1
Historia Madania Jurnal Ilmu Sejarah Volume I, No. 2, Juli - Desember 2011 ISSN 2088-2289
Penanggungjawab Setia Gumilar
Pimpinan Redaksi Moeflich Hasbullah
Sekretaris Redaksi Ading Kusdiana
Dewan Redaksi Sulasman, Asep A. Hidayat, Ajid Thohir, Fajriudin, Agus Permana
Staff Redaksi M. Amaluddin Muslim, Suparman, Samsudin
Tata Usaha Widiati Isana
Distributor Dina Marlina, Fatmawati Cover : http://ferdiardiantozer.blogspot.com/2010/06/sejarah-peradaban-bangsa-aztec-inca-dan.html
Alamat Redaksi Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Jl. A.H. Nasution 105 Bandung Telp. (022) 7810790 Fax. (022) 7803936
2
KYAI DAN PESANTREN DALAM HISTORIOGRAFI ISLAM INDONESIA
SULASMAN
[email protected]
Abstrak
Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya tetapi juga tentang wilayah objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Rentangan sejarah masyarakat Muslim di Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan-kekuasaan ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat dengan puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, maka dalam historiografi masyarakat Islam di Indonesia sangat mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya mampu menguraikan atau merekonstruksi keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal sampai sekarang. Walaupun demikian, karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia telah banyak ditulis, baik oleh orang Indonesia maupun para penulis asing. Salah satu sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi adalah dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan gerakan perlawanan kaum santri.
Kata-kata Kunci Kyai, Pesantren, Historiografi, Sejarah, Islam Pendahuluan Seminar Sejarah Nasional pertama yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada 50 tahun yang lalu merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan Historiografi Indonesia. Dari peristiwa itu telah melahirkan format penulisan sejarah yang Indonesiasentris. Prestasi luar biasa tersebut kemudian diikuti oleh prestasi berikutnya, yaitu lahirnya buku babon Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid pada tahun 1980-an. Tentunya kegiatan seminar yang digagas sekarang ini diharapkan akan melahirkan tonggak prestasi baru bagi perkembangan historiografi Indonesia yang dipersembahkan oleh generasi muda dari para sejarawan. 3
Ketertarikan pada sejarah ternyata bukan hanya terjadi dikalangan akademisi, tetapi juga berasal dari kalangan profesi lainnya. Jagat Historiografi Indonesia kemudian diramaikan pula seiring dengan semakin berkembangnya teori-teori dan metodologi ilmu pengetahuan. Hal lain yang juga ikut meramaikan penulisan sejarah Indonesia adalah munculnya beberapa kepentingan yang membutuhkan legitimasi sejarah, yang kemudian melahirkan beberapa penulisan sejarah berdasarkan persepsinya masing-masing. Perkembangan ini menjadi menarik karena penulisan sejarah menjadi beragam. Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya tetapi juga tentang wilayah objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Hal ini kemudian melahirkan gugatan kepada Sejarah Nasional Indonesia, salah satunya dari kalangan umat Islam yang mempertanyakan bagaimana posisi Historiografi Masyarakat Islam di Indonesia dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia.
Umat Islam dalam Latar Historis Indonesia Setidaknya sampai pertengahan abad ke-15, Umat Islam bukan saja telah menyebar luas ke seluruh kepulauan Indonesia, tetapi secara sosial telah menjadi agen perubahan dalam sejarah. Saat itu, meskipun Islam belum sepenuhnya mencapai ke pedalaman, mereka telah membangun apa yang disebut dengan “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di daerah-daerah pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia saat itu. Sependapat dengan A.E. Priyono (1991: 26), meskipun jejak-jejak sejarah Islam dapat dilacak sejak abad ke-11, tetapi perkembangan Islamisasi tampaknya baru dimulai sejak akhir abad ke-13 dan lebih khusus pada abad ke-14 dan 15 ketika pusat kekuatan pribumi terbesar yaitu Majapahit sedang mengalami kemunduran. Agama Islam saat itu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Cepatnya perkembangan agama Islam saat itu, karena agama baru tersebut mempunyai daya pikat. Daya pikat agama baru itu adalah pada gagasan persamaannya, yaitu sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak dimiliki dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak biru” untuk organisasi “politiko-ekonomi” yang kemudian membuka jalan bagi terjadinya proses perubahan struktural baru dari sistem “agraris-patrimonial” ke arah apa yang disebut oleh Van Leur dengan “kapitalisme-politik“ (Van Leur, 1960:122-123). Cetak biru politiko-ekonomi inilah yang menyebabkan banyak kelas pedagang pribumi yang memeluk agama Islam untuk
4
berpartisipasi dalam komunitas perdagangan Muslim Internasional (Christine Dobbin, 1980: 247261). Komunitas perdagangan Muslim Internasional di Indonesia berkembang mulai pada akhir abad ke-14 yaitu sejak Malaka berkembang menjadi sebuah “entrepot-state” (negara penyalur perdagangan lintas laut). Saudagar-saudagar Muslim di pesisir pantai Utara Jawa seperti di Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak, dan Jayakarta mengadakan hubungan dagang dengan pusatpusat perdagangan internasional seperti di Mediterania, Siam dan bahkan Jepang. Perkembangan ini menunjukan bahwa Islamisasi telah menyebabkan terintegrasinya kelas menengah saudagar Muslim dengan pusat-pusat perdagangan Muslim Internasional, sehingga memberikannya basis material bagi munculnya pelembagaan politik baru yang ditandai dengan lahirnya negara maritim Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa pada awal
abad ke-16. Hal tersebut
membuktikan bahwa pada waktu itu Islam muncul sebagai elemen integratif yang mampu menyatukan kekuatan ekonomi, politik, dan agama di dalam wadah suatu negara. Sepanjang pertengahan pertama abad ke-16, Kerajaan Islam Demak berusaha mengkonsolidasikan kekuasannya melalui pelbagai penaklukan baik secara militer maupun ekonomi ke wilayah di sepanjang pesisir Utara Jawa, maupun daerah pedalaman Jawa Timur yang belum diislamkan untuk tunduk dibawah kesultanan baru (M. C. Ricklefs, 1986: xi-xii). Setelah itu, muncul kekuatan politik Islam lainnya di antaranya seperti Kerajaan Islam Banten dan Kerajaan Islam Cirebon yang terletak di wilayah Jawa bagian Barat. Cita-cita kesultanan Demak untuk mengintegrasikan antara agama, ekonomi, dan politik mendapat tantangan baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan ini datang seiring dengan munculnya kekuatan baru yaitu penetrasi Barat yang ditandai dengan dicaploknya Malaka oleh Portugis akibat dari ekspansi politik merkantilisme yang saat itu berkembang di Eropa ke seluruh penjuru dunia. Ekspansi merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer telah menggeser konteks Internasional Asia kepada kapitalis merkantilisme sekaligus memudarkan apa yang oleh Anthony Reid (1988) zaman perdagangan Asia yang kemudian memasuki zaman baru yaitu zaman kolonial (Immanuel Wallerstein, 1974: 28). Dalam konteks regional yang sedang mengalami “transisi historis” Demak muncul dan berkembang dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bertahan kurang lebih setengah abad, jauh lebih singkat dibandingkan dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung selama tiga abad. Menurut A. R. T. Kemasang (1985: 57-80), terjadinya pergeseran besar-besaran akibat penetrasi Barat dalam sistem perdagangan internasional Asia, Kerajaan Islam Demak bukan saja
5
kehilangan basis perdagangan maritimnya, tetapi juga basis material bagi klaim legitimasinya baik secara politis maupun ideologis. Dengan demikian bisa dikatakan dari rentetan peristiwa yang diuraikan di atas, kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya. Tumbangnya Demak secara internal disebabkan oleh tumbuh dan bangkitnya kembali ideologi pribumi, dan secara eksternal oleh adanya ekspansi kapitalisme Barat. Setelah terjadinya ekspansi kapitalisme Barat yang kemudian menggeser tatanan sosial, budaya dan meruntuhkan kekuasaan politik umat Islam, timbul reaksi dari masyarakat Muslim Indonesia, yang ditandai dengan gerakan perlawanan kaum santri dari dunia pesantren dengan Kyai sebagai “causal mekanism” beberapa peristiwa sejarah yang terbentang dari Barat sampai ke bagian Timur Indonesia.
Historiografi Islam Indonesia Jika melihat apa yang diuraikan di atas, maka akan terlihat rentangan sejarah masyarakat Muslim di Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan– kekuasaan ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat dengan puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan ekonomi ditandai dengan berdirinya bandar-bandar perdagangan internasional seperti Malaka, Banten, Jakarta, Cirebon, Tuban, Makasar, dan lain-lain. Kekuasaan politik ditandai dengan berdirinya kerajaan–kerajaan Islam di Indonesia seperti kerajaan Islam di Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Goa, Makasar, Tidore. Gerakan perlawanan terhadap penetrasi Barat ditandai dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kaum santri. Menurut Clifford Geertz (1960), gerakan perlawanan kaum santri terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah tahun 1825-1830, Perang Paderi di Sumatera Barat pimpinan Tuanku Imam Bonjol tahun 1821-1828, Perang Aceh pimpinan Teuku Umar tahun 1873-1903,dan di Jawa Barat yaitu di Banten pada tahun 1834, 1836, 1842, kemudian bangkit lagi pada tahun 1880, dan 1888 yang dipimpin Kyai Haji Wasid (Ahmad Mansur Suryanegara, 1995: 130-13), serta Perlawanan Singaparna pimpinan K.H. Zaenal Mustofa 1942, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka dalam Historiografi masyarakat Islam di Indonesia pun sangat mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya mampu menguraikan atau merekonstruksi keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal sampai sekarang. Walaupun demikian, karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia telah banyak ditulis, baik itu oleh orang Indonesia maupun para penulis asing. 6
Di antara karya-karya mengenai sejarah umat Islam di Indonesia, yaitu karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan HAMKA yang berjudul Sejarah Umat Islam jilid IV. Dia menulis sejarah umat Islam di Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam. Dalam penulisannya, Hamka lebih menekankan pada periodisasi dari pada daerah. Selain itu penekanannya dia lebih menekankan kepada peran pahlawan dan Sultan dalam menguraikan timbul dan tenggelam suatu kesultanan di kepulauan Nusantara. Hamka sebagai ulama dan peminat sejarah telah memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Syaikh Nuruddin Ar Raniry, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon, Babad Giyanti dan lain sebagainya (Muin Umar, 1988: 185). Selain Sejarah Umat Islam jilid IV, tulisan mengenai sejarah Islam Indonesia terdapat dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid III. Buku dengan editor Uka Tjadrasasmita yang mendekati sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia. Dalam tulisannya dia berbeda dengan Hamka yang menekankan faktor individu, maka Uka Tjandrasasmita lebih menekankan bahwa sejarah adalah suatu proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen–elemen yang terdapat di masyarakat (Mukti Ali, 1985: 1316). Dalam menuliskan sejarah umat Islam Indonesia sebagaimana dalam buku Sejarah Nasional Jilid III, Uka Tjadrasasmita
mempergunakan sumber-sumber berupa buku, artikel, maupun
naskah-naskah, hikayat-hikayat daerah dan berita-berita asing yang pernah diterbitkan (Muin Umar, 1988: 183). Terakhir penulisan mengenai sejarah umat Islam Indonesia di tulis oleh tim peneliti termasuk di dalamnya para sejarawan di antaranya Prof. Dr. Taufik Abdullah yang dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia berjudul Sejarah Umat Islam Indonesia. Meskipun ketiganya tidak memenuhi harapan penulisan sejarah Islam Indonesia yang totalitas, tetapi sudah meletakan dasar-dasar bagi Historiografi Islam Indonesia untuk dilakukan kajian lebih lanjut. Dalam melakukan kajian mengenai Historiografi Islam Indonesia, kita dapat menggunakan kerangka dari Franz Rosental (1968: 8) yaitu : 1. Tema yang berkisar pada penulisan sejarah lokal, seperti Hikayat Bandjar, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Kutai dan sebagainya. 2. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah Islam secara umum. Model ini ini dapat dilihat seperti karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA dalam Sejarah Umat Islam sebanyak empat jilid. 3. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah militer seperti Perang Sipil yang pernah ditulis oleh T. Ibrahim Alfian yang menulis Perang di Jalan Allah : Aceh 1873-1912.
7
4. Tema yang berkisar pada karya penulisan biografi seperti karya Sulasman yang menulis K.H. Ahmad Sanusi Berjuang Dari Pesantren ke Parlemen. 5. Tema yang berkisar pada novel sejarah seperti karya Muhammad Daud yang berjudul Hikayat Putra Baren. Selain model Franz Rosental juga dapat dilakukan secara periodesasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Muin Umar (1988: 187) sebagai berikut:
1. Historiografi Islam pada periode masuknya Islam ke Indonesia sampai dengan abad ke-16. 2. Historiografi Islam pada periode perlawanan terhadap kolonialisme terutama pada masa penetrasi politik Barat yang menimbulkan reaksi seperti di Aceh, Banten, Mataram, Banjar Goa dan tempat-tempat lainnya. 3. Historiografi Islam periode awal abad ke-20 M, seperti karya Deliar Noer mengenai Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. 4. Historiografi Islam periode kontemporer seperti karya B. J. Boland The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Islam di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menarik untuk terus ditulis, begitu pula penulisan sejarah Islam Indonesia banyak menarik perhatian para sejarawan ataupun para ahli lainnya yang mempunyai ketertarikan pada masalah tersebut berdasarkan perspektifnya sendirisendiri. Cukup banyak tulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia di antaranya karya Taufik Abdullah yang menulis Adat and Islam An Examination of Conflict in Minangkabau tahun 1961, D.A. Rinkes De Heiligen van Java I. de Makam van Sjech Abdoelmoehji tahun 1910, J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography tahun 1968, J. Noorduyn De Islamisering van Makasar tahun 1956, H. A. Mukti Ali An Introduction to the Government of Acheh‘s Sultanate tahun 1970, J. P. Moquete, Mohammedansche Inscriptie van de Java tahun 1921, R. L. Mellema, Een Interpretatie van de Islam tahun 1958, dan lain sebagainya. Keragaman teori dan metodologi, pandangan filsafat
maupun perkembangan ilmu
pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam mendekati sejarah Islam Indonesia, telah membuat semarak dan beragamnya historiografi Islam Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan Sejarah Nasional Indonesia, historiografi Islam pun masih menyimpan celah untuk terus dilakukan penelitian dan penulisan sejarah Islam Indonesia dalam berbagai perspektif. Salah satu sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi adalah dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali 8
lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan gerakan perlawanan kaum santri.
Kyai dan Pesantren dalam Historiografi Islam Indonesia Salah satu “great tradition” di Indonesia adalah pengajaran agama Islam yang muncul di pesantren (Mastuhu, 1994: 55). Alasan pokok munculnya pesantren adalah
untuk
mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana dalam kitab-kitab klasik atau kitab kuning (Martin Van Bruinessen, 1995: 17). Tradisi pesantren sebagai sebuah kerangka sistem pendidikan tradisional, menarik para ahli untuk menulisnya seperti Karel A.Steenbrink, J. F. B. Brumund, van den Berg, Hurgronye, Geertz, A. H. John, Zamakhsyari Dhofier, Dawam Rahardjo, Sartono Kartodirdjo, Muhammad Iskandar, Mastuhu. Mereka menyadari tentang pengaruh kuat pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan. Selama masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan Grass Root People yang sangat menyatu dengan kehidupan rakyat. Pada zaman revolusi, pesantren yang dipimpin oleh kyai atau ajengan merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan maupun pada masa revolusi. Di Pesantren dibentuk Hisbullah yang kemudian menjadi embrio dari Tentara Nasional Indonesia (B.J. Boland, 1985: 14-27). Menurut P. A. A. Djajadiningrat (Muhammad Iskandar, 2001: 105-106) kehidupan di pesantren penuh keteraturan, ketaatan, dan kedisiplinan. Pesantren merupakan komunitas tersendiri dimana kyai, santri, dan pengurus, hidup dalam satu lingkungan. Mereka merupakan suatu keluarga besar dibawah asuhan seorang kyai. Di pesantren santri mempunyai dua orang tua dan dua macam saudara (Mastuhu, 1994: 57). Pondok pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama,
para siswa tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan kyai. Pondok
merupakan ciri khas pesantren. Alasan pesantren menyediakan pondok bagi santri di antaranya, pertama, kemasyhuran dan kedalaman ilmu seorang kyai menarik santri-santrinya dari jauh, untuk dapat menggali ilmunya, santri harus tinggal mukim di pesantren. Kedua,
Adanya
hubungan timbal balik antara santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyai sebagai bapaknya dan kyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi, oleh karena itu kyai mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan tempat tinggal bagi santri. Dengan demikian, di kalangan santri akan tumbuh perasaan pengabdian pada kyai, sehingga kyai mempunyai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren. Hubungan kyai dan santri pada masa revolusi memudahkan untuk melakukan mobilisasi massa sebagai kekuatan revolusi. 9
Elemen yang sangat penting dalam sebuah pesantren adalah kyai. Istilah Kyai dan Ulama diperkenalkan oleh Cliford Geertz pada tahun 1960-an. Sejak itu, banyak para peneliti yang menulis tentang Kyai dan Ulama di Indonesia, di antaranya Leonard Binder, Deliar Noer, Hiroko Harikoshi, Zamakhsary Dhofier, Karel A. Stenbrink, Huub de Jonge, Elly Touwen Bouwsma, dan Muhammad Iskandar. Khusus di Jawa Barat terutama di wilayah Priangan contohnya di Sukabumi, terdapat sebutan lain bagi kyai yaitu ajengan. Umumnya yang mendapat gelar ajengan adalah kyai pemimpin pesantren yang kharismatik di wilayahnya. Seorang ajengan yang terkenal biasanya sebutan itu dirangkaikan dengan nama daerah tempat dimana dia tinggal (Muhammad Iskandar, 2001: 17-18), misalnya K. H. Abdurahim dikenal dengan Ajengan Cantayan, K. H. Ahmad Sanoesi dikenal dengan Ajengan Gunung Puyuh, K. H. Hasan Basri dikenal dengan Ajengan Cicurug. Gambaran mengenai sosok kyai di Sukabumi salah satunya adalah laporan seorang polisi rahasia Belanda tentang K. H. Ahmad Sanoesi. Menurut laporannya, K. H. Ahmad Sanoesi lebih populer dengan sebutan Ajengan Gunung Puyuh dan merupakan kyai paling populer dan berpengaruh di wilayah Priangan Barat. Jumlah santri dan para simpatisannya ribuan orang. Rumahnya tidak pernah sepi oleh tamu yang datang dari untuk bertanya berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan keagamaan. Gobee, adviseur voor inlandse zaken memujinya sebagai kyai berintelegensia tinggi. Pujian datang pula dari Pijper pengganti Gobee, dia menggambarkan bahwa ulama seperti K.H. Ahmad Sanoesi tidak akan berkurang pengaruhnya hanya karena dirinya dikurung atau disingkirkan pemerintah. Dia bagaikan cahaya yang terus memancarkan sinarnya dimanapun dia berada. Menurut Zamakhsary Dhofier (1982), faktor yang menyebabkan kyai sebagai pemimpin sosial masyarakat sangat kuat dan dihormati, karena kyai adalah guru. Di kalangan pesantren muncul suatu pandangan bahwa melupakan ikatan dengan guru dianggap aib besar dan menghilangkan barokah dan karomah guru. Selanjutnya jika santri melupakan ikatan dengan guru, maka pengetahuan santri tidak akan banyak bermanfaat (Muhammad Iskandar, 2001: 22). Faktor yang membuat kyai sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di antaranya karena lembaga pesantren itu sendiri, dimana di pesantren telah bermukim puluhan bahkan sampai ribuan santri yang datang dari berbagai daerah. Santri pada 10
prakteknya bukan sekedar murid kyai, melainkan juga sebagai juru kampanye yang “mengharumkan“ nama kyai dan pesantren tempat dia menuntut ilmu. Sedangkan bagi masyarakat sekitar pesantren, santri berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan kyai (Muhammad Iskandar, 2000: 19). Disamping mengajar santri, kyai juga menyelenggarakan pengajian “temporal“ untuk masyarakat umum yang dilaksanakan di dalam atau di luar lingkungan pesantren yang jaraknya bisa puluhan bahkan ratusan kilo meter. Pengajian temporal mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai media penerangan agama, dan sarana memelihara hubungan baik antara kyai dengan masyarakat dilingkungannya (Muhammad Iskandar, 2001: 113). Mengenai hubungan kyai dengan masyarakat pesantren digambarkan oleh seorang mantri polisi dalam laporannya bahwa perhatian masyarakat kepada para kyai yang sudah mendapat tempat di hatinya, mereka seperti tidak mengenal jarak. Di manapun kyai itu berada, baik karena pindah tempat atau karena diasingkan, mereka tetap berusaha mengunjunginya sejauh hal itu mungkin untuk dilakukan. Sebagai salah satu contohnya adalah K.H. Ahmad Sanoesi, meskipun dia diasingkan ke Batavia Centrum tahun 1927, para santri serta para pengikutnya tetap setia menjalin hubungan dengannya. Berdasarkan catatan polisi rahasia Belanda selama K. H. Ahmad Sanoesi di tahan, tidak kurang dari sepuluh ribu pengunjung mengunjunginya. Sikap keteladanan dalam kepemimpinan kyai menjadi sebuah magnet kekuatan yang digunakan kyai dalam menggerakan masa untuk menghadapi kekuatan kolonial terutama pada masa revolusi. Kyai merupakan elemen penting dari pesantren. Perkembangan sebuah pesantren tergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982: 61) kelangsungan hidup pesantren sangat tergantung pada kemampuan pesantren itu untuk memperoleh seorang kyai pengganti yang berkemampuan tinggi pada waktu ditinggal mati oleh kyai terdahulu. Ada dua kemungkinan kelangsungan hidup sebuah pesantren setelah ditinggal oleh kyai pendiri. Pertama, pesantren yang semula besar dan termashur kemudian memudar dan bahkan hilang. Kedua, pesantren akan semakin besar dan termashur, karena telah dipersiapkan calon penggantinya untuk meneruskan jejak perjuangan yang telah dirintis oleh kyai terdahulu. Ada beberapa usaha yang dilakukan kyai pemimpin pondok pesantren dalam melestarikan tradisi pesantren, yaitu membangun jaringan pesantren melalui solidaritas 11
kerja sama sekuat-kuatnya antara sesama mereka. Langkah yang dilakukan kyai adalah mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga terdekat menjadi calon pengganti pemimpin pesantren. Para kyai selalu menaruh perhatian pada pendidikan puteraputeranya
untuk dapat menjadi pengganti pimpinan pesantren.
Jika seorang kyai
mempunyai anak lebih dari satu, anak tertua diharapkan dan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin pesantren setelah dia meninggal, sedangkan anak yang lainnya dilatih untuk dapat mendirikan suatu pesantren baru atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang kebanyakan adalah kyai pemimpin pesantren (Zamakhsari Dhofier, 1982: 62). Bagi kyai atau ulama yang mengalami kesulitan dalam melakukan regenerasi atau kaderisasi, untuk mempertahankan otoritasnya selaku pengemban amanah dan pembawa tradisi pesantren dikembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous antar keluarga kyai atau mengawinkan anak perempuannya dengan murinya (santri) yang pandai, terutama jika santri tersebut anak atau keluarga dekat seorang kyai hingga berpotensial untuk menggantikan kedudukannya. Adanya jaringan perkawinan antar keluarga kyai, bukan saja otoritas serta kewibawaan keluarga kyai cukup terjaga, melainkan juga ajaran mereka ikut terpelihara (Muhammad Iskandar, 2001: 89-90). Dengan cara ini para kyai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Semakin masyhur kedudukan seorang kyai, semakin luas tali kekerabatannya dengan kyai yang lain. Jaringan pesantren yang terikat dalam tali temali kekerabatan, atau transmisi ilmu sangat membantu dalam revolusi seperti yang terjadi di Sukabumi. Hal yang sangat penting bagi perjalanan pesantren adalah dikeluarkannya peraturan pemerintah kolonial Belanda berupa “Ordonansi Guru“ yang mewajibkan seorang kyai memperoleh surat izin mengajar. Kyai harus menjelaskan pelajaran apa yang diajarkan kepada murid atau jemaahnya.
Sejalan dengan penerapan peraturan pemerintah,
pengajian dan tablig Kyai sering diawasi pihak pemerintah kolonial Belanda dengan menempatkan
polisi rahasia
di tempat-tempat pengajian. Kecurigaan pemerintah
kolonial terhadap pesantren karena ada sinyalemen yang sampai kepada pemerintah, di pesantren sering diajarkan ajaran yang membangkitkan perasaan anti Belanda terutama dipesantren yang menjadi pusat kegiatan tarekat. Mengenai hal ini dikemukakan oleh P.A.A. Djajadiningrat bahwa di pesantrennya tempat ia berguru ngaji, sering dibangkitkan perasaan anti Belanda oleh kyainya, sehingga para santri pada umumnya 12
membenci orang-orang Belanda dan orang-orang yang bekerja untuk kepentingan Belanda (P.A.A. Djajadiningrat, 1936). Nasionalisme di kalangan pesantren tidak sedikit yang melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh kyai seperti peristiwa Sukamanah Tasikmalaya. Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan pesantren bersamaan dengan rasa persaudaraan dan persamaan dikalangan santri. Menurut Rakhmatullah Ading Afandi (1982), di antara sesama santri tidak diadakan perbedaan status sosial atau jabatan orang tua, sehingga hubungan antar sesama santri seperti dengan saudaranya, tanpa tingkatan. Pesantren yang melakukan pemberontakan, kebanyakan adalah
pesantren yang
mengajarkan bahkan menjadi pusat kegiatan tarekat. Di pesantren ini diajarkan amalan– amalan tarekat berupa dzikir, wirid, ratib, dan sebagainya. Orang pesantren yang mengamalkan amalan tarekat sangat percaya akan kemampuan supranatural berupa kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan, dan segala ilmu gaib lainnya yang diambil dari amalan tarekat (Martin Van Bruinessen, 1995: 337). Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam tarekat. Tetapi dalam situasi yang tidak aman, dalam situasi perang dan pemberontakan aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat yang mempelopori pemberontakan tetapi para pemberontak yang masuk kedalam tarekat untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus menjelang perang atau pemberontakan banyak orang datang ke tempat kyai tarekat yang punya nama sebagai ahli kesaktian untuk minta dibaiat oleh mereka. Pada zaman revolusi terlihat fenomena yang sama. Banyak dari para pemuda yang siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah Sukabumi misalnya K.H. Ahmad Sanoesi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan silat sambatan, yaitu murid-muridnya secara supra natural menguasai jurus-jurus yang tidak mereka pelajari (Martin Van Bruinessen, 1995: 339). Banyak para pemuda Sukabumi yang minta dibaiat olehnya. Di pesantren-pesantren lain wirid-wirid, hijib-hijib seperti Hijib Akbar, Hijib Rifa’i, diajarkan kepada para santri. Begitu juga ilmu kekebalan dan kanuragan diberikan kepada santri untuk bekal bela diri. Amalan-amalan ini pada saat akan menuju pertempuran banyak digunakan oleh para santri maupun 13
masyarakat yang akan pergi bertempur. Mereka juga meminta barokah kyai dan minta dibaiat serta dijiad agar mendapat keselamatan saat berperang. Pada saat terjadi pertempuran banyak kyai sibuk memandikan mereka yang akan pergi ke medan tempur dengan air yang telah dijiad atau dibacakan do’a-do’a. Setelah dimandikan dengan air do’a mereka diberi minum dan dibekali isim-isim atau wafak yang mereka percayai ada kekuatan yang akan memberikan kekuatan dan perlindungan dari musuh. Adanya keyakinan akan kekuatan doa, wirid, isim dan lainnya merupakan suatu kekuatan tersendiri dalam perang terutama dari bagi mereka dari kalangan pesantren.
Penutup Banyak fenomena yang menarik dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam Indonesia. Keragaman teori maupun metodologi, serta adanya kearifan lokal menjadikan historiografi masyarakat Islam Indonesia semakin beragam. Keragaman dalam historiografi Islam Indonesia menunjukan adanya sisi ruang dalam historiografi Islam Indonesia masih dapat diisi dengan penulisan-penulisan lainnya sekaligus sebagai bahan renungan untuk melakukan reposisi dan redefinisi historiografi Indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
A. E. Priyono dalam Prolog buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991. A. H. John, Islam in Southeast Asia, dalam Indonesia, C.M.I.P., No. 19, halaman 40. A. R. T. Kemasang , Bagaimana Penjajah Belanda Menghapus Borjuasi Domestik di Jawa, terjemahan Ariel Heryanto dari Review IX, 1 September 1985. Abu Hanifah, Tales of Revolution, Sidney: Angus and Robertson, 1972, Hal. 186. Mohammad Iskandar, Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi; Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat, Pesantren XXII, No. 2, 1993. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995. Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University Press, New Haven and London, 1988. B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafiti Press, Jakarta, 1985 Christine Dobbin, Islam and Economic Change in Indonesia Circa 1750-1930, dalam J. J. Fox, Indonesia: The Making of a Culture, Research School of Economic Studies, The Australian National University, Canberra, 1980. Clifford Geertz, Islam: Observerd Religious Development in Marocco and Indonesia, Yale University Press, New York, 1960. Cliford Geertz, Islam Observerd: Religious Development in Marocco and Indonesia, 1967. Cliford Geertz, The Religion of Java, New York, The Free Leonard Binder, The Islamic Tradision and Politic: The Kijaji and The Alim, Comparative Studies in Society and History. Vol. 2 1960. Dawam Rahardjo, Kyai, Pesantren dan Desa; Suatu Gambaran Awal, Prisma No. 4 Th. II, 1973; juga Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1973. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta, LP3ES, 1980. Elly Touwen Bouwsma, Staat Islam en Lokale Leiders in West Madura, Indonesia, Kampen , 1988 Franz Rosental, A History of Muslim Historiography, Leiden, E.J. Brill, 1968. H. A. Muin Umar, Historiografi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1988. H. A. Mukti Ali , Penulisan Sejarah Islam Indonesia, dalam Muin Umar dkk (ed.) , Penulisan Sejarah Islam di Indonesia Dalam Sorotan, Seminar IAIN Sunan kalijaga, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985. H. J. de Graaf dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti Pres, Jakarta, 1985, Bab VII dan VIII. 15
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1987. Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi dan Islam, Jakarta, Gramedia, 1989. Immanuel Wallerstein, The Modern World System : Capitalist Agriculture and The Origin of the European World Economy in the Sixteenth Century, Academic Press, New York, 1974. J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society : Essay in Asia Social and Economic History, Sumur Bandung Edisi 2, Bandung, 1960. J. F. B. Brumund, Het Volksonderwijs onder de Javannen, Batavia, 1857. Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Dalam Kurun Moderen, Jakarta, LP3ES, 1986. M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c 1300 to the Present , Macmillan Education Ltd, 1986, hal. Xi-xii Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat, Mizan, Jakarta, 1995. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994. Mohammad Iskandar, Para Pembawa Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Priangan 1900 – 1950, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2001. Mohammad Iskandar, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000. P. A. A. Djajadiningrat, Kenang – Kenangan, Kolf-Buning Balai Poestaka, 1936 Rakhmatullah Ading Affandi, Dongeng Enteng ti Pasantren, Bandung, Tarate, 1982. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terbitan Pustaka jaya, Jakarta, tahun 1984. Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt in Banten in 1888, The Hague 1966, dan Protest Movement s in Rural Java, Singapore, Oxford university Press: Institute of Southeast Asia Studies, 1973. Snouck Horgronye, Een en Ander Over Het Inlandsche Onderwijs in de Padangshe Bovenlanden, 1924. Surat Adviseur voor Inlandse Zaken tanggal 5 Pebruari 1934 Nomor 209 /K-VIII. Van Den Berg, Het Mohammedaannshe Godsdiens Onderwijs of Java en Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabische Boeke. Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982.
16
HOLISTISITAS TEORI SEJARAH IBN KHALDUN Suparman
[email protected]
Abstrak Ibn Khaldun, salah satu ilmuwan klasik Islam yang paling banyak dibicarakan di era modern. Al-Muqaddimah-nya menjadi trademark baginya. Para ahli terpecah menjadi dua ketika menyematkan atribut pengasas atau peletak dasar sebuah bidang ilmu baru. Satu golongan menisbatkan pengasas ilmu sosiologi kepadanya, para penisbat ini sebagian besarnya adalah tokoh Muslim dan atau Arab. Sedang golongan lain menyebut Ibn Khaldun sebagai peletak dasar filsafat sejarah. Terlepas dari nuansa defensif penyebutan Ibn Khaldun sebagai penemu sosiologi atau menyebut dia sebagai peletak dasar filsafat sejarah, Ibn Khaldun sendiri menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi modern).
Kata-kata Kunci Muqaddimah, Holistisitas, Teori Sejarah, Ibn Khaldun
Pendahuluan Sejak dahulu, telah banyak pengungkapan-pengungkapan sejarah yang di lakukan oleh sejarawan. Salah seorang yang terkenal adalah Herodotus (484-425 SM) yang terkenal sebagai Bapak Sejarah. Dialah yang meletakkan dasar dari penulisan sejarah. Namun, penulisan sejarah pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada pemberian fakta-fakta yang di ambil dari sumber yang sezaman dan akibatnya tidak bisa di kembangkan oleh orang yang datang belakangan. Ibn Khaldun, salah seorang sejarawan Muslim yang terkenal, membawa bentuk yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi Ibn Khaldun, sejarah tidak hanya di ungkapkan secara faktual, namun juga dapat di lihat hubungan kausal antara setiap peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus di lihat dari berbagai aspek, seperti
aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya
(Syafi’i Ma’arif, 1996: 3). 17
Sejarah menurut Ibn Khaldun memiliki fungsi multi dan tujuan mulia, karena dengan sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi prilaku serta moral politik raja-raja dan penguasa. Generasi yang ingin merefleksikan prilaku dan mengambil sampel-sampel positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan referensi dari keragaman sumber informasi, peristiwa yang akurat dan realiable (dapat dipercaya). Kemudian pembukuan sejarah menurut Ibn Khaldun bukan untuk mendokumentasikan persoalan-persoalan keagamaan, mendekatkan diri kepada penguasa dan bukan sekedar dikonsumsi sebagai bidang ilmu, tetapi untuk mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami masa yang akan datang. Rekonstruksi pemahaman ini sebenarnya telah menempatkan peran sejarah sebagai i'tibar atau cermin obyektif untuk menelaah sikap. Hanya saja pada awalnya eksistensi sejarah bagi Ibn Khaldun tidak tampak sebagai realita, sehingga ia melontarkan pertanyaan tentang apa topik ilmu sejarah yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan ini diperolehnya kala melakukan pencarian metodik tentang ukuran-ukuran valid atau tidaknya suatu berita. Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk kepada tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai korelasi dengan masyarakat yang mengitarinya. Jelasnya topik sejarah menurut Ibn Khaldun adalah studi sosial, dengan kata lain mempelajari dinamika masyarakat secara integral berikut sebab-sebabnya. Dan dinamika sejarah menurut Ibn Khaldun bukan muncul dari luar, tetapi proses sosial itu sendiri dengan segala aturannya yang exact-alami. Dari perspektif inilah Iplacoste berpendapat bahwa Ibn Khaldun merupakan pelopor dalam meletakkan dasar-dasar "materialisme historis ". Barangkali gagasan Ibn Khaldun mengenai muatan kronik-kronik linear sejarah telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi penulisan sejarah yang berdasarkan kategori norma-standar kebenaran (berita) sehingga sejarah tidak lagi tampak bagai mitos yang dibuat orang. Dengan tampilnya Ibn Khaldun sebagai tokoh sejarah yang berbeda dari pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik dari sebagian sejarawan, terutama dari kalangan sejarawan Barat. Karena, dalam anggapan mereka terdapat pertentangan yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis sejarah sebelumnya yang di anggap
18
terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang menggambarkan Ibn Khaldun sebagai pendiri ilmu masyarakat modern lima abad sebelum Auguste Comte dan Emil Durkheim.
Riwayat Hidup Ibn Khaldun Nama lengkapnya adalah Waliyuddin Ibn Muhammad Abu Zaid Abdurrahman Ibn Khaldun al-Hadrami al-Isbili. Dilahirkan di Tunisia Pada tanggal 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo (Mesir) pada tanggal 27 Maret 1406 M. Menurut sebuah Riwayat, nenek moyangnya berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah pertanian yang subur di daerah Jazirah Arab Selatan. Dalam berbagai literatur sejarah, di jelaskan bahwa nenek moyang Ibn Khaldun ikut migrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke 8 M, yang telah di kuasai oleh Arab Muslim. Dan beberapa tahun sebelum kota Seville di rampas oleh raja Ferdinand III dari Leon, nenek moyang Ibn Khaldun memutuskan untuk hijrah ke Ceuta pada tahun 1248 M, dan Kemudian menetap di daerah Tunisia (Afrika Utara) (Ali Abdul Wahid Wafi, 1985: 7). Mengenai masa kecil Ibn Khaldun, belum ada di temui catatan yang lengkap. Namun, sebagaimana anak-anak yang sebaya dengannya, Ibn Khaldun Kecil juga mendapat pendidikan mempelajari al-Qur’an beserta qira’atnya dan juga mempelajari tata-bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Dalam usia yang relatif muda, Ibn Khaldun telah menguasai berbagai bidang ilmu klasik, seperti ilmu kefilsafatan, metafisika, tasawuf. Di samping itu, ia juga tertarik pada ilmu politik, geografi, sejarah, ekonomi, dll. Di sinilah letak kekuatan dan kelemahan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang begitu luas tentang berbagai macam ilmu menjadikannya ibarat sebuah Ensiklopedi. Namun, dalam catatan sejarah ia tidak di kenal sebagai seorang yang menonjol dalam suatu cabang disiplin ilmu tertentu. Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah di angkat menjadi sekretaris Sultan Abu Inan dari Fez, Maroko. Namun, ia di curigai berkhianat sehingga di jebloskan ke penjara, dan di bebaskan setelah sultan meninggal. Karena selalu dicurigai dan juga suasana kota Fez semakin tidak menentu, maka Ibn Khaldun memutuskan untuk pindah ke Granada (Spanyol) pada 26 Desember 1362. kota ini di pilih Ibn Khaldun, karena hanya inilah satu-satunya daerah yang masih di kuasai oleh Kaum Muslimin. Sementara daerahdaerah yang lain telah jatuh ke tangan kaum Kristen (Ali Abdul Wahid Wafi, 1985: 17). 19
Namun, karena kondisi Granada yang tidak aman, akhirnya memaksa Ibn Khaldun untuk meninggalkan Granada dan dengan menyebrangi Selat Gibraltar dia kembali ke Afrika Utara. Di sana dia di tawari oleh Sultan Buogie (Al-Jazair sekarang) untuk menjadi perdana menteri. Tawaran itu diterimanya tanpa banyak pertimbangan. Namun, setahun kemudian (1366 M) ia pindah ke Konstantinopel dan di angkat menjadi pembantu Raja Abdul Abbas. Namun tak lama kemudian ia pindah lagi ke Biskra, sebelah selatan kota Konstantin, karena penguasa daerah ini tidak lagi mempercayainya. Akhirnya kehidupan politik yang penuh kericuhan, kecurigaan, pemberontakan, pembunuhan, penganiayaan dan berbagai macam perbuatan sadis lainnya telah menyebabkan ia mengalami kejenuhan. Dan puncak dari kejenuhannya terjadi pada tahun 1375 M, yang sekaligus menjadi masa-masa yang penting, karena semenjak itu pula Ibn Khaldun memulai kehidupan barunya dalam bidang dunia ilmiah. Kehidupannya yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan, dengan berpindahpindah dan banyaknya dinasti tempat dia mengabdi, sangat berpengaruh terhadap tulisan Ibn Khaldun tentang sejarah dinasti-dinasti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-‘Ajam wa alBarbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi as-Sultan al-Akbar” (“Kitab Contoh-contoh Rekaman tentang Asal-usul dan Peristiwa Hari-hari Arab, Persi, Berber, dan Orang-orang yang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar”). Dan kitab “al-AlMuqaddimah” adalah merupakan bahagian dari kita al-‘Ibar yang di tulisnya dalam kurun waktu empat tahun (Syafi’i, Ma’arif, 1996: 11) .
Al-Muqaddimah Karya yang Abadi Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibn Khaldun bersama keluarganya menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibn Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan. “Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibn Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibn Khaldun itu begitu 20
memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap AlMuqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah. Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, salah satu tesis Ibn Khaldun dalam AlMuqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan historiografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim (Syafi’i Ma’arif, 1996: 34). Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Bagi Ibn Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibn Khaldun di antaranya menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujianpengujian yang kritis. “Di tangan Ibn Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibn Khaldun mampu menulis AlMuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibn Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial. Menurut Charles Issawi (1972) dalam An Arab Philosophy of History, lewat AlMuqaddimah, Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibn Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.” Pemikiran Ibn Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Auguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibn Khaldun.
21
Dalam metodologinya, Ibn Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon. Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafat sejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun sangat menonjol di antara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial. Ketika menerangkan tentang seni menulis sejarah, Ibn Khaldun berkata dalam bukunya AlMuqaddimah, “Hanya dengan penelitian yang seksama dan penerapan yang terjaga baik kita bisa menemukan kebenaran serta menjaga diri kita sendiri dari kekhilafan dan kesalahan. Kenyataannya, jika kita hanya ingin memuaskan diri kita dengan membuat reproduksi dari catatan yang diwariskan melalui adat istiadat atau tradisi tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang muncul karena pengalaman, prinsip-prinsip yang mendasar dari seni memerintah, alam, kejadian-kejadian, dan budaya di suatu tempat atau pun hal-hal yang membentuk ciri masyarakat. Jika kita tidak mau membandingkan yang lalu dan saat ini, maka akan sulit bagi kita untuk menghindari kesalahan dan tersesat dari kebenaran.”
Sejarah dan Historiografi Sebelum kita masuk kepada fokus pembahasan tentang filsafat sejarah Ibn Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksud dengan sejarah, historiografi dan filsafat sejarah. Kata sejarah berasal dari bahasa Arab; Syajaratun yang artinya adalah pohon. Kata ini di serap oleh bahasa Melayu dengan bentuk yang sama (syajarah) diperkirakan pada abad ke-13 M. dan akhirnya kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kajian tentang hal-hal yang telah lampau.
22
Suryanegara (1995: 9) menganalogikan Pohon (yang terdiri dari akar, batang, dahan, ranting, dsb) dengan silsilah ataupun asal-usul manusia. Dengan penganalogian bahwa pohon dan kehidupan manusia sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang pohon yang rindang (besar). Kata sejarah juga mempunyai kata yang identik sama, yaitu; Tarikh yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penanggalan atau penetapan tanggal. Disamping itu, dalam bahasa daerah juga terdapat kata yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah, seperti kata Babad dan Tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad menunjukkan ciri daerah Jawa. Sedangkan kata tambo menunjukkan unsur Minangkabau. Sedangkan Lorens Bagus (1996: 123) mengemukakan sejarah dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam arti sempit sejarah adalah peristiwa yang dapat di jelaskan dengan sebab-sebab yang efisien. Maksudnya adalah peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam realisasi diri dengan kebebasan dan keputusan daya rohani. Pada mulanya, sejarah terdapat dalam pikiran para sejarawan, orang yang menghapal sejarah yang selalu di sampaikan dengan metode lisan. Kemudian penulisan sejarah tersebut di pelajari dalam sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografi. Sebuah sejarah (peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografi. Secara umum, historiografi adalah sebuah studi sistematis tentang sejarah penulisan sejarah (The history of historical writing). Historiografi tidak berhubungan langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan perhatiannya pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan apakah sebuah sejarah yang di sajikan itu valid (benar) atau tidak. Dan juga tidak memberikan penilaian khusus apakah sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang jadi fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan metode sejarah yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah yang di tulisnya. Pada abad 14 Ibn Khaldun menulis sejarah universal yang mengungkapkan secara luar biasa luas mengenai kemampuan pembelajaran dan kemampuan yang tidak biasa dari Ibn Khaldun yang menyusun teori umum untuk perhitungan perkembangan politik
23
dan sosial selama berabad-abad. Dia adalah seorang sejarawan muslim satu-satunya yang menyarankan alasan sosial dan ekonomi bagi perubahan sejarah. Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menerangkan bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat manusia atau perdaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi, perihal watak manusia, seperti keliaran, keramahtamahan, solidaritas golongan, tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kelompok lain yang berakibat pada munculnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan tingkat yang bermacam-macam, tentang pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan industri, serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pengertian Sejarah Universal (atau dunia) yang menginginkan pemahaman atas keseluruhan pengalaman kehidupan masa lampau manusia secara total untuk melihatnya pesan-pesan perbedaan pada pesan yang berguna bagi masa depan. Dua masalah yang mendominasi penulisan sejarah universal, pertama ketersediaan kuantitas bahan dan keragaman bahasa di mana di dalamnya tertulis mengimplikasikan bahwa sejarah universal mengambil bentuk kerja kolektif atau menjadi sejarah tangan kedua. Kedua, prinsip dari seleksi yang dihubungkan dengan pemilihan studi untuk membentuk taksonomi sejarah yang sesuai. Unit-unit tersebut secara geografis (misal benua), periode, tahap perkembangan atau struktur, peristiwa penting, saling berhubungan (misalnya komunikasi, perjuangan bagi kekuatan dunia, atau perkembangan sistem ekonomi dunia), peradaban atau kebudayaan, kekaisaran dan negara bangsa, atau komunitas terpilih. Sejarah universal telah ditulis terutama oleh sejarawan Barat atau sejarawan dari Asia Barat termasuk Ibn Khaldun. Ibn Khaldun bahkan memerinci bahwa ekonomi, alam, dan agama merupakan faktor yang memengaruhi perkembangan sejarah. Meski punya pengaruh, faktor ekonomi, alam dan agama bagi Ibn Khaldun bukan satu-satunya faktor yang menentukan gerak sejarah. Ia mengatakan bahwa: "Keadaan alam, bangsa-bangsa, adat istiadat, dan agama tidak selalu berada dalam alur yang sama. Semua berbeda sesuai dengan perbedaan hari, masa, dan peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lain. Perbedaan itu
24
berlaku pada individu-individu, waktu, dan kota seperti halnya berlaku pada seluruh kota, masa dan negara. Salah satu sumber kesalahan dalam penulisan sejarah adalah pengabaian terhadap perubahan yang terjadi pada zaman dan manusia sesuai dengan berjalannya masa dan perubahan waktu. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam bentuk yang tidak kentara, lama baru dapat dirasakan, sehingga sukar dilihat dan diketahui beberapa orang saja." Pendek kata, bagi Khaldun, ekonomi, alam, dan agama merupakan kesatuan yang memengaruhi gerak sejarah. Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Teori ini sebenarnya merupakan tafsir atas pemikiran Ibn Khaldun. Ibn Khladun sendiri sebenarnya tidak menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Ibn Khaldun secara eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah kritis. Menurut Ibn Khaldun: "Apabila demikian halnya, maka aturan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan yang terdapat dalam
informasi
sejarah
adalah
didasarkan
kemungkinan
atau
ketidakmungkinan...Apabila kita telah melakukan hal demikian, maka kita telah memiliki aturan yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dan kejujuran dari kebohongan dalam informasi sejarah dengan cara yang logis...selanjutnya apabila kita mendengar tentang suatu peristiwa sejarah yang terjadi dalam peradaban, maka kita harus mengetahui apa yang patut diterima akal dan apa yang merupakan kepalsuan. Hal ini merupakan ukuran yang tepat bagi kita, yang dapat dipergunakan oleh para sejarawan untuk menemukan jalan kejujuran dan kebenaran dalam menukilkan peristiwa sejarah." Pemikiran Ibn Khaldun tentang sejarah kritis ini merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern orang Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya. Bagaimana pun Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886), membaca atau tidak alMuqaddimah, pemikirannya sejalan dengan Ibn Khaldun. Dari sini kita bisa tahu bahwa Ibn Khaldun adalah perkecualian. Ia bukan saja pemikir yang selalu berpikir tentang halhal yang abstrak melainkan pemikirannya berasal dari tanah tempat di mana dia berpijak. Memahami pemikiran Ibn Khaldun sama halnya memahami pemikiran seorang Islam 25
yang berani mengkritik bangsanya. Terutama sekali pemikiran seorang yang sangat rasionalis namun tidak kehilangan rasa dan keimannya pada Allah SWT. Sejarah dan Perubahan Sosial Dalam buku The Origin and Development of Muslim Historiography, karangan M.G Rasul, dikutip pendapat seorang intelektual Barat, Rogert Flint yang mengatakan, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau bukanlah tandingan Ibn Khaldun. Bahkan, lanjutnya, nama-nama ini tidak layak disebut bersama namanya. Montgomery Watt mengungkapkan kesannya terhadap Khaldun, bahwa karyanya dalam bidang sosiologi merupakan kelanjutan dari pemikiran Ibn Rusyd tentang fungsi agama dan negara. Seakan-akan menambah luas posisi Ibn Khaldun di bidang ilmu pengetahuan sosial dan agama, Bernard Lewis menempatkan Ibn Khaldun tidak saja sebagai sejarawan Arab terbesar, bahkan sebagai pemikir sejarah terbesar pada abad-abad pertengahan. Salah satu temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep sosiologisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli sejarah dan sosiologi di Dunia. Kata kunci konsepsi Ibn Khaldun tentang sejarah adalah “‘Ibaar” yang berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna. Kata itu pula yang kemudian digunakan Ibn Khaldun sebagai judul buku, di mana ia menuliskan seluruh pikirannya tentang sejarah. Secara terminologis,’ibar, dalam pengertian seluruh bahasa Semit, berarti melalui, melampaui, menyebrang atau melanggar perbatasan. Kelompok Sufi menggunakan kata itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka. Dalam pengertian, untuk melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik untuk menuju dunia yang lebih jauh (to the world beyond) (Gaston Bouthol, 1998: 72). Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibn Khaldun, penting dipahami defenisi sejarah yang diberikannya. Khaldun melihat ada dua sisi dalam bangunan sejarah, yaitu sisi luar (lahir) dan sisi dalam (batin). Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika dilihat secara lebih mendalam, sejarah merupakan suatu penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk mencari kebenaran; sejarah merupakan suatu penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu; ia merupakan suatu pengetahuan yang mendalam tentang
26
bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Definisi tentang sejarah yang demikian membawa Ibn Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam filsafat (hikmah). Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri (Zainab alKhudairy, 1987: 155). Dengan pertautan sejarah kepada filsafat, Ibn Khaldun nampaknya ingin mengatakan, bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat. Di lain pihak, filsafat menawarkan kekuatan logika kepada sejarah. Dengan aset logika kritis seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkitik sumber-sumber sejarah – tulisan maupun lisan – sebelum ia sampai kepada proses penyajian final dari penyelidikannya. Pandangan inilah yang membawa Ibn Khaldun untuk merumuskan “tujuh kritik” dalam historiografi, sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang cermat; pertama, sikap memihak kepada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu, kedua, terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, ketiga, gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan, keempat, persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber berita, kelima, kelemahan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, keenam, kecendrungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan figur-figur yang berpengaruh, dan ketujuh, ketidaktahuan tentang metode-metode kebudayaan. Dengan menggunakan kerangka “tujuh kritik” ini, Ibn Khaldun mengkritik berbagai sarjana sejarah, seperti Al-Mas’udi yang dianggap lengah dan mudah mempercayai berita-berita yang tidak masuk akal (Muhsin Mahdi, 1971: 96). Ibn Khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah tidak boleh tidak harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu bantu diistilahkan Ibn Khaldun sebagai ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibatakibat dari perbuatan itu sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibn Khaldun, pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur’an. Kenyataan ini, lanjutnya, pernah dikemukakan Iqbal yang mengatakan bahwa Al-Muqaddimah Ibn Khaldun penuh dengan inspirasi AlQur’an yang didapatkan pengarangnya.
27
Faktor Penggerak Sejarah Secara umum, penggerak sejarah dapat di pahami dengan hal-hal yang mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami sebagai segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa. Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi penyebab sejarah. Dalam kenyataannya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di lupakan oleh manusia, karena terlalu abstrak untuk di bayangkan. Pertanyaan yang langsung muncul di benak kita adalah siapa atau apa faktor penggerak sejarah tersebut? Mengenai faktor penggerak sejarah ini, Ibn Khaldun membaginya menjadi dua faktor. yaitu faktor Ilahi (asbab al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi’i). Adapun yang terkait dengan faktor Ilahi adalah wahyu dan Tuhan (Allah). Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya, institusi, teknologi, ideologi, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun, sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semuanya akhirnya berujung kepada kedua faktor di atas. Dalam perjalanan sejarah, dapat kita lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak terlepas dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya perjalanan sejarah itu tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan kedua faktor tersebut. Selain kedua faktor tersebut, menurut Ibn Khaldun, solidaritas (‘ashabiyah) juga berperan penting dalam menggerakkan sejarah. Istilah ‘ashabiyah dapat di artikan dengan rasa memiliki kesamaan harga diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu keluarga, kelompok/organisasi, maupun suku. Pada mulanya ‘ashabiyah di temukan pada orang-orang yang di hubungkan oleh pertalian se-darah atau pertalian lainnya yang mempunyai arti sama. Pemikiran Ibn Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa pertalian darah itu mempunyai kekuatan yang mengikat pada kebanyakan umat manusia. Ikatan darah itu membuat orang mempunyai solidaritas dalam kelompoknya. Menurut kodratnya, apabila seorang anggota kelompok mengalami sakit/gangguan maka anggota yang lain akan ikut merasakan dan membela mati-matian anggota kelompoknya yang di ganggu (Zainab al-Khudairy, 1995: 143-144). 28
Dalam perkembangan selanjutnya konsep ‘ashabiyah itu bisa berubah menjadi pertalian yang berbagai macam. Seperti pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan, se-partai, dll. Malah kadangkala pertalian se-kepentingan bisa mengalahkan pertalian darah sebagaimana yang kita lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik. Karena itu, menurut Ibn Khaldun, pertalian sedarah bukanlah satu satunya penyebab solidaritas, tetapi bisa saja faktor lain yang membentuknya. Malah kadangkala solidaritas se-darah dapat di kalahkan oleh solidaritas yang lainnya, seperti faktor sekepentingan. Walaupun demikian, jika kita teliti lebih dalam, faktor ‘ashabiyah ini sebenarnya termasuk ke dalam kategori faktor alami dari penggerak sejarah.
Hukum Sejarah Dari beberapa pemikiran Ibn Khaldun memiliki kesamaan dengan pemikiran abad modern seperti Montesquieu (1689-1755), Agust Comte (1798-1857), Hegel (1770-1831) dan Karl Marx (1818-1883). Karena itu Ibn Khaldun dikatakan oleh Len Evad Goodman dari Universitas Hawai, memiliki posisi yang sangat penting di bidang filasafat sejarah. Bahkan Goodman menempatkan Ibn Khaldun seperti halnya Thucydides (455-400 SM) sebagai Father of History, karena sama-sama menganut pola siklus dalam memandang perjalanan sejarah (Muhsin Mahdi, 1971: 34). Pertama, hukum kausalitas, ini merupakan salah satu dari tiga hukum determinis sejarah, sedangkan dua di antaranya adalah hukum peniruan (pengulangan) dan perbedaan. Arti determinisme menurut Edward Carr adalah: "keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu causa atau berbagai causa dan semua tidak akan terjadi dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan pada causa-causa." Sementara 'Abd al-Razzaq al-Makki' berpendapat bahwa teori kausalitas Ibn Khaldun ini sebagai wujud pemikiran Aristotelian yang bertentangan dengan Al-Ghazali tentang kemestian sebab akibat. Sungguhpun demikian, menurut Ibn Khaldun, hukum kausalitas berlaku pada alam fisik dan alam manusia. Tetapi ia juga mengakui hal-hal yang luar biasa pada diri Nabi, wali dan ahli sihir yang tidak tunduk pada hukum kausalitas.
29
Sebagai ilmuwan ia berpegang dan mempercayai hukum kausalitas, tetapi sebagai muslim ia juga mempercayai adanya mu'jizat dan karamah yang tidak tunduk pada hukum kausalitas. Karena satu peristiwa dengan peristiwa lain dijalin oleh adanya hubungan sebab akibat. Hukum kausalitas tidak hanya terbatas pada bidang kealaman, tetapi juga pada masyarakat manusia. Fenomena yang terjadi pada masyarakat manuisa tunduk pada hukum-hukum yang tetap. Masa kini manusia dapat menopang dalam menginterpretasikan masa lalunya. Kedua, peniruan (pengulangan). Pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak yang menang. Karena ia disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, masyarakat senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan, kedua, para pemegang kekuasaan yang baru selalu meniru pemegang kekuasaan sebelumnya, ketiga, pemegang kekuasaan yang kalah meniru pada pemegang kekuasaan yang baru. Ini, menurut Ibn Khaldun merupakan hukum yang umum. Peniruan mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang si peniru melengkapi apa yang ditirunya sehingga tradisinya menjadi lebih baik. Ketiga, perbedaan. Menurut Ibn Khaldun perbedaan juga menjadi dasar dalam determinisme sejarah. Masyarakat tidak mungkin sama secara mutlak, di antara mereka mesti terdapat perbedaan yang harus diketahui. Sementara hukum perbedaan adalah: "salah satu sumber yang samar-samar terjadi dalam historiografi adalah mengabaikan perubahan situasi dan kondisi yang terjadi pada bangsa dan generasi, sesuai dengan berubahnya periode dan perjalanan waktu. Perubahan semacam itu memang sangat tersembunyi, terjadi secara tidak kentara dan lama sekali baru tampak serta hanya diketahui beberapa orang saja. Hal ini terjadi karena dunia dan bangsa-bangsa dengan adat kebiasaannya tidak mungkin sama. Kalau individu-individu, waktu dan kota berubah, maka demikian halnya dengan daerah, iklim, periode dan juga negara." Artinya, perbedaan di antara masyarakat itu muncul dari usaha peniruan tradisi oleh suatu masyarakat. Peniruan juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul belakangan akan meniru tradisi negara sebelumnya. Hukum perbedaan di antara masyarakat menurut Ibn Khaldun juga disebabkan oleh faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
30
Namun sungguhpun demikian, implikasi dari ketiga makna di atas sangat penting, baik yang menjabat di bidang ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama. Agar jangan terjadinya semacam ketidakberaturan dalam memahami persoalan, individu maupun masyarakat hanya demi kepentingan segelintir kelompok. Karena kahancuran negara disebabkan oleh pemusatan kekuasaan dan kemegahan di satu tangan. Selama kekuasan dan kemegahan masih dirasakan semua anggota dan solidaritas, mereka masih mau berjuang mempertahankan negaranya dan kematian akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Akan tetapi apabila sebaliknya, mereka akan malas berjuang dan memilih hidup dalam kehinaan dan penghambaan. Lantaran sifat kekuasaan yang menghendaki kemewahan disertai dengan bertambahnya kebutuhan. Dalam padanan seperti ini pendapatan tidak lagi sepadan dengan pengeluaran. Rakyat miskin akan kelaparan, sementara orang kaya membelanjakan hartanya untuk hidup mewah. Maka, rasa saling menghargai antara hak yang satu dengan lainnya harus seimbang, agar membawa watak kekuasaan negara ke arah kestabilan dan ketenangan. Apabila ketenangan dan kestabilan sudah menjadi kebiasaan suatu bangsa, maka ia akan menjadi watak dan kepribadian bangsa. Pun menjadi impertus bagi kepemimpinan berikutnya serta tidak dipandang sebelah mata, bersifat impasif atau lalai terhadap persoalan yang ada.
Filsafat Sejarah Berbeda dengan sejarah dan historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh kepada hal-hal yang lebih mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar di sini bukan berkaitan dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah sejarah, melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya, benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri. Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire apada abad ke-18 M. menurutnya filsafat sejarah tidak lebih dari sebuah kritik sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di lakukan oleh para sejarawan. Hegel dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat sejarah adalah makna yang simpel dari kata sejarah.
31
Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana yang di pergunakan oleh seorang ahli sejarah
dalam
melukiskan
sebuah
peristiwa
sejarah
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejarah yang memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang menjamin supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat di mengerti. Seorang filosuf sejarah mempermasalahkan kaedah-kaedah suatu pedoman yang dipergunakan oleh ahli sejarah sehingga mungkin kaedah-kaedah dan pedoman tersebut tidak dapat di pertahankan dari segi filsafat sehingga harus disingkirkan. Tetapi, jika perbedaan pendapat antara seorang filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah salah. Walaupun demikian, filsafat sejarah cukup berguna untuk mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan peneliti sejarah untuk mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah pada saat tertentu.
Tentang Peradaban Ibn Khaldun menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al-‘umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al-‘umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi modern). Ibn Khaldun menyatakan bahwa sejarah pada hakikatnya adalah catatan mengenai umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak masyarakat (peradaban) itu. Manusia bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut tabiatnya, karenanya ia membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal. Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah urbanisasi (tamadun), peng-kotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih 32
baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif (Fuad Baali, 1988: 65). Konsep kunci yang diajukan Ibn Khaldun untuk memahami proses perubahan masyarakat adalah ‘ashabiah (solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas sosial (‘ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga untuk mengendalikan masyarakat. ‘Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah. Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian sosial. Tujuan ‘ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al-mulk, otoritas politik). Sebuah kedaulatan dijaga tegaknya oleh ‘ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ‘ashabiah bisa ditinggalkan, karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi masyarakat kemudian (Ibn Khaldun, 1988: 124). Kemenangan pada perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial, ‘ashabiah. Golongan yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk. Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebringasan, kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk berhasil. Puncak kedaulatan, sebagai tujuan solidaritas sosial adalah negara. Negara akan memiliki wilayah luas dan kedaulatan yang kuat jika mendasarkan pada agama. Merupakan watak alami negara memusatkan kekuasaan pada tangan satu orang (golongan), juga merupakan watak alami negara menimbulkan kemewahan dan menumbuhkan sifat menurut dan malas. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan meratanya kemewahan dan sifat malas merupakan indikasi kehancuran negara (Biyanto, 2004: 45). Negara memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga generasi. Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan, penuh dengan watak positif pengembara, ‘ashabiah yang menyatukan masyarakat sangat kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain. Generasi kedua, generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa 33
yang dimiliki melonggarkan ‘ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai tampak. Generasi ketiga, generasi ini telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang. Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur (Ibn Khaldun, 1988: 114). Kehancuran sebuah negara menjadi titik anjak munculnya negara baru. Negara baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali. Pola siklus yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola siklus tidak melingkar, namun spiral. Bagi Bennabi siklus hidup sebuah organisasi sosial manusia (masyarakat) adalah valid, namun Bennabi menilai Ibn Khaldun membatasi penerapannya pada konteks negara. Padahal menurut Bennabi siklus hidup ini juga valid untuk organisasi yang lebih luas, kompleks dibanding sekedar entitas negara, yaitu peradaban. Teori tiga generasi Ibn Khaldun, berlangsung umumnya 120 tahun, dinilai valid oleh para ahli hanya untuk negara-negara Arab dan Barbar pada satu periode sejarah (masa-masa Ibn Khaldun dan sebelumnya). Dari keterangan di atas konsep yang menarik juga adalah dialektika yang dimainkan oleh sisi interior dan eksterior peradaban (menggunakan terminologinya Guizot). Etika menentukan perkembangan organisasi sosial masyarakat, kemudian organisasi sosial masyarakat yang berkembang juga memberikan pengaruh kepada etika individu. Etika tertentu, semisal keberanian, kejujuran, kebaikan mempengaruhi pembentukan negara pada tahap awalnya, kemudian pada tahap ketika negara sudah terbentuk di mana kondisi ekonomi-sosial mencapai kemakmuran, sisi etika individu umumnya terpengaruh menjadi mudah korup, menggampangkan, cenderung bermewahmewah; yang bisa memicu krisis yang menstimulasi keruntuhan.
Penutup Ibn Khaldun, seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Sebelum Khaldun, 34
sejarah hanya berkisar pada pencatatan sederhana dari kejadian-kejadian tanpa ada pembedaan antara yang fakta dan hasil rekaan. Sebagai pendiri ilmu pengetahuan sosiologi, Ibn Khaldun secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafatsejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun sangat menonjol diantara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial. Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn Khaldun, adalah di sebabkan oleh adanya penggerak sejarah. Menurutnya penggerak sejarah itu adalah faktor Ilahi dan faktor alami. Faktor Ilahi adalah Tuhan. Dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam agama ardhi dan agama primitif, faktor Ilahi itu adalah dewa-dewa. Adapun penggerak sejarah dari faktor alami adalah, antara lain, politik, ekonomi, sosial, budaya, solidaritas sosial dan lain sebagainya. Sedangkan perjalanan gerak sejarah, dalam pandangan Ibn Khaldun, lebih mengambil pola siklis. Hal ini berdasarkan pengamatan Ibn Khaldun setelah melihat jatuh bangunnya sebuah dinasti (pemerintahan). Dan memang, setiap dinasti (baik di dunia Islam maupun di dunia Barat) sebuah dinasti berproses dari tumbuh, berkembang, masa kejayaan, masa kemunduran, dan masa kehancuran. Namun, di balik kehancuran sebuah dinasti telah terdapat sebuah dinasti baru yang akan menggantikannya. Sebagai seorang muslim, Ibn Khaldun tetap mengakui “campur tangan” Tuhan (Allah) dalam gerak sejarah. Dan bagaimanapun, perjalanan sejarah di gerakkan oleh faktor Ilahi dan faktor alami.
35
DAFTAR PUSTAKA Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun: An Essay in Reinterpretation, London: Frank Cass and Company,1982. Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Grafiti Press, Jakarta, 1985. A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1970. Ali Audah, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995. Biyanto, Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibn Khaldun, Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, Surabaya, (2004). Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab Philosophy of History, Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis, diterjemahkan oleh Mukti Ali, Tintamas, 1972. Fuad Baali, Society, State and Urbanism (Ibn Khaldun Sociological Thought), State University of New York Press. 1988. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989. Gaston Bouthol, Ibn Khaldun Sa Philosophie (Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun), Titian Ilahi Press, Yogyakarta.1998. Ibn Khaldun. Muqaddimah (Tarikh Ibn Khaldun), Dar al-Fikr, Beirut, 1988. Ibn Khaldun. Muqaddimah (terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996. Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun: His Life and Work, Kitab Bhavan, New Delhi, 1979. Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun Philosophy of History, The University of Chicago Press, Chicago, 1971. Malcolm Yapp, The Historiography of Universal History, Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved, 2006. Microsoft ® Encarta. (2006). © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. Osman Raliby, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
36
Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003. Zaenab al-Khudhairy, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Pustaka, Bandung, 1987.
37
ORDONANSI GURU DAN PENDIDIKAN ISLAM MASA KOLONIAL BELANDA Mahpuddin Noor
[email protected] Abstrak Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan agama diurus oleh dua departemen yaitu: Departemen van Onderwijst en Eeredinst untuk pengajaran agama di sekolah umum, dan Departemen voor Inlandsche Zaken untuk pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Dalam praktiknya, kedua lembaga tersebut tidak menangani masalah pendidikan dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Salah satu alat pengontrolnya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Ordonansi Guru 1905 dan 1925. Pemerintah mewajibkan pemilikan surat izin bagi guruguru agama, sehingga tidak sedikit guru-guru agama tersingkir dan tidak bisa mengajar karena tidak lulus dari lembaga perizinan yang sebenarnya lebih bersifat politis. Seleksi yang dilakukan menunjukkan adanya kekhawatiran pemerintah terhadap guru-guru yang dianggap berbahaya yang dapat menimbulkan kesadaran kritis rakyat, yang bisa menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1930-an. Kebijakan ini mengharuskan setiap penyelenggaraan pendidikan mengantongi surat izin dari pemerintah, melaporkan keadaan sekolah dan kurikulum yang diterapkan. Kata-kata Kunci Ordonansi, Guru, Pendidikan, Islam, Kolonial Pendahuluan Dalam perjalanannya, pendirian sekolah-sekolah Islam di Nusantara tidak berjalan mulus. Ketika kolonialisme mencengkeram negeri ini, masalah pendirian sekolah merupakan masalah yang serius. Hal ini diakibatkan oleh pengalaman kolonial Belanda atas pendirian sekolah-sekolah Islam yang nyata-nyata menentang kolonialisme, walaupun tidak dengan melakukan perlawanan secara terbuka. Adanya stigma akan pendidikan Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap Belanda merupakan sesuatu sejarah yang perlu disingkap. Perlawanan pendidikan Islam terhadap penjajah yang paling ringan adalah dengan pendirian sekolah-sekolah Islam, semisal pondok pesantren di pinggir kota atau bahkan di pelosok desa.
38
Hal ini memperlihatkan bagaimana sebuah institusi pendidikan Islam tidak mau berdekatan dengan kekuasaan Belanda yang ada di kota, karena mereka tidak mau diatur-atur oleh penjajah. Juga keberadaan doktrin dalam Islam akan kaum kafir yang harus ditolak untuk bekerjasama dengan kaum muslimin juga menjadi indikasi akan perlawanan sekolah-sekolah Islam terhadap penjajah. Ketegangan inilah yang menjadikan sekolah-sekolah ini menjadi sulit didirikan di Nusantara. Puncak ketegangan antara pendidikan kolonial Belanda dengan pendidikan Islam adalah adanya kebijakan kolonial Belanda tentang ordonansi guru, suatu aturan dari kolonial Belanda yang mengatur supaya setiap guru agama Islam yang akan mengajar di suatu sekolah wajib memperoleh surat izin mengajar terlebih dahulu (Burhanudin Daya, 1995: 262), di mana pengawasan dari kolonial Belanda ini mendapat perlawanan dari kaum muslimin. Dengan adanya ordonansi guru ini, ketegangan-ketegangan antara pemerintah kolonial dan kaum muslimin memunculkan ketidaknetralan pemerintah kolonial terhadap agama, seperti dinyatakan dalam pasal 199 Konstitusi Belanda tahun 1885 (Alwi Shihab, tt: 96). Kemunculan ordonansi ini merupakan puncak peristiwa yang terjadi dua dekade sebelumnya, yaitu reaksi terhadap pemberontakan petani di Cilegon, Banten (Jawa Barat), melawan kolonialisme tahun 1888 yang dihasut guru-guru agama (Hosein Djajadiningrat, 1958: 47-79) maupun obsesi pemerintah kolonial Belanda lewat organisasi misionari untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh Islam.
Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda 39
Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni: 1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. 2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. 3. Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat. 4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan. 5. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak ada. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa 40
hubungan organisasi antara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya. Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling berhubungan erat.
Pendidikan Islam Masa Kolonial Belanda a. Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai
pakaian
identitas
Belanda.
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja (Hasbullah, 1995: 64).
41
Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
b. Ordonansi Guru Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama
Islam
di
negeri
ini.
Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
c.
Ordonansi Sekolah Liar Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk
mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda (Aqib Suminto, 1996: 53-60). Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa 42
mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.
Madrasah sebagai Alternatif Pendidikan Islam Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Latar belakang kelahiran Madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin banyak kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya 43
bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi di pihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan para guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemeintah. Tidak semua orang, meskipun ahli ilmu agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu. Ordonansi Guru dinilai oleh umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. Dalam perkembangannya Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi Guru yang diperbaharui ini diberlakukan secara lebih luas diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Ordonansi Guru ini pun sering disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh kalangan Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya maksud negatif dibalik Ordonansi Guru tersebut. Pada waktu itu, Pengurus Pusat akan meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi
44
tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang. Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberitahukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata. Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggara pendidikan di luar gerakan Islam. Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan dalam dua corak: (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif itu ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya, mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikulum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan risiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern. Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justeru akan melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin
45
memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud kongkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Terlepas dari kedua respons di atas, umat Islam pada umumnya menolak segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang cukup keras. Di Minangkabau sebuah pertemuan khusus umat Islam dilaksanakan untuk membahas masalah ini dan berakhir dengan keputusan untuk menentangnya. Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengahsetengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirnya terpenuhi melalui madrasah, sementara pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolahsekolah yang didirikan sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya. Untuk itulah dalam masa yang sulit tersebut, kedua tokoh pendidikan Islam yaitu Ahmad Dahlan dan Abdul Wahab Chasbullah tetap berusaha memajukan Islam dan Nusantara dengan mendirikan dan membuat pembaharuan atas pemikiran pendidikan Islam di Nusantara.
Reaksi Progresif Ahmad Dahlan Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1888 dari keluarga Muslim tradisional yang berdomisili di Kauman Yogyakarta (Abdul Munir Mulkhan, 1990: 7). Ketika muda, ia 46
adalah anggota aktif Jamiat Kheir (Weinata Saiman, 1995: 42) gerakan pembaharuan Islam pertama di Indonesia. Tetapi perjumpaan yang paling mengesankan dan mengilhami pendirian Muhammadiyah adalah keikutsertaan dirinya di Budi Utomo dan Sarekat Islam. Di masa mudanya, tahun 1908-1909 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah, yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD) dan Madrasah Diniyyah di rumahnya. Sekolah ini dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum baru; antara lain diajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung di abad 20 (Abdul Munir Mulkhan, 1990: 19), juga penggunaan kursi, bangku serta kelas (Weinata Saiman, 1995: 49) yang pada waktu itu masih dianggap asing. Ia sangat terkesan pada model pendidikan dari kolonial Belanda. Akhirnya ia merancang pendidikan Islam model sekolah kolonial, di mana ada penjenjangan kelas, kurikulum yang jelas dan adanya seragam sekolah. Sebagai guru di sekolah Islam, Ahmad Dahlan menjadikan model “sekolah dasar Belanda dengan Bibel” dijadikan “sekolah dasar Belanda dengan Al-Quran” (Alwi Shihab, 1998: 113) hal ini dilakukan Ahmad Dahlan sebagai suatu ijtihad dalam melihat suatu realitas sosial (Abdul Munir Mulkan, 2003: 95). Salah satu usahanya dalam memajukan pendidikan Islam adalah usahanya memperbaharui sistem pendidikan yang dualistis, yaitu antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Ia harus menyatukan sistem pendidikan Barat yang lebih mengutamakan dan mengembangkan aspek intelektual, dan sistem pendidikan Islam yang kurang mengembangkan aspek intelektual (Arbiyah Lubis, 1995: 112). Tahun 1912 di Yogyakarta, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebuah organisasi yang bergulat dalam masalah kesejahteraan sosial dan pendidikan. Sebagai seorang yang banyak bergaul dengan kelompok Islam kota, model pendidikan Muhammadiyah juga tidak jauh dari kesadaran Ahmad Dahlan untuk memodernkan pendidikan Islam.
47
Tindakan nyata dari komitmen Ahmad Dahlan untuk Muhammadiyah memilih berkonsentrasi dan berjuang lewat lapangan agama, pendidikan dan sosial (Ahmad Jainuri, 2002: 144). Komitmen untuk berjuang dengan usaha Muhammadiyah mendirikan sekolah yang menyaingi Sekolah Gubermen (milik Belanda) (Karel A. Steenbrink, 1994: 104).
Reaksi Defensif Abdul Wahab Chasbullah Komitmen dan rasa cinta tanah air yang tinggi dan dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam memperjuangkan Indonesia merdeka juga muncul pada kelompok pembaharu pendidikan Islam di lingkungan pesantren. Figur Wahab Chasbullah (18881971) yang berjasa dalam membukakan diri untuk mendorong dunia pesantren dalam menerima dan mencoba melakukan “reformasi”. Jasa terbesarnya adalah menguatkan posisi tawar kelompok Islam tradisionalis dari lingkungan pesantren dengan membentuk organisasi Nahdlatul Ulama (Martin van Bruinessen, 1994: 46). Sebelum Wahab Chasbullah diserahi pesantren Tambak Beras oleh ayahnya, Kyai Chasbullah, ia adalah seorang “musafir pencari ilmu” (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25) hal ini merupakan tradisi dari para santri pondok pesantren. Wahab Chasbullah juga mengikuti tradisi musafir untuk berburu ilmu di pesantren-pesantren di Jawa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan mencari ilmu bagi seorang Muslim. Dalam buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyarie Dhofier meringkas alur pengelanaan Wahab Chasbullah saat menjadi musafir: Setelah mendapat ilmu dari ayahnya, Hasbullah, pemimpin pesantren Tambak Beras, Jombang. Wahab Chasbullah melanjutkan ke Pesantren Pelangitan Tuban selama 1 tahun, Pesantren Mojosari di Nganjuk selama 4 tahun, ke Pesantren Tawangsari selama 1 tahun, Pesantren Kedemangan bangkalan madura, Pesantren Branggahan Kediri selama 1 tahun dan Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lalu dilanjutkan ke Mekkah selama 4 tahun dan berguru kepada enam ulama ternama, mereka adalah kyai Mahfudz al-Tirmisy, Kyai Muhtaron, Syaikh Ahmad Khatib, Kyai Bakir, Kyai Asy’ari dan Syaikh Abdul Hamid (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25-27). 48
Seperti Ahmad Dahlan yang sangat terbuka, pribadi Wahab Chasbullah yang “liberal” dalam pergaulan dan cukup vokal dalam berpendapat (Masyhur Amin, 1996: 28-29). Hal ini mengantarkan dirinya pada organisasi yang tidak kooperatif pada kolonial Belanda, semisal SI di bawah pimpinan Cokroaminoto (Martin van Bruinessen, 1994: 36). Ia juga aktif dalam kelompok diskusi intelektual nasional dengan ikut menjadi anggota Indonesiche Studie Club (ISC) pimpinan Dr. Sutomo (Choirul Anam, 1985: 31). Dengan pergaulan inilah yang menjadikan Wahab Chasbullah sangat paham dengan masalah modernisasi dunia dan pembaharuan pendidikan Islam. Di kota Surabaya, bersama dengan Kyai Haji Mas Mansyur seorang tokoh Muhammadiyah, Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) (Saifuddin Zuhri, 1983: 25) sebuah lembaga pendidikan bercorak nasional-moderat. Lewat Nahdlatul Wathan ia dapat merealisasikan ide-ide pendidikan. Yang tidak dapat dilupakan adalah sumbangan Wahab Chasbullah untuk kemerdekaan bangsa. Sekolah Nahdlatul Wathan tidak hanya berdiri di Surabaya. Seperti halnya sekolah Muhammadiyah yang berdiri di berbagai daerah, sekolah bercorak dan berafiliasi dengan Nahdlatul Wathan juga berdiri di banyak tempat; Akhlakul Wathan di Semarang, Fa’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jember, Ahlul Wathan di Wonokromo dan Khitabul Wathan (Abdul Halim, tt: 34-35). Dengan berdirinya sekolah-sekolah ini, akar nasionalisme mulai digulirkan kepada para santri atau murid-murid yang bersekolah di situ. Pada akhirnya, sebuah kesadaran akan rasa cinta tanah air bersemi dalam ruang-ruang pendidikan yang diasuh oleh para guru yang kebanyakan adalah santri-santri yang lulus dari pesantren dan sekolahsekolah Islam yang mulai berkembang dan menghasilkan alumni-alumni yang berjiwa nasionalis. Sebelum konflik yang berkepanjangan antara kelompok tradisionalis dan modernis berlangsung (Martin van Bruinessen, 1994: 34), Wahab Chasbullah mendirikan suatu
49
kursus perdebatan/kelompok diskusi yang dinamakan Tashwirul Afkar. Lewat Tashwirul Afkar inilah, Wahab Chasbullah mempertemukan pemuda-pemuda Islam, ulama-ulama baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis untuk bersama-sama membahas keilmuan Islam, seperti madzhab dalam Islam, ijtihad dan masalah-masalah keislaman yang dibicarakan dengan sangat cair.
Penutup Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia cukup lama dan Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan. Di antara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial. Pendidikan model Barat tidak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap pembaharuan pendidikan Islam. Kasus Ahmad Dahlan dan Wahab Chasbullah dapat menjadi contoh bagaimana modernisasi pendidikan lewat model Barat membawa konsekuensi perubahan pendidikan Islam di Indonesia
50
DAFTAR PUSTAKA Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis; Melacak Pandangan Muhammadiyah Periode Awal, LPAM, Surabaya, 2002.
Keagamaan
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Khasbullah, PT. Baru, Bandung, tt. Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang, Jakarta, 1995. Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial Bumi Aksara, Jakarta, 1990. Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1996. Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam; Kasus Sumatera Thawalib, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu, Sala, 1985. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 LP3ES, Jakarta, 1996. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. http://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dansekarang.pdf. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994. _______________. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1987. Mayhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Al-Amin, Yogyakarta, 1996. Martin Van Bruinssen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Makna Baru, LkiS, Yogyakarta, 1994. Saifuddin Zuhri, Kyai Wahab Khasbullah Bapak dan Pendiri NU, Pustaka Falaakiyah, Yogyakarta, 1983. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 1995. Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Grafiti, Jakarta, tt. Weinata Saiman, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995. Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1997. Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. 51
MASJID AGUNG BANDUNG; PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA
Amaludin Muslim
[email protected]
Abstrak
Secara konsepsional masjid disebut sebagai rumah Allah (bait Allah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al-jami`) sebagai tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin yang dalam konsep awal diwujudkan dalam ruang yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Sesuai perkembangan zaman bentuk masjid mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu, sekaligus fungsi dasar masjid pun mengalami perkembangan dari sekedar tempat ibadah shalat menjadi tempat dakwah dan pembinaan pengajaran Islam, serta ditambah dengan fungsi-fungsi sosial lainnya. Agama Islam sebagai agama `urban` berkembang pesat di kota-kota terbukti dengan hadirnya masjid-masjid di pusat-pusat kota, misalnya Mekah dan Medinah. Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan/ kota seperti kesultanan, kraton maupun kabupatenkabupaten yang dibangun sejak zaman Kesultanan Demak, Mataram Islam, hingga Kolonial Belanda. Di Tatar Priangan mesjid pertama dan terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang dibangun tahun 1810 oleh Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas desakan Gubernur Jenderal Daendels. Kata-Kata Kunci Masjid Agung, Perkembangan, Pelestarian, Pemanfaatan Pendahuluan
Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata sajjadatun mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut 52
artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per orang. Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum'at disebut Masjid Jami`. Karena salat Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami` biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan, disebut Musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau. Konsep awal bangunan mesjid, sebagaimana mesjid mula-mula yang didirikan di Timur Tengah sebenarnya sederhana, sebagaimana dituliskan oleh Abdul Rochym (1995), yaitu sebagai tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin dalam arti yang seluas-luasnya. Sebagai tempat bersujud, sholat melaksanakan perintah Allah sesuai ajaran agama Islam. Sebagaimana Allah diyakini sebagai pemilik jagad, bersujud kepadaNya dapat dilakukan di mana saja. Dengan demikian, seluruh jagad ini diyakini oleh pemeluk Islam merupakan juga mesjid (Rochym, 1995). Mesjid dalam batasan visual sudah dapat diwujudkan hanya dengan ruang yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum muslimin kemudian bersembahyang di tempat tertentu dengan batasan yang lebih pasti. Di sinilah lahirnya mesjid dalam batasan fisik bangunan. Namun demikian sebagai potret perkembangan evolutif dari mesjid generasi awal tersebut, hingga kini mesjid Arab asli tetap mempertahankan lapangan terbuka di bagian tengah sebagai cirinya. Fungsi dasar mesjid kemudian mengalami perkembangan setelah mesjid dalam pengertian fisik diwujudkan. Pada gilirannya, fungsi dakwah dan pelajaran agama Islam ditambahkan ke dalamnya. Berikutnya dalam tingkatan yang lebih maju, fungsi-fungsi yang diemban menjadi lebih beragam. Ketika mulai ada keterkaitan dengan pemerintahan daerah 53
atau kekuasaan, aspek politik ikut dimasukkan. Dalam kasus konflik-konflik yang mengakibatkan peperangan misalnya, laskar yang hendak berjihad mempersiapkan diri di mesjid sebelum keberangkatannya.
Jika menengok sejarah Nabi, ada tujuh langkah strategis yang dilakukan oleh Rasul dalam membangun masyarakat Madani di Madinah. (1) mendirikan Masjid, (2) mengikat persaudaraan antar komunitas muslim, (3) Mengikat perjanjian dengan masyarakat non Muslim, (4) Membangun sistem politik (syura), (5) meletakkan sistem dasar ekonomi, (6) membangun keteladanan pada elit masyarakat, dan (7) menjadikan ajaran Islam sebagai sistem nilai dalam masyarakat. Ketika Nabi memilih membangun masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukan hanya sebagai tempat salat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, tetapi masjid sebagai majlis untuk memotivisir atau mengendalikan seluruh masyarakat (Pusat Pengendalian Masyarakat). Secara konsepsional masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al jami`). Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi : 1. Sebagai tempat menjalankan ibadah salat 2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen) 3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut
keadilan (seperti kantor
pengadilan) 4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan masyarakat di mana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Qur'an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan. Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota` Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak 54
berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini. Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses di mana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab untuk membangun fasilitas di dekat masjid, di mana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi, Umar membuat ruang khusus di samping masjid. Itulah asal usulnya sehinga pada masa sejarah Islam klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid (http://www.mail-archive.com) Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan seperti kesultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kesultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg. Seiring dengan makin berkembangnya Islam dan makin meluas pula pengaruhnya, bangunan mesjid kemudian menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan politik. Dalam pola kota tradisional Nusantara, mesjid agung ditempatkan di sebelah barat alun-alun, sementara istana, keraton atau pendopo kabupaten ditempatkan di selatan alun-alun. Alun-alun sendiri merupakan ruang terbuka multi fungsi yang di antaranya dipergunakan sebagai tempat masyarakat mendengar titah-titah penguasa, perayaan-perayaan besar dan sarana interaksi sosial antar warga. Pola tata ruang tersebut diterima di semua kota tradisional Jawa, tidak terkecuali Bandung. Salah satu mesjid pertama, dan juga yang terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang dibangun tahun 1810, bersamaan dengan pembangunan pendopo kabupaten. Pembangunan tersebut konon ditangani langsung Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas desakan Gubernur Jenderal Daendels yang memerintahkan pemindahan ibu kota kabupaten dari Krapyak ke lokasi yang lebih dekat ke Jalan Raya Pos. Sesuai dengan konsep tata bangunan tradisional, Mesjid Agung menempati lahan di sebelah barat alun-alun, Pendopo Kabupaten di sebelah selatan sementara di bagian agak ke utara kemudian dibangun pasar dan penjara. 55
Masjid Agung Bandung dalam Lintasan Sejarah Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun 1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap yang masih sangat sederhana. Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah, karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu di depan atau di sampingnya. Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun 1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.
Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)
Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930), masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale Bandung. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale Bandung yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah timur alun-alun (Kunto, 1996). Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan
56
pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari bahan bilik dan bambu menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850, bangunan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan AsiaAfrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu, sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata. Inilah penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1). Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan ekpresi bangunan masjid pada saat itu. Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat. Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875 seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.
57
Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani. (Sumber: KITLV Leiden)
Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari fondasi yang ditinggikan yang sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut. Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibu kota Priangan (Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan ciri masjid tradisional yang sangat kental. Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan, bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara (Graaf, 1947). Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol dalam fungsi, aktivitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahkan konon masjid agung pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadah dan sosial penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat ‘Ied dan belajar mengaji, serta menjadi baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat. Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara 58
pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan simetri bangunan masjid. Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin `nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal. Sepasang menara kembar di kiri dan kanan bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya `nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).
Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid (Sumber: Haryoto Kunto).
Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi. Sementara itu, penggunaan tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu. Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India `Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah dijelaskan di atas. Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.
59
Setelah Soekarno mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden. Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen (25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds (dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan pemerinta kolonial Belanda. Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung Pakuan. Presiden Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung garapan Soekarno. Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal. Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 19551970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996). Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar biasa dibanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir seperti tidak lagi memiliki halaman depan. Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren) dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk yang sudah lebih dari se abad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi empat bergaya Timur-Tengah (gb. 4).
60
Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)
Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid AlAzhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta. Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung Bandung mulai dikenal oleh dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale Nyungcung`. Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian diperbaiki kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun 1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun. Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK Gubernur Kepala Dati I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5). 61
Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran (Sumber: Haryoto Kunto).
Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita lihat pada tampak muka masjid. Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang. Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang diharapkan manfaatnya. Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang
62
ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?) sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.
Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001.
Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini. Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di depannya. Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh khalayak
umum
sebagai
bangunan
masjid
(http://bambangsb.blogspot.com/). Pemanfaatan Masjid Raya Bandung; Antara Sisi Positif dan Negatif
63
dengan
baik
Berwisata ke Kota Bandung tak afdol rasanya jika tidak datang ke kawasan Alun-alun Bandung. Kawasan ini dikondisikan sebagai sentra awal penelusuran wisata Kota Bandung. Terletak di pusat kota, Alun-alun Kota Bandung dikelilingi empat sisi yang memiliki sejarah panjang percaturan Republik ini. Empat sisi itu ialah tiga jalan utama (Jalan Asia Afrika, Jalan Alun-alun Timur, Jalan Dalem Kaum) dan Sungai Cikapundung. Di sisi selatan, ada kawasan perhotelan berbintang yang letaknya hanya beberapa menit dari Alun-alun, yaitu Hotel Savoy Homann, Preanger, Aston (Braga City Walk), dan Hotel Panghegar.
Letak Masjid Agung Bandung (sekarang Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat) yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan ciri utama yang dimiliki Masjid Agung Bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana. Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan. Tetapi inilah kenyataan itu. Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar` darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki. Banyak pelancong di Bandung juga heran jika memperhatikan kawasan alun-alun dan halaman Masjid Raya Bandung. "Pedagang asongan sekarang lebih sering berjualan di dalam alun-alun dan memenuhi pinggiran dan halaman masjid. Ini membuat situasi lingkungan Masjid Raya Bandung tidak nyaman dan tidak indah dipandang mata. Padahal, Masjid Raya Bandung menjadi bagian dari lokasi pelancongan umat Islam di Bandung. Pada malam hari suasananya
64
malah lebih kacau. Orang bebas pacaran di sekitar alun-alun yang letaknya pas di halaman masjid. Penilaian negatif itu muncul antara lain karena Alun-alun yang juga menjadi halaman Masjid Raya Bandung Jawa Barat itu, khususnya jika malam hari, selalu berubah fungsi menjadi kawasan bermain wanita-wanita nakal yang populer dengan sebutan "bunga berjalan" alias penjaja cinta kilat. Para penjaja cinta kilat ini memang tak punya kelas. Tetapi, yang namanya kehidupan malam, mereka bisa mengecoh pandangan mata. Bandung, harus diakui, memiliki "bunga malam" yang semarak. Di sini, meski tergolong "bunga malam" yang tak berkelas, mereka tetap saja diminati para lelaki hidung belang. Tak ayal, taman Alun-alun Bandung yang merupakan plaza dari Mesjid Raya Bandung menjelang malam pun menjadi ajang transaksi "cinta kilat" antara "bunga malam" dan para lelaki hidung belang. Para peminat layanan cinta kilat ini bukan hanya para lelaki hidung belang lokal, sekali-sekali ada juga lelaki hidung belang dari luar daerah. "Bunga malam" Taman Alun-alun Bandung ini, setelah sepakat dalam transaksi di taman, biasanya membawa mangsa gaetannya ke beberapa hotel kelas melati yang berada di sekitar Taman Alun-alun Bandung. Maklum, di sekitar itu tumbuh pula sejumlah hotel melati yang bisa digunakan jam-jam-an untuk sekadar melepas hajat birahi para lelaki hidung belang. Karena "bunga malam" Taman Alun-alun Bandung inilah, suka atau tidak suka, kehidupan malam di lokasi itu selalu berdenyut. Tampaknya, jika kawasan Alun-alun Kota Bandung terkondisikan sebagai salah satu objek wisata kota, tak akan bisa terlepas dari persoalan "cinta kilat" tersebut. Pasalnya, harus diakui, kepariwisataan seakan sudah lekat dengan persoalan seksualitas. Inilah barangkali satu sisi buram dari objek wisata Kota Bandung. Pemerintah Kota Bandung bukan tak ada upaya untuk menghalau para penjaja cinta kilat ini dari kawasan Taman Alun-alun Bandung. Tetapi upaya itu seakan tak membuahkan hasil. Operasi atau razia terhadap para "bunga malam" ini kerap dilakukan, namun terkesan "si bunga" tak pernah layu. Tertangkap razia satu, akan muncul banyak yang lain. Padahal di sudut timur taman itu, nyaris 24 jam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja berjaga. Di tengah hiruk pikuk alun-alun sebagai pusat keramaian di Kota Bandung, keberadaan Masjid Raya Bandung masih menjadi harapan sebagai benteng keimanan bagi warga masyarakat yang masih perduli terhadap agamanya. Masih banyak ditemukan pada waktu-waktu sholat lima
65
waktu keberadaan Masjid Raya Bandung tetap ramai dikunjungi untuk melaksanakan sholat lima waktu. Keberadaan Masjid ini sangat membantu para pelancong dari berbagai daerah untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim atau muslimah, yaitu melaksanakan sholat wajib. Selain digunakan sebagai pelaksanaan shalat lima waktu keberadaan Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat digunakan pula sebagai pembinaan keagaamaan dalam bentuk pengajian yang diselenggarakan oleh DKM, Majlis-Majlis Dzikir yang menyelenggarakan doa dan dzikir setiap hari setelah shalat Zuhur, kajian Tafsir al-Quran, pelatihan membaca al-Quran, pelatihan Bahasa Arab, pelatihan manasik haji dan juga memiliki KBIH. Pada saat bulan suci Ramadhan Masjid Raya Bandung juga menyelenggarakan shalat tarawih berjamaan, menerima titipan ZIS, shalat idul fitri dan idul adha juga penyembelihan hewan qurban.
Penutup Ada sebuah peristiwa penting di kota Bandung pada paruh pertama tahun 2003 silam yang berkaitan dengan tata kota, yaitu beralihfungsinya sebagian Alun-alun menjadi bagian dari perluasan ruangan Mesjid Raya Bandung dan sisanya menjadi halaman depan mesjid. Rumah ibadah yang secara tradisional menempati area sebelah barat Alun-alun, di kawasan Alun-alun Bandung sekarang diperluas ke Alun-alun yang semula adalah halaman pendopo dan terletak di tengah sebagaimana lazimnya jantung kota tradisional. Sebuah gebrakan yang cukup berani meskipun dapat dikatakan terlambat dan tidak menyelesaikan kesemrawutan kawasan Alunalun Bandung- untuk merubah atau menyesuaikan desain pusat kota tradisional Bandung dengan kondisi sekarang dan mungkin ke depan. Perluasan mesjid ke arah timur yang mencaplok jalan sekaligus Alun-alun memang jauh lebih praktis dan mungkin lebih ‘murah’ karena hanya memanfaatkan lahan milik pemkot berupa jalan dan Alun-alun yang mungkin gratis, dibanding membebaskan toko dan bangunan lain -yang makin lama akan makin mahal- di bagian barat dan samping yang menjepit bangunan mesjid lama.
Bila Masjid Raya Bandung itu dimaksudkan untuk menjadi landmark Alun-alun, ia harus dipisahkan dari bangunan lain seperti pertokoan apalagi bangunan tua tak terpakai. Seindah apapun bagian depan atau wajah masjid, selama bagian lain apalagi 66
bagian mihrab di barat terjepit di bagian belakang pertokoan atau bangunan yang centang perenang, keindahan dan kemuliaan itu menjadi tidak pernah utuh. Apalagi bersebelahan dengan bangunan tua yang kosong dan kumuh (gedung Suarha di sebelah kanan masjid yang dibiarkan terbengkalai kecuali lantai dasar), membuat kemegahan Mesjid Raya Bandung yang berbungkus marmer itu teredam dan bahkan menambah parodi kota. Lingkungan (bekas) Alun-alun Bandung lalu memiliki elemen pusat kota yang dibangun pada zamannya masing-masing sekaligus menjadi kontradiksi satu sama lain: pendopo kabupaten yang sekarang menjadi rumah dinas walikota, menyisakan sepenggal sejarah Bandung tempo dulu yang tradisional pulau Jawa, sementara di seberangnya berdiri beberapa gedung kolonial yg makin pudar kewibaannya, apalagi berjajar dengan Menara BRI, bangunan perkantoran tertinggi di kawasan itu yang memakai langgam arsitektur kontemporer. Di timur berdiri dua gedung pertokoan, Miramar, pusat pertokoan pertama di Bandung yang kini nasibnya mengenaskan dan Palaguna Nusantara. Kedua gedung itu -Svarha dan Miramar- seperti gelandangan kota dengan pakaian kucel dan kumuh berdiri tegak di sekitar mesjid, pendopo dan pusat perbelanjaan. Barangkali karena tidak lagi berperan sebagai pusat pemerintahan, kondisi itu dibiarkan demikian termasuk pemasangan billboard rokok ukuran raksasa pada jembatan penyeberangan tak jauh dari kawasan Alun-alun. Berubahnya Alun-alun menjadi bagian masjid dan halaman Masjid Raya memang sah-sah saja selama perannya sebagai ruang terbuka di tengah kota masih terjaga. Karena Alun-alun itu telah lama berhenti berperan sebagai pusat kota dalam arti pusat pemerintahan. Bandung adalah pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat: Pemerintah Kota Bandung sendiri dan Propinsi Jawa Barat. Secara tidak langsung, terjadi pembagian fungsi Alun-alun di kota Bandung. Kawasan bekas Alun-alun Bandung menjadi kawasan perdagangan dan perkantoran, Balai Kota untuk kantor pemkot, sedangkan Alun-alun dalam arti tradisional -lapangan luas tempat berkumpulnya masyarakat terutama untuk menyaksikan hiburan- terkonsentrasi di Gasibu depan Gedung Sate. Alun-alun Bandung hadir dengan vitalitas perdagangan yang sibuk dihiasi
67
segala ikon ekonomi khas kota Indonesia: kontradiksi antara mesin kapitalis yang direpresentasikan dengan pusat perbelanjaan di gedung jangkung ber-AC dan berelevator dengan tempat parkir berlantai-lantai, dengan ekonomi kelas kaki lima dan beca, sementara Gasibu hampir secara rutin menjadi Alun-alun tempat warga kota menikmati hiburan dan pasar kaget pada hari Minggu.
DAFTAR PUSTAKA Hardjasaputra, A. Sobana. Bandung, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2000. Kunto, Haryoto. Balai Agung di Kota Bandung. PT Granesia, 1996. Kunto, Haryoto. Wajah Bandung Tempo Doeloe. PT Granesia, 1994. Kunto, Haryoto. Ramadhan di Priangan. PT. Granesia, 1996. Lubis, Nina H., dkk. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2005. Rochym, A. Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa. 1995. Setia Budi, Bambang. Tinjauan Arsitektur Mesjid Agung Bandung dari Masa ke Masa. Pikiran Rakyat 3 Januari 2001. Sudarsono, Katam, Lulus Abadi. Album Bandung Tempo Doeloe. Navpres Indonesia, 2005.
Suganda, Her. Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas. Kompas, Jakarta. 2007. http://www.mail-archive.com http://bambangsb.blogspot.com
68
PENGEMBANGAN SAINS, HUKUM, SENI, TEKNOLOGI DAN EKONOMI DI DUNIA ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Ajid Thohir
[email protected]
Abstrak Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang cukup besar bagi kepentingan peradaban dunia secara umum. Aspek-aspek pengembangan kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu mengolah potensi material dan kosmologikal. Sehingga warisannya secara umum cukup bisa dinikmati oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman.Warisan agung (the great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Keagungan peradaban Islam hendaknya bukan hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos di mana upaya-upaya terdahulu para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia. Bagaimana cara-cara Islam mengembangkan kemanusiaan dan wilayahnya bisa ditelusuri dari realitas sejarahnya melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi. Kata-Kata Kunci Hellenisme Islam, Sains, Hukum, Seni, Teknologi, Ekonomi, Assimilasi Etnik, ProdukProduk Sains. Pendahuluan Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayahwilayah kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan memasuki daerah-daerah kebudayaan luar sekitarnya (Romawi dan Persia) yang berdekatan dengannya, seperti Irak, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya. Secara otomatis, penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa, suku, ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan Arab dan non-Arab berkembang. Terjadinya proses asimilasi dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal Islam, secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenya bukan hanya dalam dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif, simetris dan dialogis antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit pula dalam aspek-aspek tertentu berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang terjadi di kawasan India (Ajid Thohir & Ading Kusdiana, 2006: ). Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan perkawinan antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang ditaklukkan yang dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana dan sepele. Karena masing-masing entitas yang secara genetika, bahasa, sistem sosial, pemikiran bahkan keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing etnik sangat 69
berpengaruh dalam pola penerimaan terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada akumulasi yang rumit. Namun untuk mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses asimilasi di dunia Islam khususnya antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat daerah-daerah yang taklukkannya hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga faktor tersebut adalah: Doktrin atau Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, Mayoritas penduduk yang ditaklukan masuk Islam, Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan yang intens antara keduannya, kemudian memberikan kontribusi bagi wilayah-wilayah baru yang akan mereka taklukkan (Ahmad Amin, 1933: 85). Prinsip Ajaran Islam dalam Penaklukan Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin memerangi suatu negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka bersedia secara sukarela masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama kaum Muslim yang lain. Dengan demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satusatunya cara untuk menaklukan daerah lain. Perang hanya jalan terakhir. Dalam salah satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan kalimat tersebut, darah dan harta mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka hendaknya mereka menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih diperbolehkan menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka menerima tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya” Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem perhambaan dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses asimilasi ini. Sehingga,. perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem alwila” yakni kemerdekaan yang diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan dengan nasab keluarga yang memerdekakannya; dan kedua ‘ashabiyah terjalinnya hubungan emosional persaudaraan yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan. Sehingga dalam perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi, sikap mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya. Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di daerah-daerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orangorang Arab seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan oleh al-Baladzury (1992: 280) ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka penduduk tersebut secara berduyun-duyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam. Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya Rustam terkalahkan, maka orang-orang Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk Islam pada waktu itu. Pertama; karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka mengakui kebaikan dan kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari membayar pajak (jizyah) (Ahmad Amin, 1933: 86). Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak menjadi hina dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah).
70
Asimilasi Antara Orang Arab dan Non Arab Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah yang dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka bergerak seirama dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai pedagang dan karyawan dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh para penakluk Arab. Termasuk berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli Arab juga berlaku demikian. Dalam banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra, saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan wilayah-wilayah sekitar luar Arab, kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke jazirah Arab. Seperti halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk serta berdomisili di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada proses asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam banyak hal berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur dengan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya, seperti sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini terlihat dari berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi. Apabalagi bangsa-bangsa yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup dalam naungan negara yang lebih maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka sudah menjadi maklum, mereka juga membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan system sosio kemasyrakatan barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat besar dan hebat. Juga sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi penguasa kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia ke dalam dunia Islam. Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses asimilasi ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibty walaupun mereka masuk agama Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya keyakinan yang telah melekat selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang ada tidak benar-benar murni bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan pola pembentukan hukum undang-undang serta penataan kemiliteran Islam banyak mengadopsi dari pola-pola Romawi. Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara cepat dan tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju dibanding bangsa Romawi dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup memiliki bahasa dan agama yang dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengembangan kebudayaan dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui proses sejarahnya. Hellenisme Kebudayaan Islam? Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman pada abad ke-18, untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa 71
kejayaan kerajaan Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang menguasai seluruh wilayah Laut Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika, khususnya wilayah-wilayah yang berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya berbentuk penyatuan kebudayaan yang dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam rangka membangun kebijakan ini, mereka membentuk pola perkawinan massal antara tentara yang dibawa Dzulkarnaen dengan penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria dan Persia. Penyatuan kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus dilanjutkan pada masa kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan tetapi tidak sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam realitas seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut. Proses Hellenisme dalam Kebudayaan Islam Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir, Syria dan Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara politis, sosiologis dan antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak baru dalam membangun pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan berbagai tradisi di wilayah-wilayah warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan mereka yang selama ini hanya didapatkan dari alam lingkungan Arab dan warisan kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, maka perjumpaan mereka dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar awhyu; meskipun dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah “kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti filsafat, sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran pengetahuan ajaran agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari konsep-konesp pengetahuan baru tersebut. Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat studi sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta rahib-rahib Nasran dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun seperti di Jundishapur, dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat kegiatan intelektual mereka dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis. Dengan serta merta umat Islam melihat pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar “ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan bentuk-bentuk ghanimah berupa materi, nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah ini kelak akan menjadi alat dan penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampai-sampai Umar bin Khathab ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat memasuki wilayahwilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para pemegang naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani (Nurcholis Madjid, 2000: 222). Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani, Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang cukup dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru umat Islam yang didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum 72
al-awail”, pengetahuan dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang selama ini mereka gunakan atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna Nabi SAW, biasa disebut sebagai “ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak pengetahuan luar ini akan digunakan sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan berbagai epistemologi ilmu-ilmu kewahyuan, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah proses penterjemahan dari sumbersumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab. Karena pengetahuan Yunani ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka tidak sedikit pula mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata ilmu-ilmu Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani. Naskahnaskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk filsafat dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaanperpustakaan Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal dari Euklidus. Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga ternyata telah didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra, retorika, sejarah, politik dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model pengetahuan yang ditemukan, tenyata para cendikiawan muslim tidak seluruhnya mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai dengan kebutuhan untuk kepentingan agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang berada di luar kepetingan itu, apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam mereka tidak ambil, bahkan ditinggalkan sama sekali (Kuntowijoyo, 1991: 72). Seperti berbagai bentuk mitologi Yunani yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam naskah-naskah pemikiran Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan cerita-cerita Israiliyat memang sangat dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait dengan theater, gladiator, melodrama, cerita-cerita panggung Homeros, maupun ceritacerita tragedi dan komedi yang begitu popular di zaman Yunani maupun Romawi, namun hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia literatur Islam. Karena nampaknya, semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang mendapat apresiasi dalam ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat muslim yang saat itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan malah nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur, terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720756) seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa India. Termasuk ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam Sibawaih juga nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya logikanya Yunani (Jurji Zaidan, 1996: 19-23). Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di antaranya: 1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam mendorong bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala 73
2.
3.
4.
5.
sesuatu yang menyangkut bagi pengembangan tradisi sosial dan individual yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal tidak bertentangan dengan normanorma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan pusat-pusat kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk bersentuhan secara langsung, bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera diolah. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi informasi tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang kemanusiaan serta dorongan untuk mengembangkannya (Ahmad Amin, 1933: 143-144). Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan mengembangkannya lebih jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat itu, pada semua lini penelitian selalu berangkat dari wahyu yang memberi informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu Yunani atau Persia memberi jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendekiawan, ilmuan, maupun ulama, sepakat untuk saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing dalam memanfaatkan dan mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal pemerintahan yang digunakan untuk pengembangan penterjemahan dalam kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan tidak menyia-nyiakan untuk memanfaatkannya. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan, sangat terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari kalangan non-muslim seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung bagi mereka yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup mutawwatir, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu menghargakan setiap naskah tulisan sesuai dengan berat timbangan emas (Ahmad Amin, 1933: 145).
Pusat Saluran Hellenisme dalam Islam Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam pada umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat. Pusat-pusat kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi dan lokasi laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di dalamnya, Seperti di: a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam mengembangkan kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini berkembang ilmu kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah Maristan. Madrasah Jundishapur nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran dan filsafat. b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani dan Romawi termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia, Greek dan Romawi. Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia, Yunani Kuno, dan Neo-Platonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah 74
kumpulan para pengikut agama pagan, perpaduan antara doktrin agama Babilonia, Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada masa pemerintahan Al-Makmun Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini nampaknya sebagai sumber terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama bidang-bidang teknik fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti Tsabit bin Qurrah (221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang astronomi, Ibn Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat lembaga penterjemahan. c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan Romawi saat mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia merupakan pusat pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai madzhab Iskandariyah, yang dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan rangkaian pikiran Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam terutam dalam theosofi (pemikiran madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut” dan “nasut”. Salah satu muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua abad sampai masa pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary (150 M), Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih banyak mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan bahasa Suryani dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun Yahudi dengan filsafat Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi agama dan filsafat seperti ini dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir, Palestina, Aleppo dan Home (Philip K.Hitty, 1974: 309-310). Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Kedalam Dunia Islam Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya, kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit banyak telah mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak pernah dikenal sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan Amawiyah salah satunya sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian dari karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan). Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah, dan terbagi ke dalam tiga gelombang: 1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun AlRasyid tau antara tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa Persia, al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab al-Majesti tentang astronomi. Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn al-Muqaffa, serta Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya Aristoteles seperti al-Nidzom, yang mengupas tentang metode berlogika dan berfilsafat. 75
2.
Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H. Mereka yang terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq yang lebih menguasai filsafat dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220 H), Hunain bin Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah (w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir seluruh karya-karya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pikiran-pikiran Phytagoras, karya-karya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous, Noumous dan Manajemen Perxxkotaan karya Plato, termasuk karya Al-Majesti juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles, dan sebagainya, seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya, Ishak bin Hunain. 3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad (320 H), Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn Zur’ah (398 H), mereka masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan psikologi Aristoteles, mereka juga sudah mulai memberi komentar terhadap karya-karya ini (Philip K.Hitty, 1974: 311-316). Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka, juga terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam doktrin-doktrin agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia alam semesta. Bahkan untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode berfikir filsafat, termasuk bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti kedokteran, matematika, fisika, astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu mengkoreksi bebagai kekurangan dan kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini. Epistemologi Filsafat yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina, kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd, Ibn Hazm, dan seterusnya telah mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan epistemology sains seperti yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky, dan seterusnya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan kehidupan manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya. Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi dalam Islam Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk76
bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah (Syed Hossein Nasr, 1997: 11). Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang MahaPencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS, 12: 36). Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor (1997: 87) menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan system keyakinan si pencipta (kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrindoktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur luar dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsepkonsep ajaran Islam itu sendiri. Seni dalam Islam Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan, seperti surga, istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi inspirasi bagi para kreator untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana Nabi Sulaiman as, mengilhami lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan muslim membentuk pusat kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di atas kebiasaan rakyat biasa. Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah alJamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami banyak hal bagi para seniman muslim yang taat untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para kreator seni untuk memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai larangan Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini tidak ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam mewujudkan gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah (Seyyed Hossein Nasr, 1999: 43). Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk kaligrafi Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk corak ragam hias ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan sebagainya dengan berbagai ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang dianggap bukan sejenis hewan atau manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau tempat-tempat yang dianggap layak, biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan 77
ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi); diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang lainnya yang sangat indah. Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan spiritual termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain interior muslim dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu menunjukkan muatan yang tak pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam menghubungkan antara dirinya dengan pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushola, dan tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam juga tidak lepas dari upaya sasaran kreasi seni mereka. Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia Islam, selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang antusias pada kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8 M yang sangat berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat keagamaan masyarakat dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid merupakan jantung masyarakat yang ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat maka jantungnyapun akan sehat, begitupun sebaliknya. Dalam rangka memperindah bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang telah dijelaskan banyak ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari mulai di Cordova, Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di India dan masjid-masjid di Nusantara Indonesia (Omar Amin Hoesin, 1964: 43). Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti trends kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama yakni bujur sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian depannya bagi tempat imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang secara histories baru popular muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai tempat yang aman dan terhormat bagi para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah, semuanya tersedia ada disetiap masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid dunia Islam selalu terfokus pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic sanctuaries); Masjid alHaram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa Palestina. Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam, tapi juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci (Oleg Grabor, 1997: 79-81). Sains dan Teknologi Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah mewariskan sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan pengetahuan tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dengan cara-cara menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan oleh sejumlah sarjana muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M. Mereka bukan hanya ditopang oleh pengetahuan dan pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan, terutama pada masa-masa kejayaan Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi, pengembangan sains lebih dahulu mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka sendiri, tapi juga mereka 78
dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam doktrin Islam saja. Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan matematika, fisika dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam benda, mereka peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini mereka kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya (Syed Hossein Nasr, 1997: 1-5). Perbedaan yang mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih banyak berbicara tentang teori dan pengetahuan mengenai macam-macam objek baik yang bersifat mendasar maupun universal, objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara menerapkan pengetahuan sains untuk memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan kemudahan serta kenyamanan umat manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat bagi kemudahan mereka hidup Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan Hellenisme Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan dan metalurgi, matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang matematika kontribusi Islam telah mengenalkan system bilangan India, dengan mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun dengan jumlah klipatan yang sangat panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizm (w.875 M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam (w.1131). Sedangkan dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa, apalagi sejak diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun 711 M di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf. Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang dikembangkan oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny (w.1040 M) juga mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan al-Hikmah”. Pengobatan dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau Mesopotamia, India dan lainnya. Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang dokter dan penulis kitab pengobatan yang cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah membuktikan penguasaannya dalam hal teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hampir menjadi sebuah kebiasaan bahwa para dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap dalam profesinya, selain sebagai filosof, astronom juga ahli (Syed Hossein Nasr, 1997: 171-199). Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah ditemukannya penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan membuat jam melalui mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh alMuradi pada abad ke 11 M. Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari gerakan air yang disambungkan dalam gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk mengambil air dari saluran yang lebih rendah untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas, juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan contohnya masih berfungsi sampai abad ke 13 M. Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum alam wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya
79
Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi Dr. Badar Abdurrahman Muhammad (1999) dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam cukup memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini menggambarkan kepada pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awalawal abad ke ke 4 Hijriyah sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang dikemukakannya mengenai hal ini. Proses Terjadinya Interaksi Uang dan Bisnis Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui adalah masalah pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negri Irak pada barang-barang yang diimpor ke dalam negri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi, kewajiban membayar retribusi ini bias dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa. Maskawaih pernah menyatakan: “…pada tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah al-Hamdani untuk tidak membayar retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke Baghdad”. Retribusi ini tidak hanya diwajibkan anatar negara, akan tetapi juga antar kota di bawah satu kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah yang mana retribusi dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai Dajlah. Termasuk para Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa tenunan dan barang-barang dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga dengan jual beli binatang ternak, seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi. Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan. Karena dinilai berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada beberapa penguasa yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut menilai bahwa kebijakan retribusi itu dapat menyulitkan rakyat. Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada tahun 306 H terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah. Akan tetapi retribusi ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun sehingga menambah biaya belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil. Alat-alat Ukur (Takaran, Neraca dan Ukuran Jarak) Takaran Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’ yang sebanding dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas isinya adalah 29,5 liter atau sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah yang sebanding dengan lima rithl atau enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu alat ukur orang Babil yang sebanding dengan 30 Karah. Timbangan Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang basah dan yang kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling popular waktu itu adalah rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram. Alat Ukur Jarak Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta. Satu hasta sebanding dengan 24 jari. 80
Mata Uang Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan manusia dalam menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai negara Islam tidak lah sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan Persia menggunakan dirhan perak. Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam sejak awal abad ke empat Hijriyah. Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun. Penggunaan mata uang juga dijadikan kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan salah satu penguasa untuk memakai mata uang tertentu dapat merugikan perekonomian penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi percetakan mata uang dari tembaga tanpa menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi menyebabkan terjadi krisis ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan bentuk yang besar dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap sisinya diberi gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding dengan seratus mistqol. Percetakan Uang Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka tidak memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu untuk menjaga nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang diberikan tugas mengawasi adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti Buwaihi tidak segan-segan untuk memberikan hukuman mati kepada orang yang melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah jumlah percetakan uang yang resmi berjumlah 150 buah. Surat Perintah Pembayaran dan Cek Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya utusan bisnismen Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses transaksi perdagangan kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan uang dan barang. Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah memakai sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas dari pengaruh budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap system perdagangan yang telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Lembaga Peradilan dan Hukum Islam Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy (2000) dalam karyanya Ad-Daulah al‘Utsmaniyah Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan pada negara Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati posisi yang cukup baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan melewati waktu yang panjang untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka bertugas dalam masalah-masalah hukum baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana, perdata, hukum keagamaan maupun hukum-hukum positif. Atau secara umum mereka menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan syariat Islam di seluruh pelosok negara baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan dengan non Muslim. Pada masa 81
Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan madzhab resmi negara. Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini. Kerena madzhab resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung pada beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra. Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim. Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia bertempat di Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok negara dan juga bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim. Ada banyak bentuk pada kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan ArRumali. Keistimewaan kelompok ini adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada pengangkatan hakim agung dengan menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang terhimpun pada beberapa organisasi. Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim walaupun nama mereka tidak diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima orang. Mereka termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah mengawasi wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim dari kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras, Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini sangat besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat ratus lima puluh hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di Eropa jumlah mereka mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu tingkat lebih rendah dari kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota kecil dan desa-desa besar dan menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan hadir untuk memutuskan suatu perkara. Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa memberikan fatwa sepanjang hidupnya. Penutup. Demikian besar secara historis, Islam sebagai kekuatan kebudayaan dalam merealisasikan dirinya pada pengembangan sains, hukum, teknologi, ekonomi dan ilmuilmu humaniora lainnya. Hingga saat ini, warisan agung (the great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Bagi generasi muslim saat ini, keagungan peradaban Islam hendaknya bukanlah hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos dimana upaya-upaya terdahulu para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia. Tradisi besar membangun “wahyu memandu ilmu pengetahuan” telah dicoba pada semua lini, meskipun tentunya dengan sisi-sisi keterbatasan kemanusiaannya.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, Juz 2, Dar al-Fikr, 1992. 82
Ahmad Amin, Fajr al-Islam; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir al-Daulat al-Amawiyyat, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore, 1933. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo, cet.2, 2009. __________& Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial, Politik,Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006. Abdul ‘Aziz Muhammad al-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000. Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1999. Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar al-Fikr ,1996. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2000. Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997. Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1964. Syed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban Dalam Islam, terj. J. Mahyudin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997. ________________, Spiritualisme Islam, Mizan, Bandung, 1999. Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Second Edition, Pluto Press, London, 2002.
83
GERAKAN ULAMA DI GARUT: PERSPEKTIF KONSTRUKSI SOSIAL Setia Gumilar
[email protected]
Abstrak Gerakan ulama Garut (1998-2007) yang dilakukan secara terus menerus menimbulkan perubahan tatanan masyarakat dan mengandung unsur-unsur konstruksi manusia (ulama), karena gerakan ulama bukan sekedar kelakuan dan produk kelakuan. Realitas dinamika gerakan ulama akan selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh, ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak mungkin menangkap realitas keberagamaan, tanpa terlibat dalam proses sosial yang kontinu. Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut merupakan realitas sosial yang memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia (ulama) merupakan pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Perubahan tatanan sosial masyarakat Garut dari orientasi keagamaan bergeser pada orientasi politik, merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Kata-kata Kunci Gerakan, Ulama, Perspektif, Konstruksi, Sosial Pendahuluan Buku yang berjudul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang
diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1990 merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge yang diterbitkan pertama kalinya di Amerika Serikat oleh Penerbit Penguin Books tahun 1966. Buku setebal 276 halaman ini memuat tiga bab yang diawali dengan Pengantar Penulis dan prakata dari Frans M. Parera yang menjelaskan tentang Menyingkap Misteri Manusia sebagai Homo Faber. Kemudian dilanjutkan dengan pendahuluan yang menjelaskan Masalah Sosiologi Pengetahuan.
84
Bab 1 dalam buku edisi bahasa Indonesia ini diungkap mengenai DasarDasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari, dibagi dalam beberapa sub bab. Pertama, Kenyataan Hidup Sehari-hari. Kedua, Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari. Ketiga, Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari. Bab 2 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan Obyektif, terdiri dari dua sub bab, yaitu: Pertama, Pelembagaan dan Kedua, Legitimasi. Bab 3 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan Subyektif, terdiri dari empat sub bab, yaitu: Pertama, Internalisasi Kenyataan. Kedua, Internalisasi dan Struktur Sosial. Ketiga, Teori-Teori Identitas. Keempat, Organisme dan Identitas. Buku ini diakhiri dengan Kesimpulan tentang Sosiologi Pengetahuan dan teori Sosiologi. Berger dan Luckmann, melalui buku ini mengajukan gagasan perubahan dalam sosiologi pengetahuan: Pertama, Berger dan Luckmann menganggap sejarah perkembangan gagasan dan ideologi merupakan bagian kecil dari wacana sosiologi pengetahuan. Kedua, sosiologi pengetahuan merupakan ilmu dengan konsentrasi pada hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan manusia. Berger dan Luckmann menggambarkan proses di mana melalui tindakan dan
interaksinya,
manusia
menciptakan
secara
terus-menerus
sebuah
kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual obyektif, tetapi penuh makna secara subyektif. Berger dan Luckmann lebih mengedepankan pandangan dialektik ketika melihat hubungan antara manusia dan masyarakat; manusia menciptakan masyarakat demikian pula masyarakat menciptakan manusia yang dikenal dalam istilah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi.
Konstruksi Sosial atas Realitas Buku ini melahirkan teori yang disebut dengan teori Konstruksi Sosial. Konstruktivisme merupakan pandangan terhadap dunia. Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) 85
untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya realitas. Dari pemahaman di atas, realitas dan pengetahuan berbeda dan dipisahkan satu sama lain. Menurutnya Realitas (kenyataan) adalah kualitas yang terdapat dalam gejalagejala yang diakui sebagai hal yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak individu-individu (tidak dapat ditiadakan dengan angan-angan). Pengetahuan adalah
kepastian bahwa gejala-gejala itu nyata
dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Dalam kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan
realitas
tersebut
secara
objektif
(Fachri
Firdusi,
dalam
http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/). Mengenai realitas ini, Masnur Muslich menyebutkan setidaknya ada tiga teori untuk memahami realitas yang mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa prilaku dan pandangan manusia sangat ditentukan oleh sesuatu yang ada di luar dirinya, dalam hal ini adalah masyarakat dan lingkungnnya. Fakta Sosial menurut Durkheim adalah sesuatu yang ada di luar diri individi (manusia). Fakta sosial bisa berbentuk norma, struktur, dan institusi sosial yang akan menentukan individu (manusia) dalam arti luas. Sementara itu, teori definisi sosial yang dikembangkan oleh Weber beranggapan bahwa manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi sosial dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benarbenar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan menciptakannya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal, subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu, demikian diungkap oleh Masnur Muslich dalam
tulisannya yang berjudul “Kekuasaan Media Masa Mengkonstruksi
Realitas”. Masnur Muslich menyebutkan bahwa kedua teori di atas mempunyai aspek kelemahan. Ia menyebutkan bahwa teori fakta sosial menafikan 86
keberadaan individu, sementara teori definisi sosial sangat menafikan struktur sosial. Teori Konstruksi Sosial lahir sebagai respon dari kelemehan dua teori di atas. Teori ketiga ini berusaha untuk menggabungkan kedua cara pandang yang berbeda, demikian diungkapkan oleh Masnur Muslich. Teori ini dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann yang berusaha melakukan sintesa terhadap dua pandangan yang sangat berlawanan. Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subyektif. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subyektif) (Frans M Parera, 1990: xx). Menurut Berger dan Luckmann masyarakat adalah produk manusia dan manusia adalah produk masyarakat sehingga realitas itu terbentuk secara sosial dan merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas oleh Berger dirumuskan sebagai suatu kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan manusia, karena realitas itu merupakan suatu yang tidak dapat dihindarkan kehadirannya. (Berger dan Luckman, 1990). Kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas hasil interpretasi manusia dan bermakna dalam diri individu sebagai dunia yang masuk akal. Dunia kehidupan sehari-hari ini tidak hanya diangap sebagai suatu realitas yang sudah ada sebelumnya oleh individu-individu dalam masyarakat, tapi juga merupakan sebuah dunia yang mempengaruhi dan membentuk pikiran serta tindakan mereka. Realitas dari kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas di mana individu-individu saling berbagi pengalaman subjektif di antara mereka. Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan
pelembagaan di
dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang --sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama--yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk 87
akal
secara
subyektif
(Muhammad
Arwan
Rosyadi,
dalam
http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11). Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. (Muhammad Arwan Rosyadi, dalam http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11). Melalui teori konstruksi sosial ini, Berger memandang bahwa konstruksi sosial merupakan sebuah proses dialektika tiga tahap, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. (Berger dan Luckmann, 1990: 185). Pertama, tahap eksternalisasi yaitu penyesuian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivikasi yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi Ketiga, internalisasi, sebagai proses individu mengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahan tentang realitas. (Berger dan Luckmann, 1990).
Memahami Gerakan Ulama di Garut dengan Perspektif Konstruksi Sosial Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu kota santri yang terletak di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Hal ini antara lain disebabkan karena masyarakat Garut yang mayoritas Muslim dan terdapat banyak pesantren dan aktivitas keagamaan. Nuansa agamis di Garut ini memang terasa kental. Hampir di setiap wilayah Kabupaten Garut dengan mudah ditemui lembaga pendidikan Islam dengan beragam kegiatan, sehingga menjadikan Garut sebagai daerah yang disebut tempatnya santri sekaligus tempatnya ulama. Berdasarkan data yang ada di kabupaten Garut tahun 2008, jumlah pemeluk agama Islam di Kabupaten Garut sebesar 2.220.516 jiwa dari jumlah penduduk Garut 2.225.241 jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang. Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah dengan jumlah santri 127.999 orang. Adapun jumlah mesjid 4.297 buah, langgar 88
6.677 buah dan mushola 3.571 buah. (Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008). Kota santri bisa dibuktikan dengan adanya lembaga pendidikan Islam. Saat ini di Garut terdapat 108 Raudhatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (Mts), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren. (Hasbullah, 2006). Selain itu, Moeflich Hasbullah menyebutkan bahwa
nuansa religiusitas kota santri
dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut, yang diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja mesjid, dan lembaga pendidikan al-Qur’an. (Hasbullah, 2006). Keadaan seperti itu menjadi hal yang signifikan dalam mempengaruhi gerakan dalam memunculkan kebijakan-kebijakan pemerintahan ataupun kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan potensi kedaerahan. Seiring dengan perubahan tatanan sosial politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi, gerakan ulama
di Garut mengalami pergeseran. Peralihan dari
Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur sosial, membawa harapan bagi berbagai komponen, salah satunya ulama. Ulama Garut merespon dengan baik adanya peralihan tersebut. Gerakan yang diharapkan dipahami akan mendatangkan perubahan. Keterkungkungan medan ekspresi selama pada zaman Orde Baru diharapkan segera terbuka. Harapan dan keterbukaan pada Orde Reformasi ini membawa harapan baru bagi strategi, pola dan karakteristik, serta sasaran gerakan yang akan dilakukan oleh para ulama Garut. Peralihan tatanan ini, ternyata dapat merubah watak dan paradigma gerakan ulama. Ulama (kyai) yang pada awalnya bergerak di jalur keagamaan, pemberdayaan umat, serta kultural, yang dalam bahasa Clifford Geertz (1981) disebut cultural broker (makelar budaya), sudah mengalami perubahan. Gerakan ulama pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Ulama pun mulai merambah wilayah politik, ekonomi, dan hukum. 89
Kenyataan tersebut, di antaranya disebabkan oleh adanya perubahan dari tatanan sosial politik Orde Baru yang kecenderungannya membatasi ruang gerak ulama ke tatanan sosial Orde Reformasi yang cenderung membuka kran kebebasan bagi setiap unsur masyarakat, dalam hal ini ulama, untuk melakukan segala aktivitasnya. Adanya pergeseran gerakan ulama ini berdampak kepada tatanan sosial masyarakat Garut. Di antaranya, gerakan ulama yang berorientasi pada aspek politik, berdampak terhadap reposisi ulama dalam hubungannya dengan umara. Dalam aspek ekonomi, di antaranya, gerakan zakat yang diperjuangkan oleh ulama berdampak pada peningkatan sadar zakat bagi masyarakat Garut. Dalam aspek hukum, di antaranya, gerakan ulama Garut berdampak kepada kesadaran untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang tertuang dalam Perda. Dari kenyataan tersebut, penulis ingin mencoba melihat bagaimana dinamika gerakan ulama di Garut dalam kurun waktu 19982007. Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut sebagai suatu realitas sosial memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia (ulama)
adalah
pencipta
realitas
sosial
yang
objektif
melalui
proses
eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan demikian menurut kerangka Berger perubahan tatanan sosial masyarakat Garut pada kurun waktu 1998-2007 yang ditandai dengan adanya perubahan gerakan ulama dari orientasi kepada keagamaan bergeser pada orientasi politik merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif yang terjadi di Garut atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Gerakan ulama diartikan sebagai konstruksi sosial yang dilakukan oleh ulama secara terus menerus sehingga menimbulkan perubahan dalam tatanan masyarakat, terutama di Garut. Gerakan ulama, dengan demikian mengandung unsur-unsur konstruksi manusia (ulama) karena gerakan ulama bukan sekedar kelakuan dan produk kelakuan. Jadi, realitas dinamika gerakan ulama akan selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh, 90
ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak akan pernah dapat menangkap realitas keberagamaan, kecuali terlibat di dalam proses sosial secara terusmenerus. Hal itulah yang tertuang di dalam pandangan Berger dan Luckmann yang populer dengan istilah—eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi— ketika melihat hubungan manusia, masyarakat dan agama. Ketiga momen ini secara simultan membentuk Gerakan Ulama. Satu contoh konstruksi sosial yang dilakukan oleh ulama di Garut adalah melakukan perubahan tatanan sosial pada kurun waktu 1998-2007. Posisi Ulama pada kurun ini berupaya untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut. Terbukti, ulama mampu melakukan gerakan yang tidak hanya berorientasi pada aspek keagamaan, tetapi juga pada aspek politik, hukum dan ekonomi. Dalam melakukan perubahan, ulama pun ditentukan oleh struktur yang mengitarinya. Perubahan struktur dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dapat menuntut ulama untuk melakukan enabling dalam tatanan masyarakat Garut. Hal ini dipahami bahwa upaya yang dilakukan oleh ulama merupakan hasil pemahamannya terhadap struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan syariat Islam dan gerakan anti korupsi merupakan upaya ulama dalam melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut pada kurun waktu 19982007. Ulama dalam melakukan gerakannya di Garut didasarkan pada motivasi dirinya dan struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan Syari’at Islam pada tahun 2002 dengan dibentuknya Lembaga Pengkajian, Penegakkan dan Penerapan Syari'at Islam (LP3SyI) merupakan hasil pemahaman ulama dalam aspek politik yang menganggap bahwa tatanan masyarakat Garut akan berjalan dengan baik manakala syari’at Islam ditegakkan. Pemahaman ini bisa diwujudkan seiring dengan perubahan struktur politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Orde Reformasi yang ditandai dengan kebebasan berekspresi memudahkan para ulama melakukan gerakan secara kolektif dalam mewujudkan pemberlakuan Syari’at Islam, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2002 (Priangan, 25 Maret 2002).
91
Dibentuknya LP3SyI ini dimaksudkan sebagai wadah untuk melakukan kajian, penerapan dan penegakan syari’at Islam. Selain itu, LP3SyI sebagai respon Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan organisasi Islam tentang keinginan pemberlakuan syari’at Islam, demikian diungkapkan oleh Kusaeni, Kepala Kesbang Pemkab Garut (Priangan, 2-5 Maret 2002). LP3SyI dideklarasikan pada tanggal 15 Maret 2002 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1423 H. Keputusan ini berdasarkan pada kesepakatan bersama antara MUI dan Dewan Imamah yang beranggotakan 50 orang, yang terdiri dari ulama, cendekiawan muslim, praktisi hukum, dan orpol Islam. Koordinator deklarasi tersebut berdasarkan kesepakatan, dijabat Ketua MUI. (Majalah Tempo, 15 Maret 2002). Adapun isi deklarasi tersebut yang ditulis dalam Naskah Deklarasi LP3SyI Kabupaten Garut, yaitu: Pertama, bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat Garut pangirutan yang tata tengtrem kerta raharja menuju ridha Allah dalam wadah NKRI yang berdasarkan Ketuhanan YME, maka pengamalan Syari’at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kewajiban. Kedua, bahwa penerapan dan pelaksanaan Syari’at Islam di Kabupaten Garut merupakan realitas aspirasi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Ketiga, bahwa penyebarluasan dan penegakan syari’at Islam wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Keempat, bahwa untuk tercapainya penerapan dan pengamalan Syari’at Islam di Kabupaten Garut, diperlukan suatu proses pengkajian yang mendalam, sejalan
dengan
dinamika
perubahan
tatanan
sosial
dan
budaya
masyarakat.Untuk mencapai tujuan itu, dengan bertawakal kepada Allah SWT, kami sepakat mendeklarasikan penegakan dan penerapan Syari’at Islam melalui LP3SyI Kabupaten Garut. Semoga Allah memberkatinya dan senantiasa mencurahkan taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin.
Penutup Salah satu implementasi dari deklarasi ini, Dede Satibi, selaku Bupati Garut mengintruksikan seluruh jajarannya, khususnya wanita muslim untuk 92
memakai jilbab dan intruksi kepada kaum muslim untuk membayar zakat. (Suara Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002). Mengenai zakat ini, ulama Garut berusaha untuk melakukan gerakan dalam bidang ekonomi, dengan menyuarakan gerakan sadar zakat. Diawali dengan lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh mempengaruhi terhadap kesadaran umat Islam Garut untuk membayar zakat, infaq, dan sodaqoh.
DAFTAR PUSTAKA Adian, D. Gahral, 2002. Menyoal Objektifitas Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Traju. Berger, Peter L dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES. -------------. 1991. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Amerika Serikat: Penguin Books. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan oleh Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. Moeflich Hasbullah, ‘Gerakan Superfisial Neofundamentalisme Islam: Pendekatan Antropologi Politik Islam di Garut’ KHAZANAH, Jurnal Ilmu Agama Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Vol. 3 No. 10, Juli – Desember 2006. Muslich, Masnur. “Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas”. Laporan Penelitian. Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 dan 2. (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia. Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Priangan, 2-5 Maret 2002. Majalah Tempo, 15 Maret 2002. Suara Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002. Naskah Deklarasi LP3SyI. Perda No. 1 tahun 2003. http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/). http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11.
93
94