Here, After by Mahir Pradana
SUATU SAAT, cinta itu pernah ada. Dan aku melihatnya pergi tanpa sempat kucegah sama sekali. pernah merasa sakit hati? Ingin balas dendam? Jika tidak sampai membalasnya pada orang lain, bukankah berujung ke pembalasan pada diri sendiri? Entah itu dengan membangun 'benteng' dan tidak mengijinkan cinta lain masuk, entah itu dengan berpura-pura bersukacita dan menikmati hidup yang hampa, entah.. Bah! Ngomong aja ma diri sendiri, Diet!! Sampai kapan sakit hati itu berlangsung? Ada yang tahu? Sampai kita puas melihat banyaknya hati yang lain merasakan perih layaknya yang kita rasakan? Sampai kita bangga karena berhasil menjegal semua hati yang kemungkinan menyakiti kita lagi? Sampai kita tua? Atau sampai kita sadar, bahwa cinta itu kita lewatkan begitu saja saat dia mencoba mengulurkan tangannya, tulus? Haruskah menunggu cinta itu hilang? Mati? *DidietYangLagiMikirPernahBikinSakitHatiBerapaOrangYah?* Adi->Diana->Rio->Putra->Nia->Arya->Novi->Rizal->Intan->Ollie->Juliet->????? Lalu akan beranjak ke hati yang mana lagi wabah ini? Rangkaian cerita dalam buku ini menunjukkan satu hal: Sakit hati yang dirasakan seseorang bisa, no, hampir pasti akan mengakibatkan sakit hati yang lain Setiap karakter menceritakan kisahnya dari sudut pandang yang khas Disambut dengan bait Love Hurts nya Nazareth kala membuka halaman awalnya, dan kutipan-kutipan keren pada bagian bawah judul babnya, menjadikan buku ini menyenangkan untuk dibaca, walaupun isinya bukan tentang
Disambut dengan bait Love Hurts nya Nazareth kala membuka halaman awalnya, dan kutipan-kutipan keren pada bagian bawah judul babnya, menjadikan buku ini menyenangkan untuk dibaca, walaupun isinya bukan tentang suatu hal yang menyenangkan Saya suka cara Mahir menyampaikan 'kekurangan' Putra dalam dialog-dialog antara Putra dengan Rio, Nia, dan Dikki Walaupun akhirnya, kekurangan itu akhirnya terlontarkan dari teriakan Ayah Nia, tapi saya tetap suka cara penggambarannya Juga ketika adegan Would You be My Silvya? yang sebetulnya picisan, tapi saya merasa menjadi gadis yang makin- manis saat membaca nya Lalu puisi-puisi yang bertabur di Bab Intan dan Ollie weeew... ini puisi Intan untuk Nayla, putrinya yang berulang tahun ketiga I have a short story About a Little Nayla the fairy She's somehow my precious jewelry The most beautiful melody in my simphony She gives me strength whenever i'm weak With those pretty flowers that bloom on her cheek She's going to be a doctor, a teacher, or anything else But for now, I love her just the way she is She celebrate her birthday just about today I have so much to say But don't know the appropriate way The words i create just seems to fly away Happy Birthday, dear I feel so alive with you here nice, huh? *mengelap muka, eh, air mata* Lalu ada juga puisi Intan untuk Ollie paling suka kalimat terakhirnya It becomes a Depressing Infatuation About a Neverending Agony Ahiaks.. *jleb* Nah, jleb yang paling manteb itu ada di adegan tusuk obeng WEW!! Suka banget adegan ini.. Cinta datang dan pergi, sama seperti apapun di dunia ini. You fall in love, then you fall out of it. Cerita Cintamu berakhir, tapi setelah itu akan datang cerita baru. Itulah hidup. Hal. 194 Asiklah buku ini buat dibaca, ga terlalu berlebihan isinya, bisa sambil santai bacanya 3 setengah bintang saya persembahkan buat Mahir Pradana.. thumbs up|“Saya bukan orang yang pandai mencerca.”
Itu yang saya katakan ketika seorang Mahir Pradana hendak mengirimkan sebuah file yang diharapkannya agar saya membaca dan memberikan kesan apa yang tertinggal setelah saya membacanya. Belum naik cetak dan belum melewati proses proofreading. Saya tahu reaksinya setelah saya menuliskan kalimat itu di dalam gadget saya.
belum melewati proses proofreading. Saya tahu reaksinya setelah saya menuliskan kalimat itu di dalam gadget saya.
Setelah e-mail darinya saya terima, saya hanya mengunduhnya. Mendiamkannya dalam memori komputer dua hari. Setumpuk pekerjaan sudah menanti saya dan saya pikir tak ada salahnya menomorduakan D.I.A.N.A. itu. Ah, apa pula Diana itu? Manalagi sebagai tagline-nya adalah “Depressing Infatuation about a Never-ending Agony”. Maaf, tak ada waktu untuk menikmati bacaan yang membuat orang menjadi berhalusinasi luas.
Rasa berdosa lahir ketika saya teringat bahwa saya masih berhutang. Saya berjanji kepada Mahir bahwa saya akan mengatakan apa kesan saya setelah membacanya. Saya baru membaca dua halaman saya, kemudian berpindah lagi pada file lainnya. Ketika usai saya menyelesaikannya, tak ada salahnya saya membacanya.
Menginjak bab pertama dari novel ini, saya tertawa saja. Adi. Oh, ini dia rupanya Adi yang menjadi tokoh utama. Dan pikiran saya kembali menari bahwa Adi dan Diana pasti akan menjadi tokoh utamanya. Klise! Begitu juga ketika masuk ke bab kedua. Untuk apa Mahir yang sedang menjadi dewa di novel ini seenaknya saja menulis Adi dan Diana sepanjang itu?
“Gila!”
Tanpa sadar saya mengucapkan kata itu ketika saya berada di bab keempat dalam novel ini. Ketika Putra telah usai bercerita. Saya sedang membaca apa saat ini?
Pantas saja, di senja ketiga di bulan April 2010, tim dewasa berusaha untuk menetaskan naskah yang saya pegang ini sebagai sebuah buku. Saya tahu jawabannya. Tahu mengapa tim firstreader memperjuangkan naskah ini. (Bukan karena sang penulisnya ada dalam rapat besar tersebut)
Hendak apa si Mahir ini? Saya bertanya-tanya sendiri. Siapa tokoh utamanya? Saya benar-benar jengkel sekali dengan novel ini. Mana klimaks dan antiklimaksnya? Eh, apakah ini soal cinta? Saya terdiam dengan pertanyaan terakhir. Di tengah rasa jengkel saya yang semakin membuncah setelah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya menari-nari, saya insafi satu hal: dia bermain dengan cinta.
Matilah saya malam itu. Saya semakin gencar menghabiskan bab demi bab novel tersebut. Persetan dengan tengah malam di mana esok hari saya masih ditunggu oleh tugas yang membumbung tinggi. Semakin malam, saya semakin dilarutkan oleh D.I.A.N.A. Egh! Novel macam apa ini? Lancangnya ia menarik saya masuk ke dalam dimensi lain dan mengajak saya bermain-main dengan dongengnya di tengah malam.
“Aku adalah karakter jahat dalam cerita ini dan aku memang pantas untuk dibenci.” – hal. 90
Mana ada penulis yang mengadakan pengakuan dosa kepada pembacanya dengan menulis seperti ini? Benarbenar gila penulis yang satu ini. Mengajak pembacanya untuk lekaslah membenci karakter yang ia ciptakan sendiri. Saya terus menjelajahi setiap karakter, setiap tokoh, dan setiap penceritaan yang lahir. Mahir mampu melarutkan saya dalam ceritera rekaannya sendiri.
Rasa bergidik ngeri, takut, bahagia, marah, dan apapun itu beraduk satu. Seorang Mahir menyeret saya untuk menghabiskan D.I.A.N.A. lebih utuh tengah malam. Seolah-olah semua karakter tersebut menjebak saya dalam dimensi yang berbeda-beda. Saya berada pada karakter demi karakter yang berbeda dan saya sadar: novel ini akan membuat suatu lingkaran terhadap seluruh tokoh yang ada.
Seperti halnya menggambar lingkaran, kita tak boleh berhenti. Jika berhenti, kita belum tentu berada pada titik yang sama. Itulah Here, After. Itulah D.I.A.N.A. Saya tidak diperkenankannya berhenti membaca sebelum menuntaskannya.
Cinta yang klise? Saya tarik lagi ucapan saya sebelumnya. Sampai bab ketujuh pun saya tak tahu misteri apa yang disimpan oleh Mahir bersama dengan kesepuluh tokoh rekaannya itu. Semakin menelusuri, misteri semakin runyam, semakin mengajak saya berpikir dan tak lagi memandang waktu yang sudah menginjak jam dua pagi.
Entahlah, ini sebuah novel atau kumpulan cerpen yang saling bertautan, atau juga seperti Dan Brown yang mengajak saya terus berpikir apa yang dewa-dewa kehendaki dalam karyanya ini. Seorang Mahir di dalam 197 halaman mampu mencampurkan semua rasa: pahit, ngeri, takut, marah, sedih, pilu, dan bahagia.
Menginjak bab kesepuluh, saya tahu apa yang hendak Mahir ceritakan. Tapi, bagaimana dengan pertanyaanpertanyaan saya tadi? Mana jawabannya?
“Bagaimana dengan ‘cinta’? Aah, itu bisa menyusul!”
Kekuatan-kekuatan yang lahir sendiri dari novel ini memberikan satu pelajaran bagaimana kita menikmati hidup dan cinta. Here, After bukan hanya mengajak berpikir bagaimana berfilosifi mengenai hidup tetapi juga caranya untuk bercinta dan terjebak di antara segmentasi cerita. Bagaimana merasakan perjumpaan dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana untuk berusaha memberikan rasa sayang dalam konflik-konflik benci yang timbul dari antara keduanya. Ini menjadi satu prestise untuk proses bercerita yang memberikan misteri dan menjebak.
Nah, Bung Mahir, benar bukan apa kata saya? Saya bukanlah orang yang pandai dalam meresensi, tak pandai dalam mencerca. Rasakan sendiri bukan kalau saya malah menulis cerpen di sini?! Jadi, jangan salahkan saya bila
Nah, Bung Mahir, benar bukan apa kata saya? Saya bukanlah orang yang pandai dalam meresensi, tak pandai dalam mencerca. Rasakan sendiri bukan kalau saya malah menulis cerpen di sini?! Jadi, jangan salahkan saya bila saya memang bukan menulis resensi. Dan syukurlah kalau memang ini masih bisa dianggap sebagai resensi.
Oh ya, satu lagi, ini yang ingin saya katakan pada saat saya membaca Here, After. Novel ini memberikan .... *Ah, sial! Tulisannya terputus!*
Jakarta, 7 Desember 2010 | 14.35 A.A. – dalam sebuah inisial |Karena pengalaman membaca Here, After ini cukup menyenangkan, aku jadi tidak dapat menahan diriku untuk setidaknya memberikan satu atau dua komentar untuk setiap bab di dalamnya. So, here it is (you may not understand if you haven't read this book, so please yourself to skip this part :D) Adi Malangnya Adi, pada akhir cerita aku bahkan sudah melupakan namanya. :") Karena Adi adalah karakter yang muncul pertama kali, dan sejujurnya sama sekali tidak meninggalkan kesan bagiku. Selain masalah penyakit rambut mulai menipis yang kerap disinggung sehingga membuatku membayangkan Adi sebagai om-om setengah botak, aku tidak ingat apapun tentang dirinya. Diana Okay, setelah selesai membaca bab milik Adi, aku benar-benar bete dengan Diana. Tapi setelah membaca bab Diana, aku sedikit mengerti alasan dari tindakannya. :) Rio Awalnya aku sempat sangat 'uhmm....' (awkward moment) ketika melihat tingkahnya di Bab Diana tapi setelah melanjutkan membaca beberapa halaman, aku jadi sangat mencintai Rio! Akan tetapi perasaan itu berubah lagi ketika aku sampai di bagian pertengahan bab Rio. Satu hal, Bab Rio=Inception. Putra Oh, Putra, apa yang harus kukatakan padamu? Pokoknya aku menyukai bab ini karena somehow aku dapat relate dengan keadaan Putra (yah, ketahuan deh kisah cintanya tragis). Mungkin juga karena Putra yang ceritanya paling membumi, dekat dengan kehidupan sehari-hari orang-orang di sekitarku. Nia BOOM~~! MIND BLOWN.... Bab ini adalah bab yang membuat bab Putra menjadi sangat sangat sangat berarti. Sebenarnya aku sudah menyadari sebuah keanehan di dalam bab Putra, tetapi aku tidak menghiraukannya. Eh ternyata, benar-benar ada sesuatu... Kalau untuk kisah Nia sendiri sih, benar-benar seperti deskripsi Kak Mahir sendiri yang ia tuliskan di dalam bab. Kisah sinetron murahan Indonesia. Cuma, jangan terus-terusan disinggung dong. Aku yang tadinya tidak berpikiran seperti itu jadi ikut tersugesti kan. :""") Dan, satu hal, aku sempat meringis melihat Nia yang ditembak dengan puisi shakespeare. Rada-rada... err.. Why Shakespeare? *maafkan aku :"")* Baca review selengkapnya disini >> Nocturnal Catfish: [BOOK REVIEW] Here, After by Mahir Pradana http://iamnumberthirteen.blogspot.com...|A joy to
Nocturnal Catfish: [BOOK REVIEW] Here, After by Mahir Pradana http://iamnumberthirteen.blogspot.com...|A joy to read, remarkable love stories, and perfect songs for backgrounds. Mahir, I'll definitely await for your next pieces. *** Kisah-kisah biasa dan tak biasa tentang cinta, dengan lagu-lagu keren jadi latar belakang. Perfecto! Buku ini mengingatkanku sekali dengan film Crash (2004) besutan Paul Haggis, di mana masing-masing karakter saling berhubungan satu-sama lain (inter-related) and that is freaking cool. Sepertinya mengingatkanku bahwa dengan seribu satu kesibukanku, terkadang lupa tindak-tanduk kita bisa berdampak, somehow, pada orang lain.|It's been quite some time since I've encountered a book I call 'mellow'. This is one of them. The thing is, most of the book feels real in terms of everyday life scenes, dialogue, the characters.. I don't find the characters likable, but I have to say that real characters are flawed. I like the fact that the writer puts forward truth in his book, instead of writing about something extremely dramatic and unreasonable (though the book, in its latter chapters, do become more dramatic). Most of all, I like Mahir's writing style. His book is something I'd like to write myself, in the future, and that's the biggest compliment a writer can give to another :) Although I find myself getting depressed from time to time when reading this book, it's nice to get an ounce of reality, sometimes.