Diplomasi
No. 19, Tahun II, Tgl. 15 Juni - 14 Juli 2009
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Kemitraan Komprehensif
Indonesia - AS Menhan:
RI Siap Hadapi Manuver Malaysia Wamenlu RI:
Hubungan Strategis ASEAN-China,
Pilar Bagi Arsitektur Kerjasama Regional
Happy Salma
AGAR TIDAK DILECEHKAN, PERTAHANAN HARUS KUAT
Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173
Email:
[email protected]
9
771978 917386 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi
>4
Fokus
> 14
Sorotan
>5
Fokus
> 16
Sorotan
> 10
Fokus
> 18
Sorotan
Lensa
> 20
Bingkai
> 22
> 11 > 12
Kemitraan Komprehensif Amerika Serikat-Indonesia
Jubir Deplu : Sikap Pemerintah Tegas untuk Ambalat Menhan: RI Siap Hadapi Manuver Malaysia Memanfaatkan Keterbatasan Dalam Menjaga Wilayah Perbatasan Happy Salma: Agar Tidak Dilecehkan Pertahanan Harus Kuat
9
DPR Serius Tuntaskan Masalah “Money Loundering”
21
Akuntabilitas Dan Transparansi Pengadaan Alutsista
Hubungan Strategis ASEAN-China, Pilar Bagi Arsitektur Kerjasama Regional Membangun Hubungan Dengan China Melalui Kerangka Multilateral
Sorotan
Arah Investasi China Di Indonesia
Update
Indonesia Update di Kyoto: Indonesia Paling Demokratis di Asia Tenggara
Mempertimbangkan Pendekatan Keamanan
Diplomasi
Teras Diplomasi Dipicu dengan terjadinya provokasi oleh kapal-kapal Angkatan Laut Malaysia, masalah perbatasan dan juga kawasan perbatasan kembali mencuat diperbincangkan oleh publik Indonesia. Kawasan perbatasan memang memiliki nilai strategis, baik dari sisi politik,ekonomi, sosial budaya maupun hankam. Dari aspek politik, kawasan perbatasan tergolong rawan konflik politis dengan negara tetangga, karena adanya persinggungan batas teritorial dan yurisdiksi. Dari aspek ekonomi, kawasan perbatasan memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar dan memiliki kedekatan geografis dengan pusat kegiatan ekonomi negara tetangga. Dari aspek sosial budaya, kawasan perbatasan memiliki karakteristik khas dengan adanya mobilitas lintas-batas yang cukup tinggi. Sedangkan dari aspek hankam, kawasan perbatasan sangat strategis sebagai batas terdepan teritorial NKRI dan berpengaruh terhadap pertahanan dan keamanan nasional. Secara umum terdapat beberapa isu strategis didalam pengelolaan kawasan perbatasan. Utamanya adalah pengelolaan sumberdaya alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan pemerintah. Bagi Indonesia, karena luasnya wilayah dan adanya beberapa wilayah serta pulau-pulau kecil yang lokasinya terisolasi, maka secara otomatis wilayah perbatasan tersebut nyaris kurang diperhatikan. Meskipun diakui bahwa wilayah perbatasan adalah cerminan kualitas kedaulatan suatu negara dan merupakan halaman depan bangsa Apalagi jika dilihat dari sisi geografis keruangan, wilayah perbatasan Indonesia memang sangat beragam dan kompleks, barangkali harus diakui bahwa tidak ada sebuah negarapun didunia ini yang perbatasan wilayahnya memiliki dimensi geografis keruangan yang sekompleks Indonesia. Oleh karena itu pada 2010-2014 Bappenas menetapkan kebijakan untuk mempercepat pengembangan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara, sekaligus pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan negara dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Didalam menyikapi persoalan perbatasan dan pulau-pulau terdepan yang dimiliki oleh Indonesia, tentunya semua intitusi harus berperan aktif, dan Deplu dalam hal ini lebih berperan sebagai tim perunding untuk
memastikan batas wilayah. Mengenai bagaimana kemudian kita memberdayakan kondisi pulaupulau tersebut atau menegaskan kembali kepemilikan RI terhadap pulau-pulau terdepan tersebut, ini merupakan kewajiban semua unsur, baik pemerintahan maupun segenap masyarakat. Sementara itu kebangkitan China saat memasuki abad 21, merupakan sebuah fenomena dalam hubungan internasional dan akan semakin mewarnai dinamika politikekonomi global dan regional dalam beberapa dekade mendatang. Implikasi kebangkitan China ini tentunya akan sangat besar pengaruhnya bagi tatanan regional di kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, Indonesia -sebagai salah satu negara kawasan- berkepentingan untuk mengidentifikasikan kepentingan strategis Indonesia, cara memposisikan China, memahami karakteristik dan implikasi kebangkitan China bagi arsitektur keamanan di kawasan, serta strategi yang tepat didalam merespon perkembangan tersebut. Bagi Indonesia, bangkitnya China haruslah berimplikasi positif bagi kawasan Asia Timur sebagai kawasan yang damai, stabil dan sejahtera. Hakikat kebangkitan China bagi Indonesia sendiri adalah merupakan harapan sekaligus juga tantangan, karena itu penting bagi kedua negara untuk segera memanfaatkan hubungan sebagaimana yang tertuang didalam kesepakatan Kemitraan Strategis yang telah ditandatangani pada 2005 yang lalu. Untuk tetap mempertahankan sentralitas strategis dan diplomatik Indonesia dimasa mendatang, maka diperlukan suatu reposisi strategis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik, oleh karena itu pengembangan hubungan bilateral Indonesia-China merupakan sebuah keniscayaan. Karena sebagaimana kita ketahui, salah satu prioritas utama diplomasi Indonesia adalah membangun kedekatan hubungan dengan negara-negara mitra kunci, baik negara maju maupun berkembang, dalam bentuk strategic partnerships ataupun comprehensive partneships. Dalam konteks hubungan bilateral, tantangan utama kedua negara adalah bagaimana menjalin hubungan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang saling menguntungkan. Bagi Indonesia, strategi untuk menjawab tantangan ini antara lain melalui Total Diplomacy yaitu dengan melibatkan berbagai kalangan dan komponen masyarakat seperti akademisi, pengusaha, pers dan media, serta lembaga swadaya masyarakat dalam mengisi hubungan bilateral kedua negara tersebut.
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun Redaktur Pelaksana Kholid M. Staf Redaksi Cahyono Saiful Amin Arif Hidayat Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Kontributor Daniel Ximenes Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-86860256, Tabloid Diplomasi dapat di Download di http://www.deplu.go.id Email :
[email protected] Cover : dok.kapanlagi Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri R.I bekerjasama dengan Pilar Indo Meditama
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected]
Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
Diplomasi
4
F
o
kus
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. Hassan Wirajuda, telah berkunjung ke Washington D.C. pada tanggal 8-9 Juni 2009 dengan agenda utama melakukan kunjungan kerja dengan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, yang bertujuan untuk memperluas dan memperdalam hubungan bilateral antara Indonesia dan AS melalui kerjasama Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership). Dalam kunjungan tersebut, Menlu Wirajuda juga berkesempatan untuk bertemu dengan Senator John Kerry, Senator Richard Lugar, Senator James Webb, National Security Advisor James Jones, Director for National Intelligence Dennis Blair, Chief of Staff of United States Trade Representative Julianne Smoot, dan Presiden dari National Endowment for Democracy Carl Gershman. Pertemuan dengan Menlu Clinton merupakan kelanjutan dari dialog yang telah dimulai ketika Menlu Clinton berkunjung ke Indonesia pada bulan Februari lalu. Pada pertemuan tersebut, kedua Menlu membahas berbagai isu bilateral dan internasional serta mempertegas komitmen untuk membangun kemitraan komprehensif antara Indonesia dan AS yang didasari atas rasa saling menghormati dan dengan mengedepankan kepentingan bersama. Kemitraan komprehensif tersebut merupakan langkah penting dalam memperkuat dan meningkatkan hubungan bilateral serta kerjasama di berbagai bidang yang meliputi aspek politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, serta sosial budaya dan pendidikan, termasuk people-to-people exchange. Di bidang pendidikan, Menlu Clinton menyatakan bahwa Pemerintah AS telah mengalokasikan anggaran sebesar US$ 10 juta di tahun anggaran 2009 untuk mendanai program pendidikan tinggi di Indonesia, termasuk proyekproyek pendidikan guru bahasa Inggris dan mendorong hubungan
No. 19, Tahun II
Kemitraan Komprehensif
Amerika Serikat-Indonesia
pendidikan Indonesia-AS. Menlu Clinton juga mengindikasikan kesiapan AS untuk bekerjasama dalam melaksanakan program interfaith dialogue dan mendukung Bali Democracy Forum yang diprakarsai Indonesia sejak Desember 2008. Mengenai isu regional, Menlu AS dan Menlu RI menegaskan pentingnya arti ASEAN terhadap kestabilan dan kesejahteraan regional. Keduanya menyambut baik entry into force dari ASEAN Charter serta dimasukkannya aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, good governance, dan pembentukan badan khusus yang menangani HAM di kawasan. Dalam isu Myanmar, kedua Menlu sepakat menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi sesegera mungkin sebagai langkah penting dalam proses rekonsiliasi nasional. Menlu AS dan Menlu RI menganggap bahwa penyebaran senjata pemusnah masal adalah salah satu ancaman
utama terhadap keamanan dunia dan sepakat untuk secara bersama mencari solusi permasalahan ini. Dalam pertemuan dengan jajaran pejabat tinggi AS, Menlu Wirajuda juga membicarakan langkah-langkah penting dalam membangun kemitraan komprehensif melalui upaya bersama oleh seluruh pemangku kepentingan baik di Indonesia maupun di AS guna memperkuat dan memperluas kerjasama bilateral di berbagai bidang yang menjadi kepentingan bersama. Menlu Wirajuda Sambut Pidato Obama Di awal kunjungannya di Washington D.C., Menlu RI juga telah diundang oleh Carnegie Endowment for International Peace dan USINDO untuk menyampaikan pemaparan mengenai kemitraan komprehensif Indonesia-AS. Dalam kesempatan tersebut, Menlu RI menyambut baik pidato Presiden Obama yang disampaikan di Kairo,
Mesir, 4 Juni 2009, yang pada intinya menghimbau dunia Islam untuk bersama-sama dengan rakyat AS dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang mempengaruhi hubungan dunia Islam dan Barat. Menlu RI juga menegaskan bahwa pesan Presiden Obama bukanlah hal baru bagi Indonesia yang sejak era reformasi telah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak para wanita, serta membuktikan bahwa Islam selaras dengan demokrasi, sehingga Indonesia dapat menjadi contoh bagi masyarakat Islam di dunia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia dan merupakan negara demokrasi terbesar ke-tiga, telah menyatakan kesiapannya untuk menjadi mitra yang setara dengan AS dalam menjembatani antara Islam dengan Barat. (Sumber: KBRI Washington, D.C.)
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi F
o
kus
5
Jubir Deplu :
Sikap Pemerintah Tegas untuk Ambalat Blok Ambalat kembali memanas. hal ini disebabkan oleh provokasi Malaysia di blok tersebut. Sikap RI terhadap pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh Malaysia di blok Ambalat sebenarnya sudah cukup tegas yaitu dalam bentuk negosiasi dan patroli laut di wilayah kedaulatan kita. Patroli laut adalah bentuk penegasan terhadap kepemilikan wilayah yang merujuk pada Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982. Sementara perundingan yang dilakukan, adalah bagian dari amanat Konvensi Hukum Laut dan Undang-Undang kita sendiri, bahwa kita harus menyelesaikan masalah perbatasan wilayah laut dengan negara tetangga terdekat, dimana dalam hal ini adalah Malaysia. Jadi itulah ketegasan yang kita lakukan dan tidak bisa lebih dari itu, karena kita tidak berkeinginan untuk mengarah pada gunboat diplomacy atau penggelaran angkatan laut dan juga aktivitas yang menuju kepada suatu kekerasan. Hal itu yang kita hindari, karena kita mengedepankan negosiasi dan diplomasi, itu merupakan komitmen pemerintah yang sudah disampaikan oleh Presiden. Jadi penyampaian nota protes sebagai upaya mengingatkan kembali Malaysia untuk segera berunding, itu merupakan bentuk ketegasan klaim Indonesia. Sementara penggelaran pasukan patroli dan lain-lainnya, itu merupakan bentuk dari penegasan klaim. Dengan memberikan konsesi eksplorasi, maka kita juga berkewajiaban menjamin keamanan dari eksplorasi itu sendiri, disamping juga memberikan jaminan kepada nelayan-nelayan kita untuk melakukan aktivitas ekonomi, itu merupakan bentuk penegasan yang dilakukan di blok Ambalat.
15 JUNI - 14 JULI 2009
Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah saat pertemuan Press Briefing dengan media (5/6).
Nota protes sudah kita sampaikan, mekanismenya adalah dikirimkan melalui perwakilan kita untuk kemudian disampaikan secara resmi ke pihak Malaysia. Itu juga dilakukan dengan berbagai cara, yaitu melalui tangan ke tangan atau juga melalui mekanisme lain. Saat ini kita belum mendapatkan laporan perkembangan dari nota protes tersebut, tetapi setidaknya kita sudah meregistrasi ketidak puasan kita terhadap aktivitas yang dilakukan oleh Malaysia diwilayah kedaulatan RI. Nota protes itu nantinya juga akan menjadi bagian dari bukti-bukti negara yang telah diregistrasi sebagai klaim kita. Hingga sekarang ini Indonesia sudah mengajukan nota protes sebanyak 35 kali kepada Malaysia terkait pelanggran batas wilayah, konsistensi Indonesia dalam menyampaikan nota protes ini adalah ketegasan kita yang dari waktu ke waktu selalu mengingatkan kepada pihak Malaysia bahwa itu adalah wilayah RI. Khusus mengenai blok Ambalat, Indonesia sudah menyampaikan nota protes sejak 1998 dan protes secara resmi yang pertama kali dilakukan pada tahun 1980, yaitu pada
saat pemerintah Malaysia mengeluarkan peta secara sepihak, sehingga kita memiliki dispute area. Nota protes itu sangat kuat sifatnya, karena merupakan penegasaan klaim. Dengan menyampaikan protes, dari waktu ke waktu Indonesia mengingatkan Malaysia bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari wilayah nasional RI, wilayah kedaulatan Indonesia. Dalam hal ini harus dibedakan antara kedaulatan dan hak berdaulat yang diatur dalam kerangka pemanfaatan ZEE. Oleh karena itu nota diplomatik juga akan menjadi rujukan dalam melakukan perundingan. Pihak Malaysia juga melakukan penyampaian nota protes kepada Indonesia terkait dispute area ini, tetapi kita selalu menjawab bahwa dasar dari nota proses tersebut tidak benar karena berangkat dari suatu peta yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia. Sedangkan kita mengeluarkan protes berangkat dari suatu peta yang dibuat secara unilateral, jadi kita selalu memprotes bahwa ini adalah wilayah RI , apalagi peta yang dikeluarkan oleh Malaysia itu bermasalah. Yang pasti sejak pertama kali Malaysia mengeluarkan peta pada 1979, Indonesia dengan tegas merespon dan memprotes, bahwa tidak benar Malaysia mengelurkan peta secara sepihak, apalagi peta itu juga bermasalah tidak saja dengan Indonesia melainkan juga dengan Filiphina, China dan Taiwan. Masalah pelanggaran wilayah seperti itu memang sering terjadi diwilayah perbatasan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negaranegara lainnya. Yang penting adalah, kita terus melakukan aktivitas patroli angkatan laut sebagai bentuk penegasan
terhadap hak kedaulatan RI. Kalau masalah Indonesia kalah dalam perundingan Sipadan dan Ligitan, itu adalah masalah lain, karena kita tidak bisa membuktikan bahwa Indonesia memiliki kedaulatan atas pulau-pulau tersebut. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang diwariskan Inggris kepada Malaysia, seperti halnya Belanda mewariskan wilayah nasional Indonesia kepada kita. Jadi dalam klaim yang kita keluarkan pada tahun 1950, Indonesia tidak pernah memasukkan Sipadan dan Ligitan kedalam wilayah teritorial Indonesia, disamping Malaysia sendiri juga melakukan aktivitas administratif disana. Jadi posisi kita memang lemah dalam hal permasalahan pulau Sipadan dan Ligitan. Untuk masalah blok Ambalat kita meyakini bahwa posisi Indonesia lebih kuat, karena blok Ambalat itu berada dalam posisi hitungan 80 notical mile landas kontinen, sementara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional, Indonesia memiliki hak hingga 200 notical mile. Dari sisi itu kita siap berunding dan tidak perlu dibawa ke ICG karena memang posisi Indonesia sudah kuat. Jadi berbeda dengan kasus Sipadan dan Ligitan dimana dalam argumentasi hukum maupun dokumen landas kontinennya Indonesia tidak begitu kuat. Saat itu ICG adalah salah satu wayout kita untuk menyelesaikan masalah tersebut dan diharapkan dapat memenangkan kita, karena pada saat itu kita tidak begitu yakin. Perbatasan kita yang masih bermasalah adalah wilayah di sektor barat, tetapi dalam hal ini kita menunggu hasil perundingan antara Malaysia dengan Singapura, setelah itu baru antara Indonesia dengan Malaysia. []
No. 19, Tahun II
Diplomasi
6
F
o
kus
Menhan:
Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono menyatakan, RI tidak gentar terhadap berbagai manuver Malaysia di Blok Ambalat, Laut Sulawesi, baik dalam bentuk pergelaran kekuatan militer maupun propaganda kepada masyarakat Blok Ambalat dan sekitarnya. “Kami tidak gentar, silakan saja Malaysia bermanuver menghadirkan kekuatan militer dan melakukan propaganda di Ambalat dan sekitarnya. Yang jelas, Ambalat adalah bagian NKRI,” katanya di Jakarta, Sabtu (6/6). Menurut Menhan, meski kondisi ekonomi dan sosial masyarakat RI di wilayah perbatasan masih minim, namun mereka sudah cukup dewasa dan pintar untuk tidak begitu saja terpengaruh manuver dan propaganda Malaysia, apapun itu bentuknya. Hal senada di sampaiakan oleh Wakasal Laksamana Madya Moekhlas Sidik bahwasanya TNI AL siap bertempur untuk mempertahankan wilayah Ambalat, dari intervensi Malaysia. Wakasal Laksamana Madya Moekhlas Sidik mengemukakan hal itu di Manado, Sabtu, saat meninjau kesiapan pelaksanaan Sail Bunaken 2009. “Status Ambalat saat ini selalu diutak-atik Malaysia. Meski begitu, kami menyatakan kalau TNI AL tetap mendukung semua cara Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” katanya. Pemerintah Indonesia, ungkap Moekhlas, lebih
No. 19, Tahun II
memilih menempuh jalan dialog dan perundingan, untuk membahas persoalan Ambalat daripada berperang. “TNI AL ini hanya menjalankan apa yang diperintahkan. Kalau disuruh menembak ya menembak, kalau tidak, ya diam,” katanya. Namun, Wakasal memastikan, TNI AL sebagai penjaga laut Indonesia siap membela kedaulatan laut Negara Kesatuan
dok. google
RI Siap Hadapi Manuver Malaysia Juwono Sudharsono
Republik Indonesia (NKRI), tetapi mereka tetap ikut aturan mainnya. Mengenai masalah lainnya, ujar Moekhlas, bukan otoritas TNI AL untuk berbicara, yang paling penting justru bagaimana menjaga perbatasan Indonesia tersebut. Kasus Ambalat kembali menghangat pekan ini karena
Menhan RI
adanya manuver kapal Angkatan Laut Malaysia. Angkatan Laut Indonesia berkali-kali harus kerja ekstra keras untuk menjaga pulau yang selalu menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia tersebut.[] (Sumber : Kompas)
Panglima TNI :
Komunikasi Dengan Panglima Tentara Malaysia Terus Dilakukan
Jenderal Djoko Santoso Panglima TNI
Beberapa bulan yang lalu sebetulnya kami sudah bertemu dengan Panglima tentara Malaysia untuk menyusun prosedur operasi bersama mengenai keamanan laut/maritim dan patroli laut, masalahnya adalah bahwa masing-masing negara mempunyai peta sendiri-sendiri dan mengklaim suatu wilayah yang sama, sehingga ada satu dispute area. Demikian disampaikan Panglima TNI, Jenderal Djoko Santoso pada seminar “ Realitas Sosial Budaya Di Wilayah Perbatasan RI - Malaysia” di Dephan (28/5). Di dispute area itulah mereka merasa bahwa itu wilayah mereka sehingga mereka masuk tanpa merasa melanggar wilayah kedaulatan kita, padahal sebenarnya mereka melanggar batas wilayah kita. Namun demikian hal ini sudah kita atur bersama-sama, yaitu bagaimana prosedurnya, dan komunikasinya supaya kalau terjadi pelanggaran seperti itu dapat diselesaikan dengan baik. Prosedur itu bersifat teknis, yaitu seperti pemberian peringatan bahwa anda telah masuk ke koordinat sekian, bahwa ini adalah wilayah dispute area, maka anda harus keluar, seperti itu. Dan dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Malaysia, saya kira itu tidak ada unsur kesengajaan, apalagi ketika mereka masuk itu, kita langsung memperingatkan bahwa mereka telah memasuki batas wilayah kita dan kemudian mereka juga keluar dari wilayah itu. Jadi kita sudah atur prosedur dan mekanisme bersama apabila terjadi pelanggaran, yaitu bagaimana komunikasi dan prosedurnya ketika mereka harus keluar dan sebagainya. Dan untuk menjaga kawasan blok Ambalat ini kita tidak ada penambahan pasukan, dan saya kira ini tidak perlu diperuncing karena kita sudah punya prosedur patroli bersama dalam keamanan maritim sebagaimana saya sampaikan tadi, sambil kita menunggu hasil perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan Malaysia didalam mengatasi masalah ini. Apalagi kita juga ada forum pertemuan tetap antara Indonesia dengan Malaysia untuk membahas persoalan dan perkembangan yang terjadi, dimana untuk militer dengan militer, pertemuannya setiap satu tahun sekali. Demikian juga halnya dengan antar pemerintah, yaitu setiap dua tahun sekali.[]
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi L
E
N
S
A
7
Memanfaatkan Keterbatasan
Dalam Menjaga Wilayah Perbatasan Jauh sebelum NKRI lahir, wilayah Nusantara sudah dihuni oleh berbagai etnis sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Hidup mereka rukun dan tidak mengenal tapal batas, sejauh lingkungannya memberikan kehidupan dan mereka mampu mengelolanya, maka disanalah mereka tinggal. Tetapi zaman mengalami perubahan dan peradaban menuntut adanya administrasi, maka semuanya harus sesuai aturan, termasuk didalamnya aturan tentang batas-batas wilayah tersebut. Maka sesuai dengan kepentingan kolonial ketika itu, khususnya di wilayah Kalimantan (Traktat Belanda dan Inggris 1891, 1915 dan 1928), Papua (Traktat Raja Prusia 1854) dan Timor Leste (Belanda-Portugis 1904), para penguasa waktu itu menentukan batas-batas wilayah sesuai dengan posisi tawar mereka. Secara teoritis, baik Belanda, Inggris maupun Portugis mempertimbangkan kondisi geografis dalam melakukan penetapan batas wilayah. Batas yang mereka tentukan umumnya mengikuti batas alam, seperti punggung gunung (watershed), tepi sungai, thalweg atau alur sungai terdalam, dan garis lurus. Meskipun mereka ingin menentukan batas wilayah sesuai dengan realitas etnis yang ada, tetapi secara teknis tidak mungkin dapat dilakukan pada saat itu, sebab keadaan medannya yang sangat berat. Sehingga yang terjadi kemudian, garisgaris batas wilayah itu secara telak memisahkan dua suku serumpun. Hal seperti itu terjadi di Kalimantan, Papua dan Timor Leste. Dan dalam realitasnya, kehidupan mereka tetap rukun dan terjalin keharmonisan dengan
15 JUNI - 14 JULI 2009
baik. Bagi mereka realitas batas wilayah tidaklah merupakan kendala bagi kehidupan sosial mereka. Ratusan tahun kemudian barulah NKRI lahir, dan secara otomatis sesuai dengan prinsip ”uti possidetis juris” atau pewarisan wilayah pemerintah kolonial kepada negara baru selepas penjajahannya, maka Indonesia mempunyai wilayah perbatasan dengan sepuluh negara tetangganya. Bagi Indonesia karena luasnya wilayah dan beberapa wilayah serta pulaupulau kecil lokasinya terisolasi, maka secara otomatis wilayah perbatasan tersebut nyaris kurang diperhatikan. Meskipun secara sadar mengakui bahwa wilayah perbatasan adalah cerminan kualitas kedaulatan suatu negara dan memprogramkan sebagai halaman depan bangsa, tetapi dihadapkan dengan keterbatasan yang ada, wilayah perbatasan tetap saja tidak terjangkau oleh pembangunan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi UU yang didesain untuk mengatur pembangunan wilayah, seperti UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda dan UU No.26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, ternyata belum mampu mengubah image wilayah perbatasan. Pemerintah Daerah yang tadinya diharapkan mau memberikan perhatian, ternyata tidak memprioritaskan pembangunan di wilayah perbatasan. Namun demikian kedua negara bertetangga secara sadar sama-sama mengetahui dan memahami, bahwa wilayah perbatasan perlu ditata dengan tetap memberikan ruang gerak keleluasaan yang wajar bagi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan tersebut. Kesemuanya
itu secara utuh tercermin didalam semangat kerjasama antara negara bertetangga didalam GBC (General Border Committe, Indonesia-Malaysia), dan JBC (Joint Border Committe, Indonesia-Papua New Guinea dan Indonesia-Timor Leste). Baik GBC dan JBC secara kongkrit selalu memperhatikan kehidupan dan kerukunan berbagai etnis yang sama-sama berada di wilayah perbatasan. Semangat itu pulalah yang juga terukur dalam bingkai tataran regional maupun kawasan, baik itu dalam ASEAN Charter, ASEAN +3 , maupun ASEAN +6. Permasalahannya adalah kondisi ekonomi dari masingmasing negara bertetangga, dimana untuk Indonesia dan Malaysia kondisinya sangat kontras, ini adalah suatu realitas yang mencerminkan warga yang pendapatan perkapitanya US$ 1,000/tahun dengan warga lain yang pendapatan perkapitanya US$ 12,000/tahun. Kalau kita melihat langsung kondisi di perbatasan, maka kita akan melihat perkampungan yang asri, rapi dan produktif penuh dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi di wilayah Malaysia. Dan sebaliknya kita akan melihat perkampungan yang kusam, penuh dengan ilalang dan semak belukar di wilayah Indonesia. Dalam bingkai kerjasama regional dan antar negara, khususnya antara Indonesia dengan Malaysia, hubungan itu tampaknya sungguh baik. Tetapi dalam realitas di lapangan tentunya sangat berbeda, khususnya dalam hal menjalin persahabatan dan kerjasama informal. Untuk semua urusan formal dan pemerintahan, tampaknya tidak ada hambatan
Mayjen TNI Syarifuddin Tippe
Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, Dephan.
dalam persoalan koordinasi, tetapi dalam realitas sosial, kondisi ekonomi yang pincang, secara alami telah memposisikan mereka dalam bingkai hubungan antara tenaga kerja dengan majikan. Titik pandang yang berkembang adalah bagaimana memanfaatkan keterbatasan Indonesia dalam menjaga wilayah dan potensi yang ada di wilayah perbatasan bagi sebesar-besarnya keuntungan para pihak. Kalau kita berkaca pada kerangka seperti ini, maka pergeseran tugu batas, kegiatan illegal logging dan sebagainya, adalah sesuatu yang alami. Benar bahwa kerugian yang ditimbulkan sangat luar biasa besarnya, tetapi kalau kita tidak mampu menjaganya, apa mau dikata. Keberadaan pos-pos pengamanan kita diperbatasan tentunya secara formal mempunyai efek deteren, tetapi bukan lagi bagi pelaku bisnis illegal dan sejenisnya. Dari sisi manajemen, sesungguhnya pengelolaan wilayah perbatasan boleh dikatakan nyaris tidak ada kendala, kecuali kondisi kemiskinan itu sendiri.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi
8
L
E
N
S
A
Diperlukan Analisis Perbatasan Melalui Pendekatan Transnasional
Dr. Dave Lumenta
Peneliti, Pusat Kajian Antropologi FISIP UI
Selama ini perbatasan negara kerap dibayangkan sebagai kumpulan garis-garis imajiner di atas peta yang dianggap sakral, baku dan memiliki kekuatan legal-formal untuk memisahkan kedaulatan teritorial, politis, ekonomi dan hukum yang membedakan negara satu dari yang lainnya. Secara budaya, garis perbatasan dianggap sebagai pembeda identitas nasional masyarakat negara yang satu dari yang lainnya, dan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki perbatasan internasional terbanyak di Asia Tenggara. Sebagian besar wilayah-wilayah perbatasan ini biasanya berada dalam posisi periferal yang jauh dari pusat negara, dimana realitarealita yang ada di perbatasan terkadang masih terasa asing dan sulit dibayangkan oleh publik awam. Studi-studi sosial di wilayah perbatasan Indonesia sendiri baru dimulai sejak akhir 1990-an. Karena itu, selain tergolong baru, tulisan-tulisan umum maupun akademik oleh para peneliti lokal, seringkali terbentur oleh birokrasi maupun keterbatasan unit analisis ’negara’, sehingga pemahaman tentang wilayah perbatasan hanya diperoleh secara parsial dari sisi teritorial Indonesia, sehingga seringkali juga gagal dalam memahami wilayah perbatasan sebagai bagian integral, secara
No. 19, Tahun II
sosial maupun historis, dari wilayah negara tetangga. Proses terbentuknya negarabangsa (nation-state) di Asia Tenggara sesungguhnya adalah konsekuensi dari pembagian teritori wilayah di masa kolonial. Para penguasa kolonial waktu itu membagi Asia Tenggara antara abad 19-20 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Ini semuanya diratifikasi jauh di London atau pun di Den Haag, tanpa sepengetahuan para subyek jajahan mereka. Dengan kata lain, pertimbangan kultural, agama, linguistik, pola mobilitas maupun formasi-formasi hubungan sosial serta jaringan perdagangan tradisional, tidak pernah menjadi dasar bagi penentuan batas negara. Akibatnya batas-batas negara Asia Tenggara dewasa ini tidak pernah dapat berpotongan dengan batas-batas kultural secara persis. Oleh karena itu, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, misalnya, dari sudut kepentingan negara sering dilihat sebagai titik persinggungan antara kepentingan kedaulatan nasional dan negara tetangga. Wilayah perbatasan sering dianggap sebagai sebuah wilayah yang ’rawan’, sebuah frontier yang harus dijaga dari ancaman luar. Ini merupakan sebuah peninggalan historis dari masa Konfrontasi (1963-1966), sehingga mobilitas lintas-negara yang kerap dilakukan komunitaskomunitas di perbatasan sering ditafsirkan sebagai gejala yang menyimpang, sebagai tanda ’lunturnya rasa nasionalisme’. Publik dan media massa pun cenderung memperhatikan wilayah perbatasan dari persoalan illegal logging, human trafficking maupun ’penyerobotan wilayah’, dan hal ini sering melahirkan persepsi bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah yang rawan dan rentan terhadap konflik dan pelanggaran hukum, tanpa memperhatikan
persoalan-persoalan penting yang lainnya. Sebagai akibatnya, wilayah perbatasan selalu didefinisikan dan difahami secara hitam putih dengan cap negatif. Ini hanyalah merupakan satu sisi dari realita perbatasan yang sebetulnya jauh lebih kompleks dan berwarna. Pengetahuan awam masyarakat Indonesia tentang kesakralan wilayah Indonesia itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari kurikulum pendidikan nasional yang diterjemahkan dalam pelajaran-pelajaran geografi dan kewarganegaraan yang kemudian membentuk persepsi geopolitis anak sejak dini. Narasi ideologis negara itu telah membentuk dan membakukan pemahaman umum, bahwa seolah-olah kesatuan dan keajegan wilayah Indonesia telah ada sejak dulu (misalnya kesinambungan Indonesia sebagai turunan teritorial kerajaan Majapahit), dan bahwa rakyat Indonesia sudah ’ditakdirkan’ untuk bersatu sebagai sebuah bangsa sejak zaman dahulu kala. Narasi negara ini sering mengaburkan fakta bahwa Indonesia sesungguhnya terbentuk secara historis oleh keanekaragaman kultural dalam bentuk pertemuan berbagai proses soaial, identitas etnis, ekonomi, politik maupun pengalaman kolonialisasi yang telah terjadi dalam ruang wilayah yang jauh lebih luas dari batas wilayah negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini. Komunitas-komunitas di perbatasan umumnya memiliki pemahaman dan konsepsi teritorial dan sikap pragmatis-rasional yang berbeda, yang kemudian sering dianggap sebagai tidak kompatibel dengan konsepsi teritorial maupun kewarganegaraan yang dianut oleh negara. Dewasa ini terdapat beberapa kelompok etnis di Indonesia yang penyebarannya juga mencakup wilayah negara tetangga. Kehadiran
mereka menjadi bukti bahwa hubungan kultural maupun sosial di Indonesia memiliki batas yang berbeda dengan batas formal NKRI. Dan apakah ini kemudian akan menjadi persoalan atau justru menjadi sebuah aspek kebhinekaan yang terlupakan ? Oleh karena itu kita perlu mencari berbagai alternatif pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial, humaniora, maupun governance dalam mengkaji dan memahami wilayah perbatasan IndonesiaMalaysia. Pendekatan-pendekatan baru diharapkan bisa memperkaya rekomendasi bagi para pembuat kebijakan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat untuk wilayahwilayah perbatasan. Seperti misalnya, apakah pendekatan keamanan masih tepat untuk memahami wilayah perbatasan ? Apakah sebuah pemahaman teritorial diluar unit analisis ’negara’ diperlukan, dan apa implikasinya bagi metodologi penelitian ? Bagaimana wilayah perbatasan bisa difahami sebagai tempat pertemuan berbagai narasi tentang identitas. Apakah praksis penelitian maupun intervensi kebijakan harus lebih berorientasi transnasional ? Apakah masyarakat maupun aparat pemerintah lokal perlu diberi peranan yang lebih besar dalam perumusan kebijakan pengembangan kawasan perbatasan ? dan bagaimana studi di perbatasan bisa mengungkapkan posisi maupun relasi Indonesia dalam konteks regional yang lebih luas. Dalam hal ini negara telah gagal dalam memahami kompleksitas sosial-budaya di wilayah perbatasan sudah semestinya dipotret secara utuh. Oleh karena itu sebuah pendekatan transnasional mutlak diperlukan dalam menganalisis perbatasan, sehingga kekeliruan asumsi yang melandasi kebijakan-kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan dimasa lalu dapat diperbaiki.[] dok. dkp
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi L
E
N
S
A
9
Mempertimbangkan Pendekatan Keamanan NKRI sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 80.290 km, dan berbatasan dengan 10 negara tetangga. Di wilayah darat Indonesia berbatasan dengan 3 negara, yaitu Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste, sedangkan di laut berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filiphina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Kawasan perbatasan ini memiliki beberapa nilai strategis. Dari aspek politik, kawasan perbatasan tergolong rawan konflik politis dengan negara lain, karena adanya persinggungan batas teritorial dan yurisdiksi, terutama pada segmen batas yang belum disepakati. Dari aspek ekonomi, kawasan perbatasan memiliki potensi sumberdaya alam di darat dan di laut yang sangat besar, serta memiliki kedekatan geografis dengan pusat kegiatan ekonomi negara tetangga. Dari aspek sosial budaya, kawasan perbatasan memiliki karakteristik khas dengan adanya mobilitas lintas-batas yang cukup tinggi, baik karena faktor sosial budaya maupun ekonomi. Sedangkan dari aspek hankam, kawasan perbatasan bernilai strategis, karena merupakan batas terluar teritorial NKRI yang berpengaruh terhadap pertahanan dan keamanan nasional. Karakteristik dari masingmasing kawasan perbatasan itu berbeda-beda, ditinjau dari sisi potensi kesenjangan dengan negara tetangga, potensi sebagai pusat pertumbuhan dan pintu gerbang negara, maupun potensi adanya kegiatan eksploitasi sumberdaya secara ilegal. Dengan demikian masing-masing kawasan memerlukan penanganan yang
15 JUNI - 14 JULI 2009
berbeda sesuai dengan tantangan khas dan isu strategis yang dihadapinya. Secara umum terdapat beberapa isu strategis yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Di lihat dari kekayaan sumberdaya alam dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan, ternyata kondisi kawasan perbatasan di Indonesia menyimpan paradoks. Sumberdaya alam yang berlimpah baik di darat maupun di laut, seharusnya menjadi modal untuk pembangunan kawasan perbatasan ini. Namun nyatanya potensi sumberdaya alam tersebut belum mampu dimanfaatkan secara adil, optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, bahkan di beberapa lokasi, kawasan perbatasan dieksploitasi secara ilegal oleh pihak asing. Dari aspek sosial budaya, kualitas SDM masyarakat perbatasan pada umumnya memang masih relatif rendah. Selain itu, masyarakat perbatasan, terutama di kawasan perbatasan darat, mengalami ”pembelahan kultural”, dimana garis batas secara politis telah memisahkan satu komunitas adat. Dari aspek infrastruktur, sebagian besar wilayah perbatasan juga belum memiliki sarana dan prasarana wilayah yang memadai, sehingga menyebabkan keterisolasian wilayah, tidak berkembangnya kegiatan ekonomi, serta potensi terjadinya disintegrasi NKRI. Yang terakhir adalah aspek kebijakan, dimana arah kebijakan pembangunan kewilayahan selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’, sehingga seolaholah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya
dok.tni.mil
Dr. Suprayoga Hadi, MSP Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, BAPPENAS
dok.tni.mil
No. 19, Tahun II
Diplomasi L
E
N
S
A
cilacaponline.dok
10
wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah, hal ini tercermin dari rendahnya alokasi pembiayaan pembangunan untuk kawasan perbatasan, serta adanya fakta keterbelakangan dalam aspek sosial, ekonomi, dan sarana-prasarana. Dampaknya, pembangunan kawasan perbatasan negara saat ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah lain. Bahkan di kawasan perbatasan di Kalimantan, terjadi kesenjangan yang sangat mencolok dengan kondisi pembangunan di Sabah dan Serawak, sehingga kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat lebih berorientasi ke negara tetangga. Oleh karena itu kebijakan pengembangan wilayah perbatasan di masa yang akan datang tidak dapat mempertahankan pendekatan pertahanan dan keamanan semata seperti yang dipraktekkan di masa lampau, namun harus pula memperhatikan kondisi khas masyarakat dan potensi wilayah setempat. Dalam UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
No. 19, Tahun II
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ditetapkan bahwa pendekatan pembangunan wilayah perbatasan dilakukan ”dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan”. Ditegaskan dalam RPJPN 2005-2025 bahwa arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu ”dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ menjadi ’outward looking’ sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga”. Pendekatan kesejahteraan ini kemudian ditegaskan lagi dalam kebijakan penataan ruang, yaitu dengan menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis dari sudut pandang pertahanan dan keamanan. Sehingga dengan demikian pengembangan kawasan perbatasan strategis berorientasi kepada kesejahteraan, hankam dan lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan ditetapkannya percepatan pengembangan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN) di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan yang menyediakan berbagai pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat di perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas. RTRWN menargetkan pada 2019 seluruh kawasan perbatasan dapat dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya dalam aspek kesejahteraan, hankam dan lingkungan. Khusus dalam pengelolaan pulau kecil terluar, pemerintah telah menerbitkan Pepres 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan melalui pemanfaatan sumberdaya alam dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan serta memberdayakan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan. Pemerintah juga telah menerbitkan UU No.43 tentang Wilayah Negara, dimana beberapa hal pokok yang diatur antara lain adalah pengaturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi, dan daerah dalam pengelolaan batas wilayah dan kawasan negara, dimana pemda memiliki kewenangan yang lebih besar dalam upaya pembangunan sosial dan ekonomi. Selanjutnya juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola di tingkat pusat dan daerah yang bertugas mengelola Batas Wilayah dan Kawasan Perbatasan dalam hal penetapan kebijakan dan program, penetapan rencana kebutuhan anggaran, pengkoordinasian pelaksanaan,
evaluasi dan pengawasan, serta perumusan keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan wilayah negara termasuk kawasan perbatasan. Pendekatan kesejahteraan adalah sebagai salah satu arah kebijakan untuk mengurangi kesenjangan dan ketimpangan pembangunan antar wilayah terutama yang terjadi antara Jawa-luar Jawa, antara Kawasan Barat-Kawasan Timur Indonesia, antara kota-kota dan antara kota-desa. Karena di beberapa kawasan perbatasan, ketimpangan pembangunan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang pada titik paling ekstrim diwujudkan dalam bentuk gerakan separatisme. Dengan latar belakang tersebut, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menetapkan Program Pengembangan Wilayah Perbatasan untuk memfasilitasi pemerintah daerah melaksanakan dua tujuan sekaligus, yaitu ; pertama, menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional, dan kedua ; meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Terdapat tujuh fokus kebijakan dalam RJPM 2010-2014, diantaranya adalah ; penyelesaian penetapan dan penegasan batas negara ; pengembangan pusatpusat pertumbuhan di kawasan perbatasan ; peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antara kawasan perbatasan dengan negara tetangga ; peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat ; pemeliharaan kelestarian lingkungan ; peningkatan pertahanan, keamanan dan penegakan hukum ; dan peningkatan kapasitas kelembagaan dan keberpihakan pendanaan pembangunan.[]
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi L Penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan, meskipun diakui oleh banyak pihak dan Pemerintah RI sendiri, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang sangat penting. Namun dalam kenyataannya, nasibnya tidak kunjung berubah dan janganjangan malah semakin memburuk, karena sumberdaya alam lingkungan yang menjadi andalan hidup mereka telah rusak. Penduduk di wilayah perbatasan, seperti di perbatasan antara negara bagian Serawak Sabah Malaysia dan propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, di kepulauan Sangir Talaud dan Miangas antara Filiphina Selatan dan Sulawesi Utara dan Halmahera, di wilayah perbatasan Papua dan PNG, serta diperbatasan antara NTB dan Timor Leste, umumnya hidup dalam keadaan miskin dan minimnya saranasarana umum yang ada. Fenomena semacam ini, yaitu tidak adanya perhatian dari pemerintah terhadap nasib penduduk di wilayah-wilayah perbatasan sebuah negara, sesungguhnya merupakan gejala yang bersifat umum. Yang menarik adalah, bahwa kecilnya perhatian pemerintah terhadap penduduk dikawasan perbatasan itu seiring dengan sedikitnya studi-studi tentang wilayah perbatasan. Sebagaimana halnya jalan dan sarana-sarana umum lainnya, yang semakin langka ketika kita semakin mendekati daerah perbatasan, begitu pula halnya dengan kegiatan studi tentang wilayah perbatasan. Problema pokok wilayah perbatasan, barangkali adalah soal-soal yang berkaitan dengan kekuasaan (border), ruang (state) dan jarak (distance). Konstruksi sosial kita tentang perbatasan, setelah secara hukum ditetapkan di antara negara-negara yang memiliki wilayah, ditentukan oleh bagaimana kekuasaan yang berada di pusat memandang dari jarak tertentu dan kemudian memberlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis tetapi juga bersifat sosial dan politik, hubungan kekuasaan yang bersifat hirarkis, superior-inverior, pusat-pinggiran, juga persoalan
15 JUNI - 14 JULI 2009
E
N
S
A
11
Dinamika Sosial di Perbatasan Mempengaruhi Kelangsungan Negara
Riwanto Tirtosudarmo Ph.D Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
inclusion-exclusion. Ini tampaknya merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian ketika kita membicarakan tentang perbatasan dan penduduk yang bermukim di perbatasan. Terkait dengan “memahami Indonesia yang asing”, hal ini menjadi menarik, karena apa yang ‘asing’ itu ternyata tidak ditentukan oleh mereka yang berada di perbatasan, tetapi jangan-jangan lebih ditentukan oleh kita yang berada di pusat kekuasaan. Berangkat dari pandangan bahwa penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan bukanlah sebuah masyarakat yang bersifat statis dan homogen, melainkan sebuah masyarakat yang dinamis dan kompleks, kita perlu berupaya merangsang pemikiran baru yang memberikan empati terhadap mereka yang selama ini kita pinggirkan. Pemahaman tentang penduduk di wilayah perbatasan ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian tentang borders sebagai sebuah anyaman perubahan sosial dan kebudayaan, yang merupakan interaksi dinamis antara identitas dan ruang. Sebagaimana dikemukakan dalam buku Centering the Margin : Agency and Narrative in Southeast Asian Borderlands yang mencoba membalikkan persepsi, bahwa dinamika sosial yang terjadi di perbatasan justru akan semakin menentukan kelangsungan negara dan bangsa di masa depan. Dimana wilayah perbatasan itu tidak hanya berupa daratan, namun
juga berupa selat bahkan lautan, yang bagi orang suku laut atau orang pulau umpamanya, kawasan perbatasan yang merupakan perairan atau samudera tersebut, yang jelas tidak memiliki patokpatok seperti yang kita lihat di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak, atau Sabah. Juga bagi orang Flores yang berlayar menuju Sabah dan bermukim di sekitar Tawau, laut adalah bagian dari keseharian hidup mereka, yang berulang-alik setiap harinya antara Nunukan di Indonesia dan Tawau di negara bagian Sabah. Adalah sebuah perkembangan yang menarik, ketika akhir-akhir ini perhatian kita terhadap kawasan perbatasan sepertinya mengalami peningkatan. Gejala adanya peningkatan perhatian ini harus diakui masih jauh dari memuaskan, karena belum melahirkan kebijakan pemerintah yang signifikan dan belum tumbuhnya minat untuk mengkaji wilayah perbatasan secara sistematis dan sungguhsungguh. Berbagai peristiwa seperti kalahnya Indonesia dalam perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, ketegangan yang masih berkembang di perairan sekitar Ambalat dan Karang Unarang yang diduga memiliki kandungan minyak mentah yang tinggi, penjarahan kayu, pencurian ikan, human trafficking serta sempat mencuatnya berita tentang adanya warganegara Indonesia yang menjadi sukarelawan di Malaysia, adalah beberapa contoh yang sempat menjadi ‘headlines’ media massa, dan sempat merangsang sentimen nasionalisme kita, karena hal itu telah menjadi perhatian publik. Sebuah aspek penting dari wilayah perbatasan, adalah mobilitas penduduk yang berlangsung disana. Mobilitas
penduduk di wilayah perbatasan, sebagaimana sebuah lalulintas penduduk yang melintasi batasbatas negara, secara umum bisa dibedakan. Yaitu antara penduduk yang memang telah secara turuntemurun tinggal menetap di kawasan perbatasan tersebut, dan kaum pendatang, yang umumnya datang untuk mencari pekerjaan, baik mereka yang kemudian menetap di kawasan sekitar perbatasan, ataupun mereka yang hanya sekedar melintas kawasan perbatasan dengan tujuan menyeberang ke negara tetangga, atau kemudian menuju negara lain. Mobilitas penduduk di wilayah perbatasan ini penting untuk dibahas dalam konteks ’memahami Indonesia yang ’asing’’. Untuk itu ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan, dimana yang terpenting karena mereka adalah juga warganegara Indonesia yang perlu mendapatkan perlakuan sama dengan warganegara Indonesia lainnya. Kedua, karena keberadaan mereka sering tidak dalam kondisi yang normal berkaitan dengan berbagai alasan yang mendorong mereka melakukan mobilitas. Ketiga, jumlah mereka yang tergolong penduduk pendatang semakin besar, dan meskipun mereka adalah warganegara Indonesia, perlakuan negara terhadap keberadaan mereka tidak hanya minimal, namun justru memprihatinkan, karena mereka justru menjadi target dari perlakuan buruk oleh negara. Hal ini sudah saatnya untuk dikoreksi, karena hanya akan semakin ’mengasingkan’ mereka dari Indonesia. Sebuah pemahaman yang lebih baik tentang wilayah perbatasan sangat diperlukan untuk dapat menyusun perspektif baru tentang perbatasan dan penduduknya.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi
12
B I N G K A I
Kalo menteri pertahanan bicara tentang pertahanan, tentu sudah biasa, tapi jika yang bicara soal pertahanan Happy Salma, itu agak luar biasa. Sejak berita mengenai Ambalat memanas kembali, berbagai kalangan baik masyarakat umum, pakar kelautan, militer, diplomat, akademisi termasuk juga kalangan artis dan lainnya turut berbicara menghangatkan obrolan tentang “Ambalat”. Happy Salma seorang artis cantik bertalenta dan memiliki keahlian menulis, tak mau pasif menanggapi manuver profokatif tentara diraja Malaysia. Pada kompas, Happy menyampaikan bahwa keberanian Tentara Malaysia memasuki wilayah Indonesa di Blok Ambalat dikarenakan lemahnya pertahanan negara. Kecintaan dan keberanian setiap putra-putri pertiwi ini tak diragukan lagi. Namun Menurut gadis kelahiran Sukabumi 4 Januari 1980 ini, keberanian saja tidak cukup, tetapi harus juga ditunjang dengan peralatan yang memadai, personel yang cukup, dan kebijakan serta ketegasan pemimpinnya. Sebagai negeri kepulauan terbesar dari Sabang sampai Merauke memiliki 17.000 pulau, yang luas daratannya 1,8 juta km dengan luas laut 93.000 km dan panjang garis pantainya 54.716 km, lalu batas perbatasan dengan Timor Leste panjangnya 228 km, dengan Malaysia 1.728 km dan 820 km dengan Papua Niugini. Membutuhkan sistem pertahanan yang canggih dan memadai. Happy yang wajah cantiknya sering muncul dilayar kaca terusik untuk mengetahui sejauhmana kemampuan dan kecanggihan pertahanan yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia ? Jika dibandingkan dengan negara tetangga Asutralia, di perairan perbatasannya dijaga enam kapal selam yang konon secepatnya akan di-upgrade ke kelas yang lebih canggih, di mana yang biasanya cuma mampu untuk patroli, nanti akan mampu
No. 19, Tahun II
menyerang dengan misil. “ Berapakah kapal selam yang dimiliki Indonesia? Jauhlah jumlahnya dibandingkan negeri tetangga. Kalau begitu, bagaimana mungkin kita mampu membangun negara maritime? Lalu, bagaimana dengan yang memagari daratan Indonesia? Ternyata, beberapa patok batasan Indonesia yang di hutan belantara
batas wilayah, bahkan seni dan budaya kita sekalipun. Jangan sampai pagar negeri kita roboh, jangan sampai kita asyik dengan dunia sendiri sehingga kita lupa dengan masalah di depan mata. Dengan banyak pelecehan yang menimpa bangsa ini selayaknya pemimpin masa depan lebih cerdas menghadapi
Happy
neonsign.girl.dok
masalah ini. Mampu berdiri tegak membela wajah ibu pertiwi. Berjuang segenap jiwa, menyusun bata demi bata pertahanan negeri untuk menjadikan bangsa Indonesia bermartabat.
Agar Tidak Dilecehkan Pertahanan Harus Kuat
Salma hanya menggunakan batangan kayu atau bongkahan beton kecil yang bisa terbawa arus saat air sungai pasang. Pantas tiap tahun tanah negeri berkurang karena patok itu bukan berdiri tegak seperti Monas, kapan pun dengan kelicikan, akan mudah dipindahkan musuh.” Pertanyaan ini disampaikan Happy yang baru saja menyelesaikan buku bertajuk Telaga Fatamorgana yang berisikan 13 kumpulan cerpen. Happy mengingatkan bahwa ancaman yang terjadi tidak selalu berupa ancaman militer, tetapi dampaknya akan sama dengan ancaman militer dan mungkin lebih parah! “ Karena itu, pertahanan negara bagi saya adalah salah satu elemen penting. Zaman Bung Karno saja, di mana Indonesia saat itu baru berdiri, kita mampu memiliki 12 kapal selam dan kapal-kapal perang canggih sehingga kita dihormati dan disegani negara tetangga.” Tutur Happy. Tidak seperti sekarang, ada pihak yang penuh percaya diri berani mencuri, bukan hanya
koranjakarta.dok
15 JUNI - 14 JULI 2009
Berita
Berbagai hasil pembicaraan dalam rangka Indonesia-Russia Interfaith Dialogue yang berakhir 2 Juni 2009 menghasilkan kesepakatan bahwa dalam negara yang mempunyai multikultur dan agama harus mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah dan pers sangat diharapkan perannya dalam membangun dan menciptakan keharmonisan bermasyarakat. Kesepakatan tersebut tercermin pada 21 butir pointers of the summary yang dinyatakan pada saat konferensi pers di pusat kantor berita Rusia Ria Novosty. “Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia dan Rusia memiliki banyak kesamaan pandangan,” tegas Ignas Kleden yang memimpin rapat perumusan hasil dialog. Pengalaman dan pelajaran (best practices) di kedua negara sangat mungkin dijadikan model bagi dunia internasional tentang peaceful coexistence (hidup damai dan berdampingan). Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia tidak menjadi negara agama ataupun sekuler. Dibawah Pancasila, semua komponen masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai. Di lain pihak, gereja Ortodoks di Rusia juga mengayomi pemeluk agama lain seperti Islam, Hindu dan Budha. Dalam mengelola prularisme, baik Indonesia dan Rusia akan lebih mengembangkan kembali kesadaran dan budaya toleransi dan saling memahami. Pihak mayoritas harus memberikan ruang yang cukup bagi aktivitas minoritas dan keduanya juga harus bersama-sama menciptakan keharmonisan hidup. “Pemahaman atas kepercayaan dan agama lain pada dasarnya akan meningkatkan rasa iman seseorang,” ujar Andri Hadi, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri. Selain itu, sangat disadari bahwa pers memiliki peran yang tidak kecil dalam masyarakat demokrasi. Karenanya, kebebasan
15 JUNI - 14 JULI 2009
pers harus terus didorong dan dihormati semua pihak. Meskipun begitu, para kuli tinta tetap diharapkan menjadi penjaga gawang yang baik bagi peningkatan toleransi dan suburnya pluralitas. “Teman-teman wartawan harus senantiasa di jalur kode etik jurnalistik, aturan yang berlaku serta menjunjung nilai-nilai agama dan norma lainnya yang berlaku di masyarakat,” tambah Andi Hadi. Kedua belah pihak memandang bahwa dialog ini sangat penting dan bermanfaat yang diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan aksi yang kongkrit dan dapat dilaksanakan kembali di waktu mendatang. “Hasil pertemuan brilian ini tidak bisa disiasiakan,” kata Venjamin Popov, mantan Dubes Keliling Rusia untuk dunia Islam.
Perwakilan
Interfaith Dialogue Indonesia-Rusia:
Pentingnya Dialog dan Peran Pers Dalam Menjaga Keharmonisan Masyarakat
(sumber: KBRI Moskow)
Dunia Perlu Dengarkan Deklarasi Manado Deklarasi dan seruan ‘World Ocean Conference’ (WOC) yang digelar pada bulan Mei tahun ini perlu ditanggapi oleh masyarakat internasional secara positif, kalau tidak ke depan umat manusia akan menghadapi malapetaka. Laut akan menjadi tumpuan harapan umat manusia sebagai sumber ekonomi termasuk sumber pangan dimana 72% permukaan bumi ditutupi laut dan laut dapat menjadi sumber energi, mineral, dan protein yang dibutuhkan manusia. Hal tersebut ditekankan oleh Duta Besar Indonesia dalam sebuah seminar di Budapest yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2009, oleh sebuah komunitas pemerhati lingkungan dalam rangka menyambut dan memperingati hari lingkungan sedunia. Konperensi Manado yang diselenggarakan pada tingkat Menteri merupakan satu-satunya konperensi global mengenai kelautan setelah Konperensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional puluhan tahun silam. Prakarsa Indonesia ini masih perlu ditindak lanjuti oleh masyarakat internasional. Dalam seminar ini ikut ambil bagian antara lain Duta Besar Australia, Walikota setempat, tokoh agama dan masyarakat. Selain memaparkan arti penting Deklarasi Kelautan Manado, Duta Besar Mangasi Sihombing menyampaikan pula Rekomendasi ‘Coral Triangle Initiatives’ yang dikeluarkan oleh 6 kepala negara dan pemerintah agar masyarakat internasional bekerja sama dalam menyelamatkan kawasan laut karang yang terletak antara Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Solomon Islands, Papua Nugini, dan Timor Leste. Kawasan ini mengandung 75 persen biodata laut dunia, sehingga kerusakan yang dialami jika tidak dihentikan akan merugikan umat manusia secara keseluruhan. (Sumber : KBRI Budapest)
No. 19, Tahun II
Diplomasi
14
S O R O T A N
Akuntabilitas Dan Transparansi
nasional.viewnews.dok.
Pengadaan Alutsista
LetJen TNI Sjafrie Sjamsoeddin Sekjen Dephan Pembelian Alutsista di masa lalu Ibarat sebuah mobil yang gasnya terlalu kencang dan tidak pernah direm. Itu barangkali penggambaran yang tepat untuk melihat pembelian alutsista sebelum reformasi. Saat kita mau membeli alutsista untuk keperluan suatu unit dengan kaliber kecil atau unit satuan seperti pesawat tempur, kapal selam, atau panser, dan sebagainya, terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan personil di lapangan. Hal ini menyebabkan pemborosan, karena pada saat membeli banyak titipan, sehingga anggaran menggelembung. Pada saat Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, Departemen Pertahanan (Dephan) telah ditugaskan untuk membuat policy bidang pertahanan dan membuat kebijakan tentang bagaimana merawat Alutsita. Selama ini Dephan disebut sebagai departemen bobo (boros dan bocor). Istilah boros dan bocor yang ditimpakan kepada kami sangat tidak nyaman, dan sangat mempengaruhi moral psikologis kami sebagai tentara. Kalau misalnya kita mau membeli senjata, kontraknya itu tidak melalui prinsipal langsung, tetapi melaui perantara. Sehingga kalau kita sudah membeli dan kemudian memerlukan perawatan, kita tidak tahu harus meminta kepada siapa. Sebaliknya kita juga tidak tahu siapa prinsipalnya, dimana
No. 19, Tahun II
kantornya dan bagaimana kredibilitasnya. Ketika kita berupaya mencari dimana keberadaan prinsipalnya, ternyata kantornya itu adalah sebuah ruko. Bayangkan, kita TNI RI melakukan suatu kontrak nasional di sebuah ruko, ini sangat menyedihkan. Buruknya Manajemen Sedangkan pada manajemen internal berlaku single engaged management, artinya kalau saya sebagai pejabat, maka semua urusan itu ke saya yang lainnya tidak. Padahal institusi kita seharusnya berada dalam suatu lingkungan yang solid dalam mengambil suatu keputusan, jadi prinsip-prinsip management sudah diabaikan, sebaliknya juga tidak ada suatu upaya untuk proses check and balance didalam suatu sistem, karena kita berjalan sendiri-sendiri. Ini akhirnya menjadi persoalan, karena otoritasotoritas yang seharusnya terlibat akhirnya menjadi masa bodoh. Ini menjadi pengalaman pahit kita, karena kita menjadi sangat sulit untuk membuat suatu formulasi pada waktu itu, karena pengaruh ”perantara” itu sangat kental. Bahkan sampai terjadi kita membeli suatu alat yang tidak pernah digunakan karena memang tidak bisa digunakan. Departemen Pertahanan dan TNI seharusnya barada dalam suatu rancang bangun soliditas chemistry, tetapi pada faktanya ada gap antara policy maker dengan implementator, ini juga menjadi persoalan, akibatnya kita membeli alutsista bukan kepada produsen tetapi kepada perantara. Pengalaman yang kita rasakan selama 15 tahun didera embargo, disatu sisi kita menjadi kurus kering dan di sisi lain ada oknum yang malah gemuk.
dok. tnial.mil
Ini karena kita terpaksa harus membeli persenjataan di pasar gelap dimana peranan perantara itu menjadi besar dan mereka menjual dengan harga tinggi ini. Itu adalah latar belakang yang kita alami dan sangat pahit, sehingga terpaksa harus kita ambil suatu diagnosa bahwa ini adalah karena buruknya kepemimpinan dan manajemen sehingga berdampak pada efisiensi pengelolaan keuangan negara yang dipertanggung jawabkan kepada kami dan itu adalah kondisi sakitnya anatomi manajemen Dephan. Kebijakan Baru Pada bulan Oktober 2004, Presiden SBY menggariskan suatu benang merah, Beliau memberi waktu 1 bulan kepada Menhan untuk menertibkan dan menata pembelian persenjataan TNI. Sesuai arahan Presiden Menhan membuat peraturan dan menetapkan suatu kebijakan. Target yang ingin dicapai oleh Menhan Melelui kebijakan barunya adalah akuntabilitas dan transparansi. Untuk melaksanakan
peningkatan akuntabilitas dan transparansi, maka kita melakukan dua langkah. Pertama adalah revisi semua sisi baik dari sisi kepemimpinan maupun sisi management. Dari sisi kepemimpinan kita ganti orangorang dengan kriteria pemimpin yang eligible, mempunyai integritas, kualitas dan leadership. Kemudian kita siapkan target dan rambu-rambunya serta sangsi administrasinya. Pada aspek ini kita menegaskan personil dengan satu prinsip, yaitu taat azas dan taat garis kedisiplinan, karena sering terjadi ada yang namanya cross comand, jadi instruksi ini harus vertikal. Selanjutnya adalah kita tugaskan si pemimpin untuk memberikan greated-greated dan sekaligus pembekalan. Greated dan pembekalan ini penting agar supaya dia tepat dalam menerima dan memahami instruksi, itu yang kita lakukan pada saat kita menggaris bawahi suatu revitalisasi. Langkah kedua, kita tetapkan berbagai regulasi mengenai mekanisme dan tatacara penugasan yang erat
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi S O R O T A N
15
dok. indoflyer.
langsung, sehingga pengawasan itu betul-betul bertingkat dan sangat praktis.
kaitannya dengan manajemen. Regulasinya adalah bahwa yang menentukan kebijakan adalah Dephan, itu satu simpul ; yang menggunakan senjata adalah tentara, satu simpul ; persenjataan itu dibeli melalui prinsipal, satu simpul, jadi tiga simpul ini saja yang berkecimpung didalam managemnet penyediaan peralatan alutsista, tidak ada yang lain, dan itu kita jaga betul. Kemudian Dephan kita sebut sebagai Regulator, TNI sebagai User dan pabrikan sebagai produsen. Seteleh itu simpulsimpul yang ada kita hilangkan, sehingga yang ada adalah willing sector management. Jadi tidak ada satu kebijakan yang tanpa melalui proses sinkronisasi yang dipimpin oleh suatu regulasi, walaupun regulasi itu ada di regulator. Ketika itu ditetapkan, maka kita semua tunduk pada apa yang kita tetapkan sebagai willing secktor management, karena disitu berkumpul para pengambil kebijakan, para user yang dalam hal ini adalah Panglima TNI dan Kastaff TNI, yang kemudian juga di supervisi oleh Inspektur Jenderal.
15 JUNI - 14 JULI 2009
Memperketat Pengawasan Sebelumnya pengawasan itu ada dibelakang, yaitu setelah selesai dibeli baru pengawasnya datang, sehingga mereka hanya tinggal terima jadi. Sekarang tidak begitu, kita putuskan mereka langsung bekerja mengawasi dan mereka juga independent yaitu pengawas internal. Jadi forum tersebut dipimpin oleh Sekjen dan disupervisi oleh Irjen, dimana Sekjen tidak boleh mengambil keputusan, dia hanya boleh mengambil kesimpulan yang kemudian dibawa ke Menhan. Itulah badan yang bekerja untuk mengkaji dan menguji proses pembelian peralatan alutsista, dan tentunya didalamnya juga kita tegaskan mengenai bagaimana mengurus peralatan yang lebih baik dan pelaksanaannya seperti apa. Dengan willing sector management itu maka pada saat kita akan membeli senjata, misalnya panser, kita tidak lagi melalui perantara, melainkan kita mengundang perusahaan-perusahaan yang mengerti tentang seluk beluk teknis mengenai panser
yang kita butuhkan untuk mempresentasikan produk mereka. Presentasi itu kemudian kita kaji, apakah itu sesuai dengan yang dibutuhkan prajurit dan juga regulasi pemerintah yang mengutamakan produksi dalam negeri. Kalaupun kita terpaksa harus membeli keluar, itu karena teknologinya tidak mampu diproduksi oleh produsen dalam negeri. Tetapi selanjutnya produsen itu harus melakukan transformasi teknologi, sehingga dalam proses uji produksi, pihak produsen harus tampil sendiri dan tidak bisa melalui orang lain. Untuk menjaga akuntabilitas, seluruh proses ini kami laporkan kepada pengawas publik dan internal, dan panitia anggaran tidak boleh mengintervensi proses ini. Selanjutnya adalah kita memperkuat fungsi pengawasan, dimana di Dephan itu ada tiga tingkatan, jadi Menteri itu mengawasi sampai tiga tingkat dibawahnya, yaitu Sekjen, Dirjen sampai ke Direktur. Ternyata ada hal yang tidak kita duga dalam hal ini, yaitu bahwa ternyata Presiden juga mengawasi secara tidak
Jalur G to G Hal lain yang juga kita lakukan adalah kalau kita membeli peralatan dari luar, maka kita memanfaatkan ”G toG” akses. Karena itu para Dubes dari negara yang memproduksi peralatan itu selalu menjadi akses kita untuk bisa berkomunikasi dengan prinsipal yang ada di negaranya, sebaliknya Dubes kita yang ada dinegara tersebut juga kita minta untuk membuka akses dengan pemerintah disana. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa kunci dapat dilaksanakannya akuntabilitas dan transparansi dalam hal pengadaan persenjataan itu sebenarnya ada ditangan manusianya sendiri, yaitu adanya komitmen yang kongkrit dari otoritas-otoritas kebijakan didalam menentukan sistem. Biasanya yang terjadi justru sebaliknya, yaitu membuat sistem terlebih dulu baru kemudian mencari orangnya. Tetapi yang benar adalah cari orangnya dulu yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan, baru kemudian menentukan sistem. Sebab kalau orang-orangnya tidak sesuai dengan sistem yang ada maka mereka tidak akan produktif. Disamping itu fungsi pengawasan juga sangat penting. Sehiuingga jika ditemukan penyimpangan atau hal yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka ditetapkan sangsi, apakah itu sangsi administratif atau sangsi hukum. Dalam hal ini otoritas yang diberi kewenangan sebagai pengawas harus serius dan cermat. Dengan sistem yang berlaku sekarang ini, relatif tidak ditemukan lagi pembelian persenjataan yang tidak sesuai dengan prosedur dan kita berharap Dephan dapat terus memelihara akuntabilitas dan transparansi.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi
16
S O R O T A N
Hubungan Strategis ASEAN-China,
Pilar Bagi Arsitektur Kerjasama Regional Sebagaimana kita ketahui, salah satu prioritas utama diplomasi Indonesia adalah membangun kedekatan hubungan dengan negara-negara mitra kunci, baik negara maju maupun berkembang, dalam bentuk strategic partnerships ataupun comprehensive partneships. Dalam kaitan ini, salah satu bentuk hubungan kemitraan yang ada dan berkembang dengan pesat, adalah hubungan strategis yang terbentuk antara RI dan RRC. Kemitraan strategis RI-RRC terselenggara utamanya karena dilatarbelakangi oleh kesamaan kepentingan kedua negara. Dalam pandangan Indonesia, China adalah salah satu kekuatan regional dan sekaligus kekuatan global yang pengaruhnya semakin meningkat. Kedudukan dan peran China yang menonjol tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam hubungan dan kerjasama kawasan. Sebaliknya, China juga memandang Indonesia sebagai mitra strategis yang memiliki peran penting bagi stabilitas kawasan dan memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, sekaligus juga tetangga yang bersahabat (friendly neighbors). Hubungan RI-RRC telah terjalin sejak lama, dimana kepentingan dan kontribusi kedua negara untuk menciptakan stabilitas, perdamaian dan kemakmuran di kawasan, akan memberikan dampak positif terhadap aktivitas dan hubungan bilateral kedua negara. Dalam konteks hubungan bilateral, tantangan utama kedepan adalah bagaimana kedua negara mampu menterjemahkan kedekatan bilateral tersebut menjadi kedekatan dalam hubungan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang saling menguntungkan bagi pembangunan nasional masing-masing. Bagi Indonesia, strategi untuk menjawab tantangan ini antara lain melalui
No. 19, Tahun II
Total Diplomacy. Dengan kata lain, kita ingin melibatkan berbagai kalangan dan komponen masyarakat seperti akademisi, pengusaha, pers dan media, serta lembaga swadaya masyarakat dalam mengisi hubungan bilateral kedua negara. Peluang ini telah dapat diterjemahkan dengan baik oleh kedua kepala negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao pada tanggal 25 April 2005 telah mengkristalkan komitmen strategis yang solid dan komprehensif untuk memperkuat hubungan RI-RRC melalui ”Deklarasi Bersama antara RI dan RRC mengenai Kemitraan Strategis”. Melalui deklarasi ini, kedua negara sepakat untuk memperkuat tiga pilar kerjasama, yaitu di bidang politik, pertahanan dan keamanan ; ekonomi dan pembangunan ; serta bidang sosial dan budaya. Tiga pilar kerjasama ini akan ditopang secara solid melalui kerangka kerjasama Government to Government, People to People, dan Business to Business. Pada tahun 2010, Indonesia dan China akan merayakan 60 tahun hubungan diplomatik. Dalam kurun waktu tersebut, kedua negara telah berhasil memperkokoh kerjasamanya melalui sejumlah MoUs dan Agreements di berbagai bidang, melakukan saling kunjung antar pejabat negara, dan saat ini tengah memfinalisasi Draft Plan of Action Deklarasi Kemitraan Strategis RI-RRC untuk dapat ditandatangani dalam waktu dekat. Kerjasama di bidang perdagangan, investasi dan turisme telah membuahkan hasil yang sungguh menggembirakan. Di bidang perdagangan misalnya, pada tahun 2008 total perdagangan kedua negara mencapai US$ 31,5 milyar, atau meningkat tajam dari tahun 2007 yang mencapai US$ 25,01 milyar. Total perdagangan ini
jauh melampaui perkiraan target awal sebesar US$ 30 milyar pada 2010. Di bidang investasi, hubungan kedua negara juga menunjukkan tingkat pertumbuhan yang signifikan, dimana realisasi nilai investasi China di Indonesia pada tahun 2008 mencapai US$ 139,6 juta. Investasi ini meliputi bidang telekomunikasi, infrastruktur, pembangunan dan energi. Di bidang energi misalnya, China sangat berminat pada potensi sumber energi Indonesia, dan Indonesia juga mengharapkan China mendukung proyek-proyek energi dan listrik Indonesia. Di sektor pertanian, telah pula terjalin kemitraan strategis yang menyangkut kerjasama penyediaan benih dan pertukaran tenaga ahli. Disamping itu terdapat banyak peluang kerjasama yang masih terbuka di berbagai bidang lainnya, seperti pariwisata, energi, keamanan pangan, pertahanan, telekomunikasi, pendidikan, budaya, pertanian dan iptek. Melihat realitas ini, saya optimis bahwa kerjasama kedua negara akan dapat terus ditingkatkan di masa datang. Dalam menghadapi krisis finansial global, Asia telah menjadi bagian penting dari solusi. Solusi di tingkat regional antara lain misalnya melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM), dan Asian Bond Market Initiative (ABMI). Dengan adanya mekanisme finansial regional tersebut, Asia memantapkan posisi dan mampu merumuskan langkah untuk memperkokoh kemantapan keuangan regional dalam rangka mengantisipasi kemungkinan krisis serupa pada masa mendatang. Dalam forum G-20, RI-RRC bersama-sama menyerukan perlunya reformasi dalam regulasi sistem keuangan internasional yang lebih transparan. Resources
Triyono Wibowo Wakil Menlu RI
tambahan untuk IMF dan Bank Dunia juga harus diprioritaskan untuk membantu negara-negara berkembang. Kedua negara juga memiliki pandangan yang sama agar negara-negara maju konsisten pada komitmen untuk membantu negara-negara berkembang dalam bentuk transfer teknologi, capacity building maupun bantuan keuangan dalam kerangka MDGs. RI-RRC bermaksud untuk membantu penguatan kerjasama antar bank sentral dunia dalam upaya mengurangi dampak negatif krisis keuangan internasional saat ini. Melalui rencana ini, RI-RRC telah melakukan upaya untuk menunjukkan perannya sebagai responsible member of the international community. Dari sisi lain barangkali dapat kita katakan bahwa krisis finansial global sekarang ini telah menempatkan Asia sebagai satu kekuatan ekonomi dunia yang ikut menentukan kesehatan perekonomian global dan bentuk arsitektur baru finansial internasional. Dalam hal ini kedua negara hendaknya mampu mengidentifikasi langkah-langkah bersama untuk keluar dari krisis, dan mempertahankan laju roda perekonomian kawasan. Keterlibatan aktif kedua negara dalam pelbagai fora regional dan internasional, seperti ASEAN-China Free Trade Area, dan G-20, kiranya juga akan dapat memberikan andil yang kongkrit dalam menyikapi dan menangani isu-isu kawasan dan internasional.[]
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi K Penandatanganan Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRC oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jiantao pada tanggal 25 April 2005 di Jakarta, memberikan makna penting bagi hubungan kedua negara pasca normalisasi hubungan diplomatik tahun 1990. Kemitraan strategis itu meliputi kerjasama di bidang politik, hukum, keamanan, ekononomi dan pembangunan, serta sosial budaya. Ini merupakan kemajuan terbesar dalam diplomasi kedua negara, yang memberikan landasan lebih kokoh untuk mendorong kerjasama secara sistematis dan fokus. Sekalipun normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC baru dimulai tahun 1990 lalu, namun animo pemerintah dan masyarakat kedua negara untuk lebih mendekatkan diri sangat tinggi. Seolah tidak lagi memiliki kendala psikologis dan historis yang pernah terjadi pada kurun waktu 19671990. Hal ini sebagian terjadi karena memudarnya pertentangan ideologi kapitalis dan sosialisme era Perang Dingin yang telah membuat dunia terkotak-kotak menjadi dua blok besar. RI dan RRC merupakan dua negara besar dengan total penduduk sekitar 1,5 miliar (1,3 milyar RRC dan 230 juta RI). Pertumbuhan ekonomi kedua negara relatif stabil, dan banyak kepentingan nasional yang serupa, baik di forum regional maupun global. Potensi dan nilai strategisnya sangat besar untuk disinergikan dalam mendorong upaya bilateral memajukan kesejahteraan masing-masing, dan upaya multilateral dalam menciptakan perdamaian di kawasan dan dunia. Pekerjaan rumah kita sekarang adalah bagaimana mengisi dan mengembangkan kemitraan strategis dengan kerjasama nyata yang saling menguntungkan. Terlebih dalam kondisi krisis global saat ini, RI dan RRC termasuk sedikit negara yang mempunyai ketahanan dan pertumbuhan ekonomi yang relatif baik. Potensi kerjasama yang ada sangat luas, sehingga tinggal bagaimana
15 JUNI - 14 JULI 2009
Mengembangkan Kemitraan Strategis RI - RRC
Sudrajat
Duta Besar LBBP RI untuk RRC
kita menyusun langkah untuk membangkitkan semua pemangku kepentingan agar mewujudkannya. Dalam perspektif ekonomi perdagangan, kawasan Asia Timur, termasuk negara-negara ASEAN, masuk didalam lingkaran konsentris utama RRC. Kerjasama RRC-ASEAN dan kemitraan strategis RI-RRC merupakan bagian dari skenario dan sasaran China untuk menjadi negara maju pada tahun 2050. Intensitas kerjasama RRC-ASEAN, selain diharapkan dapat membantu meredam dampak negatif krisis keuangan global, juga memberikan kontribusi stabilitas dan keamanan kawasan yang kondusif bagi aktivitas ekonomi dan perdagangan. Besarnya potensi kawasan ini akan mempengaruhi kontinuitas pertumbuhan ekonomi China. Akses pasar, bahan baku, jumlah populasi dan kedekatan geografis, merupakan faktor yang menjadikan kawasan ini teramat penting bagi China. ASEAN-China Free Trade Area misalnya, jika terealisasi pada 2010 nanti akan memiliki populasi 1,8 milyar, dengan volume perdagangan terbesar ketiga di dunia setelah NAFTA
dan Uni Eropa. Tahun lalu, nilai perdagangan ASEAN-RRC adalah US$ 231 milyar, setara dengan sepersepuluh perdagangan ASEAN dengan negara-negara lain. Sebaliknya, besarnya pasar China juga menjadi daya tarik bagi ASEAN. Negara-negara ASEAN saling berlomba mengincar potensi ekonomi China tersebut. Saat ini Singapura, Thailand, Malaysia, Filiphina dan Vietnam telah memiliki lebih banyak kantor perwakilan, diplomatik, maupun perdagangan dibandingkan Indonesia. Nilai perdagangan China dengan Singapura tahun lalu mencapai US$ 62 milyar, dengan Malaysia US$ 53.7 dan dengan Thailand US$ 36.23 milyar. Volume perdagangan Indonesia dengan China masih tertinggal, yaitu hanya US$ 31.5 milyar, namun masih jauh diatas nilai perdagangan antara China-AS yang hanya mencapai US$ 21 milyar, padahal normalisasi hubungan RIRRC belum genap dua dasawarsa. Fakta ini menunjukkan betapa besar potensi ekonomi yang dapat kita manfaatkan, dan karena itu kita dituntut untuk berupaya lebih keras dan terfokus. Dalam konteks hubungan bilateral, kerjasama ekonomi dan perdagangan RI-RRC berkembang di berbagai tingkat dan dimensi. Sektor ini pula yang menjadi salah satu pendorong ke arah semakin matangnya hubungan kedua negara. Target perdagangan US$ 30 milyar pada 2010 telah dicapai pada 2008 (US$ 31.5 milyar), dengan nilai ekspor US$ 14.2 milyar dan impor US$ 17.3 milyar. Indonesia memang defisit US$ 2.9 milyar karena banyak mengimpor barang-barang modal dan mesin, namun kedepannya, selain terus meningkatkan volume perdagangan, Indonesia
I
L
A
S
17
perlu memperkuat komitmen untuk menyeimbangkan volume perdagangan tersebut. Ini tidak mudah, karena dalam dua bulan pertama 2009 nilai perdagangan justru anjlok 33 % akibat krisis keuangan global. Kedua negara juga memiliki keunggulan masing-masing, sehingga bisa saling mengisi. Ekspor China ke Indonesia antara lain mesin-mesin, elektronik, tekstil, pakaian jadi, sepatu, bahan kimia, dan plastik. Ekspor Indonesia ke China terutama minyak mentah, gas alam, kelapa sawit, karet, kayu, kakao dan buah-buahan. Investasi China di Indonesia, di luar sektor migas, sebesar US$ 139 juta, terutama di sektor-sektor energi, perkebunan, otomotif dan elektronik, sedangkan investasi Indonesia di China sebesar US$ 167.25 juta. Secara umum, kerjasama Indonesia-China masih memiliki potensi yang besar untuk terus dikembangkan, oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan sejumlah kebijakan dan fasilitas untuk mempermudah proses pencapaian kesepakatan kerjasama tersebut. Tingkat kemajuan yang dicapai China seharusnya dimanfaatkan secara proaktif oleh instansi pemerintah maupun swasta dengan menjalin kerjasama yang lebih menguntungkan, antara lain dalam bentuk proyek/hibah dana, pemanfaatan tenaga ahli China, transfer teknologi, dan bantuan peralatan. RI-RRC kini dalam tahap penyelesaian PoA (Plan of Action) yang secara prinsip isinya telah disepakati. PoA ini memiliki makna penting dan strategis, karena memberi arah bagi pencapaian sasaran kerjasama kedua negara yang meliputi tiga pilar Kemitraan Strategis ; Polhukam (politik, hukum dan keamanan) ; ekonomi dan perdagangan ; serta sosial budaya. PoA ini diharapkan dapat ditandatangani pemerintah RI dan China pada 2009 ini untuk memudahkan implementasi berbagai program kerjasama yang dikembangkan, sehingga aksi kongkretnya efektif dan produktif.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi
18
K
I
L
A
S
Membangun Hubungan Dengan China Melalui Kerangka Multilateral
Rizal Sukma Director Executive CSIS, Jakarta
Kebangkitan China pada saat memasuki abad 21, merupakan sebuah fenomena dramatis dalam hubungan internasional kontemporer yang akan semakin mewarnai dinamika politik-ekonomi global dan regional dalam beberapa dekade mendatang. Implikasi kebangkitan China tersebut akan sangat besar pengaruhnya bagi tatanan regional di kawasan Asia Timur. Oleh karena itu Indonesia -sebagai salah satu negara kawasan- berkepentingan untuk memiliki sebuah cetak biru strategis (strategic blueprint) yang memuat identifikasi kepentingan strategis Indonesia, cara kita dalam memposisikan China, memahami karakteristik dan implikasi kebangkitan China bagi arsitektur keamanan di kawasan, strategi serta kebijakan yang akan diambil dalam merespon perkembangan tersebut. Salah satu perspektif yang berkembang di Indonesia terkait dengan kebangkitan dan peran strategis China dalam kerjasama Asia Timur, adalah pembahasan yang difokuskan pada tiga pertanyaan utama. Pertama, apa visi dan kepentingan strategis Indonesia di Asia Timur. Kedua, bagaimana Indonesia memandang peran China dalam kaitannya dengan kepentingan strategis Indonesia tersebut. Ketiga, bagaimana memaksimalkan
No. 19, Tahun II
kemitraan strategis Indonesia-China untuk dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi terwujudnya sebuah Asia Timur yang stabil, damai dan sejahtera. Bagi Indonesia, kawasan Asia Timur haruslah menjadi kawasan damai, stabil dan sejahtera, dimana ketiga nilai tersebut dicapai melalui kerjasama diantara negaranegara pemangku kepentingan (stakeholder). Stabilitas regional ini harus dicapai melalui cara pandang ”security with” dan bukan melalui ”security from” . Indonesia menghendaki sebuah Asia Timur yang ditandai oleh pola-pola kerjasama antar negara sebagai norms, bukan sebagai exception. Pada saat yang sama, secara ideal Indonesia juga berharap kawasan ini tidak ditandai oleh keberadaan rivalitas antar negara yang permanen. Dalam konteks keberadaan kekuatan-kekuatan besar dan implikasinya bagi perkembangan arsitektur regional di kawasan Asia Timur, kepentingan strategis Indonesia pada dasarnya adalah :(1) terbentuknya arsitektur regional yang tidak memaksa Indonesia untuk mengambil pilihan antara bandwagoning atau balancing diantara negara-negara besar ; (2) menjamin relevansi strategis Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) dimata semua negara besar di kawasan, dan (3) terbukanya peluang untuk memanfaatkan hubungan dengan negara-negara besar bagi kepentingan nasional Indonesia. Sedangkan pada level taktis, yaitu untuk memastikan kemampuan Indonesia dalam menjamin tiga kepentingan strategis tersebut dalam 5-10 tahun mendatang, dimana Indonesia diharapkan dapat mengambil peran penting dan ikut dalam mempengaruhi bentuk arsitektur regional di masa mendatang.
Bagi Indonesia, hakikat kebangkitan China juga sarat dengan ketidakpastian, dimana Indonesia juga menghadapi tantangan dari proses kebangkitan China ini. Hubungan IndonesiaChina, meskipun belakangan ini mulai membaik, tetap diwarnai oleh berbagai komplikasi dan persoalan. Masa depan respon dan sikap Indonesia terhadap China juga akan ditentukan oleh kemauan China untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam hubungan bilateral kedua negara. Oleh karena itu penting bagi kedua negara untuk segera memanfaatkan hubungan sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan Kemitraan Strategis yang telah ditandatangani pada 2005 yang lalu. Kebijakan Indonesia sejak restorasi hubungan diplomatik pada 1990, adalah membangun hubungan dengan China melalui kerangka multilateral, khususnya dalam kerangka ASEAN. Sejak 1990 hingga 1998, sikap Indonesia ditandai dengan kehati-hatian dan wait and see. Pada saat negara-negara ASEAN lainya giat membangun hubungan dengan China, Indonesia tidak secara aktif mengembangkan hubungan itu. Indonesia cenderung berhubungan dengan China melalui kerangka multilateral, baik melalui ASEAN maupun ASEAN Regional Forum (ARF). Bagi Indonesia, ASEAN adalah instrumen yang efektif dalam mengelola hubungan dengan China. ARF juga dilihat sebagai instrumen untuk memastikan bahwa China akan menghormati norma-norma hubungan antar negara. Dengan kata lain, tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menjamin bahwa China akan terus memperkuat komitmen dan keterlibatannya dalam jejaring proses keamanan multilateral di kawasan.
Pendekatan demikian itu sudah saatnya untuk ditinjau ulang, karena baik ASEAN maupun ARF semakin berkurang relevansinya dalam menghadapi perkembangan geo-politik antar negara besar dewasa ini. Sebab apabila negara-negara besar tidak lagi yakin dengan kegunaan arsitektur berbasis ASEAN, maka besar kemungkinan mereka akan mempertimbangkan sebuah arsitektur regional baru yang dapat mengakomodasikan berbagai tantangan strategis yang lahir akibat terjadinya pergeseran kekuatan tersebut. Pada saat yang sama, apabila arsitektur yang ada dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan krisis global dan regional, maka kebutuhan akan sebuah arsitektur regional baru juga akan semakin menonjol. Dan akibat dari menurunnya kepercayaan terhadap ASEAN sebagai manager of regional order yang efektif, adalah bukan tidak mungkin akan muncul pengaturan-pengaturan regional baru (new regional arrangements) yang diprakarsai oleh negaranegara besar. Kecenderungan ke arah itu sudah mulai terasa, dan diperkirakan akan semakin kuat dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang. Negara-negara Asia Timur Laut semakin serius membahas pentingnya sebuah institusi multilateral di kawasan tersebut, dimana hal itu terlihat dari gagasan untuk mentransformasikan six party talk (SPT) menjadi sebuah lembaga kerjasama regional yang lebih luas dan permanen. Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa negara-negara besar akan terdorong untuk membangun sebuah concert of powers dikawasan, dalam rangka mengatur hubungan diantara mereka dan menyelaraskan kepentingankepentingan mereka. Untuk mempertahankan sentralitas strategis dan diplomatik Indonesia dimasa mendatang, maka diperlukan suatu reposisi strategis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik. Dan pengembangan hubungan bilateral dengan China merupakan sebuah keniscayaan.[]
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi K
Kerjasama ASEANChina Dan Stabilitas Kawasan Asia Timur
Djauhari Oratmangun Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI Hubungan kerjasama informal antara ASEAN dengan China telah dimulai sejak pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke24 di Kuala Lumpur pada bulan Juli 1991, dan China kemudian dikukuhkan menjadi mitra wicara penuh ASEAN pada AMM ke-29 di Jakarta pada 1996. Sejak itu perkembangan kerjasama ASEAN-China mengalami kemajuan yang pesat. Beberapa kesepakatan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya telah ditandatangani sebagai landasan pelaksanaan kerjasama antara ASEAN dan China. ASEAN dan China saat ini tengah melakukan finalisasi draft Memorandum of Understanding (MoU) pendirian ASEAN-China Center, yang nantinya akan berperan untuk mendorong kerjasama ASEAN-China dalam bidang perdagangan, investasi, pariwisata, pendidikan dan kebudayaan. Selain dalam kerangka ASEAN+1, China juga melakukan kerjasama melalui mekanisme
15 JUNI - 14 JULI 2009
ASEAN Plus Three (APT) dan East Asia Summit (EAS), dimana kedua mekanisme kerjasama regional tersebut mempunyai format dan fokus yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi dan menguatkan satu dengan yang lain, dan sama-sama mempunyai arti penting bagi ASEAN. Perkembangan kerjasama ASEAN-China yang cepat, baik dalam kerangka ASEAN-China, APT dan EAS diharapkan akan menghasilkan kontribusi yang positif bagi kesejahteraan dan kestabilan kawasan Asia Timur. Pada saat ini juga terdapat wacana untuk melakukan integrasi kawasan Asia Timur yang melibatkan negara-negara ASEAN dan negara-negara lainnya, mengingat telah terdapat mekanisme untuk memfasilitasinya. China sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan, tentunya akan sangat mewarnai upaya pembentukan integrasi kawasan Asia Timur tersebut. Kerjasama ASEAN-China telah terjalin selama hampir 13 tahun, dan telah memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Beberapa kesepakatan dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya telah ditandatangani sebagai dasar pelaksanaan kerjasama ASEAN-China. Terkait dengan kerjasama dibidang politik dan keamanan, China merupakan mitra wicara ASEAN pertama yang menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada KTT ke-7 ASEAN-China di Bali pada 2003. Dengan demikian China menjadi pihak pada TAC, dan berkomitmen untuk ikut menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan, sesuai dengan prinsip “non-interference”
dan penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik yang timbul diantara negara-negara penandatangan TAC. Dalam bidang ekonomi, kerjasama ASEAN dan China juga mengalami kemajuan. Volume perdagangan meningkat tiga kali lipat dari USD 59,6 milyar pada 2003 menjadi USD 171,1 milyar pada 2007. Total perdagangan ASEAN-China dari 2003 hingga 2007 mengalami peningkatan 30% per tahun, pertumbuhan ekspor mencapai 28% dan impor 32%. Sementara itu, pada periode yang sama, kumulatif aliran Foreign Direct Investment (FDI) dari China ke ASEAN mencapai USD 3,6 milyar, dan pada 2007 meningkat menjadi USD 48,9 milyar. Kunjungan wisatawan China ke ASEAN mengalami peningkatan dari 3,3 juta pada 2006 menjadi 3,9 juta pada 2007. Untuk kategori negara tujuan, China merupakan mitra dagang ASEAN terbesar ke-4 setelah AS, UE dan Jepang. Dalam bidang sosial budaya, beberapa proyek kerjasama ASEAN-China yang mencakup bidang kesehatan masyarakat, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, keamanan sosial, pertukaran pemuda, lingkungan, media dan pengentasan kemiskinan telah berhasil dilaksanakan. Terbentuknya kerjasama APT pada 1997, sebenarnya dipicu oleh terjadinya krisis keuangan di Asia pada saat itu. Negara-negara anggota APT adalah sepuluh negara anggota ASEAN ditambah dengan China, Jepang dan Korea Selatan. Dalam periode 10 tahun pertama, pelaksanaan kerjasama APT didasarkan kepada Joint Statement on East Asia Study Group. Untuk mewujudkan kerjasama yang nyata antar negara-negara APT, dibentuklah East Asian Vision Group (EAVG) yang pada 2001 telah menyampaikan laporannya dan merekomendasikan pembentukan East Asia Free Trade Area, East Asia Investment Information Network, fasilitas
I
L
A
S
19
pendanaan regional, koordinasi mata uang, dan East Asia Summit. Untuk mengevaluasi kerjasama selama 10 tahun yang lewat dan menyongsong 10 tahun kedepan, para Pemimpin Pemerintahan APT telah mengesahkan the Second Joint Statement on East Asia Cooperation beserta Work Plan 2007-2017 pada 2007 di Singapura, yang menyepakati dibentuknya ASEAN Plus Three Cooperation Fund (APTCF) dengan dana awal USD 3 juta dengan proporsi 9:1, yaitu negara-negara Plus Three sebesar USD 2,7 juta dan ASEAN secara keseluruhan sebesar USD 0,3 juta. Hasil yang menonjol dalam kerangka kerjasama APT di bidang keuangan adalah dihasilkannya Chiang Mai Initiative (CMI), yang antara lain berisikan skema bilateral Swap Arrangement antara negara-negara APT untuk membantu likuiditas keuangan di kawasan, sehingga diharapkan krisis keuangan di kawasan dapat dihindari. Pada tanggal 22 Oktober 2008, para pemimpin negara APT juga telah menyelenggarakan pertemuan Leaders Breakfast Meeting on Global Finance Crisis di Beijing, yang antara lain menghasilkan kesepakatan untuk mendukung upaya percepatan multilateralisasi CMI. Terkait dengan mekanisme APT dan EAS, Indonesia berpandangan bahwa kedua mekanisme tersebut adalah dua proses yang saling melengkapi dan memperkuat kerjasama kawasan, dimana ASEAN berperan sebagai the driving force. Keduanya merupakan proses yang sama-sama penting untuk mengantarkan integrasi kawasan Asia Timur. Untuk itu ASEAN harus terlebih dulu berkonsentrasi mewujudkan ASEAN Community pada 2015. Kerjasama dalam kerangka APT maupun EAS harus diarahkan untuk membantu perwujudan ASEAN Community 2015, karena perluasan integrasi dari ASEAN Community hanya mungkin terjadi setelah ASEAN Community itu sendiri terwujud.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi
20
K
I
L
A
S
Arah Investasi China Di Indonesia
Umar Juoro
Pengamat Ekonomi
Perkembangan ekonomi China yang cepat, telah membuat peran China menjadi sangat penting dalam skala perekonomian dunia, khususnya dalam perkembangan ekonomi Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi China sejak dilakukannya reformasi pada awal tahun 1980an, rata-rata diatas 10 %. Hal ini membuat perekonomian China menjadi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan Jepang, dengan PDB sekitar US$ 4,3 triliun. Bahkan dalam masa krisis ekonomi global sekarang ini, perekonomian China masih dapat tumbuh sekitar 7 %, sementara seluruh perekonomian negara maju mengalami resesi. Secara sektoral, perekonomian China didukung oleh industri manufaktur yang merupakan 60 % dari PDB. Pertumbuhan tinggi sektor industri ini didukung oleh aliran kredit perbankan China yang tumbuh tinggi, bahkan dalam masa krisis sekarang ini. Sementara dari sisi pengeluaran, investasi dan ekspor merupakan pendukung utama perekonomian China, masing-masing sekitar 40 % dari PDB. Dengan struktur ekonomi seperti ini, maka tidak diragukan lagi China telah menjadi negara industri dan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perekonomian dunia. Produk industri ekspor China yang berharga murah, telah menyumbang secara signifikan penurunan inflasi di tingkat global. Tetapi pada masa krisis sekarang ini, ekspor China mengalami penurunan secara drastis, oleh karena itu perkembangan industri China sekarang ini berorientasi pada pasar domestik. Untuk itu Pemerintah China juga telah menstimulasi perekonomian sekitar US$ 676 miliar untuk mendorong industri, infrastruktur, dan perekonomian domestik yang terkait dengan konsumsi masyarakat, karena tingkat tabungan di China sangat tinggi sehingga konsumsi dalam negeri kurang berkembang. Tingginya ekspor dan investasi, telah membuat cadangan devisa China menjadi yang terbesar di dunia, yaitu mencapai US$ 2 triliun. Sebagian besar cadangan devisa ini ditanamkan dalam surat berharga, terutama milik pemerintah AS (treasury bills and bonds), sehingga membuat perekonomian AS sangat bergantung pada China. Dengan tingginya cadangan devisa ini, maka mata uang yuan seharusnya semakin menguat, namun pemerintah China membuat kebijakan agar nilai yuan tetap undervalued untuk menjaga daya saing ekspor. Hal ini mendapatkan kritikan keras dari pemerintah AS, karena dipandang tidak fair. Peran China dalam KTT G-20 juga menjadi sangat penting, terlebih lagi pada kerjasama G-2 antara ChinaAS dalam mempengaruhi perekonomian global. Untuk itu AS juga menekan China untuk melakukan apresiasi terhadap yuan dan membuatnya convertible, disamping juga mendorong konsumsi masyarakat domestik China untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan mendorong impor dari negaranegara lain. Dengan demikian akan terjadi keseimbangan dalam
perdagangan, terutama antara China dan AS yang sekarang ini surplus sangat besar di pihak China. AS juga menekan China untuk mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian dengan melakukan liberalisasi dan privatisasi. Di tingkat regional, peranan China di kawasan Asia Timur semakin besar, dimana paling tidak telah menyamai Jepang. China bersama-sama dengan Jepang dan Korea merupakan kekuatan utama ekonomi di kawasan Asia Timur. Menyadari hal ini, pimpinan ketiga negara tersebut melakukan KTT untuk mengatasi dampak krisis ekonomi global. Kerjasama China dengan ASEAN juga semakin berkembang, terutama dengan ditandatanganinya FTA ASEAN-China yang akan diimplementasikan pada 2010. China bersama-sama dengan Jepang dan Korea memberikan sumbangan lebih besar dalam Chiang Mai Initiative (CMI), sehingga jumlah dana yang dikumpulkan untuk keperluan swap mencapai US$ 120 miliar. CMI ini sangat penting dalam memperkuat kesiapan negaranegara ASEAN menghadapi krisis global, sehingga krisis pada tahun 1998-99 tidak terulang kembali. Peran China dalam kerjasama dengan ASEAN, adalah memberikan dorongan pada perekonomian ASEAN dan pencapaian ASEAN Charter untuk membentuk pasar tunggal ASEAN. Peran China dalam perdagangan dan investasi menjadi sangat penting bagi perkembangan ekonomi kawasan dan masingmasing negara anggota ASEAN. Namun di lain pihak, ekspor produk industri China juga menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN dalam mengembangkan industri untuk pasar ekspor maupun dalam negeri, karena China sangat agresif dalam upaya menguasai pasar domestik
negara-negara ASEAN. China juga sangat agresif dalam investasi yang berkaitan dengan sumber daya alam dan infrastruktur dengan dukungan teknologi, komponen dan pembiayaan dari China sendiri. Perdagangan Indonesia-China juga mengalami perkembangan yang pesat, dimana China menjual produk-produk industrinya dan Indonesia terutama menjual produk sumber daya alam. Hingga tahun 2007 surplus perdagangan Indonesia-China lebih besar kepada Indonesia, namun sejak 2008 Indonesia mengalami defisit sekitar US$ 3,6 miliar. Keadaan ini merefleksikan derasnya aliran impor produk-produk industri China yang sering mendapat tanggapan kritis dari pelaku usaha Indonesia. Kegiatan investasi China di Indonesia difokuskan pada sumber daya alam, yaitu dalam bentuk pertambangan, migas, dan perkebunan, terutama kelapa sawit. Investasi di bidang infrastruktur juga berkembang pesat terutama dalam pembangunan pembangkit listrik dengan kontraktor dan pembiayaan dari China. Arah investasi China di Indonesia ini memperkuat pandangan bahwa minat China adalah sumber daya alam dan dan pasar bagi produk industrinya, pendekatan ini serupa dengan yang dilakukan oleh Jepang dan Korea. Tetapi China lebih menyukai pola IPP (Independent Power Purchase) dalam pembangunan infrastruktur pembangkit listrik, dimana investor China ikut memiliki saham dengan pembiayaan dari perbankan China. Bagaimanapun peranan China dalam kerjasama ekonomi kawasan Asia Timur dan ASEAN sangat besar, begitupun pada tingkat bilateral. Kerjasama ini harus bersifat saling menguntungkan dan memperkuat perekonomian kawasan.[]
Diplomasi K
I
L
A
S
21
DPR Serius Tuntaskan Masalah “Money Loundering” Sembilan anggota Komisi III DPRRI bersama 3 orang staf sekretariat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi Maysasak Johan melakukan kunjungan kerja ke Federasi Rusia, 24-28 Mei 2009. Delegasi DPR RI yang tergabung dalam Panitia Kerja (PANJA) Perubahan UndangUndang mengenai Pencucian Uang (Money Laundering) tersebut ingin belajar ilmu pencegahan pencucian uang di Federasi Rusia. Pada 25 Mei 2008 lalu, Delegasi DPR RI didampingi oleh Wakepri dan staf KBRI Moskow, telah melakukan pertemuan dengan Russian Federal Financial Monitoring Service (Rosmonitoring/ Badan Federal Pengawasan Keuangan Rusia) dan sekaligus dengan Russian Account Chamber (Badan Pemerika Keuangan) yang bermarkas di kota Moskow. “Hasil studi kami disini akan digabung dengan tim lain sehingga akan menjadi referensi yang komprehensif bagi PANJA,” kata Maysasak. Berdasarkan undang-undang Federasi Rusia mengenai Pencucuian Uang, setiap transaski bank di atas 600.000 ruble setara 20.000 USD dan transaksi di bidang real estate di atas 3.000.000 ruble atau setara 100.000 USD wajib dilaporkan. Setiap transaksi keuangan yang dicurigai sebagai hasil kejahatan dan terorisme juga harus dilaporkan. Laporan lembaga ini akan ditindaklanjuti oleh lembaga terkait tergantung dari masalahnya.
Disamping undang-undang money laundering, Rusia juga memiliki undang-undang lain yang terkait dengan transaksi keuangan antara lain undang-undang mengenai Bank, undang-undang mengenai pasar uang, undangundang mengenai asuransi, undang-undang pencegahan tindak ekstrisme. Atas pertanyaan Anggota Delegasi DPR RI, pihak Rosfinmonitoring dapat melakukan pemeriksaan, penyadapan dan penggeledahan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan tanpa meminta terlebih dahulu izin Bank Sentral Rusia. Informasi yang diperoleh tidak untuk dipublikasikan kepada publik, tidak untuk kepentingan pribadi dan tidak boleh digunakan untuk lawan atau persaingan bisnis. Rosfinmonitoring adalah suatu badan yang independen dan sejauh ini belum ditemukan adanya intervensi pemerintah dalam kinerjanya. Menurut BPK Rusia, pada tahun 2007 terdapat 1270 kasus yang menjadi temuan yang terkait dengan kegiatan pencucian uang dan sebanyak 900 kasus telah diajukan ke pengadilan. Dalam kesempatan kunjungan tersebut, Delegasi Komisi III DPR RI telah melakukan pertemuan dengan Duta Besar di Wisma Duta dan temu muka dengan seluruh staf, mahasiswa dan masyarakat Indonesia di ruang serbaguna KBRI. (sumber : KBRI Moskow)
Pekan Ibu dan Anak di Wisma Duta Indonesia Budapest Kesejahteraan dan perlindungan ibu dan anak merupakan satu di antara prioritas bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, karena nasib bangsa di masa depan terletak pada generasi muda, dan mempersiapkan generasi muda tidak terlepas dari peranan ibu yang sangat besar. Demikian ditekankan Duta Besar Indonesia dalam membuka acara “Mother and Child’s Week” yang berlangsung setengah hari di taman residensi Duta Besar di Budapest pada hari Sabtu, tanggal 23 Mei 2009. Acara ini diikuti para ibu dan anak anak Hungaria dan Indonesia, dan sebagian datang dengan suami atau ayah. Hak-hak wanita dan hak-hak anak seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan terhadap berbagai hal semuanya senantiasa mendapat perhatian dan program pemerintah dan juga LSM-LSM terkait. Keberadaan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menunjukkan tekad pemerintah untuk meningkatkan dan menjamin kesejahteraan ibu dan anak ataupun keluarga-keluarga. Program Keluarga Berencana yang dilakukan secara persuasif adalah untuk memungkinkan hidup keluarga yang lebih sehat dan agar anak-anak memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik dengan dukungan keuangan keluarga yang cukup. Demikian ditambahkan Duta Besar Mangasi Sihombing.[]
Keluarga Besar Direktorat Diplomasi Publik dan Redaksi Tabloid Diplomasi mengucapkan belasungkawa atas wafatnya
Bpk. H. Ahmadun Ambari (Ayahanda Yusron B. Ambari) Wafat : 26 Mei 2009
Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT.
Diplomasi
22
update
Indonesia Update di Kyoto:
Indonesia Paling Demokratis di Asia Tenggara Pakar Politik Internasional yang juga anggota Board of Governors, Institute for Peace and Democracy DR. Dewi Fortuna Anwar menyatakan bahwa di Indonesia adalah negara yang paling demokratis di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dinyatakannya di hadapan sekitar 75 ahli dan pemerhati masalah Indonesia di Jepang pada Seminar Indonesia Update di Universitas Kyoto, 18 Mei 2009. Ia mengutarakan berbagai fakta yang melandasi pernyataannya dengan adanya berbagai kebebasan yang dinikmati di Indonesia, serta pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil. Beberapa kejadian dalam pelaksanaan pemilu merupakan hal yang bersifat teknis, bukan politis. Meskipun pakar politik kawakan Indonesia tersebut juga mengungkapkan bahwa Indonesia masih harus terus berkembang dan dibenahi dalam behaviour, attitude dan institusi demokrasi nya. Seminar `Indonesia Update` dilaksanakan dalam rangka memberikan update mengenai kondisi Indonesia, khususnya di bidang politik dan demokrasi. Seminar ini diselenggarakan oleh KJRI Osaka bekerjasama dengan Center for Southeast Asian Studies-Kyoto University, bertempat di Inamori Memorial Hall, Universitas Kyoto. Selain Dewi Fortuna Anwar, juga hadir sebagai pembicara adalah Plt. Direktur Diplomasi Publik Deplu, Umar Hadi dan I Ketut Putra Erawan, Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Executive Director pada Institute for Peace and Democracy serta Dr. Jun Honna, pengajar di Ritsumeikan University dan visiting lecturer di Universitas Kyoto sebagai komentator. Pada kesempatan ini, Plt. Direktur Diplomasi Publik menyampaikan upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong demokrasi, khususnya dalam kerangka Bali Democracy Forum, dan tentang Institute for Peace and Democracy yang belum lama berdiri. Sedangkan DR. I Ketut Erawan menjelaskan mengenai desain undang-undang pemilihan umum dan praktek institusi demokrasi di Indonesia. Dari pandangan Dr. Jun Honna, menilai bahwa demokrasi di Indonesia berjalan baik, terutama bila dibandingkan dengan rakyat Jepang yang bersikap apatis terhadap politik namun masyarakat Indonesia masih banyak memilih wakil rakyat berdasarkan karakteristik personil dan belum berdasarkan platform politik. Banyak pula calon legislatif yang masih amatir dalam berpolitik yang dikhawatirkan tidak bisa memperkuat legislatif dan tidak mempunyai akuntabilitas politik dalam berkoalisi. (Sumber: KBRI Osaka)
No. 19, Tahun II
Direktur Diplomasi Publik, Umar Hadi melakukan kunjungan kerja ke China dan Jepang untuk mempromosikan Bali Demokrasi Forum (BDF) yang telah menjadi agenda tahunan bagi para pemimpin
Ketua Senat Belanda Apresiasi Peningkatan Positif Politik dan Ekonomi Indonesia Ketua Senat Belanda, Yvonne E.M.A. Timmerman-Buck bersama delegasi menyampaikan penilaian positif terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia, baik dari aspek politik maupun ekonomi. Hal tersebut dikemukakannya pada saat pertemuannya dengan Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Dirjen Amerop), Departemen Luar Negeri, Duta Besar Retno L.P. Marsudi, 3 Juni 2009. Dalam pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam tersebut, Dirjen Amerop menjelaskan mengenai peningkatan kerjasama dan hubungan baik kedua negara yang semakin meningkat pasca pengakuan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 oleh Pemerintah Belanda pada tahun 2005. Selain membahas hubungan bilateral, kedua pihak juga membahas isu-isu regional dan internasional seperti ICC (International Criminal Court), perkembangan ASEAN, isu Myanmar dan Korea Utara. Dalam pertemuan, Ketua Senat didampingi oleh Wakil Ketua Komite Senat Hubungan Luar Negeri, Pertahanan dan Kerjsasama Pembangunan, Pakar Pertahanan dalam Komite Senat Hubungan Luar Negeri, Pertahanan dan Kerjsasama Pembangunan, Wakil Sekretaris Jenderal Senat, dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia. Pertemuan Delegasi Senat Belanda dan Dirjen Amerop merupakan bagian dari rangkaian kunjungan ke Indonesia, 2-6 Juni 2009. Delegasi Belanda juga dijadwalkan melakukan kunjungan kehormatan ke Wakil Presiden RI dan melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua MPR, Panglima TNI dan Menteri Lingkungan Hidup. Pada saat kunjugan ini, Delegasi juga akan melakukan kunjungan ke Yogyakarta untuk meninjau sekolah dasar yang dibantu Pemerintah Belanda pasca benca gempa bumi dan melihat Candi Borobudur. Hubungan Indonesia dengan Belanda selama ini berjalan baik, beberapa bidang kerjasama bilateral yang menonjol antara lain adalah di bidang anti-terrorism, inter-faith dialogue dan demokrasi. Belanda merupakan salah satu negara pertama yang telah membantu pendirian Jakarta Law Enforcement Centre (JCLEC) dengan menyediakan dana sebesar Eur 10.3 juta. Pada tahun 2008, Indonesia dan Belanda telah melakukan kolaborasi kerjasama interfaith dialogue melalui pelaksanaan dialog di Belanda pada bulan Juni 2008. Sementara untuk bidang demokrasi, Belanda juga merupakan salah satu negara pertama yang menyampaikan dukungan untuk endowment Fund Bali Democracy Forum (BDF) sebesar Eur 2.5 juta. (Sumber: Dit. Eropa Barat)
15 JUNI - 14 JULI 2009
Diplomasi
apa kata
O
mereka
Masih Terfokus Pada Persoalan Makro
Melati
Mahasiswi Universitas Indonesia, Jakarta
Menurut pengamatan saya politik luar negeri Indonesia yang dijalankan selama ini hanya terfokus pada hal-hal yang besar saja, hal-hal kecil yang justru menjadi akar permasalahan terkadang justeru tidak tercover oleh pemerintah. Seperti misalnya masalah human trafficking, pemerintah hanya melihat penyimpangannya saja, tetapi tidak pada bagaimana hal itu bisa terjadi, sehingga kita bisa mencegahnya di kemudian hari. Demikian juga halnya dengan
masalah perbatasan, pemerintah hanya memfokuskan pada bagaimana penentuan garis batas itu, tanpa melihat bagaimana sebetulnya yang terjadi di lapangan, bagaimana kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat di perbatasan. Kita tahu bahwa sebenarnya penduduk yang tinggal di kawasan perbatasan itu ternyata adalah satu rumpun, satu kelompok masyarakat yang sudah hidup secara turun-temurun disitu. Oleh karena itu seharusnya diambil kebijakan yang mempertimbangkan hal tersebut. Bahwa garis perbatasan itu telah menjadi kesepakatan yang telah ditetapkan oleh kedua negara bertetangga, itu memang fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi, bagaimana kita kemudian membuat kebijakan
“Masyarakat asli di wilayah perbatasan yang selama ini dianggap polos dan tidak memerlukan apa-apa, sebenarnya sama saja seperti kitakita, yaitu bahwa ketika ada keuntungan, maka mereka akan berusaha mendapatkannya. Seperti misalnya untuk berobat dan sekolah, mereka memilih ke Malaysia, apalagi memang disana itu ada keluarga mereka.”
Jadi dalam masalah perbatasan ini kita jangan hanya melihatnya dengan kekhawatiran bahwa wilayah Indonesia akan berkurang dengan semakin lama patok perbatasannya semakin mundur ke wilayah Indonesia. Tetapi sebenarnya kita juga harus melihat, bahwa perhatian yang diberikan oleh pemerintah ternyata sedemikian kurangnya terhadap warga negaranya yang berada di perbatasan. Masyarakat asli di wilayah perbatasan yang selama ini dianggap polos dan tidak memerlukan apaapa, sebenarnya sama saja seperti kita-kita, yaitu bahwa ketika ada keuntungan, maka mereka akan berusaha mendapatkannya. Seperti misalnya untuk berobat dan sekolah, mereka memilih ke Malaysia, apalagi memang disana itu ada keluarga mereka. Jadi kalau seandainya pemerintah menginginkan wilayah perbatasan itu tetap ada dan menjadi bagian integral bagi Indonesia, kita bukannya melakukan kebijakan mempertahankan garis batas wilayah tersebut, tetapi bagaimana memberikan pelayanan kepada penduduk yang berada di wilayah perbatasan agar tetap nyaman menjadi warga negara Indonesia. Masalah lain yang timbul dari perbatasan ini adalah mengenai perebutan hak kekayaan intelektual dalam hal seni dan budaya. Hal ini memang menjadi cukup rumit, karena kita ini sebenarnya satu rumpun dan
Yunita Hapsari Mahasiswi Universitas Indonesia, Jakarta.
Warga Di Perbatasan Perlu Mendapat Perhatian Khusus Mengenai permasalahan perbatasan, saya fikir pemerintah perlu untuk memberikan perhatian khusus, terutama dalam hal aktivas lintas batas yang dilakukan oleh masyarakat asli yang tinggal di wilayah perbatasan. Mereka itu perlu mendapatkan previlage khusus untuk melakukan lintas batas perbatasan, karena memang dari kulturnya, mereka tidak bisa digariskan dan dibagi begitu saja oleh batas negara. Karena yang sebenarnya terjadi adalah begitu cairnya identitas masyarakat asli yang tinggal di perbatasan, mereka tidak begitu peduli dengan perbatasan yang memisahkan antara dua negara, bagi mereka itu hanyalah sebuah garis imagine saja. Seperti misalnya orang-orang Dayak yang menjadi warga negara Indonesia, ketika mereka sakit mereka memilih berobat ke Malaysia, karena biayanya jauh lebih murah.
15 JUNI - 14 JULI 2009
P
I
N
I
23
yang bisa tetap mengakomodasikan kepentingan penduduk di wilayah perbatasan sebagai suatu kelompok sosial yang telah hidup bersama selama ratusan tahun. Bagaimana kita membuat kebijakan kerjasama dengan negara tetangga agar tidak terjadi perbedaan atau pembatasan yang nyata antara penduduk perbatasan yang berada dalam wilayah teritorial Indonesia dengan penduduk yang berada dalam wilayah teritorial negara tetangga, karena faktanya sekarang ini terjadi ketimpangan yang sangat mencolok diantara mereka. Dan kemudian yang juga cukup penting menurut saya, adalah bagaimana Departemen Luar Negeri (Deplu) melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebijakan politik luar negeri yang diambil, sehingga masyarakat bisa mengetahui dan memahami sepenuhnya kebijakan tersebut beserta implikasinya. Dengan begitu kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak hanya menjadi milik Deplu saja, melainkan menjadi milik kita bersama sebagai bangsa Indonesia.[]
mempunyai seni dan budaya yang memang bisa dikatakan hampir mirip atau memang sama. Karena itu masalah gembar-gembor perebutan hak kekayaan intelektual budaya ini menurut saya berlebihan. Seperti misalnya kesenian reog yang oleh pemerintah Indonesia tidak ada upaya untuk melestarikan apalagi mengembangkannya sebagai asset budaya bangsa, sehingga oleh Malaysia direkonstruksi kembali. Setelah kesenian tersebut ditampilkan dan dikembangkan oleh Malaysia, barulah kita gembar-gembor dan menyatakan bahwa itu adalah milik kita, lalu selama ini kita kemana ?. Kalau kita memang tidak ingin itu diakui oleh negara lain, maka sepatutnya kita memberikan perhatian terhadap pengembangan seni dan budaya yang kita miliki. Jadi seperti Indonesia sendiri, seolah-olah ingin menampilkan suatu identitas yang dominan diantara negara-negara Asia Tenggara, sementara faktanya negara-negara di Asia Tenggara itu multikultural. Dalam teori modernisasi, kalau tidak salah disebutkan, bahwa jika ingin dilihat sebagai negara yang modern, skema kuncinya adalah dengan menjunjung demokrasi. Dan demokrasi bisa terpenuhi jika ada universalitas budaya atau pola pikir, jadi harus ada hal yang sama didalam satu negara.[]
No. 19, Tahun II
Diplomasi No. 18, Tahun II, Tgl. 15 Mei - 14 Juni 2009
http://www.diplomasionline.net
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Foto: DIT-NFOMED
Peletakan Batu Pertama Tandai Pembangunan Kembali Bengkulu Islamic Center
Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Imron Cotan, didampingi Bupati Bengkulu Utara (kanan berpeci) meletakkan batu pertama pembangunan kembali gedung Bengkulu Islamic Center di Arga Makmur, Bengkulu Utara, Kamis (04/06).
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.deplu.go.id
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Imron Cotan, meletakkan batu pertama pembangunan kembali gedung Bengkulu Islamic Center di Arga Makmur, Bengkulu Utara, Kamis (04/06). Pembangunan dilakukan di bekas lokasi gedung Islamic Center yang sudah diratakan sejak Desember 2008. Acara peletakkan batu pertama tersebut dihadiri oleh Bupati Bengkulu Utara beserta seluruh jajarannya, termasuk anak didik, tokoh-tokoh masyarakat serta tokoh adat yang bersuka cita karena dalam waktu dekat akan memperoleh gedung baru. Bupati Bengkulu Utara, Imron Rosyadi menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang mendalam kepada Menlu atas terwujudnya pembangunan kembali gedung dimaksud serta mengharapkan kiranya dukungan dan bantuan Deplu kepada rakyat di Bengkulu Utara bisa terus terjalin, tidak hanya sebatas dalam bingkai bencana alam. Pembangunan gedung Islamic Center ini diharapkan dapat diserahterimakan sekitar bulan September 2009. Selain bermanfaat bagi sarana pendidikan, gedung ini juga dapat digunakan untuk kegiatan keagamaan lainnya karena ditunjang adanya fasilitas aula gedung yang mampu menampung sekitar dua ratus orang. Sekjen Imron Cotan didampingi Bupati dan Ketua Islamic Center, secara bergantian meletakkan batu pertama di lokasi pembangunan gedung dengan disaksikan oleh lebih 200-an undangan termasuk jurnalis lokal. Hingga saat ini Deplu telah melakukan pembangunan 11 SD dan sebuah SMP di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sementara di NAD, Deplu telah membangun 45 rumah tipe 45 di Pidie dan 115 rumah di Blang Pidie serta 2 asrama madrasah di Leung Bata dan Bakoy (NAD). Politeknik Indonesia-Venezuela yang dibangun di Banda Aceh (NAD) pun akan segera diresmikan penggunaannya dalam waktu dekat. Selain itu Deplu juga telah membangun 2 SD di Solok dan Padang Panjang (Sumatera Barat); sebuah SMK di Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Pada bulan Januari 2009 lalu, 2 sekolah terpadu (SD, SMP dan SMK) di Nias dan Nias Selatan juga telah diresmikan. Tak hanya bantuan dalam bidang akademis, Deplu pun telah memberikan bantuan berupa 40 kapal nelayan beserta kelengkapannya, pembangunan tempat pelelangan ikan dan kantor koperasi nelayan di Ciamis (Jawa Barat). (DJ/ SS)
Direktorat Diplomasi Publik Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094