HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama TDTLA Pedaging Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang sama. Rendemen tepung daging-tulang leher ayam yang diperoleh pada penelitian ini adalah 21,35 %. Hasil analisis kandungan gizi tepung daging-tulang leher ayam pedaging menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki kandungan protein sebesar 56,08 % dan lemak sebesar 18,31 %. Kandungan gizi tepung daging-tulang leher ayam pedaging yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging Komposisi
Kadar1)
SNI Tepung Ikan
2)
---------------------------------%-----------------------------Air
6,92
< 10
Lemak
18,31
<8
Protein
56,08
> 65
Abu
17,30
< 20
Kalsium
6,24
2,5-5,0
Fosfor
1,36
1,6-3,2
Karbohidrat
1,39
< 1,5
Sumber : 1) Fathirunnisa (2009) 2) Dewan Standarisasi Nasional 01-2175-1992
Berdasarkan Tabel 5, selain memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, tepung daging-tulang leher ayam juga memiliki peluang sebagai sumber mineral kalsium dan fosfor. Daging-tulang leher ayam dapat memberikan peranan dalam meningkatkan nilai gizi produk pangan melalui kandungan protein dan mineral yang terkandung di dalamnya. Suatu hal yang perlu diperhatikan yaitu tingginya kandungan protein dapat menyebabkan derajat gelatinisasi pati rendah sehingga pengembangan snack menjadi rendah atau tidak mengembang (Muchtadi et al., 1988). Protein yang dihidrolisis dengan enzim akan menghasilkan produk bertekstur yang integritas strukturnya mudah lepas bila dipanaskan. Hal tersebut menunjukkan adanya efek yang merugikan bagi tekstur suatu produk yang ukuran molekulnya
27
diperkecil. Selama proses ekstrusi, granula pati pecah dan mengalami gelatinisasi. Penambahan air selama proses mengakibatkan partikel pati membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa berdifusi ke luar disebabkan
oleh
pengaruh
panas.
Peningkatan
konsentrasi
protein
akan
memperbanyak ikatan silang dengan molekul amilosa dan amilopektin sehingga pati yang tergelatinisasi rendah. Berdasarkan Tabel 5. kadar protein tepung daging tulang leher ayam masih di bawah persyaratan SNI 01-2175-1992 yaitu kurang dari 65%. Penelitian Tahap Kedua Penelitian tahap kedua dimulai dengan pembuatan snack ekstrusi dengan perlakuan penambahan TDTLA Pedaging sebanyak 0%, 10%, 20% dan 30% dari jumlah grits jagung (F1, F2, F3 dan F4) selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik. Sifat Fisik Snack Ekstrusi Penelitian tahap kedua dilakukan pengujian sifat fisik produk snack ekstrusi dengan penambahan tepung tulang leher ayam meliputi derajat gelatinisasi, derajat pengembangan, indeks penyerapan air, indeks kelarutan air dan kekerasan. Sebagai pembanding digunakan snack yang ada di pasaran dan sudah diterima oleh konsumen secara luas (Cheetos) dengan sifat fisik seperti yang tertera pada Tabel 7. Tabel 7 . Sifat Fisik Snack “Cheetos” Sifat Fisik Snack ” Cheetos” Derajat Gelatinisasi (%) Kekerasan (gf) Indeks Kelarutan Air (g/ml) Indeks Penyerapan Air (ml/g) Sumber: Pitriawati,2008
Rataan dan Standard Deviasi 59,029 ± 0,29 1375 ± 139,19 0,02 ± 0,00 3,78 ± 0,08
Hasil analisis sifat fisik produk snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sifat Fisik Produk Snack Ekstrusi Peubah Perlakuan F1 F2 F3 b
131,67±6,05
a
113,43±16,72
F4 a
107,21±7,56a
Derajat Gelatinisasi (%)
173,33± 7,76
Kekerasan (gf)
290,28±38,98a
741,94±114,63b 1293,06±80,03d
Derajat Pengembangan(%)
315,07±17,09b
206,60±7,43ab
Indeks Kelarutan Air (g/ml)
0,03± 0,00c
0,023± 0,00b
0,015± 0,00ab
0,011± 0,00a
Indeks Penyerapan Air (ml/g)
4,46± 1,05
4,39± 0,29
4,55± 0,11
4,71±0,15
116,09±2,76ab
1013,33±57,93c 110,17±6,01a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
28
Derajat Gelatinisasi. Menurut Wooton et al., (1971) Derajat gelatinisasi merupakan rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati. Derajat gelatinisasi perlu diketahui karena gelatinisasi adalah proses penting yang terjadi pada pati saat diekstrusi. Hasil derajat gelatinisasi snack berkisar antara 107,21% sampai 173,33%. Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang leher ayam berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi produk ekstrusi (P<0,05). Uji Tukey menunjukkan bahwa F2 – F4 menghasilkan derajat gelatinisasi yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan tanpa penambahan TDTLA Pedaging (F1). Penambahan tepung daging tulang leher ayam pedaging menurunkan derajat gelatinisasi produk snack ekstrusi. Penambahan tepung daging tulang leher ayam dapat meningkatkan nilai kadar protein dan lemak sehingga lemak akan diselubungi butiran pati (kompleks amilosa-lipid) dan menghambat jumlah air yang diserap oleh pati, dengan demikian nilai derajat gelatinisasi semakin kecil atau menurun (Harper, 1981). Dalam hal ini lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit menghasilkan gelatinisasi yang rendah (Collison ,1968 dalam Polina, 1995). Menurut Harper (1981) molekul-molekul besar protein yang terbuka akibat perlakuan panas akan membentuk suatu jaringan yang kompak. Jaringan yang kompak tersebut berupa matriks seperti serat matriks tersebut akan menghambat penetrasi panas dan air ke dalam pati (Noguchi et. al., 1981) Derajat gelatinisasi produk snack ekstrusi hasil penelitian sebesar 131,41% lebih besar dibandingkan dengan derajat gelatinisasi snack ekstrusi komersial Chetoos (59,03%). Kekerasan. Kekerasan adalah salah satu kriteria mutu yang selalu diperhatikan oleh konsumen. Pengukuran kekerasan dengan menggunakan rheoner menunjukkan bahwa nilai kekerasan produk snack ekstrusi hasil penelitian sebesar 290,28 gram force (gf). Semakin tinggi nilai kekerasan maka semakin keras teksturnya dan bersifat kurang renyah bila dibandingkan dengan produk yang memiliki kekerasan yang lebih rendah. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang leher ayam berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan (P<0,05). Penambahan TDTLA Pedaging pada F2-F4 menghasilkan kekerasan snack yang lebih besar dan
29
berbeda nyata dengan nilai kekerasan produk snack ekstrusi tanpa penambahan TDTLA Pedaging. Kekerasan
snack
berhubungan
dengan
derajat
gelatinisasi,
derajat
pengembangan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Indeks kelarutan air yang tinggi akan menurunkan kekerasan snack sehingga snack menjadi mudah hancur (tidak keras). Derajat gelatinisasi yang tinggi menyebabkan derajat pengembangan tinggi, sehingga akan menurunkan kekerasan (Muchtadi et al., 1988) namun pada produk snack yang ditambah tepung tulang leher ayam derajat gelatinisasi pati yang rendah sehingga derajat pengembangan rendah dan kekerasan pun menjadi tinggi. Hal ini disebabkan oleh lemak yang ada pada tepung tulang leher ayam. Lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Menurut Collison (1968) dalam Polina (1995), penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah sehingga produk menjadi keras dikarenakan banyaknya lemak yang berikatan dengan amilosa sehingga lemak bebas yang tidak membentuk kompleks sedikit. Derajat Pengembangan. Derajat pengembangan snack berkaitan dengan aspek ekonomis dan penampilan umum snack. Nilai derajat pengembangan produk pada snack ekstrusi dengan penambahan TDTLA berkisar antara 110,17 % sampai 315,07%. Hasil uji Kruskal –Wallis menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang leher ayam berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan (P<0,05). Hasil uji perbandingan rataan ranking menunjukkan bahwa derajat pengembangan pada F1 berbeda nyata terhadap derajat pengembangan pada F2 – F4 dan penambahan tepung tulang leher ayam dengan konsentrasi 10-30% menyebabkan derajat pengembangan yang lebih rendah. Derajat pengembangan dipengaruhi oleh jumlah pati yang terdapat dalam bahan baku. Jumlah pati erat hubungannya dengan jumlah pati yang tergelatinisasi. Besar kecilnya derajat pengembangan produk ekstrusi ditentukan oleh banyak sedikitnya pati yang tergelatinisasi (Harper, 1981).
Derajat pengembangan
cenderung mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung tulang leher ayam. Hal tersebut disebabkan kadar lemak dan protein yang meningkat. Lemak yang bersifat nonpolar dapat membentuk kompleks heliks dengan amilosa di 30
dalam pati sehingga menghambat pengembangan granula dan menurunkan derajat pengembangan (Harper, 1981) dan dapat menurunkan kekuatan dari gesekan yang dapat dihasilkan dari screw dengan bahan dan barel (Wianecki, 2007) Terbentuknya asam lemak dan pati selama proses dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi. Mekanisme penghambatannya menurut Collison (1968) dalam Polina (1995) adalah lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah. Pengaruh lemak sangat kompleks tergantung jenis lemak, jumlahnya keseimbangan ”hidrofilik-lipofilik” dari bahan baku yang digunakan, demikian pula bila lemak bersatu dengan ingredien lain berupa terbentuknya ikatan lemak-pati dan atau ikatan lemak-pati protein (Izzo dan Ho, 1989) juga akan mempengaruhi proses puffing, yaitu menurunkan ekspansi produk (Mercier et. al., 1975). Indeks Kelarutan Air. Indeks kelarutan air menunjukkan jumlah partikel yang dapat larut dalam air. Indeks kelarutan air produk snack ekstrusi (F1-F4) berkisar antara 0,011 g/ml sampai 0,031 g/ml. Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan indeks kelarutan air pada produk snack ekstrusi dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh penambahan tepung tulang leher ayam. Menurunnya indeks kelarutan air pada snack ekstrusi dengan penambahan tepung tulang leher ayam karena kandungan protein dari tepung daging tulang leher ayam pedaging (TDTLA Pedaging) yang ditambahkan cukup tinggi. Adanya suhu dan tekanan yang tinggi dalam ekstruder mengakibatkan ikatan intramolekul pada protein pecah sehingga protein terdenaturasi (Anonymous, 1993). Denaturasi protein adalah modifikasi konformasi struktur, tersier dan kuartener. Denaturasi merupakan fenomena terbentuknya konformasi baru dari struktur yang telah ada. Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan (Fennema, 1985). Pati, protein dan lemak setelah proses ekstrusi juga akan terdegradasi menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Amilopektin akan mengalami degradasi yang paling besar selama proses ekstrusi. Semakin banyak molekul-molekul kecil akan berpengaruh dalam kelarutan air (Melianawati, 1998). Indeks kelarutan air snack dengan penambahan tepung tulang leher ayam pada taraf 10% memiliki nilai lebih
31
tinggi dibandingkan dengan indeks kelarutan air pada snack ekstrusi komersial ”Cheetos” (0,02 g/ml). Indeks Penyerapan Air (IPA). Indeks penyerapan air adalah jumlah air maksimum yang dapat diikat oleh produk snack ekstrusi. Indeks penyerapan air dapat mempengaruhi kelengketan snack yang akhirnya akan mempengaruhi penilaian konsumen. Indeks penyerapan air pada produk snack ekstrusi dengan penambahan tepung tulang leher ayam berkisar antara 4,39 ml/gram sampai 4,71 ml/gram. Data dari indeks penyerapan air diolah dengan menggunakan uji Kruskal –Wallis, karena data ini tidak memenuhi asumsi yaitu galat tidak bebas dan tidak menyebar normal. Penambahan tepung tulang leher ayam pedaging tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap indeks penyerapan air. Hasil dari IPA menunjukkan bahwa rataan umum dari indeks penyerapan air produk snack ekstrusi adalah 4,53. Nilai tersebut menunjukkan bahwa air sebanyak 4,53 ml dapat diserap oleh 1 gram produk. Nilai indeks penyerapan air pada berbagai konsentrasi produk snack ekstrusi hasil penelitian berkisar antara 4,39 sampai 4,71. Kandungan amilosa dan amilopektin berhubungan dengan daya serap air (daya rehidrasi). Daya rehidrasi produk-produk berpati sangat ditentukan oleh kandungan amilosanya (Kearsley dan Dziedzic, 1995) kandungan amilosa berkaitan dengan jumlah gugus-gugus hidrofilik yang memiliki kemampuan menyerap air lebih besar. Penambahan TDTLA Pedaging tidak berpengaruh terhadap nilai indeks penyerapan air karena jumlah grits jagung yang digunakan pada produk snack ekstrusi jumlahnya sama pada semua perlakuan sehingga kandungan amilosa dan amilopektin yang terkait erat dengan daya serap air jumlahnya juga sama.
32
Penilaian Sensori Metode uji sensori yang digunakan pada penelitian ini adalah uji hedonik dan uji mutu hedonik (uji skoring). Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik dan uji mutu hedonik dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Hasil Uji Hedonik terhadap Produk Snack Ekstrusi Perlakuan Peubah F1 F2 F3 Warna 3,52±0,73c 2,96±0,73b 2,78±0,71ba Aroma 3,32±0,82b 2,80±0,78a 2,82±0,89ab Rasa 3,06±0,79 2,76±0,71 2,90±0,86 c bc Kerenyahan 3,36±0,80 2,94±0,89 2,38±0,88a Kelengketan 3,50±0,73c 2,98±0,79b 2,48±0.84ba
F4 2,42±0,64a 2,64±0,80a 2,84±0,91 2,60±1,01ab 2,36±0,92a
Keterangan:1) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) 2) 1 = sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak suka, 4= suka, 5= sangat suka
Tabel 10. Hasil Uji Mutu Hedonik terhadap Produk Snack Ekstrusi Perlakuan Peubah F1 F2 F3 F4 b ab a Warna Kuning 5,67±2,11 4,13±1,67 3,83±1,88 3,20±2,07 a Aroma Ayam 3,97±1,81 4,43±1,75 4,76±2,18 5,10±2,59 Rasa Enak 5,43±1,92 4,88±1,87 5,00 ±1,96 4,68±1,96 Kerenyahan 6,36±2,12b 5,20±1,88ab 4,00±1,91a 4,30±2,33a a ab bc Kelengketan 4,80±2,01 6,20±1,73 7,63±1,88 7,67±1,91c Keterangan: 1) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) 2) Angka 1 menunjukkan warna tidak kuning (mengarah ke warna coklat), tidak aroma ayam, rasa tidak enak, tidak renyah, lengket di mulut dan gigi. Angka 10 menunjukkan warna sangat kuning, aroma ayam sangat kuat, rasa sangat enak, sangat renyah, sangat tidak lengket di mulut dan gigi.
Warna. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis kesukaan panelis terhadap warna produk snack ekstrusi dipengaruhi secara nyata (P< 0,05) oleh perlakuan penambahan TDTLA Pedaging. Warna yang lebih kuning pada produk snack ekstrusi tanpa penambahan TDTLA Pedaging lebih disukai dari pada produk snack ekstrusi dengan penambahan TDTLA Pedaging. Produk snack ekstrusi tanpa penambahan TDTLA Pedaging (F1) mempunyai tingkat kesukaan sebesar 3,52 yang berarti panelis suka sedangkan adanya penambahan TDTLA Pedaging 10-30% hanya menghasilkan tingkat kesukaan antara 2,42-2,96 yang berarti pada kisaran antara tidak suka untuk F4 dan agak suka untuk F2 dan F3. Hasil penilaian mutu hedonik dengan uji skoring terhadap warna kuning produk snack ekstrusi menunjukkan warna yang semakin gelap (kecoklatan) seiring
33
dengan peningkatan penambahan TDTLA Pedaging pada taraf 20-30% (F3-F4). Penambahan TDTLA Pedaging menghasilkan tingkat warna tidak kuning (lebih mengarah ke coklat), sedangkan penambahan pada taraf 10% (F2) menghasilkan tingkat warna yang agak kuning dan tanpa penambahan TDTLA Pedaging berwarna kuning. Panelis lebih menyukai warna snack yang berwarna kuning dibandingkan snack yang berwarna kecoklatan (tidak berwarna kuning). Warna kuning lebih menarik sedangkan warna kecoklatan kurang disukai karena warnanya gelap dan mirip dengan pelet makanan ternak. Peningkatan jumlah TDTLA Pedaging menyebabkan warna kuning dari produk snack ekstrusi menjadi semakin berkurang dan mengarah ke coklat. Hal ini disebabkan karena TDTLA Pedaging yang ditambahkan berwarna coklat sehingga semakin banyak TDTLA Pedaging yang ditambahkan maka warnanya akan semakin coklat. Warna coklat dari produk snack ekstrusi dapat juga disebabkan oleh adanya reaksi Maillard yang merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan asam-asam amino (Winarno, 1992) 6.0
mutu hedonik warna
5.5
y = -2,412 +2,267 x R2 = 0,98
5.0 4.5 4.0 3.5
3.0 2.50
2.75
3.00 uji hedonik warna
3.25
3.50
Gambar 9. Grafik Hubungan Nilai Hedonik dan Mutu Hedonik dari Warna Produk Snack Ekstrusi
34
Tingkat kesukaan panelis terhadap warna snack ekstrusi dan mutu warna kuning ternyata berkorelasi positif secara linier dengan persamaan y = 2,412+2,267x. Semakin kuning warnanya semakin disukai panelis. Keragaman dari nilai mutu hedonik warna produk snack ekstrusi sebesar 98 % disebabkan oleh nilai hedonik terhadap warna produk snack ekstrusi yang sangat bervariasi. Aroma. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap aroma dipengaruhi secara nyata (P < 0,05) oleh perlakuan penambahan tepung daging tulang leher ayam pada produk snack ekstrusi. Tingkat kesukaan terhadap aroma produk snack ekstrusi berkisar antara 2,64 – 3,32 (agak suka). Produk dengan penambahan tepung tulang leher ayam pedaging pada konsentrasi 1030% (F2-F4) mempunyai tingkat kesukaan yang sama dan lebih kecil, berbeda nyata dengan produk snack ekstrusi tanpa penambahan tepung tulang leher ayam 0% (F1). Hal tersebut dapat dikarenakan proses pemanasan menghasilkan aroma bau dari lemak, daging, dan tulang ayam yang membentuk bau dengan sensasi khas yang kurang disukai. Reaksi Maillard menghasilkan senyawa bau yang khas dan reaksi ini merupakan reaksi utama pembentuk flavour dan aroma pada berbagai jenis makanan. Menurut deMan (1997) reaksi urai Stecker asam α- amino merupakan reaksi yang berperan dalam pembentukan senyawa bau-rasa. Senyawa dikarbonil yang terbentuk akan bereaksi dengan asam α- amino. Asam amino diubah menjadi aldehida dengan atom karbon yang kurang satu. 5.2
mutu hedonik aroma
5.0 y = 8,915 - 1,502 x R2 = 0,84
4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 2.6
2.7
2.8
2.9
3.0 3.1 hedonik aroma
3.2
3.3
3.4
Gambar 10. Grafik Hubungan Nilai Hedonik dan Mutu Hedonik dari Aroma Produk Snack Ekstrusi 35
Dari Gambar 10 dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma snack berkorelasi negatif dengan mutu aromanya. Semakin kuat aroma ayamnya semakin rendah nilai hedoniknya atau dengan perkataan lain, semakin tidak disukai. Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai mutu hedonik aroma produk snack ekstrusi berkorelasi negatif dengan garis linear y = 8,915 - 1,502 x. Keragaman dari nilai mutu hedonik terhadap aroma produk snack ekstrusi sebesar 84 % disebabkan oleh nilai hedonik aroma produk snack ekstrusi yang sangat variatif. Penambahan TDTLA Pedaging dari 0-30 % (F1-F4) tidak berpengaruh terhadap aroma ayam (P>0,05). Tingkat aroma ayam pada produk snack ekstrusi sebesar 5,1 (ada sedikit aroma ayam) . Bau-bauan atau aroma baru dapat dikenali apabila berbentuk uap dan moleku-molekul komponen aroma tesebut harus sempat menyentuh silia olfaktori. Adanya penerima (reseptor) khas dalam olfaktori akan menangkap molekul senyawa bau yang bentuk dan ukurannya cocok, sehingga timbul impuls yang menyatakan mutu aroma tersebut (Winarno, 1992). Campuran bau yang muncul akibat prosesing terhadap TDTLA pedaging bercampur dengan bau jagung ternyata menghasilkan aroma yang kurang disukai. Mungkin juga karena panelis kurang familiar dengan aroma tersebut. Rasa. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa kesukaan terhadap rasa tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh perlakuan penambahan tepung daging tulang leher ayam pada produk snack ekstrusi. Penambahan tepung tulang leher ayam pedaging pada taraf 20-30% (F2-F4) menghasilkan tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung tulang leher ayam pada taraf 10% (F2), namun secara keseluruhan sama nilai kesukaan terhadap rasa pada produk snack ekstrusi yang paling tinggi adalah produk dengan tanpa penambahan TDTLA Pedaging (F1) yaitu sebesar 3,06±0,79 atau agak suka. Penambahan tepung tulang leher ayam pedaging tidak mempengaruhi rasa enak pada produk snack ekstrusi secara nyata (P>0,05). Nilai rasa enak paling tinggi terdapat pada produk snack ekstrusi tanpa penambahan tepung tulang leher ayam. Rasa produk snack ekstrusi berkisar antara agak enak (4,68) sampai enak (5,43). Walaupun nilai uji skoring menunjukkan snack tersebut enak tetapi uji hedonik menunjukkan tidak disukai oleh panelis. Hal ini berhubungan dengan rasa dari tepung tulang leher yang kurang enak dan agak amis. Ada dugaan sebagian
36
panelis tidak menyukai rasa dari produk tersebut karena sudah terpengaruh lebih dulu oleh bentuk dari produk snack ekstrusi yang menyerupai pellet makanan ternak terutama hasil F4 (TDTLA Pedaging 30%) sehingga mempengaruhi kesukaan panelis terhadap rasa produk snack ekstrusi. Kerenyahan. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang leher ayam pedaging pada produk snack ekstrusi berpengaruh nyata (P<0,05) pada kesukaan terhadap kerenyahan. Penambahan tepung tulang leher ayam pada taraf 10-30 % (F2-F4) tingkat kesukaan terhadap kerenyahan yang lebih kecil dan pada taraf 20-30% (F3-F4) memiliki tingkat kesukaan yang sama dan berbeda dengan snack tanpa TDTLA Pedaging (F1) memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi. kesukaan panelis terhadap kerenyahan snack berkisar 2,38 (tidak suka) – 3,36 (agak suka). Uji Kruskal –Wallis pada uji mutu hedonik terhadap kerenyahan juga menunjukkan penambahan tepung tulang leher ayam berpengaruh nyata terhadap kerenyahan. Peningkatan tepung tulang leher ayam mengakibatkan kecenderungan penurunan kerenyahan. Snack yang sudah dihasilkan secara umum memiliki tingkat mutu kerenyahan sebesar 4,97 ± 0,92 (agak renyah). Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang ada pada tepung tulang leher ayam cukup tinggi sehingga menyebabkan produk ini tidak terlalu keras. 6 .5
mutu hedonik kereny ahan
6 .0 y = - 1 ,9 9 4 + 2 ,4 6 8 x R 2 = 0 ,9 8 5 .5
5 .0
4 .5
4 .0 2 .5 0
2 .7 5 3 .0 0 h e d o n ik ke r e n y a h a n
3 .2 5
3 .5 0
Gambar 11. Grafik Hubungan Nilai Hedonik dan Mutu Hedonik dari Kerenyahan Produk Snack Ekstrusi Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kesukaan panelis terhadap kerenyahan snack dan uji mutu hedonik memiliki hubungan (berkorelasi) positif dengan mutu
37
kerenyahan. Semakin renyah semakin tinggi pula tingkat kesukaannya. Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai hedonik dan mutu hedonik kerenyahan produk snack ekstrusi berkorelasi positif dengan garis linear y = 1,994+ 2,468 x. Keragaman dari nilai mutu hedonik kerenyahan produk snack ekstrusi sebesar 98 % disebabkan oleh nilai hedonik kerenyahan produk snack ekstrusi. Produk snack ekstrusi dengan penambahan tepung tulang leher ayam pada taraf 10% adalah produk ekstrusi dengan kerenyahan yang ”agak disukai” karena produk agak renyah. Kebanyakan panelis menyukai tekstur snack yang renyah, karena bunyi yang ditimbulkan ketika mengunyah makanan yang renyah menghasilkan sensasi rasa menyenangkan,selain itu energi yang digunakan untuk mengunyah lebih kecil dibandingkan snack bertekstur keras. Kelengketan. Penambahan tepung daging tulang leher ayam mempengaruhi secara nyata kesukaan panelis terhadap kelengketan produk ekstrusi. Penambahan tepung tulang leher ayam pedaging taraf 10-30% (F2-F4) menghasilkan tingkat kesukaan yang sama dan lebih kecil dibandingkan snack tanpa penambahan TDTLA Pedaging 0% (F1) yang memiliki tingkat kesukaan yang tinggi. Penambahan tepung tulang leher ayam mempengaruhi secara nyata terhadap kelengketan (P<0.05). Kelengketan produk berhubungan dengan nilai indeks penyerapan air. IPA yang semakin rendah menyebabkan produk tidak lengket di mulut pada saat dikunyah. Hal tersebut terjadi karena gaya adhesi antara air liur dengan produk juga semakin rendah. Kelengketan produk berdasarkan penilaian panelis menunjukkan rataan umum 4,175 (agak lengket). Panelis lebih menyukai snack yang tidak lengket. Penambahan TDTLA Pedaging dapat mengurangi kelengketan dalam mulut namun tingkat kelengketannya masih cukup tinggi sehingga rata-rata panelis mengatakan tidak suka selain itu campuran TDTLA Pedaging pada snack ekstrusi menimbulkan rasa kering pada tenggorokan sehingga panelis kurang menyukai produk snack ekstrusi tersebut.
38
8.0
mutu hedonik kelengketan
7.5
y = 13.97 - 2.613 x R2 = 0,99
7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 2.50
2.75 3.00 hedonik kelengketan
3.25
3.50
Gambar 12. Grafik Hubungan Nilai Hedonik dan Mutu Hedonik dari Kelengketan Produk Snack Ekstrusi Kesukaan panelis terhadap kelengketan produk ketika dikunyah dalam mulut memiliki korelasi negatif dengan mutu kerenyahannya dengan persamaan y = 13,97 2,613 x. Keragaman dari nilai mutu hedonik kelengketan produk snack ekstrusi sebesar 99 % disebabkan oleh nilai hedonik kelengketan produk snack ekstrusi. Hal tersebut disebabkan oleh panelis kurang menyukai kelengketan dari produk snack ekstrusi yang menimbulkan rasa kering di dalam tenggorokan.
39