HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kondisi Umum Hasil analisis kondisi iklim lahan penelitian menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika setempat menunjukkan bahwa kondisi curah hujan, tingkat kelembaban, intensitas cahaya matahari cukup sesuai untuk kriteria pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (Tabel 1).
Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, 2010 Bulan
Curah Hujan (mm)
Kelembaban Udara (%)
Agustus
33.1
75
Intensitas Cahaya (Cal/cm2) 317
September
156.8
75
355
Oktober
415.8
82
300
November
407
84
252
Desember
258.2
85
240
Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Darmaga, Bogor 2010.
Kondisi curah hujan pada saat awal penanaman sangat rendah (bulan Agustus - September) untuk pertumbuhan vegetatif tanaman tebu, sehingga dilakukan pemberian air yang cukup intensif, namun pada bulan berikutnya curah hujan dapat menunjang pertumbuhan tanaman.
Kecepatan Tumbuh Mata Tunas Perlakuan asal kebun bibit menunjukkan pengaruh secara nyata terhadap kecepatan tumbuh mata tunas. Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Datar (KBD) menghasilkan persentase kecepatan tumbuh yang lebih besar dan hari tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit asal Kebun Tebu Giling (KTG). Perlakuan penggunaan posisi mata tunas memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakter kecepatan tumbuh. Posisi mata tunas pada batang atas dan tengah memberikan pertumbuhan mata tunas yang lebih baik
dibandingkan pada mata bagian bawah. Mata tunas pada top stek dan batang tengah memiliki persentase tumbuh per hari rata-rata sebesar 8 % dengan waktu tumbuh mata tunas yang lebih cepat yaitu tunas tumbuh pada hari ke-4, dibandingkan dengan mata tunas pada batang bawah persentase mata tunas per hari rata-rata sebesar 7 % dengan waktu tumbuh mata tunas yang lebih lambat yaitu pada hari ke-5. Kombinasi dari kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya suatu interaksi. Tabel 2. Kecepatan Tumbuh Mata Tunas pada 1 – 7 HST Perlakuan
Kecepatan Tumbuh Mata Tunas -%/etmal-
--hari--
-%/7 hari-
Asal Kebun KBD KTG
8.5a 7.37b
4.1b 4.8a
59.5 51.59
Posisi Mata Tunas Batang Atas Batang Tengah Batang Bawah
8.57a 8.2ab 7.04b
4.1b 4.3ab 5a
59.99 57.4 49.28
Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom asal kebun dan posisi mata tunas tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%.
Tinggi Tanaman Tinggi tanaman dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan asal kebun bibit. Perlakuan asal bibit tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2 MST hingga 6 MST, namun pada pertumbuhan berikutnya, pada 8 MST hingga 16 MST penggunaan asal bibit menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman asal KBD pada 2 MST hingga 16 MST selalu memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan tanaman asal kebun tebu giling. Perlakuan penggunaan posisi mata tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman tebu. Mata tunas pada batang atas selalu menghasilkan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan posisi mata tunas batang bawah pada 2 MST hingga 16 MST, namun mata tunas pada top stek tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan batang bawah (Tabel 3).
Mata tunas pada batang tengah menunjukkan adanya suatu perbedaan yang nyata dengan batang bawah pada 2, 12, 14 dan 16 MST. Kombinasi perlakuan asal kebun dan posisi mata tunas menunjukkan adanya suatu interaksi pada umur 12 MST hingga 16 MST. Penggunaan bibit dari KBD pada setiap posisi mata tunasnya, cenderung memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang relatif lebih cepat dibanding dari bibit asal KTG. Tinggi tanaman terbaik dimiliki oleh tanaman asal KBD dengan mata tunas bagian atas dan tengah. Tabel 3. Tinggi Tanaman pada 2 – 16 MST 2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
14 MST
16 MST
-------cm------Asal Kebun KBD KTG
14.38a
32.81a
56.89a
84.15a
115.54a
151.19a
186.63a
230.12a
13.77a
31.76a
54.03a
78.73b
106.52b
134.08b
162.63b
193.97b
15.21a
35.66a
59.34a
86.19a
117.32a
148.79a
179.88a
221.74a
14.97a
33.21ab
55.96ab
81.97ab
111.42ab
144a
178.51a
217.03a
12.04b
27.98b
51.08b
76.14b
104.33b
135.1b
165.52b
197.37b
Posisi Mata Tunas B. Atas B. Tengah B. Bawah
Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom asal kebun dan posisi mata tunas tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%.
Jumlah Daun Per Tanaman Perlakuan asal kebun bibit tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah daun per tanaman. Perlakuan tunggal dari penggunaan posisi mata tunas memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun per tanaman tebu. Posisi mata tunas pada batang atas atau top stek menghasilkan jumlah daun terbanyak pada 2 MST – 16 MST pengamatan dan berbeda nyata dengan perlakuan posisi mata tunas batang bawah pada 2, 6, 14 dan 16 MST, namun mata tunas pada top stek tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan mata tunas pada batang tengah. Kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya suatu interaksi.
Tabel 4. Jumlah Daun pada 2 – 16 MST Perlakuan
Jumlah Daun 2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
14 MST
16 MST
0.70
2.18
3.93
5.63
7.44
9.07
10.7
12.74
0.67
2.15
3.96
5.56
7.19
8.74
10.48
12.26
0.83a
2.39a
4.22a
5.89a
7.72a
9.44a
11.28a
13a
0.78ab
2.22a
3.94ab
5.67a
7.22a
8.83a
10.5b
12.44ab
0.44b
1.89a
3.67b
5.22a
7a
8.44a
10b
12.06b
Asal Kebun KBD KTG
Posisi Mata Tunas B. Atas B. Tengah B. Bawah
Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom asal kebun dan posisi mata tunas tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%.
Jumlah Daun pada 16 MST (cm)
13,5 13,0 12,5
12,0
Y = 9.744 + 0.01300 X
11,5
r = 0.539
R = 29 %
11,0 180
190
200
210
220
230
240
250
260
Tinggi Tanaman pada 16 MST (cm)
Gambar 4. Hubungan Tinggi Tanaman dengan Jumlah Daun pada 16 MST
Berdasarkan pada Gambar 2, terlihat bahwa hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan hubungan tinggi tanaman dengan jumlah daun pada 16 MST berbeda secara nyata, dengan nilai koefisien korelasi (r) positif sebesar 0.539, koefisien determinan 29 % dan persamaan regresinya yaitu Y = 9.74 + 0.013 X. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah daun per tanaman dengan tinggi tanaman tebu sangat erat kaitannya karena nilai koefisien korelasinya lebih dari 0.50. Nilai koefisien korelasi (r) yang bernilai positif artinya semakin tinggi peubah tinggi tanaman tebu maka semakin banyak pula jumlah
daun per tanaman tebu yang dihasilkan dan setiap perubahan dari 10 cm tinggi tanaman tebu maka jumlah daun tebu bertambah sebanyak 0.13 dengan persentase 29 % yang dapat dijelaskan dengan model. Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan dari peubah jumlah daun per tanaman tebu mengikuti pola pertumbuhan dari peubah tinggi tanamannya. Terlihat pada Tabel 3 dan 4, bahwa jumlah daun pada tanaman asal kebun bibit datar secara kuantitatif memiliki jumlah daun lebih banyak pada 2 MST hingga 16 MST dibandingkan dengan tanaman asal kebun tebu giling walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata. Begitu pula dengan mata tunas pada top stek dan batang tengah memiliki jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan mata tunas pada batang bawah. Ini sejalan dengan pola pertumbuhan dari tinggi tanaman tebu, pada tanaman asal KBD dan mata tunas pada top stek dan batang tengah memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Jumlah Anakan Jumlah anakan yang dihitung pada akhir percobaan (4 BST) menunjukkan bahwa perlakuan asal kebun bibit memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan tebu. Perlakuan bibit asal KBD menghasilkan jumlah anakan lebih banyak dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan bibit asal KTG, dengan jumlah rata-rata 12 batang, sementara perlakuan tunggal dari penggunaan posisi mata tunas tidak menunjukkan adanya suatu perbedaan yang nyata, begitu pula dengan kombinasi dari kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya suatu interaksi. Tabel 5. Jumlah Anakan pada 16 MST Perlakuan
Jumlah Anakan (Batang)
Asal Kebun KBD KTG
11.56a 9.89b
Posisi Mata Tunas Batang Atas Batang Tengah Batang Bawah
11.17 11.17 9.83
Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata pada uji BNJ Taraf 5%.
Diameter Batang Hasil pengukuran diameter batang pada 4 BST menunjukkan bahwa perlakuan asal kebun bibit dan penggunaan posisi mata tunas tidak terdapat suatu interaksi yang nyata. Pengaruh tunggal dari masing-masing perlakuan pun tidak menunjukkan adanya suatu perbedaan yang nyata. Diameter batang rata-rata berkisar antara 1,39 – 1,48 cm (Tabel 6). Tabel 6. Diameter Batang pada 16 MST Perlakuan Asal Kebun KBD KTG
Diameter Batang (cm)
Posisi Mata Tunas Batang Atas Batang Tengah Batang Bawah
1.42 1.44
1.42 1.48 1.39
Hubungan Kecepatan Tumbuh dengan Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Jumlah Anakan dan Diameter Batang Tebu Hasil analisis regresi dan korelasi pada Tabel 7, menunjukkan adanya hubungan antara kecepatan tumbuh dengan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan tebu, tetapi tidak terdapat hubungan dengan diameter batang tebu. Hubungan kecepatan tumbuh dengan tinggi tanaman tebu menunjukkan hubungan yang nyata dengan koefisien korelasi yang bernilai positif yaitu 0.812 dan nilai koefisien determinan sebesar 65.9 % dengan persamaan garis Y = 34.79 + 22.34 X. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kecepatan tumbuh dengan tinggi tanaman tebu sangat erat karena nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0.50. Artinya semakin tinggi persentase tumbuh dan semakin cepat tumbuh mata tunas tebu, maka semakin tinggi pula tinggi tanamannya, sehingga setiap penambahan 1 % kecepatan tumbuh per hari maka dapat meningkatkan tinggi tanaman sepanjang 22.3 cm. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan bahwa peubah jumlah daun dan jumlah anakan tebu dipengaruhi secara nyata oleh kecepatan tumbuh
mata tunas, dengan nilai koefisien korelasi dan determinan yang sama yaitu 0.896 dan 80,3 % dan persamaan garis linier dari masing-masing peubah tersebut yaitu Y = 8.656 + 0.4845 X dan Y = 1.899 + 1.112 X . Peubah jumlah daun per tanaman dengan jumlah anakan tebu mempunyai hubungan yang erat terhadap peubah kecepatan tumbuh mata tunas tebu dengan respon yang sama, karena nilai dari koefisien korelasinya yang lebih besar dari 0.50 dan bernilai positif. Artinya semakin besar persentase tumbuh dan semakin cepat mata tunas tebu tumbuh, maka semakin banyak pula jumlah daun dan jumlah anakan yang dimiliki tanaman tebu tersebut, dengan persentase ketepatan sebesar 80.3 %, jadi setiap perubahan 1 % dari kecepatan tumbuh per hari dapat meningkatkan jumlah daun per tanaman sebesar 0.5 dan meningkatkan jumlah anakan sebesar 1.1. Korelasi antara kecepatan tumbuh dengan diameter batang tebu tidak menunjukkan adanya suatu pengaruh yang nyata, dengan nilai koefisien korelasinya yaitu 0.316, artinya setiap penambahan persentase dari kecepatan tumbuh per harinya tidak diikuti dengan adanya penambahan diameter batang tebu secara signifikan. Hubungan antara kecepatan tumbuh dengan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan dan diameter batang tebu disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hubungan Kecepatan Tumbuh dengan Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Jumlah Anakan dan Diameter Batang Tebu Tolok Ukur
Persamaan Garis
Tinggi Tanaman
Y = 34.79 + 22.34 X
Koefisien Korelasi (r) r = 0,812*
Jumlah Daun
Y = 8.656 + 0.4845 X
r = 0.896*
80.3 %
Jumlah Anakan
Y = 1.899 + 1.112 X
r = 0.896*
80.3%
Diameter Batang
Y = 1.250 + 0.02264 X
r = 0.316tn
10 %
Keterangan : R² = koefisien determinasi (%), ** = sangat nyata pada taraf 1 %, * = nyata pada taraf 5 %, tn = tidak berbeda nyata.
R² 65.9 %
Pembahasan Sebagai titik awal pertumbuhan tanaman, kecepatan tumbuh bibit yang sedang mengalami proses perkecambahan sangat mempengaruhi keragaan pertumbuhan tebu pada tahap selanjutnya. Fase perkecambahan merupakan titik awal dari kehidupan tanaman tebu yang dapat melanjutkan pertumbuhan ke stadium selanjutnya (Kuntohartono, 1999). Effendi (1984) menyatakan bahwa perkecambahan pada tanaman tebu merupakan fase yang sangat penting peranannya
dalam
menentukan
keberhasilan
suatu
tanaman,
karena
perkecambahan yang jelek dapat dipastikan akan menghasilkan pertumbuhan yang jelek pula. Semakin besar persentase kecepatan tumbuh dan semakin cepat mata tunas tumbuh berarti waktu untuk pemecahan dormansi yang dibutuhkan bibit semakin singkat. Bibit asal kebun bibit datar memiliki persentase kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dan waktu mata tunas tebu tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit asal kebun tebu giling. Hal ini menunjukkan bahwa bibit asal kebun bibit datar memberikan kontribusi atau respon yang baik terhadap kecepatan tumbuh dari mata tunas tebu, karena bibit yang digunakan dari kebun bibit datar cenderung masih dalam kondisi tanaman yang optimal dan muda (6 – 8 bulan) untuk melakukan proses dormansi yang lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari kebun tebu giling yang cenderung kondisi bibitnya telah melalui proses kematangan secara fisiologis. Menurut Sastrowijono (1997), bibit yang bermutu harus memiliki persyaratan umur bibit yang dipilih antara 6 – 8 bulan, karena pada kondisi ini bibit memiliki nilai penangkaran yang baik, dan bibit tebu yang masih muda banyak mengandung air, sebaliknya bibit tebu yang sudah terlampau tua memiliki pertumbuhan mata tunas yang lambat bahkan kemungkinan mata tunas tidak tumbuh. Posisi mata tunas pada batang tebu bagian atas dan batang tengah memiliki persentase kecepatan tumbuh lebih tinggi dan waktu mata tunas tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan mata tunas pada batang bagian bawah (Tabel 2). Mata tunas pada batang atas dilindungi oleh seludang daun yang relatif muda, sedangkan mata tunas pada batang bawah dilindungi daun-daun roset yang tersusun dari sel-sel yang sudah tua dalam jaringan yang keras. Lapisan pelindung
mata tunas yang sangat keras pada stek menyebabkan dormansi, plumula sulit atau bahkan gagal menembusnya. Kondisi ini juga disebabkan karena pada mata tunas bagian atas kandungan auksin dan nitrogen yang berada pada stek tersebut masih relatif tinggi, sehingga mampu merangsang pemecahan dormansi yang lebih cepat, sebaliknya pada mata tunas bagian bawah kandungan auksin dan nitrogen dari stek bibit sangat rendah sehingga dapat menyebabkan mata tunas bibit sulit untuk tumbuh. Menurut King dalam Utoyo (2001) menyatakan bahwa bahan tanaman yang berasal dari batang atas memiliki kecepatan tumbuh yang lebih tinggi daripada bahan dari bagian bawah batang disebabkan oleh kandungan nitrogen pada batang atas lebih tinggi. Barnes dalam Utoyo (2001), menambahkan bahwa mata tunas yang berada pada posisi lebih atas bagian batang (tengah - atas) tebu lebih mudah tumbuh dibandingkan dengan mata tunas yang berada di bawah, selain disebabkan sifat dormansi pucuk, juga disebabkan adanya seludang daun yang melindunginya sehingga mampu melestarikan daya tumbuhnya. Karakter tinggi tanaman pada tebu merupakan salah satu indikator dari hasil produksi tebu, karena berkaitan dengan bobot batang tebu. Batang tebu merupakan bagian terpenting dalam produksi gula karena mengandung nira, pada batang tebu mengandung jaringan parenkim berdinding tebal yang banyak mengandung cairan (Disbunjabar, 2008). Perlakuan asal bibit dan penggunaan posisi mata tunas memberikan perbedaan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman tebu. Kedua perlakuan tersebut menunjukkan adanya suatu interaksi nyata terhadap tinggi tanaman tebu. Tinggi tanaman tebu terbaik dimiliki oleh tanaman asal kebun bibit datar dengan posisi mata bagian atas dan tengah. Pada Tabel 3, terlihat bahwa tinggi tanaman tebu dari tanaman asal kebun bibit datar dan posisi mata pada batang atas menghasilkan tinggi tanaman paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain, namun mata tunas pada top stek tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap mata tunas pada batang tengah. Menurut Umarjono dan Samoedi (1993), bahwa penggunaan bibit yang berasal dari kebun bibit datar (KBD) memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan tanaman tebu dan tingkat produktivitas tanaman terutama pada rendemen tebu. Menurut Utoyo (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tinggi tanaman sejak 3 MST hingga 15 MST dipengaruhi secara nyata oleh jenis stek, nilai yang dicapai
oleh top stek selalu lebih tinggi dibandingkan dengan batang bawah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit dari kebun bibit datar dengan mata tunas bagian atas batang dan tengah dapat meningkatkan tinggi tanaman tebu. Peubah tinggi tanaman memiliki nilai koefisien korelasi dan determinasi yang bernilai positif yaitu 0.812 dan 65.9 %, artinya peubah tinggi tanaman mempunyai hubungan yang erat dan respon yang baik terhadap pertumbuhan dari kecepatan tumbuh mata tunasnya, sehingga semakin tinggi persentase kecepatan tumbuh dan semakin cepat mata tunas tebu tumbuh maka semakin tinggi pula tinggi tanaman tersebut. Penggunaan bibit dari batang atas memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun per tanaman tebu. Mata tunas pada batang atas selalu memiliki jumlah daun lebih banyak daripada tanaman asal batang bawah pada umur 2, 6, 14 dan 16 MST, namun mata tunas pada batang atas tidak berbeda nyata dengan batang tengah. Kecepatan pertumbuhan daun pada bibit tebu yang lebih muda, lebih cepat bertambah dibandingkan dengan bibit tebu yang telah masak (Disbunjatim, 2008). Berdasarkan analisis regresi dan korelasi pada Gambar 1 menunjukkan bahwa tolok ukur jumlah daun mengikuti pola dari tinggi tanaman karena memiliki nilai koefisien korelasi yang bernilai positif dan mempunyai hubungan yang erat karena nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0.50 yaitu 0.539, artinya semakin tinggi tanaman tebu semakin banyak pula jumlah daun tanaman tebu tersebut. Penggunaan bibit dari kebun bibit datar secara nyata berpengaruh terhadap jumlah anakan tebu yang dihasilkan. Tanaman asal kebun bibit datar memiliki jumlah anakan lebih banyak dan berbeda nyata dari tanaman asal kebun tebu giling dengan jumlah rata-rata 12 batang. Secara kuantitatif jumlah anakan pada tanaman tebu dari bibit asal batang atas dan batang tengah lebih banyak dari pada bibit asal batang bawah dengan jumlah anakan rata-rata 11 batang. Menurut Utoyo (2001), menjelaskan bahwa jumlah anakan dipengaruhi secara nyata oleh jenis stek dan pada 14 MST tanaman asal batang atas memiliki rata-rata jumlah anakan lebih banyak dibandingkan dengan tanaman asal batang bawah. Hasil analisis regresi dan korelasi dari jumlah anakan tebu dipengaruhi secara nyata oleh peubah kecepatan tumbuh dengan nilai koefisien korelasi yang positif,
artinya setiap perubahan persentase kecepatan tumbuh per harinya dan semakin cepat mata tunas tebu tumbuh dapat meningkatkan jumlah anakan tebu yang dihasilkannya. Perlakuan asal bibit dan penggunaan posisi mata tunas tidak memberikan perbedaan pengaruh yang nyata terhadap diameter batang. Kombinasi kedua perlakuan tersebut juga tidak menunjukkan adanya suatu interaksi. Hal ini disebabkan karena untuk peubah diameter batang fase pertumbuhannya masih relatif lebih panjang hingga umur tanaman mencapai fase kemasakan yaitu pada umur 9 BST, sedangkan umur tanaman yang diamati ini hanya sampai pada umur 4 BST sehingga diameter batang tebu yang terbentuk belum bisa menunjukkan perbedaan pertumbuhan secara signifikan dari setiap perlakuan. Menurut Disbunjatim (2008), Fase pertumbuhan pemanjangan dan pembesaran batang terjadi pada umur tebu antara 3 - 9 bulan, hal ini terkait dengan perubahan fisik tanaman yang terjadi begitu cepat dan dapat menghasilkan biomasa setiap periode waktu yang sangat cepat.