BAYAN BUDIMAN DALAM KARYA SASTRA JAWA (Pernaskahan dan Perteksan) Oleh : Rahmat, S.S., M.A.
PENDAHULUAN Bayan Budiman adalah salah satu tokoh binatang yang terdapat dalam karya sastra kuna. Dikatakan kuna karena cerita tentang Bayan Budiman tersebut telah mengalami transformasi (dalam hal genre, baik prosa maupun puisi) dan perjalanan yang panjang hingga cerita tentang Bayan Budiman bisa sampai di Tanah Jawa. Dari segi penceritaan, cerita Bayan Budiman tersaji dalam bentuk cerita berbingkai. Cerita berbingkai sendiri artinya adalah cerita yang mengandung satu cerita utama ditambah dengan beberapa cerita sisipan (Mat Piah, dkk., 2006:189—190). Cerita berbingkai Bayan Budiman berasal dari cerita India dengan nama ‘Sukasaptati’ (Liaw Yock Fang, 1975:170). Adapun pokok cerita Sukasaptati adalah sebagai berikut. Haradatta adalah seorang saudagar yang mempunyai anak lelaki bernama Madanasena, setelah menikah dengan Prabhawati, Madanasena menjadi lupa diri. Hal itu membuat Haradatta sedih. Seorang Brahmana yang mengetahui perbuatan Madanasena itu lalu menghadiahkan 2 ekor burung, yaitu burung Bayan dan burung Gagak, keduanya pandai bercerita. Madanasena akhirnya sadar akan kewajibannya, ia pun pergi berniaga. Prabhawati sang istri yang ditinggal pergi menjadi sedih, atas nasihat temantemannya ia berniat laku serong. Kedua burung itu pun selalu bercerita untuk mencegah perbuatan Prabhawati. Sampai pada akhirnya, Madanasena kembali dari berniaga dan sang istri tidak jadi berbuat serong (Wirjosuparto, 1957:141; Soekmono, 1973:100; Liaw Yock Fang, 1975:177—178).
Sukasaptati diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Terjemahan yang populer adalah terjemahan dalam bahasa Parsi dengan judul Tutinameh oleh Nakshabi, beberapa cerita yang tidak sesuai dengan tradisi Islam dihilangkan. Tutinameh selesai diterjemahkan pada tahun 1300an, seratus tahun kemudian disalin ke dalam bahasa Turki. Pada akhir abad ke-18, kira-kira tahun 1793 Tutinameh diolah kembali dalam bahasa Parsi yang lebih modern oleh Mohd.Qadri (Liaw Yock Fang, 1975:178). Kedatangan cerita Bayan Budiman ke Nusantara bersamaan dengan datangnya Islam ke Nusantara, cerita yang diterjemahkan oleh Nakshabi (Persia) pada tahun 1329 (Winstedt, 1969:114) tersebut, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, Bugis, Makassar, dan Jawa (Liaw Yock Fang, 1975:178). Ketika agama Islam menyebar di pulau Jawa, segera diikuti dengan mengalirnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam huruf dan aksara Arab, ataupun yang telah digubah dalam bahasa Melayu (Simuh, 1988:21). Poerbatjaraka (1952:123) berpendapat pada saat Islam masuk di pulau Jawa, maka masuk pula cerita-cerita Islam1, dan kebanyakan hadir dalam bahasa Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam segera mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa, sehingga muncul kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Naskah-naskah Jawa yang memuat ajaran keislaman diperkirakan ada pada abad ke-16. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
Rahmat, S.S., M.A., adalah Dosen Progdi PBSID Unwidha Klaten
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
21
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
kesusastraan atau kepustakaan Islam yang hadir di Jawa datang dari Melayu, sebagai contoh adalah Hikayat Amir Hamzah dari kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak dalam bahasa Jawa bersekar macapat dan contoh lainnya seperti Serat Manikmaya dan Serat Ambiya (Simuh, 1988:24—25). Bukti bahwa kepustakaan-kepustakaan Jawa yang mendapat pengaruh dari Melayu adalah pendapat Pigeaud (1968:77) tentang penggunaan bahasa Melayu dan aksara Arab untuk perdagangan di kepulauan Nusantara. Adapun kutipannya sebagai berikut. In the fourteenth and fifteenth centuries traders in the Archipelago, when they embraced Islam, used their familiar interinsular trade idiom also in religiosis. Malay became the language of Islam. In matters connected with Islam, Muslim theology and law, Malay words and expression were borrowed everywhere in the Archipelago, and Malay always was intermediary in introducing Arabic words and names, connected with Islam, into the native languages of the islands
Cerita Bayan Budiman yang ditransformasikan dalam kesusastraan Melayu dari tradisi Persia disebut dengan nama Hikayat Bayan Budiman atau Hikayat Kojah Maemun (Vreede, 1892:313), sedangkan yang ditransformasikan dalam kesusastraan Jawa dikenal dengan nama Sêrat Bayan Budiman. Oleh sebab itu, kemungkinan besar teks Sêrat Bayan Budiman dalam tradisi Jawa 2 merupakan transformasi dari tradisi Melayu (Lindsay, 1994:185), yaitu Hikayat Bayan Budiman, seperti halnya teks Serat Menak dan Serat Ambiya yang merupakan transformasi dari tradisi Melayu.
Gambaran umum tentang isi teks Sêrat Bayan Budiman dalam tradisi Jawa adalah cerita antara binatang dengan manusia, yaitu burung Bayan dengan seorang saudagar yang bernama Ki Koja Maemun. Bayan Budiman dipelihara oleh Ki Koja Maemun, selama Ki Koja Maemun berniaga, Bayan Budiman menemani istri sang majikan, yaitu Nyi Koja Maemun. Jadi, cerita tersebut adalah gabungan antara cerita binatang dengan cerita manusia. Dalam cerita tersebut si binatang (Bayan) diceritakan mempunyai akal, tingkah laku, dan juga dapat berbicara seperti manusia. Binatang yang dijadikan tokoh mempunyai jiwa dan tingkah laku seperti manusia mungkin disebabkan oleh suatu pertimbangan bahwa untuk memberikan nasihat atau pentunjuk kepada pembaca tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui perumpamaan. Dalam hal ini, tokoh binatang dijadikan sebagai sarana pengungkapan tersebut. Hadirnya tokoh binatang adalah untuk memberi suatu pelajaran, maksudnya adalah pelajaran akhlak. Moralisasi yang diperankan oleh binatang yang pandai berbicara dan bertingkah laku seperti manusia adalah agar pendengar mau memetik pelajaran yang tersembunyi dalam cerita tersebut (Dipodjojo, 1957:14—16). Selanjutnya, teks Sêrat Bayan Budiman tradisi Jawa diungkapkan dalam bentuk puisi, yaitu têmbang macapat. Dalam kesusastraan Jawa pengungkapan teks dalam bentuk puisi lazim digunakan, karena puisi-puisi tersebut biasanya dilagukan atau ditembangkan pada acara-acara tertentu. Puisi Jawa mempunyai konvensi tersendiri, yaitu dalam bentuk bermetrum dan non metrum (bebas) (Arps, 1991). Adapun teks-teks SBB tersebut kini tersimpan dalam lembaran-lembaran kertas yang pada saat ini disebut dengan naskah. Adapun pengertian naskah dalam kajian sastra lama mengandung matra khas dan
22
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
lama. Pengertian naskah dalam pengkajian sastra lama berbeda dengan istilah naskah dalam kehidupan
(1997:212—213), Behrend (1998:100, 217, dan 391), Saktimulya (2005:108—109, 144, 210, dan 225).
sehari-hari masa kini, misalnya naskah dalam dunia penerbitan, naskah dalam dunia panggung, dan naskah pidato. Matra “khas” lebih berkait dengan ketradisionalan wujudnya, yang meliputi hal-hal yang
Adapun Perpustakaan Dewantara Kirti Griya sampai penelitian ini dikerjakan belum mempunyai katalog yang diterbitkan, tetapi terdapat register tentang
bersangkut paut dengan unsur-unsur naskah, misalnya alas tulis, aksara, serta proses produksi dan reproduksi. Pengertian “lama” memiliki matra “jarak
naskah-naskah koleksi yang di susun oleh petugas perpustakaan dan museum setempat. Katalog naskahnaskah perpustakaan setempat masih dalam proses pengerjaan.
waktu” dan “jarak budaya”. Yang dimaksud jarak waktu adalah jarak ketika naskah dibuat dan atau teks
Atas dasar petunjuk yang didapat melalui studi katalog, maka diketahui naskah-naskah dan edisi yang
diciptakan dengan saat ini ketika naskah dibaca, meskipun tidak ada ukuran pasti mengenai jarak
mengandung teks Sêrat Bayan Budiman tersebar di berbagai tempat penyimpanan naskah baik yang berada di dalam negeri (Indonesia), maupun yang tersimpan di luar negeri. Naskah yang mengandung teks SBB yang tersimpan di luar negeri menjadi koleksi Perpustakaan Leiden di Belanda. Adapun naskah dan edisi yang tersimpan di dalam negeri, antara lain koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Jakarta), Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Jakarta), Perpustakaan Dewantara Kirti Griya Tamansiswa (Yogyakarta), Perpustakaan Pura Pakualaman (Yogyakarta), Tepas Widyabudaya Kraton Yogyakarta (Yogyakarta), serta Perpustakaan Sanabudaya (Yogyakarta). Berdasarkan informasi dari beberapa katalog dan berdasarkan atas pengamatan langsung pula, maka berikut ini akan disajikan tabel yang menggambarkan jumlah naskah dan edisi yang mengandung teks Sêrat Bayan Budiman serta keterangan klasifikasi naskah yang disusun oleh penulis.
waktu. Jarak budaya lebih nyata dibanding jarak waktu. Naskah dan teks dibuat atau diiciptakan pada masa lampau ketika unsur-unsur budaya yang menyertainya “tidak diakrabi” lagi oleh pembaca masa kini (Saputra, 2008:10—11). Sebagai sebuah ciptaan sastra lama, Sêrat Bayan Budiman dapat dikenali oleh pembaca masa kini dalam sejumlah naskah turunan.
PERNASKAHAN Untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks Sêrat Bayan Budiman, maka diperlukan sebuah pengamatan. Adapun pengamatan tersebut dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah dengan membaca informasi teks dari beberapa katalog naskah dan yang kedua adalah dengan pengamatan langsung atau observasi di sejumlah perpustakaan atau museum (yang dapat dijangkau). Katalog naskah-naskah yang di dalamnya menginformasikan teks Sêrat Bayan Budiman, antara lain Vreede (1982:309—313), Pigeaud (1968:34— 35), Behrend (1990:226), Lindsay (1994:185—186, dan 192—193), Behrend dan Titik Pudjiastuti
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
23
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Tabel 1. Tempat Penyimpanan Naskah dan Edisi serta Jumlahnya No.
Tempat Penyimpanan
Jumlah Naskah / Edisi
Keterangan Klasifikasi Naskah/ Edisi dan Nomor Kode Koleksi
1.
Perpustakaan Leiden
1 naskah
Naskah F (LOr. 1822)
2.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
4 naskah
Naskah I (Br.309) Naskah J (KBG.392) Naskah K (101 a NBR 77) Naskah L (101 a NBR 77a)
3.
Fakultas Sastra Universitas Indonesia
3 edisi ketikan
Edisi Ketikan I (CL.13) Edisi Ketikan II (CL.14) Edisi Ketikan III (CL.15)
4.
Perpustakaan Dewantara Kirti Griya
2 edisi cetak
Edisi Cetak II (1729)
Tamansiswa Yogyakarta 5.
Perpustakaan Pura Pakualaman
Edisi Cetak I (1728)
5 naskah
Naskah A (0088/PP/73) Naskah B (0056/PP/73) Naskah C (0158/PP/73) Naskah D (0012/PP/73) Naskah E (0031/PP/73)
6.
Tepas Widyabudaya Kraton Yogyakarta
2 naskah
Naskah G (C.30) Naskah H (C.57)
7.
Perpustakaan Sanabudaya
1 edisi ketikan
TOTAL
18 teks
Edisi Ketikan IV (PB. B 36)
Dari aspek pernaskahan, menunjukkan adanya
Jawa dikenal dengan istilah mutrani. Kegiatan
minat terhadap teks Sêrat Bayan Budiman pada
penyalinan menurut Saputra (2008:55) secara popoler
zamannya, terbukti dengan adanya bentuk salinan dan
dikenal dengan istilah reproduksi naskah dan teks agar
pengalihaksaraan. Pengalihaksaraan maupun versi
teks “terawetkan”. Naskah arketip kemungkinan telah
cetak dalam hal ini disebut dengan edisi.
musnah karena berbagai sebab, tetapi teks yang
Salinan maksudnya adalah naskah yang merupakan penulisan kembali atas suatu naskah, jadi
terkandung di dalamnya “dipindahkan” ke naskah lain yang baru.
penulisan naskah berdasarkan satu naskah yang dijadikan acuan. Penyalinan naskah dalam masyarakat
24
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Pengalihaksaaran maksudnya adalah bentuk
pada naskah G meskipun aksara yang digunakan
salinan dari naskah menjadi edisi yang ditulis dengan
adalah aksara Arab, namun bahasa yang dipakai
mesin ketik. Naskah yang telah diturunkan melalui
adalah bahasa Jawa (disebut dengan Pegon).
ketikan tersebut akhirnya tersebar di beberapa
Lima naskah lainnya tidak menggunakan
tempat1. Kemungkinan besar persebaran tersebut
judul Sêrat Bayan Budiman, antara lain naskah
mempunyai beberapa tujuan, antara lain menjaga teks
B, C, D, E, dan H. Judul naskah yang tidak
agar mudah pelacakan apabila ada satu atau beberapa
menggunakan judul Sêrat Bayan Budiman
teks yang rusak atau hilang, yang kedua kemungkinan
dimungkinkan karena naskah-naskah tersebut
besar atas dasar kebutuhan akan teks, maksudnya
kandungan isinya lebih dari satu teks.
adalah minat pembaca terhadap teks Sêrat Bayan
Berdasarkan judul yang digunakan dapat
Budiman, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka
digambarkan tabel sebagai berikut.
naskah Sêrat Bayan Budiman “digandakan”. Tabel 2. Judul Naskah, Edisi Cetak, dan Edisi Ketikan PERTEKSAN Adapun karakterisasi teks yang akan ditampilkan meliputi karakterisasi teks Sêrat Bayan Budiman yang coba dilihat dari judul teks, volume teks, dan materi teks. 1.
Serat Bayan Budiman
Serat Hidayat Bayan Budiman
Judul Lain
A, F, I, J, K, L, Edisi Ketikan I, II, III, IV dan Edisi Cetak I dan II
G
B, C, D, E, dan H.
Judul Judul-judul kedelapanbelas naskah dan edisi tersebut tidak semuanya berjudul Sêrat Bayan Budiman. Ada 6 naskah yang mempunyai judul Sêrat Bayan Budiman, yaitu naskah A, F, I, J, K, dan L, sedangkan edisi yang mempunyai judul Sêrat Bayan Budiman adalah keempat edisi ketikan dan dua edisi cetak. Sebuah naskah menggunakan judul Sêrat Hikayat Bayan
Judul teks naskah A ada di bagian sampul depan naskah dengan tulisan aksara Jawa yang apabila ditransliterasi berbunyi “Sêrat Bayan Budiman”. Pada bagian dalam teks tidak secara eksplisit menyebut judul teks dengan Sêrat Bayan Budiman, namun dari awal bait pupuh pertama dapat diketahui bahwa materi teks adalah tentang Burung Bayan. Adapun kutipannya sebagai berikut.
Budiman adalah naskah G. Penggunaan judul
[1]Pinandara sêkar dhandhanggêndhis/ wêktu
hikayat pada naskah G dimungkinkan karena
ratri denira manitra/ ing kina sajuga dongeng/
aksara yang mayoritas dipakai adalah aksara
pêksi menco cinatur/ Bayan Budiman kanang
Arab, padahal aksara Arab biasanya digunakan
wangi/
pada naskah-naskah Melayu, sedangkan
sangangpuluh/ lawan sasanga ratonan/ jangkêp
penggunaan kata sêrat dimungkinkan karena
satus lan Bayan Budiman pêksi/ anut
bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Jadi,
sakarsanira//
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
darbe
rereyan
kaga/
menco
25
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Terjemahan:
pokok masalah yang terdapat dalam sêrat terdapat
‘Tembang Dhandhanggêndhis dibuat waktu
pula jalan penyelesaiannya.
malam, ketika menulis sebuah dongeng kuna
Kata bayan berarti ‘Burung yang termasuk
(tentang) burung Menco. Diceritakan yang
dalam famili betet dan kakatua yang membuat sarang
bernama Bayan Budiman mempunyai rereyan
di lubang pohon’ dan kata budiman1 berarti ‘berbudi,
burung menco sembilan puluh dan sembilan,
berakal, bijaksana’ (Mahmud, 2003:260). Ada
lengkap seratus dengan Bayan Budiman (sebagai)
kemungkinan kata bayan berasal dari bahasa Arab
sang raja. (Semua) burung mematuhi segala
bayaana yang berarti ‘pengungkapan, penyampaian,
kehendaknya’.
pernyataan’ (Mutahar, 2005:240). Dalam Ensiklopedi Islam (1996:73), secara etimologis kata bayan adalah
Kutipan tadi secara implisit menyebut sebuah dongeng atau cerita tentang burung Menco, yaitu Bayan Budiman. Penyebutan nama Bayan Budiman
penjelasan atas suatu maksud pembicaraan dengan menggunakan lafal yang paling baik. Lafal tersebut maksudnya adalah kata-kata yang baik.
pada awal teks setidaknya memberikan gambaran awal kepada pembaca bahwa teks yang akan dihadapinya adalah teks tentang Bayan Budiman. Tampaknya peranan Bayan Budiman sebagai tokoh dalam teks begitu besar, sehingga teks tersebut dapat dinamakan sebagai “Sêrat Bayan Budiman”. Kata sêrat dalam Kamus Baoesastra Djawa berarti ‘buku yang memuat suatu cerita dan sebagainya’
(Poerwadarminta,
1939:256),
kemungkinan pula kata sêrat merupakan turunan dari bahasa Arab, yaitu surah. Dalam Ensiklopedi Islam (1996:303) surah adalah ‘sekumpulan ayat-ayat AlQuran yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga ayat yang mempunyai pendahuluan dan penutup’. Kata surah berasal dari kata as-skrah yang berarti ‘pasal’. Hal yang terpenting dalam surah adalah setiap surah mempunyai persoalan pokok yang dibicarakan dan terdapat pula penyelesaian. Apabila kata sêrat dihubungkan dengan kata surah dalam bahasa Arab, maksudnya adalah buku yang memuat sekumpulan tulisan tentang suatu pokok persoalan yang mempunyai pendahuluan dan penutup. Setiap pokok persoalan tentunya ada awal dan akhir, begitu pula
26
Arti asal kata bayan adalah ‘menyingkap dan menjelaskan sesuatu’. Bayan sebagai upaya untuk menyingkap makna dari suatu pembicaraan serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan itu. Dalam bahasa Jawa kata bayan mempunyai dua arti, yang pertama berarti ‘burung betet’, dan yang kedua merujuk pada kata kebayan yang berarti ‘orang yang menjadi suruhan atau pesuruh untuk menyampaikan perintah atau pesan
dari
atasannya’
(Poerwadarminta,
1939:25,198). Arti kata bayan dalam bahasa Jawa sepertinya cocok dengan burung Bayan dalam teks, mengacu kepada seseorang yang menyampaikan suatu pesan atau perintah dari atasan. Atasan dalam konteks ini maksudnya adalah Tuhan Yang Mahaesa. Tuhan Yang Mahaesa menyampaikan atau menurunkan segala perintah dan larangannya kepada manusia melalui utusan-utusan. Utusan-utusan itulah yang selanjutnya menyampaikan pesan kepada manusia. Pesan-pesan yang disampaikan itu adalah perintah atau larangan dalam melaksanakan hidup sehari-hari.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Berdasarkan pencarian arti terhadap kata
Cerita yang terdapat dalam edisi Sêrat
bayan, baik kata bayan dalam bahasa Jawa maupun
Bayan Budiman yang berbentuk cetak
kata bayan yang berasal dari bahasa Arab, dapat
mempunyai cerita sisipan yang lebih banyak,
disimpulkan bahwa kata bayan mempunyai makna,
yaitu 18 cerita sisipan, yang masing-masing edisi
yaitu sebagai seorang tokoh yang bertugas
cetak tersebut berisi 9 cerita sisipan. Secara garis
menyampaikan atau mengungkap, menyingkap,
besar cerita yang terdapat dalam edisi Sêrat
menjelaskan suatu pesan, dan membicarakan suatu
Bayan Budiman yang berbentuk cetak berbeda
pokok permasalahan secara terperinci dengan
dengan cerita yang terdapat dalam naskah F.
menggunakan kata-kata yang baik dan bijaksana.
Naskah-naskah koleksi perpustakaan Pura Pakualaman yang mengandung teks Sêrat Bayan
1.
Volume Teks
Budiman ada lima buah, antara lain naskah A, B,
Naskah F koleksi perpustakaan Leiden
C, D dan E. Antara kelima naskah tersebut, teks
dan juga naskah salinan ataupun edisinya dalam
naskah Sêrat Bayan Budiman dalam naskah A
bentuk ketikan mempunyai volume teks sebanyak
mempunyai 9 cerita sisipan, sedangkan teks Sêrat
14 cerita sisipan, dimulai dari cerita “pengantar”,
Bayan Budiman dalam naskah B, C, D, dan E
yaitu Kisah di negeri Ngesam yang mana raja
hanya mempunyai satu cerita saja tanpa ada cerita
Ngesam mempunyai keinginan setiap malam
sisipan.
untuk tidur dengan seorang gadis. Pada akhirnya gadis “terakhir” yang dijadikan persembahan
2.
Materi Teks
untuk sang raja adalah putri sang patih.
Serat Bayan Budiman tradisi Jawa hadir
Pertemuan pertama yang dilakukan Cantri (anak
dalam dua versi. Versi yang pertama mirip dengan
patih) dengan sang raja adalah bercerita untuk
cerita asalnya, yaitu Tuti Nameh (atau
menunda keinginan sang raja untuk menidurinya.
Sukasaptati), sedangkan versi yang kedua dikenal
Cerita yang disampaikan oleh Cantri adalah kisah
dengan cerita Cantri (Pigeaud, 1990:250) yang
Bayan Budiman, Raja Asmarakandi, Raja
berbeda dengan versi Melayu (Liaw Yock Fang,
Darmakusuma, Ulung Wilada, Raden Suhisyam,
1975:178). Versi kedua tersebut berisi cerita
Patih Gadjahmada, Ki Gluga, Ki Slusur dan Ni
tentang Raja Sam yang menginginkan perawan
Sari, Kunthara dan Manawa, Banteng dan Buaya,
setiap malam, sang perdana menteri akhirnya
Ki Warung, Ki Bata, dan Ki Wangan, Raja
menawarkan putrinya yang bernama Dyah
Brawijaya, dan diakhiri dengan kisah
Cantri, yang kemudian memikat sang raja dengan
Joganbanun. Teks Sêrat Bayan Budiman pada
bercerita. Dia mulai ceritanya dengan cerita
naskah F dan naskah salinannya beserta naskah
Budiman, yaitu raja burung Bayan (Pigeaud,
ketikannya berhenti kisahnya tanpa akhir yang
1968:34—35).
jelas tentang nasib Cantri yang sedang bercerita kepada Raja Ngesam, di dalam teks cerita justru berhenti begitu saja pada bagian cerita sisipan.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
27
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Versi yang pertama secara garis besar mengisahkan saudagar yang bernama Koja Maemun yang mempunyai Burung Bayan. Burung Bayan Budiman tersebut menjaga istri
PENUTUP Kajian terhadap teks Sêrat Bayan Budiman ini setidaknya telah memberikan gambaran akan seluk beluk teks dan pernaskahannya. Bahwa teks Sêrat
sang saudagar, karena Koja Maemun melakukan
Bayan Budiman yang hadir dalam tradisi Jawa tidak
niaga ke suatu tempat. Selama kepergian Koja
akan pernah lepas dari konvensi-konvensi dan latar
Maemun, sang Bayan Budiman selalu bercerita dengan cerita-cerita yang mengandung akhlak dan pesan moral dari hari ke hari kepada istri Koja Maemun untuk mencegah perbuatan
belakang sosial masyarakat yang membentuknya. Adapun teks Sêrat Bayan Budiman sebagai sebuah karya sastra yang hadir di Jawa pada masa itu kiranya menjadi sebuah teks yang diminati. Hal tersebut dapat
selingkuh yang sedianya akan dilakukan oleh
diketahui dari persebaran naskah-naskah yang
sang istri. Berkat kepandaian bercerita sang
mengandung teks Sêrat Bayan Budiman.
Bayan Budiman, pada akhirnya sang istri melupakan niatnya untuk berbuat serong. Cerita Bayan Budiman kepada istri Koja Maemun selesai ketika Koja Maemun pulang dari niaga. Naskah yang mempunyai kandungan isi atau materi teks yang sesuai dengan versi kedua adalah naskah F beserta naskah atau edisi turunannya. Naskah tersebut mempunyai beberapa cerita, pertama dengan cerita raja Sam yang sangat menginginkan tidur dengan gadis. Gadis yang akhirnya menemani sang raja adalah putri dari patih raja itu sendiri. Dengan sangat pandai, gadis tersebut selalu bercerita kepada raja agar tidak ditiduri raja. Cerita yang pertama adalah cerita tentang Bayan Budiman. dalam cerita tersebut Bayan Budiman pandai bercerita, beberapa cerita di antaranya tentang Soekarsa lan Noeriman, patih Gadjamada, serta Soesoer lan
Pernaskahan dan persebaran teks Sêrat Bayan Budiman menunjukkan bahwa teks Sêrat Bayan Budiman merupakan salah satu dari beberapa teks naskah di Jawa yang mendapat sambutan dan perhatian dari pembaca, hal inilah yang pada akhirnya menunjukkan sebuah transformasi dan perjalanan panjang. Transformasi teks Sêrat Bayan Budiman terlihat dari hadirnya sejumlah judul yang berbeda, volume, dan juga materi teks yang menunjukkan munculnya dua versi besar dan beberapa varian. Selain itu, kebutuhan akan teks-teks yang berisi pesan-pesan moral yang kemungkinan pada zamannya sajian moral begitu diperhatikan oleh masyarakat Jawa sebagai bekal dalam pergaulan hidup dengan sesama, karena masyarakat Jawa begitu menjaga keharmonisan hidup antar sesama manusia ataupun makhluk hidup yang lain.
Ni Sari. Versi materi teks kedua ini menyerupai cerita Seribu Satu Malam (Lindsay, 1994:186).
28
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
DAFTAR PUSTAKA Arps, Ben. 1991. Tembang In Two Tradition. Nederland: Leiden University Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1:Museum Sanabudaya. Jakarta:Djambatan ————————.1995. Serat Jatiswara:Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa tahun 1600-1930. Jakarta : INIS ————————.1998. Katalog Induk NaskahNaskah Nusantara Jilid 4:Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Lindsay, dkk., 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2:Kraton Yogyakarta. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Mahmud (Ketua).2003. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Brunei Darrusalam:Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Kebuadayaan, Belia dan Sukan. Mat Piah, Harun., dkk. 2006. Kesusastraan Melayu Tradisonal, edisi ke-3. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Mutahar, Ali. 2005. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Mizan.
Behrend, dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk
Pigeaud, Th.1968. Literature of Java, Catalogue
Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3 A:Fakultas
Raisonne of Javanese Manuscripts in The
Sastra Universitas Indonesia. Jakarta:Yayasan
University Of Leiden and Other Pubilc
Obor Indonesia.
Collection
Dipodjojo, Asdi. S. 1957. Sang Kantjil Tokoh Tjeritera Binatang Indonesia. Djakarta: Gunung Agung. Fang, Liaw Yock. 1975. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura:Pustaka Nasional.
in
the
Nederlands.
The
Hague:Martinus Nijhoff. Poerbatjaraka. 1952. Kapustakaan Jawa. Jakarta: Djambatan. Poerawdarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgevers Maatschappij.
Giradet, Suzan Piper, dan R.M Soetanto.1983.
Saktimulya, Sri Ratna. 2005. Katalog Naskah-
Descriptive Catalogue of The Javanese
Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman.
Manuscripts and Printed Books in The Main
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Wiesbaden:Franz Steiner Verlag GMBH.
Saputra, Karsono..2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta:Wedatama Widya Sastra.
Istanti, Kun Zachrun.1985. “Cerita-cerita Syekh Bagenda Mardam, Suatu Kajian. Studi
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen. Jakarta: UI Press
Pendahuluan”. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
29
Bayan Budiman dalam Karya Sastra Jawa
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta : Kanisius. Winstedt, Sir Richard. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur : Oxford University Press.
30
Vreede, A.C. 1892. Catalogus van de Javaansch en Madoereesche handschriften der Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden:E.J.Brill. Wirjosuparto, Sutjito. 1957. Sejarah Kebudayaan India. Djakarta : Indira.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511