STAIN Palangka Raya
86
Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer Jasmani ABSTRAKS Munculnya buku ini di timur tengah tidaklah serta merta tanpa krtik. Banyak yang memuji dan banyak pula yang memaki karena ide-ide revivalisme yang dibawanya begitu konfrontatif terhadap dogma kalsik. Munculnya buku Tahafut Qira’ah Mu’ashirah (Kerancuan Bacaan Kontemporer) oleh Munir Muhammad Thahir seorang sarjana hukum dari Lebanon kemudian Al-Furqan wa al-Qur’an oleh Khalid Abdurrahman merupakan respon terhadap ide-ide kreatif Syahrur. Memang ia tak jauh berbeda dengan pemikir-pemikir pembaharu Islam sebelumnya seperti Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arqun yang mencoba mendongkrak kebekuan teks-teks qur’ani yang mereka anggap sebagai sebab kejumudan Islam. Buku ini harus diakui merupakan sebuah karya monumental yang patut dihargai dalam kajian hukum Islam Kontemporer. Syahrur berusaha menempatkan hukum Islam sebagai sesuatu yang elastis dalam dialektika zaman. Hingga ia menarik kesimpulan bahwa setiap penetapan hukum syari’at, baik berupa satu batasan hukum atau lebih yang berasal dari Nabi saw memiliki prinsip pemberlakuan yang bersifat lokal-temporal dan tidak ada keharusan untuk memberlakukannya sampai hari kiamat.1 Ia berusaha mencoba menawarkan alternatif teori inovatif dan revolusioner dalam hukum Islam. Walaupun ia dengan rendah hati menyatakan bahwa bukunya hanyalah sebuah “pembacaan kontemporer” terhadap alqur’an, sama sekali bukan sebuah karya dalam bidang penafsiran atau hukum. Nampaknya membaca buku ini secara detail tentu akan dapat meresponnya lebih obyektif dan komprehensif. Terlebih bagi yang haus akan wacana Islam kontemporer, ia akan mendapatkan hal-hal yang baru untuk menambah khazanah ke-ilmuan ke-islaman yang beda dari biasanya dan selamat membaca. Kata Kunci : Hermeneutika Hukum, Islam Kontemporer.
1
Penulis adalah dosen tetap STAIN Palangka Raya pada jurusan Tarbiyah PAI. Ibid., h. 40
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
87
STAIN Palangka Raya
A. Pendahuluan Permadani pemikiran Islam sejak awal dilahirkannya hingga sekarang tidak pernah sunyi dari berbagai polemik pemikiran. Berbagai macam produk pemikiran yang muncul tentu dipengaruhi oleh ragam backgroundnya masing-masing. Ternyata konsep Fazlurrahman2 dalam membagi Islam menjadi dua bagian; Islam normatif dan Islam historis, merupakan pembacaan terhadap realitas yang sedang di hadapi Islam sekarang. Menurutnya Islam normatif adalah Islam yang ada pada nabi masih hidup yang langsung bersumber kepada al-qur’an dan sunnah, sedang Islam Historis sebagaimana kita berada sekarang ini, di mana dogma ajaran Islam dipenuhi dengan berbagai macam interpretatifadaftatif perubahan zaman. Sehingga munculnya berbagai masalah baru dalam dinamika hukum Islam tidak dapat terelakkan lagi yang membuat para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Mujtahid klasik ; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer yang mereka hadapi. Mereka berijtihad untuk menjawab permasalahan di masa mereka. Sekarang masa ke-emasan mereka telah berlalu sekitar 13 abad yang lalu. Dan kemunculan para mujtahid-mujtahid kontemporer ada yang masih mengekor kepada pendahulunya dan ada yang mempertanyakan kelayakannya, Apakah metode berijtihad ulama tersebut masih laik digunakan dalam menjawab dan mengimbangi lajunya dunia? Munculnya pemain-pemain baru seperti Yusuf Qardawi, Hasan al-Turabi, Wahbah Zuhayli, Jamal al-Banna, Muhammad Salim al-`Awwa dan Taha Jabir al-`Elwaniy merupakan sosok yang mencoba mereinterpretasikan ajaran Islam yang universal agar warisan fiqih klasik tidak dianggap sebagai barang usang. Begitu pula Syahrur, pemikir muda yang berasal dari Suriah, mencoba memahami realitas agama dan mencoba merumuskan kembali teori berijtihad dan meredefinisikan istilah-istilah yang dianggapnya klasik dan usang. Yang kemudian ide-ide hasil kreatifitasnya itu dituangkan dalam bukunya yang berjudul al-Kitab wa alQur’an: Qira’ah Mu’shirah diterjemahkan oleh Sahron Syamsuddin dan Burhanuddin dengan Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. B. Syahrur dan Ide-idenya Ide pemikiran tak terlepas dari latar keilmuan yang dimilikinya. Begitu pula Syahrur sebagai seorang ilmuan konstruksi yang menggali ke-Islaman tidak lepas pula dari background pengetahuannya. Sebelum memaparkan lebih jauh tentang isi-isi pokok pemikiran Syahrur tidaklah berlebihan kalau muncul pertanyaan : Siapakah Syahrur? 1. Sekilas Syahrur Pria 11 Maret 1938 ini dilahirkan di Damaskus, Suriah dengan nama lengkapnya Muhammad Syahrur Deyb. Ia menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd Rahman al-Kawakibi Damaskus dan tamat pada 1957. Kemudian mendapat beasiswa pemerintahan untuk studi teknik sipil di Moskow pada maret 1957. Sepuluh tahun kemudian berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964. Pada tahun berikutnya ia bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus yang kemudian dikirim oleh pihak universitas ke Irlandia (Ireland National University) untuk memperoleh gelar Magister dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi hingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada tahun 1969 dan 3 tahun kemudian berhasil meraih gelar Doktor tepatnya tahun 1972. Sampai
2 Ia adalah seorang pemikir muslim seorang sarjana muslim kaliber dunia, Guru Besar pada University of Chicago dalam bidang pemikiran Islam. Lih. Ensiklopedi Islam , Jilid 4, artikel ”Rahman”, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, h. 152
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
88
STAIN Palangka Raya
sekarang ia masih mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam Mekanika Pertanahan dan Geologi.3 Pada 1982-1983 Syahrur dikirim kembali oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Consult, Arab Saudi. Dia juga bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultan Teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus. Dia juga selain menguasai bahasa ibunya sendiri; bahasa Arab, mengusai pula bahasa Inggris dan bahasa Rusia. Di samping itu, dia menekuni bidang yang menarik perhatiannya seperti filsafat humanisme dan pendalaman makna bahasa arab. Karyanya yang terkait ke-ilmuan akademisnya banyak tersebar di Damaskus khususnya dalam bidang spesialisasinya, di antaranya tentang Teknik Fondasi Bangunan dalam Tiga Volume dan Mekanika Tanah. Sedang karya kajiannya dalam bidang ke-Islaman adalah al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah (1992), Dirasat Islamiyyah Mu’ashirah fi adDawlah wa al-Mujtama’ (Studi Islam Kontemporer tentang Negara dan Masyarakat), alIslam wa al-Iman : Manzumat al-Qiyam (Islam dan Iman : Pilar-Pilar Utama) dan Nahwa Usul Jadidah li al-Figh al-Islami pada tahun 2002.
2. Landscape ide-ide Syahrur Syahrur menuangkan ide-ide kreatifnya dalam sebuah tulisan yang berjudul alKitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’shirah. Ia menyelesaikan penulisannya sekitar + 20 tahun ketika masih dalam proses penulisan disertasi doktoralnya di Irlandia dan di terbitkan untuk pertama kalinya di Damaskus sedang edisi Mesirnya di terbitkan pada tahun 1992 oleh penerbit Sina Publisher dan al-Ahali. Sedang di Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dengan judul : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Layaknya sebuah tulisan, buku ini terdiri 3 bab. Bab pertama : Ummul Kitab (induk kitab), bab kedua : Sunnah dan bab ketiga : Fiqih Islam. Pada bab pertama dan kedua merupakan bagian yang sangat urgent dalam memahami konsepnya karena mainstreams yang digunakannya dalam memahami teks-teks qur’ani dijelaskan secara tuntas pada bab satu dan dua ini. Berbagai dekonstruktsi-reinterpretasi istilah Islam akan banyak ditemukan di bab ini. Dengan konsep-konsep inilah ia meramu berbagai teks qur’ani yang merupakan sumber hukum Islam. Dan bentuk pengaplikasian dari teoriteorinya itu kemudian dipaparkannya pada bab tiga serta merupakan result dari pemikirannya hingga ia menawarkan beberapa definisi baru seperti al-kitab, as-sunah, alqiyas dan ijma’. a. Ummul Kitab Berawal dari pendefinisian ummul kitab yang berbeda dengan definisi pada umumnya4, Syahrur beranggapan ummul kitab adalah ayat-ayat muhkam [QS. Ali ‘Imran : 7] yang bersifat tunduk pada hukum perubahan dan perkembangan zaman, dapat berposisi sebagai ayat penghapus (nasikh) dan ayat yang dihapus (mansukh) dan tidak berlaku abadi-universal.5 Ia berfungsi sebagai Risalah6 Muhammad yang terdiri 3
4
5
M. Aunul Abied Shah (eds.), Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Jakarta : Penerbit Mizan, 2001, h. 237 Umul Kitab adalah al-qur’an yang terdiri dari ayat-ayat muhkam dan mutsabihat. Sedang muhkam ialah lafazh yang menunjukkan kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shighat lafzh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh, Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, alih bahasa Syahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Yogyakarta : elSAQ Press, 2007, h. 19
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
89
STAIN Palangka Raya
dari batasan-batasan hukum (hudud), ibadah ritual, akhlaq, ajaran yang bersifat umum dan khusus dan hukum-hukum yang bersifat lokal-temporal.7 Dan tema-tema tersebut memberikan gambaran risalah Muhammad adalah risalah universal yang berlaku pada segala ruang dan waktu, dinamis dan selalu “menjadi baru” (mutajaddid). Maka re-interpretasi teks-teks qur’ani merupakan suatu keniscayaan sebagai jawaban dialektika-budaya manusia. Elastisitas pemahaman ummul kitab ini memunculkan dua sifat dasar khusus yang menjadi pondasi agama Islam secara umum, yaitu istiqamah (sifat lurus) dan hanifah (baca : fleksibilitas). Ayat-ayat qur’an ada yang bersifat hanifiyyah yakni ayat-ayat yang bersifat elastis mengikuti perubahan seluruh materi alam semesta yang terus berubah dan menerima pemahaman-pemahaman baru. Dan di sisi lain ada pula ayat-ayat qur’an yang bersifat istiqamah yakni sebagai pembimbing dasar kehidupan manusia. Penetapan metode hukum Islam dengan memuat dua karakter dasar ini sekaligus akan menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu, yaitu memberikan ruang yang luas bagi ijtihad hukum selama tetap berada di antara batas-batas yang telah ditetapkan. Keluasan ijtihad ini tidak mungkin dicapai tanpa mendasarkan hukum dan norma-norma Islam dan pada batas-batas maksimal, sebagai cerminan sifat lurus dan pada sifat lentur yang menyediakan ruang ijtihad hukum. Pada titik ini kami (Syahrur) berpendapat bahwa dalam ummul kitab, Allah hanya memberikan batas-batas hukum saja, yaitu postulat-postulat hukum yang memberikan batas-batas hukum yang jelas bagi kita untuk berijtihad di dalamnya. Inilah yang disebut sebagai batas-batas hukum Allah (huddudullah) yang jika dipadukan dengan pilar-pilar moral akan membentuk jalan yang lurus.8 b. Teori Batas Berpijak dari kedua konsep tersebut; hanafiyyah dan istiqamah, Syahrur merumuskan enam teori batas [baca: hudud] yang diaplikasikan untuk menetapkan batasan-batasan dalam penetapan hukum dan ibadah. 1) Posisi Batas Minimal. Hal ini seperti dalam Surat al-Nisa’ ayat 22 dan 23. Dalam dua ayat ini Allah telah menetapkan batas minimal dalam pengharaman perempuan-perempuan untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga dekat sebagaimana disebutkan dalam kedua ayat tersebut. Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini meskipun didasarkan pada ijtihad.9 2) Posisi Batas Maksimal. Seperti ayat yang menjelaskan hukum potong tangan [Q.S. al-Maidah : 38], dijelaskan di situ batasan maksimal hukuman bagi pencuri, yaitu pemotongan tangan. Dengan demikian, selamanya tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman kepada pencuri lebih berat dari hukum potong tangan tetapi sangat dimungkinkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan. Para pembaharu hukum Islam berkewajiban untuk menetapkan definisi yang pasti terhadap subyek ‘pencuri’ berdasarkan fakta dan latar belakang obyektif yang melingkupinya. Atau dengan kata lain, pencuri sekaliber apa yang pantas menerima hukuman maksimal berupa potong tangan dan pencuri seperti apa yang berhak memperoleh hukuman yang lebih ringan.10 6
Syahrur membedakan makna risalah dengan nubuwwah. Risalah berkaitan dengan berbagai hukum dan ajaran sedang nubuwwah terdiri ilmu-ilmu dan moral serta sebatas sebagai fungsi kenabian yang menyampaikan ajaran. 7 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar …, h. 22 8 Ibid., h. 29 9 Ibid., h. 32 10 Ibid., h. 35
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
90
STAIN Palangka Raya
3) Posisi batas minimal dan maksimal bersamaan. Gambaran teori ini dalam alqur’an [Q.S. al-Nisa’ : 11] yang berhubungan dengan warisan. Tujuan dari ayat ini menyatakan bahwa “bagian laki-laki sebanding dengan bagian dua perempuan, dan jika terdapat lebih dari dua anak perempuan, maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan. Jika hanya terdapat satu anak perempuan maka bagian mereka adalah setengah”. Menurut Syahrur ini jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya - atau 100% - ditanggungkan pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat atau 0%, dalam kondisi ini batasan hukum Allah dapat diterapkan, yaitu memberikan dua bagian kepada laki-laki dan satu bagian bagi perempuan. Dari sisi prosentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33,3% sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66,6%. Oleh karenanya jika kita memberi laki-laki sebesar 75% dan perempuan diberi 25% kita telah melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun, jika kita membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, kita tidak melanggar batasan hukum Allah karena kita masih berada di antara batasanbatasan hukum Allah. Dengan mempertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan, tugas kaum muslimin adalah berijtihad dengan bergerak di antara batasan-batasan tersebut sesuai dengan kondisi obyektif yang melingkupinya. Pada saat yang sama, ijtihad dapat menerapkan prinsip ‘mendekat’ di antara dua batasan tersebut yang dapat diberlakukan hingga menjadi titik keseimbangan anatara keduanya, yakni masing-masing dari laki-laki dan perempuan menerima 50%. Prinsip ini di dasarkan atas kondisi pewarisan atau perkembangan latar historis, atau atas pertimbangan keduanya sekaligus. Dalam kasus ini fiqih Islam selamanya tidak boleh dibangun atas dasar teks hasil susunan ulama fiqih yang sudah terbakukan selama ratusan tahun. Jika demikian halnya, Islam akan kehilangan karakter kelenturannya.11 4) Posisi Batas Minimal dan Maksimal bersamaan pada satu Titik atau Posisi Lurus atau Posisi Penetapan Hukum particular (Ainiyah). Posisi batas ini hanya berlaku dalam kasus zina saja [Q.S. an-Nur : 2], yaitu batas hukum maksimal yang sekaligus berposisi sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan dan ini merupakan batasan mutlak yang tidak dapat ditambahi dan dikurangi.12 5) Posisi batas Maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik bermula dari batasannya yang paling rendah berupa tanpa persentuhan sama sekali dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjerumuskan pada zina (persentuhan kelamin). Ketika seseorang masih berada pada tahap ‘melakukan tidakanan yang menjurus pada zina’, tetapi belum terjadi hubungan kelamin, maka ia belum terjerumus pada batas maksimal hubungan fisik yang ditetapkan Allah13 dan ia harus berhenti satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan, maka jika ia melewatinya zina lah yang ia lakukan. Sehingga redaksi ayat berbunyi ’wala taqrabu zina’ (janganlah kamu dekati zina) [Q.S. al-Isra’ : 32]. 6) Posisi Batas Keenam, yaitu Batas Maksimum “Posistif” tidak Boleh Dilewati dan Batas Bawah “Negatif” boleh Dilewati14. Batasan ini berlaku pada hubungan 11
Ibid., h. 41 Ibid., h. 43 13 Ibid., h. 44 14 Ibid., h. 45 12
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
STAIN Palangka Raya
91
peralihan kekayaan antara manusia. Dua batas ini terdiri dari batasan maksimal yang tidak boleh dilanggar yaitu riba dan batas minimal berupa zakat. Mengingat bahwa dua batas ini berupa satu garis di daerah positif dan satu garis di daerah negatif, titik tengah di antara keduanya berada pada posisi netral, yaitu pinjaman tanpa bunga. Jadi ada tiga bentuk transaksi pendistribusian menurut teori Syahrur yaitu harta riba, zakat dan sedekah.15 Jadi itulah enam teori yang dirumuskan Syahrur dalam menelaah lebih lanjut teks-teks qur’an yang berbicara dogma-dogma ajaran Islam. Selanjutnya Syahrur mengaplikasikan dengan panjang lebar tentang teorinya ini di dalam bukunya. Pada bab dua ia mendefinisikan ulang apa itu sunnah dan mengkalisifikasikan bentukbentuk sunnah. c. Pemaknaan Baru versi Syahrur Syahrur berpendapat bahwa definisi sunnah selama ini adalah keliru. Tidak benar bahwa sunnah Nabi adalah segala yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perintah, larangan dan ketetapan. Sunnah adalah metode penerapan hukum-hukum umm al-kitab secara mudah tanpa keluar dari batasan-batasan hukum Allah dalam masalah-masalah yang terkait dengan huddud atau untuk menetapkan batasan-batasan yang bersifat lokal-temporal dalam masalah-masalah di luar huddud. Jadi apa yang diperbuat Nabi pada abad ketujuh masehi merupakan model pertama bagaimana berinteraksi dengan Islam pada penggal ruang dan waktu tertentu, bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir.16 Jadi Nabi Muhammad berposisi sebagai suri tauladan yang wajib diikuti, bukan pada ‘produk’ ijtihad beliau tetapi pada ‘metode’ bagaimana beliau melakukan ijtihad tersebut. Lanjut di dalam bukunya ia tidak hanya merevisi definis sunnah akan tetapi dasar-dasar hukum Islam lain seperti qias dan ijma’ tidak luput dari perhatiannya. Qias menganalogikan hal-hal yang terjadi pada masa sekarang dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu adalah prinsip yang keliru dan tidak adil. Sedangkan qias yang benar adalah qias yang mengukur sesuatu atau pihak yang hadir saat sekarang dengan sesuatu yang lain yang juga hadir pada saat sekarang dalam lingkup batas-batas hukum Tuhan. Ijma’ menurut Syahrur adalah konsensus mayoritas manusia yang menyetujui rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Di bab tiga ini Syahrur memang memfokuskan pada dekonstruksi istilah-istilah dalam Islam. Hingga buku ini di akhiri dengan bentuk aplikasi teori-teori yang sudah dibahasa pada pembahasan terdahulu.
C.
Penutup Munculnya buku ini di timur tengah tidaklah serta merta tanpa krtik. Banyak yang memuji dan banyak pula yang memaki karena ide-ide revivalisme yang dibawanya begitu konfrontatif terhadap dogma kalsik. Munculnya buku Tahafut Qira’ah Mu’ashirah (Kerancuan Bacaan Kontemporer) oleh Munir Muhammad Thahir seorang sarjana hukum dari Lebanon kemudian Al-Furqan wa al-Qur’an oleh Khalid Abdurrahman merupakan respon terhadap ide-ide kreatif Syahrur. Memang ia tak jauh berbeda dengan pemikir-pemikir pembaharu Islam sebelumnya seperti
15 16
Ibid., h. 45 Ibid., h. 167
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
92
STAIN Palangka Raya
Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arqun yang mencoba mendongkrak kebekuan teks-teks qur’ani yang mereka anggap sebagai sebab kejumudan Islam. Buku ini harus diakui merupakan sebuah karya monumental yang patut dihargai dalam kajian hukum Islam Kontemporer. Syahrur berusaha menempatkan hukum Islam sebagai sesuatu yang elastis dalam dialektika zaman. Hingga ia menarik kesimpulan bahwa setiap penetapan hukum syari’at, baik berupa satu batasan hukum atau lebih yang berasal dari Nabi saw memiliki prinsip pemberlakuan yang bersifat lokal-temporal dan tidak ada keharusan untuk memberlakukannya sampai hari kiamat.17 Ia berusaha mencoba menawarkan alternatif teori inovatif dan revolusioner dalam hukum Islam. Walaupun ia dengan rendah hati menyatakan bahwa bukunya hanyalah sebuah “pembacaan kontemporer” terhadap al-qur’an, sama sekali bukan sebuah karya dalam bidang penafsiran atau hukum. Nampaknya membaca buku ini secara detail tentu akan dapat meresponnya lebih obyektif dan komprehensif. Terlebih bagi yang haus akan wacana Islam kontemporer, ia akan mendapatkan halhal yang baru untuk menambah khazanah ke-ilmuan ke-islaman yang beda dari biasanya dan selamat membaca.
17
Ibid., h. 40
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
93
DAFTAR PUSTAKA
STAIN Palangka Raya
Yahya, Mukhtar., dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma’arif, 1986 Al-Maliki, Muhammad bin ‘Alawi., Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Makkah : Dar AsSyuruq, 1983 Shah, dkk, M. Aunul Abied., Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001 Syahrur, Muhammad., Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam, alih bahasa Syahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Yogyakarta : elSAQ, 2007 Ridwan, dkk, Kafrawi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997 Saefuddin, Didin., Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003 Karim, Khalil Abdul., Syari’ah : Sejarah, Perkelahian dan Pemaknaan, alih bahasa Kamran As’ad, Yogyakarta : LKiS, 2003
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007