PEMBENTUKAN REZIM AUTHORITARIAN DEVELOPMENTALISM MAHINDA RAJAPAKSA PASCA KEMENANGAN PEMERINTAH SRI LANKA ATAS LIBERATION TIGERS OF TAMIL EELAM (LTTE) TAHUN 2009 Harishmawan Heryadi, Evida Kartini Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected] ABSTRAK Skripsi ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan proses pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan Pemerintah Sri Lanka atas LTTE di tahun 2009. Setelah perang sipil antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE berakhir dengan kemenangan Pemerintah Sri Lanka pada tahun 2009, Mahinda Rajapaksa membentuk pemerintahan authoritarian developmentalism di Sri Lanka. Rajapaksa melakukan pembangunan pasca perang sipil dengan melakukan strategi pemerintahan otoriter untuk menjaga stabilitas. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisa faktor endogen dan faktor eksogen yang mendorong pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa tersebut. Teori authoritarian developmentalism menjadi kerangka yang digunakan untuk menganalisis proses pembentukan rezim otoriter tersebut. Kata Kunci : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, pembangunan, LTTE ABSTRACT This thesis describes the establishment of Mahinda Rajapaksa’s authoritarian regime after the victory of Government of Sri Lanka over Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) in 2009. When the civil war between Government of Sri Lanka and LTTE ended with the government victory, Mahinda Rajapaksa started to form authoritarian developmentalism regime in Sri Lanka. Rajapaksa started post-war development by using authoritarian strategies to maintain stability. This thesis identifies and analyzes endogenous factors and exogenous factors that promotes the establishment of that authoritarian developmentalism regime. The theory of authoritarian developmentalism becomes the framework to analyze the process. Keyword : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, development, LTTE
1 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Salah satu konflik etnis terpanjang di dunia adalah perang sipil yang terjadi di Sri Lanka. Perang sipil yang berkepanjangan tersebut melibatkan pemerintah Sri Lanka dengan minoritas etnis Tamil di wilayah Utara dan Timur yang diwakili oleh Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Konflik sesungguhnya sudah terjadi pasca kemerdekaan Sri Lanka dari Inggris tahun 1948. Konflik ini meningkat menjadi perang sipil sejak tahun 1983 dan berakhir pada tahun 2009 yang ditandai dengan meninggalnya pemimpin LTTE, Vellupillai Prabhakaran. Perang yang terjadi bertahun-tahun menimbulkan banyak korban dengan jumlah korban tewas diestimasikan mencapai 84.000 jiwa. 1 Perang berkepanjangan dan jumlah korban yang tinggi membuat konflik di Sri Lanka ini merupakan salah satu konflik utama di dunia bersama dengan konflik di Somalia dan Afghanistan.2 Perang yang memakan waktu dan korban ini kemudian menemui akhir pada Mei 2009. Pemerintah Sri Lanka berhasil memaksa LTTE menyerah melalui serangkaian serangan militer. Presiden Mahinda Rajapaksa mengumumkan kemenangan Sri Lanka atas LTTE pada 19 Mei 2009.3 Kemenangan pemerintah Sri Lanka membuat semua yang terlibat dalam penyerangan terhadap LTTE dianggap sebagai pahlawan nasional. Hal ini berlaku pula bagi Presiden Rajapaksa. Presiden Rajapaksa disandingkan dengan Raja Dutugemunu pahlawan Sinhala pada abad ke-2 SM yang mengalahkan Raja Tamil Elara untuk menguasai wilayah Anuradhapura. Raja Dutugemunu dianggap pahlawan karena berhasil melakukan unifikasi Sri Lanka dan begitu pula halnya dengan Presiden Rajapaksa. Citra yang terbentuk pasca berakhirnya perang dengan LTTE memberikan keuntungan tersendiri bagi Rajapaksa. Rajapaksa memperoleh popularitas yang luar biasa di mata masyarakat Sri Lanka terutama di mata etnis Sinhala. Secara rasional, Rajapaksa memiliki keuntungan khusus dibandingkan calon manapun jika saat itu diselenggarakan pemilu. Hal ini dipikirkan pula oleh Rajapaksa. Rajapaksa mempercepat pelaksanaan pemilu menjadi tahun 2010, dua tahun sebelum periode kepemimpinannya berakhir. 4 Rajapaksa berniat untuk 1
Kristine Hoglund dan Camilla Orjuela, “Winning the Peace: conflict prevention after a victor's peace in Sri Lanka”, Contemporary Social Science: Journal of The Academy of Social Sciences, Vol. 1, No. 6, 2011, hlm. 20. 2 International Crisis Group, War Crimes in Sri Lanka, Asia Report No. 191, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2010. 3 Mahinda Rajapaksa, “Address by HE President Mahinda Rajapaksa at the ceremonial opening of Parliament, Sri Jayawardhanapura - Kotte, May 19, 2009” Situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=74. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. 15:45 WIB 4 Jayadeva Uyangoda, “Sri Lanka in 2009: From Civil War to Political Uncertainties”, Asian Survey, Vol. 50, No. 1, 2010, hlm. 110.
2 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
mengkapitalisasi popularitasnya yang tinggi tersebut sesegara mungkin dan menolak untuk menunggu hingga masa jabatannya berakhir. Pada pemilu tersebut ia berhadapan dengan seorang pensiunan militer yaitu Jenderal Sarath Fonseka yang memimpin penyerangan terhadap LTTE. Pemilu ini pada akhirnya dimenangkan oleh Rajapaksa dengan persentase mencapai 57,8 persen.5 Langkah yang dilakukan oleh Rajapaksa pasca kemenangannya dalam pemilu 2010 didominasi oleh pembangunan ekonomi. Sejak pidato kemenangan pemerintah Sri Lanka tahun 2009 Rajapaksa telah menyatakan bahwa pembangunan merupakan langkah yang akan ditempuh dalam upaya untuk memastikan perdamaian yang bertahan lama di Sri Lanka.6 Rajapaksa menekankan bahwa wilayah yang dulu dikuasai oleh LTTE akan menjadi objek dari pembangunan. Negara memberikan peluang bagi adanya pekerjaan baru, industri, dan peluang bisnis di masa Sri Lanka pasca perang. Melalui pembangunan yang masif menurut Rajapaksa Sri Lanka dapat menjadi “Wonder of Asia.”7 Logika yang dibangun adalah tidak ada pembangunan tanpa perdamaian dan tidak ada pula perdamaian tanpa pembangunan. Pembangunan di wilayah Utara dan Timur Sri Lanka dianggap sebagai penutup bagi munculnya terorisme. Ia meyakini bahwa pembangunan infrastruktur untuk mengurangi kemiskinan merupakan solusi politik yang utama bagi Sri Lanka pasca perang. Pembangunan dan rekonstruksi ini sendiri dilakukan secara penuh oleh pemerintah pusat Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka minim melibatkan penduduk setempat untuk dimintai konsultasi mengenai proyek pembangunan tersebut. Kebijakan pasca perang yang menekankan pada pembangunan infrastruktur di wilayah Utara dan Timur ini melibatkan peran militer Sri Lanka. Militer Sri Lanka diperlukan untuk menjaga stabilitas dari proses pembangunan yang dianggap dapat mewujudkan perdamaian yang permanen di Sri Lanka.8 Tidak ada upaya sama sekali untuk meminimalisasi peran militer dari pemerintah Sri Lanka untuk menunjukkan usaha rekonsiliasi yang lebih damai. Pengeluaran negara untuk militer justru mengalami peningkatan dan mencapai rekor tertinggi yaitu meningkat hingga 15 persen dari tahun sebelumnya.9 Militer juga merambah ke ranah 5
Sri Lanka Departement of Elections, “Presidential Election 2010 Official Results”, situs Sri Lanka Departement of Elections. http://www.slelections.gov.lk/presidential2010/AIVOT.html. Diakses pada Senin 10 Maret 2014 Pukul 09.30. 6 Mahinda Rajapaksa, “United in peace, lets build a great nation - President at the second swearing ceremony”, situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=103. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. 7 Ibid. 8 Hoglund dan Orjuela, loc. cit.. 9 Ibid.
3 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
pemerintahan sipil di mana sejumlah jabatan strategis pemerintahan dikuasai oleh para tentara. Kemenangan pemerintah Sri Lanka membawa Sri Lanka ke era yang sentralistik. Secara spesifik, sentralisasi ini dapat dikategorikan sebagai “Sinhalaisasi”,10 dan berkaitan dengan diskursus bahwa kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE dimaknai sebagai kemenangan Sinhala atas Tamil. Diskursus ini didukung oleh sentralisasi kekuasaan di tangan etnis Sinhala beragama Buddha. Proses pembangunan pun pada hakikatnya merupakan proyek pembangunan yang berasal dari etnis Sinhala. Semua proyek ditentukan dan direncanakan pemerintah Sri Lanka yang jauh dari wilayah Tamil di Utara dan Timur. Kondisi-kondisi demikian menunjukkan adanya tanda-tanda bahwa Mahinda Rajapaksa melakukan pembangunan yang kental dengan corak pembangunan otoritarianisme pasca jatuhnya LTTE. Rajapaksa memperoleh momentum dari kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE yang membuat dirinya menjadi populer di kalangan masyarakat Sri Lanka terutama etnis Sinhala. Hal ini membuatnya nyaris tidak tertandingi untuk melangkah dalam pemilu dan dalam membuat kebijakan. Pembangunan ekonomi yang masif pasca perang untuk mencegah konflik dan menjaga stabilitas memiliki kemiripan dengan pembangunan otoritarianisme yang terjadi di banyak negara, dengan menggunakan strategi pelibatan militer dan sentralisasi kekuasaan. Pembangunan pasca perang sipil di Sri Lanka tidak menaruh perhatian serius pada pembagian kekuasaan dan membuat kekuasaan hanya terpusat pada Rajapaksa. Berbagai kondisi ini menunjukkan bahwa Rajapaksa memperoleh popularitas yang tinggi untuk dapat membentuk rezim otoriter di Sri Lanka dari kemenangan atas LTTE. Rajapaksa sebagai presiden memanfaatkan popularitasnya yang tinggi pasca perang untuk membangun pemerintahan yang bercorak otoriter. Rajapaksa memiliki kekuatan simbolis sebagai seorang pahlawan yang membuatnya memperoleh legitimasi untuk membentuk otoritarianisme. Oleh karena itu penulis mengangkat pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana Presiden Rajapaksa memanfaatkan kemenangan pemerintahan Sri Lanka atas LTTE untuk membangun rezim 10
DeVotta, “Sri Lanka: From Turmoil to Dynasty”, Journal of Democracy, Volume 22, No. 2, 2011, hlm. 141.
4 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
yang otoriter. Penelitian ini ingin mengidentifikasi bagaimana terbentuknya rezim otoriter di Sri Lanka pasca perang sipil dengan melihat dari sisi pembangunan ekonomi. Penelitian ini ingin menggambarkan bahwa upaya untuk menjaga stabilitas pasca perang sipil di Sri Lanka maka diperlukan pembangunan ekonomi yang masif. Untuk membangun ekonomi pasca perang tersebut maka diperlukan negara dan kepemimpinan yang kuat, birokrat yang mengimplementasikan kebijakan, ideologi pembangunan, dan legitimasi dari hasil pembangunan. Penelitian mengenai kondisi Sri Lanka pasca perang sipil memang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi belum banyak penelitian yang membahas mengenai pembentukan rezim authoritarian developmentalism. Penelitian ini akan memperkaya literatur mengenai kondisi Sri Lanka dengan menggunakan perspektif yang berbeda yaitu pembentukan authoritarian developmentalism. Nasionalisme dan Hegemoni Mayoritas Dalam mempertahankan kekuasaannya di era demokrasi, seorang pemimpin dapat menggunakan banyak hal. Menurut Jack Snyder, sentimen nasionalisme merupakan salah satu faktor yang mengganggu demokrasi. Kelompok atau elit dapat mengumpulkan kekuatan dengan menggunakan sentimen nasionalisme untuk mencegah demokrasi. Dalam konteks ini, menurut Snyder, ada empat bentuk nasionalisme yang bisa terjadi: nasionalisme sipil, nasionalisme SARA, nasionalisme revolusioner, dan nasionalisme kontra-revolusioner.11 Nasionalisme sipil terjadi ketika elit politik merasa tidak terancam dengan adanya demokrasi. Snyder menggambarkan bahwa nasionalisme sipil terjadi ketika kepentingan elit lentur dan lembaga politik yang kuat. Elit elit ini merasa tidak terancam dengan adanya lembaga perwakilan serta pers yang terbuka. Nasionalisme SARA merupakan nasionalisme yang berasal dari kesamaan budaya, bahasa, agama, dan sejarah. Nasionalisme SARA terjadi ketika adanya kepentingan elit yang tegar dengan lembaga politik yang lemah. 12 Nasionalisme SARA sangat mungkin lahir ketika lembaga-lembaga politik masih baru pada saat timbulnya desakan ke arah peran-serta politik massa. Nasionalisme revolusioner terjadi ketika kepentingan elit lentur dengan lembaga politik yang lemah. Nasionalisme revolusioner merupakan usaha untuk mempertahankan suatu perubahan politik yang melahirkan rezim 11
Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokrasi dan Konflik Nasionalis (penerjemah Martin Alaeda, Parakitri T Simbolon), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm 78-83. 12 Ibid.
5 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
baru yang dianggap lebih baik dari rezim sebelumnya.13 Nasionalisme semacam ini terjadi ketika elit politik yang ada tidak merasa dirugikan melalui adanya demokrasi. Nasionalisme kontra-revolusioner terjadi ketika kepentingan elit yang tegar dengan lembaga politik yang kuat. Dalam kondisi ini, elit yang terancam oleh demokrasi tetapi masih mengendalikan kekuasaan tergoda untuk menggunakan nasionalisme eksklusif untuk membatasi tanggung jawab demokratisnya.14 Elit ini kemudian berpura-pura tampil sebagai pemimpin rakyat demi mempertahankan kedaulatan nasional. Menurut Snyder, salah satu strategi yang dapat menjadi cara penyelesaian konflik etnis atau SARA adalah melalui hegemoni. Di masyarakat yang Multi etnis satu kelompok etnis dapat memonopoli kekuasaan negara dan menggunakannya untuk mendominasi kelompok etnis lain. Dominasi tersebut dapat dicapai dengan penindasan terang-terangan, dapat pula dilakukan dengan memecah belah minoritas kemudian menguasainya. Penindasan ini terkadang berhasil mencegah konflik etnis ketika kekuasaan kelompok yang dominan begitu besar sehingga membuat perlawanan menjadi sulit untuk dilakukan. Authoritarian Developmentalism Authoritarian developmentalism merupakan bentuk negara otoriter dengan kapabilitas ekonomi.
15
Authoritarian
developmentalism
merupakan
sistem
politik
yang
menginstitusionalisasikan developmentalisme. Sistem ini adalah sistem di mana militer atau elit politik yang memperoleh legitimasi dari promosi akan pembangunan ekonomi menugaskan sekelompok teknokrat untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi. Sistem ini memiliki ciri berupa mekanisme administratif yang tersentralisasi. Partisipasi publik yang luas dalam proses pembuatan keputusan dalam pembangunan merupakan suatu hal yang dibatasi. Rezim ini membutuhkan persyaratan tertentu.16 Yang pertama adalah bahwa rezim ini membutuhkan pemimpin yang kuat dan memiliki literasi ekonomi yang tinggi. Kedua, pembangunan merupakan tujuan, ideologi, dan obsesi nasional. Ketiga, sekelompok elit teknokrat yang membantu pemimpin dalam merancang dan mengeksekusi kebijakan. Keempat, Legitimasi politik yang berasal dari pembangunan yang sukses. Dari keempat syarat tersebut, kepemimpinan merupakan hal yang paling krusial. Hal 13
Ibid. Ibid. 15 Toshio Watanabe, “Designing Asia for the Next Century” dalam Kenichi Ohno dan Izumi Ohno, Japanese Views on Political Development Diverse Path to Development, London: Routledge, 1998, hlm. 188. 16 Kenichi Ohno, “The East Asian Growth Regime and Political Development” dalam GRIPS Development Forum (editor), Diversity and Complementarity in Development Aid: East Asian Lessons for African Growth, Tokyo: GRIPS Development Forum, 2008, hlm. 47. 14
6 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
ini dikarenakan faktor-faktor lain tidak akan terbentuk jika tidak ada seorang pemimpin yang memiliki kompetensi yang tinggi. Selain faktor di dalam negara, terdapat pula faktor yang mempengaruhi pemebentukan rezim authoritarian developmentalism yang berasal dari luar negara. Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari sejarah dan budaya. Dalam meneliti pembentukan rezim authoritaritarian developmentalism di Korea Selatan List-Jensen menyebutkan bahwa faktor budaya dan sejarah Korea Selatan mempengaruhi pembentukan rezim tersebut.17 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur pendekatan kualitatif mengandalkan pada teks dan data gambar, memiliki langkah-langkah yang unik dalam analisis data, dan memiliki langkah-langkah yang unik dalam analisis data, dan memiliki
beragam
strategi
penyelidikan
yang
menarik.18 Penelitian
kualitatif
ini
digunakan untuk dapat menangkap dan mengungkapkan fakta dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Data yang didapati kemudian diproses melalui analisis tematis atau generalisasi dari bukti yang didapat, sehingga menghasilkan suatu gambaran yang koheren
dan
konsisten
dapat disajikan. 19 Berdasarkan tujuannya, tipe penelitian ini
termasuk deskriptif karena ingin menjawab pertanyaan “bagaimana”. Berdasarkan perumusan masalah diatas, teknik pengumpulan data utama adalah data sekunder. Teknik pengambilan data sekunder ini akan dilakukan dengan studi pustaka literatur mengenai pengaruh kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE terhadap kemunculan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa. Pembentukan rezim otoriter Rajapaksa yang menekankan pada pembangunan akan ditelusuri melalui berbagai literatur. Penelusuran berbagai buku dan jurnal juga akan dilakukan untuk menelusuri kebijakan negara pasca berakhirnya perang. Pembahasan Terdapat faktor endogen yang meliputi faktor-faktor pembentuk rezim authoritarian developmentalism menurut teori Kenichi Ohno. Faktor-faktor ini adalah kepemimpinan yang 17
Ann Sasa List-Jensen, Economic Development and Authoritarianism A Case Study on the Korean Developmental State, Kertas Kerja Aalborg University, Aalborg, 2008. 18 John. W Cresswell, Research Design: Quantitive, Qualitative, and Mixed Approach Methods, London: Sage Publication, 1994, hlm. 20. 19 W. Laurence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Boston: Allyn and Bacon, 2006, hlm. 145.
7 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
kuat, pembangunan sebagai ideologi, tujuan, dan obsesi nasional, teknokrasi sebagai pendukung Rajapaksa dalam menentukan dan mengeksekusi kebijakan, dan legitimasi yang berasal dari pembangunan ekonomi. Bab ini akan menggambarkan lebih jelas bagaimana keempat faktor tersebut memberikan kontribusi dalam pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa. Kepemimpinan Rajapaksa yang Kuat Kompetensi Ekonomi Mahinda Rajapaksa Salah satu kepemimpinan yang kuat dalam rezim authoritarian developmentalism menurut Kenichi Ohno kompetensi pemimpin tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.20 Pemimpin tersebut tidak perlu memiliki gelar doktor ataupun master dalam hal ekonomi. Yang terpenting menurut Ohno adalah pemimpin tersebut memiliki insting untuk memilih dan menentukan kebijakan yang tepat.21 Pemimpin ini harus dapat menentukan apa saja kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Sri Lanka menurun sampai mencapai angka negatif yaitu minus satu hingga minus empat persen.22 Kondisi ekonomi Sri Lanka yang buruk ini dipengaruhi oleh keadaan Sri Lanka yang terus-menerus dilanda perang sipil. Kondisi ekonomi yang buruk ini mengalami perubahan pada saat Rajapaksa menjabat. Selama enam tahun Sri Lanka mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan. Secara fisik terjadi pertumbuhan infrastruktur pesat terutama di Kolombo. Pada tahun 2010 Sri Lanka mencapai pertumbuhan tertinggi selama tiga dekade terakhir yaitu delapan persen.23 Pada tahun ini juga Sri Lanka telah mencapai negara dengan pendapatan tingkat menengah menurut standar IMF.24 Pada tahun 2010 Sri Lanka memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia, dan Turki. Sri Lanka juga mampu melampaui pertumbuhan ekonomi negara-negara BRICS yaitu Brazil, Rusia dan Afrika Selatan. Rajapaksa dalam menjalankan kebijakan ekonomi menekankan pada kekuatan negara. Rajapaksa meyakini bahwa negara memiliki peran yang penting dalam mengelola 20
Ohno, op.cit., hlm. 47. Ibid. 22 Asian Tribune, “Reassessment President Mahinda Rajapaksa”, Asian Tribune 17 November 2011. http://www.asiantribune.com/news/2011/11/17/reassessment-president-mahinda-rajapaksa. Diakses pada 25 April 2014, pukul 08.48. 23 Ibid. 24 Ibid. 21
8 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
perekonomian.25 Rajapaksa cenderung tidak percaya kepada mekanisme pasar tanpa aturan. Negara harus memiliki kapasitas dalam mendorong berbagai aktivitas ekonomi. Rajapaksa juga secara ideologi cenderung tidak sepakat dengan adanya privatisasi. Kebijakan pembangunan Rajapaksa pasca perang memang cenderung berhaluan nasionalis dan berorientasi non-barat. Hal ini ditunjukkan melalui adanya tiga ciri utama.26 Pertama adalah bahwa Rajapaksa memprioritaskan pembangunan berbagai infrastruktur dibandingkan kebijakan lainnya. Hal ini terlihat dari prioritas Rajapaksa pasca perang adalah pembangunan bandara, pelabuhan, jalan, dan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi lainnya. Pembangunan infrastruktur ini diperlukan untuk mengejar ketertinggalan kualitas infrastruktur yang disebabkan oleh perang yang berkepanjangan. Ciri kedua adalah Rajapaksa berusaha meminimalisasi bantuan asing dari Barat dalam pembangunan. Ciri ketiga adalah bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Rajapaksa merupakan bentuk solusi politik dari konflik etnik yang terjadi. Amandemen 18 Konstitusi Sri Lanka Pada September 2010 Rajapaksa mendorong terjadinya amandemen terhadap konstitusi Sri Lanka. Menurut Rajapaksa amandemen ke-18 Konstitusi Sri Lanka merupakan hal yang penting untuk dilakukan.27 Konstitusi sebelumnya dianggap tidak efektif dan tidak praktis. Amandemen ini akan melepaskan sebagian besar mekanisme pengawasan terhadap presiden.28 Selain itu, amandemen ini juga menambah masa jabatan presiden. Amandemen ini menghilangkan batasan maksimal masa jabatan presiden sehingga presiden dapat maju berkali-kali pada pemilu selanjutnya. Amandemen ini membuka peluang bagi Rajapaksa untuk maju menjadi presiden untuk masa jabatan ketiga pada tahun 2016. Selain itu, amandemen ini juga membuat sistem yudisial menjadi semakin lemah. Peran dewan konstitusi untuk memilih anggota berbagai lembaga independen digantikan oleh dewan parlemen yang ditunjuk langsung oleh presiden. Presiden juga dapat menunjuk hakim Mahkamah Agung, jaksa agung, ombudsman parlemen, dan sekjen parlemen. Pelibatan Keluarga Rajapaksa dan Anggota Koalisi dalam Pemerintahan 25
Rajesh Venugopal, Economic Development and the Executive Presidency, makalah London School of Economics, London, 2011,, hlm. 10. 26 Ibid. 27 International Crisis Group, Reconciliation in Sri Lanka: Harder than Ever, Kolombo/Brussel: International Crisis Group. 2011, hlm. 21. 28 Ibid.
9 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Pemerintahan Rajapaksa didominasi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan personal dengan Rajapaksa. Rajapaksa membangun kronisme di dalam negara untuk memusatkan kekuasaan pada orang-orang yang dapat ia percaya dan mudah dikendalikan. Keluarga Rajapaksa saat ini memegang hampir sebagian besar jabatan di institusi negara. Saudara kandungnya yaitu Gotabya Rajapaksa memegang jabatan Menteri Keamanan. Saudaranya yang lain yaitu Basil Rajapaksa menjadi pemimpin dari Kementerian Pembangunan Ekonomi. Selain jabatan di kementrian, terdapat pula saudara yang berada di parlemen. Chamal Rajapaksa merupakan speaker dari parlemen Sri Lanka saat ini. Melalui konfigurasi seperti ini, Mahinda, Gotabya, dan Basil memiliki kontrol penuh terhadap 94 departemen dan 70 persen anggaran nasional.29 Pemerintahan Rajapaksa mengonsolidasikan dan memperluas kekuasaannya dengan membentuk koalisi besar yaitu melalui UPFA. Cakupan dari koalisi ini dapat digambarkan sebagai “koalisi pelangi” karena melibatkan setiap identitas etnik dan regional. Bentuk koalisi yang besar ini menunjukkan adanya kapasitas dari Rajapaksa untuk membentuk kohesi sentripetal melalui patronase.30 Pembantukan koalisi ini penting untuk memberikan dukungan kepada rezim sehingga kelangsungannya dapat terjaga. Selain itu, pembentukan koalisi juga diperlukan untuk mempermudah pemberian persetujuan bagi kebijakan yang diperlukan dalam pemerintahan Rajapaksa. Pembentukan koalisi UPFA sendiri didasarkan untuk mendukung pencalonan Rajapaksa sebagai presiden pada tahun 2005 dan juga 2010. Kompensasi dari dukungan ini adalah pemberian kursi menteri kepada anggota koalisi. Media dan Kebebasan Berekspresi Rajapaksa melakukan intimidasi kepada media. Sri Lanka saat ini dianggap sebagai negara yang tidak aman bagi jurnalis. 31 Diperkirakan jurnalis yang dibunuh di masa pemerintahan Rajapaksa mencapai 12 orang.32 Salah satunya adalah figur media yang sangat vokal Lasantha Wickrematunga yang merupakan editor dari Sunday Leader. Sejumlah jurnalis lain juga berada di dalam ancaman hukuman karena adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Sejumlah kantor media juga diserang oleh preman-preman. Intimidasi 29
DeVotta, “Sri Lanka,” loc. cit. Jonathan Goodhand, et. al., Sri Lanka: Strategic Policy Assessment, 2011, hlm. 22. Diunduh dari http://personal.lse.ac.uk/venugopr/Sri%20Lanka%20Strategic%20Policy%20Assessment%202011.pdf. Diakses pada 27 April 2014, pukul 01.39. 31 Goodhand, loc. cit. 32 David Lewis, “In Rajapaksa’s Sri Lanka, repression is a family affair”, The Conversation 2 November 2013. http://theconversation.com/in-rajapaksas-sri-lanka-repression-is-a-family-affair-19675. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 22.24. 30
10 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
terhadap media ini sudah dimulai sejak proses pemilu. Media yang tidak berpihak kepada Rajapaksa dan cenderung memihak Fonseka mengalami boikot bahkan kekerasan. Beberapa jurnalis asing mengalami kesulitan untuk memperoleh visa untuk meliput di Sri Lanka. Media asal Inggris yaitu BBC bahkan tidak diperbolehkan untuk meliput lagi di Sri Lanka.33 Stasiun televisi Al Jazeera juga dilarang untuk mengudara di Sri Lanka. Pada Juli 2012 pemerintah mengumumkan aturan baru untuk mengontrol dan mengatur situs internet. Press Council Act yang telah direvisi dapat menghukum berat situs yang dianggap pemerintah menyalahgunakan penggunaan situs. Sejumlah situs internet bahkan saat ini dilarang oleh pemerintah karena dianggap terlalu kritis.34 Pada Juni 2012 situs yang memiliki afiliasi dengan UNP diserang dan ditutup.35 Pada tanggal 29 Juni 2012 kantor situs berita X News Sri Lanka diserang oleh Criminal Investigation Department (CID) Sri Lanka. CID menyita tujuh unit komputer dan menangkap para pegawai yang terdiri dari delapan jurnalis dan sembilan karyawan lain. 36 Kantor X News disegel dan Ruwan Ferdinands sebagai editor dan administrator dari situs tersebut ditangkap. Ferdinands sendiri adalah koordinator media dari anggota parlemen UNP yaitu Mangala Samaraweera.37 Keterlibatan Militer dalam Pemerintahan Setelah perang berakhir, militer tetap banyak dilibatkan oleh pemerintahan Rajapaksa. Rajapaksa membangun hubungan dengan militer untuk menjaga stabilitas dari kekuatan oposisi yang dapat mengganggu program pembangunan. Hubungan antara kepemimpinan eksekutif Rajapaksa dengan militer bahkan membuat relasi antara keduanya mencapai level yang berbeda. Rajapaksa mengganti sejumlah pejabat publik sipil dengan militer.38 Sejumlah pensiunan militer diberikan posisi sebagai duta besar ataupun kepala lembaga atau perusahaan negara. Dalam kasus tertentu militer juga diberikan jabatan kegubernuran. Di Utara jabatan gubernur diberikan kepada militer yaitu Mayor Jenderal G.A. Chandrasiri.
33
Ibid. International Crisis Group, Sri Lanka’s Authoritarian Turn: The Need for International Action Crisis Group Asia Report No.243, Kolombo/Brussell: International Crisis Group, 2013, hlm. 16 35 Ibid. 36 LankaeNews, “CID raids Media office: computers, equipments impounded, and seals office: 8 journalists taken to 4th floor: on the trail of Ferdinands”, LankaeNews 29 Juni 2012. http://lankaenews.com/English/news.php?id=13006 37 Global Tamil News, “Sri Lanka main opposition website administrator surrenders to Court”, Global Tamil News 7 Juli 2013. http://www.globaltamilnews.net/MobileArticle/tabid/81/language/en-US/Default.aspx?pn=home&aid=79930 38 DeVotta, loc. cit. 34
11 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Selain itu, di Timur juga terdapat nama Laksamana Mohan Wijewickrama yang menjadi gubernur di provinsi tersebut. Pasca perang sipil militer juga aktif di dalam aktivitas ekonomi. Hal ini terutama dilakukan oleh militer yang berada di wilayah Utara. Di Utara, militer mengambil alih sejumlah lahan untuk digunakan untuk bisnis pertanian mereka. Pengambilalihan lahan tersebut dilakukan terhadap lahan milik pemerintah dan juga lahan milik warga Tamil.39 Lahan-lahan tersebut semula adalah lahan yang dikuasai oleh LTTE. Lahan pertanian yang digunakan untuk keperluan bisnis pertanian militer tersebut misalnya adalah perkebunan Vaddakatchi dan lahan pertanian di Muththaian-Kattukulam. Selain pertanian, militer juga aktif dalam aktivitas komersial lainnya. Militer menjalankan sejumlah restoran dan juga toko di sepanjang jalan A9. 40 Selain itu, Militer juga menyentuh pasar pariwisata dengan menjalankan bisnis perhotelan di Utara. Pembangunan sebagai Ideologi, Tujuan, dan Obsesi Nasional Melalui proyek-proyek pembangunan pasca konflik ditunjukkan dengan jelas bahwa Rajapaksa mencoba membangun konstruksi di mata masyarakatnya bahwa Sri Lanka adalah negara yang hebat. Hal ini akan diwujudkan melalui visinya yaitu Mahinda Chintana. Pada Mahinda Chintana dikatakan dengan jelas bahwa Sri Lanka akan menjadi “keajaiban baru di Asia”. Pada pidato pelantikannya di tahun 2010 Rajapaksa menekankan bahwa Sri Lanka bukanlah miniatur dari negara berkembang, Sri Lanka harus dapat membuktikan jati diri bangsa mereka dan melalui pembangunan hal tersebut dapat terwujud. 41 Rajapaksa mengatakan bahwa Sri Lanka telah menjadi bangsa yang bersatu, hal ini diwujudkan melalui pembebasan negara dari konflik yang beriringan dengan implementasi dari Mahinda Chintana. Rajapaksa berjanji akan membawa Sri Lanka menjadi negara yang hebat di dunia dengan cara mengimplementasikan kebijakan yang terdapat di dalam Mahinda Chintana. Dalam Mahinda Chintana Sri Lanka memilki target pendapatan per kapita mencapai 4.470 milyar dolar pada tahun 2016.42 Untuk mendukung hal tersebut, tingkat ekspor akan 39
Lihat International Crisis Group, Sri Lanka’s North II: Rebuilding Under Military, Asia Report No. 220, Kolombo/Brussel: Crisis Group, 2012, hlm. 22. 40 Ibid., hlm. 23. 41 Mahinda Rajapaksa, “United in Peace, Lets Build a Great Nation - President at the Second Swearing Ceremony”, situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=103. diakses pada 2 Mei 2013, pukul 15.27. 42 Department of National Planning Ministry of Finance and Planning, Sri Lanka The emerging Wonder of Asia Mahinda Chintana – Vision for the Future The Development Policy Framework Government of Sri Lanka, Kolombo: Department Of National Planning Ministry Of Finance And Planning, 2010.
12 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
ditingkatkan hingga mencapai 18 milyar dolar AS di tahun 2016. Sektor pariwisata juga akan dibangun dengan target pada tahun 2016 memberikan kontribusi sebesar 2,5 milyar dolar AS kepada pendapatan. Pertumbuhan ekonomi juga diharapkan akan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran hingga mencapai masing-masing 4,2 persen dan 3,2 persen di tahun 2016. Teknokrasi sebagai Pendukung Rajapaksa dalam Menentukan dan Mengeksekusi Kebijakan Rajapaksa membutuhkan sekelompok teknokrat untuk memberikan saran kepada Rajapaksa untuk menjalankan kebijakan pembangunan. Salah satu badan teknokratik yang menjadi pendukung terhadap kebijakan pembangunan di Sri Lanka adalah Board of Investment (BOI). Semula BOI ini bernama Greater Colombo Economic Commission (GCEC). Pada tahun 1992 namanya diubah menjadi BOI untuk mengakomodasi pembangunan ekonomi di seluruh negeri.43 BOI saat ini dikepalai oleh Lakshman Jayaweera yang merupakan seorang teknokrat bergelar doktor dari University of New South Wales Australia. Selain Jayaweera, direksi BOI diisi pula oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang ekonomi. Terdapat nama Channa Palansuriya, orang yang memiliki pengalaman menjadi Deputi Kepala Sampath Bank dan CEO Orit Apparels Lanka. Selain itu terdapat pula Sanjeewa Wickramanayake yang merupakan pemilik dari Ewis Solutions dan Toppan Forms. Selain BOI yang dikepalai Jayaweera, terdapat pula teknokrat yang bekerja untuk Rajapaksa pada level kementrian. Penunjukkan teknokrat-teknokrat ini dilakukan secara langsung oleh Rajapaksa. Teknokrat-teknokrat ini ditempatkan di kementrian-kementerian yang kementeriannya dipegang langsung oleh Rajapaksa, keluarga Rajapaksa, ataupun anggota koalisi UPFA. Teknokrat-teknokrat ini umumnya ditempatkan sebagai sekretaris di kementrian-kementerian tersebut. Di antara teknokrat tersebut terdapat nama P.B. Jayasundera. Jayasundera merupakan Sekretaris Kementrian Keuangan Sri Lanka di bawah menteri keuangan Mahinda Rajapaksa. Jayasundera dianggap sebagai teknokrat yang paling kuat dalam rezim Rajapaksa.44 Selain berada di kementrian keuangan, Jayasundera juga menjadi Sekretaris Kementerian Pembangunan Ekonomi di bawah Basil Rajapaksa.
43
Board of Investment Sri Lanka, “About us”, situs Board of Investment Sri Lanka. http://www.investsrilanka.com/welcome_to_boi/about_us.html, diakses pada 2 Mei 2013, pukul 15.27. 44 The Sunday Times, “PB Jayasundera to get wide administrative Power” The Sunday Times 31 Oktober 2010. http://www.sundaytimes.lk/101031/BusinessTimes/bt06.html. Diakses pada 1 Mei 2014, pukul 09.37.
13 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Jayasundera memiliki kekuasaan untuk mengontrol institusi pendapatan negara.
45
Jayasundera juga memiliki kewenangan untuk mengontrol promosi investasi, pariwisata, dan pembangunan bangsa. Pembangunan sebagai Sumber Legitimasi dan Dukungan Populer Rajapaksa Rajapaksa menyadari bahwa untuk membangun rezim seperti yang ia inginkan membutuhkan kemakmuran ekonomi.46 Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Sri Lanka mencapai angka tertinggi selama beberapa dekade yaitu mencapai angka 8 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini memberikan momentum tersendiri bagi Rajapaksa. Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini Rajapaksa dapat membuktikan bahwa dirinya mampu membawa kemakmuran ekonomi bagi Sri Lanka. Proses pembangunan yang dilakukan pemerintahannya telah memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Rajapaksa hanya perlu membawa tema ini sebagai sumber dukungan bahwa dirinya akan melanjutkan proses pembangunan ekonomi ini selama ia menjabat. Rajapaksa dapat diproyeksikan sebagai figur yang dibutuhkan Sri Lanka untuk membawa kemajuan khususnya di bidang ekonomi. Dukungan dan legitimasi yang berasal dari performa ekonomi pemerintahan Rajapaksa pasca perang sipil menunjukkan persentase yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Centre for Policy Alternatives. Dukungan tinggi terhadap pemerintah ini umumnya berasal dari etnis Sinhala. Dalam hal ekonomi, 38 persen masyarakat Sri Lanka mengatakan bahwa situasi ekonomi secara umum telah lebih baik dan 10,7 persen menganggap situasi ekonomi telah jauh membaik.47 Dalam hal ini 42,2 persen etnis Sinhala menganggap bahwa situasi ekonomi telah membaik sementara itu 57,1 persen etnis Tamil yang tinggal di perkotaan menganggap situasi ekonomi semakin jauh memburuk. Ketika ditanya apakah pemerintah sudah melakukan kinerja yang baik dalam mengelola perekonomian semua etnis menganggap pemerintah sudah bekerja dengan baik. Terdapat 38,8 persen etnis Sinhala yang menganggap pemerintah memiliki kinerja yang baik dalam mengelola perekonomian sementara itu 43,4 persen etnis Tamil menganggap pemerintah telah bekerja dengan baik dalam hal perekonomian.48 Hal ini kemudian berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Total 81,1 persen etnis Sinhala percaya 45
DeVotta, loc. cit. Ibid. 47 Centre for Policy Alternatives, Survey On Democracy In Post-War Sri Lanka Top Line Report July 2011, Kolombo: Centre for Policy Alternatives, 2011, hlm. 10. 48 Ibid, hlm. 37. 46
14 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
kepada pemerintah nasional atau pusat.49 Etnis Tamil juga memiliki kepercayaan kepada pemerintah meskipun tidak berada pada level persentase yang sama dengan etnis Sinhala. Total 61,1 persen etnis Tamil menunjukkan kepercayaan kepada pemerintah. Faktor Sejarah Perang Sipil dan Konsekuensinya Selain faktor eksogen yang berasal dari teori authoritarian developmentalim Ohno, terdapat faktor eksogen yang merupakan faktor yang berada di luar faktor negara sebagai pendorong pembangunan. Yang pertama adalah sejarah perang sipil dan konsekuensinya. Sri Lanka memiliki sejarah konflik etnik antara Sinhala dan Tamil yang panjang. Konflik yang panjang ini memberikan banyak konsekuensi bagi Sri Lanka. Salah satunya adalah Sri Lanka tidak mampu melakukan proses pembangunan secara maksimal seperti halnya pembangunan infrastruktur penunjang pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, infrastruktur di Sri Lanka mengalami ketertinggalan sehingga sulit untuk menunjang kegiatan ekonomi. Perang sipil selama 26 tahun memberikan dampak kepada perekonomian Sri Lanka. Terdapat kerugian langsung yang dialami oleh pemerintah Sri Lanka. Secara umum, kerugian terbesar adalah kerusakan modal fisik dan manusia dan pengeluaran di bidang militer. Pada tahun 1983 hingga 1996 saja diperkirakan dana pemerintah Sri Lanka yang dihabiskan untuk pengeluaran pertahanan mencapai 288 milyar rupee.50 Pada tahun 2008 menjelang konflik berakhir anggaran untuk pertahanan mengambil porsi 17,1 persen dari total anggaran pemerintah atau 3,8 persen dari GDP.51 Pengeluaran untuk gaji tentara memaksa investasi menjadi tidak berjalan. Diperkirakan bahwa ketika pemerintah menaikkan 1 persen anggaran militer dapat menyebabkan penurunan investasi publik sebesar 2,4 persen.52 Faktor Ideologi Nasionalis Buddha Sinhala Pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa dipengaruhi juga oleh adanya faktor kultural sebagai faktor eksogen. Rajapaksa dapat membentuk rezim authoritarian developmentalism dipengaruhi oleh adanya nasionalisme Buddha Sinhala. Bagi sebagian peneliti, nasionalisme Buddha Sinhala ini bahkan sudah dapat dikatakan sebagai 49
Ibid, hlm. 42. Nisha Arunatilake, et al, “The economic cost of the war in Sri Lanka”, World Development, Vol. 29, No 9, 2001, hlm. 1483-1500. 51 Deshal de Mel dan Shakya Lahiru Pathmalal, Political and Economic Policy Priorities in Supporting Post Conflict Peace and Development in Sri Lanka, hlm. 49. Diunduh dari http://siteresources.worldbank.org/INTCONFLICT/Resources/SriLankafinal.pdf. Pada 18 Februari 2014, pukul 01.35. 52 Saman Kelegama dalam Ibid. 50
15 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
sebuah ideologi yang mempengaruhi politik di Sri Lanka.53 Nasionalisme Buddha Sinhala telah lama memberikan pengaruh terhadap politik Sri Lanka. Politisasi terhadap identitas Buddha dan Sinhala terjadi di Sri Lanka dalam bentuk penggunaan simbol-simbol agama dan etnis tersebut ke dalam politik elektoral. Selain itu, penggunaan simbol-simbol Buddha dan Sinhala juga dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber dukungan bagi suatu rezim. Mahinda Rajapaksa merupakan presiden pertama yang menganut ideologi nasionalis Sinhala secara penuh.54 Rajapaksa meyakini bahwa Sri Lanka merupakan Dhammadipa dan juga Sinhaladipa. Rajapaksa kemudian merasa perlu untuk mengekspresikan identitas Sinhala Buddha karena sebagian besar pemilihnya merupakan Sinhala Buddha. Hal ini membuat Rajapaksa memiliki keleluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang otoriter.55 Hal ini termasuk di dalamnya melakukan kekerasan HAM terhadap etnis Tamil. Kekerasan HAM di dalam pemerintahan Rajapaksa misalnya terjadi dalam pelaksanan No Fire Zone (NFZ). Pada Januari 2010, terjadi pelanggaran di dalam pelaksanaan NFZ ini. Laporan Crisis Group menyebutkan bahwa pada saat itu militer pemerintah melakukan penyerangan terhadap tendatenda warga sipil Tamil. 56 Pada pemerintahan Rajapaksa, supremasi Buddha Sinhala dapat dilihat dalam bentuk Sinhalaisasi wilayah Utara pasca perang sipil. Sinhalaisasi ini terjadi seiring dengan terlibat aktifnya militer Sri Lanka dalam kehidupan pasca perang di Utara.57 Terjadi perubahan nama-nama jalan di wilayah Utara dengan menggunakan bahasa atau tokoh Sinhala. Terjadi pula pembangunan patung-patung Buddha di wilayah Utara yang secara tradisional beragama mayoritas Hindu. Pasca perang sipil wilayah Utara juga kedatangan etnis Sinhala dengan jumlah yang cukup signifikan. Para politisi Tamil meyakini bahwa proses Sinhalaisasi ini merupakan hal yang didukung oleh pemerintahan Rajapaksa. Terjadi pula perubahan nama desa dari Tamil ke Sinhala. Berakhirnya perang sipil membuka peluang terjadinya perubahan
53
Salah satunya adalah R.A.L.H.Gunawardana, seorang profesor sejarah dari University of Peradeniya. Gunawardana menyebutkan bahwa Sinhala tidak hanya merupakan sebuah identitas, tetapi juga merupakan sebuah ideologi. 54 Neil DeVotta, “Politics and Governance in Post-Independence Sri Lanka” dalam Paul R. Brass (editor), Routledge Handbook of South Asian Politics: India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, and Nepal, London: Routledge, 2010, hlm. 122. 55 Ibid. 56 International Crisis Group, War Crimes, loc. cit. 57 Lihat International Crisis Group, Sri Lanka’s North I: The Denial of Minority Rights, Asia Report No. 219, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2012, hlm. 17.
16 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
nama-nama desa di wilayah Utara tersebut. Perubahan nama-nama tersebut dilakukan oleh otoritas di tingkat negara tanpa memberitahukan otoritas di tingkat lokal.58 Dalam konteks pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa bentuk nasionalisme yang terjadi adalah nasionalisme kontra-revolusioner. Hal ini terjadi karena Rajapaksa sebagai elit yang masih mengendalikan kekuasaan diuntungkan oleh adanya sentimen nasionalisme sempit para nasionalis Buddha Sinhala untuk membatasi tanggung jawab demokratisnya. Rajapaksa dimunculkan sebagai seorang pemimpin rakyat untuk mempertahankan kedaulatan negara. Ideologi nasionalisme Buddha dan Sinhala ini menjadi sumber dukungan bagi pembentukan rezim Rajapaksa. Pemilih Rajapaksa merupakan pemilih yang beretnis Sinhala yang hidup di daerah-daerah pedesaan. Penggunaan simbol-simbol Sinhala dan Buddha oleh seorang pemimpin sering kali dapat membuat kalangan pemilih Sinhala tersebut mendukung kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi pula pada rezim Rajapaksa. Kemampuan Rajapaksa untuk menggunakan simbol-simbol Sinhala dan Buddha membuat para pemilih dapat menerima segala bentuk kebijakan yang dibuat termasuk kebijakan yang otoriter. Penggunaan nasionalisme Buddha Sinhala juga merupakan salah satu bentuk hegemoni. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kalangan nasionalis Buddha Sinhala memiliki keyakinan bahwa Sri Lanka telah merupakan satu bangsa. Akan tetapi, dalam penggambaran Sri Lanka sebagai satu bangsa ini sebenarnya telah banyak menggunakan simbol-simbol Sinhala. Identitas nasional Sinhala sudah menjadi identitas nasional Sri Lanka. Hegemoni ini kemudian digunakan untuk menjaga perdamaian pasca perang sipil. Kesimpulan Pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen ini meliputi faktor di dalam teori authoritarian developmentalism Kenichi Ohno, yaitu kepemimpinan yang kuat, pembangunan sebagai ideologi, tujuan, dan obsesi nasional, teknokrasi sebagai pendukung rajapaksa dalam menentukan dan mengeksekusi kebijakan, dan legitimasi yang berasal dari pembangunan ekonomi. Faktor eksogen dalam pembentukan rezim ini meliputi faktor sejarah perang sipil dan konsekuensinya serta adanya ideologi nasionalis Buddha Sinhala. 58
The Social Architecs, Salt on Wounds, The Systematic Sinhalization of Sri Lanka’s North, East, and Hill County, laporan The Social Architecs, 2012, hlm. 17.
17 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Daftar Pustaka: Sumber Buku: Brass, Paul R. (editor). Routledge Handbook of South Asian Politics: India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, and Nepal. London: Routledge, 2010. Cresswell, John. W.. Research Design: Quantitive, Qualitative, and Mixed Approach Methods. London: Sage Publication, 1994. GRIPS Development Forum (editor). Diversity and Complementarity in Development Aid: East Asian Lessons for African Growth. Tokyo: GRIPS Development Forum, 2008. Neuman, W. Laurence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Allyn and Bacon, 2006. Ohno, Kenichi. Japanese Views on Political Development. London: Routledge, 1998. Snyder, Jack. Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokrasi dan Konflik Nasionalis (penerjemah Martin Alaeda, Parakitri T Simbolon). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000. Sumber Internet: Asian Tribune. “Reassessment President Mahinda Rajapaksa.” Asian Tribune 17 November 2011. http://www.asiantribune.com/news/2011/11/17/reassessment-president-mahindarajapaksa. Diakses pada 25 April 2014, pukul 08.48. Board of Investment Sri Lanka. “About us.” Situs Board of Investment Sri Lanka. http://www.investsrilanka.com/welcome_to_boi/about_us.html, diakses pada 2 Mei 2013, pukul 15.27. de Mel, Deshal dan Shakya Lahiru Pathmalal. Political and Economic Policy Priorities in Supporting Post Conflict Peace and Development in Sri Lanka. Diunduh dari http://siteresources.worldbank.org/INTCONFLICT/Resources/SriLankafinal.pdf.
Pada
18 Februari 2014, pukul 01.35. Global Tamil News, “Sri Lanka main opposition website administrator surrenders to Court.” Global Tamil News 7 Juli 2013. http://www.globaltamilnews.net/MobileArticle/tabid/81/language/enUS/Default.aspx?pn=home&aid=79930. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 11.35. Goodhand, Jonathan, et. al.. Sri Lanka: Strategic Policy Assessment, 2011. Diunduh dari http://personal.lse.ac.uk/venugopr/Sri%20Lanka%20Strategic%20Policy%20Assessment %202011.pdf. Diakses pada 27 April 2014, pukul 01.39. 18 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Global Tamil News, “Sri Lanka main opposition website administrator surrenders to Court.” Global Tamil News 7 Juli 2013. http://www.globaltamilnews.net/MobileArticle/tabid/81/language/enUS/Default.aspx?pn=home&aid=79930. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 11.35. LankaeNews. “CID raids Media office: computers, equipments impounded, and seals office: 8 journalists taken to 4th floor: on the trail of Ferdinands.” LankaeNews 29 Juni 2012. http://lankaenews.com/English/news.php?id=13006. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 13.25. Lewis, David. “In Rajapaksa’s Sri Lanka, repression is a family affair.” The Conversation 2 November 2013. http://theconversation.com/in-rajapaksas-sri-lanka-repression-is-a-family-affair-19675. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 22.24. Rajapaksa, Mahinda. “Address by HE President Mahinda Rajapaksa at the ceremonial opening of Parliament, Sri Jayawardhanapura - Kotte, May 19, 2009” Situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=74. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. Rajapaksa, Mahinda. “United in peace, lets build a great nation - President at the second swearing ceremony.” situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=103. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. Sri Lanka Departement of Elections. “Presidential Election 2010 Official Results.” situs Sri Lanka Departement of Elections. http://www.slelections.gov.lk/presidential2010/AIVOT.html. Diakses pada Senin 10 Maret 2014 Pukul 09.30. The Sunday Times,.“PB Jayasundera to get wide administrative Power.” The Sunday Times 31 Oktober 2010. http://www.sundaytimes.lk/101031/BusinessTimes/bt06.html. Diakses pada 1 Mei 2014, pukul 09.37. Sumber Jurnal: Arunatilake, Nisha, et. al.. “The economic cost of the war in Sri Lanka.” World Development, 29:9, 2001: 1483-1500. DeVotta, Neil. “Sri Lanka: From Turmoil to Dynasty”, Journal of Democracy 22: 2, 2011:130-144. 19 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
Hoglund, Kristine dan Camilla Orjuela. “Winning the Peace: conflict prevention after a victor's peace in Sri Lanka”, Contemporary Social Science: Journal of The Academy of Social Sciences 1:6, 2011: 19-37. Uyangoda, Jayadeva. “Sri Lanka in 2009: From Civil War to Political Uncertainties”, Asian Survey 50:1, 2010: 104-111. Makalah dan Kertas Kerja: Ann Sasa List-Jensen, Economic Development and Authoritarianism A Case Study on the Korean Developmental State, Kertas Kerja Aalborg University, Aalborg, 2008. Venugopal, Rajesh. Economic Development and the Executive Presidency. Makalah London School of Economics, London, 2011. Dokumen Pemerintah: Department of National Planning Ministry of Finance and Planning, Sri Lanka The emerging Wonder of Asia Mahinda Chintana – Vision for the Future The Development Policy Framework Government of Sri Lanka, Kolombo: Department Of National Planning Ministry Of Finance And Planning, 2010. Dokumen dan Laporan Lembaga: Centre for Policy Alternatives, Survey On Democracy In Post-War Sri Lanka Top Line Report July 2011, Kolombo: Centre for Policy Alternatives, 2011. International Crisis Group, Reconciliation in Sri Lanka: Harder than Ever, Kolombo/Brussel: International Crisis Group. 2011. International Crisis Group, Sri Lanka’s Authoritarian Turn: The Need for International Action Asia Report No.243, Kolombo/Brussell: International Crisis Group, 2013. International Crisis Group, Sri Lanka’s North I: The Denial of Minority Rights, Asia Report No. 219, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2012. International Crisis Group, Sri Lanka’s North II: Rebuilding Under Military, Asia Report No. 220, Kolombo/Brussel: Crisis Group, 2012. International Crisis Group, War Crimes in Sri Lanka, Asia Report No. 191, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2010. The Social Architecs, Salt on Wounds, The Systematic Sinhalization of Sri Lanka’s North, East, and Hill County, laporan The Social Architecs, 2012.
20 Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014