HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor Instalasi karantina hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi karantina hewan harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana.
Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran
hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Kontruksi bangunan instalasi harus kuat dan memenuhi persyaratan sehingga dapat menjamin keamanan media pembawa, petugas ataupun pekerja. IKH harus dilengkapi dengan sarana penunjang yang mudah dibersihkan dan disucihamakan serta memiliki sistem drainase dan sarana pembuangan limbah yang baik.
Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh
limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit hewan karantina. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar. Pada Tabel 5 dapat dilihat IKH milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa. IKH di Pulau Jawa yang masih digunakan terdapat di wilayah kerja BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan SKP Kelas I Cilacap. Instalasi Karantina Hewan milik swasta mempunyai jumlah lebih banyak dibandingkan dengan IKH milik pemerintah (Tabel 5). Kondisi IKH mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada lokasi, fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia pada IKH tersebut. Penerapan tindakan biosekuriti dapat dipengaruhi oleh faktor pendukung diantaranya fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga tindakan biosekuriti dapat diterapkan secara maksimal dengan adanya faktor pendukung tersebut.
25
Tabel 5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010-2011 No. 1. 2. 3. 6.
Unit Pelaksana Teknis BBKP Tanjung Priok BBKP Soekarno-Hatta BBKP Surabaya SKP Kelas I Cilacap Jumlah
IKH Pemerintah Tidak ada Tidak ada 1 1 2
IKH Swasta 8 4 1 1 14
Penilaian Kondisi IKH Penilaian IKH pada penelitian ini antara lain mencakup lokasi dan tindakan biosekuriti yang dilakukan di IKH. Penilaian lokasi meliputi: (1) jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, (2) jarak lalu lintas umum dengan IKH, (3) jarak IKH dengan peternakan sejenis, (4) jarak IKH dengan pemukiman penduduk, dan (5) tinggi pagar keliling IKH. Untuk penilaian biosekuriti aspek yang dilihat adalah: (1) tempat pembuangan akhir limbah, (2) fasilitas kandang isolasi khusus, (3) jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan/pengamatan, (4) sumber air untuk keperluan IKH, (5) desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH, (6) desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH, (7) sarana alat angkut dan peralatan,
(8)
pengendalian rodensia,
(9)
pengendalian serangga,
(10)
pengendalian burung liar, dan (11) pengendalian hewan lain. Penilaian lainnya yang dilakukan yaitu: (1) fasilitas tempat khusus pembuangan sisa peralatan medis, (2) penyakit yang pernah terdeteksi di IKH, dan (3) keluhan masyarakat tentang keberadaan IKH. Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian terhadap 16 IKH yang terdiri dari 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta. IKH yang digunakan untuk penilaian adalah IKH yang masih layak sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor. Hasil penilaian kondisi IKH dapat dilihat dibawah ini:
Lokasi Lokasi merupakan aspek penting dalam penetapan pendirian IKH. Lokasi berhubungan dengan transportasi dan jarak tempuh dengan melihat risiko terhadap penyebaran penyakit dan aspek kesejahteraan hewan. Transportasi hewan dari tempat pemasukan (pelabuhan atau bandar udara) sampai tempat tujuan yaitu IKH
26
akan mempengaruhi aspek kesejahteraan hewan. Menurut Fisher et al. (2009), transportasi dapat mempengaruhi kesejahteraan hewan diantaranya adalah: 1.
Penanganan (handling), bongkar muat (loading), kenyamanan alat angkut, dan pengalaman petugas dapat mempengaruhi respon psikologi stres hewan.
2.
Ketersediaan
pakan
dan
minum
selama
transportasi
(dengan
memperhitungkan jarak tempuh), ruang gerak (berdiri, berbaring, menjaga keseimbangan tubuh) dapat mempengaruhi psikologi dan kondisi hewan (kelelahan). 3.
Suhu dan kondisi alat angkut selama perjalanan serta kondisi jalan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56,2% IKH mempunyai jarak
kurang dari 100 km, namun masih terdapat IKH yang berjarak lebih dari 100 km (43,8%). Menurut pedoman yang ada bahwa jarak IKH maksimal adalah 100 km atau menempuh jarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari pelabuhan pemasukan (Barantan 2006). Aspek jarak ini sangat penting, karena jika dalam importasi sapi tidak terdeteksi penyakit atau hewan sehat namun dalam keadaan subklinis terhadap suatu penyakit atau hewan bersifat carrier penyakit tertentu, risiko masuk dan penyebaran penyakit akan semakin besar. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi sepanjang perjalanan dari pelabuhan pemasukan sampai ke IKH.
Tabel 6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk Lokasi IKH Jarak IKH dari pelabuhan pemasukan <100 km Jarak IKH dari lalu lintas umum >100 m Jarak IKH dari peternakan sejenis >500 m Jarak IKH dari pemukiman penduduk >500 m
Jumlah 9 14 7 8
% 56,2 87,5 43,8 50,0
Ketika ternak ditransportasikan terdapat kemungkinan risiko kontak dengan hewan atau material yang terinfeksi agen patogen, misalnya alat angkut yang digunakan tidak dibersihkan dan didisinfeksi secara baik.
Hal ini juga
meningkatkan kemungkinan kerentanan hewan terinfeksi dan terkena penyakit jika dalam perjalanan hewan menjadi stres (Cockram 2007).
27
Pergerakan hewan dari suatu tempat akan menimbulkan risiko penyebaran penyakit, beberapa penyakit seperti bovine tuberculosis dan penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit yang penyebarannya dapat disebabkan oleh pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. Wabah penyakit PMK pernah terjadi pada awal tahun 2001 di United Kingdom akibat pergerakan hewan dari suatu tempat ke tempat lain (Brennan et al. 2008). Kondisi selama perjalanan akan mempengaruhi respon psikologi hewan. Jika kondisi selama perjalanan dapat dijaga dengan baik dan optimal, seperti: cara mengemudi, kondisi jalan, kelayakan alat transportasi, jarak antar hewan, kondisi suhu dan ventilasi, kondisi hewan (tidak ada gejala klinis penyakit, luka, atau kondisi psikologi hewan yang dapat mempengaruhi hewan selama perjalanan), dan penanganan
hewan
sebelum dan
sesudah ditransportasikan,
dapat
memungkinkan hewan ditransportasikan dalam jarak jauh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transportasi hewan antara lain: jarak antar hewan didalam alat angkut, cara mengemudi (frekuensi mengerem, banyaknya belokan yang dilalui selama perjalanan), dan kondisi jalan yang dilalui. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kemampuan hewan untuk menjaga keseimbangan dan posisi berbaring (Cockram 2007). Jarak lalu lintas umum dengan lokasi IKH sesuai pedoman yang ada yaitu minimal 100 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 87,5% jarak IKH dengan lalu lintas umum sudah sesuai pedoman yang ada, namun masih terdapat 2 IKH (12,5%) yang mempunyai jarak dengan lalu lintas umum kurang dari 100 meter.
Jarak merupakan faktor risiko penyebaran penyakit yang perlu
diperhatikan.
Lokasi IKH yang berdekatan dengan lalu lintas umum akan
meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit akibat adanya lalu lintas hewan yang akan melewati IKH tersebut.
Hal ini meningkatkan risiko adanya
penyebaran penyakit ke area IKH jika hewan yang melewati IKH tersebut ada yang terinfeksi penyakit menular. Penyebaran penyakit juga dapat disebabkan oleh alat angkut yang terkontaminasi oleh agen penyakit. Instalasi karantina hewan harus didirikan jauh dari peternakan sejenis yaitu minimal berjarak 500 meter. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 43,8% IKH mempunyai jarak dengan peternakan sejenis lebih dari 500 meter, namun masih
28
ada IKH yang berjarak kurang dari 500 meter yaitu sebanyak 56,2%. Dari hasil observasi terdapat IKH yang didirikan berdekatan dengan peternakan sejenis yaitu peternakan untuk penggemukan dan pembibitan. Selain itu ada juga IKH yang disatukan dengan kandang penggemukan dan pembibitan. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan dan anggaran untuk mendirikan IKH sedangkan importir sudah memiliki fasilitas kandang permanen untuk penggemukan maupun pembibitan. Jarak IKH yang berdekatan dengan peternakan sejenis memungkinkan terjadinya penularan penyakit akibat pergerakan hewan yang terdapat di area IKH. Pergerakan hewan dan kontak dengan agen penyakit ini tergantung dari jenis peternakan, luas peternakan, dan populasi hewan di dalam peternakan (Brennan et al. 2008). Jarak yang berdekatan dengan lokasi peternakan lain akan berpeluang terjadinya penyebaran penyakit.
Menurut Le et al. (2008), satu peternakan
dengan peternakan sejenis dan peternakan lain jenis perlu dipisahkan dan dibuat jarak untuk mengendalikan penyebaran penyakit, seperti malignant cattarhal fever (MCV). Jarak IKH dengan pemukiman penduduk harus lebih dari 500 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sebanyak 50% sudah berjarak lebih dari 500 meter dari pemukiman penduduk, namun demikian masih terdapat IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu kurang dari 500 meter sebanyak 50%. Instalasi karantina hewan merupakan tempat pengasingan dan pengamatan hewan terhadap kondisi kesehatan hewan dan mencegah penyakit menyebar diantara hewan dan ke lingkungan sekitar.
Biosekuriti yang tidak
maksimal pada IKH akan berisiko menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar. Jarak IKH yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran air, bau, lalat dan gangguan kesehatan masyarakat khususnya penyakit zoonotik. Risiko penyebaran penyakit dapat terjadi akibat lokasi IKH dengan pemukiman penduduk yang berdekatan.
Risiko ini dapat berupa penularan
penyakit yang berasal dari feses ternak dan vektor (lalat dan nyamuk) yang bisa bertindak sebagai pembawa penyakit yang dapat ditularkan diantara hewan dan manusia.
29
Penyebaran penyakit infeksi hewan dapat terjadi dengan berbagai cara antara lain melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, insekta, atau vektor pembawa penyakit, partikel aerosol, dan melalui cara venereal route (saat kawin).
Penyebaran lain yaitu melalui kontak tidak langsung diantaranya
terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot atau tangan (Wagner et al. 2011). Permasalahan akan timbul akibat adanya lokasi IKH yang berdekatan dengan lokasi penduduk, diantaranya adalah bau, lalat dan pencemaran air. Permasalahan ini timbul akibat limbah kotoran hewan yang tidak ditangani secara baik. Kotoran hewan (feses) merupakan media yang dapat menularkan penyakit. Paratuberkulosis merupakan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan melalui feses. Di dalam feses terutama yang cair, bakteri ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh feses merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama ternak–ternak yang masih muda. Susu dari induk yang terinfeksi oleh M. paratuberculosis akan semakin banyak mensekresikan bakteri ini seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini, sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi.
Padang pengembalaan atau
padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi. Praktik manajemen yang perlu dilakukan untuk mengendalikan Paratuberkulosis diantaranya sanitasi area peternakan, mengurangi kepadatan ternak, meminimalkan kontaminasi kotoran (feses) pada pakan dan sumber air minum, dan memisahkan hewan yang muda dengan hewan yang tua (Benjamin et al. 2010). Insekta dapat terlibat dalam transmisi virus penyebab enzootic bovine leucosis (EBL), transmisi alami tergantung sel yang terinfeksi masuk kedalam tubuh misalnya selama proses kelahiran (parturition), potong tanduk, pemasangan eartag, inseminasi buatan, jarum suntik yang terkontaminasi, peralatan bedah, dan sarung tangan yang dipakai pada saat pemeriksaan rektal. Pada daerah dengan populasi lalat yang banyak, transmisi dapat terjadi secara mekanik, dimana virus
30
dapat dipindahkan oleh lalat Tabanidae. Penularan penyakit ini melalui darah dan sering juga akibat praktik manajemen di peternakan (injection, dehorning, tattooing, tagging dan pregnancy checking) (Kidwell 2008). Observasi yang dilakukan selama penelitian didapatkan bahwa pada umumnya 75% pagar IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa mempunyai tinggi lebih dari 2 meter. Pagar merupakan pelindung terhadap lingkungan luar. Pagar IKH didirikan sebagai tindakan isolasi agar penyebaran penyakit tidak dapat masuk ke dalam IKH dan sebaliknya agen penyakit tidak dapat keluar IKH. Pagar juga berfungsi sebagai sarana kontrol lalu lintas hewan dan pengunjung supaya tidak bebas keluar masuk ke dalam area IKH. Lokasi IKH yang akan didirikan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan ijin rekomendasi pendirian IKH.
Sebelum
IKH didirikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: status penyakit daerah setempat, letak geografis, iklim, air, tanah dan lingkungan sekitar. Instalasi karantina hewan yang akan didirikan harus memperhatikan jarak dari pelabuhan pemasukan, hal ini berhubungan dengan kesejahteraan hewan pada saat hewan ditransportasikan dari pelabuhan tempat pemasukan ke IKH. Lokasi IKH yang jauh akan menyebabkan perjalanan memakan waktu tempuh yang panjang sehingga akan mempengaruhi kondisi hewan.
Penyakit akan muncul akibat
adanya transportasi hewan. Munculnya penyakit ini ditunjang oleh kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan. Kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan akan menurunkan sistem kekebalan tubuh hewan yang akan berakibat terpaparnya hewan oleh agen infeksius. Kondisi stres pada hewan selama dalam perjalanan akan meningkatkan pengeluaran agen patogen oleh hewan yang terinfeksi melalui sekresi hidung, aerosol (sistem pernafasan) dan feses. Pengeluaran agen patogen ini (shedding) dapat mengkontaminasi alat angkut, peralatan, dan daerah yang dilewati sepanjang perjalanan (EFSA 2004). Transportasi hewan dapat menjadi sumber penularan penyakit infeksi pada hewan dan dapat bersifat zoonotik. Karantina pertanian sebagai institusi yang bertugas melakukan tindakan pencegahan masuk dan menyebarnya penyakit perlu meningkatkan pengawasan diantaranya: (1) mengetahui status penyakit hewan
31
daerah asal, (2) hanya hewan yang sehat yang diijinkan melakukan perjalanan, (3) melakukan pengujian klinis terhadap hewan yang akan ditransportasikan dan (4) melakukan tindakan biosekuriti yaitu cleaning dan disinfeksi alat angkut dan peralatan yang digunakan.
Tindakan Biosekuriti di IKH Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Ditjenak 2007).
Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan
masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit (feses, urine, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain). Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor (rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain) di dalam suatu area peternakan.
Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk
pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti. Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,8% IKH sudah memiliki fasilitas kandang isolasi, namun masih ada IKH yang tidak menyediakan fasilitas kandang isolasi khusus yaitu sebanyak 56,2%. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang tersedia.
Hasil observasi diperoleh bahwa IKH yang tidak
memiliki kandang isolasi khusus menggunakan kandang pemeliharaan sebagai kandang isolasi sehingga menghemat anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan jarak antara kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan di IKH masih ada yang kurang dari 25 meter (18,8%). Isolasi hewan merupakan tindakan biosekuriti untuk mencegah penyebaran agen penyakit dari hewan yang terinfeksi. Ketersediaan kandang isolasi khusus sangat penting sebagai tindakan untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi penyakit yang terjangkit di IKH, sehingga penerapan biosekuriti menjadi maksimal.
32
Tabel 7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Penerapan biosekuriti Tersedianya fasilitas kandang isolasi Jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan >25 m Tersedianya tempat/penampungan pembuangan akhir limbah Sumber air IKH berasal dari air sumur Perlakuan desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH Perlakuan desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH Tersedianya fasilitas sarana alat angkut pakan Terdapat pengendalian rodensia di IKH Terdapat pengendalian serangga di IKH Terdapat pengendalian burung liar di IKH Terdapat pengendalian hewan lain di IKH
Jumlah 7 13 15 12 6 14 15 10 12 0 13
% 43,8 81,2 93,8 75,0 37,5 87,5 93,8 62,5 75,0 0,00 81,2
Tindakan isolasi terhadap hewan sakit merupakan tindakan biosekuriti yang dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit diantara hewan. Kandang isolasi harus dibuat terpisah dari kandang pemeliharaan. Pakaian (cattle pack/coveralls) dan sepatu bot yang dipakai untuk menangani hewan di kandang isolasi tidak boleh dipakai pada saat menangani hewan sehat. Jika fasilitas kandang isolasi tidak memungkinkan dibuat, dapat digunakan pen (kandang pemeliharaan) terpisah dari kandang hewan sehat. Selain itu pakan yang digunakan tidak boleh kontak dengan hidung (nose-to-nose contact) dan pakan serta air minum yang digunakan harus terpisah dengan hewan yang sehat ( Bowman & Shulaw 2001). Penempatan hewan pada kandang isolasi khusus juga bertujuan untuk meminimalkan pergerakan hewan sakit sehingga meminimalkan penyebaran penyakit (Buhman et al. 2007). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sudah mempunyai tempat penampungan limbah kotoran ternak (93,8%), namun demikian masih terdapat IKH yang masih membuang limbah kotoran hewan ke parit atau sungai (6,2%). Keadaan ini sangat berbahaya terhadap lingkungan karena bisa berpotensi menjadi sumber penularan penyakit dan pencemaran air. Kotoran ternak merupakan media yang potensial untuk menularkan penyakit. Banyak penyakit yang bisa ditularkan akibat kontaminasi feses antara lain salmonellosis, paratuberculosis, bovine viral diarrhea (BVD) dan lain-lain.
Risiko penularan penyakit ke manusia akan
semakin tinggi jika kotoran ternak ini tidak dikelola dengan baik dan benar.
33
Sumber air merupakan kebutuhan yang harus tersedia dengan cukup. Sumber air yang digunakan untuk keperluan IKH harus bersih dan bebas dari kontaminasi agen penyakit dan bahan-bahan yang berbahaya khususnya untuk hewan. Media yang mungkin dapat menyebarkan penyakit melalui air adalah feses, oleh sebab itu, tindakan sanitasi harus terus ditingkatkan guna memaksimalkan tindakan biosekuriti. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH pada umumnya menggunakan air sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan kegiatan IKH (75%), air ledeng/PAM sekitar 6,2%, namun demikian masih ada IKH yang menjadikan sungai sebagai sumber air (18,8%).
Hal ini tidak menutup
kemungkinan air sungai tersebut terkontaminasi oleh agen penyakit dan bahanbahan yang berbahaya. Sumber air mempunyai pengaruh terhadap kualitas air yang digunakan pada suatu peternakan. Masalah kualitas air diantaranya yaitu konsentrasi mineral dan garam yang tinggi, kandungan nitrogen yang tinggi, kontaminasi bahan kimia, kontaminasi bakteri dan perkembangan alga. Bakteri, virus, dan parasit pada unumnya dapat ditemukan pada kolam dan air permukaan yang memungkinkan terkontaminasi feses dan mudah dijangkau oleh hewan. Agen patogen sangat berbahaya jika mengkontaminasi persediaan air pada suatu peternakan. Agen patogen ini akan menimbulkan masalah kesehatan dan menurunkan produktivitas hewan. Sumber air yang terkontaminasi akan dapat menyebarkan agen patogen di area peternakan dengan cepat (disease-causing agent). Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menginfeksi hewan dan menyebar dengan cepat akibat sumber air yang terkontaminasi.
Selain itu kandungan coliform akan
banyak ditemukan pada air kolam yang dapat di jangkau oleh hewan. coliform merupakan bakteri normal yang ada didalam saluran pencernaan hewan dan manusia yang dapat mencemari sumber air (Parish & Rhinehart 2008). Sebanyak 37,5% IKH melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan 87,5% melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung di IKH. Tabel 7 diatas memperlihatkan juga bahwa sebagian besar IKH (62,5%) tidak melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan sebanyak 12,5% tidak melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung.
34
Disinfeksi merupakan salah satu tindakan sanitasi untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi terutama feses terhadap alat angkut, peralatan, pakaian pengunjung agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Lalu lintas keluar masuk kendaraan dan pengunjung merupakan salah satu risiko penyebaran penyakit di area peternakan.
Risiko penyebaran penyakit akan lebih tinggi terhadap
pengunjung yang berasal dari peternakan lain yang terinfeksi suatu penyakit. Lalu lintas yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebarkan penyakit pada peternakan yaitu: inseminator, pekerja di peternakan atau pengolahan produk hewan, dokter hewan, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut ternak dan pengunjung yang berasal dari area peternakan lain (Bowman & Shulaw 2001). Tindakan cleaning dan disinfeksi sebagai tindakan sanitasi untuk lalu lintas kendaraan dan pengunjung yang keluar masuk area IKH sangat perlu diterapkan sebagai tindakan untuk memaksimalkan penerapan biosekuriti.
Daya kerja
disinfektan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain spektrum disinfektan, kadar kontaminasi, kandungan protein, bahan organik dan adanya kandungan sabun (dapat menetralkan beberapa disinfektan), konsentrasi disinfektan, waktu kontak, temperatur, memiliki stabilitas dalam jangka waktu lama (residual yang lama), dan efektif pada berbagai temperatur. Disinfektan yang digunakan harus mempunyai sifat antara lain aman (tidak berbahaya dan mengiritasi jaringan hewan dan manusia), tidak toksik bagi lingkungan, tidak merusak peralatan, dan efektif pada berbagai temperatur (CDC 2003). Penyebaran kotoran (feses) sebagai salah satu media penularan penyakit dapat terjadi akibat adanya petugas/pengunjung dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan tidak melakukan disinfeksi terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan. Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke peternakan lebih dari satu dalam sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada area peternakan dapat terjadi melalui fomite (Brennan et al. 2008). Alat angkut pakan merupakan salah satu media pembawa penyakit masuk ke IKH. Penggunaan alat angkut pakan milik sendiri dapat meminimalkan risiko penularan penyakit yang mungkin terbawa melalui alat angkut dan pakan. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada umumnya IKH memiliki alat angkut pakan
35
sendiri (93,8%), sehingga dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit melalui alat angkut pakan dapat diminimalkan risikonya. Selain alat angkut, peralatan juga dapat menjadi media penularan penyakit secara tidak langsung. Penularan ini terjadi akibat adanya kontaminasi agen penyakit pada peralatan dan penggunaan peralatan yang tidak steril. Hasil observasi yang diperoleh, pada umumnya peralatan medis yang digunakan untuk perlakuan tindakan karantina menggunakan peralatan yang steril dan sekali pakai. Peralatan penunjang lainnya tidak pernah meminjam dari IKH lain ataupun peternakan lain yang terdekat. Peminjaman peralatan berpeluang menularkan dan menyebarkan penyakit jika tidak diawasi secara ketat dan dilakukan sterilisasi peralatan sebelum digunakan. Pengendalian terhadap rodensia, serangga, dan hewan lain pada IKH telah dilakukan (Tabel 7), namun demikian, pengendalian terhadap burung liar belum dilakukan pada IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa.
Pengendalian
burung liar pada IKH sapi impor belum dilakukan karena konstruksi dan bangunan IKH pada umumnya dapat dimasuki oleh burung liar. Pengendalian terhadap burung liar di IKH dapat dilakukan dengan pengendalian habitat dari burung liar tersebut. Rodensia dan serangga merupakan vektor yang dapat membawa penyakit menular, selain itu rodensia juga dapat menyebabkan kontaminasi terhadap sumber air dan pakan pada IKH. Adanya hewan lain didalam area peternakan dapat menjadi risiko penularan penyakit pada ternak.
Beberapa penyakit seperti rabies, leptospirosis, dan
salmonellosis dapat dibawa dan ditularkan oleh beberapa spesies hewan liar dan hama seperti tikus.
Meskipun kita ketahui bahwa sulit melakukan tindakan
pencegahan secara maksimal terhadap kemungkinan adanya kontak antara hewan liar dengan ternak.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah menjaga agar
peternakan dan sekitarnya tidak menarik kehadiran hewan liar tersebut. Menjaga lingkungan peternakan agar tidak terdapat sisa pakan yang berceceran dan meningkatkan sanitasi kandang dapat meminimalkan adanya hewan liar. Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu tidak membiarkan banyak tumpukan kayu dan papan di area sekitar kandang, memeriksa kandang dan bangunan dari kemungkinan tempat persembunyian atau sarang hewan liar. Pengendalian yang
36
lain adalah dengan senantiasa melakukan pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan pakan dan tempat kemungkinan hewan seperti kucing, anjing dan hewan lain yang menggunakan pakan sebagai tempat untuk membuat sarang atau tempat untuk defekasi (Bowman & Shulaw 2001).
Aspek Lain-lain Ketersediaan fasilitas tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis sangat penting. Sisa peralatan medis (jarum suntik, tabung penyimpanan serum/darah, sarung tangan, dan lain-lain) dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara baik dan benar. Instalasi karantina hewan yang ada belum semuanya menangani limbah sisa peralatan medis, hal ini dapat menjadi risiko adanya penularan penyakit di IKH akibat pengelolaan limbah sisa peralatan medis yang tidak ditangani dengan baik. Ketersediaan sarana tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis perlu disediakan di IKH.
Sarana ini merupakan salah satu pencegahan
kontaminasi agen penyakit, sebagai contoh penyakit BLV dapat ditularkan melalui darah yang terdapat pada jarum suntik yang sudah tidak terpakai setelah digunakan untuk pengambilan darah dan pada saat perlakuan pengobatan (Kidwell 2008). Tabel 8 memperlihatkan adanya keluhan masyarakat (37,5%) mengenai keberadaan IKH yang berlokasi didekat pemukiman penduduk.
Dari hasil
observasi, keluhan masyarakat terhadap IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu terhadap bau, adanya lalat, dan pencemaran air.
Tabel 8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa Aspek lain-lain Tersedianya fasilitas pembuangan sisa peralatan medis Adanya keluhan masyarakat sekitar dengan adanya IKH
Jumlah 6 6
% 37,5 37,5
Hasil wawancara didapatkan bahwa pernah terdeteksi penyakit pada IKH sapi impor (12,2%).
Dari hasil wawancara, penyakit yang terdeteksi yaitu
paratuberkulosis akibat importasi sapi dari Australia pada tahun 2008. Tindakan
37
pemusnahan telah dilakukan terhadap hewan-hewan yang positif penyakit ini yang dilakukan didalam area IKH.
Pengendalian paratuberkulosis dapat dilakukan
dengan test and slaughter, vaksinasi dan eliminasi atau meminimalkan faktor risiko penyakit ini. Vaksinasi merupakan salah satu pilihan untuk mengendalikan penyakit paratuberkulosis, akan tetapi vaksinasi hanya mengurangi prevalensi shedders dari bakteri dan mengurangi kasus klinis pada peternakan (Benjamin et al. 2010). Dari hasil observasi di lapangan tindakan pemeriksaan terhadap penyakit hewan masih terkendala dengan anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan pemeriksaan hanya terbatas dari keterangan kesehatan yang terdapat pada dokumen (surat keterangan kesehatan hewan dari negara asal), tanpa adanya keterangan vaksinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan selama masa karantina adalah brucellosis dan paratuberkulosis (hasil observasi IKH). Hal ini merupakan risiko yang cukup tinggi terhadap masuk dan menyebarnya penyakit eksotik di Indonesia, karena Australia merupakan negara yang belum bebas penyakit BLV, Q-fever, IBR, BVD, paratuberkulosis, dan penyakit-penyakit lainnya. Menurut Negrón et al. (2011), risiko utama penularan virus BVD pada peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit (persistently infected/PI) dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti. Penerapan biosekuriti pada IKH perlu dilakukan secara maksimal. Karantina pertanian merupakan institusi yang mempunyai tugas melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor dalam rangka pencegahan penyakit di pintu pemasukan sebelum dilakukan pembebasan memerlukan petugas yaitu dokter hewan dan paramedik yang profesional. Petugas karantina perlu dibekali pengetahuan dan ketrampilan yang dapat mendukung tugas mereka dalam
38
melakukan pencegahan penyakit, oleh sebab itu peningkatan sumber daya manusia (SDM) karantina pertanian perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Evaluasi terhadap IKH harus terus dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian dan memberikan peringatan serta sanksi yang tegas terhadap IKH yang tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan.
Evaluasi ini dilakukan
terhadap persyaratan lokasi, kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana yang dapat menunjang penerapan praktik biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap kategori tingkat biosekuriti IKH berdasarkan hasil skoring penilaian IKH dan checklist yang telah dilakukan. Hasil kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa Kategori tingkat biosekuriti IKH Baik Cukup Kurang
Jumlah 5 10 1
% 31,2 62,6 6,2
Penilaian kategori IKH didapatkan 31,2% IKH yang ada di Pulau Jawa masuk kategori “baik” dan 62,6% masuk kedalam kategori “cukup” serta 6,2% masuk kategori ”kurang”. Dapat diambil kesimpulan bahwa IKH yang sudah ada masuk kedalam kategori “baik” dan “cukup”. Dari hasil observasi dan wawancara permasalahan IKH sapi impor di Pulau Jawa diantaranya adalah: (1) anggaran pemeliharaan yang kurang memadai, (2) tanah yang digunakan untuk pembangunan IKH bukan tanah milik sendiri, sehingga untuk pengembangan dan pemeliharaan mengalami hambatan karena sewaktu-waktu tanah tersebut dapat dipakai untuk kepentingan pemilik lahan, (3) terbatasnya petugas untuk pemeliharaan dan menjaga kebersihan IKH, dan (4) penurunan frekuensi tindakan karantina yang dilakukan di IKH menyebabkan fasilitas sarana dan prasarana jarang digunakan sehingga menjadi rusak dan tidak terpelihara. Keberadaan IKH mempunyai hubungan yang erat dengan aspek kesehatan masyarakat, diantaranya adalah penyakit zoonosis terhadap petugas dan pekerja yang menangani hewan secara langsung di IKH. Selain itu, keberadaan IKH akan
39
berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Keberadaan IKH yang tidak menerapkan tindakan biosekuriti yang baik akan menimbulkan permasalahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain adanya bau dan lalat dari limbah kotoran ternak yang tidak ditangani dengan baik, selain itu dampak pencemaran yang timbul akibat adanya IKH terhadap lingkungan sekitar. Tindakan biosekuriti di IKH yang masih belum maksimal disebabkan karena IKH tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan oleh Badan Karantina Pertanian. Kondisi ini disebabkan IKH yang ada lebih dulu dibuat dari pedoman persyaratan yang dikeluarkan oleh Badan Karantina Pertanian. Permasalahan sampai saat ini masih belum teratasi terutama penyediaan fasilitas sarana penunjang untuk penerapan biosekuriti karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pendirian IKH saat ini harus memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang sudah ditetapkan. Penerapan law-enforcement perlu dilakukan terhadap pendirian IKH yang tidak sesuai dengan pedoman yang sudah dibuat. Pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Pertanian perlu membantu memfasilitasi IKH yang belum memenuhi persyaratan yang dibuat sebelum pedoman IKH ditetapkan. Instalasi karantina hewan sapi impor perlu ditingkatkan dan diperbaiki terhadap sistem yang sudah ada, salah satunya dengan membuat sistem operasional prosedur (SOP) khusus mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor. Sistem operasional prosedur ini dapat dibuat dari pedoman dan persyaratan yang ada dan telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian ataupun oleh Badan Karantina Pertanian. Selain SOP, audit internal pada IKH terhadap biosekuriti harus dilakukan untuk mengevaluasi IKH yang sudah ada dan perlu dilakukan sertifikasi terhadap penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penerapan biosekuriti di peternakan memerlukan kerja sama dan dukungan oleh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan peternakan tersebut. Tantangan utama pada kemajuan penerapan biosekuriti di peternakan adalah tingkatan peternakan tersebut, pemilik peternakan dan dokter hewan yang bertugas pada peternakan tersebut sebagai pihak yang memahami kesehatan hewan (Gunn et al. 2008). Penerapan biosekuriti pada tingkat peternakan dilakukan untuk mengatasi adanya penyakit baru dan kerugian akibat penyakit yang tidak dapat diprediksi.
40
Penerapan biosekuriti bagi peternak dapat menguntungkan dari risiko penyakit zoonotik, perdagangan internasional dan dari segi biaya sehingga meningkatkan kesejahteraan.
Sebuah dilema sosial dapat timbul dan menjadi tantangan dalam
penerapan biosekuriti dengan adanya kepentingan bersama yang tidak sejalan dengan kepentingan individu.
Untuk meningkatkan biosekuriti di peternakan
harus dimotivasi oleh perubahan perilaku ke arah yang positif terhadap biosekuriti.
Hambatan akan muncul dengan adanya individu yang tidak
mendukung terhadap penerapan biosekuriti pada suatu peternakan (Kristensen & Jakobsen 2011).
Karakteristik Dokter Hewan Responden
yang
diwawancarai
untuk
mengetahui
karakteristik,
pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 54 dokter hewan. Responden ini terdiri dari 40 dokter hewan pemerintah dan 14 dokter hewan swasta. Karakteristik dokter hewan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya dokter hewan berusia antara 30-40 tahun (48,1%) dengan jenis kelamin perempuan (61,9%). Dokter hewan pada penelitian ini telah bekerja antara 1-2 tahun (31,5%) dan pernah terlibat menjadi tim penilai IKH (24,1%) serta pernah mengikuti pelatihan/seminar mengenai IKH (29,6%). Pada Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa sebanyak 53,7% dokter hewan pernah mengikuti pelatihan/seminar mengenai biosekuriti. Umur dokter hewan pada umumnya masih termasuk pada usia produktif, dimana usia ini masih mampu bekerja secara maksimal dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk institusinya. Umur dokter hewan yang masih produktif mempunyai kelebihan stamina fisik yang lebih baik dan lebih produktif dalam bekerja. Sedangkan dokter hewan yang berumur lebih tua memiliki kelebihan dari segi pengalaman dan wawasan karena masa kerja yang lebih lama. Karakteristik dokter hewan yang ada masih belum pernah terlibat dalam tim penilai IKH (75,9%) dan mengikuti pelatihan mengenai IKH (70,4%) serta masih banyak yang belum mengikuti pelatihan biosekuriti (46,3%). Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) responden. Kualitas SDM yang tidak baik akan berdampak pada kinerja institusi tersebut.
41
Dokter hewan karantina merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab penting dalam penentuan keputusan status kesehatan hewan yang dilalulintaskan baik antar area maupun antar negara. Oleh sebab itu kualitas dokter hewan yang baik sangat dibutuhkan agar keputusan yang diambil tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tabel 10
Karakteristik dokter hewan menurut umur, jenis kelamin, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti
Karakteristik Dokter Hewan Umur (Tahun) <30 30 - 40 >40 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Lama Bekerja (Tahun) <1 1-2 3-5 >5 Pernah Menjadi Tim Penilai IKH Pernah Mengikuti Pelatihan/Seminar IKH Pernah Mengikuti Pelatihan/Seminar Biosekuriti
Jumlah
%
20 26 8
37,0 48,1 14,8
21 33
38,9 61,1
12 17 13 12 13 16 29
22,2 31,5 24,1 22,2 24,1 29,6 53,7
Peningkatan SDM dapat dilakukan dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan sebagai sarana pembinaan dan pengembangan karir untuk meningkatkan kemampuan dan mutu pekerjaan yang dihasilkan (Salam 2005).
Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Dokter Hewan Rataan persentase pengetahuan dokter hewan mengenai sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit hewan dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan rataan persentase skor pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan dapat dilihat pada Gambar 3.
Rataan persentase skor pengetahuan adalah
merupakan rataan persentase total skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai biosekuriti yang diberikan.
42
Pengetahuan mengenai sanitasi dijawab dengan benar adalah 40% (Gambar 2).
Skor ini menunjukkan bahwa dokter hewan menjawab dengan benar
pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar 40%. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 45% dan pengetahuan mengenai lalu lintas dijawab dengan benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 64%, sedangkan pengetahuan mengenai penularan penyakit dijawab dengan benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 47%. Gambar 2 menunjukkan bahwa pengetahuan dokter hewan mengenai lalu lintas sudah baik (>50%). Dokter hewan merupakan profesi yang memegang peranan penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit.
Dokter hewan
karantina harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kontrol lalu lintas. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan biosekuriti yang sangat penting untuk mencegah penularan penyakit (terutama penyakit eksotik) dan penyebaran penyakit yang semakin luas. Pengetahuan responden mengenai sanitasi, isolasi dan penularan penyakit masih kurang (<50%). Pengetahuan yang kurang tersebut mempunyai peluang risiko masuk dan menyebarnya penyakit khususnya di IKH sapi impor. 100 90 80 Skor (%)
70
64
60 50
40
47
45
40 30 20 10 0 Sanitasi
Gambar 2
Isolasi
Lalu lintas
Penularan Penyakit
Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan mengenai biosekuriti.
43
Pengetahuan yang kurang mengenai penularan penyakit hewan (penyakit eksotik) kemungkinan karena informasi yang sangat minim diterima oleh dokter hewan dan pengalaman dilapangan yang belum pernah dan jarang menemukan kasus kejadian penyakit eksotik ini. Kita ketahui bahwa Indonesia masih bebas dari beberapa penyakit antara lain BLV, BVD dan Q fever, sedangkan paratuberkulosis sudah terdeteksi di beberapa tempat di Indonesia dari hasil pengujian serologis. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai penyakit khususnya mengenai penularan penyakit sangat diperlukan oleh dokter hewan. Gambar 3 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah rataan persentase total skor jawaban dokter hewan dari total skor pertanyaanpertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 46%, rataan persentase skor sikap dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 64% dan rataan persentase skor praktik dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 68%. 100 90 80
Skor (%)
70
64
68
60 50
46
40 30 20 10 0 Pengetahuan
Sikap
Praktik
Gambar 3 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa masih terdapat dokter hewan yang menjawab kurang tepat pertanyaan pengetahuan mengenai biosekuriti yang terdapat dalam kuesioner, sehingga rataan persentase skor total dokter hewan yang
44
menjawab benar pertanyaan pengetahuan ini hanya sebesar 46%. Skor sikap sebesar 64% menggambarkan bahwa dokter hewan memiliki sikap positif terhadap biosekuriti yaitu 64%, sedangkan pada skor praktik, yaitu sebanyak 68% dokter hewan sudah menerapkan praktik biosekuriti dengan baik. Rataan persentase skor total pengetahuan yang kurang (46%) dibandingkan dengan skor sikap (64%) dan skor praktik (68%), kemungkinan disebabkan oleh faktor penunjang yang mendukung adanya praktik yang positif terhadap biosekuriti. Faktor ini adalah adanya kesempatan, fasilitas dan prosedur standar kerja (SOP) yang terdapat pada IKH. Pengetahuan yang kurang dengan adanya prosedur kerja dan fasilitas yang memadai akan meningkatkan sikap dan praktik yang positif.
Menurut Ali (2003), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan/praktik yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan dalam hal ini adanya kesempatan, antara lain fasilitas. Pengetahuan yang kurang dapat dikaitkan dengan karakteristik umur dokter hewan yaitu pada umumnya sekitar 48,1% berumur 30-40 tahun dan lama bekerja dokter hewan 1-2 tahun (31,5%). Dari karakteristik lama bekerja, dapat diketahui bahwa dokter hewan masih mempunyai masa kerja yang belum lama sehingga mempunyai pengalaman dan penerimaan informasi yang masih kurang khususnya mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor. Umur dokter hewan yang masih usia produktif sangat perlu dilakukan pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan terutama mengenai biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan. Kategorisasi ini mempunyai kriteria sebagai berikut: 1.
Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban kurang dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada.
2.
Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup”
45
bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada. 3.
Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 5 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada. Dari kategorisasi pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap
biosekuriti, dapat disimpulkan bahwa dokter hewan pada umumnya memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik yaitu sebanyak 20%, 19%, 31% responden dan kategori cukup yaitu sebanyak 43%, 61% dan
Jumlah Responden (%)
65% responden.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
65
61 43
Baik
37
20
31
Cukup
20
19
Kurang 4
Pengetahuan
Sikap
Praktik
Gambar 4 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap biosekuriti. Pengetahuan dan sikap seseorang dipengaruhi oleh latar belakangnya seperti umur, status perkawinan, pendidikan, lingkungan sosial yang meliputi lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pengetahuan seseorang dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya terhadap penerimaan informasi yang ada dilingkungan sekitarnya. Akses untuk mendapatkan informasi juga merupakan aspek yang penting untuk
46
meningkatkan pengetahuan. Selain itu pengetahuan juga dapat diperoleh dari proses belajar yang dilakukan oleh seseorang selama hidupnya (Budisuari 2009).
Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Dokter Hewan terhadap Praktik Biosekuriti Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa karakteristik dokter hewan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pengetahuan dan sikap dokter hewan memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekurit (p<0.05).
Tabel 11 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Peubah Karakteristik Responden : Umur Jenis Kelamin Lama Bekerja Sebagai Tim Studi IKH Pelatihan/Seminar IKH Pelatihan/Seminar Biosekuriti Pengetahuan Sikap
Nilai Korelasi 0.097 0.022 0.141 0.042 0.143 0.275 0.463* 0.524*
Keterangan: *menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05
Hubungan pengetahuan dokter hewan dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai korelasi sedang yaitu 0.463. Nilai ini menunjukkan hubungan yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang antara sikap dan praktik dokter hewan yaitu 0.524. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Zahid (1997) menyimpulkan bahwa terdapat
47
hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subjektif yang mendukung.
Hasil penelitian Randusari (2007), menyatakan
bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku seseorang dan perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan dari responden. Handayani (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku. Penelitian Yustina (2006) menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan positif dengan sikap dan minat. Selain itu, pengetahuan tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek.
Karakteristik Paramedik Responden yang diwawancarai untuk mengetahui karakteristik pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 72 paramedik.
Karakteristik
paramedik hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 12. Pada umumnya paramedik berusia dibawah 30 tahun (45,8%) dengan jenis kelamin laki-laki (70,8%). Tingkat pendidikan paramedik pada umumnya adalah lulusan Diploma (D3) yaitu 47,2%. Paramedik pada penelitian ini umumnya telah bekerja diatas 5 tahun (40,3%), pernah terlibat menjadi tim penilai IKH (31,9%), dan pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH (16,7%), serta sekitar 31,9% sudah pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti. Umur paramedik pada umumnya masuk dalam umur produktif dan merupakan aset yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang akan berdampak positif terhadap kualitas kinerja institusi (khususnya Badan Karantina Pertanian). Peningkatan ini dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) responden.
48
Tabel 12 Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan formal, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti Karakteristik Umur (Tahun) <30 30 - 40 >40 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Formal SMA STPP SNAKMA D3 S1 S2 Lama Bekerja (Tahun) <1 1-2 3-5 >5 Pernah Menjadi Tim Penilai IKH Pernah Mengikuti Pelatihan/Seminar IKH Pernah Mengikuti Pelatihan/Seminar Biosekuriti
Jumlah
%
33 19 20
45,8 26,4 27,8
51 21
70,8 29,2
20 1 14 34 2 1
27,8 1,4 19,4 47,2 2,8 1,4
15 16 12 29 23 12 23
20,8 22,2 16,7 40,3 31,9 16,7 31,9
Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Paramedik Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan rataan persentase total skor pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik dapat dilihat pada Gambar 6. Rataan persentase skor pengetahuan adalah merupakan rataan persentase total skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai pengetahuan biosekuriti yang diberikan.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pengetahuan
paramedik mengenai sanitasi adalah 51%.
Skor ini menunjukkan bahwa
paramedik menjawab dengan benar pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar 51%. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh paramedik yaitu sebesar 50% dan pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas dijawab dengan benar oleh paramedik yaitu sebesar 30%.
49
Biosekuriti merupakan tindakan dalam meminimalkan penyebaran penyakit yang terdiri dari sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas (Buhman et al. 2007). Pengetahuan paramedik mengenai sanitasi dan isolasi sudah baik yaitu 51% dan 50% (≥50%).
Sebagai paramedik yang bertugas di IKH sapi impor harus
mempunyai pengetahuan mengenai biosekuriti (sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas) yang baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang baik akan memberikan sikap dan praktik yang baik pula. Menurut Al Bathi et al. (2010), pengetahuan yang baik mengenai suatu penyakit akan meningkatkan perlakuan yang baik dalam menangani penyakit tersebut dan dapat mengurangi akibat kurang baik yang akan timbul dari penyakit tersebut. Menurut Bas et al. (2006), sikap dan praktik seseorang tergantung pada pengetahuan orang tersebut. Adanya informasi dapat merubah sikap yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Informasi ini adalah merupakan pengetahuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah faktor utama dari perubahan perilaku. 100 90 80
Skor (%)
70 60
51
50
50 40
30
30 20 10 0 Sanitasi
Isolasi
Lalu lintas
Gambar 5 Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai biosekuriti. Pengetahuan paramedik mengenai kontrol lalu lintas masih kurang yaitu 30% (<50%). Kontrol lalu lintas merupakan salah satu tindakan biosekuriti yang bertujuan untuk mencegah penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, dan burung) dan
50
pengunjung (Buhman et al. 2007). Penyebaran penyakit hewan dapat terjadi melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot dan tangan (Wagner et al. 2011).
Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas
sangat penting dimiliki oleh paramedik khususnya paramedik karantina. Tindakan kontrol lalu lintas lain yang penting adalah mengetahui status kesehatan hewan yang akan masuk ke IKH sehingga pencegahan penularan dan penyebaran penyakit dapat diminimalkan. Pengetahuan paramedik yang kurang mengenai biosekuriti tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan risiko terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan akibat importasi sapi. Gambar 6 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah rataan persentase total skor jawaban paramedik dari total skor pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan paramedik terhadap biosekuriti yaitu 45%, rataan persentase skor sikap paramedik terhadap biosekuriti yaitu 64%, dan rataan persentase skor praktik paramedik terhadap biosekuriti yaitu 57%. 100 90 80
Skor (%)
70
64 57
60 50
45
40 30 20 10 0 Pengetahuan
Gambar 6
Sikap
Praktik
Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik mengenai biosekuriti.
Pada umumnya skor sikap dan praktik paramedik sudah baik. Paramedik karantina yang handal memerlukan pengetahuan, sikap, dan praktik yang baik
51
terhadap biosekuriti. Hal ini untuk memaksimalkan tindakan biosekuriti dalam rangka mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan. Praktik biosekuriti paramedik pada IKH sapi impor dapat dipengaruhi oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang terdapat di IKH tersebut. Pengetahuan dan sikap yang positif tidak akan menghasilkan praktik yang positif tanpa adanya faktor pendukung yaitu fasilitas yang memadai yang terdapat di IKH. Praktik biosekuriti pada IKH sangat penting untuk meminimalkan penyebaran penyakit. Menurut Bonanno (2011), biosekuriti yang buruk pada suatu peternakan sapi akan menimbulkan kasus penyakit, antara lain digital dermatitis (hairy heel wrats), haemorrhagic bowel syndrome (HBS), dan acute bovine liver disease (ABLD). Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase yang kurang baik, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden. Kategorisasi mempunyai kriteria sebagai berikut: 1.
Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada.
2.
Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada.
3.
Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada, dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada.
52
Dari kategorisasi ini dapat disimpulkan bahwa paramedik pada umumnya sudah memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik yaitu sebanyak 19%, 21%, 26% responden dan cukup yaitu sebanyak 42%, 57% dan 64% responden. Pada Gambar 7 dapat dilihat sebanyak 39% paramedik masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai biosekuriti. Karakteristik paramedik menunjukkan bahwa 68,1% responden belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti dan 83,3% belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH.
Sebagai paramedik
karantina yang bertugas menjaga pintu pemasukan dan pengeluaran harus memiliki pengetahuan khususnya mengenai biosekuriti yang baik. Hal ini untuk menunjang sikap dan praktik paramedik terhadap biosekuriti.
Pengetahuan
biosekuriti paramedik yang kurang dapat membuka peluang terhadap pengawasan yang lemah yang dilakukan dilapangan, sehingga akan memperbesar risiko masuk
Jumlah Responden (%)
dan menyebarnya penyakit hewan khususnya di IKH.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
64 57 42 39 19
22
21
Cukup
26
Kurang 10
Pengetahuan
Gambar 7
Baik
Sikap
Praktik
Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti.
Pengetahuan yang baik akan dapat meningkatkan profesionalisme petugas dalam melakukan tindakan pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan terutama akibat importasi sapi dari luar negeri.
Pelatihan atau seminar akan
menambah informasi dan pengetahuan responden yang dapat meningkatkan praktik atau perilaku positif seseorang. Pengalaman yang didapat selama bekerja
53
mungkin mempunyai pengaruh pada sikap dan praktik seseorang terhadap sesuatu, hal ini ditentukan oleh kemampuan orang tersebut untuk menguasai pengalaman yang didapat dan frekuensi pengalaman tersebut di implementasikan dalam pekerjaannya.
Menurut Budisuari (2003), pelatihan atau pendidikan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa responden sangat memerlukan pelatihanpelatihan dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan menambah wawasan serta informasi khususnya mengenai biosekuriti.
Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Paramedik Terhadap Praktik Biosekuriti Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa karakteristik paramedik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pada pengetahuan dan sikap paramedik memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti paramedik (p<0.05). Hubungan pengetahuan paramedik dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai korelasi sedang yaitu 0.410. Nilai ini menunjukkan hubungan yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang antara sikap dan praktik paramedik yaitu 0.427. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa paramedik pada umumnya termasuk dalam usia produktif.
Keadaan ini merupakan aset yang sangat
bermanfaat untuk institusi (khususnya Badan Karantina Pertanian) jika dikelola dengan baik. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat berguna untuk menghasilkan suatu tindakan dan keputusan yang profesional yang berbasis ilmiah.
Menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan dan pelatihan adalah
merupakan upaya untuk mengembangkan SDM terutama untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian manusia.
Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah: (1) pendidikan, (2) informasi, (3) sosial budaya dan ekonomi, (4) lingkungan, (5) pengalaman, dan (6) usia.
54
Tabel 13 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Peubah Karakteristik Responden : Umur Jenis Kelamin Pendidikan Lama Bekerja Sebagai Tim Studi IKH Pelatihan/Seminar IKH Pelatihan/Seminar Biosekuriti Pengetahuan Sikap
Nilai Korelasi 0.156 0.124 0.093 0.122 0.075 0.127 0.193 0.410* 0.427*
Keterangan: *menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05
Pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk suatu organisasi atau institusi dalam hal ini Badan Karantina Pertanian, diantaranya: (1) adanya karyawan baru, (2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) adanya mutasi, dan (4) adanya promosi. Agar pendidikan dan pelatihan dapat berjalan sesuai dengan tujuan perlu strategi yang tepat dalam memberikan dan menyampaikan informasi sehingga pengetahuan dapat diterima dengan baik.