HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA DALAM SASTRA JAWA Rahmat
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret e-mail:
[email protected]
Abstrak : Hermeneutika sebagai sebuah pendekatan dapat digunakan untuk menganalisa karya-karya sastra. Sebagai pendekatan yang menekankan pemahaman teks, maka hermeneutika mempunyai jalan untuk menafsirkan teks, yaitu dengan jalan membaca sumber-sumber ekstra teks dan penafsiran dari sisi linguistik. Hermeneutika yang disajikan ini merupakan sebuah kajian umum tentang hermeneutika dan secara singkat penerapannya dalam karya sastra Jawa. Adapun teks yang dicontohkan untuk dibedah menggunakan pendekatan hermeneutika ialah teks tentang sěstradi yang terdapat dalam naskah Jawa berjudul Sěstra Agěng Adidarma. Melalui pembacaan ekstra teks dan penafsiran semantik, didapatkan pemahaman bahwa sěstradi merupakan piwulang tentang olah rasa melalui perenungan agar tercapai pencerahan jiwa. Kata kunci: hermeneutika, pemahaman, penafsiran, sastra Jawa, sěstradi PENDAHULUAN
Teori sastra dan karya sastra adalah dua hal yang saling berhubungan dalam ranah penelitian. Teori sastra ada beberapa macam, misalnya semiotika, resepsi, strukturalisme, feminisme, dan postmodern. Sementara itu, karya sastra secara umum digolongkan menjadi tiga yaitu puisi, prosa, dan drama. Sehubungan dengan karya sastra, dalam sastra Jawa juga digolongkan dalam tiga genre tersebut. Karya sastra Jawa yang termasuk dalam golongan puisi ada beberapa macam, yaitu kakawin, kidung, tembang macapat, dan geguritan. Adapun sastra Jawa bergenre prosa meliputi sastra parwa, babad, novel, dan cerkak. Yang terakhir, yaitu drama dalam karya sastra Jawa dapat berupa naskah dan pertunjukannya yang salah satu contohnya ialah wayang wong. Dalam ranah penelitian sastra Jawa, maka diperlukan satu atau beberapa teori untuk menelaah objek penelitian. Namun demikian, tidak semua teori dapat
74
diaplikasikan dalam sebuah karya sastra Jawa. Oleh sebab itu, diperlukan teori sastra atau lebih spesifik yaitu pendekatan yang tepat untuk membedah karya sastra Jawa. Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dipilih salah satu pendekatan yang sekiranya dapat diaplikasikan untuk penelitian sastra Jawa. Pendekatan yang dimaksud ialah hermeneutika. Di sisi lain, perlu juga melihat jenis dari karya sastra Jawa yang dapat dibedah menggunakan pendekatan tersebut. Dengan demikian dari tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang penelitian sastra Jawa. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif. Sumber data yang diperoleh dengan cara studi pustaka. Pertama, dengan cara mendeskripsikan hermeneutika sebagai sebuah pendekatan dan dimulai dari lingkaran besarnya yaitu postmodernisme. Kemudian, dilanjutkan dengan pengertian, gambaran umum serta
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 74-83
ciri khas dari pendekatan hermeneutika. Kedua, mendeskripsikan sastra Jawa disertai dengan karya yang dapat dibedah menggunakan pendekatan hermeneutika. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah teori atau pendekatan akan mempunyai fungsi apabila diaplikasikan terhadap suatu objek, begitu pula dengan hermeneutika. Namun, sebelum melangkah lebih lanjut tentang hermeneutika dan aplikasinya terhadap sebuah objek maka akan dibicarakan terlebih dahulu tentang postmodernisme. Postmodernisme muncul sekitar tahun 1970-an terutama pemikiran dalam bidang seni. Istilah itu muncul pertama kali dalam bidang seni pada tahun 1930-an yang dikenalkan oleh Federico de Onis dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana yang menunjukkan reaksi terhadap modernism. Istilah postmodernisme akhirnya menjadi satu konstruksi yang dipakai dalam berbagai bidang termasuk sastra, ilmu pengetahuan dan informasi, sosial dan ekonomi (Susanto, 2011). Postmodernisme timbul akibat kegagalan aliran modern yang ditandai oleh empirisme, rasionalisme, dan kapitalisme yang mengakibatkan peminggiran peran agama sehingga berpengaruh pada moral dan mental. Pandanganpandangan rasionalisme ternyata telah mempengaruhi pengikutnya untuk lebih menggunakan logika yang dipadu dengan kenyataan yang tampak. Kata post berarti ‘pasca’ sedangkan modernisme berasal dari bahasa Latin, yaitu modo yang berarti ‘baru saja’. Sehingga, kata postmodernisme dapat diartikan sebagai ‘akibat dari, setelah, pascakelahiran, pengembangan, dan penolakan’. Postmodernisme
dipengaruhi oleh akar filsafat Nietczche dan Heidegger. Adapun bidang kajian posmodernisme meliputi sastra, seni, arsitektur, sains, dan filsafat (Alwasilah, 2010). Postmodernisme juga tertarik menghubungkan apa yang ditemukan dalam teks-teks itu ketika dibaca dengan realitas sosial, terutama setelah publikasi oleh Jean Francois Lyotard pada tahun 1984 tentang hubungan pembacaan teks dengan realitas sosial (Bertens, 2008).
Susanto dalam buku berjudul Pengantar Teori Sastra (2011) menyebutkan bahwa tahapan-tahapan modernisme dihubungkan dengan kapitalisme, sedangkan postmodernisme didasarkan pada kapitalisme pasca Perang Dunia II yang didasarkan atas dominasi teknologi dalam jaringan global kapitalisme multinasional. Postmodernisme itu sendiri adalah hasil respon modernisme. Adapun ciri-ciri modernisme itu ada enam, mulai dari pandangan dualistik, militerisme sampai dengan tribalisme. Selanjutnya, postmodernisme mempunyai arti yang beragam, setidaknya ada dua pandangan terhadap postmodernisme apabila menilik awalan kata ‘post’. Ada yang berpandangan bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernism, namun ada pula yang menyangkalnya dan menganggap postmodernisme merupakan alternatif atau cara pandang yang berbeda. Pandangan pertama, yang menyatakan bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernism ialah Brian Mc Hale yang menganggap bahwa postmodernisme bukan merupakan gejala pasca atau setelah modernisme yang mengindikasikan keterputusan dari modernisme. Kehadiran postmodernisme 75
Hermeneutika dan Penerapannya... (Rahmat) di dalam ranah sastra pun tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan semua fenomena literer. Menurut Mc Hale dalam lingkup sastra lebih mengarah pada lanjutan dari pemikiran modernis, akan tetapi memiliki penekanan-penekanan pada hal berbeda dan mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu berupa pergeseran dari dominan epistemologis menuju dominan ontologis (via Pujiati, 2009). Pandangan yang kedua menganggap postmodernisme sebagai alternatif atau cara pandang yang baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari modernisme. Tokoh yang mempunyai pandangan demikian ialah Lyotard (via Susanto, 2011). Ia mempunyai tiga pendapat tentang kata post. Pertama, kata post mempunyai pengertian perubahan atau pemberontakan terhadap yang lalu. Dalam konteks itu post merupakan pemutusan hubungan dengan modernisme dengan kata lain menawarkan suatu cara pandang baru dan cara hidup yang baru yang lepas dari tradisi dan institusi. Kedua, post merupakan bukti dari kegagalan proyek modernitas yang ditandai dengan dekadensi humanisme. Ketiga, post berarti tidak mengulang lagi. Dengan demikian postmodernisme atau pascamodernisme bukan tahapan atau bagian dari kronologi modernisme, melainkan seruan untuk kembali mengolah narasinarasi atau wacana-wacana dan ceritacerita, tersembunyi, kecil, ataupun yang terlupakan atau dilupakan. HERMENEUTIKA
Apabila kita kembali pada ciriciri modernisme di atas, maka dapat kita ketahui bahwa batasan-batasan 76
pengertian tentang posmodernisme ditandai oleh adanya resistensi atau keraguan terhadap aliran rasionalisme, yang dipengaruhi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mempercayai makna pragmatik. Kaitan dengan hal tersebut, maka cara untuk mendapatkan pengetahuan atau mencari kebenaran dalam tradisi postmodernisme salah satunya, yaitu Hermeneutic Mode of Engagements (Alwasilah, 2010). Untuk kajian sastra berkaitan dengan postmodernisme ada setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendekati atau menganalisis karya sastra, yaitu dekonstruksi dan hermeneutika. Sebagai sebuah bentuk pembatasan agar lebih sederhana, maka sajian tulisan ini hanya akan tertuju pada kajian hermeneutika. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘memaknai’. Hermeneutika awalnya muncul dalam kajian keagamaan untuk menafsirkan ayat-ayat kitab suci. Adapun pakar hermeneutika ialah Gadamer dan Heidegger dengan pemikirannya sebagai berikut. Hermeneutika berkonsentrasi pada makna. Makna itu ada pada bahasa. Gadamer berpandangan bahwa ‘ada yang bisa dimengerti dari bahasa’. Hal itu sejalur dengan ungkapan zoon logon echon yang artinya ‘manusia sebagai makhluk berbicara’. Selanjutnya, hermeneutika itu menekankan pada pemahaman. Pemahaman yang dimaksud adalah interpretasi teks. Teks itu perlu ditafsirkan karena ada perbedaan ruang dan waktu. Tujuan akhir dari hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 74-83
dianalisis agar lebih mudah dipahami pihak lain (Alwasilah, 2010).
Gambaran umun dari pengertian hermeneutika diungkapkan juga oleh Zygmunt Bauman, yakni sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar dan pembaca (Faiz, 2003).
Kaitannya dengan sastra, hermeneutika dijadikan sebagai alat untuk menafsirkan teks-teks sastra. Penafsir teks sastra hendaknya tidak bersikap tertutup dalam menghadapi sebuah teks. Penafsir hendaknya membuka diri dengan melihat teks-teks lain yang sangat dimungkinkan sekali telah melatari atau mempengaruhi teks yang sedang dikaji. Faiz (2003) menyebutnya sebagai ‘mempertimbangkan horizonhorison yang melingkupi teks tersebut’, yaitu horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca. Dengan alasan, mempertimbangkan tiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang disamping melacak bagaimana suatu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu ‘teks’, ‘konteks’, kemudian melakukan upaya ‘kontekstualisasi’.
Hermeneutika sebagai bentuk mediasi dan proses membawa pesan agar dapat dipahami mempunyai tiga bentuk, yaitu mengungkapkan katakata, menjelaskan, dan menerjemahkan. Interpretasi sastra bila dilihat dari bentuk luarnya telah melibatkan dua dari proses itu dan sering kali juga yang ketiga. Sastra merepresentasikan sesuatu yang harus “dipahami”. Teks dengan subjeknya dapat terpisahkan dari kita karena waktu, tempat, bahasa, dan rintangan lainnya yang memerlukan pemahaman. Tugas interpretasi harus membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami (Palmer, 2005).
Keberhasilan untuk mendapatkan makna hermeneutika kuncinya ada pada pembaca dan teks. Teks merupakan hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa yang dibuat oleh seorang pencipta (pengarang) yang bermaksud menyampaikan, ide, gagasan, pikiran, dan tujuannya dalam sebuah teks. Teks mempunyai referensi dan rujukan suatu dunia yang lain yang tidak diketahui, oleh sebab itu sifatnya tertutup, sehingga pembaca dituntut untuk memahami dan menemukan sesuatu yang hendak dibicarakan oleh teks. Sikap tersebut menunjukkan perlunya suatu perlakuan terhadap teks (Susanto, 2011). Berkaitan dengan diri pembaca sebagai seorang penafsir teks, maka kegiatan yang dilakukan penafsir terhadap teks tidak boleh secara subjektif melainkan secara intersubjektif, yakni percampuran antara teks sebagai wakil pengarang dan penfasir itu sendiri. Penafsir tidak berjalan secara otoriter sesuai dengan kehendaknya sendiri dalam menafsirkan 77
Hermeneutika dan Penerapannya... (Rahmat) sebuah teks. Penafsiran itu memerlukan suatu alat, Susanto (2011) menyebutnya sebagai cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, suatu kenyataan, kejadian, dan pengalaman dalam suatu komunitas dan menjadi suatu relasi pengetahuan mengenai suatu dunia yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, jika cakrawala pemahaman seseorang berbeda, maka pemahaman seseorang tersebut akan berbeda dalam menghadapi dunia yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa cakrawala pemahaman juga dipengaruhi oleh aspek kesejarahan. Selain itu, pemahaman seseorang juga dipengaruhi aspek zaman yang mana bisa terjadi perubahan cakrawala pemahaman seiring berjalannya waktu melalui pemahaman terhadap produk sosial yang baru. Selanjutnya, berkaitan dengan pembaca sebagai seorang penafsir untuk mendapatkan pemahaman, maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Seperti kutipan berikut ini (Abulad, 2007).
Clearly, then, there are these two things to consider in the situation of understanding, a knowledge of the language and a knowledge of the person, and the first we shall call grammatical or philological, and the second we shall call psychological or technical. The successful practice of the art, claims Schleiermacher, depends on two talents, “the talent for language and the talent for knowledge of individual people. In other words, one who interprets a text is dealing with utterances, and that is language, but also with what those utterances might mean in the mind of
78
him who utters them, and that is the writer or the thinker. On the one hand we try to decode the words, and on the other hand we try to read a mind. Pertimbangan tersebut meliputi pengetahuan bahasa dan pengetahuan individual. Pengetahuan yang pertama merupakan pengetahuan tentang tata bahasa atau pengetahuan tentang kata (filologi). Filologi berasal dari bahasa Latin yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata atau ilmu’ (Djamaris, 2006). Filologi secara harafiah berarti ‘cinta pada kata-kata’ atau ilmu tentang kata-kata. Tetapi, kini filologi diartikan sebagai satu kajian tentang sastra lama yang menyangkut keaslian, bentuk, isi, bahasa dan kebudayaan (Alwi, 1995). Pengetahuan atas tata bahasa dalam hal ini meliputi, morfologi dan sintaksis yang harus dikuasai oleh penafsir dalam rangka struktur bahasa. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus siap dan dimiliki penafsir. Ketidaksiapan atau kelemahan pada bagian dasar ini menjadikan penghambat untuk membaca teks. Menurut Saputra (2008) pengetahuan filologi terhadap teks (dalam konteks ini) berdasar pada matra jarak waktu dan jarak budaya. Jarak waktu adalah masa dimana teks dibuat atau diciptakan dengan waktu sekarang ketika teks dibaca. Jarak budaya ialah jarak yang mana teks dibuat atau diciptakan pada masa lalu atau masa lampau ketika unsur-unsur budaya yang menyertainya sudah “tidak diakrabi” lagi oleh pembaca sekarang. Lebih lanjut, ditegaskan oleh pendapat Robson (1988) bahwa tugas utama dari filologi adalah membuat suatu teks dapat dibaca dan dipahami, terutama
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 74-83
kaitannya dengan penyajian teks dan interpretasi. Pengetahuan yang kedua adalah aspek psikologis. Scheleiermacher berpendapat bahwa pemahaman terhadap teks tergantung pada talenta bahasa dan talenta pengetahuan individual. Hal itu didasarkan pada pandangan terhadap teks, yakni teks adalah suatu ucapan atau bahasa, dan ucapan itu merupakan suatu pemikiran. Di satu sisi penafsir harus memecahkan kode bahasa dan di sisi lain mencoba untuk membaca pikiran. Pengetahuan gramatikal atau tata bahasa kaitannya dengan ketetapan makna dalam suatu teks hanya dapat dilakukan melalui lapangan kebahasaan dan kebudayaan. Makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada hubungannya dengan katakata lain di sekelilingnya. Pengetahuan psikologis merupakan pengetahuan di mana pembaca berupaya merekonstruksi subjektivitas pengarang sehingga dapat memahami maksud yang hendak disampaikan pengarang. PENAFSIRAN
Hermeneutika adalah kata yang muncul pada bidang sastra, teologi, dan filsafat. Secara sempit hermeneutika diartikan sebagai studi tentang prinsipprinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, sedangkan secara umum hermeneutika adalah studi pemahaman khususnya tugas pemahaman teks (Palmer, 2005). Sehingga, hermeneutika dapat dikatakan sebagai usaha untuk mendapatkan sebuah pemahaman terhadap suatu teks.
Proses memahami sesuatu yang dilakukan oleh seseorang seperti lingkaran, artinya pemahaman tersebut dimulai dari tiap-tiap bagian ke bagian yang lain. Kemudian, tiap-tiap bagian itu dihubungkan hingga menjadi keseluruhan atau kesatuan. Selain itu, pemahaman menurut Hirsch (via Susanto, 2011) bisa didapatkan dari sumber-sumber ekstra teks (extrinsic evidence). Sumbersumber ekstra teks itu selanjutnya diperbandingkan, artinya membandingkan teks dengan teks-teks lain yang sejenis dari pengarang yang sama atau pengarang lain dalam periode yang sama. Hal ini didasarkan oleh asumsi bahwa dalam suatu periode teks atau karya-karya yang dihasilkan memiliki tema yang sama yang digemari oleh penikmat. Sehubungan dengan penafsiran, Ricoeur (via Saktimulya, 2015) memandang penggunaan hermeneutika sebagai strategi yang terbaik untuk menafsirkan teks-teks filsafat dan sastra. Hermeneutika diterapkan dalam ranah bahasa, sastra dan filsafat karena ketiga ranah tersebut juga memiliki sifat simbolik, puitik, dan konseptual. Jadi, untuk bisa mendapatkan suatu pemahaman terhadap sebuah teks (sastra), maka diperlukan usaha-usaha penafsiran. Adapun jalan yang dapat ditempuh salah satunya dengan cara membaca teks lain yang sejenis.
Beberapa langkah dapat ditempuh juga dalam rangka penafsiran untuk mendapatkan pemahaman selain menggunakan sumber-sumber ekstra teks. Langkah-langkah tersebut misalnya penafsir mulai bekerja dari tataran
79
Hermeneutika dan Penerapannya... (Rahmat) linguistik, yaitu semantik dilanjutkan dengan menghubungkan antara dunia objektif teks dengan dunia yang diacu, dan memberikan makna yang didasarkan bahwa teks merupakan ekspresi tidak langsung sehingga perlu menafsirkan kiasan-kiasan yang ada di dalamnya. SASTRA JAWA
Masyarakat Jawa sebagai sebuah suku bangsa memiliki unsur-unsur kebudayaan yang salah satunya ialah sastra. Sastra Jawa diketahui telah muncul sejak berabad-abad tahun yang lampau dengan periodisasi karya-karya yang masih dipengaruhi oleh kisah-kisah dari Asia (tradisi India), lalu mendapat pengaruh juga dari Persia dan Arab (tradisi Islam), dan juga mendapat pengaruh dari barat (ditandai dengan munculnya genre novel). Sehingga, dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki kekayaan sastra yang keberadaannya sampai saat ini perlu mendapat perhatian dan apresiasi.
Adapun telaah tentang karya sastra Jawa telah dilakukan oleh para peneliti. Ras dalam penelitian yang dibuku-terjemahkan berjudul Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (2014) telah membuat suatu kajian kesusastraan di Jawa dalam tiga kurun waktu, yaitu 732-928 M yang merupakan kesusastraan Jawa Kuna (awal), 929-1527 M yang masih kelanjutan dari kesusastraan Jawa Kuna sampai dengan sastra kidung (Jawa Pertengahan), dan kurun waktu 1511-1920 M yang merupakan kesusastraan jaman Islam sampai dengan kesusastraan Surakarta-Yogyakarta. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Zoetmulder (1994) yang diterbitkan dalam buku berjudul Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang yang berisi 80
tentang kesusastraan Jawa Kuna yang berupa sastra parwa dan sastra kakawin dan diakhiri dengan kesusastraan Jawa Pertengahan yang dikenal dengan sastra kidung. Dari kedua sumber (buku) di atas menunjukkan karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan serta ulasan tentang kesusastraan Jawa Baru (jaman Surakarta-Yogyakarta) yang dari uraiannya menunjukkan karya sastra prosa maupun puisi yang mengandung cerita-cerita yang bersifat epos (seperti cerita yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana), didaktis-moralistis (Kidung, Piwulang dan Suluk), serta historis (Babad). Kajian yang lain tentang sastra Jawa sejak jaman Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, jaman Islam dan jaman Surakarta-Yogyakarta juga diterangkan dalam buku berjudul Kapustakan Djawi (Poerbatjaraka, tt). Sementara itu, dalam perkembangannya yang lebih modern kesusastraan Jawa mempunyai bentuk yang berbeda dengan tradisi kesusastraan sebelumnya yang lebih banyak bersifat fiksi yang diwujudkan dalam bentuk novel dan cerkak. Lainnya, ialah karya sastra puisi yang dikenal dengan nama geguritan. Tulisan tentang kesusastraan Jawa Modern telah ditelaah oleh Widati (2001) dalam buku berjudul Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan yang berisi tentang karya sastra Jawa berupa novel yang kiranya mengadopsi dari karya sastra barat. Selain itu, ada pula tulisan mengenai novel Jawa yang dari segi bentuk dan isinya berbeda dari bentuknya yang lazim. Mengenai karya sastra yang disebut terakhir ini dikenal dengan nama roman picisan dan disebut pula sebagai novel saku yang bericiri khas isinya yang penuh sensasi namun dipandang
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 74-83
mengandung kualitas sastra yang rendah (Utomo, 2002).
Agar mempermudah alur pikir tentang karya sastra Jawa yang dapat dikaji menggunakan hermeneutika, maka berikut ini akan dicontohkan karya sastra Jawa yang diproduksi di istana Pakualaman. Hermeneutika dalam hal ini akan digunakan terutama metodenya yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan pemahaman maka diperlukan sumbersumber ekstra teks dan selanjutnya penafsiran dalam tataran linguistik.
Sejumlah karya sastra yang terdapat di skriptorium Pakualaman memiliki piwulang tentang sěstradi. Dalam naskah yang berjudul Sěstra Agěng Adidarma terdapat kata berbunyi sěstradi, namun secara tersurat dan tidak terdapat penjelasan tentang hal itu. Untuk mendapatkan pemahaman tentang arti kata itu, maka perlu dilihat bagian-bagian yang lain yang dekat sekiranya merupakan bagian dari kata sěstradi itu sendiri. Bagian yang dimaksud ialah dalam naskah Sěstra Agěng Adidarma terdapat sajian tentang 21 butir watak utama yang harus diupayakan untuk dimiliki manusia dan 21 butir watak nista yang harus dihindari oleh manusia. Adapun kutipan teks tentang 21 watak utama dan watak nista dari teks naskah Sěstra Agěng Adidarma (1841) sebagai berikut. Manis metang watěkaning jalmi, kang prayogi kapratelakěna, ngadeg jějěg sabar yěktos, sokur narima tuhu, sura mantěp těměn sayěkti, suci engět sěrana, iktiyar lumintu, prawira dibya swarjana, běněr guna kuwat nalar angugěmi, gěmi tabri prayitna. Petange kang awon animbangi, ladak lancang lantap leles tanthang, langar
lěngus sumaruwo, lěson ngalěměr lamur, lusuh lukar langar ngěbosni, luwas uwas puwas, lumuh lumpur langguk, lěnggak-lěngguk kang ngaklangak, larad nglajok nglunjak běkicik muthakil, ngakal dhugal gal-galan.
Kutipan bait yang pertama menunjukkan watak baik manusia yang ditandai dengan pernyataan kang prayogi kapratelakěna yang berarti ‘yang baik diuraikan’ dan bait kedua yang menunjukkan watak nista manusia yang ditunjukkan dengan pernyataan petange kang awon animbangi yang diartikan sebagai ‘perhitungan yang buruk menyertai’. Dari dua kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupan ada dua watak manusia, yaitu baik dan buruk. Di mana ada watak baik di situ pula terdapat watak buruk yang menimbangi. Jadi, ajaran sěstradi yang terdapat dalam naskah Sěstra Agěng Adidarma menunjukkan 21 watak atau karakter manusia, yaitu itu baik dan buruk. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pengertian tentang arti kata sěstradi memerlukan sumber-sumber ekstra teks. Berdasarkan pembacaan terhadap naskah lain yang satu jaman, yaitu dari naskah yang berjudul Sěstradisuhul didapatkan informasi mengenai arti sěstradi yaitu dari kata sěs yang berarti ‘rasa yang tinggi’, tra adalah syarat yang nyata, dan adi yang berarti ‘suatu yang lebih’. Selanjutnya, sejumlah naskah yang lain menyebutkan bahwa sěstradi dijadikan sebagai pusaka bagi mereka yang ingin hidup selamat dan bahagia. Pada naskah yang lain pula, yaitu Babad Bětawi diuraikan masing-masing butir watak utama dan nista itu. Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam buku berjudul Warnasari Sistem Budaya 81
Hermeneutika dan Penerapannya... (Rahmat) Kadipaten Pakualaman Yogyakarta (2012) apabila bagian-bagian yang terpisah itu disatukan lalu ditafsirkan berdasarkan sumber-sumber yang ada maka dapat ditarik pemahaman bahwa sěstradi adalah suatu ajaran keutamaan tentang olah rasa melalui sarana yang nyata untuk berkontemplasi agar tercapai pemahaman tentang makna hidup. Sarana nyata yang dimaksud adalah segala hal yang didengar, dibaca, dilihat, dilakukan, atau dialami sendiri. Hal itu dimanfaatkan sebagai bahan perenungan yang khusyuk untuk memperoleh pencerahan jiwa. SIMPULAN
Hermeneutika merupakan salah satu pengetahuan tentang penafsiran yang kajiannya berawal dari kajian teologis atau agama dimana manusia mulai menafsirkan kitab suci. Penafsiran sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kebenaran ini dilakukan manusia untuk beberapa hal lain pada perkembangannya, tidak lagi teologis sebagai minat utamanya melainkan masuk dalam bidang seni, ekonomi, sosial, budaya, dan sastra.
Penafsiran dalam ranah hermeneutika berusaha untuk mendapatkan pemahaman atas sebuah teks. Penafsiran yang dilakukan oleh penafsir tidak akan menjadi subjektif apabila penafsir mempunyai langkahlangkah tertentu sehingga hasil tafsirnya mempunyai dasar yang jelas. Seorang penafsir setidaknya mempunyai tiga kriteria yaitu, cakrawala pemahaman, pengetahuan bahasa, dan pengetahuan psikologis. Apabila tiga kriteria tersebut dijalankan, maka unsur subjektivitas dapat diminimalisir. 82
Sehubungan dengan penafsiran untuk mendapatkan pemahaman dalam karya-karya sastra Jawa diutamakan pada teks yang memerlukan pengamatan lebih tajam terhadap kosakata, kalimat, dan wacana pada jenis karya yang memiliki simbol-simbol, bahasa yang khusus (puisi), dan mengandung konsep-konsep atau pemikiran tertentu. Adapun ciri-ciri tersebut melekat pada karya sastra Jawa bergenre puisi. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa karya sastra Jawa bergenre prosa juga dapat ditelaah menggunakan pendekatan hermeneutika. DAFTAR PUSTAKA Abulad, Romualdo E. (2007). “What is Hermeneutics” dalam An Online Journal of Philosophy: Kritike Volume One Number Two (December 2007, halaman 11—23). Alwasilah, A. Chaedar. (2010). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT. Remaja Rosdakarya.
Alwi, Yulis Haji (Ed). (1995). Kamus Filologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Bertens, Johannes Willem. (2008). Literary Theory: The Basic. USA dan Canada: Routledge. Djamaris, Edward. (2002). Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV. Monasco.
Faiz, Fakhruddin. (2003). Hermeneutika alQur’an. Yogyakarta: Qolam.
http://www.kritike.org/journal/issue_2/ abulad_december2007.pdf (diunduh tanggal 20 Oktober 2012).
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 74-83
Palmer, Richard E. (2005). Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. (Penerjemah: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pujiati, Hat. (2009). “Novel Enchanted dalam Kajian Postmodern Brian McHale”. Thesis S2 Program Ilmu Sastra, Sekolah Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ras,
J.J. (2014). Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Diterjemahkan oleh Achadiati Ikram. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Robson, S.O. (1988). Principles of Indonesian Philology. Netherland: Foris Publications Holland.
Saktimulya, S.R, Sudibyo, Sumardiyanto (Ed). (2012). Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyana Jakarta, Eka Tjipta Foundation, dan Perpustakaan Pura Pakualaman.
Saktimulya, S.R. (2015). “NaskahNaskah Skriptorium Pakualaman Periode Paku Alam II (1830-1858): Kajian Kodikologi, Filologi, dan Hermeneutika”. Disertasi program Pascasarjana FIB UGM. Yoyakarta. Saputra, Karsono H. (2008). Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, Dwi. (2011). Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Zoetmulder, P.J. (1994). Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cet-3. Jakarta: Djambatan. Sumber Data:
Sěstra Agěng Adidarma koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta.
83