183 KETERKAITAN ANTAR PELAKU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN KEMITRAAN AGRIBISNIS TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK INTERCONNECTEDNESS AMONG STAKEHOLDERS, AND ITS IMPLICATIONS FOR THE SUSTAINABILITY OF PARTNERSHIP IN VIRGINIA TOBACCO AGRIBUSINESS ON LOMBOK ISLAND Hirwan Hamidi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UNRAM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antar pelaku, dan implikasinya terhadap keberlanjutan kemitraan dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok. Survei dilakukan di dua kabupaten sentra produksi tembakau virginia, yaitu Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok melibatkan empat pelaku, yaitu petani mitra, petani swadaya, perusahaan mitra, dan pembeli gelap. Keempat pelaku tersebut memiliki keterkaitan dalam pasar input maupun output. Adanya pelaku lain di luar pelaku yang bermitra, khususnya pembeli gelap berimplikasi terhadap terancamnya keberlanjutan kemitraan yang telah dibangun lebih dari 20 tahun. Karena itu disarankan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menyempurnakan regulasi Keputusan Gubernur NTB Nomor:2 Tahun 2007, dengan memasukkan substantasi pembeli gelap ini secara eksplisit. ABSTRACT This research aimed at analyzing interconnectedness among stakeholders, and its implications for the sustainability of partnership in Virginia Tobacco agribusiness on Lombok Island. Survey was carried out in two regencies which are the centres of Virginia Tobacco production, i.e. Central and East Lombok. Institutional analysis was applied. The findings indicate that Virginia Tobacco agribusiness in Lombok involved four parties, i.e. partner farmers, self financed farmers, partner companies, and black market buyers. The four parties have interconnections in the markets of inputs and outputs. The existence of other players who are not partners, especially the black market buyers, can be a threat to the sustainability of partnership that has been running for more than 20 years. Therefore, it is recommended that the Government of West Nusa Tenggara Province revise the Governor’s decree No. 2, 2007, by explicitly including the substances of black market buyers. __________________________ Kata kunci: Keterkaitan, pelaku, keberlanjutan, kemitraan Key words: interconnectedness, stakeholders, sustainability, partnership PENDAHULUAN Pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok dimulai tahun 1969 yang diawali dengan pelaksanaan ujicoba pada tahun 1968 oleh PT. Faroka SA. Hasil ujicoba tersebut tampaknya cukup baik sehingga mendorong minat beberapa pengusaha tembakau seperti PT. Gabungan Impor-Ekspor Bali (GIEB), PT. BAT Indonesia dan PTP XXVII mulai memasuki bisnis tembakau virginia dalam subsistem usahatani pada tahun 1974. Dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan tersebut melibatkan dan membina petani hanya dari sisi budidaya, sistem pengembangan bersifat bebas, pengolahan dilakukan sendiri oleh perusahaan dengan cara membeli daun basah dari petani.
Pada tahun 1980, PT. Jarum mulai memasuki bisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan pola yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang lebih dahulu masuk. Masuknya PT. Jarum tidak membuat perkembangan usahatani tembakau virginia tumbuh dengan cepat. Dalam perkembangannya, mengingat tembakau virginia Lombok memiliki mutu setara dengan tembakau impor, terutama dari USA, Brazil dan Zimbabwe serta warna dan aromanya yang khas (Surachmad, 2002), maka pada tahun-tahun berikutnya banyak perusahaanperusahaan rokok/tembakau lainnya juga memasuki bisnis ini. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan pengelola meningkat menjadi tigabelas, yaitu CV. Trisno Adi, PT. Sadhana Arif Nusa, KUD Tunggal Kayun, PT. Philip Morris Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
184 Ind, PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Djarum, PT. Glora Djaya, UD Nyoto Permadi, UD. Cakrawala, PT. Ind. Indah Tobacco Citra Niaga, PT. Indonesia Dwi Sembilan, UD. Keluarga Sakti, dan CV. Karya Putra Makmur (Keputusan Gubernur NTB Nomor: 2 Tahun 2007). Dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, hasil penelitian Hamidi et al. (2005) menunjukkan bahwa di samping para pelaku yang bermitra juga terdapat pelaku lain yang terlibat, yaitu petani yang tidak ikut serta dalam kemitraan (swadaya) dan pembeli gelap 1 yang hanya datang ketika musim panen raya tembakau. Sayangnya, penelitian tersebut belum mengungkap tentang bagaimana keterkaitan antar pelaku dan implikasinya terhadap keberlanjutan kemitraan. Karena itulah, penelitian ini mencoba untuk menganalisisnya dengan harapan dapat memperkaya teori New Institutional Economics (NIE) sebagai basis teori kemitraan pertanian (contract farming) dan meminimalisir keterancaman keberlangsungan kemitraan yang telah dibangun lebih dari 20 tahun. METODE PENELITIAN Pengumpulan Data dan Sampling Wilayah Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode survei melalui wawancara dengan para pelaku usahatani tembakau yang dipandu kuesioner. Penentuan lokasi sampel menggunakan metode multiple stage sampling, yaitu suatu sampel yang ditarik secara bertingkat mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat desa. Survei dilakukan di lima desa, masing-masing Desa Lekor dan Desa Montong Gamang untuk Kabupaten Lombok Tengah dan Desa Rarang, Desa Rumbuk, dan Desa Sakra untuk Kabupaten Lombok Timur. Penentuan desa-desa tersebut didasarkan atas dasar pertimbangan luas areal pengembangan tembakau virginia terluas pada masing-masing kecamatan. Jumlah Responen Penentuan besarnya jumlah sampel responden petani dalam penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut (Sugiarto et al., 2003:60):
n=
1
NZ2 S 2 Nd2 + Z 2 S 2
Pembeli gelap adalah institusi atau individu yang membeli tembakau virginia dari petani mitra dan swadaya yang tidak memiliki ijin pembelian dan Gubernur Nusa Tenggara Barat.
H. Hamidi: Keterkaitan antar pelaku…
di mana: n = total sampel N = total populasi Z = nilai distribusi normal baku (tabel-Z) pada d S
α 0,05
= besarnya toleransi penyimpangan = nilai varian lahan usahatani tembakau virginia petani
Berdasarkan hasil pendataan petani tembakau virginia oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan di dua kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah tahun 2006 diketahui bahwa jumlah populasi petani tembakau adalah 1.853 orang. Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa nilai varian lahan usahatani petani adalah 0,07058. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen atau toleransi penyimpangan (d) sebesar 5 persen, maka ukuran sampel yang diambil adalah 102 orang. Alokasi sampel responden per desa sampel dilakukan secara proporsional berdasarkan populasi petani masing-masing desa. Analisis Data Data yang terkumpul dari hasil survei, kemudian dianalisis dengan analisis kelembagaan, yaitu mengelaborasi keterkaitan antar pelaku dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok. Dalam analisis ini ditelaah bagaimana keterkaitan petani mitra dengan perusahaan mitranya berlangsung. Demikian pula keterkaitannya dengan pelaku lain seperti perusahaan mitra lain, pembeli gelap, dan petani swadaya baik dalam hal keterkaitan input maupun output. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok melibatkan empat pelaku yaitu petani mitra, petani swadaya, perusahaan mitra, dan pembeli gelap. Keempat pelaku tersebut memiliki keterkaitan dalam pasar input maupun output. Secara ringkas keterkaitan antar pelaku dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok disajikan pada Gambar 1.
185 PETANI MITRA
PERUSAHAAN MITRA
PETANI TEMBAKAU VIRGINIA PEMBELI GELAP
PETANI NON MITRA Gambar 1. Keterkaitan Antar Pelaku Dalam Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok
Keterkaitan Petani Mitra dengan Pelaku lain Menurut Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat nomor 2 tahun 2007 tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat nomor 4 tahun 2006 tentang usaha budidaya dan kemitraan perkebunan tembakau virginia, bahwa setiap perusahaan yang berkeinginan memasuki bisnis pertembakauan di Pulau Lombok diwajibkan untuk bermitra dengan petani tembakau. Kewajibankewajiban perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat nomor 2 tahun 2007 ditindaklanjuti dengan surat perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan petani mitranya yang sifatnya mengikat kedua belah pihak. Berdasarkan pasal 3 perjanjian kemitraan yang disepakati, perusahaan pengelola berkewajiban melakukan pembinaan, memberikan dukungan sarana produksi pertanian, mengupayakan modal kepada lembaga keuangan/bank, melakukan riset dan transfer teknologi guna menghasilkan mutu tembakau virginia yang berkualitas tinggi, dan membeli tembakau hasil produksi petani mitranya. Dasar keputusan sehingga petani tembakau virginia untuk bermitra dengan perusahaan tampaknya lebih mendasarkan diri pada azas rasionalitas. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keseluruhan petani tembakau mitra (100%) mengatakan, bahwa motif utama mereka sehingga memutuskan untuk bermitra dengan perusahaan pengelola adalah (i) terjaminnya pasar hasil produksi tembakau virginia dan (ii) diberikannya bantuan input produksi dalam bentuk kredit seperti benih, pupuk, pestisida, uang tunai, dan bahan bakar
minyak tanah serta pembinaan teknis. Dasar keputusan petani tembakau virginia untuk bermitra tersebut sesuai dengan pendapat Glover (1994), bahwa petani ikut bermitra untuk mengurangi risiko produksi dan pemasaran. Penyediaan input-input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida oleh perusahaan agribisnis dapat mengurangi ketidakpastian ketersediaannya, kualitas, dan biaya. Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua macam keterkaitan petani tembakau mitra dengan perusahaan mitranya, yaitu keterkaitan input dan output. Dalam hal keterkaitan input, perusahaan mitra menyediakan input-input produksi benih, pupuk, pestisida, bahan bakar, tikar, tali goni, dan uang tunai kepada petani mitranya dalam bentuk paket kredit yang akan dibayar setelah panen. Seluruh petani mitra mengatakan bahwa paket input produksi yang diberikan perusahaan mitranya telah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dengan perusahaan mitranya. Jumlah pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh (tamex dan prowl), minyak tanah, dan uang tunai telah sesuai dengan kesepakatan, yaitu 550 kg pupuk NPK, 200 kg KNO3, masing-masing 1 liter dan 1 kg insektisida, 2,5 liter zat pengatur tumbuh, 2.800 liter (12,72 drum) minyak tanah dan uang tunai sebesar Rp 2 juta per hektarnya. Dalam hal keterkaitan output, perusahaan mitra memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan petani mitranya. Menurut Artur (2005), dibuatnya kontrak tertulis oleh perusahaan mitra dengan petani mitranya bertujuan untuk meminimalisasi biaya transaksi dan ketidakpastian penyediaan kuantitas dan kualitas output Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
186 dalam mengoptimalkan kapasitas proses produksinya. Dalam konteks keterkaitan output ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua petani tembakau mitra menjual keseluruhan outputnya ke perusahaan mitranya. Ditemukan bahwa 55,88 persen petani mitra selain menjual tembakaunya ke perusahaan mitranya juga menjual ke pembeli gelap (35,29%) dan ke perusahaan mitra lain yang dititip melalui petani mitra (8,83%). Sebagian besar (55,26%) beralasan bahwa dengan kualitas output tertentu harga yang diterima lebih tinggi di perusahaan mitra lain/pembeli gelap dibanding dengan harga di perusahaan mitranya. Ditemukan pula sekitar 26,31 persen petani beralasan takut dipotong utang kreditnya di perusahaan karena utangnya di rentenir sudah jatuh tempo. Temuan ini memberikan petunjuk bahwa petani mitra juga memiliki keterkaitan dengan pembeli gelap dan sesama petani mitra dalam pasar output. Dengan kata lain, di dalam kontrak kemitraan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok petani peserta kemitraan telah menyimpang dari kontrak yang disepakati. Kondisi ini tidak sejalan dengan tujuan dibuatnya kontrak tertulis sebagaimana dikatakan oleh Artur (2005) maupun Wolf et al. (2001), bahwa kontrak dibuat untuk mengurangi timbulnya moral hazard dan meminimalisasi ketidakpastian penyediaan kuantitas dan kualitas output bagi perusahaan mitra. Petani mitra juga memiliki keterkaitan dengan petani non mitra (swadaya) dalam hal pasar input. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 32,35 persen petani mitra mengatakan pernah menjual sebagian input pupuk, ZPT dan pestisida yang diterima dari perusahaan mitranya kepada petani swadaya. Terdapat dua alasan dari petani mitra atas perilakunya dalam menjual input pupuk, yaitu realisasi lahan usahatani yang ditanami lebih sempit dari yang direncanakan dan untuk menambah modal kerja. Terhadap alasan terakhir ini, petani memupuk tanaman tembakaunya kurang dari yang direkomendasikan dengan maksud pupuk yang diberikan perusahaan mitranya tersisa untuk selanjutnya dijual kepada petani lain atau kios-kios saprodi untuk mendapatkan uang tunai. Keterkaitan Petani Swadaya dengan Pelaku Lain Berdasarkan hasil wawancara dengan petani tembakau virginia swadaya diketahui bahwa selama berusahatani tembakau virginia 53,33% mengatakan pernah bermitra dengan perusahaan. Persyaratan agunan yang tidak dapat dipenuhi oleh petani swadaya merupakan alasan terbesar untuk tidak bermitra lagi (33,33%). Kemudian H. Hamidi: Keterkaitan antar pelaku…
berturut-turut diikuti oleh kondisi areal lahan usahatani yang tidak sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh perusahaan mitra (25%), adanya tunggakan hutang (25%), dan terkecil adalah dipinalti karena diketahui menjual hasil produksi tembakaunya ke perusahaan mitra lain/pembeli gelap (16,67%). Tabel 1. Dasar Keputusan Petani Tembakau Virginia di Pulau Lombok Menjadi Petani Swadaya, Musim Tanam 2007. No Dasar Keputusan 1 Agunan tidak ada 2 Kondisi lahan yang tidak sesuai 3 Dipinalti 4 Ada tungakan hutang Jumlah
Jumlah Petani 8 6 4 6 24
Persen 33,33 25,00 16,67 25,00 100,00
Sumber: Analisis data primer Dalam hal keterkaitannya dengan para pelaku agribisnis tembakau virginia, petani tembakau swadaya memiliki keterkaitan dengan perusahaan mitra, petani mitra, dan pembeli gelap. Keterkaitannya dengan perusahaan mitra dapat ditelusuri dari pasar input dan output, di mana berdasarkan hasil penelitian ditemukan petani swadaya yang membeli input pupuk dan pestisida di perusahaan mitra relatif kecil (8,89%). Keterkaitan dalam pasar input ini juga diakui oleh perusahaan mitra PT. Sadhana Arif Nusa, bahwa perusahaannya menyediakan input bagi petani swadaya. Di samping input, petani swadaya juga memiliki keterkaitan dengan perusahaan mitra dalam pasar output, di mana berdasarkan hasil penelitian ditemukan 22,22% mengatakan pernah menjual outputnya ke perusahaan mitra. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat nomor 2 tahun 2007, bahwa perusahaan berkewajiban untuk membeli sekitar 20% produksi tembakau virginia petani swadaya. Petani tembakau swadaya juga memiliki keterkaitan dengan petani mitra, baik dalam pasar input maupun output. Dalam pasar input, lebih dari sepertiga (35,55%) petani swadaya menyatakan memperoleh pupuk dari petani tembakau virginia yang bermitra dengan perusahaan. Bahkan dalam penjualan hasil produksi tembakaunya ditemukan 8,83 persen mengatakan menitip tembakaunya untuk dijualkan ke perusahaan mitra. Petani swadaya juga memiliki keterkaitan dengan pembeli gelap. Bentuk keterkaitannya terbatas pada penjualan
187 output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 68,95 persen petani swadaya mengatakan menjual hasil produksi tembakau krosoknya kepada pembeli gelap yang datang. Sistem penjualan output dilakukan secara borongan, tidak dilakukan sebagaimana kebiasaan petani mitra, yaitu disortasi dan di bal terlebih dahulu. Keterkaitan Pembeli Gelap dengan Perusahaan Mitra Keterkaitan perusahaan mitra dengan pembeli gelap terbatas pada pasar output. Dalam operasionalnya, pembeli gelap ini adalah perpanjangan tangan dari perusahaan mitra tertentu yang memiliki jumlah petani mitra terbatas. Sistem pembelian dilakukan dengan mendatangi rumah petani tembakau mitra maupun swadaya dengan cara borongan tanpa dilakukan sortasi terlebih dahulu. Kualitas tembakau yang dibeli umumnya adalah kering lapang (KL), daun bawah (X), dan daun tengah (C). Harga tembakau untuk kualitas tersebut lebih mahal dibanding rata-rata harga pasar. Hasil wawancara mendalam dengan 10 pelaku pembeli gelap terungkap, bahwa ketika harga kering lapang (KL) di pasar paling tinggi Rp 2.000 per kg, maka pembeli gelap berani membeli dengan harga lebih tinggi karena dia bisa menjual di perusahaan mitra tertentu dengan harga Rp 2.750 per kg. Hal yang sama dengan posisi daun bawah (X), ketika harga rata-rata di pasar adalah Rp 6.000-Rp7.000 per kg, maka pembeli gelap berani membeli dengan harga lebih tinggi karena dia bisa menjual di perusahaan mitra tertentu dengan harga Rp 8.000 per kg. Implikasinya Terhadap Keberlanjutan Kemitraan Kemitraan merupakan suatu institusi ekonomi baru yang lahir untuk mengatasi masalah kegagalan pasar yang disebabkan oleh informasi yang tidak simetris dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi biaya transaksi (Grosh, 1994; Key dan Runsten, 1999). Pengalaman di negara-negara berkembang, kemitraan dapat meningkatkan pendapatan petani dan memberikan multiplier effect yang positif terhadap ekonomi perdesaan (Glover, 1994; Little dan Watts, 1994). Keikutsertaan petani dalam kemitraan dapat mengurangi biaya produksi sebagai akibat dari penggunaan teknologi baru yang diakses dari perusahaan mitranya, pengurangan biaya transportasi, dan biaya pemasaran (Jackson dan Cheater, 1994). Hasil penelitian Hamidi (2007) menunjukkan, bahwa kemitraan dapat meningkatkan efisiensi
dan keuntungan petani tembakau virginia di Pulau Lombok. Penelitian tersebut mendukung penelitian-penelitian empirik yang dilakukan sebelumnya oleh Warning dan Key (2000) di Sinegal maupun Winters et al. (2005) di Jawa Timur. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kemitraan merupakan suatu institusi yang dapat menjadi sumber pertumbuhan baru dalam pertanian yang perlu mendapat dukungan. Dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, meskipun program kemitraannya telah berlangsung lebih dari 20 tahun, namun dalam operasionalnya masih terlibat pelaku lain, khususnya pembeli gelap yang datang ketika musim panen raya. Masuknya pembeli gelap ke dalam pasar output tembakau virginia di Pulau Lombok dapat mengancam keberlanjutan kemitraan yang sudah ada karena perusahaan mitra tertentu yang benar-benar bertindak sebagai perusahaan pembina sesuai Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat nomor 2 tahun 2007 akan mengalami kerugian karena: (1) target produksi yang direncanakan sebelumnya dikhawatirkan berkurang sebagai akibat petani mitranya menjual hasil produksi tembakaunya ke pembeli gelap; (2) biaya transaksi (transaction cost) bagi perusahaan pengelola akan semakin bertambah sebagai akibat dari meningkatnya biaya pengawasan terhadap petani mitranya ; dan (3) risiko tidak kembalinya kredit yang telah diberikan kepada petani mitranya semakin besar. Sebaliknya bagi perusahaan tertentu yang memiliki jumlah petani mitra sedikit yang banyak memiliki pembeli gelap tentu memberikan keuntungan karena dapat memperoleh tembakau yang banyak tanpa harus mengeluarkan biaya transaksi. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok melibatkan empat pelaku, yaitu petani mitra, petani swadaya, perusahaan mitra, dan pembeli gelap. Keempat pelaku tersebut memiliki keterkaitan dalam pasar input maupun output. Keterkaitan petani tembakau dengan perusahaan mitranya telah diatur dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 2 tahun 2007 yang dilanjutkan dengan kontrak tertulis antara perusahaan dan petani mitranya. 2.
Adanya pelaku lain di luar pelaku yang bermitra, khususnya pembeli gelap yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
188 tertentu berimplikasi terhadap terancamnya keberlanjutan kemitraan yang telah dibangun lebih dari 20 tahun. Hal ini terjadi karena moral hazard, meningkatnya biaya transaksi, dan risiko tidak kembalinya kredit semakin besar. Saran Mengingat kehadiran pembeli gelap ini mengancam keberlanjutan kemitraan agribisnis tembakau di Pulau Lombok yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun, disarankan agar Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyempurnakan regulasi Keputusan Gubernur Nomor: 2 Tahun 2007 dengan memasukkan substantasi pembeli gelap ini secara eksplisit. DAFTAR PUSTAKA Arthur B. da Silva, Carlos, 2005. The Growing Role of Contract Farming in Agri-food System Development: Drivers, Theory and Practice. Paper Prepared for The Asian Productivity Organization Meeting on “Sustainable Contract Farming for Increased Competitiveness”, Colombo, Sri Lanka, July 2005 Hamidi H., L. Sukardi dan Syarifudin. 2005. Studi Model Kemitraan yang Berkesinambungan dan Efisiensi Teknologi Usahatani Tembakau Virginia Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saingnya di Pasar Global. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XX/2 Perguruan Tinggi, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hamidi, H. 2007. Keterkaitan Antar Pelaku dan Dampak Kemitraan Dalam Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok. Disertasi, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Glover, D. 1994. Contract Farming and Commercialization of Agriculture in Developing Countries. Dalam Von Braun, J. dan Kennedy E. (eds), Agricultural Commercialization, Economic Development and Nutrition. Baltimore, M.D: Johns Hopkins University Press. Grosh, B. 1994. Contract Farming in Africa: an Application of the New Institutional
H. Hamidi: Keterkaitan antar pelaku…
Economics. Journal of African Economics, 3(2): 231-61. Jackson, J.C. dan Cheater, A.P. 1994. Contract Farming in Zimbabwe: Case Studies of Sugar, Tea and Cotton. Dalam Little, P.D. and Watts, M.J. (eds), Living under contract. Madison, WI: University of Wilconsin Press. Key, N. dan Runsten, D. 1999. Contract Farming, Smallholders and Rural Development in Latin America: the Organization of Agro Processing Firms and the Scale of Outgrower Production, World Development. Little, P.D. 1994. Contract Farming and the Development Question. Dalam Little, PD dan M.J. Watts (eds), Living under contract, Madison, W.I., University of Wisconsin Press. Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor: 2 Tahun 2007. Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2006 tentang Usaha Budidaya dan Kemitraan Perkebunan Tembakau virginia di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram, Nusa Tenggara Barat. Surachmad, 2002. Informasi Pasar dan Prediksi Tembakau Virginia di Masa Depan. Peper disampaikan dalam Rapat Kerja Program Intensifikasi Tembakau Virginia di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 5-6 Juni. Sugiarto, Dergibson Siagian, Lasmono Tri Sunaryanto, dan Deny S.Oetomo, 2003. Teknik Sampling, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Warning, M. dan Key, N. 2002. The Social Performance and Distributional Consequences of Contract Farming: An Equilibrium Analysis of the Arachide de Bouche Program in Sinegal. World Development 30(2):255-63. Winters P., Phil Simmons dan Ian Patrick. 2005. Evaluation of a Hybrid Seed Contract between Smallholders and a Multinational Company in East Java, Indonesia: The Journal of Development Studies, 41: 62-89. Wolf, S., Hueth, B., Ligon, E., 2001. Policing Mechanisms in Agricultural Contract. Journal of Rural Sociology, 66(3): 359-381.