BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian 1. Sectio Caesaria Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau suatu histerektomia untuk janin dari dalam rahim. ( Mochtar, 1998 ) Sectio caesaria adalah cara melahirkan janin dengan menggunakan insisi pada perut dan uterus. (Bobak, 2004) Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Wiknjosastro, 2002: 863).
2. Pre Eklamsi Pre eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada molahidatidosa (Wiknjosastro, 2002) Preeklamsia berat adalah suatu keadaan pada kehamilan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan ibu posisi tirah baring. (Bobak,2004)
7
Jadi Post Sectio Caesaria dengan indikasi Preeklamsia berat adalah masa setelah proses pengeluaran janin yang dapat hidup di luar kandungan dari dalam uterus ke dunia luar dengan menggunakan insisi pada perut dan uterus karena adanya hipertensi,edema dan proteinuria.
B. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi dan Fisiologi sistem reproduksi Organ reproduksi wanita terbagi atas organ eksterna dan interna. Organ eksterna berfungsi dalam berfungsi dalam kopulasi, sedangkan organ interna berfungsi dalam ovulasi, sebagai tempat fertilisasi sel telur dan perpindahan blastosis, dan sebagai tempat implantasi, dapat dikatakan berfungsi untuk pertumbuhan dan kelahiran janin a. Struktur Eksterna
Gambar 1: Organ Reproduksi Eksterna pada wanita. (Wiknjosastro, 2005)
8
1) Mons Pubis Mons Pubis atau Mons Veneris adalah jaringan lemak subkutan berbentuk bulat yang lunak dan padat serta merupakan jaringan ikat jarang diatas simfisis pubis. Mons pubis mengandung banyak kelenjar sebasea (minyak) dan ditumbuhi Rambut berwarna hitam, kasar dan ikal pada masa pubertas, yakni sekitar satu sampai dua tahun sebelum awitan haid. Fungsinya sebagai bantal pada saat melakukan hubungan sex. 2) Labia Mayora Labia Mayora ialah dua lipatan kulit panjang melengkung yang menutupi lemak dan jaringan ikat yang menyatu dengan mons pubis. Keduanya memanjang dari mons pubis ke arah bawah mengelilingi labia mayora, meatus urinarius, dan introitus vagina ( muara vagina ). 3) Labia Minor Labia Minora, terletak diantara dua labia mayora, merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit dan tidak berambut yang memanjang ke arah bawah dari bawah klitoris dan menyatu dengan fourchette. Sementara bagian lateral dan anterior labia biasanya mengandung pigmen, permukaan medial labia minora sama dengan mukosa vagina; merah muda dan basah. Pembuluh darah yang sangat banyak membuat labia berwarna merah kemurahan dan
9
memungkinkan labia minora membengkak, bila ada stimulus emosional atau stimulus fisik. 4) Klitoris Klitoris adalah organ pendek berbentuk silinder dan erektil yang terletak tepat dibawah arkus pubis. Dalam keadaan tidak terangsang, bagian yang terlihat adalah sekitar 6 x 6 mm atau kurang. Ujung badan klitoris dinamai glans dan lebih sensitif daripada badannya. Saat wanita secara seksual terangsang, glans dan badan klitoris membesar. Fungsi klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksualitas. 5) Prepusium Klitoris Dekat sambungan anterior, labia minora kanan dan kiri memisah menjadi bagian medial dan lateral. Bagian lateral menyatu di bagian atas klitoris dan membentuk prepusium, penutup yang berbentuk seperti kait. Bagian medial menyatu di bagian bawah klitoris untuk membentuk frenulum. Kadang-kadang prepusium menutupi klitoris. 6) Vestibulum Vestibulum ialah suatu daerah yang berbentuk seperti perahu atau lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum
terdiri
dari
muara
uretra,
kelenjar
parauretra
(vestibulum minus atau skene), vagina dan kelenjar paravagina (vestibulum mayus, vulvovagina, atau Bartholin). Permukaan
10
vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh bahan kimia (deodorant semprot, garam-garaman, busa sabun), panas, rabas dan friksi (celana jins yang ketat). 7) Fourchette Fourchette adalah lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora dan minora di garis tengah dibawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil dan fosa navikularis terletak di antara fourchette dan himen. 8) Perineum Perineum ialah daerah muscular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan anus. Perineum membentuk dasar badan perineum. Penggunaan istilah vulva dan perineum kadang-kadang tertukar, b. Struktur Intenal
Gambar 2: Organ Reproduksi Internal pada wanita. (Wiknjosastro, 2005).
11
1) Ovarium Sebuah ovarium terletak di setiap sisi uterus, dibawah dan di belakang tuba falopii. Dua ligamen mengikat ovarium pada tempatnya, yakni bagian mesovarium ligamen lebar uterus, yang memisahkan ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira setinggi Krista iliaka antero superior, dan ligamentum ovarii proprium. Dua fungsi ovarium ialah menyelenggarakan ovulasi dan memproduksi hormon. Saat lahir, ovarium wanita normal mengandung sangat banyak ovum primordial (primitif). Ovarium juga merupakan tempat utama produksi hormon seks steroid (estrogen, progesterone, dan androgen) dalam jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi wanita normal. Hormon estrogen adalah hormon seks yang di produksi oleh rahim untuk merangsang pertumbuhan organ seks seperti payudara dan rambut pubik serta mengatur sirkulasi manstrubasi. Hormon estrogen juga menjaga kondisi kesehatan dan elasitas dinding vagina. Hormon ini juga menjaga teksture dan fungsi payudara. pada wanita hamil hormon estrogen membuat puting payudara membesar dan merangsang pertumbuhan kelenjar ASI dan memperkuat dinding rahim saat terjadi kontraksi menjelang persalinan. Hormon progesterone berfungsi untuk menghilangkan
12
pengaruh hormon oksitoksin yang dilepaskan oleh kelenjar pituteri. Hormon ini juga melindungi janin dari serangan sel-sel kekebalan tubuh dimana sel telur yang di buahi menjadi benda asing dalam tubuh ibu. hormon androgen berfungsi untuk menyeimbangkan antara hormon estrogen dan progesteron. ( Harunyaha,2003) 2) Tuba Falopii (Tuba Uterin) Panjang tuba ini kira-kira 10 cm dengan diameter 0,6 cm. Setiap tuba mempunyai lapisan peritoneum di bagian luar, lapisan otot tipis di bagian tengah, dan lapisan mukosa di bagian dalam. Lapisan mukosa terdiri dari sel-sel kolumnar, beberapa di antaranya bersilia dan beberapa yang lain mengeluarkan secret. Lapisan mukosa paling tipis saat menstruasi. Setiap tuba dan lapisan mukosanya menyatu dengan mukosa uterus dan vagina. 3) Uterus Uterus adalah organ berdinding tebal, muscular, pipih, cekung yang tampak mirip buah pir terbalik. Pada wanita dewasa yang belum pernah hamil, berat uterus ialah 60 g. Uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin dan teraba padat. Derajat kepadatan ini bervariasi bergantung kepada beberapa faktor. Misalnya, uterus mengandung lebih banyak rongga selama fase sekresi Tiga fungsi uterus adalah siklus menstruasi dengan peremajaan endometrium, kehamilan dan persalinan. Fungsi-fungsi 13
ini esensial untuk reproduksi, tetapi tidak diperlukan untuk kelangsungan fisiologis wanita. 4) Dinding Uterus Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan: endometrium, miometrium, dan sebagian lapisan luar peritoneum parietalis. 5) Serviks Bagian paling bawah uterus adalah serviks atau leher. Tempat perlekatan serviks uteri dengan vagina, membagi serviks menjadi bagian supravagina yang panjang dan bagian vagina yang lebih pendek. Panjang serviks sekitar 2,5 sampai 3 cm, 1 cm menonjol ke dalam vagina pada wanita tidak hamil. Serviks terutama disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta sejumlah kecil serabut otot dan jaringan elastis. 6) Vagina Vagina, suatu struktur tubular yang terletak di depan rectum dan di belakang kandung kemih dan uretra, memanjang dari introitus (muara eksterna di vestibulum di antara labia minora vulva) sampai serviks. Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu meregang secara luas. Karena tonjolan serviks ke bagian atas vagina, panjang dinding anterior vagina hanya sekitar 7,5 cm, sedangkan panjang dinding posterior sekitar 9 cm.
14
Ceruk yang terbentuk di sekeliling serviks yang menonjol tersebut disebut forniks: kanan, kiri, anterior dan posterior. Mukosa vagina berespons dengan cepat terhadap stimulasi estrogen dan progesterone. Sel-sel Sel mukosa tanggal terutama selama siklus menstruasi dan selama masa hamil. Sel-sel Sel sel yang diambil dari mukosa vagina dapat digunakan untuk mengukur kadar hormon seks steroid. Cairan vagina berasal dari traktus genitalia atas atau bawah. Cairan sedikit asam. Interaksi Interaksi antara laktobasilus vagina dan glikogen mempertahankan keasaman. Apabila pH naik di atas lima, insiden infeksi vagina meningkat (Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2004) 2. Anatomi Fisiologi Abdomen
Gambar 3. Anatomi Abdomen (Bambang Widjanarko, 2010)
15
a. Kulit
Gambar 4. Lapisan Abdomen (Bambang Widjanarko, 2010)
1) Lapisan Epidermis Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel Sel sel yang menyusunya secara berkesinambungan dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel sel sel baru kearah permukaan, tempat kulit terkikis erkikis oleh gesekan. Lapisan luar terdiri dari keratin, protein bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel selselnya sangat rapat. 2) Lapisan Dermis Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan fibrosa dan elastin. Lapisan superfasial menonjol ke dalam epidermis berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.
16
3) Lapisan subkutan Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak, berisi banyak pembuluh darah dan ujung syaraf. Lapisan ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Dalam hubungannya dengan tindakan SC, lapisan ini adalah pengikat organ-organ yang ada di abdomen, khususnya uterus. Organ-organ di abdomen dilindungi oleh selaput tipis yang disebut peritonium. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus. b. Fasia
Gambar 5. Bagian Fasia
17
Di bawah kulit fasia superfisialis dibagi menjadi lapisan lemak yang dangkal, Camper's fasia, dan yang lebih dalam lapisan fibrosa,. Fasia profunda terletak pada otot-otot perut. menyatu dengan fasia profunda paha. Susunan ini membentuk pesawat antara Scarpa's fasia dan perut dalam fasia membentang dari bagian atas paha bagian atas perut. Di bawah lapisan terdalam otot, maka otot abdominis transverses, terletak fasia transversalis. Para fasia transversalis dipisahkan dari peritoneum parietalis oleh variabel lapisan lemak.. Fascias adalah lembar jaringan ikat atau mengikat bersama-sama meliputi struktur tubuh. c. Otot perut
Gambar 6. Lapisan Otot Perut (Bambang Widjanarko, 2010)
18
1) Otot dinding perut anterior dan lateral Rectus abdominis meluas dari bagian depan margo costalis di atas dan pubis di bagian bawah. Otot itu disilang oleh beberapa pita fibrosa dan berada didalam selubung. Linea alba adalah pita jaringan yang membentang pada garis tengah dari procecuss xiphodius sternum ke simpisis pubis, memisahkan kedua musculus rectus abdominis. Obliquus externus, obliquus internus dan transverses adalah otot pipih yang membentuk dinding abdomen pada bagian samping dan depan. Serat externus berjalan kea rah bawah dan atas
; serat obliquus internus berjalan keatas dan
kedepan ; serat transverses (otot terdalam dari otot ketiga dinding perut) berjalan transversal di bagian depan ketiga otot terakhir otot berakhir dalam satu selubung bersama yang menutupi rectus abdominis. 2) Otot dinding perut posterior Quadrates lumbolus adalah otot pendek persegi pada bagian belakang abdomen, dari costa keduabelas diatas ke crista iliaca, (Gibson, J. 2002)
C. Etiologi dan Predisposisi Penyebab pre eklamsi sampai sekarang belum diketahui tetapi dewasa ini banyak ditemukan sebab Pre eklamsi adalah iskemia placenta dan kelainan
19
yang menyertai penyakit ini adalah Spasmus, Arteriola, Retensi natrium dan air juga koagulasi intravaskuler ( Wiknjasastro, 2002 ) Penyebab Pre Eklamsi sampai sekarang belum diketahui, telah terdapat teori yang mencoba menerangkan sebab musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima antara lain: 1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidromnion, dan molahidatidosa 2. Sebab bertambahnya, frekuensi dan makin tuanya kehamilan 3. Sebab dapat terjadinya, perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dan uterus 4. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma Faktor predisposisi pre eklamsi yang harus diwaspadai menurut (Hanifa, 2002) antara lain Nuliparitas, riwayat keluarga dengan Eklamsi dan pre eklamsi, kehamilan ganda, diabetes, hipertensi dan molahidatidosa.
D. Patofisiologi Patofisiologi Pre Eklamsi setidaknya berkaitan dengan fisiologis kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi vaskuler sistemik, peningkatan curah jantung dan penurunan tekanan osmotik koloid pada pre eklamsi.
Volume
plasma
yang
beredar
menurun,
sehingga
terjadi
hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini
20
membuat perfusi ke unit janin utero plasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel – sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun. Ada beberapa indikasi dilakukan tindakan operasi sectio caesaria antaranya karena Pre Eklamsia, sebelum dilakukan tindakan operasi sectio caesaria perlu adanya persiapan, persiapan diantaranya yaitu premedikasi, pemasangan kateter dan anastesi yang kemudian baru dilakukan operasi. Dilakukannya operasi caesaria akan berpengaruh pada dua kondisi yaitu, Pertama, kondisi yang dikarenakan pengaruh anastesi, luka akibat operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada peristaltik usus, luka akibat operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada peristaltik usus, otot pernafasan dan kons pengaturan muntah. Sedangkan pada luka akibat operasi akan menyebabkan perdarahan, nyeri serta proteksi tubuh kurang. Pada masa nifas akan berpengaruh pada kontraksi uterus, lochea, dan laktasi. Kontraksi uterus yang berlebihan akan menyebabkan nyeri hebat. Sedangkan pada lochea yang berlebihan akan menimbulkan perdarahan. Pada masa laktasi progesteron dan esterogen akan merangsang kelenjar susu untuk mengeluarkan ASI. Kondisi kedua adalah kondisi fisiologis yang terdiri dari tiga fase yaitu taking in, taking hold, dan letting go. Pada fase taking in terjadi saat satu sampai dua hari post partum, sedangkan ibu sangat tergantung pada orang lain. Fase yang kedua terjadi pada 3 hari post partum, ibu mulai makan dan minum sendiri, merawat diri dan bayinya. Untuk fase yang ketiga ibu dan keluarganya
21
harus segera menyesuaikan diri terhadap interaksi antar anggota keluarga ( Bobak, 2004. Prawiroharjo, 2000 )
E. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik yang muncul pada penderita Pre Eklamsi Berat menurut Bobak ( 2004 ) adalah 1. Pre Eklamsi Ringan a. Bila tekanan sistolik > 140 mmHg kenaikan 30 mmHg diatas tekanan biasa, tekanan distolik 90 mmHg, kenaikann 40 mmHg diatas tekanan biasa, tekanan darah yang meninggi ini sekurangnya diukur 2x dengan jarak 6 jam b. Proteinuria sebesar 300 mg/dl dalam 25 jam atau > 1 gr/dl secara random dengan memakai contoh urin siang hari yang dikumpulkan pada dua waktu dengan jarak 6 jam karena kehilangan protein adalah bervariasi c. Edema dependent, bengkak dimata, wajah, jari, bunyi pulmoner tidak terdengar. Edema timbul dengan didahului penambahan berat badan ½ kg dalam seminggu atau lebih. Tambahan berat badan yang banyak ini disebabkan oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema nampak, edema ini tidak hilang dengan istirahat
22
2. Pre Eklamsi Berat a. Tekanan Darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan posisi ibu tirah baring b. Proteinuria > 5 gram dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada pemeriksaan
diagnostik
setidaknya
pada
2x
pemeriksaan
acak
menggunakan contoh urin yang diperoleh cara bersih dan berjarak setidaknya 4 jam c. Oliguria < 400 mml dalam 24 jam d. Gangguan otak atau gangguan penglihatan e. Nyeri ulu hati f. Edema paru/ sianosis 3. Eklamsia a. Kejang – kejang / koma b. Nyeri pada daerah frontal c. Nyeri epigastrium d. Penglihatan semakin kabur e. Mual, muntah
F. Jenis sectio caesaria Menurut Mochtar Rustam (1998) jenis-jenis sectio caesarea adalah : 1. transperitonealis a. Sectio Caesarea klasik (korporal)
23
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kirakira sepanjang 10 cm. Kelebihan : 1) Mengeluarkan janin lebih cepat 2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih 3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal Kekurangan : 1) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada riperitonearisasi yang baik 2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan b. Sectio Caesarea ismika (profunda) Dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm. Kelebihan : 1) Penjahitan luka lebih mudah 2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik 3) Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga periutoneum 4) Perdarahan kurang 5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang atau lebih kecil. 24
Kekurangan : 1) Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat menye-babkan uterine putus dan terjadi perdarahan hebat. 2) Keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.
2. Sectio Caesarea ekstraperitonealis Sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal. G. Teknik Sectio caesaria Adapun teknik sectio caesaria menurut Mochtar, Rustam (1998) yaitu 1. Teknik Seksio Sesarea Transperitonealis Profunda Daver Catheter di pasang dan wanita berbaring dalam letak tredelenburg ringan. Diadakan insisi pada dinding perut pada garis tengah dari simfisis sampai beberapa cm di bawah pusat. Setelah peritorium dibuka, dipasang spekulum perut dan lapangan operasi dipisahkan dari rongga perut dengan satu kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan piset, plikovesitas. Uterina dibuka dan insisi diteruskan melintang jauh ke lateral. Kemudian kandung kencing depan uterus didorong ke bawah dengan jari. Pada segmen bawah uterus yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta kandung kencing yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas untuk menghindari terbukanya cabang-cabang arteria uterine. Karena uterus 25
dalam kehamilan tidak jarang memutar ke kanan, sebelum membuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamenta rocundo kanan dan kiri, di tengah-tengah insisi diteruskan sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak, kemudian luka yang terakhir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti sayatan yang telah dibuat terlebih dahulu. Sekarang ketuban dipecahkan dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut diangkat dan lengan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan dengan memegang kepala dari belakang dengan jari-jari tangan penolong. Diusahakan lahirnya kepala melalui lubang insisi. Jika dialami kesulitan untuk melahirkan kepala janin lubang insisi. Jika dialami ksulitan untuk melahirkan kepala janin dengan tangan, dapat dipasang dengan cunan boerma. Sesudah kepala janin badan terus dilahirkan muka dan mulut terus dibersihkan. Tali pusat dipotong dan bayi diserahkan pada orang lain untuk diurus. Diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus/ intravena, pinggir luka insisi dipegang dengan beberapa Cunam ovum dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual. Tangan untuk sementara dimasukkan ke dalam rongga uterus untuk mempermudah jahitan luka, tangan ini diangkat sebelum luka uterus ditutp sama seklai. Jahitan otot uterus dilakukan dalam dua lapisan yaitu lapisan pertama terdiri atas kahitan simpul dengan cagut dan dimulai dari ujung yang satu ke ujung yang lain (jangan mengikutsertakan desidua), lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus sehingga luka pada miomtrium tertutup rapi.
26
Keuntungan pembedahan ini: a.
Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b.
Bahaya peritonitis tidak besar
c.
Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri dikemudian hari tidak besar, karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami konraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2.
Teknik Seksio Sesarea Korporal Setelah dinding perut dan peritoneum pariatale terbuka pada gari lengan dipasang beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan dinding uterus untuk mencegah masuknya air ketuban dan darah ke rongga perut. Diadakan insisi pada bagian tengah korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vegika uterine. Diadakan lubang kecil pada batang kantong ketuban untuk menghisap air ketuban sebanyak mungkin, lubang ini kemudian dilebarkan dan janin dilahirkan dengan tarikan pada kakinya. Setelah anak lahir korpus uteri dapat dilahirkan dari rongga perut untuk memudahkan tindakan-tindakan selanjutnya. Sekarang diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus intravena dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual kemudian dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut yang kuat dalam dua lapisan, lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dan kedua jahitan menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan catgut lebih tipis yang mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar
27
miomtrium dan yang menutupi jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi. Akhirnya dinding perut ditutup secara biasa. 3.
Teknik seksio sesarea klasik a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi dipersempit dengan kain suci hama b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sepanjang 12 cm sampai di bawah umbilikus lapis demi lapis sehingga kavum peritonial terbuka. c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atasa rahim (SAR) kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting. e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Setelah janin lahir eluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong diantara kedua penjepit. f.
Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam rahim secara intra mural.
g. Luka insisi SAR dijahit kembali 1) Lapisan I
: Endometrium berama miometrium dijahit ecara
jelujur dengan benang catgut kronik 2) Lapisan II
: Hanya miometrium aja dijahit ecara simopul
(berhubung otot SAR angat tebal) dengan catgut kronik
28
3) Lapian III
: Peritoneum aja, dijahit secara simpul dengan
benang catgut biasa. h. Setelah dinding selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi i.
Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka dinding perut dijahit.
4. Teknik seksio histerektomi a. Stetelah janin dan plasenta dilahirkan dari rongga rahim, dilakukan hemostasis pada insisi dinding rahim, cukup dengan jahitan jelujur atau simpul. b. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh dikeluarkan dari rongga pelvis c. Mula-mula ligamentum rotundum dijepit dengan cunam kocher dan cunam oschner kemudian dipotong sedekat mungkin dengan rahim, dan jaringan yang sudah dipotong diligasi dengan benang catgut kronik no.0 bladder flap yang telah dibuat pada waktu seksio sesarea transperitoneal profunda dibebaskan lebih jauh ke bawah dan lateral. Pada ligamentum latum belakang lubang dngan jari telunjuk tangan kiri di bawah adneksa dari arah belakang. Dengan cara ini ureter akan terhindar dari kemungkinan terpotong. d. Melalui lubang pada ligamentum ini, tuba faloppi, ligamnetum utero ovarika, dan pembuluh darah dalam jaringan terebut dijepit dengan 2 cunam oscher lengkung dan di sisi rahim dengan cunam kocher. Jaringan diantaranya kemudian digunting dengan gunting Mayo.
29
Jaringan yang terpotong diikat dengan jahitan transfiks untuk hemotasis dengan catgut no. 0 e. Jaringan ligamentum latum yang sebagian besar adalah avaskuler dipotong secara tajam ke arah serviks. Setelah pemotongan ligamentum latum sampai di daerah serviks, kandung kencing disisihkan jauh ke bawah dan samping f. Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan panjepitan dengan cunam oscher lengkung secara ganda, dan pada tempat yang ama di sisi rahim dijepit dengan cunam kocher luurs. Kemudian jaringan diantaranya digunting dengan gunting Mayo. Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap sehingga ligamentum kardinale terpotong seluruhnya. Puntung ligamentum kardinale dijahit transfiks secara ganda dengan benang catgut khronik no. 0 g. Demikian juga ligamentum sakro-uterine kiri dan kanan dipotong dengan cara yang sama, dan iligasi secara transfiks dengan benang catgut khronik no.0 h. Setelah mencapai di atas dinding vagina serviks, pada sisi depan serviks dibuat irisan sagital dengan pisau, kemudian melalui insisi tersebut dinding vagina dijepit engan cunam oscher melingkari serviks dan dinding vagina dipotong tahap demi tahap. Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau pisau. Rahim akhirnya dapat diangkat.
30
i. Puntung vagina dijepit dengan beberapa cunm kocher untuk hemostasis.
Mula-mula
puntung
kedua
ligamentum
kardinale
dijahitkan pada ujung kiri dan kanan puntung vagina, sehingga terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung vagina. Puntung vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengancatgut khromik. Puntung adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan digantungkan pada puntung vagina, asalkan tidak terlalu kencang. Akhirnya puntung vagina ditutup dengan retro-peritonealisasi dengan menutupkan bladder flap pada sisi belakang puntung vagina. j. Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutup kembali lapis demi lapisan. (Winkjosastro,2005)
H. Indikasi Sectio Caesaria Indikasi untuk seksio sesaria menurut Mochtar, Rustam, 1998 a. Indikasi untuk ibu Plasenta
previa,
Distocia
serviks,
Ruptur
uteri
mengancam,
Disproporsi cepalo pelviks, Pre eklamsi dan eklamsi, Tumor, Partus lama b. Indikasi untuk janin 1. Mal presentasi janin a) Letak lintang 1) Bila ada kesempitan panggul sectio caesarea adalah cara terbaik dalam segala letak lintang dengan janin hidup. 31
2) Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio caesarea. 3) Multipara letak lintang dapat lebih dulu dengan cara yang lain b) Letak bokong Dianjurkan
seksio
sesaria
bila
ada
Panggul
sempit,
Primigravida, Janin besar, Presentasi dahi dan muka bila reposisi dan cara lain tidak berhasil, Presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil, atau Gemeli 2. Gawat Janin Segera lakukan operasi agar tidak terjadi keracunan atau kematian janin, sesuai dengan indikasi sectio caesarea. Kontra indikasi a) Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup kecil. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi. b) Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio caesarea ekstra peritoneal tidak ada. c) Kurangnya pengalaman dokter bedah dan tenaga medis yang kurang memadai.
32
I. Adaptasi Post Sectio Caesaria Adapun adaptasi post sectio caesaria menurut Bobak, Lowdermik, Jensen (2004) meliputi 1. Adaptasi Fisiologi Perubahan fisiologis pada masa post partum menurut Bobak, Lowdermik, Jensen (2004) meliputi : a. Involusi Yaitu suatu proses fisiologi pulihnya kembali alat kandungan ke keadaan sebelum hamil, terjadi karena masing-masing sel menjadi lebih kecil karena cytoplasmanya yang berlebihan dibuang. 1) Involusi uterus Terjadi setelah placenta lahir, uterus akan mengeras karena kontraksi dan reaksi pada otot-ototnya, dapat diamati dengan pemeriksaan Tinggi Fundus Uteri : a) Setelah placenta lahir hingga 12 jam pertama Tinggi Fundus Uteri 1 - 2 jari dibawah pusat. b) Pada hari ke-6 tinggi Fundus Uteri normalnya berada di pertengahan simphisis pubis dan pusat. c) Pada hari ke-9 / 12 tinggi Fundus Uteri sudah tidak teraba. 2) Involusi tempat melekatnya placenta Setelah placenta dilahirkan, tempat melekatnya placenta menjadi tidak beraturan dan ditutupi oleh vaskuler yang kontraksi serta trombosis pada
endometrium
terjadi
pembentukan
scar sebagai
proses
33
penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka pada endometrium ini memungkinkan untuk implantasi dan pembentukan placenta pada kehamilan yang akan datang.
b. Lochea Yaitu kotoran yang keluar dari liang senggama dan terdiri dari jaringanjaringan mati dan lendir berasal dari rahim dan liang senggama. Menurut pembagiannya sebagai berikut : 1) Lochea rubra Berwarna merah, terdiri dari lendir dan darah, terdapat pada hari kesatu dan kedua. 2) Lochea sanguinolenta Berwarna coklat, terdiri dari cairan bercampur darah dan pada hari ke3 - 6 post partum. 3) Lochea serosa Berwarna merah muda agak kekuningan, mengandung serum, selaput lendir, leucocyt dan jaringan yang telah mati, pada hari ke-7 - 10. 4) Lochea alba Berwarna putih / jernih, berisi leucocyt, sel epitel, mukosa serviks dan bakteri atau kuman yang telah mati, pada hari ke-1 – 2 minggu setelah melahirkan.
34
2. Adaptasi psikososial Ada 3 fase perilaku pada ibu post partum menurut Bobak, Lowdermik, Jensen (2004) yaitu : a. Fase “taking in” (Fase Dependen) 1) Selama 1 - 2 hari pertama, dependensi sangat dominan pada ibu dan ibu lebih memfokuskan pada dirinya sendiri. 2) Beberapa hari setelah melahirkan akan menangguhkan keterlibatannya dalam
tanggung
jawab
sebagai
seorang
ibu
dan
ia
lebih
mempercayakan kepada orang lain dan ibu akan lebih meningkatkan kebutuhan akan nutrisi dan istirahat. 3) Menunjukkan kegembiraan yang sangat, misalnya menceritakan tentang
pengalaman
kehamilan,
melahirkan
dan
rasa
ketidaknyamanan. b. Fase “taking hold” (Fase Independen) 1) Ibu sudah mau menunjukkan perluasan fokus perhatiannya yaitu dengan memperlihatkan bayinya. 2) Ibu mulai tertarik melakukan pemeliharaan pada bayinya. 3) Ibu mulai terbuka untukmenerima pendidikan kesehatan bagi diri dan bayinya.
c. Fase “letting go” (Fase Interdependen) 1) Fase ini merupakan suatu kemajuan menuju peran baru.
35
2) Ketidaktergantungan dalam merawat diri dan bayinya lebih meningkat. 3) Mengenal bahwa bayi terpisah dari dirinya
J. Penatalaksanaan Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya: 1. Penatalaksanaan secara medis a. Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam Mefenamat, Ketorolak, Tramadol. b. Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat. c. Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain. Walaupun pemberian antibiotika sesudah Sectio Caesaria efektif dapat dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan. d. Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl. 2. Penatalaksanaan secara keperawatan a. Periksa dan catat tanda – tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit pada 4 jam kemudian. b. Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat c. Mobilisasi Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat tidur dengan dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita sudah dapat berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.
36
d. Pemulangan Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari kelima setelah operasi Menurut “ Bobak” ( 2004 ), “ Wiknjasastro” ( 2002 ) 1. Tujuan pengobatan a. Menurunkan Tekanan Darah dan menghasilkan vasospasme b. Mencegah terjadinya eklamsi c. Anak / bayi hidup, dengan kemungkinan hidup besar d. Persalinan
harus
dengan
trauma
yang
sedikit
jangan
sampai
menyebabkan penyakit pada kehamilan dan persalinan berikutnya e. Mencegah timbulnya kejang f. Mencegah hipertensi yang menetap 2. Dasar Pengobatan a. Istirahat b. Diit rendah garam c. Obat – obat anti hipertensi d. Luminal 100 mg ( IM ) e. Sedatif ( untuk mencegah timbulnya kejang ) f. Induksi persalinan 3. Pengobatan jalan ( dirumah ) Indikasi untuk perawatan di Rumah Sakit adalah a. TD < 140/90 mmHg b. Proteinuria positif akut
37
c. Penambahan BB 1 kg / lebih dalam 1 minggu harus dilakukan observasi yang teliti d. Sakit kepala, penglihatan dan edema jaringan dari kelopak mata e. BB ditimbang 2x sehari f. TD diukur 4 jam sekali g. Cairan yang masuk dan keluar dicatat h. Pemeriksaan urine tiap hari, proteinuria ditentukan kuantitatif i. Pemeriksaan darah j. Makanan yang sedikit mengandung garam k. Sebagai pengobatan diberikan luminal ( 4 x 30 MgSO4 ) kalau ada edema dapat diberikan NH4cl + 4 gram sehari tapi jangan lebih dari 3 hari
K. Komplikasi Kemungkinan
komplikasi
dilakukannya
pembedahan
SC
menurut
Wiknjosastro (2002) 1. Infeksi puerperal Komplikasi yang bersifat ringan seperti kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam masa nifas yang bersifat berat seperti peritonitis, sepsis. 2. Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
38
4. Komplikasi lain seperti luka kandung kemih, kurang kuatnya jaringan parut pada dinding uterus sehingga bisa terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
L. Pengkajian Fokus Post SC Data pengkajian yang ditemukan pada pasien Post SC Menurut Doenges, 2001 yaitu: 1. Pengkajian dasar data klien Tinjauan ulang catatan pre natal dan intra operatif dan adanya indikasi untuk kelahiran caesarea 2. Sirkulasi Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml. 3. Integritas ego Dapar menunjukkan labilitas emosional dan kegembiraan sampai ketakutan, marah atau menarik diri klien/ pasangan dapat memiliki pertanyaan atau salah terima pesan dalam pengalaman kelahiran mungkin mengekspresikan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru. 4. Eliminasi Kateter urinarius indwelling tidak terpasang, urine jernih, bau khas amoniak, bising usus tidak ada, samar/jelas 5. Makanan / Cairan Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal
39
6. Neurosensori Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat anestesi spinal epidural 7. Nyeri / Ketidaknyamanan Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dan berbagai sumber misalnya trauma bedah/insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih/abdomen, efek-efek anestesi, mulut mungkin kering. 8. Pernafasan Bunyi paru jelas dan vesikuler 9. Keamanan Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda/kering dan utuh, jalur parenteral bila digunakan, paten dan insisi bebas eritema, bengkak dan nyeri tekan 10. Seksualitas Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus aliran lochea sedang dan bebas, bekuan berlebihan / banyak. 11. Pemeriksaan diagnostik Jumlah darah lengkap Hb/Ht, mengkaji perubahan dan pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan daerah pada pembedahan. Urinalisis : kultur urine, darah vagina dan lochea, pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individual
40
M. Pathways Keperawatan
41
N. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post SC dengan indikasi pre eklamsia adalah 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan efek anestesi 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan sekunder akibat pembedahan 3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan peningkatan perentanan tubuh terhadap bakteri sekunder pembedahan 4. Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedahan 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi pembedahan dan nyeri 6. Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi 7. Tidak efektifnya laktasi berhubungan dengan perpisahan dengan bayi
O. Fokus Intervensi dan Rasional Fokus rencana keperawatan untuk diagnosa yang muncul pada pasien post SC indikasi pre eklamsia adalah 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan efek anestesi (Doenges, 2001). Tujuan : Mempertahankan kepetanan jalan nafas. KH : Bunyi nafas bersih Itervensi :
42
a. Awasi frekuensi pernafasan Rasional : Untuk mengetahui peningkatan RR b. Catat kemudahan bernafas Rasional : Menentukan apakah klien memerlukan alat bantu atau tidak c. Tinggikan apek 30-45 derajat Rasional : Membantu pengaturan nafas agar tidak sesak d. Dorong batuk efektif dan nafas dalam Rasional : Mengeluarkan secret 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitus jaringan sekunder akibat pembedahan (Doenges, 2001). Tujuan : Nyeri berkurang/hilang KH : - Klien merasa nyeri berkurang /hilang - Klien dapat istirahat dengan tenang Intervensi a. Kaji skala nyeri dan karakteristik alokasi karakteristik termasuk kualitasnya frekuensi, kwalitasnya Rasional : Untuk mengetahui tingkatan nyeri dan menentukan tindakan selanjutnya b. Monitor tanda –tanda vital Rasional : Nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah dan nadi meningkat c. Lakukan reposisi sesui petunjuk, misalnya semi fowler ,miring Rasional : Untuk mengurangi nyeri
43
d. Dorong penggunaan teknik relaksasi misal latihan nafas dalam Rasional : Merileksasikan otot, mengalihkan perhatian dan sensori nyeri e. Ciptakan lingkungan nyaman dan tenang Rasional : Untuk mengurangi nyeri f. Kolaborasi pemberian anal getik sesuai indikasi Rasional : Meningkatkan kenyamanan
dan mempercepat
proses
penyembuhan 3. Resiko tinggi infeksi b/d peningkatan parentanan tubuh terhadap bakteri sekunder pembedahan (Carpenito, 2000) Tujuan : tidak terjadi infeksi KH :- Tidak ada tanda- tanda infeksi (rubor, tulor, dolor, tumor, dan fungsiolaesa ) - Tanda- tanda fital normal terutama suhu (36-37 °C) Intervensi a. Monitor tanda-tanda vital Rasional : Suhu yang meningkat dapat menunjukan terjadinya infeksi b. Kaji luka pada abdomen dan balutan Rasional : Mengidentifikasi apakah ada tanda-tanda infeksi adanya pus c. Menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan pasien, teknik rawat luka dengan anti septik Rasional : Mencegah kontaminasi silang atau penyebaran organisme infeksius
44
d. Catat /pantau kadar Hb dan Ht Rasional : Resiko infeksi post partum dan penyembuhan buruk meningkat bila kadar Hb rendah dan kehilangan darah berlebihan e. Kolaborasi pemberian antibiotik Rasional : Antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi 4. Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedahan (Doenges, 2001) Tujuan : Tidak terjadi devisit volume cairan, meminimalkan devisit volume cairan KH : Membran mukosa lembab, kulit tak kering Hb 12gr % Intervensi : a. Ukur dan catat pemasukan pengeluaran Rasional
:
Dokumentasi
yang
akurat
akan
membantu
dalam
mengidentifikasikan pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti dan menunjang intervensi b. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai lab, misal privesi, posisi duduk , mengalir dalam bak Rasional : Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan c. Catat munculnya mual /muntah Rasional : Masa post operasi semakin lama durasi anestesi semakin besar beresiko untuk mual
45
d. Periksa pembalut , banyaknya pendaraan Rasional : Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hemoragi e. Beri cairan infus sesuai program Rasional : Mengganti cairan yang telah hilang 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi resmi pembedahan dan nyeri (Doenges,2001) Tujuan : klien dapat meningkatkan dan melakukan aktivitas sesuai kemampuan tanpa di sertai nyeri KH.: Klien dapat mengidentivikasi faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktvitas Intervensi : a. Kaji respon pasien terhadap aktivitas Rasional : Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada klien dalam keluhan kelemahan, keletihen yang berkenaan dengan aktivitas b. Catat tipe anestesi yang di berikan pada saat intra partus pada waktu klien sadar Rasional : Pengaruh anestesi dapat mempengaruhi aktivitas klien c. Anjurkan klien untuk istirahat Rasional : Dengan istirahat dapat mempercepat pemulihan tenega untuk beraktivitas, klien dapat rileks d. Bantu dalam pemenuhan aktivitas sesuai kebutuhan Rasional : Dapat memberikan rasa tenang dan aman pada klien karena kebutuhan klien terpenuhi
46
e. Tingkatkan aktivitas secara bertahap Rasional : Dapat meningkatkan proses penyembuhan dan kemampuan koping emosional 6. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi (Doenges,2001) Tujuan : Konstipasi tidak terjadi KH : Klien dapat mengerti penyebab konstipasi klien dapat BAB tidak peras. Intervensi : a. Kaji pada klien apakah ada gangguan dalam BAB Rasional : Untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam BAB b. Anjurkan pada klien untuk makan makanan yang banyak mangandung serat Rasional : Cairan dan makanan serat dapat merangsang eliminasi dan mencegah konstipasi c. Anjurkan untuk minum yang banyak Rasional : Untuk merangsang eliminasi d. Kolaborasi pemberian obat supositoria Rasional : Untuk melunakan feses 7. Tidak efektifnya laktasi b/d perpisahan dengan bayi (Carpenito, 2000) Tujuan : Ibu dapat menyusui secara aktif KH : Ibu dapat membuat suatu keputusan berdasarkan informasi tentang metode menyusui bayi Intervensi :
47
a. Kaji isapan bayi, jika ada lecet pada putting Rasional : Menentukan kemampuan untuk memberikan perawatan yang tepat b. Anjurkan tekhnik breast care dan menyusu yang efektif Rasional : Memperlancar ASI c. Anjurkan pada klien untuk memberikan ASI eksklusif Rasional : ASI dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayi sebagai pertumbuhan optimal d. Anjurkan bagaimana cara memeras, menangani, menyimpan dan memberikan ASI yang benar Rasional : Menjaga agar ASI tetap bisa digunakan dan tetap hygiene bagi bayi
48
49