Hari Keempat di Denali, Tim Atlet Wanala Capai Kamp Dua UNAIR NEWS – Tim Airlangga Indonesia Denali Expedition (AIDeX) Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Airlangga tengah mendaki gunung tertinggi di Amerika utara, Mc. Kinley atau yang dikenal dengan Denali. Berdasarkan kabar terbaru yang didapat oleh manajer tim atlet AIDeX, Wahyu Nur Wahid, mereka tengah berada di ketinggian 9.350 kaki atau 2.850 mdpl. Kabar perjalanan tersebut didapat melalui satelit global positioning system (GPS) pada Rabu siang (31/5) waktu Indonesia. Pada hari Selasa waktu bagian Alaska Amerika Serikat, tim melakukan perjalanan menuju kamp dua di ketinggian 11.200 kaki. Namun, ketiga atlet yang beranggotakan Muhammad Faishal Tamimi (mahasiswa Fakultas Vokasi/2011), Mochammad Roby Yahya (mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan), dan Yasak (alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) didampingi pemandu memutuskan untuk beristirahat di titik Below Kahiltna Pass atau 9.350 kaki. “Perbedaan ketinggian 1.850 kaki namun suhu mencapai minus 18 derajat Celcius. Kondisi di Denali cerah meskipun malam hari. Alhamdulillah, kondisi tim atlet sehat,” tutur pemandu tim atlet, Sofyan Arief Fesa. Sebelum melanjutkan perjalanan, sehari sebelumnya waktu setempat, tim melakukan perjalanan dan menimbun bahan logistik (makanan dan bahan bakar) di timbunan salju di kamp satu. Tujuannya, untuk menyimpan makanan dalam keadaan darurat ataupun cadangan makanan ketika sudah turun. Selain itu, penyimpanan logistik juga mengurangi berat bawaan dan proses aklimatisasi tim atlet AIDeX. Sempat terhambat cuaca
Selama di Alaska, tim atlet AIDeX melakukan berbagai persiapan yang matang. Persiapan tersebut di antaranya melakukan pengecekan barang, kebutuhan logistik, hingga persiapan keberangkatan. Tim atlet berangkat menuju Denali di bandar udara Kahiltna International Airport yang terletak di desa terakhir sebelum Denali, Talkeetna. Mereka terbang dari ketinggian 7.200 kaki mdpl dengan menggunakan pesawat perintis. Perjalanannya sempat terhambat keadaan alam. Cuaca yang tak bersahabat mengakibatkan pesawat tidak bisa mendarat di gletser sehingga penerbangan harus ditunda keesokan harinya. Sehari setelahnya, Jumat (26/5) waktu Alaska, tim memulai pendakian dari base camp menuju kamp satu. “Ada pendaki asal Jerman yang masuk kloter pertama. Mereka kembali ke Talkeetna karena masih belum bisa landing sedangkan kami termasuk kloter ketiga dan berhasil mendarat di base camp dengan selamat,” tutur Roby. Setibanya di base camp, tim mendirikan tenda untuk aklimatisasi selama satu hari sebelum memulai pendakian tanggal 27 Mei. Selama pendakian, tim melalui jalur West Buttres. Rute ini merupakan jalur yang sering dilalui oleh pendaki Denali. “Tim melakukan perjalanan pukul dua siang menuju kamp 2. Awalnya, cuaca cukup cerah namun tak selang lama kemudian cuaca berubah menjadi angin dan bersalju sehingga jalur yang dilalui cukup berat dengan memakai sepatu salju yang memiliki berat empat kilogram,” tutur Faishal. “Ketinggian salju sampai ditambah kedalaman jalur membuat tim AIDeX menguras tenaga ekstra. Berat individu rata-rata 50 kilogram yang dibawa di tas sledge (kereta luncur),” imbuh Faishal yang ekspedisi AIDeX.
selutut yang bawaan tiap punggung dan juga ketua
Rencananya, tim atlet AIDeX akan mendaki Denali selama 18
sampai 22 hari. Mereka bertolak dari Surabaya ke Jakarta pada 10 Mei, kemudian berangkat ke Amerika Serikat pada 17 Mei. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Anchorage pada tanggal 21 Mei. Sedangkan, pendakian di Denali akan dimulai pada 26 Mei sampai 9 Juni. Denali bukanlah puncak pertama yang didaki oleh anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (UKM Wanala). Empat dari tujuh puncak tertinggi yang telah tim digapai adalah Puncak Cartenz (Indonesia/1994), Kilimanjaro (Tanzania/2009), Elbrus (Rusia/2011), dan Aconcagua (Argentina/2013). Selain ke Denali, ekspedisi ke Vinson Massif di Antartika serta Everest di Himalaya akan menggenapi ekspedisi seven summits anggota UKM Wanala. Penulis: Wahyu Nur Wahid (manajer tim AIDeX) Editor: Defrina Sukma S
Novita, Putri Tukul Arwana Ingin Belajar tentang Masyarakat di UNAIR UNAIR NEWS – Berbekal nama besar sang ayah yang menjadi tokoh publik, mestinya bisa membuat Novita Eka Afriana memiliki kesempatan yang besar untuk melenggang ke industri hiburan. Namun tidak bagi putri sulung Tukul Riyanto atau yang lebih dikenal dengan nama Tukul Arwana ini. Vita, sapaan karib Novita Eka Afriana, berhasil diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), di Universitas Airlangga. Vita mengambil program
studi S-1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Gadis yang baru merayakan ulang tahun ke-17 ini mengaku, tidak ada campur tangan ayah dalam proses pendaftarannya di UNAIR. Ia berhasil diterima melalui jalur SNMPTN dengan nilai ratarata rapor yang ia raih selama belajar di bangku SMA. “Enggak ada campur tangan ayah. Mereka semua (keluarga, -red) support, sih. Walau sebenarnya mereka mau aku di Jakarta,” ujar Vita berkisah tentang dukungan keluarga terhadap studinya. Nampaknya, keinginan Vita untuk melanjutkan studi dan memperluas jejaring pertemanan begitu besar. Ia akhirnya memilih UNAIR sebagai tempat untuk melanjutkan studi. “Aku bilang ke keluarga kalau ini kesempatan yang bagus untuk aku punya pengalaman dan mencari pertemanan yang luas bukan hanya di Jakarta,” tambah lulusan SMAN 6 Jakarta. Dalam memilih jalan hidup, Tukul nampaknya membebaskan keinginan putri sulungnya itu. Ia memberikan fasilitas yang dibutuhkan putrinya dalam hal belajar serta pengembangan diri. “Ayah dukung aku untuk selalu belajar. Jadi aku ikut les bimbel (bimbingan belajar) di luar, dan dia dukung banget aku ambil Sosiologi. Katanya, dengan studi di Sosiologi, aku bisa belajar tentang masyarakat dan kebudayaan secara luas,” papar gadis yang memiliki hobi travelling (berwisata) dan boxing (tinju) ini. Meskipun mengantongi nama Tukul yang populer di industri hiburan, Vita mengaku saat ini belum memiliki keinginan untuk mengikuti jejak sang ayah. Ia tertarik untuk tekun belajar melalui program studi Sosiologi. “Aku nggak begitu tertarik sih untuk terjun ke dunia entertainment. Aku pengin beda sama ayah. Mungkin suatu saat nanti mungkin saja,” ujar perempuan kelahiran 21 Agustus 1999.
Saat ini, sambil menunggu jalannya perkuliahan, Vita masih menghabiskan waktu di Jakarta. Ia juga tertarik untuk memperdalam kemampuan Bahasa Inggris dengan mengikuti kursus. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S
Penyakit Leukemia Akut Banyak Jangkiti Anak-anak UNAIR NEWS – Jumlah angka kejadian kanker pada anak-anak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 2014, tercatat ada 144 kasus, sedangkan tahun 2015 menjadi 206 kasus baru. Jumlah tersebut merangkak naik di tahun berikutnya. Tahun 2016, angka kejadian kanker pada anak menjadi 252 kasus baru. Dari sederet kasus kanker yang diidap oleh anak-anak, hampir setengah dari mereka menderita kanker darah atau yang biasa dikenal dengan leukemia. Jenis kanker darah yang paling banyak diderita adalah Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). Guru Besar bidang Ilmu Spesialis Anak Fakultas Kedokteran, Prof. Dr. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A (K), mengatakan jumlah kasus penyakit LLA tersebut dikumpulkan berdasarkan pasien yang masuk di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo (RSDS). Bila pada tahun 2015 ada 106 kasus baru, maka tahun 2016 ada 108 kasus baru yang ditangani di RSDS. Meski jumlah kasusnya terus meninggi, penyebab penyakit ini belum bisa diketahui. “Bila darah pada orang dengan penyakit Tuberkulosis atau Lepra
diperiksa, akan diketahui penyebabnya. Sedangkan, penyebab penyakit kanker termasuk leukemia, belum diketahui,” tutur Ugrasena ketika diwawancarai. Mengutip penelitian para ahli, Ugrasena menyatakan penyakit leukemia kemungkinan disebabkan zat-zat kimiawi dan fisis. Anak-anak cukup rentan mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan pengawet. Dugaannya, bahan pengawet tersebut bisa menyebabkan kanker pada anak. Di sisi lain, anak-anak yang menderita kanker darah juga banyak ditemukan usai ledakan reaktor nuklir di Chernobyl Ukraina tahun 1986 lalu. “Sehingga dihipotesiskan oleh para ahli bahwa atom atau fisika bisa menyebabkan kanker,” imbuh dokter spesialis anak tersebut. Para orang tua perlu jeli dalam melakukan deteksi dini pada anak-anak. Gejala awal yang terlihat pada anak dengan leukemia adalah peningkatan suhu tubuh selama kurun waktu dua minggu dan disertai perdarahan pada kulit dan mukosa. “Kita (orang tua) harus bisa membedakan apakah ini kanker padat atau kanker darah. Kanker yang solid itu bisa dikenali. Ketika memandikan, jika ibu jeli, dia akan merasakan benjolan di tubuh anaknya,” tutur Ugrasena. Untuk itulah, orang tua disarankan segera datang ke tempat fasilitas kesehatan layanan kanker apabila gejala-gejala tersebut sudah ditemukan pada anak. Polimorfisme Para dokter spesialis memiliki standar protokol dalam mengobati anak dengan kanker darah. Namun, ada sejumlah penyebab kegagalan dalam pengobatan kanker darah, salah satunya adalah cacat genetik. Cacat genetik atau polimorfisme adalah kelainan genetik yang dibawa oleh anak sejak awal kehidupan. Jumlah kasus
polimorfisme kanker darah cukup banyak. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Jawa Timur menyebutkan, kasus polimorfisme mencapai sepertiga dari jumlah kasus LLA. Selain itu, polimorfisme mengakibatkan obat-obat kemoterapi tak mempan dalam menghabisi sel-sel kanker. Dalam penelitian berjudul “Single Nucleotide Polymorphisms of Interleukin-15 is Associated with Outcomes of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia” yang diterbitkan di jurnal Paediatrica Indonesiana tahun 2016, Ugrasena dan tim meneliti resistensi penyakit tersebut terhadap obat metotreksat (MTX) yang digunakan dalam kemoterapi. “Mereka nggak mempan. Jadi, pasien-pasien leukemia ini biasanya diperiksa terlebih dulu apakah ada polimorfisme. Kalau sekarang kita tahu ada resistensi, kita ganti dengan obat lain yang sejenis,” tutur dokter kelahiran Tabanan, Bali. Pemerintah perlu turun tangan Pengobatan penyakit leukemia yang banyak diderita anak-anak berusia lima tahun itu bukan berarti tak kerap menemui keterbatasan. Jaminan kesehatan nasional tak mencakup pemeriksaan imunofenotipe. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien sehingga dokter bisa menentukan golongan risiko penyakit. “Dengan pemeriksaan imunofenotipe, kita bisa menggolongkan apakah pasien termasuk high risk atau tidak. Ini menentukan terapi yang akan kita berikan,” tutur Kepala Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Dr. Soetomo. Pemeriksaan tersebut memakan biaya senilai Rp 1,2 juta untuk satu kali periksa. Dengan biaya pemeriksaan yang tinggi, kondisi tersebut bisa menyulitkan pasien dengan ekonomi kurang mampu. “Kita bisa melakukan, cuma pemerintah atau rumah sakit tidak mau menyediakan karena biayanya mahal dan BPJS tidak mau
menanggung, sehingga tidak menjadi pemeriksaan rutin,” terang Ugrasena yang pernah menjadi lulusan terbaik Sekolah Pascasarjana UNAIR. Selain persoalan pemeriksaan, keterbatasan stok obat kemoterapi juga menjadi faktor penyebab angka kesintasan anak dengan leukemia rendah. Menurut Ugrasena, ketersediaan obat tak sejalan dengan keinginan pasien untuk sembuh. Ia mengatakan ada tiga hingga empat jenis obat kemoterapi yang tidak tersedia, salah satunya jenis obat metotreksat. “Pasien-pasien sekarang itu kebingungan. Mereka akhirnya membeli ke Malaysia karena pengin sembuh. Obat tersebut dicover oleh BPJS Kesehatan. Hanya secara nasional, obat itu tidak bisa masuk ke Indonesia. Padahal kasusnya banyak. Jadi, kontinuitas ketersediaan obat kemoterapi tidak selalu ada. Suatu saat obat itu ada, lain waktu obatnya habis,” tuturnya. Ia lantas mengimbau agar pemerintah Indonesia menjamin hak-hak kesehatan warganya dengan menyediakan obat-obatan yang diperlukan agar para pasien bisa berobat secara rutin. Jika tidak, peluang angka bertahan hidup anak dengan penyakit LLA bisa menurun. (*) Penulis : Defrina Sukma S Editor
: Binti Q. Masruroh
Kuliah di Inggris Bukan Hanya Mimpi UNAIR NEWS – Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga kedatangan penerima beasiswa Gate Cambridge
Universitas Cambridge, Vincentius Aji Jati Kusumo, Senin (29/05). Aji merupakan laki-laki kelahiran Surabaya, yang tercatat sebagai satu dari dua mahasiswa Indonesia penerima beasiswa Gate Cambridge tahun 2015. Beasiswa bergengsi ini adalah beasiswa sumbangan dari Bill dan Melinda Gates Foundation. Mereka menyumbang sebesar AS$210 juta untuk seluruh warga di dunia, khusus untuk melanjutkan studi di Universitas Cambridge. Dalam kesempatan sharing yang diselenggarakan di Aula Tirto, Aji memaparkan sekilas tentang pengalamannya kuliah di Inggris. Ia juga berbagi pengalaman tentang bagaimana mendaftar kuliah di Inggris, sekaligus cara mendaftar beasiswa Gate Cambridge. Dalam kesempatan itu, Aji mendorong para mahasiswa untuk melanjutkan studi di Inggris karena minimnya orang Indonesia yang ada di sana. Untuk mendapatkan beasiswa Gate Cambridge memang tidak mudah dan sangat kompetitif. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata IPK yang disyaratkan yaitu sebesar 3.92. Selain itu, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah berniat menambah ilmu, persiapkan proposal penelitian yang rinci dan detail, serta sertifikat IELTS dengan skor lebih dari 6.5. “Jangan berkuliah di Inggris kalau tidak berniat menambah ilmu. Jangan pernah lakukan kalau kalian hanya ingin jalanjalan, pamer, atau hanya ingin memperoleh gelar,” tutur alumnus Universitas Newcastle ini. Di samping itu, poin penting yang harus benar-benar dipahami adalah persamaan visi calon penerima dengan lembaga beasiswa Gate Cambridge, yakni menunjukkan kualitas sebagai pemimpin serta komitmen memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain dan ingkungan. Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta bertanya seputar
bagaimana awalnya memulai untuk mendaftar, tips membuat proposal penelitian, penyesuaian nilai IPK, dan cara agar dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ada. “Kalian harus mengubah pola pikir mulai dari sekarang. Mulailah mencoba karena hidup biasa-biasa saja itu melelahkan. Yakinlah bahwa siapapun pasti bisa. Terkait IPK atau IELTS, itu hanya angka yang dapat kita raih. Pesan saya, beranilah mencoba,” kata Aji saat menutup sharing. (*) Penulis : Siti Nur Umami Editor
: Binti Q. Masruroh