BAB II SASTRA JAWA, DAKWAH ISLAM DAN PENGARUH ISLAM DALAM SASTRA JAWA
2.1. Perkembangan Islam di Jawa Ada berbagai pandangan di kalangan para sejarawan, mengenai kedatangan Islam ke Indonesia. Diantaranya menyebutkan bahwa Islam masuk Jawa bukan dari Timur Tengah, akan tetapi dari India dan Islam seperti inilah yang telah disaring melalui pengalaman agama dan India yang bernuansa mistis dan mendapatkan dasarnya yang sudah dipersiapkan dengan baik dan telah dipengaruhi oleh agama Hindu (HJ. Benda, 1980: 31). Senada dengan pendapat tersebut Geertz (1981: 170) menyatakan bahwa Islam di Jawa datang dari India yang dibawa oleh para pedagang. Karena cita rasa Timur Tengah telah ditumpulkan dan dibelokkan ke dalam mistik India, maka hanya manghasilkan kekontrasan pada campuran antara Hinduisme, Budhisme dan animisme yang mempesona orang Indonesia (baca: Jawa). Pendapat lain engatakan bahwa penyebaran Islam dilakukan oleh pedagang Melayu yang dibantu oleh orangorang Asia Barat dan Cina yang beragang di Jawa (MT. Arifin, 1987: 31-32). Selain itu, dikatakan pula oleh Amin Budiman (1979: 10) bahwa pada tahun 1426 M, Ma Huan (seorang angkatan perang Cina yang beragama Islam) ikut dalam rombongan Laksamana Muhammad Cheng Ho ke Majapahit telah memberikan laporan bahwa kota-kota pelabuhan terbesar di majapahit telah ada
16
17
orang Islam, yakni orang Cina dan Arab, sedangkan penduduk asli Jawa masih menyembah hantu. Sementara itu, Sulaeman al-Siraati menyatakan bahwa Islam dibawa oleh pedagang-pedagang Arab ke Jawa (al-Habib Alwi bin Thahir al-Hadad, 1995: 48). Hal ini diperkuat oleh Van der Berg yang menjelaskan bahwa hasil nyata dalam penyiaran Islam adalah orang-orang yang bergelar sayyid-syarif dan dengan perantara mereka inilah agama Islam tersiar kepada raja-raja Hindu Jawa dan lainnya (al-Habib Alwi bin Thahir al-Hadad, 1995: 52). Sedangkan mengenai proses masuknya Islam ke Jawa, Prabowo (2003: 13) melihat ada dua kemungkinan, yaitu (1) penduduk pribumi berhubungan dengan pedagang-pedagang yang beragama Islam dan kemudian menganutnya, (2) orang-orang asing Asia yang telah masuk Islam datang dan bertempat tinggal secara permanen di Jawa dengan melakukan perkawinan percampuran. Namun begitu ada sebuah benang merah yang bisa dipegang dari beberapa teori tentang masuknya Islam ke Jawa, yakni bahwa agama Islam di Jawa telah sempurna pada abad ke-16 M seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Demak (Ridin Sofwan dalam Anasom (ed.), 2004: 3). Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh dan
18
berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik. Hal ini, selain faktor historis karena adanya peran para wali penganjur Islam, karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Namun kemudian, ketika hegemoni Demak mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa. Di tengah situasi yang demikian ini, penguasa baru di kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, khususnya Mataram Islam, tentu tetap memandang perlu membangun integrasi wilayahnya. Posisinya yang berada di pedalaman, mau tidak mau membuat Mataram Islam harus mulai menghitung kekuatan-kekuatan lokal masyarakat pedalaman, basis utama penyangga kekuasaannya. Namun demikian, kekuatan pesisiran yang kental dengan corak Islamnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Dari sinilah, upaya pencarian titik temu antara Islam dan Jawa mulai digalakkan. Strategi budaya untuk membangun pertemuan nilai itu di antaranya lewat "subversi" nilai melalui karya sastra. Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan Santri ini bersama dengan unsur Pesantren dan Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di Jawa juga
19
telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi Santri dan tradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa. H.J.Benda, menyebutkan bahwa proses Islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat dan politik (H.J.Benda, 1983:12-14). Sementara Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut Santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi (Clifford Geertz, 1976: 5-6; 121-226). Tradisi sosiokultural
Santri
ditandai
dengan
wujud
perilaku
ketaatan
para
pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syari'at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa (Clifford Geertz, 1976: 5-6; 121-226). Baik Geertz (1976), Benda (1983) maupun para ahli Islam di Jawa lainnya, sependapat bahwa tradisi Santri dan kepemimpinan Kyai atau ulama merupakan unsur kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan agama, sosial dan politik dalam masyarakat Jawa dan Indonesia. Kecenderungan ini berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa kononial dan masa Indonesia merdeka. Tidak
20
lain, karena tradisi Santri dan Kyahi, bukan hanya menjadi segmen sosialkultural, melainkan juga menjadi basis kekuatan sosial dan politik. Dari perspektif historis dapat ditunjukkan bahwa tradisi Santri secara berkelanjutan telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan Demak, Cirebon dan Banten di daerah pesisir utara Jawa dan pada masa kerajaan Mataram Islam di daerah pedalaman Jawa. Pada masa kolonial abad ke-19, yaitu setelah kerajaan-kerajaan Islam runtuh, tradisisi besar Santri menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat pedesaan dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda. Demikian pula halnya pada periode kelahiran nasionalisme di Indonesia, tradisi besar Santri kembali menjadi basis kekuatan sosial politik bagi berdirinya organisasi pergerakan nasional seperti SDI, SI, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Masyumi (Dawam Rahardjo, 1974). 2.2. Perkembangan Sastra Jawa 2.2.1. Jenis Sastra Jawa Perkembangan Sastra Jawa dapat diketahui dan dikenali melalui dua sumber, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Sastra tulis sendiri pada hakikatnya tumbuh dan berkembang dari tradisi lisan, yang merupakan bagian terpenting dalam awal pertumbuhan Sastra Jawa pada masa pra-Islam (Hindu-Budha). Masuknya Hindu dan Budha ke Jawa sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan Sastra
21
Jawa Sansekerta, berdampingan dengan tradisi lisan dalam kebudayaan Jawa (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996: i). Pada masa itu sastra tulis tumbuh dan berkembang hanya di lingkungan Keraton dan kaum Brahmana. Sedangkan sastra lisan sebagai tradisi kerakyatan otentik tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat. Sastra tulis merekam karya sastra dalam bentuk naskah atau sebuah buku, sedangkan sastra lisan merekam dalam penghayatan. Dari pelbagai naskah itu kita akan jumpai naskah yang berupa Babad, Seratserat, sastra pewayangan, sastra suluk (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996: 1). Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral dan lain-lain. 2.2.2. Periode Perkembangan Sastra Jawa 2.2.2.1. Sastra Jawa Kuna Periode awal pertumbuhan sastra Jawa, khususnya sastra tulis sangat dipengaruhi oleh sastra Hindu dan budaya India. Hal ini terlihat dalam karya Sastra Jawa kakawin dan kitab-kitab parwa. Dari segi bahasa pun banyak karya sastra yang menggunakan bahasa sansekerta. Kitab-kitab Hindu banyak yang menjadi sumber rujukan bagi pengarang Jawa,
22
teruma dua kitab yang paling masyhur yaitu, kitab Ramayana dan Mahabarata. Bahkan ada yang berpendapat bahwa munculnya Sastra Jawa adalah bersamaan dengan sejak lahirnya
kitab
Ramayana
Kakawin
pada
abad
ke-9
(Sitanggang, dkk., 1996: 14). Seiring dengan proses perkembangan Sastra Jawa tulis, Sastra Jawa lisan juga mewarnai perkembangan Sastra Jawa Kuna. Pengaruh-pengaruh Hindu-Budha diolah oleh nilai-nilai asli yang dihayati dari tradisi masyarakat Jawa pada waktu itu (Sitanggang, dkk., 1996: 14). Sastra Jawa Kuna identik dengan sastra keraton. Para pujangganya pun hanya berasal dari kalangan keraton. Periode ini sering disebut sebagai zaman Renaisans Jawa I, yang berlangsung antara abad 8 – 15, yakni Jawa Budha dan Jawa Hindu (Linus Suryadi, 1995: 5). Para pujangga pada zaman ini antara lain; Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Monaguna, Empu Trigana, Empuh Kanwa, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca, dan lain-lain. Sedangkan keraton-keraton yang menjadi maecenas para pujangga keraton adalah Kerajaan Kahuripan, Kediri, Singosari dan Majapahit (Linus Suryadi, 1995: 6). Karya Sastra Jawa Kuna tidak terlepas dari pengaruh
23
kehidupan dan kekuasaan kerajaan yang sedang memerintah. Sastra Jawa pada masa ini memang tumbuh di lingkungan istana dan lahir dari para pujangga atas dukungan kerajaan. Kitab-kitab parwa yang digubah saat itu dimaksudkan sesuai catatan peristiwa historis para penguasa. Misalnya kisah dalam kitab Arjuna Wiwaha, yang disebut-sebut sebagai gambaran perjalanan hidup Raja Airlangga. Oleh karena itu sangat mungkin ketika itu para pujangga melakukan "penghalusan" peristiwa sebagai upaya menunjukkan sikap loyal kepada kerajaan (Sitanggang dkk., 1996: 16). 2.2.2.2. Sastra Jawa Madya Karya Sastra Jawa mengalami kebangkitan pada masa abad XVIII dan XIX. Karya sastra masa pada masa ini digubah oleh para pujangga kerajaan, terutama Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan perjalanan sejarah, Sastra Jawa mengalami kebangkitan akibat peran keraton. Kehadiran kompeni yang semakin lama menggeser kekuasaan politik kerajaan, dan campur tangan kompeni yang semakin mencengkeram menyebabkan kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusastraan (Tirto Suwondo, dkk., 1994: 14). Pengaruh kompeni terhadap kerajaan semakin besar
24
sejak disetujuinya Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kerajaan
Mataram
menjadi
dua
yaitu
Surakarta
dan
Yogyakarta. Kondisi ini diperburuk dengan adanya penurunan derajat dan martabat raja. Semula derajat sunan dan sultan sejajar dengan raja belanda, namun semenjak perjanjian Giyanti kedudukan sunan dan sultan dibawah raja belanda yang harus menghormatinya. Situasi kerajaan semakin kacau dengan adanya pengurangan wilayah-wilayah kerajaan oleh pemerintah belanda. Akibatnya sumber kerajaan semakin sedikit, kemakmuran berkurang dan rakyat semakin menderita (Tirto Suwondo, dkk., 1994: 16). Para pujangga yang melihat situasi rakyat yang semakin mengalami krisis akhirnya menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang. Jalan yang ditempuh para pujangga adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisi ajaran, piwulang dan sebagainya. Penulisan ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap gejala-gejala krisis, sekaligus untuk menyatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja (Tirto Suwondo, dkk., 1994: 17). Masa peralihan dari zaman Jawa kuno ke Jawa Madya sebenarnya tidak pernah jelas, karena sampai sekarang ikhtisar
25
peralihan dari Sastra Jawa kuno ke Jawa Madya belum pernah di telaah dan di bukukan (Linus Suryadi, 1995: 7). Karya sastra yang muncul pada masa ini sangat banyak jumlahnya, baik berupa teks piwulang, teks suluk, maupun teks babad. Pada zaman
ini
lahir
pujangga-pujangga besar,
antara lain
Mangkunegara IV mengarang Serat Wedhatama, Tripama dan Wirawiyata; Paku Buwana IV mengarang Serat Wulangreh; dan masih banyak pujangga-pujangga besar yang lainnya. Menjelang
berakhirnya
pemerintahan
Majapahit,
pengaruh agama Islam semakin meluas. Karya-karya sastra yang muncul pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam. Pada periode ini terjadi perubahan bentuk Sastra Jawa dari bentuk Kakawin menjadi bentuk tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Sastra tembang yang banyak medapatkan pengaruh Islam kebanyakan berupa sastra suluk, yang berisi tentang ajaran dan pedoman bagaimana manusia mencapai kesempurnaan hidup (sampurnaning ngaurip). Salah satunya adalah tentang konsep manunggaling kawula gusti, berdasarkan ajaran mistik Islam. Sastra suluk mempunyai hubungan yang dengan filsafat Islam. Karya sastra suluk dalam khasanah sastra Jawa, antara lain; suluk sukarsa (berbentuk seloka), suluk wujil, suluk malang sumirang, keduanya berupa
26
tembang macapat (Sitanggang, dkk., 1996: 17). Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan Sastra Jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita Jawa yang bersumber dari negara Islam atau cerita-cerita dari Arab. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cerita dari Arab itu sebelum mesuk ke Jawa telah berkembang di tanah malayu. Dengan demikian dapat diduga bahwa cerita-cerita Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah melayu sebelum disadur ke dalam sastra Jawa (Sitanggang, dkk., 1996: 14). Karya sastra Arab yang disadur ke dalam Sastra Jawa itu masih tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, koja jajahan yang mengambil latar kerajaan mesir. Cerita arab yang menjadi sumber itu mengalami modifikasi kedalam Sastra Jawa yang terkenal ialah cerita amir hamzah. Cerita Amir Hamzah menjadi sumber atau acuan cerita menak dalam sastra Jawa, yakni cerita yang meramu budaya Islam dan budaya Jawa, antara lain Serat Kanda (zaman kartasura), Kitab Rengganis dan Kitab Anbiya (Sitanggang, dkk., 1996: 14). 2.2.2.3. Sastra Jawa Modern Periode perkembangan Sastra Jawa setelah Zaman Sastra Jawa Madya adalah era Sastra Jawa Modern, yang juga sering disebut Sastra Jawa Gagrag Anyar (Sarworo Soeprapto,
27
1991: 21). Sastra Jawa Modern tidak lagi bersumber dari sastra keraton, sebagaimana Sastra Jawa Kuna dan Madya. Dalam Sastra Jawa Modern, dominasi sastra keraton mulai surut. Hal ini terjadi karena para pujangga Jawa modern tidak lagi didominasi oleh kalangan keraton, tetapi telah meluas di kalangan masyarakat luas. Sastra keraton sebagai sastra adiluhung kemudian mengalami keterputusan interaksi dengan munculnya sastra rakyat. Akan tetapi perkembangan Sastra Jawa Modern menghadapi tantangan baru, yaitu harus berhadapan dengan sastra daerah lain dan sastra-sastra dunia, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
modern (Sarworo
Soeprapto, 1991: 21). Untuk itu pada masa ini para pengarang Sastra Jawa Modern tidak lagi memakai bahasa sansekerta, Jawa Kuna ataupun bahasa kawi, tetapi menggunakan huruf latin. Bahasa ekspresinya adalah bahasa Jawa modern atau Jawa ngoko dan Jawa krama, yang dengan cepat menampung kosa kata dari bahasa indonesia dan inggris. Orientasinya bukan lagi tertuju pada tradisi keraton, melainkan kepada kehidupan kota yang plural, egaliter, sekuler dan belum tertata dengan baik (Linus Suryadi, 1995: 7-8).
28
Kebangkitan Sastra Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya barat. Berbagai jenis sastra Barat, entah itu novel, cerita pendek, sajak, esai, dan jenis-jenis sastra yang lain sedikit demi sedikit telah menjadi bagian Sastra Jawa. Maka tak heran jika kemudian Sastra Jawa pada periode ini disebut sebagai Sastra Jawa Modern, Sastra Gagrag Anyar ataupun Sastra Gaya Baru (J.J. Ras, 1985: 8). Tetapi lebih dari itu, faktor utama yang mendorong tumbuh-kembangnya Sastra Jawa Modern adalah: 1. Para pengarang Jawa telah bisa menerima konsep yang ditawarkan barat dan timur. 2. Timbulnya kesadaran berbagai penerbit, terutama Balai Pustaka, yang menerbitkan berbagai karya sastra Jawa, karena melihat betapa pentingnya peran karya sastra. 3. Tumbuhnya kesadaran para pembaca bahwa karya sastra dapat berfungsi sebagai pengontrol kemajuan mental dan sosial (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996: ii). Sejarah perkembangan Sastra Jawa Modern mengalami pasang surut sesuai dengan pasang surutnya kondisi sosial masyarakat Jawa. Pada awalnya, Sastra Jawa Modern bangkit dan berkembang hingga mencapai masa "kejayaannya" pada zaman balai pustaka. Zaman balai pustaka ditandai dengan
29
lahirnya novel Serat Riyanta dan Sarwanta karya R. B. Sulardi (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996: ii). Namun, masa "kejayaan" itu tidak berlangsung lama. Pada masa zaman jepang dan perang kemerdekaan, Sastra Jawa Modern kembali mengalami kemunduran. Baru setelah revolusi berakhir, Sastra Jawa Modern mulai bangkit lagi hingga saat ini; kendati eksistensi perkembangannya senantiasa diperdebatkan. Kehidupan sastra buku boleh dikatakan sudah habis, walaupun terus dicoba dibangkitkan. Fenomena itu bisa dilihat dari maraknya perkembangan wayang kulit, ketoprak termasuk ketoprak humor - musik campursari bukan lagi gejala, tetapi sudah menjadi fakta yang tak terbantah (Sarworo Soeprapto, http://joewono.tripod.com/artikel/id1.html). 2.3. Pengaruh Islam dalam Tradisi Sastra Jawa Penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis budaya kejawen, yaitu budaya istana yang telah canggih dalam mengolah unsur-unsur Hindu dan budaya pedesaan yang hidup dalam tradisi animismedinamisme. Dalam perjalanan sejarah, ternyata budaya istana sulit menerima agama baru ini dan hal tersebut membuat para penyebar agama Islam menekankan kegiatannya pada lingkungan pedesaan (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 32). Di sini Islam sebagai agama telah menempatkan fungsi sosial yang berorientasi ke lapisan bawah. Islam telah hadir dengan menawarkan
30
kehidupan sosial yang memberikan rasa egalitarianisme bagi setiap orang (Syafi’i Ma’arif dalam Amien Rais (ed.), 1994: 178-179). Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran agama Islam di Jawa semakin menarik banyak simpati masyarakat bawah yang dibuktikan dengan bertambahnya pemeluk yang kemudian membentuk komunitas dengan struktur sosial yang baru, yakni struktur sosial yang ditegakkan atas dasar persamaan yang berhadapan dengan struktur berlapis-lapis. Dari struktur ini, orang Jawa yang telah beragama Islam menjadi kelompok sendiri yang dikenal dengan istilah santri. Kelompok santri ini kemudian membangun komunitas religius yang berpusat di masjid. Dengan munculnya komunitas santri ini kemudian berimplikasi pada tersebarnya kitab-kitab yang berbahasa Arab. Dari sini muncullah kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi saingan tradisi istana. Dalam tradisi baru ini kemudian muncul kiyai yang sangat dihormati dan dikeramatkan oleh masyarakat hingga akhirnya diantara mereka ada yang menjadi kesultanan, antara lain Demak dalam Surabaya (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 33). Interaksi antara tradisi santri dan tradisi istana ini kemudian berkembang dalam tataran pengenalan nilai-nilai luhur pesantren kepada komunitas priyayi Jawa (baca: Istana) dan ini menjadi awal penyadapan para priyayi Jawa terhadap nilai-nilai budaya Islam pesantren. Konsekwensi yang muncul dari proses penyadapan ini adalah lahirnya naskah-naskah Jawa yang mengungkap ajaran Islam (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 35).
31
Interkasi dua budaya ini mulai jelas terlihat setelah berdirinya kerajaan Demak yang berhasil melahirkan dua jenis sastra, yaitu Sastra Jawa Pesantren dan Sastra Islam Kejawen. Dalam Sastra Jawa Pesantren, bahasa dan sastra Jawa dijadikan media untuk memperkenalkan ajaran Islam sehingga unsur agama menjadi inti ajaran. Sedangkan dalam Sastra Islam Kejawen, unsur Islam disadap oleh sastrawan jawa untuk mengembangkan, memperkaya dan mengIslam-kan warisan Sastra Jawa Hindu (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 37). Lebih jauh, Sri Suhandjati (Anashom (ed.), 2004: 122) melihat bahwa dalam tataran lebih lanjut, antara budaya Islam dan Jawa ini saling berhubungan diantara keduanya, sastra keraton bersumber pada sastra pesantren dan sastra pesantren dapat berkembang karena adanya dukungan dari pihak keraton. Oleh karenanya, sebagian pujangga keraton Surakarta adalah santri yang menjadi pujangga. Kebudayaan Jawa pada masa Pra-Hindu Budha, belum dikenal secara luas dan pasti, tetapi dapat disimpulkan bahwa pada masa itu kehidupan masyarakat Jawa masih sangat sederhana. Sistem religi animisme-dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakat Jawa waktu itu. Di samping itu, masyarakat Jawa pada masa itu di tandai oleh kuatnya solidaritas dan hubungan pertalian darah. Salah satu contohnya adalah pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang, yang kemudian menimbulkan penyembahan terhadap nenek moyang (Simuh, 2002: 114).
32
Setelah masuknya Hindu-Budha ke Jawa, maka terjadilah akulturasi dan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Cerita Ajisaka, menggambarkan keberhasilan cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu menjadi huruf Jawa, serta dijadikannya tahun Saka untuk mencacat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Penyalinan Kitab Ramayana dan Mahabarata dari bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Jawa Kuno, juga merupakan bukti pengembangan di bidang tata tulis yang membawa pertumbuhan di bidang kepustakaan Jawa (Simuh, 2002: 119). Pada jaman Majapahit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri. Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang
33
dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi. Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitabkitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah. Kedatangan Islam ke Indonesia, khususnya ke jawa membawa perubahan yang besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Bahkan Islam telah mengenalkan dasar-dasar pemikiran modern, seperti konsep waktu yang bersifat linier (hari ini, kemarin, dan esok) suatu progresif yang bergerak ke depan dan juga memperkenalkan Mekkah sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya kebudayaan pesisiran dan membudayakan peta geografis (Simuh, 2002: 126). Karakteristik kebudayaan Jawa pada zaman Islam, baik zaman Demak, Pajang, maupun Mataram, masih tetap mempertahankan tradisi hindu-Budha dan Animisme-dinamisme, tetapi telah diperkaya dan dimasukkan unsur-unsur Islam. Kepercayaan akan suratan nasib atau kodrat alam (takdir Tuhan) dan ramalan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa masa itu. Ini terkait dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang pilihan (Para Wali Allah) yang mampu menyingkap rahasia alam gaib dan mengetahui
34
sesuatu yang akan terjadi, yang dalam bahasa jawa disebut waskitha (Simuh, 2002: 134). Ciri lain dari kebudayaan Jawa yang tampak menonjol adalah sangat bersifat teokratis. Pengkeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti sifat teokratis. Cerita legenda dalam Ramayana dan
Mahabarata
memang
dimanfaatkan
oleh
sastrawan
jawa
untuk
menanamkan konsep raja binathara (raja titising dewa). Konsep ini menuntut ketaatan rakyat kepada raja baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Maka dalam konsep budaya jawa tradisional, otonomi adalah hak mutlak raja. Karena di dalam diri Raja terpadu derajat kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat ketuhanan (raja-binathara). Rakyat hanyalah budak raja dan kaum priyayi (Simuh, 2002: 139). Pada zaman Islam, yakni sesudah zaman kerajaan Mataram, muncul bentuk otonomi manusia yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf, yakni ajaran tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yang dalam konteks mistik kejawen diungkapkan melalui konsep manunggaling kawula-gusti (unionmistik), yakni kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan Tuhan. Tetapi otonomi manusia di sini tidak berkaitan dengan orientasi pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai alam serta membebaskan diri dari segala bentuk ikatan. Menurut Clifford Geertz, ajaran mistik di Jawa merupakan metafisika terapan, yang berisi serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan
35
batin yang didasarkan pada analisa intelektual dan pengalaman empiris (Purwadi, 2003: 239). Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual adalah proses panjang sebagai upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan (strata, maqom) pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka (freedom to be free) dari segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, seperti dijalani oleh para penuntun spiritual dimasa lampau. Tujuan pencarian mistik dan sekaligus tujuan keagamaan orang jawa adalah pengetahuan tentang rasa tertinggi. Untuk mencapai keadaan mistik seseorang harus ngesti. Ngesti berarti menyatakan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung kepada suatu tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang khusus. Hal ini meupakan penggalian mental secara terus menerus dalam pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan suatu penggabungan ke dalam satu keseluruhan sederhana dariberbagai kekuatan dalam individu. Di sini, semua indera, emosi bahkan seluruh proses fisik tubuh, semuanya dibawa ke dalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada tujuan tunggal (Clifford Geertz, 1981:. 430). Berkaitan dengan pengalaman mistik, Niels Mulder mengatakan bahwa
36
jika manusia tunduk kepada Tuhan dan setia mempraktekkan mistik dengan kepercayaan yang penuh, harmoni dan menyatu dengan tujuan kosmos, akan menimbulkan kondisi-kondisi moral dan material bermanfaat di dunia ini. Masyarakat menjadi teratur, adil dan makmur serta menunjukkan hubungan yang harmonis dengan alam adikodrati (Niels Mulder, 1984: 15). 2.4. Dakwah 2.4.1. Pengertian Dakwah Dilihat secara etimologis, kata “dakwah” berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Kata dakwah merupakan isim masdar, yang berasal dari fi’il (kata kerja) “da’a, yad’u, da’watan yang berarti memanggil, mengajak, atau menyeru (Asmuni Syukir, 1983: 17). Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan disebut da’i (orang yang menyeru). Sedangkan secara terminologis (menurut istilah), dakwah mengandung beberapa arti yang beraneka ragam, banyak para ahli dakwah memberikan pengertian atau definisi terhadap istilah dakwah. Menurut Prof. Toha Yahya Umar, MA., dakwah memiliki maksud mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan Allah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan juga di akhirat (Hafi Anshari, 1993: 10). Sedangkan Prof. K. H. Abdul Kahar Muzakkir berpendapat bahwa dakwah adalah tugas suci atas tiap-tiap muslim di mana dan
37
bilamana ia berada di dunia ini, yaitu menyeru dan menyampaikan Agama Islam kepada masyarakat dan kewajiban tersebut untuk selamalamanya (Hafi Anshari, 1993: 10). Prof. H.M. Arifin M. Ed. (1993: 6.), memberikan pengertian “dakwah” sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran dan sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Menurut Syeikh Ali Makhfuz, dakwah adalah mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat (Abd. Rosyad Shaleh, 1977: 8). Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa pengertian dakwah adalah suatu usaha manusia secara sadar dalam rangka menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam secara lisan maupun tulisan sebagai realisasi amar ma’ruf nahi munkar untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
38
Sebagai proses penyampaian ajaran Islam, dakwah agaknya mempunyai persamaan dengan proses komunikasi, baik dilihat dari segi proses maupun komponennya. Oleh karena proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tablîgh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah Muballigh yaitu orang yang dikenal sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message) kepada pihak komunikan (Toto Tasmara, 1997: 31). Dari segi bahasa, tabligh berasal dari kata ballagha, yang berarti ‘menyampaikan’, yakni menyampaikan seruan atau ajaran Allah kepada manusia. Dengan demikian dakwah dan tabligh merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain mengikuti ajakan tersebut. Berdasarkan telaah kesejarahan terhadap dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad saw. di masa permulaan penyebaran agama Islam, Asghar Ali Engineer menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan dan beliau berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, dengan berpijak pada pemikiran seperti ini, Asghar Ali memberikan kualifikasi tentang seorang dâ’i yang harus mempunyai 94 kualifikasi yang kemudian diringkas menjadi empat kelompok, yaitu: kualifikasi pendidikan, kualifikasi administratif, kualifikasi moral dan teritorial, dan yang
39
terakhir adalah kualifikasi keluarga dan kepribadian (Djohan Effendi (ed.), 1993: Vii.). Dari keempat kualifikasi tersebut dapat penulis simpulkan bahwa esensi dakwah Islam adalah upaya penyadaran terhadap ketertindasan dan melawan kezaliman. 2.4.2. Dasar Hukum Dakwah Dakwah hukumnya adalah wajib dengan dasar-dasar yang termaktub dalam firman Allah dan Hadits Nabi. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﻟِﻰ ﺩ ﺍ Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. an-Nahl : 125) (Departemen Agama RI., 1989: 94.) Kata
ud’û
(ﺩﻉ )ﺍ
yang
diterjemahkan
“ajakan,
seruan”
berkedudukan sebagai fi’il amr (perintah); dalam terminologi ush alfiqh, setiap fi’il amr adalah perintah dan setiap perintah adalah wajib yang
harus
dilaksanakan
selama
tidak
ada
dalil
lain
yang
memalingkannya dari kewajiban itu kepada sunnah atau hukum lain. Para ‘ulamâ berbeda pendapat dalam memandang konteks dakwah, yaitu, mengenai siapa yang mendapatkan kewajiban tersebut. Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan dalam menafsirkan kata “min kum” (ãäßã ) dalam surat Ali Imran ayat 104 (Aminuddin Sanwar, 1985: 34-
40
35.). ‘Ulamâ’ kelompok pertama menafsirkan “min kum” dengan “li altabyîn” atau “li al-bayanah”, maksudnya, “menerangkan”, sehingga merujuk pada fardhu ‘ain—kewajiban yang harus dijalani setiap muslim(ah). Melaksanakan dakwah Islam dalam hadits ini berarti kewajiban pribadi setiap muslim mukallaf, menurut kemampuan dan kesanggupan masing-masing—sesuai kondisi, situasi, dedikasi, dan profesi masingmasing adalah wajib (mengikat) bagi segenap umat Islam yang mukallaf—siapapun, di tempat manapun, dan pada saat apapun. Kelompok pendapat kedua menafsirkan kata ﻣﻨﻜﻢdengan li altab’îd atau sebagian, sehingga, merujuk kepada hukum fardhu kifâyah (kewajiban kolektif). Sedang pendapat kedua, menyandarkan pendapatnya kepada firman Allah surat âli ‘Imrân ayat 110, yaitu:
ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪﺆ ِﻣﻨ ﺗﻭ ﻨ ﹶﻜ ِﺮﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻮ ﹶﻥ ﻬ ﻨﺗﻭ ﻑ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﻭ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟﻣﺮ ﺗ ﹾﺄ ﺱ ِ ﺎﺖ ﻟِﻠﻨ ﺟ ﺧ ِﺮ ﻣ ٍﺔ ﺃﹸ ﺮ ﺃﹸ ﻴﺧ ﻢ ﺘﻛﹸﻨ Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”. Perbedaan kedua kelompok pendapat tersebut tetap mengerucut pada kesepakatan bahwa kegiatan berdakwah adalah wajib. Alwi Shihab (1998: 252.) mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya sebagai dâ’i bagi dirinya sendiri dan orang lain.
41
Karena Islam tidak menganut adanya hirarki relegius, maka setiap muslim bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Namun demikian karena ajaran agama Islam bersifat universal dan ditujukan pada seluruh manusia, kaum muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia sepanjang sejarah. Pertumbuhan Islam sendiri tidak bisa dilepaskan dari usaha dakwah. Keindahan dan kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman baik dalam sejarah maupun praktiknya, sangat ditentukan oleh kegiatan dakwah yang dilakukan umatnya (Didin Hafidhuddin, 1998: 20.). Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja. Tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas (Quraisy Shihab, 1996: 194.). Untuk itu kebenaran inilah yang harus disebarkan kepada masyarakat dengan sikap dan pandangan yang bijaksana, nasehat yang indah dan argumentasi yang kukuh (Amin Rais, 1992: 24.). Dâ’i adalah setiap muslim laki-laki dan wanita yang sudah baligh dan berakal, baik ulama maupun bukan ulama. Karena kewajiban dakwah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang Islam.
42
2.4.3. Tujuan Dakwah Sebenarnya tujuan utama dan tertinggi dari usaha dakwah hanya semata-mata mengharap dan mencari ridla Allah swt. Sedangkan secara materiil arah tujuan usaha dakwah antara lain (Hafi Anshari, 1993: hlm.142): a. Menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya (Q. S. alAnfal: 24). b. Mengeluarkan manusia dari kegelapan/kesesatan menuju ke alam yang terang benderang di bawah sinar petunjuk Ilahi (Q.S. Ibrahim: 1). 2.4.4. Materi dan Media Dakwah a. Materi Dakwah Tema sentral dakwah adalah Dinul Islam (Said Bin Ali alQahtalani, 1994: 94.). Maka yang menjadi materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedang pengembangannya kemudian akan mencakup seluruh kultur Islam yang murni yang bersumber dari kedua sumber pokok ajaran Islam itu (Syafa’at Habib, 1982: 94). Menurut Asmuni Syukir (1983: 60.), materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal yaitu:
43
1. Masalah Aqidah Akidah Islam sebagai sistem kepercayaan yang berpokok pangkal atas kepercayaan dan keyakinan. yang sungguh-sungguh akan keesaan Allah swt., akidah ini meliputi hal-hal yang diimani dan hal-hal yang dilarang. Sedangkan hal-hal yang diimani itu ada enam, dimana rukun yang pertama adalah iman kepada Allah yang merupakan pokok dari rukun iman yang lain. Sedang masalah yang dilarang antara lain syirik, ingkar dengan adanya Tuhan dan lain-lain. 2. Masalah Syari’ah Syari’ah dalam ajaran Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur pergaulan hidup antar manusia. Materi dakwah di bidang syari’ah ini meliputi berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain (Drs. Aminuddin Sanwar, 1985: 76): -
Ibadah, ibadah di sini adalah amal perbuatan yang dilaksanakan menurut pedoman ilahi. Masalah ini mencakup segala amal perbuatan yang mendekatkan hamba kepada Tuhannya, dan juga memberi kesan membersihkan jiwa
44
seseorang hamba dari persoalan duniawi dan mendorong jiwa untuk meningkatkan ke arah kesempurnaan menurut tuntutan Allah. -
Hukum mengenai ekonomi, meliputi; jual beli, perburuhan, gadai pertanian, dan lain-lain.
-
Masalah hukum pidana, meliputi; masalah-masalah qisas, ta’zir, dan lain-lain.
-
Hukum tata negara, meliputi; masalah ghanimah, perang, perjanjian dengan negara lain dan masalah lainnya.
-
Al-Ahwalus Syakhsiyah, yang terkait dengan masalah hukum waris, pernikahan nasab dan semua persoalan yang lainnya.
3. Masalah Akhlak (budi pekerti), Akhlak di sini sebagai penyempurna dari ke-Islaman. Materi yang demikian luas sudah tentu memerlukan pemilihan yang cermat, di samping perlunya diperhatikan situasi dan kondisi kemasyarakatan yang ada. Materi yang sudah dikemas sedemikian rupa akan tidak berarti jika disampaikan dengan rencana yang tidak matang. Untuk itu persoalan lain yang dirasa sangat vital untuk menyampaikan materi dakwah adalah media. b. Media Dakwah
45
Media
dakwah
adalah
segala
sesuatu
yang
dapat
dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Pada prinsipnya media yang dipergunakan dalam pelaksanaan dakwah ada dua macam, yaitu: media lisan dan media tulisan. Menurut Asmuni Syukir (1983: 163), media dakwah merupakan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Dakwah sebagai suatu kegiatan keagamaan dihadapkan kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi. Artinya, dakwah dituntut agar dikemas dengan terapan media komunikasi sesuai dengan mad'u yang dihadapi. Dakwah yang menggunakan media komunikasi lebih efektif dan efisien (Bahri Ghazali, 1997: 33). Menurut Bahri Ghazali (1997: 34-43), ada beberapa media komunikasi yang dapat digunakan dalam kegiatan dakwah, yaitu: 1. Media Visual, yaitu alat komunikasi yang dapat digunakan dengan memanfaatkan indra penglihatan dalam menangkap data. Media visual ini meliputi Film slide, Overhead Projector (OHP), gambar, foto dan komputer. 2. Media Additive, merupakan alat komunikasi yang dapat digunakan dengan memanfaatkan indera pendengaran. Media jenis ini meliputi radio, tape recorder, telegram dan telepon.
46
3. Media Audio Visual, media ini dapat diakses dengan menggunakan media indra penglihatan dan pendengaran. Contoh dari media ini adalah film, televisi, dan media cetak (buku, koran, majalah dan surat kabar). Asmuni Syukir (1983: 166) memberikan beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam rangka menentukan media dakwah yang tepat dalam suatu aktifitas dakwah. Prinsip-prinsip tersebut adalah (a) Tidak ada suatu media pun yang paling baik, (b) Media yang dipilih sesuai dengan tujuan dakwah yang hendak dicapai, (c) Media yang dipilih sesuai dengan sifat materi dakwah, (d) Media yang dipilih sesuai dengan kemampuan sasaran dakwah, (e) Pemilihan media dakwah hendaknya dilakukan sesuai dengan cara yang objektif dan (f) Efektifitas dan efisiensi harus diperhatikan. Dari beberapa media dakwah di atas, media yang efektif adalah media yang dapat diterima oleh semua pihak, baik oleh dâ’i maupun mad’u. oleh karena itu pemilihan suatu media harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana kegiatan dakwah berlangsung. 2.5. Sastra Sebagai Materi Dakwah Islam adalah agama dakwah, yakni agama yang memerintahkan umatnya untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam kepada seluruh umat manusia (Abd. Rosyad Shaleh, 1977: 1). Hakekat dakwah adalah menyeru,
47
mempengaruhi dan mengajak manusia untuk mengikuti (menjalankan) ideologi (pengajaknya). Sedangkan pengajak (da’i) sudah barang tentu memiliki tujuan yang hendak dicapainya. Agar proses dakwah dapat mencapai tujuan yang efektif dan efisien, da’i harus mengorganisir komponen-komponen dakwah secara baik dan tepat (Asmuni Syukir, 1983: 165.). Salah satu komponen tersebut adalah materi dakwah. Materi merupakan salah satu komponen vital dalam komunikasi dakwah, sehingga termasuk dalam suatu sistem yang sudah barang tentu ada keterkaitan dengan komponen sistem lainnya. Maka dalam hal ini materi dakwah mempunyai peran dan kedudukan yang sama dengan komponen lainnya. Apalagi dalam penentuan strategi dakwah, pemilihan materi yang akan disampaikan merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini karena objek dakwah (mad’u) terdiri dari berbagai macam perbedaan, seperti berbeda dalam kemampuan, kehendak, sifat, kebudayaan, ideologi, filsafat dan lain sebagainya. Mengingat beragamnya perbedaan kemampuan, sifat, kebudayaan, dan ideologi sasaran dakwah, maka juru dakwah harus lebih jeli dalam memberikan materi yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi mad’u. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya, telah menimbulkan pergeseran dalam masyarakat, baik pola pikir, sikap maupun tingkah laku. Oleh sebab itu di dunia yang semakin kompleks ini, perlu diupayakan media-media alternatif dalam berdakwah, salah saatunya adalah melalui karya sastra.
48
Di tengah beragamnya perbedaan kemampuan sasaran dakwah, menurut hemat
penulis,
sastra
sebagai
wahana
penuangan
ide
dan
gagasan
pengarangnya, diharapkan tampil memperkaya materi dakwah. Hal ini sangat memungkinkan karena sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat. Kehadiran sastra tidak pernah dapat dilepaskan dari relasinya dengan habitat tekstual masyarakat tempat seorang pengarang hidup, disamping keterkaitan tekstual sastra dengan sejarah perjalanan konvensi dan tradisi sastra itu sendiri (Agus R. Sarjono, 2001: 27). Teks sastra dari sudut pandang teori komunikasi, mempunyai tiga lapisan komunikasi yang dapat dikenali, yaitu; berkenaan dengan hubungan komunikasi antara pengarang, teks, dan pembaca; adanya komunikasi antara narator dan pembaca implisit (implied reader, menunjuk pada peran pembaca dalam teks); dan hubungan komunikasi timbal balik antar-pelaku dalam teks (Rien T. Segers, 2000: 15.). Dalam konteks ini teks sastra dilihat sebagai suatu pesan yang dicerna (decoded) oleh pembaca (Receiver) dan dikirim (encoded) oleh pengirim (sender). Suatu karya sastra, ditulis orang bukan semata-mata merupakan suatu karya yang dikhayal-khayalkan belaka. Tetapi di dalamnya ada pertaruhan nilai-nilai, juga analisis terhadap suatu masalah. Dengan demikian maka jelas hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga ditemukan dalam karya sastra. Bahkan banyak karya sastra yang bersifat religius sebagaimana diungkapkan oleh Danarto bahwa tak sedikit karya sastra yang berangkat dari Hadits Nabi
49
dan ayat-ayat al-Qur’an. Jadi nilai spiritualitas di dalam karya sastra selalu bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi. Dalam konteks Jawa, salah satu media yang digunakan oleh walisongo untuk berdakwah adalah kesenian, baik berupa seni wayang kulit, seni suara, maupun seni ukir. Karena cara ini merupakan sebagian cara yang bijaksana dalam pendekatan dan menarik simpati rakyat Jawa dalam memperkenalkan ajaran Islam (Nur Amin Fattah, 1984: 51). Kesenian ini sangat terkait dengan sastra, karena sastra adalah suatu karya seni. Seorang dalang dalam wayang dianggap oleh penonton sebagai seorang ahli seni sastra. Dan cerita wayang sendiri bersumber dari karya sastra klasik, meskipun telah direnovasi oleh Sunan Kalijaga. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam karya sastra terdapat proses komunikasi (penyampaian pesan), sang pengarang kepada masyarakat sebagai pembacanya. Oleh karena itu sastra dapat dijadikan sebagai materi dakwah, sebab sastra mengandung pesan-pesan atau nilai-nilai yang dapat dimasukkan sebagai materi dakwah.