HASIL DAN PEMBAHASAN
Diameter Cervix Uterus dan Kornua Uterus Involusi uterus sangat bergantung pada kontraksi miometrium, eliminasi bakteri dan regenerasi dari endometrium, ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Kontraksi miometrium sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan lochia dari uterus, dan tentunya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kerja hormon prostaglandin post partus karena hormon tersebut dapat meningkatkan kontraksi uterus sehingga cairan lochia dapat dikeluarkan (Arthur 1996). Eliminasi bakteri dan regenerasi endometrium sangat berkaitan dengan kesempurnaan pengeluaran cairan lochia karena cairan tersebut merupakan media yang sangat cocok untuk perkembangan bakteri post partus seperti Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum,
Corynebacterium
pyogenese,
Archanobacterium
pyogenes,
Staphylococcus aureus sehingga menghambat proses persembuhan luka post partus dan regenerasi endometrium (Kognisson 2001). Penelitian Yeon Lee dan Kim (2006), plasenta sapi yang menggantung di luar vulva lebih dari 24 jam pada kejadian retensi plasenta, akan membuat bakteri lingkungan mudah masuk kedalam uterus, sehingga apabila tidak diberikan bolus antibiotika maka persembuhan luka akan menjadi lebih lama dan dapat memperpanjang masa involusi uterus. Pemberian bolus antibiotika yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim post partus seringkali digunakan sebagai terapi pencegahan terhadap infeksi bakteri, sehingga membantu persembuhan luka dan diharapkan panjangnya waktu involusi uterus mengikuti waktu normalnya. Berdasarkan analisis statistika terhadap pengaruh pemberian bolus antibiotika pada penelitian ini menunjukan pengembalian ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus pada ketiga kelompok perlakuan sampai dengan minggu kelima tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi pengaruh waktu involusi uterus berpengaruh signifikan (p<0,05).Pada minggu kelima kelompok N+B sudah menunjukan gejala estrus kembali,oleh karenanya pengukuran diameter cervix dan kornua uterus dihentikan. Seperti di gambar 4 tampak bahwa, pada saat ini ukuran diameter cervix uterus 5,43±0,49 cm dan kornua uterusnya 5,19±0,61 cm pada kelompok N+B lebih
SIMPULAN
Pemberian bolus sulfadiazine dan trimethoprim pada sapi perah betina yang mengalami retensi plasenta tidak berpengaruh signifikan terhadap pengembalian ukuran diameter uterus dan penurunan jumlah total leukosit (p<0,05) sampai 5 minggu pengamatan, akan tetapi ukuran uterusnya lebih kecil dan jumlah total leukositnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sapi yang mengalami retensi plasenta tanpa pemberian bolus pada saat estrus kembali.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pilihan obat yang paling berpengaruh terhadap penyembuhan retensi plasenta di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur HG. 1996. Veterinary Reproduction & Obstetrics. Saunders Company Ltd, London. Ahmed WM, El-Jakee JA, El-Seedy FR, El-Ekhnawy KI and Abd-El Moez SI. 2007. Overview Some Factors Negatively Affecting Ovarian Activity In Large Farm Animal. J. Global Veterinaria 1(1):01-08. Ahmed WM, R Amal, El-Hameed Abd, ElKhadrawy HH and Hanafi ME. 2009. Investigations on Retained Placenta in Egyptian Buffaloes Strategy Trials. J. Global Veterinaria 3(2): 120-124. Barnouin J and Chassagne M. 1996.Descripive epidemiology of placental retention in intensive dairy herds.J. Vet Res 27:491-501. Bondurant RH. 1999. Inflammation in the bovine female reproductive tract. J. Anim Sci 77 supl 2:101-110. Cai TQ. 2000. Association between neutrophil functions and periparturient disorders in cows. J. Vet Res 55:934-943. Doek Kim K, Sook Ki K, Gu Kang H and Kim H. 2005. Risk Factor and Economic Impact of Ovarian Cysts on Reproductive and Performance of Dairy Cows in Korea. J. reproduction and Development 51(4). Dolezel R, Vecera M, Palenik T, Cech S and Vyskocyl M. 2008. Systematic clinical examination of early postpartum cows and treatment of puerperal endometritis did not have any beneficial effect on subsequent reproductives performance. J. Ved Med 53(2):59-69. [Dirjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Statistika Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian Indonesia. Faye B. 1991. Interrelationships between health status and farm managementsystem in French herds.J. Vet Med 12: 133-152 Goddard
PJ. 1995. Veterinary International.
Ultrasonography.
Wallingford,
UK:
CAB
Gilbert, Ekman T dan Esteras O. 2002. Retained Fetal Placenta and Dry Cow Therapy. J. Vet Med (10-11):277-282.
LAMPIRAN
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Usaha peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala yang mengakibatkan produktifitas sapi perah masih rendah. Dari tahun ketahun produksi susu nasional selalu tidak mampu mengimbangi permintaan konsumen susu. Saat ini produksi susu nasional baru mampu mencukupi 26% dari total kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan susu nasional mencapai 1,306 juta ton per tahun sementara produksi dalam negeri baru mencapai 342 ribu ton per tahun. Untuk mencukupi kekurangan tersebut maka pemerintah berupaya mendatangkan susu impor dari luar negeri diantaranya dari Eropa dan Australia. Hal inilah yang membuat permintaan pasar akan susu masih terbuka luas baik untuk kebutuhan konsumsi masyarakat maupun skala industri (Dirjennak 2010), karena itu perlu adanya peningkatan produktifitas sapi perah. Efisiensi reproduksi merupakan komponen penting untuk menentukan keberhasilan reproduksi pada sapi perah. Efisiensi reproduksi yang dimaksud adalah meningkatkan hasil usaha dengan cara optimalisasi kemampuan produksi dan reproduksi ternak, sehingga meningkatkan kesejahteraan peternak.
Akan tetapi
beberapa gangguan reproduksi setelah melahirkan dan pada masa laktasi sering menimbulkan permasalahan sehingga terjadi inefisiensi reproduksi. Retensi plasenta merupakan salah satu gangguan reproduksi setelah melahirkan yang paling sering dikeluhkan oleh peternak. Retensi plasenta adalah suatu kondisi terhambatnya pengeluaran plasenta lebih dari 12 jam setelah melahirkan pada sapi perah (Ahmed et al. 2009). Retensi plasenta dapat mengakibatkan penurunan reproduksi sehingga servis per conception meningkat, days open dan calving interval menjadi lebih panjang, oleh karenanya dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada peternak (Yeon Lee dan Kim 2006).
2
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses involusi uterus pada sapi perah yang mengalami retensi plasenta dan diterapi dengan bolus sulfadiazine dan trimethoprim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi khususnya kepada dokter hewan bagaimana gambaran proses involusi uterus tersebut.
Hipotesis Pada sapi perah yang mengalami retensi plasenta post partus, pemberian bolus sulfadiazine dan trimethoprim akan memberikan pengaruh terhadap penurunan diameter cervix uterus, kornua uterus dan jumlah total leukosit pada proses involusi uterus.
Kerangka Pemikiran Retensi plasenta merupakan salah satu gangguan reproduksi post partus yang dapat mengakibatkan penurunan penampilan produksi dan kerugian ekonomi pada peternak. Salah satu dampak retensi plasenta adalah menghambat proses involusi uterus sehingga Servis Per Conception (S/C) meningkat, days open dan calving interval menjadi lebih panjang. Kejadian retensi plasenta yang terjadi di beberapa peternakan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan gangguan reproduksi post partus lainnya. Penggunaan antibiotika dalam bentuk bolus sulfadiazine dan trimethoprim umum digunakan untuk terapi pencegahan infeksi bakteri pada kejadian retensi plasenta post partus di beberapa peternakan di Indonesia, akan tetapi belum pernah dilaporkan bagaimana gambaran proses involusi uterus sapi yang diterapi antibiotika tersebut menggunakan ultrasonografi (USG).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Selaput Fetus dan Plasenta Selaput fetus merupakan selaput pelindung fetus, sarana pengangkut makanan dari induk ke fetus, sarana penampung sisa metabolisme dan tempat sekresi enzim dan hormon untuk mempertahankan kebuntingan. Selaput fetus terbentuk dari tropoblast yang pada periode embrio berubah secara morfologi menjadi amnion, khorion dan allantois yang membentuk kantung khorio-allantois dan kuning telur dimana pertumbuhannya kemudian terhenti setelah amnion dan allantois terbentuk seluruhnya (Manspeaker 2009). Plasenta merupakan tenunan tubuh embrio dan induk yang terjalin pada waktu pertumbuhan embrio untuk kebutuhan penyaluran makanan dari induk ke anak dan zat buangan dari anak ke induk. Dengan demikian plasenta terbagi dua yaitu plasenta fetus (khorio-allantois) yang merupakan bagian dari selaput fetus dan plasenta induk (Doek Kim et al. 2005). Tenunan plasenta terbentuk karena sel epitel karunkula melarutkan sel epitel tropoblast yang masuk ke celah vilinya sehingga terjadi pertautan erat (Manspeaker 2009). Pembentukan plasenta dimulai pada masa akhir implantasi dengan pembentukan vili pertama pada hari ke-30 masa kebuntingan, berkembang menjadi suatu pertautan primitif khorio-allantois dengan endometrium di daerah karunkula sekitar 33-36 hari masa kebuntingan, kemudian menjadi pertautan erat dan kompleks pada akhir trimester pertama masa kebuntingan. Karunkula berasal dari endometrium dalam keadaan rudimenter pada saat uterus tidak bunting menjadi berkembang bersamaan dengan pertumbuhan embrio (Lewis 1997). Karunkula pada sapi berbentuk konveks menyatakan bentuknya menyerupai bunga kol. Secara makroskopis keseluruhan plasenta sapi bertipe multipleks atau lebih dikenal dengan istilah kotiledonaria. Secara mikroskopis plasenta sapi mempunyai struktur syndesmokhorial dimana darah anak dari induk dipisahkan oleh satu lapis sel epitel, dua lapis sel endotel dan dua lapis tenunan ikat (Manspeaker 2009).
4
Plasenta bukan hanya berfungsi sebagai media pertukaran melainkan juga berfungsi dalam sintesis enzim yang diperlukan untuk pertautan tropoblast dan pencernaan intraselular serta menghasilkan hormon antara lain estrogen dan progesteron untuk mempertahankan kebuntingan, pengeluaran fetus pada waktu partus dan dapat mengkatalisir zat-zat lain. Karena fungsinya yang kompleks ini, plasenta memiliki persamaan biokemik bahkan stuktural dengan organ pada hewan dewasa seperti hati, paru-paru, ginjal, usus halus dan kelenjer endokrin (Meredit 2009).
Retensi Plasenta Retensi plasenta adalah suatu kondisi kegagalan pemisahan selaput fetus dari maternal karunkula sehingga selaput fetus tertahan dalam kandungan setelah fetus lahir, baik pada kelahiran normal maupun abnormal. Pada partus yang berjalan normal secara fisiologis selaput fetus akan keluar dalam waktu 1-12 jam (Manspeaker 2009). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal seperti uterus paresis, aborsi, stres, terlambat melahirkan atau prematur, distokia, kembar, status hormonal yang tidak seimbang, infeksi, faktor genetik, defisiensi vitamin dan mineral (Yeon Lee dan Kim 2006). Menurut penelitian Barnouin dan Chassagne (1996), masa bunting yang tidak normal dan gangguan saat melahirkan merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti gangguan kontraksi uterus akibat perlukaan atau mekanisme stress. Dilaporkan juga adanya keterkaitan munculnya retensi plasenta dengan gangguan metabolisme setelah melahirkan. Menurut Larsons (1985) dan Joosten (1991) ada pengaruh musim terhadap kejadian retensi plasenta, dimana angka kejadian retensi plasenta meningkat pada musim panas atau musim gugur. Faktor- faktor penyebab munculnya retensi plasenta berbeda antara suatu negara dan negara lainnya karena adanya perbedaan manajemen, kondisi lingkungan, temperatur, dan kontrol kondisi kesehatan pada suatu peternakan di negara tertentu sehingga retensi plasenta juga akan memberikan penampilan reproduksi yang berbeda setelah melahirkan di masing-masing negara tersebut (Faye 1991).
5
Gambar 1. Kejadian retensi plasenta pada sapi perah
Etiologi Pada dasarnya retensi plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetus dari kripta karunkula maternal. Sesudah fetus keluar dan chorda umbilicalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetus dan vili tersebut mengkerut dan mengendur. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus menjadi sangat berkurang. karunkula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta pada karunkula berdilatasi. Pada kasus retensi plasenta pemisahan vili fetalis dari kripta maternal terganggu dan terjadi pertautan (Yeon Lee dan Kim 2006). Sesudah beberapa hari terdapat leukosit dan bakteri di dalam placentoma, oleh karena itu placentitis mudah terjadi (www.situs komunikasi dokter hewan Indonesia). Serupa pada penelitian Samad et al. (2006) menyatakan bahwa retensi plasenta terjadi akibat kelemahan uterus atau peradangan pada plasenta sehingga menyebabkan kegagalan pelepasan vili fetalis dari kripta maternal yang disebabkan oleh berbagai keadaan seperti penimbunan cairan pada selaput fetus, torsio uterus, distokia dan keadaan patologik lainnya. Penelitian (Konyves et al. 2009), kejadian retensi plasenta meningkat jika terjadi fatty liver syndrome dan ketosis sehingga menghambat involusi uterus. Faktor utama penyebab terjadinya ketosis pada sapi perah adalah tidak cukupnya pasokan
6
karbohidrat dan protein pada pakan. Kejadian subclinical ketosis pada sapi perah dalam keadaan bunting lebih sering terjadi dibandingkan ketosis klinis karena kebutuhan energi yang besar pada saat itu, akan tetapi sering kali tidak teramati oleh peternak. Karena kebutuhan energi yang besar pada saat bunting dan memproduksi susu sedangkan pakan yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan energi tersebut sehingga tubuh menggunakan lemak tubuh untuk diubah menjadi energi. Perombakan lemak tubuh secara tidak sempurna menjadi energi akan melepaskan benda-benda keton di dalam sirkulasi darah seperti betahidroksi butirat (BHB), asetoasetat dan aseton. Subclinical ketosis yang terjadi dan adanya benda-benda keton di dalam sirkulasi darah menyebabkan sistem fisiologis sapi terganggu sehingga menimbulkan penurunan sistem imunitas tubuh sapi, perubahan sistem hormonal sehingga menginduksi kejadian retensi plasenta (Nazifi et al. 2008). Menurut (Ahmed et al. 2009) sebesar 50% kejadian retensi plasenta terulang kembali pada kelahiran berikutnya, salah satu penyebabnya adalah karena penanganan retensi plasenta yang umum dilakukan adalah secara manual dengan melepaskan pertautan karunkula dan kotiledon dan seringkali penanganannya dilakukan secara tidak aseptik, maka menimbulkan perlukaan pada karunkula. Sehingga beberapa jasad renik seperti Brucella abortus, Vibrio fetus, Tuberculosis menyenangi untuk berdiam pada daerah perlukaan karunkula tersebut menimbulkan placentitis, kotiledonitis pada kelahiran berikutnya yang mengakibatkan timbulnya retensi plasenta.
Involusi Uterus Involusi uterus adalah pengembalian fungsi dan ukuran uterus ke kondisi normalnya pada saat tidak bunting. Pada sapi perah normalnya involusi uterus terjadi selama 35-40 hari post partus Sheldon (2005). Ukuran cervix uterus sapi Frisian Holstein normal dalam keadaan tidak bunting memiliki panjang 1,5 sampai dengan 8 cm dengan diameter 3-4 cm akan tetapi menurut Sheldon (2005) ukuran diameter cervix pada bagian tengah sapi Frisian Holstein 40 hari post partus lebih kecil dari 4 cm. Arthur (1996) menyatakan bahwa pada sapi perah cervix uterus normalnya akan
7
menutup 10-12 jam setelah melahirkan. Ukuran uterus sapi Frisian Holstein normal dalam keadaan tidak bunting memiliki panjang 15-25 cm, lebar 4-5 cm dan diameter 1-3 cm (Peter and Lamming 1987) serta menurut Sheldon (2005) yang menyatakan ukuran diameter pangkal kornua kiri ataupun kanan uterus sapi yang melahirkan normal sekitar 3-4 cm pada 30-40 hari post partus. Menurut Ahmed et al. (2009), involusi uterus sangat bergantung pada tiga hal penting yaitu : 1.
Infiltrasi lymphocyte darah putih secara besar-besaran dalam lumen uterus untuk memfagositir faktor-faktor patogen pada saat permulaan partus terjadi.
2.
Pengeluaran dalam jumlah besar hormon PGF 2α selama 2 minggu setelah melahirkan,
hormon
ini
akan
merangsang
kontraksi
miometrium,
pengeluaran lochia dari uterus berupa mucus, darah, sisa-sisa membran plasenta, jaringan induk dan cairan amnion. Pengeluaran lochia akan terjadi terus-menerus selama satu minggu post partus dan lama pengeluarannya sangat bergantung pada kondisi induk. 3.
Pengeluaran hormon estrogen dari ovarium, sebelum ovulasi pertama setelah melahirkan terjadi, dapat membuat uterus lebih resisten terhadap infeksi.
Terapi Retensi Plasenta Penanganan retensi plasenta yang umum dilakukan di Indonesia adalah penanganan secara manual yaitu dilakukan dengan cara melepaskan hubungan antara kotiledon fetus dan karunkula maternal satu persatu menggunakan tangan yang dimasukkan ke dalam uterus melalui eksplorasi vaginal (Muklis 2006). Menurut Manan (2001), pengeluaran plasenta sebaiknya dilakukan dalam waktu 24-48 jam setelah partus karena lebih dari 48 jam biasanya tidak berhasil karena apeks uterus tidak terjangkau dan servix telah menutup. Penyingkiran plasenta harus dilakukan secara halus dan cepat dalam waktu 5-20 menit dengan cara higienis dimana frekuensi pemasukan dan pengeluaran tangan diusahakan sesedikit mungkin. Sedangkan menurut Hamali (2008) pelepasan plasenta yang menggantung pada retensi plasenta sebaiknya dilakukan pada 8 hari setelah partus karena pada saat itu
8
membran plasenta mengalami mekrotik dan mudah untuk dilepaskan. Hal ini dimungkinkan pada daerah sub-tropis, akan tetapi pada daearh tropis cara seperti ini sangat rentan terhadap penyakit dan komplikasi. Penelitian (Ahmed et al. 2009) menyatakan bahwa, penanganan secara manual dapat menimbulkan perlukaaan pada dinding uterus dan menekan sistem imun uterus tersebut sehingga timbul infeksi ringan ataupun berat seperti endometritis, metritis dan pyometra. Uterus yang mengalami infeksi dan perlukaan dapat menimbulkan lemahnya kontraksi dinding uterus pada kelahiran berikutnya sehingga pelepasan plasenta terganggu, oleh karena itu menurut Konigsson (2001) pada penanganan secara manual perlu diberikan antibiotika berspektrum luas secara intrauterus untuk mencegah terjadinya metritis dan infeksi sekunder oleh bakteri. Penggunaan antibiotika berbentuk bolus yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim umum digunakan untuk terapi retensi plasenta pada sapi perah (Gilbert et al. 2002), bolus tersebut digunakan secara intrauterus untuk mengeliminasi bakteri uterus seperti Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, Corynebacterium pyogenese, Archanobacterium pyogenes, Staphylococcus aureus (Kognisson 2001). Sheldon (2005) dan Noakes (2004), bolus yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim mempunyai kemampuan untuk mengeliminasi bakteri patogen uterus dan aktifitas bolus tersebut dapat bertahan lama di lingkungan uterus. Selain itu penggunaan bolus tersebut tidak meninggalkan residu pada susu dan daging (Bondurant 1999). Menurut Leblanc (2000) penggunaan antibiotika berbentuk bolus untuk mencegah infeksi bakteri post partus lebih dianjurkan secara intrauterus dibandingkan dengan sistemik karena lebih tepat sasaran dan mengenai seluruh organ reproduksi.
Ultrasonografi Saat ini, ultrasonografi (USG) merupakan alat yang akurat digunakan untuk memperlihatkan gambaran struktur uterus pada sapi perah (Okano dan Tomizuka 1987) sehingga alat ini sangat tepat jika digunakan untuk pengamatan proses involusi
9
uterus (Goddard 1995). Diagnostik ultrasound adalah suatu teknik mendiagnosa gambaran organ yang dihasilkan oleh interaksi antara gelombang suara berfrekuensi tinggi dengan organ. Ultrasound
ditransmisikan ke pasien dari transducer dan
disebarkan melalui jaringan-jaringan. Refleksi yang dihasilkan akan kembali ke transducer, kemudian dibentuk satu signal listrik dan ditampilkan berupa titik-titik pada layar yang disebut sonogram dalam dua dimensi (Goddard 1995). Widmer (1997), menyatakan ada tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu 1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. 2. hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada sekelilingnya, contohnya jaringan lunak. 3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menmpilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang contohnya cairan. Menurut Goddar (1995), gambaran USG servix uterus dapat berupa suatu gambaran yang hypoechoic (abu-abu) dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic yang menunjukan adanya lumen diantara bagian dinding servix. Korpus uterus biasanya terlihat dalam axis yang panjang dengan gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium tetapi tidak berbeda jelas antara lapisan-lapisan muskulusnya. Secara cross-sectional, kornua uterus akan terlihat dengan gambaran lapisan luarnya yang hypoechoic, dikelilingi oleh cincin hitam yang berisikan pelindung vascular, lapisan longitudinal, sirkular, obligat dari miometrium. Secara longitudinal pada kornua uterus akan terlihat gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium dan lapisan-lapisan muskulus.
10
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 sampai Juli 2010 di kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah Tapos Ciawi Kabupaten Bogor. Analisa total leukosit darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan Sebanyak 9 ekor sapi betina Frisian Holstein (FH) dara post partus dengan kondisi sehat fisik, body condition score 3 dengan kisaran 2-5 dan partus periode pertama digunakan dalam penelitian ini. Sapi tersebut ditempatkan dalam kandang yang sama dan diberikan pakan (hijauan dan konsentrat) dan air ad libitum dalam jumlah, jenis dan waktu yang sama pula.
Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah lubrican (KY jelli), darah sapi segar, Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, minyak emersi, bolus antibiotika yang berisi sulfadiazine 100 mg dan trimethoprim 200 mg. Alat yang digunakan adalah USG (SIUI tipe CTS- 7700V, SIUI Co. Ltd. China) dengan linear probe 7 MHz dan printer (SONY, UP-895 MD), spuit semi otomatis 10 cc, venoject dan vacutainer needle 5cc (EDTAK₃, three fingers,USA), cold box, standing gel, box slides, gelas objek, pinset anatomis, mikroskop Olimpus CH20, counter, label kertas, kapas, sarung tangan plastik (Europlek®, Divasa Farmativa, S. A.).
Prosedur Penelitian Sapi dibagi kedalam 3 kelompok masing-masing sebanyak 3 ekor sapi (n=3). Kelompok RP+B adalah sapi post partus dengan retensi plasenta dan diterapi secara intrauterus dengan 3 bolus antibiotika pada hari pertama partus (H0).
11
Kelompok RP-B adalah sapi post partus dengan retensi plasenta dan tidak diberikan terapi bolus antibiotika. Kelompok N+B adalah sapi post partus normal dan diberikan 0020terapi 3 bolus antibiotika sebagai kelompok kontrol. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan terhadap perubahan diameter cervix uterus dan kornua uterus. Diameter cervix uterus diukur pada bagian tengah cervix uterus dan diameter kornua uterus diukur pada bagian pangkal kornua uterus berdasarkan potongan melintang dari sumbu terpanjang (Okano dan Tomizuka 1987). Perubahan diameter cervix uterus dan kornua uterus diamati seminggu sekali dimulai pada H7 (minggu ke-1) (Dolezel et al. 2008). Selain pemeriksaan ultrasonografi dilakukan juga pemeriksaan total leukosit darah. Darah diambil sebanyak 3 ml dalam tabung yang mengandung EDTA melalui vena jugularis setiap tiga hari sekali sejak H0 sampai kemudian dilakukan pembuatan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa (Levkut 2002). Pengukuran terhadap diameter cervix uterus dan kornua uterus serta pengambilan darah dihentikan jika hewan percobaan kembali estrus.
Gambar 2. Organ reproduksi sapi betina (Hajurka 2004)
12
Teknik Ultrasonografi Pemeriksaan USG dilakukan setelah sapi dimasukkan ke dalam kandang jepit dengan tujuan agar memudahkan pemeriksaan dan keamanan untuk operator. Sebelum probe dimasukkan ke rektal, probe terlebih dahulu dilumuri lubrican agar dapat menghasilkan kontak dan gambar yang jelas terhadap cervix uterus, kornua uterus. Probe dimasukkan melalui rectum yang terlebih dahulu dibersihkan fecesnya, diarahkan ke kranial sepanjang bagian ventral rectum menyusuri traktus reproduksi. Uterus kelihatan berada dibagian ventral rectum di atas kandung kemih. Pada monitor kandung kemih kelihatan sebagai suatu gambaran anechoic atau echolucen dengan ukuran tergantung pada volume urin yang disimpan, dan mukosa organ digambarkan sebagai suatu permukaan hypoechoic yang bergelombang. Vagina, servix dan korpus uterus berada dibagian tengah pubis sejalan cranio-caudal, dan digambarkan dalam axis yang panjang. Ketika tranducer digerakkan ke lateral, kornua uterus akan terlihat dalam keadaan potongan melintang (Okano dan Tomizuka 1987).
Gambar 3. Perangkat USG
13
Pengambilan Sampel Darah Untuk mengetahui level sel darah putih (leukocit) masing-masing sapi maka dilakukan pembuatan preparat ulas darah, sampel darah diambil menggunakan vacutainer 5 cc dengan venoject melalui vena jugularis, sampel darah disimpan dalam kontainer berisi es dan langsung dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan.
Pembuatan Preparat Ulas Darah Satu tetes sampel darah diteteskan pada gelas objek pertama dengan posisi mendatar. Gelas objek lainnya ditempatkan pada bagian darah tadi dengan membentuk sudut 30º, sehingga darah menyebar sepanjang gelas objek. Selanjutnya gelas objek didorong kearah depan dengan cepat sehingga terbentuk usapan darah tipis diatas gelas objek. Ulasan darah tersebut dikeringkan di udara, kemudian difiksasi dengan methanol selama 5 menit, lalu dimasukkan kedalam pewarna Giemsa 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan air keran dan dikeringkan diudara. Preparat ulas darah diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali untuk pengamatan jumlah total leukosit darah (Levkut 2002).
Analisis Statistika Hasil pemeriksaan cervix uterus, kornua uterus, total leukosit darah dianalisis dengan rancangan acak lengkap in time (RAL in time) menggunakan software statistik SPSS versi 16.0 (Steel & Torrie 1999).
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diameter Cervix Uterus dan Kornua Uterus Involusi uterus sangat bergantung pada kontraksi miometrium, eliminasi bakteri dan regenerasi dari endometrium, ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Kontraksi miometrium sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan lochia dari uterus, dan tentunya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kerja hormon prostaglandin post partus karena hormon tersebut dapat meningkatkan kontraksi uterus sehingga cairan lochia dapat dikeluarkan (Arthur 1996). Eliminasi bakteri dan regenerasi endometrium sangat berkaitan dengan kesempurnaan pengeluaran cairan lochia karena cairan tersebut merupakan media yang sangat cocok untuk perkembangan bakteri post partus seperti Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum,
Corynebacterium
pyogenese,
Archanobacterium
pyogenes,
Staphylococcus aureus sehingga menghambat proses persembuhan luka post partus dan regenerasi endometrium (Kognisson 2001). Penelitian Yeon Lee dan Kim (2006), plasenta sapi yang menggantung di luar vulva lebih dari 24 jam pada kejadian retensi plasenta, akan membuat bakteri lingkungan mudah masuk kedalam uterus, sehingga apabila tidak diberikan bolus antibiotika maka persembuhan luka akan menjadi lebih lama dan dapat memperpanjang masa involusi uterus. Pemberian bolus antibiotika yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim post partus seringkali digunakan sebagai terapi pencegahan terhadap infeksi bakteri, sehingga membantu persembuhan luka dan diharapkan panjangnya waktu involusi uterus mengikuti waktu normalnya. Berdasarkan analisis statistika terhadap pengaruh pemberian bolus antibiotika pada penelitian ini menunjukan pengembalian ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus pada ketiga kelompok perlakuan sampai dengan minggu kelima tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi pengaruh waktu involusi uterus berpengaruh signifikan (p<0,05). Pada minggu kelima kelompok N+B sudah menunjukan gejala estrus kembali, oleh karenanya pengukuran diameter cervix dan kornua uterus dihentikan. Seperti di gambar 4 tampak bahwa, pada saat ini ukuran diameter cervix uterus 5,43±0,49 cm dan kornua uterusnya 5,19±0,61 cm pada kelompok N+B lebih
15
kecil dari diameter cervix uterus 6,21±0,46 cm dan kornua uterus 5,35±0,33 kelompok RP+B di minggu ke-5 pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus sapi dengan kelahiran normal pada saat kembali estrus pasca kelahiran lebih kecil dari sapi retensi plasenta. Dibandingkan dengan hasil penelitian Konyves et al. (2009) ukuran diameter uterus kelompok N+B masih lebih besar dari ukuran cervix uterus dan kornua uterus sapi dengan kelahiran normal dari penelitiannya yaitu 3-4 cm pada 30-40 hari post partus. Maka pada kelompok N+B dengan kelahiran normal dan diberikan bolus antibiotika, karena cairan lochia lebih cepat dikeluarkan dan luka peradangan lebih cepat sembuh sehingga estrus dapat muncul kembali walaupun diameternya lebih besar dari ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus normal sapi post partus.
A
B
Gambar 4. Grafik pengukuran diameter uterus, A (cervix) dan B (kornua) pada ketiga kelompok penelitian. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk kembali estrus sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.
16
Penelitian Spigel (2001) dan Levkut (2002), mengaitkan kesuksesan terapi bolus antibiotika post partus dengan cairan lochia, pada sapi dengan kelahiran normal dan diterapi dengan bolus antibiotika cairan lochia akan mengering rata-rata 10 hari post partus dan diikuti dengan hancurnya bolus antibiotika di dalam uterus sehingga zat aktif bolus diserap sempurna karena lebih mudah menembus dinding endometrium untuk mengeliminasi infeksi bakteri di uterus. Sapi dengan kelahiran yang diikuti retensi plasenta, cairan lochia rata-rata mengering 20-25 hari post partus, sehingga jika diberikan bolus antibiotika, hancurnya bolus tidak diikuti dengan mengeringnya cairan lochia di dalam uterus sehingga zat aktif bolus hanya dalam jumlah sedikit yang dapat menembus dinding endometrium (Sheldon 2005). Pada minggu ke-5 pengamatan sapi kelompok RP+B dan RP-B belum menunjukan gejala estrus kembali dengan ukuran diameter cervix uterus 6,21±0,46 cm dan kornua uterus 5,35±0,33 cm pada kelompok RP+B yang ukuran diameternya lebih kecil dari kelompok RP-B dengan diameter cervix uterus 6,73±0,87 cm dan kornua uterus 6,30±0,53 cm. Pada saat sapi kelompok RP+B dan RP-B menunjukan estrus kembali, diameter cervix uterus sebesar 5,12±0,13 cm dan kornua uterusnya 4,23±0,34 cm pada kelompok RP+B tetap ukurannya lebih kecil dari diameter cervix uterus 5,83±1,04 cm dan kornua uterus 5,50±0,62 pada kelompok RP-B di minggu ke-8 pengamatan. Dengan perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa penurunan diameter uterus dengan pemberian bolus antibiotika pada sapi retensi plasenta akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan sapi retensi plasenta tanpa pemberian bolus, karena pemberian bolus antibiotika dapat mengeliminasi bakteri di uterus pada kelompok RP+B dan membantu persembuhan luka. Hasil ini sesuai dengan penelitian Cai (2000) menyatakan bahwa karena sapi yang melahirkan dengan kejadian retensi plasenta mengalami perubahan fisiologis yang berdampak pada penurunan sistim pertahanan tubuh pada tingkat selular dan hormonal sehingga meningkatkan resiko infeksi pada uterus maka penggunaan terapi bolus antibiotika pada sapi yang mengalami retensi plasenta sangat diperlukan. Pernyataan ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian (Kaczmarowski et al. 2005) yang menyatakan bahwa level progesteron pada kejadian retensi plasenta post partus lebih tinggi
17
dibandingkan dengan sapi yang melahirkan normal, hal ini terjadi karena adanya gangguan pada plasenta untuk memproduksi enzim spesifik steroidal yang berfungsi untuk proses metabolisme progesteron dan mengubahnya menjadi estrogen, kejadian ini akan menginduksi akumulasi protein immunosupresif di lumen uterus sehingga uterus mudah terinfeksi bakteri serta kontraksi post partus untuk mengeluarkan cairan lochia akan terganggu. Selain itu menurut (Kimura et al. 1999) cairan lochia yang terhambat pengeluarnnya merupakan media yang memungkinkan kontaminasi patogen di uterus sehingga kondisi imunosupresif lebih jelas terlihat.
Gambaran Ultrasonografi Involusi Uterus Gambaran ultrasonografi terhadap cervix uterus dan kornua uterus memperlihatkan proses involusi uterus sepanjang waktu pengamatan, seperti diameter cervix uterus dan kornua uterus yang terus mengecil, dan cairan lochia yang volumenya terus berkurang diikuti dengan persembuhan jaringan cervix uterus dan kornua uterus. Potongan melintang gambaran ultrasonografi cervix uterus dan kornua uterus pada kelompok N+B seperti pada gambar 5, di minggu pengamatan ke-1 cervix uterus memberikan gambaran anechoic yang lebih dominan, diselingi gambaran hypoechoic dengan diameter yang masih panjang dan dinding cervix uterus yang tidak jelas dan tidak berbatas karena tertutup cairan lochia sehingga gelombang ultrasound tidak bisa memberikan gambaran bagian-bagian cervix secara jelas. Berdasarkan penelitian Dolezel et al. (2008); Johnson (2009) metode pengamatan terhadap organ uterus pada sapi perah menggunakan teknik ultrasonografi real time B-mode akan memberikan gambaran potongan melintang yang jelas setelah hari ke-19 sampai hari ke-22 post partus normal. Pada minggu pengamatan ke-2 cervix uterus mulai memberikan gambaran hypoechoic dan menampakkan warna putih di tengah diantara celah anechoic, akan tetapi gambaran anechoic lebih dominan yang menandakan cairan lochia masih menutupi bagian-bagian cervix, minggu pengamatan ke-3 cervix uterus memberikan gambaran hypoechoic yang lebih dominan dibandingkan gambaran anechoic dengan
18
dinding cervix uterus yang tampak masih tebal, di minggu pengamatan ke-4 cervix memberikan gambaran yang sama dengan minggu ke-3 tetapi dinding cervix uterus terlihat lebih tipis.
N+B
RP-B
RP+B
Gambar 5. Potongan melintang gambaran ultrasonografi cervix uterus pada setiap kelompok pengamatan. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk memberikan gambaran ultrasonografi normal cervix uterus sapi betina siklus, sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.
Pengamatan di minggu ke-5 cervix memberikan gambaran hypoechoic dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding cervix uterus, gambaran seperti ini adalah gambaran normal cervix pada sapi betina siklus. Pada kelompok RP+B dan RP-B cervix uterus memberikan gambaran yang sama seperti minggu ke-4 pada kelompok N+B mulai
19
dari minggu ke-6, pada kedua kelompok ini gambaran cervix uterus normal sapi betina siklus baru dihasilkan pada minggu pengamatan ke-8. Pada kelompok N+B seperti tampak pada gambar 6, minggu pengamatan ke-1 kornua uterus memberikan gambaran anechoic yang lebih dominan, diselingi gambaran hypoechoic, lapisan-lapisan dan lumennya tidak bisa dibedakan yang menandakan banyaknya jaringan dan cairan lochia sehingga gelombang ultrasound tidak bisa memberikan gambaran bagian-bagian kornua uterus secara jelas. Minggu pengamatan ke-2 kornua uterus masih memberikan gambaran anechoic diselingi gambaran hypoechoic, dinding kornua uterus tampak tebal dan hyperechoic sehingga bagian-bagiannya masih tidak bisa dibedakan dengan jelas. Pada minggu pengamatan ke-3 kornua uterus masih memberikan gambaran yang sama tetapi dinding kornua uterus tampak menipis, pada minggu pengamatan ke-4 kornua uterus memberikan gambara hypoechoic yang lebih dominan tetapi dinding kornua uterus masih terlihat agak tebal, minggu pengamatan ke-5 kornua uterus memberikan gambaran hypoechoic diselingi oleh gambaran anechoic pada dinding kornua uterus yang menandakan vaskularisasi darah pada kornua uterus kembali normal. Pada kelompok RP+B dan RP-B kornua uterus memberikan gambaran yang sama seperti minggu ke4 pada kelompok N+B mulai dari minggu ke-6, pada kedua kelompok ini gambaran normal kornua uterus sapi betina siklus juga dihasilkan pada minggu pengamatan ke8. Menurut Goddar 1995 dan Widmer 1997 gambaran ultrasonografi cervix uterus dalam keadaan normal dan tidak bunting akan memberikan suatu gambaran hypoechoic (abu-abu) dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic (hitam) yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding cervix uterus, sedangkan kornua uterus akan terlihat dengan gambaran lapisan luarnya yang hypoechoic, dikelilingi oleh cincin yang hitam, berisikan pelindung vascular, dan lapisan longitudinal, sirkular dan obligat dari miometrium, dan secara longitudinal pada kornua terlihat gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium dan lapisan-lapisan muskulusnya.
20
N+B
RP-B
RP+B
Gambar 6. Potongan melintang gambaran ultrasonografi kornua uterus pada setiap kelompok pengamatan. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk memberikan gambaran ultrasonografi normal kornua uterus sapi betina siklus, sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.
Pemeriksaan Total Leukosit Darah Pemeriksaan leukosit darah dilakukan untuk melihat responnya terhadap kejadian retensi plasenta. Partus merupakan suatu proses traumatik pasca jaringan uterus, sehingga ingin diketahui gambaran total leukosit sebagai penanda peradangan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa, penurunan jumlah total leukosit darah berbanding lurus dengan penurunan diameter cervix uterus dan kornua uterus. Berdasarkan analisis statistika terhadap pengaruh pemberian bolus antibiotika pada penelitian ini menunjukan, penurunan jumlah total leukosit pada ketiga kelompok perlakuan sampai dengan minggu kelima tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi
21
pengaruh waktu involusi uterus berpengaruh signifikan (p<0,05), hal ini mengindikasikan bahwa penurunan leukosit darah menunjukan adanya proses penyembuhan pada uterus pasca kelahiran dan waktu sangat berpengaruh.
Gambar 7. Rataan pengukuran jumlah total leukosit pada masing-masing kelompok. Kelompok N+B, pada pengamatan ke-36 jumlah leukositnya sudah dalam kisaran normal jumlah total leukosit sapi betina estrus sedangkan kelompok RP+B dan RP-B baru dicapai pada minggu ke-8.
Jika dilihat dari hasil penelitian pada gambar 7, jumlah total leukosit menunjukkan penurunan yang berarti mulai dari minggu pengamatan ke-15. Pada hari pengamatan ke-36 sapi pada kelompok N+B dengan jumlah total leukosit 6248.67±220.15 sel, sudah menunjukkan gejala estrus sedangkan pada kelompok RP+B dan kelompok RP-B dengan jumlah total leukositnya adalah 6838.67±151.61 sel dan 7366.67±757.19 sel secara berturutan belum estrus kembali, hal itu menunjukkan bahwa peradangan akibat luka post partus pada sapi kelompok RP+B dan RP-B belum sembuh, sehingga infiltrasi leukosit masih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Levkut (2002), sapi dengan masa involusi uterus melebihi normal seperti pada kejadian retensi plasenta memiliki jumlah leukosit yang lebih tinggi dari sapi
22
yang melahirkan normal pada 30-40 hari post partus, hal ini menandakan masih adanya infeksi. Sheldon (2005) menambahkan bahwa uterus yang terinfeksi bakteri Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, Corynebacterium pyogenese, Archanobacterium pyogenes, Staphylococcus aureus juga memiliki jumlah hormon progesteron yang lebih tinggi hal itu dikarenakan uterus yang terinfeksi tersebut menghambat proses regresi dari corpus luteum karena penghambatan sintesis prostaglandin dan cytokins yang juga merupakan faktor penting dalam proses involusi uterus (Kaczmarowski et al. 2005). Pada kelompok RP+B, estrus terjadi pada saat jumlah total leukositnya sebanyak 6216.67±76.38 sel dan 6966.67±663.95 sel pada kelompok RP-B pada hari pengamatan ke-54, sesuai dengan penelitian Spigel (2001) dimana jumlah total leukosit sapi pada saat estrus berkisar antara 6000-7500 sel. Jadi, hasil penelitian ini menunjukan bahwa sapi pada semua kelompok memiliki jumlah total leukosit dalam kisaran normal pada saat estrusnya.