HASIL PENELITIAN
ASPIRASI PUBLIK TENTANG SIARAN TELEVISI STUDI ATAS SURAT PEMBACA MEDIA MASSA (Analisis Isi dan Framming Terhadap Surat Pembaca, 2008-2009)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA 2009
USULAN PROYEK PENELITIAN YANG DIAJUKAN KEPADA LEMBAGA PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH UNIVERSITAS TARUMANAGARA 1. JUDUL USULAN PENELITIAN : ASPIRASI PUBLIK TENTANG SIARAN TELEVISI STUDI ATAS SURAT PEMBACA MEDIA MASSA 2. KOORDINATOR PROYEK PENELITIAN: a. Nama Lengkap : Widayatmoko b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIK : 10191008 d. Jabatan Struktural : Pudek e. Bidang spesialis/disiplin : Lektor f. Fakultas/Jurusan : Ilmu Komunikasi g. Alamat Rumah : Perumnas I Jl. Mujair 8 N0. 373, No. 373, Kayu Ringin Jaya,Bekasi h. Telpon/Fax/e-mail : 08159888854/
[email protected] 3. ANGGOTA: 1. Eko Harry Susanto 2. Agus Sudibyo 3. Riris 4. Kartika Oktaria 5. Gregorius Genep Sukendro 4.
JANGKA WAKTU PENELITIAN: 3 (tiga) BULAN MULAI
5.
BIAYA PENELITIAN
: Rp. 60,000,000.00 (Enam Puluh Juta Rupiah)
Menyetjui, FIKOM UNTAR
Jakarta, Agustus 2009 Koordinator Dekan Peneliti
.(Dr. Eko Harry Susanto, M.Si) NIP 10197038
( Widayatmoko ) NIP 10191008
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah
Jap Tji Beng, Ph.D 2
USULAN PROYEK PENELITIAN YANG DIAJUKAN KEPADA LEMBAGA PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH UNIVERSITAS TARUMANAGARA A. JUDUL PENELITIAN: PROPOSAL PENELITIAN ASPIRASI PUBLIK TENTANG SIARAN TELEVISI (STUDI ATAS SURAT PEMBACA MEDIA MASSA) .....................................................
1
B. PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………..
5
1. Latar Belakang Masalah..................................................................................
5
2. Masalahan Penelitian .....................................................................................
6
3. Tujuan Penelitian...........................................................................................
6
4. Urgensi Penelitian ……………………………………………………………………………………….
7
C. STUDI PUSTAKA ………………………………………………………………………………………….
8
1. Media: Antara Fungsi Sosial dan Ekonomi ………………………………………………………
8
2. Undang-Undang Penyiaran …………………………………………………………………………..
9
3. Rating dan Krisis Kualitas Tayangan Televisi ....................................................
11
4. Komodifikasi Ruang Publik .............................................................................
15
D. METODE PENELITIAN …………………………………………………………………………….…….
E.
19
1. Asumsi Dasar dan Tipe Penelitian ...................................................................
19
2. Populasi dan Sampel ……………………………………………………………………………………
20
3. Rencana Analisis Data Kuantitatif: Analisis Isi (Content Analysis) .......................
21
4. Rencana Analisis Data Kualitatif: Model Analisis Framing ..................................
22
5. Alir Proses Penelitian: ...................................................................................
25
6. Jadwal Kegiatan Penelitian ............................................................................
26
7. Alokasi Waktu Penelitian ................................................................................
27
8. Pembiayaan ……………………………………………………………………………………………….
28
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………….....
29
3
HASIL PENELITIAN ASPIRASI PUBLIK TENTANG SIARAN TELEVISI (STUDI ATAS SURAT PEMBACA MEDIA MASSA)
ABSTRAK Rubrik surat kabar media cetak merupakan satu dari sedikit medium yang lazim digunakan publik untuk menyampaikan aspirasinya tentang realitas-realitas penyiaran komersial. Keberadaan rubrik ini terasa sangat signifikan belakangan, ketika
terbukti bahwa kritik dan evaluasi yang disampaikan publik secara
langsung maupun melalui lembaga formal belum cukup efektif untuk mengubah perilaku dan orientasi industri televisi. Efek publisitas rubrik surat pembaca dan image yang ditimbulkannya cukup efektif untuk menarik perhatian kalangan industri penyiaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana rubrik surat pembaca media cetak memberi ruang bagi aspirasi publik tentang realitas-realitas
penyiaran, memetakan konstruksi pemikiran khalayak tentang
program televisi, serta kritik apa saja yang disampaikan masyarakat terhadap kualitas, dampak dan karakter program-program media televisi melalui rubrik tersebut. Kata Kunci: aspirasi publik, realitas penyiaran dan konstruksi pengetahuan
4
BAB I. PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Masalah “Surat Pembaca” adalah rubrik yang disediakan media massa cetak untuk para
pembaca menyampaikan aspirasi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi. Sebuah ruang publik yang menyediakan kesempatan bagi siapa saja untuk menyampaikan kritik, saran dan masukan untuk pemerintah dan institusi-institusi yang lain. Tanpa terkecuali, surat pembaca media massa cetak sejauh ini juga menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan keluh-kesah, kritik dan evaluasi atas programprogram televisi swasta. Signifikansi “rubrik surat pembaca” untuk evaluasi masyarakat atas siaran televisi cukup besar, karena sejauh ini praktis belum ada medium yang benar-benar efektif mengevaluasi kinerja televisi dalam memberikan hiburan dan informasi kepada masyarakat. Sebagian dari pemirsa televisi telah mengirim surat secara langsung kepada stasiun televisi untuk menyampaikan kritiknya. Pada kesempatan lain sering kita mendengar sekelompok pemirsa televisi melakukan demonstrasi ke stasiun televisi tertentu secara langsung. Saluran lain bagi masyarakat adalah menyampaikan aspirasinya adalah melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Namun sejauh ini saluran-saluran tersebut belum benarbenar efektif untuk mengubah kualitas tayangan televisi atau untuk mengubah orientasi stasiuan televisi agar sedemikian rupa memperhatikan aspek-aspek kualitas dan dampak. Dalam konteks inilah, “rubrik surat pembaca” media massa perlu 5
digarisbawahi. Rubrik ini adalah ruang terbuka di mana pesan-pesan yang tertuang di dalamnya mempunyai peluang lebih besar untuk dibaca siapa saja, masyarakat, pemerintah, regulator, pengiklan, dan lain-lain. Oleh karena itu, rubrik ini mempunyai pelung lebih besar untuk diperhatikan stasiun televisi. Di sinilah keistimewaan rubrik surat pembaca dibandingkan dengan saluran yang lain. Karena secara langsung berkaitan dengan image stasiun televisi, program televisi yang ditayangkan, sekaligus para produsen yang memasang iklan pada program tersebut.
I.2.
Masalahan Penelitian Latar belakang masalah di atas mengantar pada suatu masalah penelitian
tentang bagaimana rubrik surat pembaca media cetak memberi ruang bagi aspirasi publik tentang realitas-realitas
penyiaran. Secara spesifik, pertanyaan-pertanyaan
yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Isu apa saja yang muncul di dalam surat pembaca di media massa cetak yang berkaitan dengan penyiaran program televisi. 2. Bagaimana frekwensi pemuatan surat pembaca tentang program-program televisi di media massa cetak nasional. 3. Bagaimana kecenderungan dominan aspirasi pembaca (publik) tentang program-program televisi dalam rubrik surat pembaca. 4. Bagaimana konstruksi pemikiran dalam rubrik surat pembaca tentang media televisi.
6
5. Bagaimana perbandingan frekuensi pemuatan, kecenderungan dominan dan konstruksi pemikiran dalam surat pembaca tentang media televisi dalam 4 media massa cetak yang diteliti.
I.3.
Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi isu-isu dominan di dalam surat pembaca; 2. mendeskripsikan frekwensi pemuatan surat pembaca di dalam media massa cetak; 3. mendeskripsikan
kecenderungan-kecenderungan
aspirasi
khalayak
televisi
yanga dimuat di dalam surat pembaca media massa cetak. 4. menjelaskan konstruksi pemikiran dalam rubrik surat pembaca tentang program televisi; dan 5. menjelaskan hubungan antara frekuensi pemuatan, kecenderungan dominan dan konstruksi pemikiran dalam surat pembaca tentang media televisi dalam 4 media massa cetak nasional yang diteliti.
I.4.
Urgensi Penelitian : Surat Pembaca media adalah medium yang cukup efektif untuk menyampaikan
kritis atau evaluasi atas program-program televisi. Namun persoalannya sejauh ini belum ada penelitian terhadap surat pembaca media tentang program televisi. Penelitian
ini
dibutuhkan
untuk
memetakan
aspirasi-aspirasi
apa
saja
yang
disampaikan masyarakat lewat surat pembaca media tentang program-program 7
televisi, sebagai masukan bagi industri pertelevisian. Penelitian ini juga akan memperkaya bidang studi komunikasi massa, secara spesifik studi tentang isi media yang menggunakan metode campuran.
8
BAB II. STUDI PUSTAKA
II. 1. Media: Antara Fungsi Sosial dan Ekonomi Habermas dapat dipahami sebagai medium perjumpaan antara rasionalitas komunikasi dan rasionalitas strategis. Pada satu sisi media adalah institusi sosial yang memfasilitasi masyarakat menjalankan diskursus komunikasi-sosial. Dalam negara hukum demokratis, media adalah struktur intermedier yang secara komunikatif menjembatani
hak-hak
politik-ekonomi
warga
negara
dengan
realitas
penyelenggaraan kekuasan. Media adalah ruang publik politis yang berfungsi sebagai sistem alarm sosial yang mengidentifikasi problem-problem sosial, serta memediasi keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dengan sistem ekonomi-politik.1 Mudah dipahami media dalam konteks ini adalah bagian dari “dunia kehidupan” (lebenswelt). Sebuah ruang-simbolik tempat bersemainya cakrawala kesadaran, pemikiran dan nilai-nilai bersama dalam mana setiap tindak komunikasi, saling
pemahaman
dan
pembentukan
konsensus
berlangsung.
Rasionalitas
komunikatif media memegang peran kunci dalam mewujudkan kedaulatan publik atas totalitas bentuk dan isi komunikasi tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung baik di dalam sistem politik maupun di dalam masyarakat luas. Media massa juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Bukan hanya dalam arti tempat bagi masyarakat untuk melihat dirinya, tetapi juga tempat pembentukan watak kultural masyarakat.2 Mengutip David Marquand, apa yang sentral bagi konsepsi ruang
1
Bandingkan Hardiman, F. Budi, “Ruang Publik Politik, Komunikasi Politik Dalam Masyarakat Majemuk”, dalam Republik Tanpa Ruang Publik (kumpulan tulisan), IRE Press dan Yayasan SET, 2005, hlm. 41 - 53. 2
Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Pustaka Book Publisher, 2006, hlm. 241.
9
publik adalah nilai-nilai kewargaan, persamaan, pelayanan dan kepentingan umum. Nilai-nilai inilah yang perlu dihadirkan media guna membentuk watak kultural masyarakat. Namun di sisi lain, media juga institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis. Orang mendirikan media bukan hanya karena idealisme, tetapi juga dan terutama dengan pertimbangan-pertimbangan akumulasi modal Dan sebagaimana entitas bisnis lainnya, media harus tunduk pada hukum-hukum ekonomi. Maka tidak mengherankan jika rasionalitas strategis menjadi sangat determinan dalam dunia media. Persoalannya, bagaimana menyeimbangkan fungsi sosial dan fungsi ekonomi media? Jika berangkat dari pendekatan Habermasian, kedua fungsinya ini seharusnya berjalan seiring. Integrasi sosial dunia kehidupan dan integrasi sistem dalam ranah media seharusnya saling mengandaikan. Media sebagai institusi sosial harus semakin rasional, melakukan penyesuaian atas berbagai tuntutan sistem. Misalnya, diskursus politik harus dikompromikan dengan pertimbangan teknis-bisnis media: panjang artikel menjadi lebih pendek untuk menyesuaikan dengan keterbatasan ruang, format tulisan (fiksi dan non-fiksi)
harus semakin populer, talkshow televisi harus lebih
menghibur dan seterusnya. Namun tetap harus ada jaminan orientasi bisnis tidak menggusur prinsip independensi dan imparsialitas media, kebebasan berpendapat, serta hak publik atas diskursus sosial yang berkualitas. Orientasi bisnis media tidak sampai mereduksi keragaman budaya, individualitas dan nilai-nilai komunitas. II.2. Undang-Undang Penyiaran Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran3 adalah upaya mendudukkan kembali media penyiaran sebagai bagian dari eksistensi masyarakat, sebagai ruang publik-komunikatif, tanpa menegasikan pentingnya intervensi sistem bisnis dan birokrasi dalam mereduksi kompleksitasnya. UU Penyiaran merupakan upaya menyeimbangkan rasionalitas sasaran dan rasionalitas komunikatif sebagai penggerak ranah media. Kemunculan undang-undang ini dilatarbelakangi sejarah 3
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran selanjutnya disingkat UU Penyiaran.
10
penyiaran Indonesia yang lahir tidak dengan cetak-biru sistem penyiaran demokratis. Industri penyiaran Orde Baru tidak dibangun di atas fondasi “penyiaran sebagai medium pemberdayaan masyarakat”, “diversity of ownership dan diversity of content”, “media sebagai ruang publik deliberatif” dan seterusnya. Industri penyiaran itu lahir karena alasan pragmatis: integrasi politik vertikal, proteksi bisnis pengusaha kroni, dan establishmen korporasi ekonomi-politik Orde Baru. Penyiaran Orde Baru menjadi obyek kolonisasi domain komunikatif masyarakat oleh subsistem bisnis dan subsistem administrasi negara, serta praktis hanya melayani kepentingan para pejabat dan sekelompok pengusaha. Spirit dasar UU Penyiaran adalah mengeliminir kolonisasi ruang publik media itu. UU Penyiaran adalah upaya transisi dari state based-power menuju public based-
power. Intervensi pemerintah terhadap ranah media diminimalisir, kepemilikan media monopolitik dibatasi, prinsip diversity of ownership dan diversity of content dilembagakan. Kontrol terhadap media diletakkan pada masyarakat melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran non-pemerintah. Untuk mewujudkan daulat publik atas penyiaran, dilembagakan lembaga penyiaran publik dan komunitas. Tentu saja konsekuensinya sangat serius bagi pemerintah maupun pelaku penyiaran. UU Penyiaran
secara politis menempatkan publik, bukan pemerintah,
sebagai subyek utama dunia penyiaran. Pemerintah harus rela melepaskan kedudukan dan otoritasnya sebagai regulator penyiaran kepada KPI. Pada sisi lain, kalangan pebisnis penyiaran harus mengubah banyak hal dalam praktek bisnis mereka. UU Penyiaran bermaksud untuk menertibkan penyimpangan yang selama ini lazim terjadi dalam bisnis penyiaran: praktek jual beli frekuensi, pemindahtanganan hak pengelolaan frekuensi secara tidak bertanggungjawab, perijinan yang koruptif, 11
kepemilikan media yang monopolitik, produksi siaran yang hanya berorientasi pada
rating dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya, implementasi undang-undang tidak berjalan mulus. Pemerintah dan industri penyiaran tidak secara konsekuen menjalankan UU Penyiaran dan justru melakukan perlawanan terhadapnya yang berujung pada pembalikan sejarah menuju sistem penyiaran yang hanya mengabdi kepada kepentingan industri dan pemerintah sendiri. Alih-alih membayangkan transisi menuju ruang publik penyiaran bercorak kepublikan dengan otonomi relatif terhadap determinasi sistem, kita kemudian justru dihadapkan pada pembalikan sejarah menuju reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi dalam mengontrol media penyiaran. PP Penyiaran No. 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 sebagai ketentuan pelaksana UU Penyiaran, meneguhkan kembali kedudukan Pemerintah, khususnya Depkominfo sebagai regulator media penyiaran. Tentu dengan menegasikan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator penyiaran menurut UU Penyiaran 32/2002. Langkahlangkah Depkominfo lebih menunjukkan upaya rebirokratisasi sistem media penyiaran. PP Penyiaran tersebut mengembalikan penyiaran Indonesia menuju sistem yang hampir sepenuhnya komersial. Perumusan ketentuan tentang kepemilikan media, kepemilikan silang, jaringan media, perizinan dan isi siaran sangat berpihak pada kepentingan penyiaran komersial, lebih spesifik lagi stasiun-stasiun televisi swasta nasional. PP Penyiaran tidak mewadahi aspirasi untuk ”membagi” potensi-potensi ekonomi
dalam
bisnis
media
penyiaran
kepada
daerah.
Desentralisasi
penyelenggaraan penyiaran yang telah coba dirintis dalam UU Penyiaran justru dimentahkan, digantikan dengan proyeksi sentralisasi. Ketentuan tentang alokasi 12
frekuensi dan sistem siaran juga tidak mempertimbangkan kedudukan dan pengembangan lembaga penyiaran komunitas.
II.3. Rating dan Krisis Kualitas Tayangan Televisi Ketika media penyiaran menjadi sepenuhnya media komersial, dengan menanggalkan karakternya sebagai institusi sosial, apa yang terjadi kemudian dalam praktek penyiaran? Nilai atau moralitas seperti apakah yang menjadi referensi utama dalam praktek penyiaran? Tolok ukur moralitas praktek penyiaran televisi itu tak lain adalah sebuah aktivitas pemeringkatan program televisi yang populer disebut rating atau media-rating. Semakin lama semakin terasa betapa eksesif dampak rating terhadap totalitas penyiaran televisi komersial. Kalau berlebihan disebut sebagai satu-satunya, dapat dipastikan rating adalah referensi utama dalam menimbang dan menentukan kepantasan dan kelayakan produksi siaran televisi. Rating adalah ”hakim agung” penentu apa yang harus diproduksi, apa yang dianggap paling dibutuhkan pemirsa. Para pengelola televisi komersial bisa reluctan, bahkan melawan kritik masyarakat. Mereka juga sering mengabaikan keputusan-keputusan regulator KPI dan evaluasi yang dilakukan lembaga pemantau media. Kritik eksternal sering dikonstruksi sebagai ancaman. Namun khusus terhadap rating, industri penyiaran bertekuk-lutut.
Rating sebatas mengandung fungsi praktis ketika ia menjadi referensi bagi proses-proses kreatif dan produksi televisi. Rating berfungsi sebagai tolok ukur produktivitas dan kelayakan suatu program. Namun rating menjadi berfungsi ideologis ketika efektif mengarahkan dan menentukan orientasi kebijakan industri televisi secara lebih luas. Ketika semua pihak pada struktur industri televisi menjadikannya referensi 13
utama untuk menyusun proyeksi bisnis, merumuskan perencanaan, melaksanakan produksi, dan mengevaluasi program. Layakkah rating diperlakukan sebagai referensi moralitas penyiaran? Di sinilah letak persoalannya. Dalam berbagai segi, rating tidak memadahi untuk menjadi acuan utama dalam menentukan standard kepantasan program-program televisi. Pertama,
media-rating sesungguhnya sama sekali tidak berurusan dengan masalah kepantasan, kelayakan dan kualitas program siaran. Rating adalah aktivitas pengukuran jumlah pemirsa program televisi. Rating adalah metode pengukuran tindakan pemirsa televisi (tindakan menonton program televisi), bukan metode untuk mengetahui persepsi dan perasaan pemirsa terhadap program yang mereka tonton. Karena hanya mengukur jumlah pemirsa televisi, dan tidak berpretensi mengukur kualitas dan dampak program televisi, maka jelas sekali berlebihan jika media-rating dijadikan pertimbangan utama dalam proses produksi program televisi. Dampaknya adalah, stasiun televisi berlombalomba memproduksi dan menayangkan program-program dengan ekspektasi meraih
rating tinggi, tanpa peduli kualitas, kelayakan dan dampak dari program-program tersebut. Determinasi rating terhadap kinerja media televisi pada gilirannya memfasilitasi transformasi dari simpati bercorak voluntaristik menuju simpati bercorak mekanistikinstrumentalistik. Pergeseran dari simpati dalam konteks gravitasi moral menuju simpati dalam konteks gravitasi ekonomi. Rating dilihat sebagai fenomena simpati instrumentalistik karena, rating mendorong stasiun televisi untuk tidak sungguhsungguh bersimpati kepada pemirsa karena kebaikan hati : pemberdayaan, pencerdasan, pencerahan. Proses fellow feeling terjadi di sini. Industri Penyiaran 14
berusaha bersimpati, masuk ke dalam alam berpikir pemirsa, menyelami kebutuhan, hasrat dan harapan pemirsa terhadap lembaga penyiaran. Namun kebutuhan, hasrat dan harapan ini kemudian tidak diakomodasi seluruhnya dalam produksi penyiaran, namun disaring, diseleksi menurut sudut-pandang partikular kepentingan bisnis media. Maka lahirlah program-program acara yang memang digemari pemirsa, namun tidak sungguh-sungguh secara substansial dibutuhkan pemirsa guna meningkatkan kualitas hidupnya. Program yang menarik, menghibur, namun dengan kualitas alakadarnya, bahkan mengandung dampak-dampak buruk bagi anak-anak, remaja, ibu rumah tangga dan seterusnya. Program-program itu lebih menggambarkan sikap instrumentalistik industri penyiaran terhadap pemirsa, menggunakan pemirsa sebagai obyek untuk mendapatkan rating atau share tinggi dan niscaya akan menghasilkan
income yang besar dari bisnis iklan. Industri penyiaran berusaha bersimpati kepada lingkup kebutuhan dan minat pemirsa, namun kemudian hanya mengambil kebutuhan dan minat yang relevans dengan kepentingan akumulasi keuntungan bisnis penyiaran. Melalui rating, media penyiaran sepertinya memberikan sesuatu kepada publik, tetapi sesungguhnya justru mengambil lebih banyak dari publik. Pihak yang paling diuntungkan dari determinasi rating pertama-tama bukan publik, tetapi media penyiaran dengan pendapatan iklan. Setelah rating menjadi bagian integral dari dunia penyiaran, toh publik tetap mendapatkan tayangan-tayangan televisi yang begitubegitu juga dari aspek kualitas, jenis dan kuantitas. Tidak ada pengaruh signifikans penyelenggaraan rating terhadap kualitas tayangan televisi. Sedangkan pelaku penyiaran mendapatkan keuntungan ekonomi dari pemeringkatan rating. Pemirsa
15
sebagai instrumen utama penyelenggaraan rating, dan rating sebagai instrumen untuk menaikkan leverage dan keuntungan bisnis media penyiaran.
Rating mendorong stasiun televisi berlomba-lomba memproduksi programprogram untuk sekedar mendapatkan rating tinggi, tanpa memperhatikan kelayakan dan
relevansinya
untuk
pemirsa.
Pemirsa
tidak
mendapatkan
kualitas
dan
keberagaman tayangan televisi karena yang terus terjadi adalah aksi saling meniru dan saling mencangkok program yang sedang ngetrend dan be-rating tinggi. Tanpa banyak disadari pemirsa, acara sinetron, musik, kuis, komedi, dan infotainment di televisi sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format acara, logika kisah, plot dan setting sesungguhnya serupa. Sulit misalnya untuk menemukan sinetron yang benar-benar menampilkan hal yang baru dan inovatif, kecuali segelintir drama televisi yang digarap dengan serius. Veven SP Wardhana
secara menggelitik menggambarkan kondisi ini. “Dengan menutup logo
stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan atas layar televisi, praktis pemirsa tidak akan tahu stasiun televisi mana yang sedang siaran. Dari tayangan hiburan hingga program jurnalistiknya, stasiun-stasiun televisi menunjukkan wajah yang sama dan sebangun.”
4
Intensifikasi produksi acara televisi semakin menenggelamkan praktisi televisi ke dalam rutinitas produksi. Yang terjadi tampaknya bukan adu kreativitas, melainkan adu cepat antar televisi untuk me-rerun tayangan favorit, serta kompetisi antar
production house untuk me-remark cerita-cerita lokal popular, memproduksi sinetronsinetron berkualitas seadanya, atau membikin sekuel sinetron ber-rating tinggi. 4
Veven SP Wardhana, Televisi dan Prasangka Budaya Massa, PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001, hlm. 373-374.
16
Praktisi televisi cenderung bersikap pragmatis dan mau serba cepat. Tak pelak, yang diproduksi adalah acara yang itu-itu saja, tanpa kebaruan. “Isi sama, hanya kemasan yang berbeda.”5 Ketika satu stasiun televisi meraih sukses dengan program infotainment, stasiun lain pun ramai-ramai mengikutinya. Tayangan gosip selebritis membanjiri layar kaca setiap pagi, siang dan sore, dengan format dan isi yang sulit dibedakan. Bahkan acara itu sebagian juga
diproduksi oleh Production House yang sama.6 Ketika stasiun
televisi sukses dengan program dangdut, stasiun televisi yang lain segera mencangkoknya ramai-ramai, dengan format yang kurang-lebih sama. Dimensi-dimensi “negativitas” penyiaran televisi ini tentu memprihatinkan. Pergeseran dari state regulation menuju market regulation dalam industri media di Indonesia sejak 1998, ternyata tidak berkorelasi langsung dengan kebebasan publik untuk mendapatkan keragaman isi dan sajian produk media. Kita justru memasuki era di mana tampilan televisi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar yang bertumpu pada kaidah permintaan-penawaran dan rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi.7 UU Penyiaran No. 32/20028 sebenarnya merupakan upaya untuk mengatasi dimensi-dimensi negativitas penyiaran televisi itu. Spirit UU Penyiaran adalah mendudukkan kembali media penyiaran sebagai bagian dari eksistensi masyarakat, tanpa menegasikan pentingnya intervensi sistem bisnis dan birokrasi dalam mengatur kompleksitasnya. UU Penyiaran merupakan upaya menyeimbangkan rasionalitas
5
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, LKIS dan ISAI, 2004, hlm. 62-69. PT Bintang Advis Multimedia misalnya, tahun 2002 memproduksi program infotainment "Cek & Ricek" untuk RCTI, "Kros Cek" (Trans TV), "Buletin Sinetron" (RCTI), dan "Halo Selebriti" (SCTV). Lihat “Milyarder Muda Layar Kaca, Menangkap Fatamorgana, Mendongkrak Harga”, Laporan Khusus, GATRA, Nomor 41, Senin 26 Agustus 2002. 7 Ibid., hlm. 69. 8 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran selanjutnya disingkat UU Penyiaran. 6
17
sasaran dan rasionalitas komunikatif sebagai penggerak dunia penyiaran. Dalam tataran praktis yang dilembagakan adalah desentralisasi penyiaran, bahwa stasiun televisi harus berformat lokal atau berjaringan, dan siaran televisi komersial nasional harus dibatasi guna mengeliminir kekerasan simbolik sebagaimana dijelaskan di atas dan mewujudkan diversity of content. Juga pembatasan kepemilikan media yang monopolitik, pelembagaan penyiaran publik dan komunitas, dan kontrol publik yang lebih besar terhadap kualitas siaran, perijinan dan permodalan media di bawah prinsip
diversity of ownership. Kontrol terhadap media diletakkan pada masyarakat dengan melembagakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran nonpemerintah.
II. 4. Komodifikasi Ruang Publik Seiring dengan trend penghambaan terhadap instutisi rating ini adalah fenomena komodifikasi ruang publik. Ketika semua hal, dari yang remeh-temeh hingga yang sangat serius, dari yang sacred hingga yang profan diproduksi dan disajikan layaknya komoditas dagang di layar televisi. Tolok ukur yang digunakan hanya satu : laku tidaknya tontonan itu berdasarkan penghitungan rating. Ruang penyiaran disetir oleh rasionalitas kaum borjuis kapitalis, yang berambisi mendiversifikasikan usahanya tidak saja pada sektor ekonomi, akan tetapi juga pada sektor
politik, budaya,
pendidikan, hukum, dan media. Rasionalitas bisnis menjadi referensi untuk totalitas media penyiaran, menggiring pada komodifikasi hampir semua persoalan, tanpa terkecuali persoalan dalam wilayah dunia kehidupan: budaya, seni, moralitas bahkan agama. 18
Komodifikasi ruang publik memfasilitasi terjadinya reduksi keragaman minat dan kebutuhan masyarakat, dalam wujud homogenisasi
isi dan kemasan siaran
televisi. Jika dicermati lebih seksama, yang namanya ciri khas atau spesialisasi, sulit ditemukan dalam televisi Indonesia. Semua televisi berpretensi untuk menjadi “supermarket” yang memajang semua produk budaya popular yang kurang-lebih seragam dalam hal kemasan, kualitas, pelaku, produsen dan lain-lain. Pada akhirnya tak ada televisi yang benar-benar khusus program berita atau program pendidikan anak-anak misalnya. Tanpa banyak disadari, tayangan sinetron, komedi, talkshow,
reality show pada semua stasiun televisi secara esensi dan kemasan "serupa tapi tak sama". Hampir tak ada televisi swasta yang tidak menayangkan program infotainment dengan format itu-itu juga. Sukses “Akademi Fantasi” diikuti oleh “Indonesian Idol”, “KDI”, “Dacil” dan seterusnya. Sukses “Jejak Petualang” ramai-ramai diikuti tayangan serupa pada stasiun televisi lain. Nama program boleh berbeda, jam tayang mungkin tidak sama, namun format, penokohan dan setting cerita sesungguhnya serupa. Persaingan antar stasiun televisi bukan hanya belum mendorong iklim adu kreativitas, namun juga menimbulkan fenomena mimesisme: gairah tiba-tiba pengelola media yang mendorongnya bergegas untuk meliput kejadian atau memproduksi program karena media lain menganggapnya penting. Fenomena ikutikutan yang bisa sampai pada titik membentuk keyakinan seakan-akan bila semakin banyak media berbicara tentang suatu hal, secara kolektif semakin diyakini hal itu penting, laku dan oleh karenanya harus diproduksi
dengan mengerahkan lebih
banyak waktu, sarana dan tenaga. Media saling membangkitkan keingintahuan di
19
antara mereka sendiri, dan membiarkan diri terbawa hasrat untuk memberi informasi yang serba lebih.9 Pada gilirannya, terjadi kekerasan simbolik berupa penyeragaman minat dan kebutuhan informasi masyarakat yang secara kultur dan kelas sangat majemuk. Dimensi integrasi sosial berbasis pada ”dunia kehidupan” setiap komunitas sosial, jelas tidak diperhitungkan ketika orang Batak terpaksa harus menonton Ketoprak, Orang Bugis harus menonton Wayang Golek, orang Aceh harus menonton tayangan
BayWatch, dan seterusnya. Selain itu, tipis beda antara mengembangkan dan membenamkan identitas lokal. Media penyiaran turut berandil meremukkan pakem
Wayang Kulit yang karena alasan komersial harus diselipi dengan ”Goyang Dangdut”. Ketoprak sebagai seni tradisional harus diselingi dengan lawakan yang fulgar dan di luar konteks cerita. Kekerasan simbolik terhadap budaya dan identitas lokal ini adalah bentuk konkrit dari penindasan ”dunia kehidupan” oleh integrasi sistem bisnis media. Namun trend ini belakangan justru menguat seiring dengan tak terbendungnya gerak komodifikasi dan komersialisasi media penyiaran. Dalam konteks ini, sulit dipahami penolakan industri penyiaran terhadap institusionalisasi lembaga penyiaran komunitas dam lembaga penyiaran publik. Jelas sekali bahwa industri penyiaran yang telah establish sebelum UU Penyiaran 32/2002 tidak bisa banyak diharapkan untuk mengemban misi pengembangan
kekayaan-kekayaan
budaya
suatu
masyarakat
yang
demikian
majemuk dan multikultur.
9
Dr. Haryatmoko, Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Penerbit Kanisius, 2007, hlm. 22-23
20
Minimalisme ruang publik penyiaran mendorong pendangkalan ruang publik.10 Ketika praktek bermedia digerakkan oleh berbagai strategi psikologi massa populer, ruang publik penyiaran penat oleh hal-hal yang bersifat dangkal dan kurang relevans bagi publik. Perbincangan dan pengisahan dalam layar televisi terus berkutat dengan masalah atau logika cerita yang itu-itu juga dan common sense. Televisi juga terjebak pada wacana, perumusan rekomendasi dan konklusi yang serba permukaan, kurang menjawab persoalan. Selain itu juga terjadi banalisasi ruang publik: kian tak terbendungnya ekspansi yang remeh-temeh, tak penting, tak-esensial bagi keadaban publik di dalam ruang penyiaran. Gosip, desas-desus, informasi spekulatif, debat kusir mendominasi ruang media penyiaran dan perlahan menggusur hal-hal yang esensial bagi pembentukan karakter masyarakat dan pendidikan publik. Dampak ikutannya, adalah runtuhnya batas-batas antara ruang publik (public sphere) dengan ruang pribadi (private sphere). Segala sesuatu yang sebelumnya dianggap rahasia (secret) dan pribadi (private domain) diterobos dan disubversi. Sebaliknya, hal-hal privat hadir secara hampir tanpa batas dalam ruang publik media, sebagaimana privasi selebritis diumbar dalam program-program infotainment televisi.
10
Piliang, “Minimalisme…”, op.cit., hlm. 15.
21
BAB III. METODE PENELITIAN
III.1. Asumsi Dasar dan Tipe Penelitian Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa realitas memiliki dua sisi mata uang yang saling melekat. Di satu sisi realitas bersifat obyektif dan dipelajari menggunakan pengukuran yang obyektif pula. Karena itu realitas dapat digeneralisir, dan diperbandingkan secara obyektif. Hal ini mendasari mengapa penelitian ini diawali dengan pendekatan kuantitiatif, menggunakan statistik sederhana untuk mendapatkan gambaran tentang frekwensi pemuatan surat pembaca rata-rata dari ke-4 media massa cetak yang menjadi obyek penelitian. Perhitungan statistik sederhana juga memungkinkan untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan isu-isu dominan di dalam surat pembaca, dan perbandingan kecenderungan isu-isu dominan. Pada kenyataannya, disamping sisi obyektif, realitas sosial juga memiliki sisi subyektif. Hal ini dikarenakan realitas sosial, termasuk realitas media, dimaknai secara subyektif oleh individu-individu yang memiliki frame of reference dan tingkat kritikal yang berbeda-beda. Asumsi humanistik ini, melihat manusia sebagai individu yang mampu untuk menginterpretasi pengalaman-pengalamannya, menciptakan makna, yang kemudian akan menuntun apa yang mereka pikirkan, yakini, katakan dan rasakan, dan lakukan sampai pada tingkat atau batasan tertentu, seperti batasan biologis dan sosial. Heidegger menyatakan bahwa kebebasan individual dibatasi oleh apa yang disebut sebagai throwness, yaitu kenyataan bahwa manusia terlempar ke 22
dalam berbagai kondisi membingungkan, yang mempengaruhi kehidupan dan kesempatan-kesempatannya. (Wood, 2004). Sebagai konsekuensi dari asumsi, bahwa manusia mampu menginterpretasi pengalamannya sendiri secara relatif bebas, maka akan ada banyak cara untuk memandang realitas, dan tidak satupun yang lebih benar daripada yang lain. Dengan kata lain, realitas merupakan suatu interpretasi subyektif, dimana individu memiliki pengalaman, nilai-nilai, persepsi dan situasi kehidupan yang berbeda sehingga realitas mereka juga sangat bervariasi (Wood, 2004). Berdasarkan pandangan ini tidaklah mungkin untuk menyingkapkan seluruh makna di dalam diri seseorang. Karena realitas itu bersifat subyektif, realitas berada dalam bentuk interaksi antara peneliti dengan apa yang sedang diteliti, dan dijembatani oleh nilai-nilai tentang subyek-subyek yang saling berhubungan di antara realitas itu sendiri. Nilainilai dari peneliti menjadi penting karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman
yang
mendalam
tentang
media,
khususnya
tentang
konstruksi
pengetahuan transmedium yang merupakan fenomena tak terelakkan bagi industri media massa. Dengan demikian penelitian ini dilaksanakan dengan berangkat dari asumsiasumsi obyektivis maupun humansitik, menggunakan pendekatan dan analisia kuantitatif dan kualitatif, yang nantinya akan menghasilkan jawaban-jawaban penelitian dari kedua pendekatan.
III.2. Populasi dan Sampel 23
Populasi penelitian ini adalah seluruh surat pembaca di seluruh media cetak nasional di Indonesia yang memuat masalah yang berkaitan dengan penyiaran program televisi. Sampel penelitian ini ditentukan secara proporsif dua tahap. Tahap pertama, memilih 4 (empat) surat kabar nasional mencakup Harian KOMPAS, Suara Pembaruan, Media Indonesia, dan Republika. Pemilihan ke-4 (empat) harian nasional utama ini berdasarkan pertimbangan, bahwa surat kabar ini paling banyak dibaca oleh khalayak yang berpendidikan dan kritis terhadap program televisi. Tahap selanjutnya sampel ditentukan berdasarkan waktu pemuatan di ke-4 (empat) media cetak tersebut selama 2 (dua) bulan berturut-turut. Dengan demikian sampel penelitian ini adalah seluruh surat pembaca yang memuat isu tentang program televisi di Harian KOMPAS, Suara Pembaruan, Media Indonesia, dan Republika dari tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Juli 2009.
III. 3. Rencana Analisis Data Kuantitatif: Analisis Isi (Content Analysis) Analisis isi merupakan prosedur sistematis yang digunakan untuk mempelajari isi dari informasi yang dapat dapat disimpan. Pada umumnya penelitian isi media dilakukan antara untuk menggambarkan isi pesan yang dikomunikasikan oleh media dan sebagai starting point untuk studi media yang lebih lanjut. Di dalam penelitian surat pembaca ini, analisis konten kuantitatif dilakukan pertama-tama untuk menggambarkan isi pesan yang dikomunikasikan melalui surat pembaca media massa cetak, yang kemudian digunakan untuk penelitian lanjutan dalam hal ini komparasi dan analisis tentang konstruksi pengetahuan yang dibangun melalui surat pembaca tersebut. Prosedur analisis konten bersifat sistematis, obyektif dan kuantitatif yang 24
dimaksudkan untuk mengukur variabel. Tahap-tahap yang lazim dilakukan dalam analisis isi, mencakup menkonstruksi kategori-kategori yang dianalisis, menetapkan sistem kuantifikasi, melakukan pilot study, koding, kesimpulan.
analisis data dan penarikan
11
Penelitian akan dilakukan dengan menyusun instrumen penelitian yang menjawab pertanyaan-pernyataan berikut ini: -
Berapa besar frekuensi kemunculan surat pembaca tentang media televisi di empat media yang berbeda ?
-
Bagaimana perbandingan frekuensi surat pembaca tentang media televisi di empat media yang berbeda?
-
Bagaimana sikap pembaca terhadap stasiun televisi sebagaimana tergambar dalam surat pembaca ? (kritis, apresiatif, netral, dst)
-
Bagaimana persepsi pembaca terhadap kualitas program televisi sebagaimana tergambar dalam surat pembaca (baik, buruk, netral)
-
Apa yang dipersoalkan pembaca dalam rubrik surat pembaca (kualitas program televisi, regulasi, jam tayang dst)
-
Program apa yang dipermasalahkan oleh pembaca (sinetron, variety show, program berita, talkshow, ikaln dst)
-
Bagaimana komposisi penulis surat pembaca menurut latar belakang gender, pekerjaan, tempat tinggal, dst?
11
Roger D. Wimmer ., D & Joseph R. Dominick., Mass Media Research, An Introduction, 7th ed., California: Wadsworth-Thompson Learning., Inc., 2003.
25
III. 4. Rencana Analisis Data Kualitatif: Model Analisis Framing Framing merupakan kerangka analisis yang dapat dilihat dari dua level, yaitu level mikro dan level makro. Pada level pertama, yaitu di antara orang-orang (para jurnalis) yang secara aktif terlibat di dalam pembangunan makna,
sementara level makro
mengacu pada proses sosial yang menyediakan repertoar makna yang saling berkompetisi (Scheufele, 1999). Kemampuan media untuk sebagai arena pergulatan makna yang legitimate memungkinkan makna yang terseleksi untuk menjadi acuan utama di dalam memahami realitas.
12
Penelitian ini akan menggunakan analisis bingkai (framing), berdasarkan model yang dikembangkan oleh Gamson & Mondigliani. Gamson & Mondigliani melakukan analisis interpretif melalui 2 (dua) struktur yaitu: kerangka inti (core frame) dan simbol-simbol pemadatan (condensing symbols)
13
Struktur pertama merupakan pusat dari elemen-elemen yang ide yang terorganisir, hal ini membantu komunikator untuk memperlihatkan substansi dari suatu isu. Sementara struktur yang kedua terdiri atas 2 (dua) sub-struktur yaitu perangkat kerangka
(framing devices) dan perangkat penjelasan (reasoning devices), seperti penjelasan berikut ini:
12
Eric Louw, The Media and Cultural Production, London: Sage Publication , 2001. Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming, Bandung: Rosdakarya, 2002. 13
26
-
Frame atau kerangka merupakan pengatur ide sentral yang menuntun pemaknaan dari suatu situasi, yang dikaitkan dengan suatu isu.
-
Kerangka inti (Core frame) teridiri atas elemen-elemen sentral untuk memberikan suatu pemahaman yang relevan terhadap suatu situasi dan menuntun kepada isu yang sedang dikembangkan.
-
Simbol-simbol pemadatan (condensing symbols) merupakan hasil dari studi terhadap interaksi antara perangkat simbolik (framing devices) yang meliputi: analogi
(metaphors),
slogan
(catchphrases),
pengemasan
fakta/realitas
(exemplars) -
Reasoning devices merupakan perangkat untuk alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap suatu isu. Hal ini dapat diteksi melalui analisis kausal (roots), serta imbauan atau klaim moral yang diketengahkan (appeal to
principle), penggambaran fakta dengan istilah yang ditujukan terhadap citra tertentu (depictions) dan pemakaian gambar atau foto tertentu (visual images).14
14
Sobur, Ibid.
27
Media Package
Core Frame
Condensing Symbols Framing
Reasoning
Devices
Devices
1. Metaphors
1. Roots 2.
2. Exemplars
Appeals
to
Principles
3. Catchphrases 4. Depictions 5.
Visual
Images Gambar 2. Model Analsis Framming Gamson & Mondigliani (Sobur,2002)
28
III. 5. Alir Proses Penelitian:
Studi Pustaka/ Pre-research
Pengumpulan Data (1) Klipping
Analisis Data (1) Quantitative Data Analysis - Distribusi Frekwensi
Analisis Data (2) Analisis Framming Eksplanasi Konstruksi Pengetahuan
Anasisis Data (3) Mix Analysis Frekwensi pemuatan, kecenderungan dominan dan konstruksi pemikiran
Interpretasi dan Penulisan Laporan
Publikasi dan Seminar
Gambar 3. Alir Proses Penelitian
29
HASIL PENELITIAN
I. NAMA SURAT KABAR DAN JUMLAH SURAT PEMBACA Objek penelitian ini adalah surat pembaca tentang televisi yang dimuat oleh 6 media massa cetak: Republika,Media Indonesia,Kompas,Koran tempo,Suara pembaruan dan Seputar Indonesia pada periode 1 Juli 2007-30 Juni 2009. Pada periode 2 tahun ini ditemukan 173 surat pembaca tentang televisi di 6 surat kabar tersebut.
Diagram 1 menunjukkan, harian republika memuat surat pembaca tentang televisi paling banyak,yakni 52 surat pembaca, atau rata-rata minimal 2 surat pembaca per bulan.Urutan berikutnya adalah Media Indonesia (46 surat pembaca) dan Kompas (44 surat pembaca).
Penelitian ini sebenarnya juga ingin menganalisis surat pembaca di surat kabar yang lain guna mendapatkan gambaran lebih komprehensif persepsi publik tentang televisi sebagaimana tergambar dalam ruang surat pembaca. Problem yang muncul adalah,tidak semua surat kabar mempunyai rubrik surat pembaca.beberapa media menampilkan rubrik surat pembaca hanya pada saat tertentu saja.Beberapa media yang lain mempunyai rubrik rubrik surat pembaca,namun tidak memuat surat pembaca tentang televisi pada periode yang diteliti.
Selain itu,sesungguhnya ada kebutuhan untuk membandingkan surat kabar nasional dan surat-kabar lokal dalam konteks peneltian surat pembaca tentang televisi ini.Apakah ada perbedaan kecenderungan terhadap surat pembaca tentang televisi? Apakah ada perbedaan persepsi khalayak tentang media televisi sebagaimana tercermin dalam rubrik surat pembaca? Hal-hal menarik dan penting untuk dikaji.Namun persoalanya kemudian adalah,tidak semua media lokal mempunyai rubrik surat pembaca.Selain itu,sulit untuk melacak surat-surat pembaca setahun yang lalu atau lebih karena problem dokumentasi dan arsip
30
Diagram 1 Nama Surat Kabar
II. NAMA STASIUN TELEVISI Diagram 2 Nama Stasiun Televisi
31
Diagram 2 menunjukkan,TransTV,RCTI, dan Trans7 adalah 3 stasiun televisi yang paling banyak disebutkan secara eksplisit dalam surat pembaca tentang televisi di 6 surat kabar dan periode penelitian yang dipilih.TransTV disebut sebanyak 21 kali,RCTI dan Trans7 sebanyak 19 kali.TV berbayar disebut-sebut sebanyak 15 kali,sedangkan televisi lokal 7 kali. Diagram 2 menunjukan,sebanyak 50 surat pembaca tidak Secara spesifik Menyebut nama stasiun televisi. Sebanyak 50 surat pembaca ini Mempersoalkan tayangan atau program televisi tanpa menyebut stasiun televisi Yang menayangkan,atau mengritik dunia televisi secara umum.Diagaram 2 dengan Demikian juga menunjukkan,penyebutan nama stasiun televisi sebanyak 152 kali terjadi pada 83 surat pembaca.
III. MASLAH YANG DIANGKAT DALAM SURAT PEMBACA
Diagram 3 Masalah yang Diangkat dalam Surat Pembaca
32
Masalah apa saja yang diangkat atau dipermasalahkan dalam surat pembaca tentang televisi? Diagram 3 menunjukan, dalam 173 surat pembaca yang diteliti,masalah kualitas program televisi diangkat sebanyak 105 kali.Kualitas program Televisi paling banyak dipersoalkan penulis surat pembaca dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain. Masalah kedua yang paling banyak dipersoalkan khalayak adalah etika pemberitaan/penyiaran dalam praktek jurnalistik televisi.Masalah kinerja KPI dan pemerintah di bidang penyiaran juga cukup sering dipersoalkan, yaitu sebanyak 27 kali,atau minimal sebulan sekali dalam kurun waktu 24 bulan.Masalah kuis televisi dipersoalkan sebanyak 13 kali, yakni dalam 11 surat pembaca dari masyarakat dan 2 surat pembaca dari pihak stasiun televisi.
IV. PROGRAM TELEVISI YANG DIPERSOALKAN
Diagram 4 Program Televisi Yang Dipersoalkan Dalam Surat Pembaca
33
Diagram 4 menunjukkan,program televisi yang paling banyak dipersoalkan dalam surat pembaca dalam penelitian ini adalah program sinetron, yakni sebanyak 40 kali dari 173 surat pembaca. Urutan berikutnya adalah program reality show (24 kali) dan program talkshow televise (18 kali). Tabel 1 Program Televisi yang Dipersoalkan dalam Surat Pembaca No
Frekuensi
Frekuensi
Persen
(Masyarakat) (Televisi)
(Total)
Nama Program Televisi
1.
Sinetron
40
3
32.12%
2.
Reality Show
24
5
15.59%
3.
Talkshow
18
3
11.29%
4.
Program Berita
13
0
6.99%
5.
Kuis
11
2
6.99%
6.
Variety Show
10
3
6.99%
7.
Iklan
9
0
4.84%
8.
Film
7
0
3.76%
9.
Infotainmnet
7
0
3.76%
10.
Tidak ada penyebutan program
9
6
5.91%
Lain-lain
14
2
10.75%
Total
162
24
100.00%
11.
Total jumlah Surat Pembaca adalah 173. Dalam satu Surat Pembaca bisa lebih dari satu pilihan kategori
34
V. ISI SURAT PEMBACA
Diagram 5 Isi Surat Pembaca
35
Diagram 5 menunjukkan,dalam satu surat pembaca bisa terdiri lebih dari 1 isi surat pembaca Misalnya saja, dalam satu pembaca,mengritik program televisi sekaligus memberikan saran untuk stasiun televisi,atau memberikan kritik terhadap satu program televisi sambil memberikan pujian untuk program yang lain.Dalam total 173 surat pembaca,ditemukan 205 kategori isi surat pembaca.Dari Pihak 205 kategori isi surat pembaca itu,kategori Kritik Terhadap Program Televisi menduduki porsi yang paling dominan,yakni 56,59%(116 kali),Kategori Tanggapan Dari Pihak Televisi dan Saran Untuk Stasiun/Program Televisi menduduki ranking kedua yakni masingmasing 11,71% (24 kali).Total 62,44 persen isi surat pembaca (128 kali) yang dianalisis dalam penelitian ini berupa Kritik Terhadap Televisi yang tediri dari 3 kategori : Kritik Terhadap Program Televisi Kritik Terhadap Iklan Televisi,Kritik Terhadap Layanan TV Berlayar Bandingkan dengan kategori Pujian Terhadap Program Televisi yang hanya mencapai porsi 7,8 persen (16 kali).Menariknya,surat pembaca selain menjadi sarana untuk menyampaikan kritik terhadap televisi, juga menjadi sarana untuk menyampaikan masukan kepada stasiun televisi (11,71%).
VI. PANDANGAN PEMBACA TENTANG DUNIA TELEVISI
Diagram 6 Pandangan Pembaca Tentang Dunia Televisi
36
Diagram 6 menunjukan surat pembaca tentang televisi di 6 surat kabar dan pada periode 1 juli 2007-31 juni 2009 didominasi oleh pandangan pembaca bahwa ”Program Televisi Berkualitas Buruk”.Pada kategori analisis ini,dianalisis 149 surat pembaca dari total 173 surat pembaca. Surat pembaca yang berisi tanggapan dari pihak televisi (24 surat pembaca) tidak dianalisis. Dalam 149 surat pembaca tersebut, ditemukan 222 pandangan pembaca tentang dunia televisi. Mayoritas dari pandangan ini adalah pandangan yang negatif tentang program televisi (81,5%), dibandingkan dengan pandangan yang positip tentang program televisi (5,86%). Bagimanakah pandangan negatif tentang program televisi itu persisnya? Televisi dipandang : Berdampak Buruk Terhadap Keluarga, Tidak Mencerdaskan Pemirsa, Melanggar Etika Media, Merendahkan Nilai-nilai Agama,Merendahkan Budaya Nasional, Merendahkan Nilai Kebangsaan, Layanan Televisi Berbayar Mengecewakan, Stasiun Televisi Ingkar Janji Soal Kuis. Pandangan negatif pembaca tentang televisi juga tercermin dalam judul-judul surat pembaca sebagaimana terlihat dalam Tabel 2 berikut ini.Tabel ini menunjukkan bagaimana persepsi atau keberatan pembaca terhadap program-program televisi komersial secara umum.Bisa jadi,judul surat pembaca ini tidak murni dari si penulis surat pembaca dan lebih merupakan hasil dari interpretasi atau penyimpulan dari redaktur yang bertanggung-jawab atas rubrik surat pembaca. Dalam penelitian ini tidak ditemukan judul surat pembaca yang melenceng dari isi surat pembaca.
Tabel 2 Judul Surat Pembaca Yang Mengkeritik Televisi
No
Judul Surat Pembaca
Surat Kabar
Edisi
Kompas
19/06/2009
Koran Tempo
14/02/2008
1
Debat Kursi di TV
2
Super Mama Seleb Show Miskin Etika
3
Acara Televisi Jangan Hanya kejar Rating
Media Indonesia
15/06/2008
4
Mental Tempo Akibat Acara TV
Media Indonesia
23/06/2009
5
Waspadai Tayangan Tidak Layak Ditonton
Media Indonesia
22/05/2008
37
6
Hareem Sinetron Islami?
Koran Tempo
27/06/2009
7
Sinetron Membahayakan Anak
Koran Tempo
21/01/2008
8
Judul Boleh Beda Cerita Tetap Sama
Media Indonesia
06/04/2008
9
Pelecahan Dasar Negara Lewat Tayangan Lawak
Kompas
26/05/2009
10
Penampilan Seronok Pagi Hari
Kompas
18/04/2009
11
Reality Show TPI Memprihatinkan
Kompas
08/06/2009
12
Sadis Lewat Adegan Sinetron
Kompas
30/04/2009
13
RA Kartini Menangis Melihat TVRI
Media Indonesia
23/04/2008
14
Banyak Acara Sinetron Membahayakan Anak
Media Indonesia
20/01/2008
15
Kemalasan Kolektif Wartawan
Media Indonesia
21/01/2008
16
Tayangan Jelang Sahur Tidak Mendidik
Media Indonesia
04/10/2007
17
Sinetron Islami: Belum Sesuai Nafas Islam
Republika
03/09/2008
18
Tayangan Televisi,Lembaga Kontrol Tak Berfungsi
Republika
10/11/2008
19
Siaran Televisi : Berlaku Jam Belajar Nasional
Republika
14/11/2008
20
Reality Show: Kebablasan
Republika
29/06/2009
21
Acara Kontes di Televisi,Judi di Televisi Menggila
Republika
19/03/2008
22
Sinetron Muslimah : Kebablasan
Republika
21/02/2009
23
Idola Cilik RCTI,Tak Pantas
Republika
07/03/2009
24
Sitkom Suami-suami Takut Istri,Tidak Layak Tayang
Republika
06/05/2008
25
Tayangan Tidak mendidik
Kompas
02/07/2008
38
VII. PROGRAM SINETRON
Diagram 7 Kualita Program Sinetron
Diagram 7 menunjukkan, dari 40 surat pembaca yang membahas sinetron televisi, 36 surat pembaca menyatakan program sinetron televisi di Indonesia berkualitas buruk. Hal ini mencolok sekali dibandingkan dengan hanya 2 surat pembaca yang menyatakan kualitas sinetron televisi di Indonesia berkualitas baik. Dalam konteks apa saja sinetron televisi tersebut dianggap berkualitas buruk oleh pembaca? Tabel 3 di bawah ini menunjukkan jawabanya. Sebanyak 29 surat pembaca menilai program sinetron televisi Memberi Contoh Perilaku Yang Baik” kepada pemirsa : tidak mempunyai sopan-santun terhadap orang lain, melawan orang tua, menggunakan kekerasan dalam berinteraksi dengan orang lain, pola hidup yang hedonis dan Lain-lain. Sebanyak 15 surat pembaca mengritik program sinetron televisi Mengandung Adengan Kekerasan”, dan 3 surat pembaca mengkritik sinetron televisi Mengandung Muatan Eksploitasi Seksual”. Selain itu, ada 10 surat pembaca yang secara eksplisit menganggap program sinetron televisi Berbahaya Untuk Anak-Anak” karena mengandung adegan kekerasan,memberikan model perilaku yang tidak baik,dan seterusnya.
39
Tabel 3 Kelemahan Program Sinetron Menurut Surat Pembaca No Kelemahan Program Sinetron
Frekuensi
Persen
1
Mengandung Adengan Kekerasan
15
23.4%
2
Mengeksploitasi Seksualitas
3
4.7%
3
Berbahaya Untuk Anak-anak
10
15.6%
4
Memberi Contoh Perilaku yang Tidak Baik
29
45.3%
5
Merendahkan Perempuan
5
7.8%
6
Bermuatan Mistis
2
3.2%
Total
64
100.00%
Penilaian ini diambil dari 36 Surat Pembaca yang menyatakan program sinetron berkualitas buruk Dalam satu Pembaca bisa lebih dari satu penilaian
VIII. REALITY SHOW Diagram 8 Kualitas Program Reality Show
40
Diagram 9 menunjukkan, dari 24 surat pembaca yang membahas program reality show televisi, tidak satupun menyatakan program tersebut berkualitas baik. Sebanyak 18 surat pembaca menyatakan program reality show televisi berkualitas buruk. Enam surat pembaca lainya tidak memberikan penilaian yang tegas terhadap program reality show. Apa kelemahan atau kekurangan program reality show televisi? Tabel 4 menunjukkan jawabanya. Dalam 15 surat pembaca, pembaca eksplisit menyatakan reality show televisi Memberikan Contoh Perilaku Yang Tidak Baik” kepada pemirsanya : tidak ada sopan-santun terhadap orang lain,melecehkan perempuan dan lain-lain. Pembaca 11 kali menyatakan reality show televisi Mengandung Adegan Kekerasan”, dan 6 kali eksplisit menyatakan reality show televisi Berbahaya Untuk Anak-anak”, Tabel 4 Kelemahan Program Reality Show
No Kelemahan Program Reality show
Frekuensi
Persen
1
Mengandung Adengan kekerasan
11
28.9%
2
Mengeksploitasi Seksualitas
2
5.3%
3
Berbahaya Untuk Anak-anak
6
15.8%
4
Memberi Contoh Perilaku yang Tidak Baik
15
39.5%
5
Melanggar Etika
4
10.5%
38
100.00%
Total
Penilaian ini dilakukan terhadap 18 surat pembaca yang menyatakan reality show televisi berkualitas buruk. Dalam satu Surat Pembaca bisa lebih dari satu penilaian
41
IX. KUIS TELEVISI
Diagram 9 Persoalan Kuis Televisi
Menariknya, surat pembaca juga dijadikan pemirsa televisi sebagai medium untuk menangih janji stasiun televisi untuk memberikan hadiah pada berbagai program kuis televisi.Dalam penelitian ini, ditemukan 11 surat pembaca yang membahas kuis televisi. Diagram 9 menunjukkan, persoalan yang dilontarkan pembaca adalah hadiah kuis televisi tidak atau terkambat dikirimkan sesuai yang dijanjikan stasiun televisi (6 surat pembaca) dan stasiun televisi melakukan kecurangan atau rekayasa terkait dengan kuis televisi (2 surat pembaca).
42
Tabel 5 Judul Surat Pembaca Tentang Kuis Televisi
Judul Surat Pembaca Tentang Kuis
Surat Kabar
Edisi
Kompas
16/10/2008
Seputar Indonesia
27/01/2008
3. SCTV Wanprestasi
Kompas
18/04/2008
4. Kuis ”Good Morning” Trans TV
Kompas
01/09/2007
5. Hadiah Kuis “Super Bike” Trans7
Kompas
27/09/2008
6. Janji Kuis Joged Asyik TPI
Kompas
16/09/2008
7. Hadiah “Deal or No Deal” RCTI
Kompas
12/08/2008
8. Kuis di CTV Banten Hanya Rekayasa
Media Indonesia
25/01/2008
9. Kuis SMS Trans TV
Republika
29/12/2007
10. Kuis Happy Show GlobalTV: Hadiahnya Mana?
Republika
11/07/2008
11. Acara Kontes di Televisi, Judi di Televisi Menggila
Republika
19/03/2008
1. Hadiah Kuis SCTV 2. Kapan Uang Hadiah Saya Dikirim
43
X. TANGGAPAN DARI STASIUN TELEVISI
Tabel 6 Tanggapan Pihak Televisi Dalam Surat Pembaca
No
Judul Surat Pembaca
Stasiun Televisi Surat Kabar Penanggap
Edisi
1
Hadiah Sudah Diserahkan
TransTV
Kompas
12/09/2007
2
Tayangan Dievaluasi
TransTV
Kompas
19/05/2009
3
Tayangan Trans TV
TransTV
Kompas
24/04/2009
4
Penjelasan Trans TV
TransTV
Media Indonesia
03/02/2008
5
Penjelasan Trans TV Soal Nonton Bareng
TransTV
Media Indonesia
16/02/2008
6
Acara Akrinya Datang Juga di TransTV
TransTV
Republika
14/04/2008
7
Persyaratan Lengkap
TPI
Kompas
19/09/2008
8
Tayangan Distop Sementara
TPI
Kompas
11/06/2009
9
Jadwal Tayangan Pertimbangan Bergagai Aspek
TPI
Kompas
30/04/2009
10
TPI:Tanggapan Sinetron Santri Gaul
TPI
Republika
24/07/2007
11
TPI Bukan Televisi Pendidikan Lagi
TPI
Republika
23/01/2008
12
Trans7 Tentang Lirik Lagu
Trans7
Kompas
15/06/2009
Pemenag
Belum
44
13
Bahan Evaluasi Internal
Trans7
Kompas
27/05/2009
14
Penjelajah Trans7
Trans7
Media Indonesia
26/04/2008
15
Trans7:Penjelajah
Trans7
Republika
12/05/2009
16
Tidak Tercantum Data Pemilik
RCTI
Kompas
15/12/2008
17
RCTI: Hak Jawab Jalinan Kasih
RCTI
Republika
-
18
Tanggapan ANTV
ANTV
19
Tidak Pernah Ditegur KPI
20
Koran Tempo 02/03/2009
GlobalTV
Kompas
14/11/2008
SCTV Tetap Terpercaya
SCTV
Kompas
21/02/2009
21
Penjelasan dari TVOne
TV One
22
PT.Direct Vision: Manajemen
Asro TV
Republika
14/12/2009
23
Astro Tentang Liga Inggris
Asro TV
Kompas
12/09/2008
24
Oke Vision Selesaikan Keluhan Konsumen
Oke Vision
Republika
25/05/2009
Penjelasan
Koran Tempo 16/09/2008
Tabel 6 menunjukan bagaimana dan sejauh mana pihak stasiun televisi juga menggunakan rubrik surat pembaca untuk menyampaikan tanggapannya terhadap kritik, keluhan dan masukan pembaca. Dalam penelitian ini, ditemukan 24 surat pembaca yang ditulis pihak televisi guna menanggapi surat-surat pembaca lain dari pembaca atau permirsa televis. Hal ini menunjukkan, rubrik surat pembaca adalah sarana yang cukup intens digunakan oleh permirsa dan pengelola teloveevisi untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Lalu bagaimana dengan isi surat pembaca yang ditulis pihak stasiun televisi itu sendiri? Penjelasan tentang hadiah kuis televisi, klarifikasi tentang tayangan televisi yang dikritik permirsa, status suatu program televisi yang sedang mejadi kontroversi, dan lain- lain.
45
Diagram 10 menunjukkan, stasiun televisi mana yang menggunakan rubrik surat pembaca untuk menyampaikan tanggapan atau klarifikasi kemasyarakat. Dalam periode 24 bulan yang diteliti, Trans TV paling sering menulis surat pembaca tanggapan atas surat pembaca dari pemirsa televisi, yakni sebanyak 6 kali, menyusul kemudian TPI (5 kali) dan Trans7 (4 kali). Apa isi surat-surat pembaca yang ditulis pihak stasiun televisi ini, sebagian tergambar dari judul surat pembaca pada Tabel 5
Diagram 10 Stasiun Televisi Yang Memberikan Tanggapan Baik
46
KESIMPULAN PENELITIAN
1. Rubrik surat pembaca adalah sarana komunikasi sarana komunikasi yang sangat intens digunakan masyarakat untuk menyampaikan kritik, komplain, tuntutan dan masukan terhadap stasiun televisi dan tayangan-tayangan televisi. 2. Rubrik surat pembaca adalah sarana komunikasi yang produkrif antara pemirsa televisi dan stasiun televisi. 3. Rubrik ruang pembaca adalah sebuah ruang publik yang produktif untuk mendiskusikan masalah-masalah dunia televisi. 4. Republika,Media Indonesia dan Kompas adalah surat kabar yang paling banyak memberikan ruang bagi semua pihak untuk menulis surat pembaca tentang dunia televisi dalam penelitian ini. 5. TransTV,RCTI dan Trans7 adalah stasiun televisi yang paling sering dibahas dalam surat pembaca tentang televisi pada 6 media yang diteliti pada periode 1 Juli 2007-30 Juni 2009. 6. Sinetron dan reality show adalah program televisi yang paling banyak dipermasalhkan dalam surat pembaca tentang televisi pada penelitian ini. 7. Kualitas Program Televisi adalah masalah yang paling banyak disorot dalam surat pembaca tentang televisi pada peneliti ini. 8. Mayoritas surat pembaca dalam peneliti ini berisi kritik terhadap program televisi”. 9. Mayoritas surat pembaca mempersepsikan stasiun televisi secara negatif : tayangannya berdampak buruk terhadap keluarga, tidak mencerdaskan pemirsa,melanggar etika media, merendahakan nilai-nilai agama, merendahakan budaya nasional, merendahakan nilai kebangsaan. Surat pembaca juga mengeluhkan layanan televisi berbayar yang mengecwakan dan stasiun televisi yang ingkar janji soal kuis televisi. Mayoritas surat pembaca tentang sinetron dan reality show televisi menyatakan bahwa kedua program ini berkualitas buruk terutama dalam aspek : mengandung adegan kekerasan, berbahaya untuk anak-anak,memberi contoh perilaku yang ti
DAFTAR PUSTAKA Habermas, Jurgen. The Theory of Communicative Action, Volume 2, Boston : Beacon Press, 1989.
47
Hardiman, F. Budi. Majemuk”,
“Ruang Publik Politik, Komunikasi Politik Dalam Masyarakat dalam Republik Tanpa Ruang Publik (kumpulan tulisan),
Yogyakarta : IRE Press dan Yayasan SET, 2005, hlm. 41 - 53. Haryatmoko, Dr. Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2007. Louw, Eric The Media and Cultural Production, London: Sage Publication , 2001. Piliang, Yasraf A. “Minimalisme Ruang Publik, Budaya Publik di Dalam Abad Informasi,” dalam Republik Tanpa Ruang Publik (kumpulan tulisan), Yogyakarta : IRE Press dan Yayasan SET, 2005, hlm. 1-24. Priyono, B. Herry. “Ranah Publik : Dari Mulut Pemerintah ke Rahang Pasar”, dalam
Republik Tanpa Ruang Publik (kumpulan tulisan), Yogyakarta : IRE Press dan Yayasan SET, 2005, hlm. 149-176. Siregar, Ashadi. Etika Komunikasi, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2006. Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framming, Bandung: Rosdakarya, 2002. Sudibyo, Agus. Ekonomi-Politik Media Penyiaran, Yogyakarta : LKIS dan ISAI, 2004. Smith, Adam. The Theory of Moral Sentiments, ed. Knud Haakonssen, Cambrigde : Cambridge University Press, 1759 (2002). Smith, Adam. The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan, New York : The Modern Library, 1776 (2000) Wardhana, Veven SP. Televisi dan Prasangka Budaya Massa, Jakarta : PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001. Wimmer ., Roger D & Joseph R. Dominick., Mass Media Research, An Introduction, 7th ed., California: Wadsworth-Thompson Learning., Inc., 2003.
GATRA, Nomor 41, Senin 26 Agustus 2002.
48
III.6. Jadwal Kegiatan Penelitian Bulan
Deskripsi Tugas
Produk
1
Studi literatur dan pra-penelitian
Draf instrumen penelitian
2
Pengumpulan data
Klipping surat pembaca di 4 media massa nasional
3
Identifikasi isu
Tabel item-item isi surat pembaca di 4 media massa nasional
4
Analisis Framing
Bagan analisis isi surat pembaca di 4 media massa nasional
5
Mix Analysis
Komparasi hasil analisis kuantitatif dan kualitatif dari 4 media massa nasional
6
Interpretasi data
Pengkaitan hasil analisi dengan teori dan diskusi temuan-temuan baru dari analisis data
7
Penulisan laporan
Laporan Penelitian
8
Publikasi seminar
Jurnal dan Seminar
dan
49
III. 7. Alokasi Waktu Penelitian: Kegiatan
Agustus 1 2 3 4
September 1 2 3 4
Oktober 12 3 4
1. Penyusunan desain riset Pencarian data Pilot study 2. Perbaikan desain riset Codifikasi data Input data Analisis Framing Penulisan laporan Seminar/present asi ANGGOTA TIM: 1. Nama Lengkap
:
Jenis Kelamin : Laki-laki NIK : Bidang spesialis/disiplin : Lektor Fakultas/Jurusan : Ilmu Komunikasi Alamat Rumah : Telpon/Fax/e-mail :
50
III. 8. Pembiayaan
51
52