HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS KETEPATAN SASARAN REALISASI BELANJA SUBSIDI ENERGI (Tinjauan atas subsidi listrik)
Pendahuluan Dalam delapan tahun terakhir (2005-2012) rata-rata proporsi subsidi listrik terhadap total nilai subsidi yang dikeluarkan pemerintah adalah sebesar 26% (Gambar 1). Besaran subsidi listrik juga menempati urutan kedua terbesar setelah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam enam tahun terakhir, besarnya subsidi listrik juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp25,8 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp80,9 triliun pada tahun 2013. Bila disandingkan dengan besaran belanja pemerintah pusat, maka proporsi subsidi listrik terhadap belanja pemerintah pusat cenderung meningkat dari hanya 7,33% pada tahun 2005 menjadi 25,51% pada tahun 2013. Dengan kata lain, secara rata-rata subsidi listrik menghabiskan sekitar 8% belanja pemerintah pusat. Kondisi ini menunjukkan bahwa subsidi listrik cukup membebani pemerintah pusat.
Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%) 1% 1%
0% 7%
0%
0% 7%
6%
52%
26%
Subsidi BBM
Subsidi Listrik
Subsidi Pangan
Subsidi Pupuk
Subsidi Benih
PSO
Subsidi Bunga Kredit Program
Subsidi Minyak Goreng
Subsidi Pajak
Subsidi Kedele
Subsidi Lainnya
Sumber data pokok APBN, diolah
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 9
Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan hasil pemeriksaan BPK menyebutkan adanya inefisiensi biaya produksi listrik yang bersumber dari tingginya biaya bahan bakar. Inefisiensi tersebut pada akhirnya memperbesar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. ICW menemukan adanya inefisiensi biaya produksi listrik PT PLN kurun waktu 2002-2008 sebesar Rp158,56 triliun atau Rp22,65 triliun per tahun. BPK mengungkapkan bahwa PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Hal ini mengakibatkan PLN tidak melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17.900.681,34 juta pada tahun 2009 dan Rp19.698.224,77 juta pada tahun 2010. Temuan-temuan tersebut disebabkan terbatasnya pasokan gas sehingga PT PLN menggunakan bahan bakar minyak untuk mesin pembangkit dual firing-nya. Persoalan bahan bakar, terutama bahan bakar minyak merupakan beban utama bagi PT PLN. Biaya bahan bakar dan pelumas menghabiskan lebih dari 55% pendapatan PT PLN.
Subsidi Listrik Dan Biaya Bahan Bakar Salah satu faktor penyebab membengkaknya subsidi listrik adalah besarnya biaya bahan bakar yang dibutuhkan PT PLN untuk mesin pembangkit listrik1. Rata-rata biaya bahan bakar minyak dalam rentang waktu tahun 2006-2010 sebesar 75% dan sisanya terbagi untuk bahan bakar batu bara, gas bumi, panas bumi dan air. Kondisi ini ditunjukkan dari masih dominannya biaya BBM dalam struktur biaya pokok penyediaan tenaga listrik (BPP TL) PT PLN. Selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, biaya pembelian BBM menghabiskan lebih dari 80% dari total biaya bahan bakar yang dikeluarkan PT PLN dan baru menurun secara signifikan pada tahun 2010 seiring dengan meningkatnya biaya gas alam. Bila dibandingkan dengan tenaga listrik yang mampu dihasilkan, penggunaan mesin pembangkit berbahan bakar minyak menjadi sangat mahal karena hanya mampu menghasilkan rata-rata 32% - 33% dari total energi listrik yang dihasilkan PT PLN.
1
Dalam posisi ini PT PLN berargumen bahwa inefisiensi biaya tersebut disebabkan PT PLN terpaksa harus menggunakan BBM untuk pembangkit listrik karena pasokan gas untuk pembangkit habis, dan jika tidak menggunakan BBM maka pilihan lain adalah mematikan listrik Jakarta selama setahun; Inefisiensi PLN Rp 37,6 Triliun, DPR Harus Ikut Tanggung Jawab; bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/31/11464192; diakses tanggal 31 Juli 2013.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 10
Tabel 1. Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik, 2006-2010
Sumber : LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Kondisi ini disebabkan 1) PT PLN terlambat mengupayakan pemenuhan gas untuk kebutuhan pembangkit. 2) Beberapa pemasok gas tidak dapat memenuhi pasokan sebagaimana kontrak yang telah ditandatangani. Sementara itu Perjanjian Jual Beli Gas antara pemasok gas dengan PLN tidak mengatur sanksi bagi pemasok gas apabila realisasi pasokan gas tidak sesuai kontrak. Dari sisi pemerintah, 3) Kementerian ESDM dan BPMIGAS juga belum optimal dalam menetapkan kebijakan dan mengupayakan pemenuhan gas bagi PLN. Hal ini diperparah lagi dengan 4) PT PGN (Persero) Tbk sebagai pemegang hak akses pipa transmisi South Sumatra West Java (SSWJ) belum membangun booster compressor untuk meningkatkan kapasitas sistem sesuai dengan keputusan Rapat Koordinasi dengan Menteri Negara BUMN pada 16 Juli 2008 yang dihadiri oleh PGN, PLN, Pertamina dan Medco. Dan 5) PGN harus mengurangi pasokan gas untuk pembangkit PLN Muara Tawar sesuai risalah yang disusun Direksi PGN atas rapat 19 Maret 2010 yang dipimpin Menko Perekonomian2. Padahal, dengan kondisi PT PLN yang terus menggunakan BBM secara dominan otomatis akan mendongkrak BPP TL dan akan memperlebar selisih antara BPP TL dengan TDL yang tercermin dalam harga jual rata-rata per kWh. Kondisi ini pada akhirnya berakibat pada besarnya subsidi yang dibayarkan pemerintah. Hasil simulasi menunjukkan, dengan tercukupinya pasokan gas yang dibutuhkan PT PLN, maka PT PLN akan menghemat sekitar 70% biaya bahan bakarnya. penghematan biaya bahan bakar yang mungkin dapat dilakukan PT PLN selanjutnya dapat mengurangi sekitar 40% besarnya subsidi listrik yang dikeluarkan pemerintah.
2
LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 11
Temuan BPK dan Penerima Subsidi Listrik Pertumbuhan jumlah pelanggan listrik terus meningkat. Dalam tahun 2006-2010, peningkatan jumah pelanggan tercatat sekitar 3%-4% dan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 6%. Kondisi ini menunjukkan semakin dibutuhkannya energi listrik untuk menunjang kehidupan. Kebutuhan energi listrik belum dapat dipenuhi sepenuhnya, tercermin dari masih tingginya daftar tunggu (tabel 2). Tabel 2. Pelanggan PT PLN TAHUN JUMLAH PELANGGAN DAFTAR TUNGGU 2006 35,751,224 1,829,395 2007 37,333,729 991,202 2008 38,844,086 1,162,419 2009 40,117,685 1,295,461 2010 42,435,387 864,778 Sumber : LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Dari sejumlah pelanggan tersebut, terbagi menjadi beberapa golongan pelanggan berdasarkan besarnya kWh yang dilanggankan. Setiap pelanggan tidak membayar seluruh Kwh yang digunakannya, karena pemerintah member subsidi untuk setiap selisih antara nilai jual listrik per kWh dengan BPP listrik per kWh. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK.02/2007 juga menyebutkan bahwa subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut. Dengan demikian hampir seluruh pelanggan mendapatkan subsidi listrik. Hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan menunjukkan bahwa 56% subsidi listrik tahun 2007 dinikmati oleh kelompok pelanggan rumah tangga dan sisanya terbagi antara industri, bisnis, pemerintah dan lain-lain (gambar 2). Gambar 2. Distribusi Subsidi Berdasarkan Golongan Pelanggan
9%
4%
4%
56% 27%
Rumah tangga Industri Bisnis Pemerintah Lain-lain
Sumber Badan Kebijakan Fiskal dalam Nota Keuangan APBN 2009
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 12
Simulasi sederhana yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa subsidi listrik ternyata tidak hanya diterima oleh kalangan pelanggan kecil namun juga pelanggan besar (tabel 3). Hasil pemeriksaan BPK dalam LKPP tahun 2012 juga menemukan hal yang sama. Subsidi listrik tidak hanya dinikmati oleh pelanggan kecil namun juga dinikmati oleh pelanggan besar dan pemerintah. Hasil pemeriksaaan BPK menunjukkan jumlah subsidi listrik pada PT PLN tahun 2012 sebesar Rp 103.331.285.420.237,00. Dari sejumlah itu, sekitar 43,18% subsidi listrik (Rp44.614.439.952.516,00) dinikmati oleh 2,97% dari total pelanggan yang berstatus pelanggan menengah, pelanggan besar, pemerintah dan pelanggan khusus. Dalam hal ini BPK berpendapat bahwa pemerintah dalam menetapkan pelanggan golongan tarif dasar listrik yang disubsidi tidak mengacu pada tujuan pemberian subsidi yaitu subsidi seharusnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan dan tidak mampu membeli barang dan jasa dengan harga sesuai harga pokok barang dan jasa tersebut. Tabel 3. Jenis Pelanggan dan Perhitungan Pengurangan Subsidi Jenis pelanggan
Harga jual PLN (Rp/Kwh)
Biaya Produksi Listrik (Rp/Kwh)
Subsidi (Rp triliun)
Volume penjualan (Kwh)
Bi. Prod. Listrik setelah penghematan (Rp/Kwh)*
Hasil perhitun gan
Rumah tangga Kecil 450 VA
418
1.163
13,13
17,624,161,073.8
715.25
Negatif
Kecil 900 VA
609
1.163
9,48
17,111,913,357.4
715.25
Negatif
Sedang I (1.300VA)
675
1.163
3,94
8,073,770,491.8
715.25
Negatif
Sedang II (2.200 VA)
679
1.163
2,48
5,123,966,942.1
715.25
Negatif
Menengah (2.200-6.600 VA)
797
1.163
1,37
3,743,169,398.9
715.25
Positif
Kaya > 6.600 VA
1.33
1.163
-
715.25
0.00
811
839
1,91
68,214,285,714.3
515.99
Positif
Sedang (2.200 VA)
805
1,163
1,22
3,407,821,229.1
715.25
Positif
Menengah (>2.200 VA)
641
839
10,92
55,151,515,151.5
515.99
Positif
Besar ( > 30.000 VA)
529
718
4,37
23,121,693,121.7
441.57
Positif
Bisnis Bisnis besar (> 200 VA)
Industri
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/21/EB/mbm.20100621.EB133899.id.html, tanggal posting 21 Juni 2010, tanggal akses 3 Januari 2010, diolah. Cat : negatif berarti masih merlukan subsidi, positif berati tidak perlu subsidi
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 13
Bauran Energi dan Penerima Subsidi Listrik Persoalan mendasar yang sebenarnya harus segera ditangani guna mengatasi permasalahan di tubuh PLN adalah perbaikan bauran energi yang digunakan. Penggunaan bauran energi sesuai peruntukan akan lebih mengefisienkan BPP TL yang harus dikeluarkan. Dengan demikian bukan lagi kenaikan TDL yang menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan tingginya subsidi listrik dan ketepatan sasaran penerima subsidi listrik. Salah satu penyebab belum optimalnya bauran energi dalam pengoperasian mesin pembangkit PT PLN adalah belum terpenuhinya kebutuhan gas PLN. Misalnya saja, kebutuhan gas PLN tahun 2010 sebesar 640,64 MMBTU sementara gas yang terpenuhi hanya 266,9 MMBTU, sisanya 373,73 MMBTU belum terpenuhi. Jumlah ini sama dengan 59,79 juta barel minyak3. Penyebab terjadinya kondisi ini, diantaranya ada pembatasan penyerahan hasil eksplorasi dari kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, yang menyatakan bahwa “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri”, secara eksplisit membatasi penyerahan hasil eksplorasi minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO). Hal ini memaksa PLN lebih kreatif menggunakan bahan bakar yang tersedia untuk mengoperasikan mesin-mesin pembangkitnya yang berbahan bakar gas. PT PLN terpaksa menggunakan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan gas turbin PLTGU yang didisain dual firing (dapat dioperasikan dengan BBM dan gas). Akibatnya biaya operasi PLN membengkak karena untuk menutupi defisit gas, PLN selama ini menggunakan bahan bakar minyak yang harganya jauh lebih mahal. Padahal, jika dilihat dari ketersediaan cadangan gas yang tersimpan, cadangan gas bumi Indonesia rata-rata tahun 2006-2010 sebesar 166,54 TSCF atau setara dengan reserve to production ratio (R/P) sebesar 55,15 tahun4 (tabel 4). Namun tingkat produksi gas bumi masih rendah, yaitu rata-rata per tahun sebesar 3,02 TSCF atau 1,82% dari cadangan gas bumi tahun 2006-2010. Hal ini disebabkan tingginya tingkat risiko dan nilai investasi pada sektor minyak dan gas bumi. Kondisi ini diperparah dengan masih rendahnya pemanfaatan gas buni dalam negeri dibandingkan dengan jumlah yang diekspor, baik dalam bentuk LNG maupun gas pipa. Pada
3Pri
4
Agung Rakhmanto, ReforMiner Institute; Pasokan Gas Oke, Subsidi Hemat Rp 30 Triliun; http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/06/30/brk,20100630-259775,id.html; tanggal posting 30 Juni 2010, tanggal akses 29 Desember 2010. 1 bbl = 6,29 MMBTU.
LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 14
tahun 2006-2010 rata-rata pemanfaatan gas bumi di dalam negeri hanya sebesar 47,6 % sedangkan lebih dari 50% hasil produksi gas bumi di Indonesia diekspor ke luar negeri (tabel 5). Tabel 4. Cadangan Gas Bumi Indonesia
Sumber : LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Tabel 4. Pemanfaatan Gas Bumi Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Domestik 45.9 45.6 47.8 50.5 48.3
Ekspor 54.1 54.4 52.2 49.5 51.7
Sumber : LHP dengan Tujuan Tertentu atas Sektor Hulu Listrik 2006-2010
Yang menjadi perhatian sekarang adalah pemenuhan kebutuhan gas bagi pengoperasian mesin pembangkit PT PLN, sehingga dimungkinkan dapat menekan BPP TL. Rendahnya BPP TL dapat menurunkan besaran susbidi listrik yang harus dibayarkan pemerintah dan permasalahan ketepatan sasaran penerima subsidi listrik dapat terselesaikan. Rendahnya BPP TL akan mempengaruhi siapa yang menerima subsidi listrik. Subsidi listrik hanya diperuntukkan kepada pelanggan listrik yang mengalami selisih antara BPP TL dengan harga jual listrik, sementara 2,97% dari total pelanggan yang berstatus pelanggan menengah, pelanggan besar, pemerintah dan pelanggan khusus sangat dimungkinkan tidak lagi mengalami selisih antara BPP TL dengan harga jual listrik.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 15