HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Eksterior Telur Tetas Keberhasilan suatu usaha penetasan bergatung pada beberapa hal salah satunya adalah kualitas telur. Seleksi telur tetas menentukan tingkat keberhasilan penetasan dan kualitas DOC yang dihasilkan. Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian terhadap beberapa variabel kualitas eksterior telur tetas ayam Arab dengan hasil pada Tabel 6. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab Parameter Kualitas Bobot Telur (g) Indeks Bentuk Telur Kebersihan Kerabang (%) Kualitas Rongga Udara (AA)(%)
Rataan pada Umur Induk (minggu) 36 42 54 45,56 ± 4,60b 0,78 ± 0,02a 73,33 100
47,40 ± 2,34a 0,76 ± 0,03b 86,67 100
49,02 ± 2,31a 0,78 ± 0,07a 82,22 100
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Bobot Telur Telur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan telur tetas yang dihasilkan oleh induk ayam Arab yang sedang dalam masa puncak produksi, sesuai dengan pernyataan Sukmawati (2011) yang menjelaskan bahwa puncak produksi telur ayam Arab terjadi saat induk berumur 36 minggu hingga 96 minggu. Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot telur ayam Arab dari induk 36 minggu berbeda nyata dengan induk 42 dan 54 minggu (P<0,05), artinya umur induk berpengaruh terhadap bobot telur yang dihasilkan oleh induk. Hasil menunjukkan bahwa semakin tua induk semakin besar bobot telur. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Peebles et al. (2001) bahwa induk yang lebih tua akan menghasilkan telur dengan ukuran dan bobot telur yang lebih besar. Hal ini berkaitan dengan fungsi reproduksi yang akan menurun seiring dengan bertambahnya umur. Peebles et al. (2001) menambahkan bahwa laju produksi telur akan berkurang seiring dengan bertambahnya umur induk, semakin tua induk ayam maka telur yang dihasilkan akan semakin besar dan bobot telur yang dihasilkan lebih besar. Bobot telur menjadi lebih besar karena komposisi telur yang berubah, persentase kandungan albumin dalam telur yang dihasilkan induk lebih tua semakin tinggi, namun kekentalannya menurun, dengan kata lain kandungan air dalam telur
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan telur dari induk yang lebih muda. Semakin besar ukuran telur, persentase albumin lebih besar dan persentase kuning telur lebih kecil (Campbell et al., 2003). Putih telur disintesis pada bagian magnum dan akan diserap kadungan airnya pada bagian uterus. Jull et al. (1979) menjelaskan pada uterus air dikompres hingga 25-30 % dari total bobot telur. Umur induk yang semakin tua membuat kemampuan uterus untuk menyerap kadar air semakin berkurang, sehingga persentasi albumen meningkat dan meningkatkan pula bobot telur. Campbell et al. (2003) juga menjelaskan bahwa ukuran dan bobot telur akan meningkat saat induk memasuki umur ± 44 minggu. Bobot telur yang dihasilkan induk dalam penelitian ini masih tergolong dalam bobot yang baik untuk ditetaskan yaitu 45,56 – 49,02 gram, sesuai dengan penjelasan Wardiny (2002), telur ayam Arab dengan bobot ≥ 42 gram memiliki hasil yang baik jika ditetaskan. Indeks Bentuk Telur Indeks bentuk telur merupakan perbandingan antara lebar dan panjang telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks bentuk telur yang dihasilkan induk dengan umur 36 dan 54 minggu berbeda nyata dengan induk umur 42 minggu (P<0,05), artinya umur induk berpengaruh terhadap indeks bentuk telur. Indeks bentuk telur yang dihasilkan induk umur 36 dan 54 lebih besar dibanding dengan induk umur 42 minggu. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan tekanan dalam oviduct induk yang diterima oleh telur selama proses pembentukan telur, sehingga membuat ukuran telur berbeda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan pernyataan Mulyantini (2010) yaitu bentuk telur bermacam-macam karena perbedaan tekanan di dalam oviduct. Hal ini berkaitan dengan umur induk, semakin tua umur induk kemampuan alat reproduksi induk dalam proses pembentukan telur akan menurun. Nilai indeks bentuk telur dipengaruhi oleh bentuk telur, nilai indeks bentuk telur yang lebih besar menunjukkan bentuk telur yang lebih bulat atau ukuran lebar dan panjangnya telur tidak jauh berbeda. Bentuk yang sangat lonjong (biconical) (Gambar 5) akan memiliki nilai indeks yang kecil, dan telur dengan bentuk ini disarankan untuk tidak termasuk dalam telur yang diinkubasi karena keberhasilan menetasnya cukup rendah. Embrio tidak dapat berkembang dengan baik dalam telur yang sangat lonjong (Mulyantini, 2010). Awal proses pembentukannya, telur
22
memiliki bentuk yang sempurna saat berada pada bagian magnum dan akan beragam bentuknya saat berada di istmus (Jull et al., 1979). Bentuk telur dipengaruhi oleh bobot telur yang dihasilkan (Jull et al., 1979), jadi secara tidak langsung bobot telur mempengaruhi indeks bentuk telur. Indeks bentuk telur yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori indeks bentuk telur yang baik, sesuai dengan pernyataan Wardiny (2002) yang menyebutkan bahwa indeks bentuk telur 0,76 – 0,78 merupakan indeks bentuk telur yang baik untuk ditetaskan. Kebersihan Kerabang Kebersihan kerabang merupakan salah satu faktor penentu kualitas telur tetas. Kotoran yang menempel pada kerabang dapat bersumber dari beberapa hal, namun sumber kotoran yang paling beresiko adalah ekskreta ayam. Kontaminasi ekskreta ayam pada kerabang telur membuat telur kotor, selain itu dapat mengakibatkan perubahan warna kerabang dan timbul bau (Sondak, 2011). Telur memiliki lapisan kutikula pada permukaannya untuk mencegah benda asing, debu, dan bakteri masuk kedalam telur, namun jika ekskreta dibiarkan menempel pada telur, lama-kelamaan bakteri yang terkandung dalam ekskreta tersebut akan masuk ke dalam telur dan akan terjadi kontaminasi. Kontaminasi menjadi lebih buruk jika terjadi pada telur yang sedang diinkubasi, karena dapat mengkontaminasi telur lainnya. Oleh karena itu, telur perlu dibersihkan terlebih dahulu sebelum diinkubasi, telur dibersihkan menggunakan ampelas secara perlahan, tidak disarankan untuk mencuci telur dengan air karena dapat merusak lapisan kutikula. Hasil penelitian menunjukkan kebersihan kerabang telur 73,33% (36 minggu), 86,67% (42 minggu), dan 82,22% (54 minggu). Persentase kebersihan telur dari ketiga umur induk ayam Arab ini cukup baik, karena menurut Rahayu et al. (2005) kebersihan kerabang ayam Merawang (ayam lokal) yang baik adalah >70,42%. Kebersihan kerabang telur berkaitan erat dengan sanitasi kandang dan manajemen produksi peternakan. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur dengan persentase kebersihan kerabang yang baik pula. Sondak (2011) menjelaskan bahwa kebersihan kandang yang terjaga dan frekuensi pengoleksian telur yang tinggi akan mengurangi terjadinya kontaminasi ekskreta terhadap telur.
23
a
b
Gambar 9. Telur Tetas Ayam Arab, a. Kotor dan b. Bersih Kualitas Rongga Udara Ukuran rongga udara telur dapat menentukan kualitas telur. Rongga udara telur tetas ditandai dengan pensil saat dilakukan candling, kemudian rongga udara tersebut dibandingkan dengan official egg air cell gauge sesuai dengan USDA (2000). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rongga udara pada telur tetas yang dihasilkan oleh induk pada semua umur yang digunakan dalam penelitian ini, 100% berkualitas AA yaitu kualitas terbaik dalam standar kualitas rongga udara berdasarkan USDA (2010). Hal ini menunjukkan bahwa telur merupakan telur dengan kualitas yang baik dan termasuk telur yang fresh atau masih belum mengalami proses penyimpanan. Rongga udara yang lebih besar memiliki kualitas telur yang lebih buruk. Rongga udara dalam telur terbentuk karena adanya perbedaan suhu dan tekanan antara bagian dalam tubuh induk dengan kondisi luar lingkungan saat telur oviposisi (Suprijatna et al., 2002). Rongga udara ini akan semakin besar seiring dengan bertambahnya umur simpan telur. Telur yang sudah disimpan dalam waktu yang lebih lama akan memiliki rongga udara yang lebih besar, karena telah terjadi penguapan cairan dalam telur tersebut. Telur yang diinkubasi juga demikian, semakin lama usia telur inkubasi akan semakin besar pula rongga udara telur tersebut. Kecepatan penguapan cairan dalam telur dipengaruhi pula oleh ketebalan kerabang telur dimana induk lebih tua (54 minggu) menghasilkan telur dengan kerabang yang lebih tipis (0,319 mm) dibandingkan induk yang muda (36 minggu dan 42 minggu dengan tebal 0,337 mm), namun
bobot kerabang telur yang
dihasilkan tidak berbeda antara ketiga umur induk (Ningsih, 2012). Telur tetas dari
24
induk yang lebih tua akan lebih cepat menguap dibandingkan dengan telur tetas dari induk yang lebih muda. Kondisi Mesin Tetas Mesin tetas berfungsi mengganti peran induk unggas dalam penetasan telur untuk menghasilkan anak unggas, oleh karena itu kondisi mesin tetas dibuat semirip mungkin dengan induk saat mengeram. Tujuan lain dari penggunaan mesin tetas yaitu untuk memperbaiki daya tetas, kualitas anak ayam, biaya tenaga kerja dan energi. Data suhu dan kelembaban selama proses inkubasi berlangsung ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Masa Inkubasi Waktu Pagi Siang Sore
Rataan Suhu (oC) 37 37 37
Kelembaban (%) 60 62 60
Rataan suhu inkubator adalah 37 oC selama masa inkubasi yang dicatat dalam tiga waktu berbeda. Oluyemi dan Robert (1979) menjelaskan bahwa suhu yang optimal untuk perkembangan embrio yaitu 37,2-39,4 oC, namun menurut Mulyantini (2010) suhu inkubasi selama penelitian ini masih memenuhi syarat, dimana suhu inkubasi yang baik untuk perkembangan embrio berkisar antara 37–38 oC. Fluktuasi suhu yang terjadi dalam rentan suhu tersebut tidak menjadi masalah, namun jika suhu inkubasi terlalu tinggi dapat meningkatkan terjadinya mortalitas embrio, sedangkan jika suhu terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan menurunkan persentase daya tetas. Selama penelitian berlangsung terjadi empat kali penurunan suhu yang cukup tinggi, yaitu suhu menjadi 30 oC (Lampiran 32). Embrio akan berhenti berkembang pada suhu 23,6 oC (Oluyemi dan Robert, 1979), walaupun penurunan suhu inkubasi yang terjadi masih di atas 23,6 oC, namun penurunan suhu yang cukup drastis ini dikhawatirkan menjadi penyebab terganggunya perkembangan embrio. Suhu optimal untuk perkembangan embrio dipengaruhi beberapa hal yaitu kualitas kerabang, bangsa unggas, umur telur, dan kelembaban selama proses inkubasi (Suprijatna et al., 2002).
25
Kelembaban mesin tetas selama proses inkubasi berlangsung berkisar antara 60% - 62%. Kelembaban ini berada di bawah kelembaban optimum mesin tetas untuk perkembangan telur tetas yang baik yaitu 66% (Winarto et al., 2008), namun menurut Oluyemi dan Robert (2008), kelembaban selama penelitian berlangsung termasuk kelembaban yang baik yaitu 56% - 60 %. Kelembaban mesin tetas bergantung pada tipe/jenis mesin tetas dan umur telur didalamnya. Kelembaban mengalami kenaikan yang cukup drastis saat suhu mesin tetas 30 oC yaitu mencapai 77 % (Lampiran 32). Perkembangan Membran Ekstraembrional Embrio umur tujuh hari memiliki yolk sac dengan warna kuning cerah dan bentuk awal yolk sac dapat terlihat jelas. Hal ini dikarenakan yolk belum dapat terserap semua ke dalam yolk sac, sehingga yolk juga tampak jelas (Gambar 11.1). Amnion membungkus seluruh tubuh embrio agar embrio terlindungi dan dapat bergerak dengan bebas, karena di dalamnya terdapat cairan. Amnion merupakan lapisan pembungkus embrio paling dalam dan pada bagian luar terdapat chorion, yaitu membran yang membungkus amnion, namun sulit keduanya sulit untuk diamati secara terpisah.
Allantois merupakan membran yang menyelimuti embrio dan
berperan dalam respirasi, digestif, dan ekskresi. Membran ini mulai berkembang pada hari ketiga masa inkubasi (Suprijatna et al., 2002). Embrio pada hari ke- 7 inkubasi ini, memiliki allantois dengan ukuran yang cukup kecil, karena aktivitas fisiologis embrio yang masih rendah. Albumen pada hari ke- 7 masa inkubasi masih cukup banyak dan tidak terlalu kental, hal ini berkaitan dengan penyerapan nutrisi yang masih belum maksimal karena embrio yang masih muda dan nutrisi yang dibutuhkan masih sedikit. Embrio pada hari ke- 14 inkubasi memiliki yolk yang sepenuhnya masuk ke dalam yolk sac, sehingga yolk sac memiliki warna kuning yang lebih gelap dibanding inkubasi hari ke- 7 karena sebagian besar kandungan kuning telur telah diproses secara kimiawi di dalam yolksac yang selanjutnya akan diserap embrio untuk perkembangannya hingga menetas (Gambar 11.2). Yolksac ini akan masuk ke dalam tubuh anak ayam saat menetas dan berfungsi sebagai cadangan makanan, sehingga DOC (anak ayam) dapat bertahan maksimal 2 hari setelah menetas tanpa diberi pakan. Amnion berfungsi membungkus embrio dan melindunginya dari benturan 26
sehingga embrio dapat bergerak dengan bebas dalam telur, sehingga ukuran amnion juga berubah mengikuti ukuran embrio, begitu juga chorion. Allantois memiliki ukuran yang lebih besar dibanding pada hari ke- 7, karena perkembangannya sudah lengkap sejak inkubasi ke- 12 dan peranannya yang meningkat seiring perkembangan embrio, semakin besar embrio maka semakin besar kebutuhannya (untuk respirasi dan digestif) dan semakin besar pula ekskresi yang dihasilkan maka semakin besar pula area allantois yang dibutuhkan. Allantois cukup sulit diamati karena pada inkubasi ke- 14 allantois menyatu dengan chorion yang disebut chorioallantois. Membran ini memiliki fungsi yang sangat penting untuk respirasi embrio dan mulai berfungsi penuh pada inkubasi ke- 12. Albumen pada inkubasi hari ke- 14 memiliki bentuk yang lebih kental dibanding pada inkubasi ke- 7. Hal ini disebabkan oleh proses penguapan dan penyerapan nutrisi dalam albumen yang meningkat seiring bertambahnya umur embrio.
yolk
albumen yolk
amnion
allantois
yolksac
allantois
amnion
yolksac
yolksac 1a
allantois amnion
yolk
albumen
1b
10 mm
albumen
10 mm
1c
10 mm
albumen amnion yolksac
yolksac
amnion 2a
10 mm
10 mm
yolksac 2b
amnion 10 mm
2c
10 mm
Gambar 10. Membran Ekstraembrional Embrio Ayam Arab, 1. Hari ke- 7 dan 2. Hari ke- 14 Inkubasi dari Umur Induk a. 36, b. 42, dan c. 54 Minggu Perkembangan Embrio Perkembangan embrio unggas berbeda dengan perkembangan embrio pada mamalia. Embrio mamalia berkembang dalam tubuh induknya, sehingga supply nutrisi langsung dari tubuh induk. Embrio unggas akan berkembang di luar tubuh induk yaitu di dalam telur, sehingga perkembangannya bergantung pada kandungan
27
nutrisi yang ada dalam telur tersebut, itulah sebabnya ovum unggas memiliki ukuran yang lebih besar dibanding dengan ovum mamalia. Perkembangan embrio dalam telur selama inkubasi ini sangat menarik untuk diamati, karena dalam jangka waktu yang relatif singkat (21 hari), ayam sudah dapat menetas (Campbell et al., 2003). Penelitian ini mengamati perkembangan ukuran embrio dengan membagi umur inkubasi dalam 3 bagian yang sama panjang yaitu 7 hari setiap pengamatannya atau biasa disebut dengan trimester dengan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10. Embrio pada Inkubasi Hari ke- 7 Embrio berumur 7 hari (trimester I) memiliki organ yang cukup lengkap. Paruh, sayap, dan kaki tampak jelas walaupun belum sempurna. Paruh bagian atas mulai tampak pada hari ke 6 inkubasi dan hingga hari ke- 7 masa inkubasi paruh bagian bawah belum nampak. Kerangka pembentuk jari kaki mulai tampak, namun masih belum sempurna. Pm
P W
S
Cv
a
5 mm
Cv S Pm b
Hl
W
W Hl P 5 mm
Hl P c
Cv Pm
S 5 mm
Gambar 11. Embrio pada Hari ke- 7 Inkubasi, dari Umur Induk a. 36,b. 42, dan c. 54 Minggu. Keterangan:
Panjang badan (S-P); Panjang leher (Cv); Panjang sayap (W); Panjang kaki (HI); Panjang paruh (Pm).
Hasil perkembangan embrio pada hari ke- 7 (Tabel 8) menunjukkan bahwa embrio yang berasal dari umur induk berbeda memiliki perbedaan yang nyata pada bobot tubuh panjang paruhnya, dan lingkar kepala (P<0,05), sedangkan tidak berbeda nyata pada parameter panjang badan, leher, sayap, dan kaki. Bobot embrio hari ke- 7
28
masa inkubasi dari induk berumur 42 minggu tidak berbeda nyata dengan bobot embrio yang dihasilkan oleh induk dengan umur 36 dan 54 minggu, sedangkan bobot embrio hasil dari induk berumur 36 minggu berbeda nyata dengan bobot embrio dari induk umur 54 minggu. Panjang paruh embrio dari induk berumur 54 tidak berbeda dengan embrio dari induk umur 36 dan 42 minggu, sedangkan panjang paruh embrio induk umur 36 dan 42 minggu berbeda nyata. Lingkar kepala dari induk berumur 54 tidak berbeda dengan embrio dari induk umur 36 dan 42 minggu, sedangkan lingkar kepala embrio induk umur 36 dan 42 minggu berbeda nyata. Tabel 8. Ukuran Embrio pada Hari ke- 7 Inkubasi Parameter Embrio Bobot (g) Panjang badan/ S-P (mm) Panjang leher/ Cv (mm) Panjang sayap/W (mm) Panjang kaki/ Hl (mm) Panjang paruh/ Pm (mm) Lingkar kepala (mm)
Rataan pada Umur Induk (minggu) 36 42 54 a ab 0,77 ± 0,05 0,83 ± 0,08 0,86 ± 0,06b 33,14 ± 4,72 36,38 ± 5,15 35,37 ± 3,45 10,91 ± 1,83 11,79 ± 2,22 11,72 ± 1,79 8,23 ± 0,97 9,97 ± 1,10 9,12 ± 0,7 10,47 ± 1,27 11,10 ± 1,24 11,03 ± 1,05 1,10 ± 0,29b 1,61 ± 0,39a 1,38 ± 0,30ab 26,14 ± 4,08b 30,11 ± 2,83a 28,32 ± 1,82ab
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil yang berbeda nyata ini disebabkan oleh tingkat absorbsi yolk dan pengaruh lingkungan. Nutrisi dalam sebutir telur berbeda dengan telur yang lainnya, perbedaan umur induk memiliki pengaruh terhadap kualitas telur yang dihasilkan. Induk yang berumur 36 minggu memiliki kadar lemak yang paling tinggi dan menurun seiring dengan meningkatnya umur induk. Yolk mengandung lemak-lemak yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio. Peebles et al. (2001) menyebutkan bahwa yolk sac dari telur yang dihasilkan induk lebih tua beratnya lebih besar dibandingkan dengan yolk sac dari umur induk lebih muda yang berakibat pada menurunkan tingkat absorbsi yolk dan akan menurunkan tingkat perkembangan embrio. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat, bobot embrio meningkat seiring dengan
bertambahnya
umur
induk.
Ningsih
(2012)
menjelaskan
bahwa
keterlambatan berkembang dan kematian embrio diduga karena terdapat perbedaan suhu yang diterima telur saat inkubasi pada setiap posisi telur. Suhu (Tabel 7) berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme nutrisi untuk tumbuh, semakin tinggi suhu tubuh maka semakin tinggi kecepatan metabolisme dalam tubuh embrio selama 29
suhu inkubasi masih dalam batas suhu nyaman perkembangan embrio. Induk berumur 42 minggu menghasilkan embrio dengan panjang paruh dan lingkar kepala yang lebih tinggi dibanding dengan induk berumur 36 minggu, namun induk berumur 54 minggu menghasilkan embrio yang kemampuannya sama dengan umur induk yang lain. Hal ini menunjukkan kemampuan induk umur 54 minggu mulai menurun. Panjang paruh yang berbeda disebabkan oleh perkembangannya yang baru dimulai. Paruh mulai tumbuh dan nampak pada hari ke 6 inkubasi, sehingga pada hari ke- 7 paruh masih sangat kecil yaitu ± 1 mm dan termasuk perkembangan awal. Perbedaan pertumbuhan akan sangat nampak saat awal perkembangan. Bobot embrio ayam Arab dengan umur 7 hari yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan bobot embrio berdasarkan Oluyemi dan Roberts (1979). Bobot embrio ayam Arab yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar 0,7 hingga 0,8 gram, sedangkan menurut Oluyemi dan Roberts (1979), bobot embrio hari ke- 7 adalah 0,57 gram. Perbedaan bobot yang dihasilkan disebabkan karena perbedaan bangsa ayam, pada penelitian ini digunakan ayam Arab sedangkan pada penelitian Oluyemi dan Robert (1979) merupakan ayam broiler. Embrio pada Inkubasi Hari ke- 14 Embrio berumur 14 hari telah tampak lebih sempurna dibanding dengan embrio umur 7 hari. Embrio memiliki paruh yang keras, sayap dan kaki yang sempurna, serta telah memiliki bulu (Gambar 13) Pm Hl P a
Cv
S
S
Pm
W W
W
Pm
Hl
Hl
Cv
S Cv
P 5 mm
b
P
5 mm
c
5 mm
Gambar 12. Embrio pada Hari ke- 14 Inkubasi, dari Umur Induk a. 36, b. 42, dan c. 54 Minggu. Keterangan:
Panjang badan (S-P); Panjang leher (Cv); Panjang sayap (W); Panjang kaki (HI); Panjang paruh (Pm).
30
Hasil pengamatan embrio pada inkubasi ke- 14 (Tabel 9) menunjukkan bahwa bobot embrio dari induk umur 36 dan 54 minggu tidak berbeda nyata, namun embrio induk tersebut berbeda nyata dengan embrio dari induk berumur 42 minggu. Panjang leher embrio dari induk berumur 42 minggu berbeda dengan embrio dari induk berumur 54 minggu, namun keduanya tidak berbeda dengan embrio dari induk 36 minggu. Panjang kaki embrio dari induk berumur 36 minggu berbeda dengan embrio dari induk 42 minggu, namun keduanya tidak berbeda nyata dengan embrio dari induk 54 minggu. Panjang badan, panjang sayap, panjang paruh, dan lingkar kepala tidak berbeda nyata (P<0,05). Tabel 9. Ukuran Embrio pada Hari ke- 14 Inkubasi Parameter Embrio Bobot (g) Panjang badan/ S-P (mm) Panjang leher/ Cv (mm) Panjang sayap/ W (mm) Panjang kaki/ Hl (mm) Panjang paruh/ Pm (mm) Lingkar kepala (mm)
Rataan pada Umur Induk (minggu) 36 42 54 b a 7,72 ± 0,64 9,44 ± 1,39 7,70 ± 0,73b 67,20 ± 0,50 67,90 ± 0,57 65,40 ± 0,54 ab b 20,30 ± 0,16 19,70 ± 0,19 22,50 ± 0,35a 31,50 ± 0,30 28,90 ± 1,00 24,00 ± 0,94 b a 48,50 ± 0,70 55,20 ± 0,90 50,10 ± 0,40ab 2,90 ± 0,03 3,10 ± 0,03 3,10 ± 0,04 57,70 ± 0,55 58,50 ± 0,64 56,00 ± 0,40
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Bobot embrio dari induk berumur 54 minggu dan 36 minggu lebih rendah dibanding bobot embrio dari induk berumur 42 minggu. Hal ini berhubungan dengan komposisi yolk sac dimana semakin tua umur induk semakin meningkat pula bobot yolk sac. Suhu selama inkubasi juga mempengaruhi perkembangan embrio terkait dengan kecepatan metabolisme tubuh embrio.
Embrio dari induk berumur 54
minggu memiliki bobot tubuh yang paling rendah dibanding dengan umur induk lain, dimana pada masa inkubasi ke- 7 memilik bobot tubuh yang paling tinggi. Hal ini disebabkan perkembangan yang terhambat karena penurunan suhu inkubasi yang cukup tinggi (Lampiran 32). Wisnuwati (2011) menjelaskan bahwa perkembangan embrionik lebih pada ukuran tubuh, dan kecepatan pertambahan ukuran tubuh tidak sama. Oleh karena itu, pada hari ke- 14 inkubasi perkembangan bobot embrio, panjang leher, dan panjang kaki berbeda. Parameter panjang kaki berbeda pada inkubasi hari ke- 14 karena pada hari tersebut merupakan fokus perkembangan jari-
31
jari kaki. Bobot embrio yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan bobot embrio ayam broiler umur 14 hari yaitu 0,97 gram (Oluyemi dan Robert, 1979). Embrio pada Inkubasi Hari ke- 21 Perkembangan embrio pada inkubasi hari ke- 21 dapat dikatakan perkembangan DOC, karena pengukuran dilakukan saat telur telah menetas. Tabel 10. Ukuran Embrio Hari ke- 21 Inkubasi Parameter Embrio Bobot (g) Panjang badan (mm) Panjang leher (mm) Panjang sayap (mm) Panjang kaki (mm) Panjang paruh (mm) Lingkar kepala (mm)
Rataan pada Umur Induk (minggu) 36 42 54 31,14 ± 2,27 31,17 ± 4,15 32,87 ± 3,67 91,99 ± 6,75 89,18 ± 9,01 92,23 ± 0,02 34,54 ± 5,71 35,22 ± 5,73 33,09 ± 4,96 37,48 ± 3,44 40,12 ± 6,45 42,18 ± 6,40 99,62 ± 3,74 103,01 ± 6,23 98,52 ± 3,56 4,70 ± 0,23 4,61 ± 0,44 4,61 ± 0,43 67,82 ± 8,26 65,90 ± 4,50 65,93 ± 6,33
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran DOC yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh umur induk. Ayam petelur dikhususkan untuk produksi telur yang mengakibatkan kemampuan reproduksinya tinggi, sehingga perbedaan kondisi induk dalam kasus ini adalah umur induk, akan berpengaruh terhadap perkembangan embrio dalam telur, terutama dalam sintesis protein, pembentukan otot, dan aktivitas enzim dalam tubuh embrio (Murtini, 2006), namun perkembangan akhir embrio menunjukkan tidak ada perbedaan antara DOC yang berasal dari induk berumur 36, 42 dan 54 minggu.
Suhu memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan embrio, karena tingkat metabolisme tubuh embrio sangat dipengaruhi suhu lingkungan (mesin tetas). Perkembangan bobot embrio saat minggu I (trimester I) dan minggu II (trimester II) memiliki perbedaan namun dapat mencapai hasil yang sama saat menetas dengan memanfaatkan nutrisi yang tersedia dengan optimal. Hal ini menunjukkan bahwa embrio dari induk lebih tua memiliki kecepatan perkembangan yang fluktuatif dan lebih sensitif terhadap perubahan suhu. Kecepatan perkembangan embrio yang terganggu juga disebabkan karena adanya sentuhan terhadap telur selama inkubasi. Santi (2011) menjelaskan bahwa semakin
32
sering disentuh, semakin lambat perkembangan embrio ayam. Pemutaran telur pada penelitian ini dilakukan secara manual sehingga tidak bisa meminimalkan sentuhan terhadap telur selama inkubasi. Bobot DOC yang dihasilkan yaitu ± 31 gram, lebih rendah dibanding dengan bobot DOC broiler berdasarkan Oluyemi dan Robert (1979) yaitu > 37 gram. Ayam broiler termasuk jenis ayam pedaging yang merupakan hasil seleksi ketat hingga dihasilkan ayam yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat sehingga bobot badannya dapat meningkat dengan cepat dan, sedangkan ayam Arab termasuk dalam jenis petelur yang pertumbuhannya lebih lambat. Bobot anak ayam Arab yang dihasilkan 68,34% (induk 36 minggu), 65,75% (induk 42 minggu), dan 67,05% (induk 54 minggu) dari bobot telur tetas dan merupakan persentase yang baik untuk bobot DOC. Ditjennak (2012) menjelaskan bahwa bobot DOC adalah 65% - 68% dari bobot telur tetas dan DOC yang kecil berasal dari telur tetas yang kecil dan sebaliknya DOC yang besar berasal dari telur tetas dengan ukuran yang besar. Kecepatan Perkembangan Embrio Kecepatan perkembangan embrio dapat diketahui dengan melihat selisih perkembangannya setiap minggu, yaitu dengan mengurangi perkembangan embrio di minggu tertentu dengan minggu sebelumnya. Kecepatan perkembangan embrio dari masing- masing induk yaitu induk berumur 36 minggu (Gambar 14), induk 42 minggu (Gambar 15) dan induk 54 minggu (Gambar 16) berbeda-beda.
Gambar 13. Grafik Selisih Ukuran Embrio Setiap Minggu pada Umur Induk 36 Minggu. Keterangan:
B=Bobot Embrio; PB= Panjang Badan; PL= Panjang Leher; PS= Panjang Sayap; PK= Panjang Kaki; PP= Panjang Paruh; LK= Lingkar Kepala.
33
Gambar 14. Grafik Selisih Ukuran Embrio Setiap Minggu pada Umur Induk 42 Minggu. Keterangan:
B=Bobot Embrio; PB= Panjang Badan; PL= Panjang Leher; PS= Panjang Sayap; PK= Panjang Kaki; PP= Panjang Paruh; LK= Lingkar Kepala.
Gambar 15. Grafik Selisih Ukuran Embrio Setiap Minggu pada Umur Induk 54 Minggu. Keterangan:
B=Bobot Embrio; PB= Panjang Badan; PL= Panjang Leher; PS= Panjang Sayap; PK= Panjang Kaki; PP= Panjang Paruh; LK= Lingkar Kepala
Kecepatan perkembangan embrio pada ketiga umur induk setiap minggunya bervariasi.
Embrio dari induk berumur 36 minggu memiliki kecepatan
perkembangan yang meningkat pada minggu II (Trimester II) inkubasi dan akan menurun atau semakin meningkat sesuai kebutuhan masing-masing bagian tubuh, kecuali pada parameter panjang leher yang menurun pada trimester II dan meningkat
34
pada minggu III (Trimester III). Embrio dari induk berumur 42 cenderung memiliki kecepatan yang tinggi pada minggu I (Trimester I) namun mulai menurun saat trimester II dan trimester III, yaitu pada parameter panjang badan, lingkar kepala, atau meningkat pada trimester III, yaitu pada parameter panjang leher dan panjang paruh. Embrio dari induk berumur 54 minggu memiliki kecepatan yang semakin menurun setiap minggunya, yaitu pada parameter panjang badan, panjang leher, dan lingkar kepala. Parameter dengan kecepataan perkembangan meningkat pada trimester II yaitu bobot embrio, panjang sayap, panjang kaki, dan panjang paruh. Hal tersebut berkaitan dengan waktu dan kebutuhan setiap bagian tubuh untuk mulai berkembang dan berhenti berkembang dan peristiwa itu diatur oleh gen berdasarkan pernyataan Zainatha (2012) bahwa gen bekerja sesuai perannya, secara spasial dan temporal, membentuk networking yang akan menghasilkan perkembangan khas pada setiap tahapan perkembangan mahkluk hidup. Aktivasi dan inaktivasi gen (switch ON/OFF suatu gen atau sekelompok gen) menjadi mekanisme dasar genetika molekular pembentukan organ. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan embrio lebih pesat setelah embrio berumur 10 hari (Murtini et al., 2006). Oleh karena itu, kecepatan perkembangan embrio cenderung meningkat saat mulai memasuki trimester II inkubasi, namun kecepatan perkembangan embrio ini juga bergantung pada kebutuhan masing-masing bagian tubuh, misalnya lingkar kepala. Panjang lingkar kepala cenderung meningkat lebih cepat pada trimester I dan II, karena otak berkembang dengan cepat pada awal masa perkembangan hingga mencapai puncaknya, kemudian perkembangannya melambat hingga titik maksimalnya sesuai dengan pernyataan Wisnuwati (2011) yaitu perkembangan embrionik lebih pada ukuran tubuh, dan kecepatan pertambahan ukuran tubuh tidak sama, misalnya pada saat bayi baru dilahirkan, secara proporsional kepala lebih besar dari badannya. Perkembangan selanjutnya, lengan, kaki, dan paha tumbuh lebih cepat dari kepala, sedangkan tubuh seperti tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, parameter panjang kaki lebih cepat berkembang di trimester III inkubasi. Perbedaan kecepatan perkembangan juga dipengaruhi oleh daya absorbsi nutrisi oleh yolk sac yang dipengaruhi umur induk, terlihat bahwa embrio dari umur 36 minggu memiliki perkembangan yang lebih cepat dibaning dengan embrio dari
35
induk berumur 42 dan 54 minggu. Perbedaan suhu yang diterima oleh setiap telur juga menjadi salah satu penyebab keterlambatan perkembangan embrio (Ningsih, 2012). Indikator Keberhasilan Usaha Penetasan Lama inkubasi telur ayam hingga menjadi anak ayam (Day Old Chick) yaitu 21-22 hari. Lama waktu inkubasi telur unggas bergantung pada ukuran telur dan jenis unggas. Telur yang lebih besar membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama. Inkubasi dapat dilakukan secara alami maupun buatan. Inkubasi buatan dilakukan untuk menggantikan inkubasi alami dalam menghasilkan anak ayam. Metode ini digunakan untuk meningkatkan daya tetas dan kualitas DOC yang dihasilkan dengan meminimalisir pengaruh negatif lingkungan (Jull et al., 1979). Penelitian ini menetaskan telur dari umur induk yang berbeda dengan hasil yang ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Penetasan Telur Ayam Arab dengan Umur Induk 36, 42, dan 54 Minggu Parameter Fertilitas (%) Daya tetas (%) Mortalitas (%) Viabilitas (%)
Rataan pada Umur Induk (minggu) 36 42 54 100 96 100 60 52 28 40 44 72 86,67 96,31 100
Fertilitas Persentase fertilitas telur tetas yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi yaitu 96% (induk 42 minggu) dan 100% (induk 36 dan 54 minggu) dari total telur yang diinkubasi. Fertilitas telur ayam Arab ini dapat dikatakan cukup tinggi dibandingkan hasil penelitian Ankanegara (2011) yaitu < 68,89%. Fertilitas telur tetas dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kualitas, konsentrasi, dan motilitas sprema yang digunakan (Ankanegara, 2011).
Hal ini juga terkait dengan manajemen
reproduksi yang diterapkan dalam peternakan ini yang sangat baik. Daya Tetas Daya tetas telur yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup rendah yaitu antara 60% (induk 36 minggu), 52% (induk 42 minggu) dan 28% (induk 54 minggu)
36
dibandingkan dengan daya tetas menurut Permana (2007) yang menyebutkan bahwa daya tetas telur ayam Arab adalah 93,05%. Daya tetas dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain : genetik, fertilitas, lama dan suhu penimpanan telur, suhu dan kelembaban mesin tetas, kebersihan telur, umur induk, nutrisi, penyakit, keragaman bentuk dan ukuran telur (Sulandari et al., 2007). Rendahnya daya tetas yang dihasilkan selain umur induk diduga berkaitan pula dengan suhu dan kelembaban selama inkubasi telur berlangsung (Tabel 7). Mortalitas Embrio Mortalitas embrio dari penelitian ini adalah 40% (induk 36 minggu), 44% (induk 42 minggu), dan 72 % (induk 54 minggu). Kematian embrio banyak terjadi pada periode terakhir inkubasi yaitu 3 hari terakhir masa inkubasi.
Mulyantini
(2010) menjelaskan bahwa tiga hari terakhir masa inkubasi merupakan tahap kritis. Penyebab tingginya mortalitas pada fase ini disebabkan karena waktu dan malposisi embrio, karena telur tidak diletakkan dengan rongga udara pada bagian atas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian embrio disebabkan malposisi embrio karena tipe alat tetas (hatcher), yang membuat telur tidak dapat mempertahankan posisi rongga udara tetap di bagian atas. Bentuk telur tetas yang digunakan juga mempengaruhi perkembangan embrio, dan bentuk telur tetas dipengaruhi oleh umur induk. Semakin tua umur induk dan semakin bulat telur yang digunakan maka daya tetas yang dihasilkan pun akan semakin kecil. Telur dari induk lebih tua memiliki bentuk yang lebih bulat hal ini menyulitkan anak ayam untuk pipping, sehingga sulit menetas (Ankanegara, 2011). Viabilitas Anak Ayam Viabilitas anak ayam merupakan kemampuan anak ayam untuk bertahan hidup yang dicirikan dengan kondisi fisik sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, paruh normal, tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk, tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering, pusar tertutup, kondisi bulu kering dan berkembang (Tona et al., 2004). Nilai viabilitas hasil pengamatan yaitu 86,67% (induk 36 minggu), 96,31% (induk 42 minggu), dan 100% (induk 54 minggu) berdasarkan tiga umur induk yang berbeda. Nilai ini dapat dikatakan cukup baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Permana (2005) yaitu 96,54%. Faktor-faktor
37
yang mempengaruhi viabilitas DOC antara lain: kualitas sperma, pakan, dan manajemen penetasan (Ensminger, 1992). Nilai viabilitas hasil penelitian yang baik menunjukkan bahwa manajemen pemeliharaan indukan dan pejantan memiliki kualitas yang baik. Gambar 13 menunjukkan DOC dengan viabilitas yang baik (a) dapat berdiri dengan tegak, sedangkan viabilitas yang buruk memperlihatkan DOC tidak dapat berdiri dengan tegak dan tidak dapat berjalan dengan baik.
a
5 mm
b
5 mm
c
5 mm
Gambar 16. Anak Ayam Arab (DOC), a.Viabititas Baik dan b. Viabilitas Tidak Baik dari Induk berumur a. 36, b.42 dan c. 54 Minggu Diskusi Umum Perkembangan embrio ayam Arab dari induk berumur 36 minggu lebih stabil dibanding dengan embrio dari induk yang lain, sehingga memiliki daya tetas yang lebih tinggi pula, begitu juga perkembangan somite (tulang belakang) embrio ayam arab yang optimum pada embrio dari induk 36 minggu berdasarkan hasil penelitian Ningsih (2012). berdasarkan
Hal ini menunjukkan bahwa kualitas DOC dapat diketahui
kualitas
eksterior
telur
tetas,
perkembangan
awal
(somite),
perkembangan embrio lanjutan, hingga menetas. Umur optimum induk dalam menghasilkan DOC yang berkualitas yaitu 36 minggu. Mortalitas embrio paling banyak terjadi pada periode terakhir masa inkubasi yaitu pada hari ke- 19 hingga ke- 20, bahkan pada saat menetas. Embrio yang mati pada hari ke-19 dan ke-20 dapat diketahui dari ukuran yolksac dan kondisinya yang sudah hampir memasuki perut embrio, jika dilihat dari morfologi tubuhnya, embrio sudah memiliki bentuk yang sempurna. Penyabab embrio yang mati pada hari ke- 21 adalah rendahnya kemampuan embrio untuk pipping, sehingga tidak mampu untuk menetas. Hal ini dikarenakan suhu dan kelembaban yang tidak optimal untuk perkembanagn embrio.
38