TA’WIL SEBAGAI ASAS TEORI SASTRA DAN BENTUK HERMENEUTIKA ISLAM Abdul Hadi W. M. agasan dan usaha untuk menggali, meneliti dan mengembangkan teori sastra yang pernah dan sedang tumbuh dalam tradisi intelektual Islam, patut disambut dengan gembira sebab sangat tepat pada waktunya. Sudah sejak lama karya penulis Muslim, klasik maupun modern, dikaji kebanyakannya menggunakan teori dan kaedah yang berasal dari tradisi intelektual Barat. Teori-teori dan kaedah-kaedah yang digunakan itu ternyata banyak yang tidak sesuai dengan asas falsafah dan wawasan estetika yang melatari penciptaan karya-karya yang dikaji, sehingga berbagai kejanggalan dalam penilaian dan pemahamannya sering pula terjadi. Terlebih-lebih di Indonesia, disebabkan tiadanya teori yang sesuai untuk mengkaji karya-karya bercorak Islam, menyebabkan banyak karya bercorak Islam diketepikan dalam dunia penelitian dan kajian. Padahal sejak tiga dasawarsa yang lalu telah banyak muncul karya penulis Muslim yang bukan saja signifikan serta mendapat penerimaan luas di kalangan pembaca tua dan muda, tetapi tidak sedikit dari karya-karya tersebut benar-benar didasarkan wawasan estetika dan pandangan dunia (worldview) yang berkembang dalam tradisi panjang intelektual Islam. Khususnya karya-karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan sebagai nampak dalam karya-karya Kuntowijoyo (novel Khotbah di atas Bukit, antologi puisi Suluk Awang Uwung dan Isyarat, kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga dll.), Danarto (kumpulan cerpen Adam Makrifat dan Berhala; novel Asmaraloka), M. Fudoli Zaini (kumpulan cerpen Arafah dan Batu-batu Setan)1; beberapa puisi Taufiq Ismail, Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron, Ahmadun Y. Herfanda, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Mustafa Hasyim dan lain-lain.
1
Pembahasan tentang novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo dan cerpencerpen sufistik Danarto serta M. Fudoli Zaini menggunakan kaedah hermeneutika atau ta’wil, lihat Abdul Hadi W. M. (1999:21-61) yaitu dalam esai “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Dalam Kepengarangan di Indonesia”. Novel Asmaraloka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) merupakan karya terbaru dan sekaligus novel pertama Danarto. Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
Dalam kertas kerja ini, dengan keterbatasan yang ada, akan dikemukakan tentang ta’wil sebagai asas teori sastra dan bentuk hermeneutika Islam. Walaupun ta`wil lebih dikenal sebagai cara menafsirkan al-Qur`an dengan kaedah tertentu, namun dalam perkembangannya kaedah ini juga digunakan sebagai asas pemahaman karya sastra, khususnya di kalangan penulis Sufi, sebagaimana terlihat dalam karangan-karangan Imam al-Ghazali, Ibn al-`Arabi, Ruzbihan al-Baqli, Mulla Sa`di al-Syirazi, Jalaluddin al-Rumi, Syamsudin al-Sumatra`i dan lain-lain. Selain itu tidak sedikit karya penting penulis Muslim diilhami ayat-ayat dan kisah-kisah dari al-Qur`an dan merupakan hasil tafsir menggunakan kaedah ta’wil, atau semacam kaedah ta’wil, terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Tentu saja dalam menafsir ayat-ayat alQur`an itu si penulis mengaitkannya dengan gagasan dan kenyataan social budaya yang dialaminya. Hasil penafsrian itu kemudian diubahsuai (ditransformasikan) ke dalam ungkapan estetik sastra, yang pada dasarnya sebagaimana ungkapan estetik sastra secara umum, bersifat simbolik atau mutasyabihat. Penyesuaian ke dalam ungkapan estetik sastra itu dapat disebut sebagai simbolisasi atau pemisalan; dari kata mitsal yang artinya, salinan, simbol, gambaran dari sesuatu yang dimisalkan, yaitu gagasan, pengalaman batin dan pandangan dunia (worldview) penulis. Apabila kita membaca misalnya karya Fariduddin al-`Attar seperti Mantiq al-Tayr; karya Rumi Matsnawi; karya Sa`di seperti Bustan dan Gulistan; begitu juga puisi-puisi Hamzah Fansuri dan Muhammad Iqbal; tidak akan diperoleh pemahaman yang mendalam dan tepat, serta tidak diperoleh kenikmatan estetik yang memadai pada waktu kita membacanya, apabila kita tidak merujukkannya pada ayat-ayat al-Qur`an atau kisah-kisah dalam al-Qur`an atau pesan moral dan kerohanian yang terdapat dalam beberapa ayat penting al-Qur`an. Unsur-unsur sastra dan wawasan estetika yang terdapat dalam karya penulis di atas juga tidak sedikit yang diilhami ayat-ayat al-Qur`an. Karya-karya bercorak sejarah dan adab, seperti Taj al-Salatin karya Bukhari al-Jauhari, Bustan al-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, Tuhfat al-
149
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Nafis karya Raja Ali Haji dan masih banyak lagi, juga hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui cahaya ta’wil -- cara memahami karya sastra dengan melihat kaitan spiritualnya dengan al-Qur’an dan Hadis, serta peristiwaperistiwa kesejarahan dan aliran pemikiran keagamaan yang dominan pada masa karya-karya itu ditulis. Kalau kita membaca secara mendalam buku Iqbal yang terkenal Membangun Kembali Pemikiran Agama Dalam Islam, dan juga buku karangan Ali Syariati yang berjudul Haji; akan tampak bagaimana kaedah ta`wil atau hermeneutika diterapkan dalam penulisan wacana intelektual yang tidak hanya bercorak spiritual, namun juga bercorak falsafah dan memiliki konteks kesejarahan yang jelas. Mengapa hal-hal yang bersifat kesejarahan dan sosiologis dari teks dapat dikaji menggunakan kaedah ta’wil? Jawabnya karena konteks sejarah dan sosiologis yang ikut melatari penulisan teks atau
karya sastra,
sebagaimana pesan moral dan kerohanian teks, sering hanya disajikan secara tersirat atau implisit dan tidak secara tersurat atau eksplisit, atau diisyaratkan; sehingga tersembunyi di bawah permukaan ungkapan. Misalnya dimasukkannya pasal tentang boleh tidaknya seorang perempuan menjadi raja atau pemimpin kerajaan di dalam Taj al-Salatin (1603) karya Bukhari al-Bukhari. Bagaimana kita memahaminya dalam konteks sejarah modern dan mengapa Bukhari al-Jauhari merasa perlu memasukkan pasal tentang itu? Untuk memahaminya kita perlu pula memahami latar belakang sejarahnya. Dengan memahami keadaan politik pada masa karya itu ditulis ada peluang bagi kita untuk memahami dan menafsirkannya lebih mendalam. Ketika karya itu ditulis keadaan politik di Aceh mengalami krisis yang berlarut-larut. Sultan Sayyid al-Mukammil sudah uzur, dan setahun kemudian setelah buku itu ditulis dua orang putera sultan memberontak dan merebut kekuasaan dari tangan ayahandanya. Dari latar belakang ini mungkin sudah terdengar desas-desus bahwa yang akan dipilih menjadi pengganti sultan ialah seorang kerabat perempuan. Bukhari al-Jauhari menyatakan bahwa
150
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
kalau tidak terpaksa janganlah melantik perempuan menjadi pemimpin kerajaan, sebab lebih banyak mendatangkan fitnah. Setahun yang lalu persoalan serupa muncul dalam wacana politik Indonesia ketika Megawati dicalonkan menjadi presiden. Beberapa ulama dan pemimpin Islam menolak pencalonannya karena Megawati adalah seorang perempuan. Walaupun antara keberatan yang diajukan Bukhari alJauhari dalam Taj al-Salatin dan penolakan ulama Indonesia tampak sama, namun konteks sejarahnya jelas berbeda. Penolakan beberapa pemimpin Islam di Indonesia terhadap Megawati pada waktu itu lebih disebabkan keraguan akan kesanggupannya untuk memimpin negara, bukan sematamata karena seorang pemimpin perempuan rentan terhadap fitnah dan skandal. Dalam kenyataan presiden lelaki juga sering mengundang fitnah dan tidak sepi dari skandal yang menghebohkan. Saya ingin memberi contoh lain yaitu satu bait sajak Hamzah Fansuri. Sajak tersebut menjelaskan secara tersirat tentang tidak benarnya dakwaan bahwa para sufi memiliki sikap anti-sosial dan gemar melarikan diri dari kegiatan dunia. Sebaliknya di situ dilukiskan kepribadian Rasulullah sebagai teladan utama orang Islam, yang terpuji kezuhudan, amal ibadah dan aktivitas sosialnya; dan pengertian faqir yang dikemukakan di dalamnya dapat dirujuk pada beberapa ayat al-Qur`an, misalnya Surah 36:15 dan Surah 2:268, yang menyatakan bahwa seorang faqir ialah ‘yang tidak memiliki apa-apa di dunia ini’ (yakni hatinya tidak memiliki apa-apa selain ketaatan kepada Allah s.w.t.) dan dia yang memerlukan (fuqara)
Tuhan
semata-mata (Hadi, 2000).
Rasul Allah itulah tiada berlawan Meninggalkan tam`ah sungguhpun makan Uzlat dan tunggal di dalam kawan Olehnya duduk walau berjalan
151
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Bagaimana mungkin kita mengabaikan baris ke-4
bait
sajak
tersebut di atas, yang selain begitu puitik juga memiliki makna yang dalam. Dipertentangkannya
kata
‘duduk’ dan ‘berjalan’ menyebabkan baris ini
menjelma sebuah paradoks yang indah. Mungkinkah seseorang duduk dan berjalan pada waktu yang bersamaan? Secara jasmani hal tersebut jelas tidak dapat dilakukan. Kita hanya dapat menafsirkan dengan menggunakan kaedah ta`wil, artinya kaedah yang memungkinkan kita mencari makna batin atau esoteris yang disembunyikan dalam paradoks tersebut. Karena dalam pandangan seorang Muslim sesuatu yang batin itu mendahului sesuatu yang zahir, maka ‘duduk’ yang dimaksud dalam baris itu ialah batinnya yang duduk, yang tidak lain adalah keimanannya yang teguh kepada Tuhan. Sedangkan berjalan merujuk pada aktvitas sosialnya.
Ta`wil Sebagai Hermeneutika Ta’wil sebagai bentuk hermeneutika Islam memang bermacammacam. Walaupun ia sering disamakan dengan tafsir biasa atas teks, khususnya kitab suci al-Qur`an, yaitu cara menjelaskan makna tersurat daripada teks, namun kaedah yang digunakan dan cara penerapan kaedah tersebut ternyata berbeda dari tafsir biasa, yaitu tafsir formal. Perkataan ta’wil berasal dari akar kata awwal, pertama atau yang pertama, sebutan yang juga diberikan kepada Sang Pencipta. Sebagai Yang Pertama (alawwal) Tuhan merupakan tempat kembalinya segala ciptaan. Berdasarkan hal ini lantas perkataan ta’wil diberi arti ‘Kembali atau menyebabkan kita kembali (kepada yang pertama atau yang asal) serta menemukan sesuatu yang tidak dapat dikurangkan lagi, yaitu sang makna atau hakekat yang terakhir’. Murata (1992) dengan tepatnya menghubungkan pengertian ‘tak dapat dikurangkan lagi’ dengan ‘mencapai makna terdalam teks, arti yang tersirat dan tersembunyi’. Mengenai makna isyarat dapat diberikan contoh bagaimana beberapa Sufi ayat mutasyabihat al-Qur`an (2:115), “Aynamatuwallu fa tsamma wajhullahi”, yang maksudnya
“Kemana pun kau
memandang akan nampak wajah Allah” . Yang menjadi persoalan bukan
152
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
‘memandang’, tetapi terlebih-lebih makna daripada perkataan ‘wajah Allah’. Sudah tentu yang dimaksudkan bukan rupa-Nya yang zahir yang dapat dilihat dengan mata, tetapi rupa batinnya yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati, yaitu rasa keimanan yang dalam (Hadi, 1995). Abdul
Razaq
al-Kasyani,
seorang
sufi
abad
ke-13
M,
menghubungkan tradisi ta’wil dengan sabda Nabi yang populer dan bermaksud, “Tidak ada ayat al-Qur`an yang tidak mempunyai makna zahir dan sekaligus makna batin, batasan (hadd) dan sekaligus tempat ke mana kita
melakukan
pendakian”
(Murata,
keberhasilan penerapannya al-Kasyani
1992).
Sedangkan
mengenai
mengatakan bahwa dalam ta’wil
seseorang tidak cukup hanya menggunakan logika dan fikiran. Seorang penta’wil harus juga menggunakan intuisi dan imaginasi kreatifnya, melibatkan diri ke dalam keseluruhan pergerakan teks, menyatu dengan teks dan membayangkan dirinyalah yang menerima ilham untuk menyampaikan kandungan teks yang sedang dia baca. Sebagaimana ahli hermeneutika secara umum, ahli ta’wil meyakini bahwa
bahasa
sebagai
sarana
komunikasi
dan
ekspresi
manusia
merupakan ‘wadah makna-makna’ (the locus of meaning), sekaligus sistem penandaan (dilal) dan pelambangan atau simbolisasi (mitsal). Berdasarkan penekanannya pada simbol atau unsur-unsur simbolik dari rasa’il atau wacana, maka ta’wil sering diartikan sebagai tafsir atau pemahaman simbolik. Dilihat dari arti khususnya ini ta’wil dapat diartikan sebagai perjalanan jiwa dalam memahami teks (karya sastra) melalui cara-cara seperti mengubahsuai atau mentransformasikan ungkapan-ungkapan zahir tertentu dalam teks menjadi kias, tamsil atau mitsal. Dengan cara demikian maka dunia makna yang dikandung teks menjadi lebih luas dan kaya. Menurut Corbin (1980) dalam analisanya terhadap falsafah Ibn `Arabi, selain mengubahsuai ungkapan-ungkapan tertentu dalam teks menjadi kias, tamsil atau mitsal, seorang pemakai kaedah ta’wil biasanya menggunakan penerapan intuitif dalam upaya menyingkap dunia makna dari teks yang dikajinya. Intiuisi penting karena hanya dengan pencerapan secara
153
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
intuitif maka ungkapan-ungkapan dalam teks dapat
tampil sebagai
gambaran yang hidup dalam fikiran dan imaginasi kita. Penggunaan intuisi dalam membaca teks ditunjukkan misalnya oleh Kasyani dan Iqbal2. Dalam usaha memahami dan menafsir ayat-ayat al-Qur`an secara mendalam mereka menempatkan diri seakan-akan Tuhanlah yang menurunkan wahyu itu secara langsung ke dalam hati mereka. Begitu pula apabila seseorang membaca teks karya sastra, kaedah serupa dapat digunakan. Agar memahami
pesan
terdalam
teks,
seorang
penelaah
mesti
mampu
menempatkan diri seolah-olah dia sendirilah yang menerima inspirasi untuk menuliskan pesan-pesan dari karya yang dibaca. Ta’wil dapat bekerja apabila kita mampu membedakan antara tamsil dan alegori (ibarat) dan memahami bagaimana sebuah simbol terjadi. Penggunaan logika saja tidak cukup bagi seorang penta’wil. Agar efektif dalam menelaah teks, seorang pentakwil mesti mampu menggunakan penglihatan batin, serta mendayagunakan sepenuhnya akal kontemplatif dan imaginasi kreatifnya. Apabila seorang penta’wil telah menggunakan ketiga fakulti kerohaniannya ini maka ia tidak akan lagi melihat karya yang dikaji sebagai wacana yang ditulis berdasarkan gagasan logis, melainkan sebagai pentuk dari pengkiasan atau simbolisasi (Corbin, 1981). Di sini ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, karya sastra adalah sebuah simbolisasi yang berarti bukan sekadar mimesis (tiruan) atas kenyataan inderawi, tetapi
2. Dalam sebuah penjelasannya Kasyani antara lain mengatakan dalam kitabnya Ta’wil al-Qur`an, lebih kurang maksudnya, “Saya dulu terbiasa mencurahkan segenap diri saya untuk mensitir al-Qur`an dan merenungkan maknanya dengan kekuatan iman, dan sepanjang masa selalu tekun berdoa. Namun dada saya sesak dan hati saya gelisah. Makna al-Qur`an tidak kunjung tersingkap pada hati saya. Tuhan tidak mengalihkan perhatian saya daripada makna-makna yang dikandung al-Qur`an. Pada akhirnya saya menjadi dekat dan akrab dengan makna-makna tersebut. Saya merasakan manisnya cawan dan minuman makna-makna tersebut. Saya merasa bahagia, dada saya terbuka , fikiran menjadi luas, hati saya jadi lapang, rahasia kalbu terdedah, pada saat saya berada dalam keadaan gembira itu, roh saya merasa bahagia pula dan itu semua disebabkan datangnya penyingkapan (futuh). Futuh agaknya datang berterusan sebagai arus udara malam dan pagi. Setiap ayat diungkapkan maknanya pada saya, sehingga lidah saya tidak sanggup menjelaskannya…Lalu saya ingat sabda Nabi s.a.w., “Tidak ada ayat dalam al-Qur`an yang tidak memiliki makna zahir, makna batin, hadd dan matla’, titik tempat melakukan kenaikan (transendensi)…” Menurut pengalaman Kasyani ta’wil tidak membiarkan dia berhenti pada apa yang diketahui, dan pada saat bersamaan sering begitu banyak makna yang masuk ke dalam fikiran dan hatinya dalam wujud kata tertulis sehingga dia menjadi bingung karena banyaknya hal yang dicakup. Lihat Murata (1992:301-2).
154
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
pengkiasan (mitsal) atau salinan menggunakan kias atau simbol terhadap gagasan yang lahir dari pengalaman batin penulis, jadi merupakan salinan daripada sesuatu yang terdapat dalam alam rohani. Kedua, fakulti yang dapat memahami gagasan yang terdapat dalam alam rohani dan transformasinya ke dalam ungkapan estetik yang simbolik ialah akal kontemplatif dan imaginasi kreatif. Mengenai peranan imaginasi kreatif, Abdul Karim al-Jili dalam Kitab al-Insan al-Kamil mengatakan bahwa imaginasi merupakan asas dan sumber dari kewujudan sesuatu
yang berkaitan dengan kreativitas manusia. Ia
adalah intipati pengalaman batin, yang di dalamnya kehadiran ucapan teofani dan pancaran alam kerohanian dapat dimungkinkan keberadaannya (Corbin, 1977). Dalam kaitannya dengan teks sebagai peristiwa bahasa dan sekaligus model dari tindakan pemikiran dan perenungan, imaginasi jelas sangat
diperlukan.
Pertama-tama
karena
kedudukan
kata-kata
dan
ungkapan kunci tertentu dalam teks sangat unik, bukan semata-mata sebagai penuturan logis, melainkan sebagai penuturan simbolik yang penuh nuansa. Sebagaimana imaginasi kreatif, dunia yang ditempati makna terdalam teks adalah alam yang lebih tinggi dari alam perasaan dan pikiran biasa. Dalam proses pemahaman karya, tahap awal yang dilakukan biasanya ialah menandai apa yang mesti ditandai, atau menentukan dilal (tanda) yang signifikan, termasuk bagian-bagian dari teks yang simbolik atau metaforikal. Dalam pandangan ahli ta’wil, peranan simbol dalam karya sastra adalah tangga naik menuju kesadaran yang lebih tinggi. Pandangan ini sesuai dengan tujuan karya sastra yaitu membawa pembaca ke arah kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran biasa. Sahl al-Tustari, seorang ahli ta’wil pertama yang hidup pada abad ke-10 M, mengatakan ungkapanungkapan simbolik dalam wacana keagamaan, khususnya kitab suci alQur`an, memiliki dua segi penting: yaitu segi batas atau hadd dan segi matla’, yaitu tempat mendaki menuju makna yang tinggi dan tak terhad
155
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
cakrawalanya3. Yang pertama, yang hadd, maknanya bersifat zahir; sedang yang kedua, yang matla’, maknanya bersifat batin. Karena itu apabila kita hanya terpaku pada makna zahirnya, pemahaman yang kita peroleh bersifat terbatas atau sempit; sedangkan makna batin teks menyajikan cakrawala yang tak terbatas. Memang ta’wil pada mulanya muncul disebabkan keperluan menafsir ayat-ayat mutasyabihat (simbolik) al-Qur`an dan Hadis tertentu, serta ucapan-ucapan shatiyyat (teofani) para sufi. Bahkan Seyyed Hosein Nasr (1981) mengartikan ta’wil sebagai falsafah perennial (abadi) dalam arti sebagai ilmu berkenaan cara memahami makna kerohanian teks suci atau keagamaan, yang sudah pasti berkenaan persoalan atau tema-tema falsafah perenial. Namun karena dalam kenyataan teks-teks yang lahir dari tradisi intelektual Islam, walaupun tidak sepenuhnya merupakan karya-karya kerohanian atau sufistik, tetap memiliki pesan kerohanian dan moral yang ada kaitan dengan tema falsafah perenial. Termasuk misalnya karya bercorak adab, sejarah, epik dan roman percintaan. Karya-karya ini jika diteliti secara mendalam mengandungi hal-hal tersirat atau pesan kerohanian bercorak sufistik atau berkenaan dengan metafisika, etika, sosiologi, estetika dan psikologi keagamaan. Unsur-unsur ini dapat disingkap khususnya apabila seseorang menggunakan kaedah ta’wil yang pada asasnya memang memiliki kaitan dengan metafisika (kosmologi dan ontologi), estetika, etika dan psikologi keagamaan dalam Islam. 3
Teori Sahl al-Tustari bersumber dari pandangan Ja`far al-Sadiq, tokoh tasawuf yang dianggap sebagai pencetus kaedah ta’wil paling awal. Pembagian hirarki makna dalam teks didasarkan atas pandangan Ja’far al-Sadiq yang membagi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam empat kelompok, yaitu: Pertama, ayat ibarat yang dapat dipahami oleh kebanyakan orang; Kedua, ayat isyarah yang hanya dapat dipahami oleh orang yang berfikir dan berpengetahuan; ketiga, ayat lata’if yang hanya dapat dipahami menggunakan kaedah esoterik dan intuisi sebagaimana dicapai oleh para aulia dan ahli makrifat; keempat, ayat haqa`iq yang hanya dapat dipahami para nabi (Lihat A. Schimmel 1981:41). Berdasarkan ini Sahl al-Tustari membagi dua aspek makna dari ayat-ayat mutasyabihat al-Qur`an. Makna ayat al-Qur`an dimaksud mengandung dua aspek utama: aspek hadd (terbatas) yaitu perwujudan formalnya dan ini berkaitan dengan makna zahirnya; aspek kedua ialah matla’ yaitu tempat melakukan pendakian ke alam rohani, berkaitan dengan makna batin ayat yang bersifat luas cakrawalanya. Apabila kita bertumpu hanya pada makna zahir maka kita akan mendpatkan pengertian yang sempit dan terbatas; apabila kita memasuki makna batin teks, maka kita akan mendapatkan pemahaman dan cakrawala pengertian yang luas, sehingga meyakini tentang kehadiran Yang Transenden. Lihat Bowering (1980:142).
156
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
Peranan penting simbol dan metafora dalam karya sastra, juga dalam teks lain bukan sastra, juga dikemukakan oleh ahli hermeneutika modern seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur. Ini tidak mengherankan karena karya sastra bukan mengandung unsur simbolik dan metaforik yang sering menguasai keberadaan sebuah karya sebagai objek estetik, tetapi juga dan bahkan sering karya sastra dapat dianggap sebagai metafora atau simbol terhadap sesuatu hal yang tidak diungkapkan secara tersurat oleh penulis. Menurut Ricoeur, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda. Di dalamnya terdapat makna lapis pertama, disebut makna referensial atau denotatif; makna lapis pertama ini mesti dirujuk pada makna lapis kedua, yaitu makna konotatif dan sugestif yang tersembunyi di sebalik makna lapis pertama (Thompson 1990). Namun sebagai teori sastra yang berkaitan dengan tafsir, telaah dan pemahaman karya sastra, ta`wil tidak mesti diarahkan pada fenomena makna ganda (double meaning) simbol; tetapi juga, menurut Ricoeur, mesti memandang simbol sebagai sesuatu yang kaya akan makna dengan sendirinya. Bahkan disadari atau tidak, simbol jelas mengandung makna spiritual. Itulah sebab Abdul Qahir al-Jurjani, seorang strukturalis Arab abad ke-12 mengatakan bahwa puisi (karya sastra) adalah makna yang menurunkan makna-makna. Sedangkan teks bukan sastra, yang tidak menggunakan bahasa figuratif (majaz) seperti karya sastra tetapi bahasa diskursif, menurunkan makna tertentu yang dapat dirujuk pada sumber tertentu yang jelas. Ibn al-`Arabi menamai ta’wil sebagai kaedah penafsiran teks dengan cara mencipa kemiripan makna baru secara terus menerus (tajdid al-mutsul) atau mencipta sesuatu yang baru melalui kegiatan menafsir (tajdid al-khalq). Tujuan ta’wil ialah membina kesadaran rohani, pengetahuan dan gagasan yang bermakna tentang hidup, serta kesadaran diri yang membuat pemahaman terhadap teks menjadi hidup baik secara spiritual maupun rasional, secara estetis maupun intelektual (Corbin, 1981).
Ibn al-`Arabi
menambahkan cara-cara menelaah puisi atau alegori-alegori simbolik yang
157
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
lebih tepat dilihat dari sudut kelengkapan dan keperluannya akan pemahaman yang komprehensif. Dia memberi contoh puisi. Puisi merupakan ungkapan sastra yang kaya dengan citraan visual (visual image) karena menggunakan majaz atau bahasa figuratif. Citraan visual ini mesti dirubah menjadi citraan simbolik yang luas rangkuman maknanya sehingga citraancitraan tersebut dapat menjelma sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar teks atau ungkapan formal dan luas pula cakrawalanya. Ta`wil berbeda dari penafsiran formal. yang dalam memahami kandungan teks membatasi pada hal-hal yang tersurat dan bertopang hanya pada hujah empiris dan rasional. Sebagaimana telah dikemukakan, ta’wil melihat teks tidak hanya memiliki aspek formal dan rasional, namun juga aspek intuitif, yaitu yang tersirat. Aspek intuitif ini berkaitan dengan gambaran dunia dan keadaan jiwa penulis pada waktu melahirkan karyanya. Keadaan jiwa penulis pada waktu melahirkan karyanya itu dipengaruhi bukan saja oleh situasi kejiwaan pribadi penulisnya, tetapi juga oleh keadaan sosial dan politik pada zamannya, perkembangan kebudayaan yang meliputi juga perkembangan pemikiran keagamaan dan sastra. Dapat dikatakan bahwa terciptanya sebuah karya sastra melalui proses kejiwaan dan pengalaman batin yang kompleks. Telah dikemukakan pula bahwa telaah menggunakan kaedah ta’wil menumpukan perhatian pada tamsil, kias atau nuansa simbolik, tidak pada ungkapan atau nuansa zahir (surah) teks. Hal ini dilakukan untuk mencapai makna terakhir dari karya yang ditelaah. Makna terakhir ini bersifat spiritual atau batin dan tersembunyi di sebalik ungkapan zahir, atau diisyaratkan melalui kias atau pelukisan tersirat. Makna terakhir yang juga merupakan makna terdalam itu disebut makna isyarah atau makna sugestif. Para ahli ta’wil yakin bahwa makna terdalam inilah sebenarnya yang secara tak disadari menggerakkan hidupnya teks secara organik dan keseluruhan pada waktu proses pembacaan dan pemahaman berlangsung. Dalam kasus karya atau puisi Sufi misalnya, makna isyarah bertalian dengan ontologi dan kosmologi Sufi, yaitu tatanan wujud dan alam
158
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
kehidupan yang berperingkat serta saling berhubungan mulai dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Yang paling rendah menempati alam zahir dan merupakan wujud fenomenal. Ia melambangkan adanya alam dan wujud yang di atasnya hingga alam dan wujud tertinggi yang bersifat transenden. Kehadiran wujud tertinggi dari alam tertinggi, yaitu Yang Tunggal atau Yang Satu yang disebut juga Yang Haqq (al-haqq); begitu pula adanya hubungan antara wujud yang berada di alam bawah dengan wujud di alam atas; merupakan tema utama dalam semua puisi penyair Sufi atau puisi sufistik. Agar supaya jelas saya ingin mengambil contoh sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku”: Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurai puncak Berjulang datang ubur terkembang Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengempas emar Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun alun di atas alas Benang raja mencelup ujung Naik marak mengorak corak Elang leka sayap tergulung Dimabuk warna berarak-arak Dalam rupa maha sempurna Rindu sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Mencecap hidup bertentu tuju (Buah Rindu) Melalui gambaran alam zawahir atau fenomena alam penyair berhasil menggambarkan Wujud Tertinggi dan keberadaan alam tanzih (transendental) secara sugestif dan simbolik. Kejadian yang disaksikan di alam syahadah dijadikan tangga naik menuju alam yang lebih tinggi, yang dalam kosmologi Sufi disebut alam malakut (alam kerohanian) dan alam
159
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
lahut (alam ketuhanan). Dalam sajak di atas penyair menunjukkan bahwa kaedah ta’wil dimaksud
dapat diterapkan dalam penulisan puisi, apabila yang
dengan
tersembunyi
antara
kaedah
ta’wil
berbagai
ialah
cara
fenomena
menafsirkan
di
alam
hubungan
kejadian
dan
membayangkan adanya keberadaan alam lain di atasnya. Dengan mengubah fenomena alam menjadi tamsil atau simbol, serta tangga naik ke alam yang lebih tinggi, Amir Hamzah menepati apa yang dikatakan Ibn al`Arabi tentang kaedah ta’wil, yaitu sebagai penerobosan (`ubur) terhadap rupa zahir sesuatu sehingga memperoleh keterangan tentang hakekat atau maknanya yang terdalam, yaitu i`tibar (Yaapar, 1992). I’tibar dalam sajak “Berdiri Aku” dapat dilihat pada bait terakhir. Dengan meninggalkan keterpukauan pada keindahan zahir dan juga kesadaran rasional, Amir Hamzah secara intuitif tiba pada kesimpulan bahwa semua bentuk keindahan zahir di dunia ini secara rahasia sebenarnya merupakan manifestasi dari keindahan Yang Maha Tinggi yang sempurna. Ke arah Yang Satu inilah segala sesuatu menetapkan tujuan. Bait ketiga sajak tersebut memberi isyarah atau sugesti tentang kenaikan jiwa penyair dari alam syahadah menuju alam yang lebih tinggi. Kenaikan terjadi melalui kelekaan dan kemabukan mistikal. Penggunaan tamsil elang, simbol jiwa manusia yang mencapai hakekat dirinya, sangat tepat dalam baris “Elang leka sayap tergulung/Dimabuk warna berarak-arak.” Sebagaimana alam kehidupan memiliki tatanan, begitu pulanya halnya dengan teks, khususnya puisi. Tatanan alam dalam puisi dapat disebut sebagai tatanan atau lapisan makna, dan berperingkat mulai yang zahir sampai yang batin. Makin tinggi lapis makna yang ditempati, makin tersembunyi dari pengenalan indera dan pikiran. Teks hukum atau undangundang misalnya tidak hanya memiliki lapisan arti yang bersifat
juridis
formal, tetapi juga lapis arti yang lebih dalam yaitu konteks sosiologis dan historisnya, dan lebih dalam lagi yaitu asas falsafahnya. Dalam puisi lapis makna dapat dibagi menjadi tiga: (1) Makna zahir, dapat disebut juga makna referensial atau denotatif. Makna referensial terbatas atau terhad (hadd); (2)
160
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
Makna kias atau simbolik, disebut juga makna konotatif; (3) Makna isyarah atau sugestif, yang diisyaratkan atau tersirat, tidak dikemukakan secara tersurat. Pada makna terakhir ini terdapat tempat naik menuju cakrawala yang luas. Contoh paling mudah barangkali ialah bait akhir dari sebuah untaian syair Hamzah Fansuri yang masyhur di bawah ini: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah Di Barus ke Qudus terlalu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah4 Untuk memahami secara mendalam sajak di atas kita mesti menjadikan kata-kata kunci seperti Mekkah dan Bait al-Ka`bah serta Qudus (Yerusalem) dan rumah sebagai simbol-simbol penuh makna sehubungan perjalanan penyair mencari dan menjumpai Tuhan. Makna kias atau konotatifnya cukup jelas yaitu bahwa penyair menunaikan ibadah haji yang berakhir dengan thawaf dan menyentuh dinding Ka`bah sebagai rumah Tuhan. Tetapi makna isyarah atau sugestifnya belum dicapai sebelum kita mengetahui bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji adalah untuk melaksanakan Tauhid, yaitu penyaksian bahwa Tuhan itu satu. Baris ketiga dan keempat dapat menimbulkan tafsir yang keliru bilamana kita tidak mencoba menyingkap makna simbolik perjalanan dari Barus (rumah dunia penyair) menuju al-Quds (Yerusalem), yang dapat dikaitkan dengan perjalanan malam (israk) Nabi Muhammad s.a.w. Sama saja dengan salat yang dipandang sebagai mikrajnya orang Islam, khususnya salat malam (tahajud) dapat dipandang sebagai israknya orang Islam
-- artinya titik
kenaikan menuju alam malakut (alam kerohanian) dan alam lahut (alam ketuhanan). Sedangkan kata kunci ‘rumah’ sepatutnya dikaitkan dengan kata kunci Bait al-Ka’bah, yang keduanya dapat diberi makna sebagai rumah Tuhan. Bagi ahli tasawuf rumah Tuhan bukan hanya Ka’bah di Mekkah,
4
Ikat-ikatan XXI Syair Tauhid dan Makrifat dalam MS. Leiden Cod. Or. 2016.
161
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
tetapi
kalbu
–
yang
dipandang
sebagai
ka’bahnya
alam
saghir
(mikrokosmos). Demikianlah salah satu asas daripada kaedah ta’wil yang penting ialah menghubungkan teks dengan kebudayaan, agama dan pandangan hidup (way of life) serta pandangan dunia (worldview) penyair. Bagi pemakai kaedah ta’wil karya sastra bukan merupakan dunia bahasa atau dunia teks yang tertutup. Karya sastra adalah sesuatu yang mempunyai sangkut paut dengan kehidupan luas termasuk kebudayaan dan agama. Contoh lain ialah cara yang dilakukan Imam al-Ghazali dalam menafsirkan tamsil cahaya (al-nur) dalam al-Qur`an surat al-Nur. Apabila alGhazali memandang cahaya hanya sebagai sesuatu yang dialami indera mata sebagaimana cahaya matahari yang ada di alam syahadah, maka ia tidak akan dapat memperoleh makna yang dalam dan tinggi yang dapat memberi kesadaran lebih tinggi kepada kita sehubungan kandungan surah tersebut. Namun dengan menggunakan kaedah ta’wil ia dapat menafsirkan bahwa cahaya yang dimaksud dalam Surat al-Nur berperingkat sesuai dengan alam tempat keberadaannya, mulai dari cahaya yang tak dapat ditangkap dengan mata, kecuali dengan mata hati dan mata pikiran, sampai cahaya yang dapat dirasakan oleh indera mata. Cahaya tertinggi ialah Dia yang Maha Terang dan Maha Menerangi segala sesuatu dengan petunjuk dan pengetahuan-Nya. Sangat jelas bahwa penerapan kaedah ta’wil dalam bidang kritik sastra menuntut beberapa disiplin bantu sesuai dengan teks atau karya yang diteliti. Dalam menafsir Surat al-Nur tersebut Imam al-Ghazali dalam bukunya Misykat al-Anwar merasa perlu menggunakan bantuan metafisika dan kosmologi Sufi, sebagaimana psikologi Sufi. Sebagai contoh lain marilah kita kemukakan sajak Muhammd Iqbal yang hanya dapat difahami apabila kita mau melihat kaitannya dengan sejarah pemikiran pembaharuan Islam pada abad ke-19 dan 20 serta keadaan umat Islam di anak benua IndoPakistan pada masa Iqbal hidup. Sajak Iqbal yang dimaksud terdapat dalam
162
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
untaian ruba’iyat “Tulip Dari Sinai” (dalam antologi Payam-i Mashriq) yang maksudnya ialah sebagai berikut: Hanya gereja, kuil, masjid, rumah berhala Kau bangun – lambang-lambang penghambaanmu Tidak pernah dalam hatimu kau membangun dirimu Maka itu kau tak pernah jadi utusan merdeka Dalam sajak di atas penyair mengeritik orang Islam yang kebanyakan mengartikan agama hanya sebagai aturan melaksanakan amal ibadah formal di masjid. Orang Islam sudah banyak lupa pada hakekat ajaran agamanya sebagaimana tertera dalam al-Qur`an. Kitab suci umat Islam itu menetapkan bahwa manusia diturunkan ke dunia bukan hanya sebagai hamba-Nya yang berkewajiban rajin beribadah. Manusia juga diturunkan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, jadi juga untuk mengembangkan kehidupan di dunia termasuk kesejahteraan sosial dan membangun kebudayaan serta peradabannya berdasarkan nilai-nilai Islam. Diri yang dimaksud Iqbal dalam sajak tersebut lebih tepat pada makna isyarah atau sugestifnya apabila ditafsirkan
sebagai ‘Diri selaku khalifah
Tuhan di atas dunia dan hamba-Nya sekaligus’. Agar supaya jelas di sini dapat dikutip beberapa asas penting kaedah ta’wil sebagaimana dikemukakan Ayn al-Qudat al-Hamadhani (Nasr and Leaman, 1996). Menurut al-Hamadhani kaedah ta’wil dapat digunakan untuk mengkaji hampir semua bentuk sukhan (wacana), bukan saja teks hukum, sastra, filsafat dan sejarah. Menurutnya ada enam asas atau prinsip penting dalam ta’wil, masing-masing asas dapat disesuaikan menurut keperluan bidang atau jenis teks yang dikaji: Pertama, pada dasarnya setiap sukhan atau wacana bersifat multisignificatory (musharik al-dilalah). Dalam melakukan dilal (penandaan) seorang pengkaji harus berani mengandaikan bahwa hanya ada satu dilal yang benar, yaitu penafsiraan atau telaah yang lengkap perangkatnya, luas dan sanggup menunjukkan makna paling dalam dari teks atau sukhan yang
163
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
dikaji. Asas pertama ini menuntut pengetahuan luas di bidang bahasa, kebudayaan dan pengetahuan berkenaan teks yang dikaji. Kedua, bahasa yang digunakan manusia dapat saja salah atau kurang benar dalam menerjemahkan pesan ketuhanan atau wahyu ilahi, atau gagasan falsafah yang asal, apalagi setelah pesan dan gagasan tersebut mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Contohnya konsep ijtihad dalam agama Islam serta pengertian berbagai mazhab fiqih tentang beberapa perkara. Ketiga, suatu pemahaman atau ungkapan dalam teks pasti memiliki konteks sejarah dan sosiologis. Karena itu pengetahuan sejarah yang melatari penulisan teks mesti dipunyai seorang pemakai kaedah ta’wil yang betul. Keempat, asa kaedah ta’wil yang tidak kalah penting ialah cara pengungkapan dan penyajiannya kepada pembaca yang sangat beraneka ragam. Kelima,
karena setiap pemahaman merupakan tindakan subyektif,
maka dalam menentukan mantapnya sebuah penafsiran kita perlu mengetahui
kewenangan
(otoritas)
si
penafsir
dalam
bidang
pengetahuannya. Begitu pula kita mesti mengetahui secara pasti peringkat pencapaian si penafsir dalam ilmu pengetahuan tertentu berkenaan dengan kecenderungan penafsirannya. Keenam, individualitas memainkan peranan penting dalam penafsiran. Mutu dan keluasan tafsir ditentukan oleh pengetahuan dan keluasan wawasan si penafsir.
Ta’wil dan Hermeneutika Modern Dalam beberapa hal ta’wil tidak berbeda dengan hermeneutika modern dalam memandang karya sastra dan menetapkan asas-asas kaedahnya. Ini terlihat misalnya dalam pandangan beberapa tokoh hermeneutika terkemuka seperti Paul Ricoeur, Hans Georg Gadamer, Anthony Thiselton dan lain-lain. Dalam bukunya The Responsibility of Hermeneutics (1985) Thiselton berpendapat, sebagaimana ahli ta’wil Islam, bahwa bahasa pertama-tama adalah the locus of meaning, dan setiap makna
164
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
yang terdapat dalam wacana tertulis mempunyai kaitan atau konteks dengan kehidupan di luar bahasa. Karena itu dia melihat karya sastra bukan sematamata sebagai model bahasa, melainkan sebagai model tindakan, yaitu tindakan pemaknaan dan penafsiran. Walaupun ada kecenderungan strukturalisme dalam teorinya, sebagaimana juga dalam tradisi hermeneutika Islam,
namun
memperkenalkan
dia
berbeda
dengan
kaum
strukturalis
murni.
Dia
dua dimensi penting dalam pemahaman karya sastra,
yaitu dimensi eksistensial dan dimensi sejarah (Jasper, 1992). Dimensi eksistensial dan sejarah dalam proses pemahaman dan pemaknaan karya sastra sangat penting. Caranya ialah mengaitkan atau menghubungkan kembali teks dengan lingkungan budaya dan latar belakang sejarah. Ciri lain daripada kaedah yang diperkenalkan Thiselton ialah tuntutannya terhadap seorang pengkaji karya sastra. Menurutnya kaedah hermeneutika menuntut keaktifan peran dan sikap kritis pembaca dalam membina makna. Karena karya sastra mengandung banyak makna, seorang pengkaji harus yakin bahwa dia akan dapat mencapai makna terdalam dan benar. Keyakinan itu akan terbukti apabila dia memiliki kelengkapan pengetahuan budaya, agama dan sejarah, bukan semata-mata pengetahuan bahasa, sastra dan estetika. Dalam kaedahnya itu Thiselton memadukan penilaian yang bersifat estetis, etis dan teologis. Dengan itu tampak kemiripannya dengan kaedah ta’wil yang diperkenalkan para Sufi, khususnya Ayn al-Qudat al-Hamadhani. Karya Paul Ricoeur yang terkenal di antaranya ialah The Rule of Metaphor (1977). Dia menganggap strategi terbaik dalam mengkaji teks falsafah dan sastra ialah menggunakan strategi hermeneutik.
Tahap
pertama yang harus dilakukan dalam mengkaji karya sastra ialah membedakan antara bahasa puitik, yang pada hakekatnya bersifat simbolik dan metaforikal, dengan bahasa diskursif non-sastra yang tidak simbolik. Menurut Ricoeur (1975) ada tiga ciri utama bahasa sastra yang perlu diberi perhatian oleh seorang pemakai kaedah hermeneutika:
165
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik dan konseptual. Di dalamnya berpadu antara makna dan kesadaran. Kita tidak dapat memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana
dilakukan
terhadap
teks
yang
menggunakan
bahasa
penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna simbolik melalui image-image dan metafora yang dapat dicerap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas. Kedua, dalam bahasa satra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal dan sugestif. Ketiga, bahasa sastra berpeluang menerbitkan pengalaman fictional dan pada hakekatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Bahasa sastra yang bersifat puitik tidak memberi kemungkinan kepada pembacanya untuk memahaminya secara langsung. Karena itu kegiatan hermeneutika diperlukan. Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa atau semantiknya, oleh karena itu dalam memahami teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda pula. Namun secara garis besar prosedur hermeneutika dapat diringkas sebagai berikut: Pertama,
teks
harus
dibaca
dengan
penuh
kesungguhan,
menggunakan sympathetic imagination (imaginasi yang penuh rasa simpati). Kedua, penta’wil mesti terlihat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian teks, konvensi sastra dan budaya yang melatari penulisan teks, serta kemudian mampu menentukan tanda-tanda (dilal) signifikan
dalam
teks sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan menentukan rujukan serta konteksnya. Setelah itu
barulah
penta’wil mengajukan beberapa
andaian atau hipotesis. Ketiga, penta’wil mesti melihat bahwa segala
166
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa. Yang lebih relevan bagi kita barangkali adalah hermeneutika yang diajukan Hans Georg Gadamer, khususnya sebagaimana kita lihat dalam buku tebalnya Truth and Methods. Menurut Gadamer kaedah hermeneutik sangat relevan dalam mengkaji karya sastra secara kaaffah (holistik) dan sesuai untuk dijadikan asas teori sastra. Perkataan teori (theory) berasl dari perkataan Yunan theorein yang artinya ialah ‘memandang’, ‘menyaksikan’. Dari perkataan ini muncul perkataan theoros, yaitu orang yang melihat sesuatu dengan berperan aktif atau terlibat aktif dalam sesuatu yang dilihatnya. Perkataan theoria atau theory dengan demikian dapat diartikan sebagai berperan serta dalam arti sebenarnya atau terlibat secara menyeluruh serta terbawa hanyut dalam sesuatu yang dilihat. Dalam hermeneutika pemahaman hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila seseorang mau berperan aktif dan mau dibawa oleh teks ke dalam dirinya, tempat makna tersembunyi teks diisyaratkan atau disugestikan. Secara ringkas hermeneutika Gadamer dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Hermeneutika menerangkan bagaimana sesuatu yang ada dalam teks dapat menyatu dengan pemahaman kita, yang caranya ditempuh dengan menghilangkan prasangka; (2) Penggunaan kaedah hermeneutika memungkinkan kita melihat pengetahuan dan objek pengetahuan berubah atau mengalami transformasi, sebab antara keduanya senantiasa berada dalam interaksi yang dinamis; (3) Dalam menafsir sebuah karya seni tidak diragukan lagi bahwa kita pasti menciptakan sebuah hubungan dengan karya seni tersebut. Cara menciptakan hubungan itu dilakukan dengan menukar dunia yang akrab bagi kita dengan dunia yang disajikan oleh karya yang kita kaji.
Memahami teks selalu dimulai dengan ikhtiar untuk
menerapkan apa yang kita dapati dari teks kepada diri kita, atau menjadikan yang asing dari teks sebagai sesuatu yang akrab. Melalui cara seperti itulah kesadaran kita mengalami perubahan dan secara bertahap menyatu dengan dunia gagasan, pemikiran dan perasaan yang ada dalam teks.
167
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Menurut Gadamer, sebagaimana menurut ahli ta’wil Muslim pada abad ke-12 dan 13 M, di dalam hermeneutika kata-kata dalam puisi atau ungkapan dalam teks sastra, tidak dapat dipandang sebagai tanda (sign) dalam arti yang lazim dipahami orang, tetapi tanda simbolik, artinya tanda yang menyiratkan makna yang lebih dalam dan tinggi daripada makna yang dapat ditangkap dengan pemahaman bersahaja. Di dalam teks sastra, tanda hadir sebagai image simbolik, sebab karya sastra menggunakan bahasa figuratif (majaz); sedangkan dalam teks falsafah merupakan simbol-simbol atau kata-kata konseptual. Fungsi simbol yang utama ialah menghilangkan ketegangan antara idea dan pengalaman empiris dan mengenyahkan ketakseimbangan antara bentuk dan isi, ungkapan zahir dan makna yang disembunyikan di sebalik ungkapan tersebut. Simbol tidak semata-mata merujuk pada dirinya sendiri, melainkan seperti alegori. lebih kerap berkaitan dengan sesuatu yang jauh dari dirinya. Simbol kelihatan selalu sama dan sekaligus berbeda dengan sesuatu yang disimbolkan. Pandangan Gadamer tentang asas-asas hermeneutika dapat diringkas sebagai berikut: (1) Semua bentuk dokumen sastra dan falsafah memuat idealitas makna tertentu apabila ia disampaikan secara tertulis dan terlepas dari partikularitas sejarah dan psikologis; (2) Karya sastra yang bagus
selalu
memiliki
kesesuaian
dengan
masakini.
Dalam
usaha
memahaminya selain merujuk ke masa lalu, kita juga mesti merujuk ke masa kini; (3) Tidak diperlukan hubungan khusus antara pembaca dan pengarang, yang diperlukan ialah berpartisipasi secara aktif agar dapat berkomunikasi dengan teks; (4) Hermeneutika menekankan pada terciptanya dialog antara penafsir dengan teks, dan ini terjadi apabila seorang penafsir membuka dirinya pada teks dengan perhatian yang benar-benar terpusat, serta membiarkan teks menyampaikan sudut pandangnya sendiri mengenai hidup dan kehidupan; (5) Fenomena hermeneutika berlaku dalam sejarah berbagai bangsa di dunia sebagaimana dalam diri pribadi seseorang. Umpamanya dalam sejarah Eropa fenomena hermeneutika terjadi ketika timbul hubungan yang intens antara kebudayaan Yunani dan Parsi, antara kebudayaan Latin
168
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
dan Islam. Dalam proses interaksi itu muncul kesadaran bahwa apa yang dimiliki suatu bangsa memiliki keterbatasan dan harus diperkaya dari sumber kebudayaan lain. Usaha memahami kebudayaan lain lantas dilakukan dan pada akhirnya kebudayaan lain itu diserap, disaring dan diolah kembali menjadi milik sendiri; (6) Dalam kaedah hermeneutika peran imaginasi diperlukan sebagai penyingkap makna terdalam teks dan kaitan makna tersebut dengan situasi kemanusiaan masa kini. Selain itu imaginasi dapat membantu
meningkatnya
pemahaman,
sebab
imaginasi
adalah
kesanggupan melihat berbagai masalah yang ada dalam teks dan merumuskan masalah-masalah dengan mempersoalkan perkara asas daripada teks secara berkelanjutan dan berterusan; (7) Peristiwa yang sebenarnya dalam pemahaman terjadi apabila seorang penafsir pergi lebih jauh ke sebalik cakrawala pemahaman biasa. Caranya ialah dengan sikap kritis; (8) Tafsir terbaik ialah selain kaaffah atau holistik, tidak terlalu bertentangan dengan tujuan penulisan teks. Ringkas kata hermeneutika mempersatukan subjektivitas dan objektivitas, karena hanya dengan demikian pemahaman mendalam atas teks dapat diwujudkan. Melalui pemaparan di atas kita dapat membandingkan antara kaedah ta’wil dalam tradisi Islam dan tradisi hermeneutika yang berkembang di Barat, mengetahui persamaan dan perbedaannya. Dalam kertas kerja ini saya memang tidak berpamrih menyajikan rumusan yang sistematik dan tidak berpamrih pula menjadi ahli teori sastra. Namun perlu ditambahkan bahwa dalam tradisi Islam pembicaraan tentang ta’wil atau hermeneutika lazim dilengkapi dengan pembicaraan tentang psikologi atau peringkatperingkat jiwa/roh, karena hanya dengan membicarakan masalah ini pembahasan tentang ta’wil memiliki keabsahan epistemologis dan ontologis. Hal ini misalnya terlihat dalam tulisan-tulisan Imam al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, roh secara berperingkat dapat dibagi menjadi: (1) Roh inderawi; (2) Roh imaginasi (al-ruh al-khayyali); (3) Roh akal (al-ruh al-`aql); (4) Roh pemikiran (fikr) dan (5) Roh kenabian.
169
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Roh inderawi adalah fakultas jiwa yang berperan mengenal dan membedakan sesuatu yang dikenal di alam syahadah (dunia empiris). Roh imaginasi ialah fakulti jiwa yang tugasnya merekam keterangan yang dikirim oleh indera, kemudian menyimpannya dan menyampaikannya pada roh yang di atasnya, yaitu roh akal atau inteligensia. Apabila imaginasi yang pekat dapat dijernihkan, dihaluskan dan dirapikan, maka ia akan dapat digunakan untuk mencapai batas makna-makna yang dapat dicerap oleh inteligensia atau akal budi. Peran imaginasi ialah menghimpun simbol-simol inaginatif bagi keperluan pengetahuan akal. Imaginasi sangat diperlukan dalam penerapan kaedah ta’wil, namun yang tidak kalah penting ialah roh pemikiran (fikr). Peran roh pemikiran ialah mengambil ilmu-ilmu rasional yang murni dan kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabunganpenggabungan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan spiritual yang berharga (Misykat hal. 80-2). Melalui penjelasan yang telah dipaparkan tampak betapa penting dan relevansinya ta’wil sebagai asas teori sastra dan bentuk hermeneutika Islam. Karya-karya penulis Muslim pada umumnya, selain cenderung bercorak adab dan sejarah, juga cenderung bercorak relegius dan sufistik. Sastra dalam tradisi Islam adalah ungkapan simbolik hermeneutik, karena itu metode ta’wil sangat sesuai untuk diterapkan bagi penilaian yang adil dan obyektif terhadap karya penulis Muslim. Selain itu relevansinya terletak tujuan utama dan hasilnya, yaitu menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan spiritual keagamaan yang sangat
berharga.
Masalahnya
mengembangkannya lebih jauh.
170
sekarang
adalah
bagaimana
Abdul Hadi Ta’wil sebagai Asas Teori Sastra dan Bentuk Hermeneutika Islam
Daftar Pustaka al-Ghazali, Imam. 1985. Misykat Cahaya-cahaya (Misykat al-Anwar). Mohamad Bagir. Bandung: Mizan.
Terjemahan
Bowering, Bernhard. 1980. The Mystical Vision of Existece in Classical Islam: The Qur`anic Hermeneutics of the Sufi, Sahl al-Tustari. Berlin-New York: Walter de Gruyter. Corbin, Henry. 1980. Avicenna and the Visionary Recital. Translated by Willard R. Trask. Texas: Spring Publications, Inc. ----------------- 1981. Creative Imagination in Sufism of Ibn `Arabi. Translated by Ralph Mannheim. Pinceton: Princeton University Press. Dabashi, Hamid. 1996. “Ayn al-Qudat al-Hamadani”. Dalam History of Islamic Philosophy. Editor Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman. London and New York: Routledge: 374-433. Hadi W. M., Abdul 1995. Bandung: Mizan.
Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya.
---------------------- 2000. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. Iqbal, Muhammad. 1977. A Message from the East (Payam-i Mashriq). Translated by M. Hadi Husain. Lahore: Iqbal Academy. Jasper, David. 1992. The Study of Literature and Religion. Hampshire and London: Macmillan Academic and Professional Ltd. Murata, Sachiko 1992. The Tao of Islam. Albany: State University of New York. Nasr, Seyyed Hossein. 1981. Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing Company.
171
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 148-171
Ricoeur,Paul. 1978. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Translated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Thompson, John B. 1990. Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press. Yaapar, Md. Salleh. 1993. “Ziarah ke Timur” Ta’wil Sebagai Bentuk Hermeneutika Islam:. Jurnal Ulumul Qur`an. Januari-Maret:4-10. Zayd, Hamid al-Nasr Abu. 1983. Falsafat al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur`an `inda Muhyi al-Din ibn `Arabi.Beirut: Dar al-Tanwir wa Dar al-Wahdah.
172