Nomer 56, december 2008
“Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru” Selama masa Advent, masa penantian, kata-kata seperti pengharapan dan tabah hati berkalikali kita dengar dalam liturgi. Dalam Jesaya 40, kita membaca: ‘Mereka yang percaya akan Tuhan mendapat kekuatan baru.’ Dan dalam menyongsong tahun-tahun mendatang, apa lagi yang masih kita butuhkan selain kekuatan? Tak seorangpun tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun satu hal yang kita tahu pasti, yaitu kekuatan akan dianugerahkan pada kita, asal kita membuka hati. Sebagai redaksi, kami juga memulai sesuatu yang baru. Dalam dunia yang penuh ketidak-pastian, kadang kita memang membutuhkan ‘warna baru’ dalam hidup kita. Itu sebabnya mulai nomor ini CB-Inter In tampil berwarna. Dengan bantuan Tuhan, banyak hal baru juga telah terjadi dalam Kongregasi kita. Kita semakin ‘worldwide’. Hal ini juga ada kaitannya dengan intensitas dalam saling berbagi pengalaman dan perasaan antar kita, seperti terjadi lewat ketiga edisi 2008 buletin kita ini. Kami berharap boleh menikmati antusias yang sama dalam masa mendatang.
CB Inter In Sisters of Charity of St. Charles Borromeo
Penyelenggaraan Illahi telah mengurus segalanya Sr Hedwig Wigi Astuti Maastricht, Nederland “Harta kekayaan yang kuandalkan untuk memulai karya ini hanyalah Penyelenggaraan Illahi. Seluruh harapanku berdasarkan ayat pertama kredo: Aku percaya akan Allah yang Mahakuasa...”(EG.23). Sebagai Kongregasi, kita sangat mencintai Biara Induk di Maastricht, sebab di dalam rumah ini kita diingat-kan kembali akan cita-cita, harapan dan api cinta Bunda Elisabeth yang bernyala. Bagi kita Biara Induk tetap menjadi
simbol iman, cinta, harapan dan kerja keras di kebun anggur Tu-han. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan dan memelihara warisan historis dan rohani Kongregasi, kapitel Umum 2005 memutuskan untuk secepat mungkin membentuk komunitas international di Biara Induk. Demi terwujudnya keputusan ini, DPU dan DPP Indonesia mengutus kami berdua, sr Terry dan saya, ke Maastricht, untuk memulai komunitas international tersebut,
Tiga suster pertama dari komunitas multibudaya di Maastricht (dari kiri ke kanan): Sr. Hedwig, Sr. Floriana dan Sr. Terry.
Atas nama redaksi, Sr Adeltruda Jongerius
1
bersama Sr. Floriana yang telah lebih dahulu berada di sini. Sungguh, bukan perkara yang mudah bagi kami berdua untuk menjalankan perutusan ini. Pada awalnya kami merasa kecil hati dan tidak pantas. Sempat muncul pergulatan dan peno-lakan dalam diri kami. Sr. Terry pernah mengungkapkan bahwa dia merasa sudah terlalu tua untuk memulai karya baru ini, apalagi menginat kondisi fisik-nya yang mulai rentan. Saya sendiri merasa belum banyak pengalaman, masih terlalu muda dalam hidup mem-biara dan tidak bisa berbahasa asing. Kemampuan saya sangat minim dan terbatas untuk perutusan ini. Setelah lewat beberapa bulan, barulah kami benar-benar terbuka menerima perutusan ini. Ketika merefleksikan proses yang telah kami alami, kami hanya bisa bersyukur karena kami mengalami betapa penyelenggaraan Illahi telah mengurus segala sesuatu dengan baik (bdk. EG. 60). Dalam ban-yak hal kami mengalami kemudahan terutama ketika mengurus surat-surat. Segala sesuatu disiapkan dengan baik, berjalan dengan lancar dan cepat. Sr. Sesilia dan DPP Indonesia telah melengkapi segala kebutuhan kami, baik dari segi jasmani maupun rohani. Kami diberi kesempatan untuk belajar bahasa Belanda, bahkan saya juga diberi kesempatan untuk belajar bahasa Inggris di Filipina selama 3 bulan sambil menunggu proses ijin tinggal di Belanda. Meski sampai saat ini kemampuan bahasa Belanda dan Inggris saya masih terbatas, tetapi saya bersyukur bahwa kongregasi telah menyiapkan dan memberi kesempatan untuk mempelajari kedua bahasa ini. Kami hanya bisa bersyukur karena rahmat yang berlimpah dalam masa persiapan ini. Saya pribadi mengalami betapa Tuhan telah memberikan lebih dari yang saya mohon dan butuhkan. Sejak awal saya selalu mohon pada Tuhan, jika ini yang Tuhan kehendaki atas diri saya, saya mohon agar Dia menyiapkan segala sesuatu yang saya butuhkan untuk perutusan ini. Dan Tuhan sungguh mendengarkan doa saya. Ketika kami membawa pengalaman-pengalaman kami dalam doa selama retret, kami semakin yakin bahwa inilah yang Tuhan kehendaki atas diri kami. Dia telah memanggil dan memilih kami untuk menjadi misionaris di tanah kelahiran Kongregasi. Karena kongregasi telah memberi kami kepercayaan yang besar ini, maka kami pun menerima kepercayaan ini dengan hati yang terbuka. Cinta dari para suster 2
yang kami alami melalui dukungan mereka lewat doa-doa dan sapaansapaan, sungguh menguatkan kami. Seperti Bunda Elisabeth, kami pun tidak luput dari pembicaraan orang (bdk. EG. 46), diomong-omongkan karena kami memang masih bodoh untuk memulai karya ini dan mungkin dianggap belum pantas. Namun kami percaya bahwa Tuhan yang baik itu akan menganugerahkan rahmatNya dan memberkati kami setiap hari dengan apa yang kami butuhkan (bdk. EG. 49). Tgl 7 Oktober 1918, 90 tahun yang lalu 10 misionaris pertama datang dari Belanda ke Indonesia. Pada tgl yang sama kami berdua meninggalkan tanah air kami Indonesia menuju ke ‘tanah air’ kami yang baru di negeri Belanda. Kerinduan kami saat ini adalah agar dalam perutusan yang baru ini kami mampu mengarahkan dan mempersembahkan seluruh hidup kami bagi Allah. Semoga kehadiran komunitas international dapat menjadi alat dan tanda kehadiran Allah di tengah masyarakat jaman ini dan menghasilkan buah yang melimpah sesuai dengan kehendakNya. Berbekal kasih yang bernyala-nyala, iman yang dalam dan harapan yang kuat, kami akan maju menjalankan perutusan kami. Kami percaya banyak orang (para suster, keluarga dan sahabat) mendoakan kami serta komunitas kami yang baru. Memang saat ini yang kami butuhkan adalah bantuan dari surga (seperti doa Bunda Elisabeth). Kami percaya, doa dari sekian banyak orang akan dapat menggoncangkan surga sehingga akhirnya Tuhan sendirilah yang berkarya dalam membangun komunitas baru ini. Semoga namaNya semakin dimuliakan dan sesama diabdi dengan tulus ikhlas.
Di siang hari yang terik, seperti biasanya, dengan bus saya menuju ke Cipambuan, sebuah desa di wilayah Bogor yang terpencil dan tertutup, berjarak 1 km dari jalan tol. Desa ini masih memiliki pohon-pohon yang besar dan rindang serta tanaman singkong tersebar di mana-mana karena mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani. Oleh karena itu bukanlah hal yang aneh apabila di halaman depan rumah warga desa terdapat tumpukan besar singkong. Setiap hari secara berkelompok warga desa, dari orang tua sampai anak-anak, sibuk mengupas singkong-singkong tersebut dari pagi sampai sore. Mereka begitu mahir melakukan pekerjaan itu; bahkan anak-anak kecilpun bisa mengupas singkong tanpa melihat ke arah singkong dan pisau mereka. Singkong yang telah dikupas ini dijemur dulu sebelum dibuat tepung tapioka. Seluruh warga desa Cipambuan menganut agama Islam. Sebagian besar penduduk aslinya masih buta huruf ini dan tidak menonton TV, mendengarkan radio, membaca koran apalagi menggunakan telepon genggam. Rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD. Hal ini terjadi karena aturan yang pernah dibuat oleh seorang Kiai di desa tersebut dan berlaku selama bertahuntahun. Menurut Kiai tersebut barangbarang modern akan mendatangkan dosa. Namun umat Muslim pendatang dan beberapa warga asli yang memiliki pandangan terbuka menolak untuk mengikuti aturan dari Kiai tersebut karena mereka ingin maju dan berkembang. Kurang lebih dua bulan, saya melakukan perjalanan pergi dan pulang ke desa Cipambuan untuk mengunjungi ’Rumah Pintar’. Rumah Pintar adalah tempat di mana anak-anak dari usia Play Group sampai SMA mencari tambahan ilmu. Rumah Pintar ini buka setiap hari Senin – Sabtu, pukul 13.00 14.00 sesudah anak-anak pulang sekolah dan pada hari minggu pukul 09.00 - 13.00. Para pendamping adalah volunteer dari beberapa warga desa Cipambuan dan sekitarnya, dengan berbagai profesi seperti pegawai swasta, pegawai negeri, guru, Ustadz, ma-
Saling berbagi Sr Astrid Tulus Kebayoran Baru, Indonesia
hasiswa dan ibu rumah tangga. Para volunteer tersebut perlu didampingi dalam hal membuat program kegiatan pembelajaran dan cara pendampingan kepada anak karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang banyak tentang pendidikan anak. Oleh karena itu bersama dengan 3 teman dari jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Negeri Jakarta, saya menjalankan kegiatan PKL (Program Kerja Lapangan) di sana. Program ini diselenggarakan oleh kampus sebagai syarat menyusun skripsi, setelah menyelesaikan kuliah teori. Setelah melakukan observasi beberapa kali, kami memutuskan untuk lebih menitikberatkan pendampingan kepada para tutor Rumah Pintar dengan memberikan beberapa pelatihan pembuatan program kegiatan belajar mengajar, karena ternyata Rumah Pintar ini tidak memiliki kurikulum dan program kegiatan. Mereka mengungkapkan bahwa mereka sangat jarang mendapatkan pelatihan dan pembinaan tentang pendidikan. Kami mengajak mereka untuk mengelompokkan anakanak sesuai usia. Selain itu kami juga mengadakan pemeriksaan kesehatan dan penenuhan gizi bagi anak-anak. Saya bersyukur atas pengalaman berahmat yang saya alami selama menjalani masa PKL ini. Walaupun semua
Sr Astrid (berbaju hitam) bersama dengan teman-teman mahasiswa memberikan pelatihan kepada para tutor. tutor dan siswanya beragama Islam tetapi mereka sangat terbuka menerima kehadiran saya sebagai pribadi. Semangat persaudaraan saya rasakan dan alami bersama mereka. Programprogram yang kami rencanakan dapat berjalan dengan baik dan saya sangat kagum atas semangat para tutor untuk belajar sesuatu yang baru demi kemajuan pendidikan anak-anak di desa mereka. Mereka memiliki semangat yang tinggi untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan walaupun mereka tidak mempunyai latar belakang pengetahuan tentang pendidikan. Karena panggilan itulah mereka rela untuk berjalan kaki dari rumah yang cukup jauh menuju ke Rumah Pintar. Mereka meluangkan waktu setelah bekerja di tempat lain demi masa depan anak-anak desa yang ”terisolasi” dari dunia luar dengan motivasi agar anak-anak mendapatkan pengetahuan yang banyak karena anak-anak adalah masa depan bangsa. Saya bersyukur karena mendapat kesempatan untuk mengenal dan mendampingi anak-anak ini. Di tengah keterbatasan ekonomi, anakanak tersebut memiliki daya juang
yang besar untuk belajar walaupun mereka harus menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki naikturun bukit. Wajah anak-anak tersebut begitu riang, sama sekali tidak terlihat lelah. Mereka begitu antusias mengikuti kegiatan-kegiatan selama pembelajaran. Semangat para tutor dan anak-anak tersebut menyemangati saya walaupun saya sendiri harus menempuh perjalanan yang jauh dari Jakarta ke desa Cipambuan. Setelah bekerja di sekolah di pagi hari, siangnya berangkat ke sana dan kembali di sore hari sehingga baru tiba di biara menjelang malam. Walaupun lelah tapi ada rasa bahagia dalam hati saya karena saya mengalami bahwa Penyelengaraan Ilahi senantiasa menyertai saya. Semangat Bunda Elisabeth menjadi kekuatan saya. Dan karena didorong oleh hati yang menyala untuk melayani sesama, di dalam doa saya memohon kepada Tuhan agar program pendampingan bagi para tutor di Rumah Pintar tidak berhenti setelah masa PKL kami selesai. Saya berharap agar program PKL di Rumah Pintar dapat berlanjut. Tuhan yang maha baik mendengarkan doa hamba-Nya yang hina ini. Setelah masa PKL kami selesai, pihak kampus mengutus kelompok lain untuk melaksanakan PKL di Rumah Pintar dengan melanjutkan program yang telah kami mulai. Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas pengalaman berahmat ini. Saya menyadari bahwa saya banyak belajar tentang hidup dari orangorang dan anak-anak desa yang sederhana, polos dan memiliki semangat hidup dan mau untuk terus belajar. Semangat berbagi pun nyata saya lihat dan rasakan. Semoga semangat ini senantiasa saya hidupi di dalam menjalani tugas perutusan yang dipercayakan Kongregasi kepada saya saat ini.
3
Sebuah palungan Sr Vincenza Pranawanti Maastricht, Nederland Lagu ‘Away in a manger’ mengalun lirih dari CD-player yang terletak di sebelah gua natal di sudut kamarku. Mau tak mau hatiku ikut mendendangkan lagu tersebut: “Away in a manger, no crib for a bed. The little Lord Jesus laid down His sweet head...” Kedengarannya amat ‘romantis’ namun kenyataannya tidaklah demikian. ‘No crib for a bed ... ‘; tak ada buaian sebagai tempat tidurnya. Kata-kata ini mengingatkan aku akan hari-hari seputar kelahiran sang Bayi, putra sulung Yosef & Maria. Maria dan aku sedang menyiapkan makan siang, saat Yosef tiba dari kota membawa berita yang amat mengejutkan. Aku hampir tak percaya mendengarnya. My God, apa-apa-an ini ??? Pemerintah mau mengadakan sensus penduduk dan semua orang harus mendaftarkan diri di kota asal mereka. Bagi Maria dan Josef berarti mereka harus meninggalkan Nasareth menuju ke Bethlehem karena Yosef berasal dari sana. Yosef memasukkan semua peralatan bengkel kayunya dalam peti-peti. Aku membantu Maria mengatur semua barang yang akan dibawa. Sebenarnya aku sedikit mencemaskan Maria, karena saat melahirkan makin dekat. Namun Maria sendiri nampak amat tenang. “Tuhan akan mengatur yang terbaik bagi kita semua, Vins,” katanya. Satu hal yang membuat Maria agak kecewa, yaitu dia tak bisa membawa buaian bayi hasil jerih payah Yosef berhari-hari. Malam terakhir sebelum berangkat, masih kudengar Maria berkata : “Yos, tak bisakah buaian itu dibawa? Aku ingin menghadiahkan hasil karyamu yang terbaik ini untuk anak sulung kita.” Aku menyetujui ide Maria dan ikut mendesak sambil berjanji untuk membawakannya. Namun Josef tetap keberatan. ”Ini akan terlalu membebani kita. Lagipula kita toh akan segera kembali”, katanya, sambil menggantungkan buaian itu di blandar rumah. Kami berangkat pagi-pagi. Maria menatap rumah yang segera akan ditinggalkannya. Kulihat Yosef menghapus bulir-bulir air mata yang mengalir di pipi Maria, lalu mengunci pintu rapat-rapat dan kami-pun berangkat. Pada tikungan pertama, aku masih sekali lagi 4
menoleh ke arah rumah sederhana, beberapa puluh meter di belakang kami. Di sana, tergantung sebuah buaian bayi. Setelah menempuh perjalanan yang amat melelahkan, kami tiba di pinggiran kota Bethlehem, yang sudah dipadati oleh para pendatang. Setelah gagal mencari tempat penginapan, akhirnya Yosef memutuskan untuk mempergunakan salah satu gua di bukit kapur di luar kota Bethlehem. Dengan sabar Maria duduk menanti di atas batu besar di mulut gua, sementara Yosef dan aku sibuk membersihkan gua yang agak lembab itu. Yosef pergi ke sebuah sungai kecil di samping dari gua untuk mencuci palungan yang kami temukan dan aku mengumpulkan jerami kering yang berserakan. Dengan mengisikan jerami dalam palungan dan menutupinya dengan sehelai kain, kami berdua telah menyulap bekas tempat makan hewan itu menjadi tempat tidur bayi. “Ah, sayang, buaian bayi buatan Yosef tak terbawa,” keluhku dalam hati. Lewat tengah malam, saat Yosef pergi membeli makanan, lahirlah Bayi lakilaki mungil, putra sulung Yosef dan Maria. Setelah kubungkus dengan selimut bayi tipis yang khusus dijahit Maria dari guntingan sprei tua, kuletakkan Bayi tersebut di ‘boks bayi’ yang baru saja jadi. Kusambut Yosef di depan gua dan kusampaikan berita gembira ini. Kami bergegas masuk. Maria duduk tenang di samping palungan. “Yos, buaian bayi yang kaubuat itu sebenarnya sangat cocok untuk membaringkan Bayi kita malam ini ya,” kata Maria lirih. Dengan bergurau, aku menim-
pali : “Ya, dan aku yakin tak seorang bayipun memiliki buaian seindah itu.” “Memang, kan tidak setiap bayi memiliki ayah seorang tukang kayu,” Yosef membalas sambil tertawa kecil. Kutinggalkan mereka dalam kebahagiaan dan aku melangkah keluar. Malam itu cuaca begitu cerah. Kutatap langit yang bertaburan bintang. Cerita yang pernah disampaikan Maria beberapa bulan yang lalu mengenai Putra yang dikandungnya, kini membangkitkan berbagai tanda tanya dalam benakku. Mengapa Yesus tidak boleh lahir di rumah dan berbaring nyaman dalam buaian halus terbuat dari kayu cedar ? Mengapa Bayi istimewa, seperti disampaikan malaekat pada Maria, harus lahir di gua yang lembab dengan aroma hewani ? Apakah rumah seorang tukang kayu di perbukitan desa Nasareth terlalu jelek ? Aku tak mengerti. Malam bertambah dingin. Aku masuk dan kuhempaskan diriku di sudut gua. Aku belum sempat memejamkan mata, tatkala keributan memecah kesunyian malam. Sebelum kami tahu apa yang terjadi, tiba-tiba seorang pemuda menjulurkan kepalanya di pintu gua. “Ada seorang bayi di sini?”, tanyanya. Dia melihat si Mungil yang tergolek di palungan. Dengan gerak refleks, Maria mengangkat dan mendekap Jesus pada dadanya. Hal ini membuat Bayi Yesus terbangun dari tidurnya. Segera seluruh gua dipenuhi tangisan bayi. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu sudah menghilang lagi. Yosef menyambar tongkatnya yang tersandar pada dinding gua dan melangkah ke
pintu. Di luar terdengar teriakan: ”Hoi, kesini semua! Yoshua telah menemukan Dia.” Dari dalam kegelapan muncul sekelompok orang, menuju ke gua. Yosef menggenggam erat tongkat kayunya dan dengan sedikit gemetar, aku berdiri di belakangnya memegang lentera. Ketika mereka mendekat, kulihat dengan jelas bahwa mereka ternyata sekolompok gembala domba yang sederhana. “Milik mereka-kah tempat ini?”, aku berbisik pada Yosef. Seorang lelaki tua bertanya dengan sopan dan sedikit ragu: “Bolehkah kami masuk? Kami ... eh ... , kami datang untuk melihat Bayi yang baru dilahirkan.” Aku sangat terkejut. Lho, kok mereka tahu. Yosef menoleh ke dalam dan menatap Maria. Ketegangan mulai mencair. “Ya ..., ya ... silahkan masuk ! Mari, masuk!”, katan Yosef. Mereka berdesakan di gua yang sempit. Gembala terkecil menyeruak ke dalam dan mengambil tempat di sebelah Maria; mungkin agar bisa melihat si Bayi dengan jelas. Mereka semua berlutut. “Terpujilah Allah yang Mahatinggi,” seorang gembala tua mengangkat doa pujian dengan penuh hormat. “Kristus, Mesias ...
Inilah Dia !”, katanya sambil menunjuk Bayi Yesus yang telah terlelap lagi di pangkuan Maria. Setelah hening beberapa saat, Yosef bertanya : “Bagaimana kalian tahu bahwa Putraku adalah Mesias yang dinanti?” Yoshua, gembala yang tadi muncul pertama, menceritakan penampakkan para malaekat yang menyampaikan warta gembira tentang kelahiran Sang Juru Selamat. “Dan malaekat memberi kami tanda khusus: Kamu akan menjumpai seorang bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan berbaring di dalam palungan. Nah, tak mungkin kami tidak menemukan-Nya, bukan? Lagipula ...,” sambil tersenyum lebar dia menepuk bahu Yosef “ ... menurut pendapatmu, ada berapa banyak bayi lahir di Bethlehem, yang memiliki palungan sebagai buaiannya? Cuma satu ini kan!? Ha ...ha ... haaa ...” Gelak tawa memenuhi gua hewan yang kini terasa sesak karena kehadiran para gembala. Tibatiba kami dikejutkan oleh tangis Sang Bayi, yang rupanya terganggu tidurNya. Dengan lembut Maria memasukkan ujung jarinya ke mulut Putra-nya. Suasana kembali hening dan para
gembala mohon diri. Aku mengantarkan mereka keluar. Langit masih gemerlap oleh taburan bintang. Dentang lonceng natal basilik St. Servaas membangunkan aku dari lamunanku. Lagu ‘Away in a manger’ masih mengalun lembut. Sebelum kupadamkan lilin-lilin baterai yang menerangi gua natalku, kupandangi lagi Bayi mungil yang tergolek di palungan. Palungan, ... ya, palungan sederhana itu telah menyadarkan aku bahwa bagi Putra-Nya yang menjelma menjadi manusia, Bapa di surga telah menyediakan sebuah buaian istimewa, yang menjadi tanda bagi para gembala. Yosef benar. Buaian bayi kayu cedar masih bisa menanti sampai mereka kembali ke Nazareth. Dari Yosef, aku belajar untuk menyerahkan diriku dalam Penyelenggaraan Ilahi. Allah senantiasa memberikan yang terbaik untukku walau tidak selalu sesuai dengan rencana dan keinginanku.
Menapaki jalan hidupku Sr. Resti L. Ucab Tagaytay City, Filipina
Ayahku seorang pengemudi truk. Ia mengemudikan berbagai jenis truk, tetapi sebelum ia pensiun dan menikmati masa tua, ia lebih banyak mengemudikan truk roda sepuluh. Hal ini yang kuingat dari masa kecilku. Kadang-kadang ia memarkir truknya di pinggir jalan dekat rumah kami. Anak-anak mengaguminya dan ingin tahu tentang truk raksasa yang diparkir begitu dekat dengan rumah kami. Di desa kami semua kendaraan yang lewat disebut “mobil”. Kami tak memiliki nama khusus untuk berbagai jenis kendaraan. Bersama dengan anak-anak yang lain aku sering memanjat truk raksasa tersebut. Sebagai anak, aku merasa bangga, seakan-akan ayahkulah yang memiliki truk itu. Terhadap anak-anak lain aku menyombongkan hal itu. Salah satu saat penting yang masih jelas kuingat adalah ketika ayahku meminta kepada ibuku agar kami berpakaian yang rapi sehingga ia bisa membawa kami dan menurunkan kami di depan Gereja sebelum ia kemenerus-
kan perjalanan ke tujuan. Hal itu terjadi pada tahun delapanpuluhan ketika di desa belum banyak kendaraan. Aku sungguh bangga pada diriku sendiri karena aku boleh naik truk bersama ayahku. Aku melihat betapa ayahku bekerja keras untuk mengemudikan truknya dan menempatkan pada posisi yang tepat. Ia mendorong dan menarik persneling, melihat ke belakang dan kemudian memundurkan truknya. Selanjutnya ke depan, ke belakang dan menepi sampai kendaraan dalam posisi dan arah yang tepat. Aku melihat ayahku berkeringat dan kesabarannya hampir hilang. Ayahku tidak mengatakan sepatah katapun. Kami semua juga diam seribu bahasa. Namun di lubuk batinku muncul suatu perasaan yang amat kuat. Aku tidak dapat mengungkapkannya dalam kata-kata. Pada saat itu aku hanya tahu bahwa perasaan kuat itu ada. Akupun selanjutnya tidak memperhatikan hal itu tetapi ketika aku makin dewasa sangat jelas bahwa perasaan
itu memiliki arti yang dalam bagiku. Aku tetap tak bisa memahami perasaan itu. Namun waktu aku mulai hidup mandiri, sedikit demi sedikit hal ini mulai jelas. Aku memiliki banyak pengalaman hidup. Pada saat tertentu aku dipaksa diam sejenak, mengenang dan merenungkan pengalamanku. Baru kemudian aku mengerti arti yang sesungguhnya dari perasaanku ketika aku melihat ayahku membuang kemudi truknya sementara kami duduk diam menunggu apa yang akan terjadi. Kehadiran ayahku memberi perasaan aman dan pasti. Setiap kali aku mengalami kesulitan aku ingat bagaimana ayahku dapat mengatasi kesulitan dalam mengemudikan truknya. Pelajaran hidup yang aku peroleh adalah bahwa kekuatan batin sangat penting dalam melihat/meneliti kekurangan sendiri. Oleh sebab itu ayahku diam dan konsentrasi bila mengemudikan truknya. Bila kita mengalami kesulitan, maka ketenangan, kesabaran dan kepekaan sangatlah penting. Menden5
garkan suara batin membuat kita tetap tenang dan memberi kekuatan agar sabar dan bertahan. Kadang-kadang aku bertanya pada diri sendiri: “Kaya ko ba to?” (Dapatkah aku mengatasinya?) Walaupun aku sering melihat ayahku berkeringat dingin aku mengetahui bahwa ayahku akan dapat mengatasi kesulitannya. Banyaknya pilihan dalam hidup sering menjadi godaan. Kadang-kadang aku memilih sisi tertentu untuk kujalani dengan keyakinan penuh bahwa itu arah yang benar. Tetapi setiap kali ayahku menunjukkan bahwa kadangkadang aku harus berani mengambil resiko yang akhirnya merupakan pilihan yang tepat. Dalam hidupku aku telah memiliki banyak pilihan bahkan masih banyak lagi ketika aku menjadi religius. Pilihan-pilihan yang diandaikan tidak usah menjatuhkan pilihan atasnya. Pilihan dibidang materi, kepribadian, rasio, tekhnologi dsb.; kadang-kadang berlawanan dengan kaul dan pengabdianku. Oleh sebab itu membuat prioritas bagi-
ku sangat penting. Seperti ayahku bergulat mengemudikan truknya ke arah yang tepat, demikian juga aku bergulat demi pilihan yang tepat yang tidak mencederai panggilanku. Ayahku mencintai dan menghargai pekerjaannya sebagai sopir karena itu pilihannya sendiri. Demikian juga aku mencintai panggilanku dan jalan hidup yang kupilih. Ayahku tidak pernah berbicara tentang iman, doa atau Tuhan. Tetapi aku yakin bahwa iman, doa, dan Tuhan berakar dalam keberadaannya. Untuk memelihara panggilanku aku membutuhkan iman yang dalam dan keyakinan bahwa dalam Tuhan aku tidak akan hancur. Setiap kali bila aku dihadapkan pilihan aku bertanya dalam diri: “ Sungguh ini kubutuhkan?” Dengan bertanya diri aku menjadi sadar akan banyaknya pilihan yang ditawarkan dunia kepadaku. Aku berada dalam sebuah dunia yang bebas dimana setiap kali aku bisa menentukan pilihan dan membuat keputusan. Kini aku memahami mengapa Bunda Elisabeth selalu memohon kepada
Hidup religius multibudaya Zr. Reparatrice Gregoire Maastricht, Nederland
Pada hari Kamis tanggal 23 Oktober 2008 yang lalu, diselenggarakan pertemuan tahunan bagi para religius yang melaksanakan tugas perutusan di Nederland. Tahun ini pertemuan tersebut diselenggarakan di biara para pastor ‘Spiriteinen’ di Gemert. Melihat hiasan dalam ruang pertemuan orang segera dapat mengetahui jenis pertemuan tersebut. Dari podium sampai ke lantai terbentang kain cokelat dan hijau. Diatasnya terbentang kain biru lebar dengan hamparan kain putih di atasnya. Dekorasi yang menggambarkan sebuah pemandangan alam dengan aliran sungai ini melambangkan: kesuburan Nederland sebagian besar datang dari sungai-sungai yang berhulu di luar negeri dan menghasilkan kesuburan tanah serta menjadi air kehidupan. Demikian halnya dengan para misionaris dari luar negeri yang membawa ‘kekayaan’ dari negri asal dan berusaha menyuburkan hidup religius agar menghasikan buah dalam karya kerasulan mereka. Tema pertemuan hari itu adalah: “DIGERAKKAN OLEH ALLAH – BER6
GERAK DEMI SESAMA.” Bandingkan dengan Jesaya 43,19: “Lihat, aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” Acara hari itu dibuka dengan doa dan renungan yang disajikan lewat powerpoint dengan gambar-gambar, mazmur dan teks yang mendukung tema. Sesudah itu dilanjutkan dengan 2 kesaksian hidup. Yang pertama dari seorang suster SSps dari Filipina yang melukiskan secara garis besar riwayat panggilannya, kerinduan, perjuangan, pengorbanan dan akhirnya bagaimana dia berusaha memberi arti pada panggilannya kini dan di sini, di Nederland. Kesaksian yang ke dua dari seorang ibu yang lewat kegiatannya sebagai relawan dalam sebuah paroki, bergabung dengan para pastor MSC. Dari kontak tersebut tumbuh kerinduan untuk memulai sesuatu yang baru. Ia mencari pendalaman hidupnya sendiri dan bekerja demi Gereja. Dalam pejiarahannya ia berkontak dengan awam lain yang juga ingin lebih menghayati hidup spiritual. Pendiri Kongre-
Tuhan agar setiap keputusan dan pilihan yang harus ia ambil sesuai dengan kehendak Tuhan. Di samping itu tentu saja Bunda Elisabeth dengan jelas mempunyai prioritas untuk mengabdi Tuhan. Ia mengoncang Surga dengan doa terus-menerus sehingga pada pesta Bunda Maria diangkat ke Surga ia mendengar jawaban “Ya” bahwa “Itu akan terjadi”. Kini aku berada dibelakang kemudi. Ayahku mengajarkan kepadaku untuk berani mengatasi kesulitan hidup. Ada ungkapan: Problem kehidupan ini janganlah dirasa terlalu berat. Hal itu hanya merupakan ujian dari Tuhan untuk menunjukkan seberapa jauh kamu sudah belajar mengenai ‘Hidup’ yang dirancang-Nya. Dan bila kamu merasa gagal,cobalah sekali lagi dengan bantuan ‘doa’. Bunda Elisabeth menunjukkan arah yang tepat kepadaku agar bila aku duduk di belakang kemudi, selalu mohon kepada Tuhan untuk menuntunku dijalan yang benar.
gasi MSC (Pater Chevalier †) menjadi pedoman bagi mereka. Selanjutnya mereka juga menamakan diri “Keluarga Chevalier“ Mereka merupakan kelompok awam yang atas dasar kerelaan boleh mengikrarkan janji kesetiaan untuk jangka waktu tertentu. Mereka mengikuti jejak Pendiri MSC dalam doa, meditasi, studi dan pendalaman serta berusaha menghayatinya berdasarkan Cinta kepada Hati Kudus Yesus. Di sini jelas perempuan yang angkat bicara dan memberi kesaksian tentang bentuk baru kehidupan religius yang berakar pada jaman sekarang. Sesudah dua kesaksian tersebut acara dilanjutkan dengan tanya jawab. Pagi itu waktu terasa cepat berlalu. Siang hari dilanjutkan dengan pembicaraan dalam kelompok; bahan pembicaraan berdasarkan tiga pertanyaan: 1. Apakah Anda mengenali pengalaman Anda dalam kesaksian dua orang tersebut? 2. Bagaimana supaya “Ya” kita atas panggilan Allah dapat menjadi “Ya” bersama yang kuat, sehingga kehidupan yang kita terima dapat diteruskan kepada orang lain? 3. Kesulitan-kesulitan apa yang kita hadapi? Apakah kesulitan-kesulitan itu juga dapat kita pandang sebagai peluang? Pembicaraan dalam kelompok ini
Bekerja di kalangan awak kapal memperkaya hidupku Zr. Adeltruda Jongerius Maastricht, Nederland
menghasilkan berbagai macam tanggapan yang dapat kita renungkan sepanjang waktu. Jawaban kelompok atas ketiga pertanyaan tersebut ditulis pada kertas biru berbentuk ombak yang kemudian di letakkan diatas kain putih pada dekorasi yang disebutkan di atas. Hal ini membangkitkan kesan tersendiri mengena ‘hidup dan berge-
Pada usia 24 tahun Sr. Vincentia masuk biara, walaupun pada mulanya ia bercita-cita menikah dan membangun keluarga besar. Sesudah mengikrarkan parasetia sementara, ia mendapat tugas belajar di bidang keperawatan. Bertahun-tahun ia menjadi kepala bagian di berbagai rumah sakit; yang terakhir dan terlama (18 tahun) di rumah sakit Kanisius Nijmegen. Ia memasuki masa pensiun ketika usianya mencapai 60 tahun. Kemudian ia diminta menjadi relawan di rumah sakit untuk pelayanan khusus: bimbingan dan pendampingan rohani bagi para pasien dan keluarga mereka jika diperlukan. Karena kota Nijmegen terletak di pinggir sungai Waal, maka banyak pasien di RS Kanisius berasal dari kalangan keluarga awak kapal. (Sungai Waal ini merupakan jalur pelayaran sungai yang cukup ramai – red.).
rak’. Selain itu tiap kelompok juga diminta menuliskan sebuah doa di atas kertas berbentuk apel. Dalam pleno, pemimpin kelompok membacakan beberapa teks yang menarik perhatian dan peserta diberi kesempatan menanggapinya. Pertemuan di akhiri dengan perayaan Ekaristi dengan nyanyian dan teks da-
Dengan sendirinya mereka juga di bawah pelayanan Sr. Vincentia. Ketika ia masih berkarya sebagai kepala ruang bedah, ia berkenalan dengan pastor yang berkarya di kalangan para awak kapal, lewat seorang awak kapal yang lama dirawat. Pastor ini mengatakan kalau sudah pensiun, Sr. Vincentia boleh bekerja padanya sebagai relawan di kalangan para awak kapal. Demikianlah, sejak tahu 1986, Sr. Vincentia memasuki dunia para awak kapal. Ia mendapat tugas langsung merawat mereka yang sakit tetapi juga dalam pelayanan pastoral dan kesejahteraan mereka. Ia menyukai pekerjaan yang memperkaya hidupnya ini. “Dengan merawat dan mengunjungi mereka di rumah sakit, serta mengurus kencan antara mereka dengan dengan para dokter, saya mendapat kepuasan juV
Pada tanggal 4 Oktober, 60 tahun yang lalu, Sr.Vincentia Faase masuk Kongregasi kita. Pesta 60 tahun ini dirayakan pada tanggal 28 September yang lalu dan pada kesempatan tersebut dia diwawancarai oleh wartawan dari koran lokal “De binnenvaartkrant”. Mungkin Anda bertanya apa yang membuat pesta ini istimewa. Bagi Nijmegen memang jelas ‘istimewa’ karena di sana, di KSCC Schipperscentrum (semacam tempat pertemuan para awak kapal – red.) Sr. Vincentia memiliki tempat istimewa di hati mereka. Kerasulan yang dia lakukan dapat kita sebut unik dalam Konggregasi kita. Sr. Vincentia terlalu rendah hati. Ia malu untuk menulis sesuatu tentang hal itu tetapi ia tidak berkeberatan bila kami mengutip sebagian hasil wawancara itu untuk CB Inter In. Berikut ini kami sajikan cuplikannya:
lam berbagai bahasa, dengan simbol 7 nyala api dan doa yang dibuat oleh setiap kelompok (12 kelompok). Nyanyian, doa-doa dan teks yang digunakan sungguh mengungkapkan iman yang besar, harapan yang bernyala dan keyakinan yang mendalam. Demikianlah pengalaman dan kesaksian kami pada hari itu: Percaya akan Allah ... Ia masih tetap memanggil; Percaya pada manusia ... mereka mencari jawaban; Mengerjakan dengan penuh cinta apa yang harus dikerjakan. Apa yang sudah berlalu, tidaklah siasia. “Lihat, aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” Hari itu sungguh merupakan hari penuh inspirasi, yang diprakarsai oleh orang-orang yang penuh semangat dari berbagai penjuru dunia, yang datang ke Nederland untuk membantu membangun Kerajaan Allah diantara manusia.
7
ga,” katanya. Sampai sekarang ia masih mengerjakan banyak hal bagi para awak kapal. Sebenarnya layak juga kalau dia dijuluki ‘Florence Nightingale’ bagi awak kapal pelayaran sungai ini. Disamping karya tersebut, Sr. Vincentia juga masih mengerjakan banyak hal. Tugas perutusan tertanam di hatinya. Mengingat usianya yang sudah 80+, apa yang dikerjakannya ini pantas dikagumi. Dapat dimengerti bahwa pesta 60 tahun masuk biara dirayakan secara istimewa. Pesta diawali dengan perayaan Ekaristi di Schipperscentrum. Dalam kesempatan ini aneka ucapan terimakasih disampaikan bagi Sr. Vincentia. Sesudah perayaan Ekaristi dilanjutkan
Kelahiran Kristus merupakan anugerah kegembiraan, berkat pengharapan dan janji perdamaian bagi dunia.
Selamat Pesta Natal dan Tahun Baru yang penuh berkat. Kolofon Inter In terbit 3x setahun dalam 3 bahasa Redaksi Sr. Adeltruda, Sr. Clazina, Sr. Rosaria, Sr. Vincenza Alih bahasa
Sekertariat generalat Koordinasi-redaksi Jaap van Term Percetakan Drukkerij G. Creemers St. Odiliënberg Alamat redaksi Postbus 206, 6200 AE Maastricht Nederland
8
dengan resepsi yang sangat meriah. Sehari sesudah pesta ia mengatakan: “Semuanya bagus; untuk itu aku tak memiliki kata-kata. Hadiah dalam bentuk uang dari mereka yang terkumpul sebanyak € 2.500 diperuntukkan bagi karya Kongregasi di Vietnam. Hebat ya!” Selama kesehatan memungkinkan ia akan tetap meneruskan karya yang luhur ini. “Tetapi hal itu bukan aku yang menentukannya, ” katanya menutup wawancara.
Sr. Vincentia Faase (kedua dari kanan) dalam perayaan Ekaristi pada pesta 60 tahun di biara.