Q : Debit tasiun Katulampa pada hari H GM : Curah hujan stasiun Gunung Mas CT : Curah hujan stasiun Citeko KT : Curah hujan stasiun Katulampa
Persamaan Regresi
R2
CT – KT VS Q
Persamaan Regresi GM – CT VS Q
R2
Persamaan Regresi
R2
GM – KT VS Q
Q = 124 + 0,708 CT + 0,941 KT 11,6% Q = 154 + 0,606 GM + 0,290 CT 6,8% Q = 124 + 0,626 GM + 0,808 KT 11,9%
Q = 183 + 0,181 CT - 0,036 KT
0,2%
Q = 173 + 0,613 GM - 0,317 CT 2,2% Q = 177 + 0,492 GM - 0,203 KT
2,1%
Q = 181 + 0,302 CT - 0,042 KT
0,7%
Q = 179 + 0,019 GM + 0,277 CT 0,7% Q = 181 + 0,211 GM - 0,030 KT
0,4%
Q = 181 + 0,335 CT - 0,059 KT
0,7%
Q = 183 - 0,406 GM + 0,687 CT 1,4% Q = 185 + 0,023 GM + 0,045 KT
0,0%
Q = 189 + 0,304 CT - 0,462 KT
1,0%
Q = 182 + 0,120 GM + 0,057 CT 0,2% Q = 189 + 0,355 GM - 0,581 KT
1,4%
Q = 171 + 0,162 CT + 0,653 KT
1,7%
Q = 174 + 0,747 GM - 0,104 CT 2,5% Q = 164 + 0,620 GM + 0,531 KT
3,4%
10
Koefisien determinasi atau R2 merupakan ukuran mengenai seberapa baik model atau persamaan regresi yang dihasilkan, dalam menjelaskan keragaman data (Tabel 5). Hasil tersebut yang akan dianalisis lebih lanjut. Berikut ini merupakan persamaan regresi hubungan antara tiga stasiun curah hujan terhadap debit. Q =118+ 0,417GM + 0,436CT + 0,858KT ....(2)
Nilai p-value dari persamaan 2 bernilai 0 atau lebih kecil dari α yang digunakan sebesar 5%. Dengan nilai p-value tersebut, model ini secara umum bisa dipakai dalam mengembangkan sistem peringatan dini banjir Jakarta. Selanjutnya, hasil dari uji multikolinearitas menggunakan nilai VIF menunjukkan stasiun Gunung Mas, Citeko dan Katulampa berturut-turut memiliki nilai VIF sebesar 1,5; 1,5; dan 1,0 (kurang dari lima). Berdasarkan hal tersebut, maka stasiun-stasiun curah hujan yang digunakan bebas dari gejala multikolinearitas. 4.2.2 Pemeriksaan Asumsi Analisis berdasarkan nilai p-value dan VIF belum cukup untuk menilai performa model secara utuh. Agar model di atas dapat digunakan dalam mengembangkan sistem peringatan dini banjir, model tersebut harus memenuhi asumsi-asumsi yang terdapat pada regresi berganda melalui nilai sisaannya (metode kuadrat terkecil).
Sisaan merupakan selisih antara data debit aktual dengan keluaran model. Asumsi terdiri dari sisaan menyebar normal, ragam sisaan homogen, sisaan saling bebas atau tidak saling berkorelasi. Hasil model menunjukkan bahwa nilai sisaan tidak menyebar normal (Gambar 4a), yang dapat diketahui dari banyaknya titik yang berada jauh dari garis regresi. Asumsi berikutnya adalah kehomogenan ragam. Kehomogenan ragam dapat dianalisis berdasarkan Gambar 4b. Pada gambar tersebut, titik-titik tersebar tidak merata dengan perbedaan lebar pita yang signifikan. Dengan demikian, asumsi ragam homogen tidak terpenuhi. Asumsi terakhir adalah sisaan saling bebas. Asumsi ini terpenuhi karena titik-titik tersebut tersebar secara acak dan tidak berpola (Gambar 4d) Secara umum, model ini tidak memenuhi asumsi dalam regresi berganda. Oleh karena itu, dilakukan transformasi untuk mengatasi sisaan yang tidak normal dan ragam yang tidak homogen. Transformasi dilakukan hingga pvalue bernilai lebih besar dari α 5% menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, yang secara otomatis dapat dianalisis melalui Minitab 14. Dengan menggunakan metode trial and error, transformasi nilai debit menggunakan fungsi Ln memenuhi persyaratan untuk mengatasi asumsi-asumsi yang tidak terpenuhi, dengan nilai p-value sebesar 0,15
Residual Plots for Q Normal Probability Plot of the Residuals
Residual Plots for ln Q
Residuals Versus the Fitted Values
Normal Probability Plot of the Residuals
600
99,9
10
400
0
1
50 10
0
300
600
150
Histogram of the Residuals
175
200 Fitted Value
225
0,1
250
Residuals Versus the Order of the Data
12
400
d
200 0
-100
0
100
200 300 Residual
400
500
0 Residual
1
2
4,5
5,0
5,5 Fitted Value
6,0
Residuals Versus the Order of the Data
48
1 1 0 20 3 0 40 5 0 60 7 0 80 9 0 00 1 0 20 3 0 40 1 1 1 1 1
Observation Order
Gambar 4 Residual plot antara debit stasiun Katulampa pada hari H dengan curah hujan pada hari H di stasiun Gunung mas, Citeko dan Katulampa sebelum transformasi
Frequency
Residual
c
24
-1
Histogram of the Residuals
600
36
0 -1
-2
1
36
Residual
-300
48 Frequency
1
90
1
Residual
0
b
200
Residual
50
Percent
a
Residual
Percent
99
90
0,1
Residuals Versus the Fitted Values
99,9
99
24
0
12 0
-1 -1,0
-0,5
0,0 0,5 Residual
1,0
1,5
1 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 60 70 80 90 00 10 20 30 40 1 1 1 1 1
Observation Order
Gambar 5 Residual plot antara debit stasiun Katulampa pada hari H dengan curah hujan pada hari H di stasiun Gunung mas, Citeko dan Katulampa setelah transformasi
11
Tabel 6 Persamaan dari model yang dihasilkan
GM
CT
KT
R2 sebelum transformasi (%)
1.5
1.5
1.0
13.5
15.4
Q = EXP [4,67 + 0,00309 GM + 0,00144 CT + 0,00509 KT]
1.0
1.0
11.6
12.9
Q = EXP[4,72 + 0,00345 CT + 0,00570 KT]
6.8
7.9
11.9
15
VIF Model
p value
1
0.000
2
0.000
3
0.008
1.4
4
0.000
1.0
1.4 1.0
R2 setelah transformasi (%)
Persamaan setelah transformasi
Q =EXP[4,88+0,00421GM +0,00057CT] Q = EXP[4,69 + 0,00377 GM + 0,00492 KT]
Keterangan: Model 1 : Gunung Mas-Citeko-Katulampa Vs Debit Katulampa Model 2 : Citeko-Katulampa Vs Debit Katulampa Model 3 : Gunung Mas-Citeko Vs Debit Katulampa Model 4 : Gunung Mas-Katulampa Vs Debit Katulampa Setelah dilakukan transformasi, gambar residual plots for Q menjadi seperti pada Gambar 5, dengan nilai koefisien determinasi lebih besar dari sebelum dilakukan transformasi, yakni sebesar 15.4%. Kemudian persamaan 2 juga ditransformasi menjadi seperti pada model 1 (Tabel 6). Berdasarkan gambar 5, semua asumsi metode regresi berganda terpenuhi. Selain itu, dilakukan pula analisis berdasarkan dua stasiun menggunakan tahapan yang sama seperti hubungan tiga stasiun curah hujan. Analisis terdiri dari : i. stasiun hujan Katulampa dan Citeko terhadap stasiun debit Katulampa ii. stasiun hujan Gunung Mas dan Citeko terhadap debit Katulampa iii. stasiun hujan Gunung Mas dan Katulampa terhadap debit Katulampa
maka batas ambang curah hujan penyebab banjir di Gunung Mas bernilai -55 mm (asumsi tidak terjadi hujan di Citeko dan Katulampa). Begitu pula dengan batas ambang curah hujan stasiun Citeko dan Katulampa berturut-turut sebesar -118 mm dan -33 mm. Persamaan yang dihasilkan secara logika tidak masuk akal, karena batas ambang curah hujan yang negatif mengandung arti bahwa apabila tidak terjadi hujan di ketiga stasiun, maka debit di Bendung Katulampa akan bernilai 106.69 m3/s. Debit tersebut sudah indikator banjir siaga IV. Model tersebut belum bisa diterapkan pada kasus ini, karena persamaan menghasilkan kondisi banjir setiap saat. Untuk memperbaiki model ini, harus dicari 85% faktor lain yang dapat mempengaruhi banjir selain curah hujan.
Hasil dari persamaan semua model menunjukkan bahwa model 1 lebih baik daripada model yang lain. Nilai R2 pada model 1 sebesar 15.4%, mengandung arti bahwa keragaman debit dapat dijelaskan oleh curah hujan di ketiga stasiun tersebut sebesar 15.4%. Nilai R2 yang cukup kecil menunjukkan bahwa performa model ini belum cukup baik untuk digunakan sebagai indikator peringatan dini banjir (Tabel 6). Berdasarkan persamaan yang dihasilkan pada model 1, batas ambang curah hujan penyebab banjir di DAS tersebut tidak dapat diperoleh. Karena dengan Intersep persamaan bernilai 106.69 m3/s (nilai eksponen 4.67 ),
4.2.3 Hubungan Tiga Stasiun Curah Hujan Terhadap Data Debit Tahun 1996-2008 Hasil model hubungan tiga stasiun curah hujan terhadap debit tahun 1996-2008, dapat dilihat pada persamaan berikut ini: Q = 0,283 + 0,432 GM + 0,403 CT + 0,618 KT...(3)
Model tersebut memiliki R2 sebesar 25.4% sebelum dilakukan transfomasi. Analisis asumsi berdasarkan residual plot menunjukkan bahwa perlu dilakukan transformasi. Setelah dilakukan transformasi menggunakan beberapa fungsi matematika, ternyata hasil model tetap tidak memenuhi
12
asumsi. Akan tetapi, transformasi menggunakan fungsi akar menghasilkan nilai R2 terbesar sebesar 33.6%, dengan persamaan berikut: Q = 1,28 + 0,0385 GM2 + 0,0403 CT2 + 0,0474 KT2...(4)
Berdasarkan persamaan tersebut, batas ambang curah penyebab banjir dapat ditentukan. Batas ambang curah hujan penyebab banjir untuk stasiun Gunung Mas, Citeko, dan Katulampa berturut-turut sebesar 183 mm, 176 mm, dan 149 mm. Artinya, sebesar 33.6% kejadian banjir di Katulampa dengan debit minimal sebesar 90.046 m3/s atau 61.34 mm (Siaga IV), disebabkan oleh curah hujan sebesar 183 mm oleh Stasiun Gunung Mas, 176 mm oleh Citeko, dan 149 mm oleh stasiun Katulampa. 4.2.4 Hubungan Tiga Stasiun Curah Hujan Terhadap Data Debit Tahun 19962008 (Tanpa Memasukkan CH atau Debit Bernilai Nol) Hasil model hubungan tiga stasiun curah hujan terhadap debit tanpa memasukkan data debit atau curah hujan bernilai nol, menghasilkan persamaan berikut ini: Q = - 10,9 + 0,509 GM + 0,371 CT + 1,06 KT...(5)
Model tersebut memiliki R2 sebesar 23.3% sebelum dilakukan transfomasi. Analisis asumsi berdasarkan residual plot menunjukkan bahwa model belum memenuhi asumsi regresi berganda, sehingga perlu dilakukan transformasi. Seperti kasus sebelumnya, setelah dilakukan transformasi menggunakan beberapa fungsi matematika, hasil model tetap tidak memenuhi asumsi. Akan tetapi, transformasi menggunakan fungsi akar menghasilkan nilai R2 terbesar sebesar 24.6%, dengan persamaan berikut: Q = 2.29 + 0,027 GM2 + 0,027 CT2 + 0,0574 KT2...(6)
Berdasarkan persamaan 6, batas ambang curah penyebab banjir dapat ditentukan. Batas ambang curah hujan penyebab banjir untuk stasiun Gunung Mas, Citeko, dan Katulampa berturut-turut sebesar 253 mm, 253 mm, dan 125 mm. Artinya, sebesar 24.6% kejadian banjir di Katulampa dengan debit minimal sebesar 90.046 m3/s atau 61.34 mm (Siaga IV),
disebabkan oleh curah hujan sebesar 253 mm oleh Stasiun Gunung Mas dan Citeko, dan 125 mm oleh stasiun Katulampa. 4.3 Analisis Data Kejadian Banjir Pada penelitian ini, model hubungan antara curah hujan terhadap debit banjir (lebih besar atau sama dengan Siaga IV) belum berhasil untuk dikembangkan sebagai sistem peringatan dini banjir Jakarta. Apabila di analisis berdasarkan data curah hujan di ketiga stasiun dan debit banjir di Katulampa, terdapat data-data kejadian banjir dengan curah hujan yang sangat rendah atau dalam kategori hujan ringan (Tabel 7). Pada kasus ini, data-data tersebut dianggap pencilan. Karena penyebab kenaikan muka air di bendung Katulampa secara umum adalah berasal dari hujan. Tabel 7
Data kejadian banjir dengan curah hujan minimum Debit GM CT Tanggal (m3/s) (mm) (mm)
KT (mm)
28-Feb-97
131
2
0
20
26-Feb-98
307
9
1
10
28-Feb-01
231
0
1
18
02-Feb-02
203
14
9
2
07-Feb-07
90
0
4
0
02-Des-08
90
2
2
7
Analisis berikutnya adalah membuat persamaan menggunakan data debit tahun 1996-2008 (tanpa memasukkan CH atau debit bernilai nol). Hasil yang diperoleh menjadi sedikit lebih baik, dibuktikan dengan meningkatnya nilai R2. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan persamaan hubungan antara curah hujan dengan data debit 19962008 menggunakan semua data yang tersedia, diperoleh nilai R2 yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa, kejadian banjir, bukan hanya disebabkan oleh curah hujan. Kecenderungan kejadian banjir yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu terutama pada musim hujan bulan Januari dan Februari, seperti pada gambar 4. Pada bulan-bulan tersebut petugas bendung di bagian hulu diharapkan lebih siaga dalam melaporkan debit kepada petugas penjaga pintu di bagian hilir. Sehingga informasi mengenai debit banjir dapat diterima oleh masyarakat pada