STUDI KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DAN PROSPEK PASAR LEMPUYANG WANGI (Zingiber aromaticum Val) OLEH LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN DESA NGLIRON DI BKPH NGLIRON KPH RANDUBLATUNG
HANDOKO AGUNG PRABOWO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
STUDI KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DAN PROSPEK PASAR LEMPUYANG WANGI (Zingiber aromaticum Val) OLEH LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN DESA NGLIRON DI BKPH NGLIRON KPH RANDUBLATUNG
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
HANDOKO AGUNG PRABOWO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN HANDOKO AGUNG PRABOWO. Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung. Dibimbing oleh HARDJANTO dan CORRYANTI. Prospek kegiatan pembudidayaan tanaman obat menunjukkan tren positif. Hal tersebut ditandai oleh tingginya permintaan tanaman obat baik dalam dan luar negeri, sedangkan suplai tanaman obat masih rendah. Menurut Balitbang Pertanian (2007), 85% pasokan bahan baku untuk 1.023 industri jamu berasal dari upaya eksploitasi dari dalam hutan dan tanpa kegiatan budidaya. Di masa mendatang, kegiatan budidaya merupakan tahap penting untuk mencegah kepunahan pada beberapa jenis tanaman obat. Salah satu jenis tanaman obat yang perlu dibudidayakan adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val). Lempuyang wangi dengan kualitas bagus dapat ditemukan di Desa Ngliron, Blora. Di Desa Ngliron, lempuyang wangi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa di luar kegiatan pertanian. Selama ini, masyarakat Desa Ngliron memanfaatkan lempuyang dengan mengambil langsung lempuyang wangi dari dalam hutan dan tanpa meninggalkan sedikit rimpangpun. Akibatnya, pada tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah lempuyang wangi yang dipanen. Untuk memulai kegiatan budidaya, perlu dilakukan suatu studi kelayakan usaha. Studi kelayakan yang dikaji dalam penelitian ini bertujuan menganalisis prospek dan tingkat kelayakan usaha kegiatan budidaya lempuyang wangi di Desa Ngliron. Ruang lingkup penelitian mencakup aspek pasar, teknis dan teknologis, manajemen dan organisasi, finansial, serta dampak usaha. Berdasarkan analisis pasar, harga simplisia lempuyang wangi pada tahun pertama sebesar Rp 9000/kg dan akan meningkat 5% tiap tahunnya. Berdasarkan analisis teknis dan teknologis, lokasi budidaya terletak di hutan sekitar Desa Ngliron yang menjadi area kelola BKPH Ngliron KPH Randublatung. Area budidaya seluas 6 ha akan menghasilkan produksi 9,2 ton simplisia per tahun. Berdasarkan analisis manajemen dan organisasi, budidaya ini dikelola oleh 52 orang yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Ngliron. Berdasarkan aspek lingkungan, kegiatan budidaya ini layak dijalankan. Berdasarkan analisis finansial, total biaya investasi mencapai Rp 28.200.000,00, biaya investasi ini diperoleh dari dana sharing Perhutani kepada LMDH Desa Ngliron. Analisis NPV menunjukkan nilai Rp 4.725.383,00, IRR 16,15%, BCR 1,17, dan PBP selama 6,05 tahun. Berdasarkan analisis sensitivitas, kegiatan budidaya ini peka terhadap perubahan kenaikan sharing dengan petani menjadi 78% dan penurunan volume produksi sebesar 5% tiap tahunnya. Analisis kriteria kelayakan menunjukkan kegiatan budidaya di Desa Ngliron ini layak dijalankan.
SUMMARY HANDOKO AGUNG PRABOWO. Feasibility Study of Cultivation and Market Prospects Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) by the Institute of Forest Village Community Ngliron Village in BKPH Ngliron KPH Randublatung. Supervised by HARDJANTO and CORRYANTI. Prospects of cultivation medicinal plants showed positive trends. It is characterized by high demand for medicinal plants both domestic and international, while the supply of medicinal plants is still low. According to Agricultural Research and Development (2007), 85% of raw material supply to 1.023 medicine industries derived from exploitation the forest and without any cultivation. In the future, cultivation is important step to prevent the extinction of some medicinal plants. One type of medicinal plants to cultivated is lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val). Lempuyang wangi with good quality can be found at Ngliron, Blora. At place, it can to increase income of Ngliron’s society beside agricultural activities. During this time, Ngliron’s society take lempuyang wangi from the forest and without leaving of rhizome. As a result, the next year decreased in the total of harvested lempuyang wangi. To start activity of cultivation, require to be a feasibility study. The feasibility study which examined in this research aims to analyze prospects and feasibility level of cultivation lempuyang wangi in Ngliron. Scope of this research includes aspects of market research, technical and technological, management and organization, financial, and business impact. Based on market analysis, the price of dry lempuyang wangi at the first years is Rp 9.000/kg and will be increasing 5% each years. Based on technical and technological analysis, cultivation areas located in the forest around the village Ngliron the governance area BKPH Ngliron KPH Randublatung. Cultivation area of 6 ha produce 9,2 tons/year of dry lempuyang wangi. Based on management and organization analysis, this cultivation managed by 52 people who joined in the Forest Village Community Institution of Ngliron Village. Based on the environmental aspects, lempuyang wangi cultivation is worth running. Based on financial analysis, the total investment cost reaches is Rp 28.200.000,00, it derived from Perhutani’s sharing funds to LMDH of Ngliron Village. The analysis shows the value is NPV : Rp 4.725.383,00, IRR : 16,15%, BCR : 1,17, and PBP : during 6,05 years. Based on the sensitivity analysis, cultivation is sensitive to changes in sharing with farmers increase to 78% and a decrease in production volumes by 5% each year. Analysis of the eligibility criteria indicated Ngliron cultivation in the Village is worth running.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian daftar pustaka skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Handoko Agung Prabowo
Judul Skripsi : Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung Nama
: Handoko Agung Prabowo
NRP
: E14062404
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS NIP. 19550606 198103 1 008
Dr. Corryanti NIP. 19600103 198603 2 004
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan selama bulan Juni tahun 2010 ini adalah studi kelayakan usaha dengan judul Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani atas sarana prasarana yang disediakan dan dana penelitian yang diberikan serta Fakultas Kehutanan IPB atas segala bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Ucapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada : 1.
Kedua orang tua, Bapak Suwito dan Ibu Suharti, atas segala dukungan, bimbingan, serta do’a yang tak pernah henti diberikan kepada penulis.
2.
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Dr. Corryanti atas segala bimbingan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3.
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Hasil Hutan, Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku dosen penguji perwakilan Departemen Silvikultur yang telah memberikan masukan dan arahan selama ujian komprehensif.
4.
Yeni Ernaningsih, S.Hut yang telah membimbing di lapangan serta segenap pengelola BKPH Ngliron KPH Randublatung dan LMDH Desa Ngliron bersama dengan masyarakatnya yang telah membantu pengumpulan data dan informasi di lokasi penelitian.
5.
Staf pengajar beserta tenaga teknis Departemen Manajemen Hutan pada khususnya dan staf pengajar beserta tenaga teknis di Fakultas Kehutanan IPB pada umumnya atas segala bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
6.
Kedua kakak, Mbak Rini Handayani dan Mas Ari Wibowo atas segala dukungan, bimbingan, serta do’a yang tak pernah henti kepada penulis.
ii
7.
Rekan-rekan satu bimbingan, Afriyani Selisiyah, Ayu Purwaningtyas, dan Dwi Apriyanto atas semangat yang telah diberikan kepada penulis.
8.
Rekan-rekan Manajemen Hutan angkatan 43 pada khususnya dan rekan-rekan Fakultas Kehutanan angkatan 43 pada umumnya atas semangat yang telah diberikan kepada penulis.
9.
Mas Dani, Mas Nono, Nasrudin, Irfan, Gonggo, Arif, Tresna, dan rekan-rekan Castile D’Al-Fath 12 lainnya atas dukungan dan semangat yang tak pernah henti diberikan kepada penulis.
10. Anggita Isnipa Ika Seprina atas semangat dan dukungan yang tak pernah henti diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terutama Perum Perhutani dan masyarakat Desa Ngliron dalam mengelola potensi tanaman obat lempuyang wangi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Desember 1987 sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Suwito dan Ibu Suharti. Penulis merupakan anak ke-3 dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di SD 7 Cepu (1994-2000). Penulis menyelesaikan tingkat pendidikan lanjutan di SMP 5 Cepu (2000-2003) dan SMA 1 Randublatung (2003-2006). Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis bergabung dalam bagian Kebijakan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Sancang-Kamojang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Sukabumi) dan KPH Cianjur pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang di PT Korintiga Hutani, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis melakukan penelitian di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dengan judul penelitian Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung.
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...............................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan ............................................................................................. 1.4 Manfaat ........................................................................................... 1.5 Keluaran yang Diharapkan.............................................................. 1.6 Ruang Lingkup ................................................................................
1 3 4 4 4 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) ........................... 2.2 Hutan Jati dan Sumber Kekayaan Alamnya ................................. 2.3 Pemanfaatan Tanaman Obat di Bawah Tegakan .......................... 2.4 Prospek Pasar Tanaman Obat ....................................................... 2.5 Analisis Kelayakan Usaha ............................................................ 2.6 Aspek Pasar dan Pemasaran.......................................................... 2.7 Agroforestri ................................................................................... 2.8 Bentuk Kerjasama Perum Perhutani dengan Masyarakat ............. 2.9 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) ................................. 2.10 Penelitian Terdahulu .....................................................................
5 6 7 8 10 11 12 13 14 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................... 3.3 Data ................................................................................................. 3.4 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 3.5 Analisis Data ................................................................................... 3.6 Aliran Kas Proyek (Cash Flow) ...................................................... 3.7 Asumsi ............................................................................................
16 16 16 17 18 21 22
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Geografi, Luas Wilayah, dan Kependudukan ................................. 4.2 Potensi Hasil Hutan dan Pertanian .................................................. 4.3 Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron ............................
23 23 24
v
4.4 Deskripsi Proyek Budidaya Tanaman Obat Lempuyang ................
25
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kelayakan Usaha Budidaya Tanaman Obat Lempuyang................ 5.2 Prospek Pasar Tanaman Obat Lempuyang ..................................... 5.3 Kontribusi Budidaya Tanaman Obat Terhadap Pengelolaan Hutan
26 37 41
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 6.2 Saran................................................................................................
43 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
44
LAMPIRAN ...............................................................................................
47
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Penggunaan Lahan di Desa Ngliron pada Tahun 2009 ..........................
23
2. Komposisi Biaya Investasi .....................................................................
30
3. Prakiraan Penerimaan .............................................................................
31
4. Hasil Analisis Kelayakan Investasi Usaha Budidaya Lempuyang pada Tingkat Suku Bunga 13%.......................................................................
31
5. Hasil Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Lempuyang pada Tingkat Suku Bunga 13% ....................................................................................
34
6. Kebutuhan tenaga kerja ..........................................................................
35
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman Lempuyang Wangi (Anonim 2009)........................................
6
2. Kerangka Pemikiran Penelitian ..............................................................
17
3. Jalur Proses Pembuatan Simplisia Lempuyang ....................................
27
4. Pengeringan Lempuyang ......................................................................
28
5. Struktur Organisasi Fungsional Kegiatan Usaha Budidaya Lempuyang oleh LMDH Desa Ngliron ......................................................................
34
6. Jalur Distribusi Lempuyang di Desa Ngliron .......................................
40
7. Jalur Distribusi Baru Lempuyang...........................................................
41
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Perincian Kebutuhan Investasi ...........................................................
48
2.
Perincian Biaya Operasional ..............................................................
48
3.
Penghitungan Aliran Kas dan Kriteria Kelayakan Investasi ..............
49
4.
Perincian Kebutuhan Investasi Ketika Produksi Turun 5% ...............
50
5.
Perincian Biaya Operasional Ketika Produksi Turun 5% ..................
50
6.
Penghitungan Aliran Kas dan kriteria kelayakan investasi ketika Produksi Turun 5% ............................................................................
51
7. 8.
Perincian Kebutuhan Investasi Ketika Alokasi Kepada Petani Sebesar 78% ....................................................................................... Perincian Biaya Operasional Ketika Alokasi Kepada Petani Sebesar 78% ....................................................................................................
9. Penghitungan Aliran Kas dan Kriteria Kelayakan Investasi Ketika 8. Alokasi Kepada Petani Sebesar 78%....................................................
52 52 53
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini hasil hutan identik dengan kayu, padahal kayu merupakan sebagian dari sumber daya hutan yang sudah termanfaatkan. Hasil hutan lainnya adalah hasil hutan bukan kayu yang masih sangat melimpah jenisnya baik satwa maupun tumbuhan di bawah tegakan. Tumbuhan di bawah tegakan sangat beraneka ragam jenisnya, di antara jenis-jenis yang telah teridentifikasi diketahui manfaatnya adalah tanaman obat. Oleh sebab itu, hutan harus bisa dioptimalkan manfaatnya sebagai sistem penyangga kehidupan (life support system). Tanaman obat secara sederhana dapat bermakna tanaman yang berfungsi sebagai obat. Sudah sejak lama, tanaman obat digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai alternatif bahan yang dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Secara turun-temurun juga, penggunaan tanaman obat diturunkan dari generasi ke generasi. Jenis tanaman obat di hutan sangat banyak dan setiap daerah mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda dalam memanfaatkannya. Tanaman obat tumbuh melimpah secara alami di bawah tegakan jati, terutama untuk kelas umur tua. Hal ini dikarenakan tanaman obat mampu tumbuh baik di bawah naungan (Ernaningsih 2004). Kondisi ini memberikan peluang bagi masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan ruang tumbuh di bawah tegakan jati (atau lainnya) dengan menanami jenis tanaman obat yang mempunyai pangsa pasar (market share) cukup tinggi. Pemanfaatan tanaman obat di bawah tegakan sangat prospektif untuk dikembangkan. Dari waktu ke waktu perkembangan akan kebutuhan tanaman obat guna memenuhi keinginan manusia terhadap obat alami semakin meningkat. Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat dan bahan baku obat konvensional impor yang nilainya mencapai US$ 160 juta per tahun, sehingga perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri dalam negeri (Balitbang Pertanian 2007). Sejak tahun 2000, konsumsi obat tradisional (jamu) meningkat rata-rata 5,4% per tahun. Pemanfaatan tumbuhan obat
2
tradisional di Indonesia akan terus meningkat, mengingat kuatnya budaya dan tradisi memakai jamu baik untuk maksud pengobatan, pemeliharaan kesehatan, menjaga kebugaran jasmani, dan mencegah penyakit maupun memulihkan kesehatan (Corinthian Infopharma Corpora dalam Bank Indonesia 2009). Sementara itu, kecenderungan masyarakat konsumen dunia menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan ”back to nature” menunjukkan pertumbuhan pesat, termasuk di Indonesia sendiri. Menurut Pusat Studi Biofarmaka-Bogor (2009), bahwa perkembangan industri obat herbal dan makanan sehat di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Selain itu, terdapat juga fakta bahwa supply tanaman obat di pasar yang masih rendah. Sebagai akibatnya, terjadilah ketimpangan antara demand dengan supply yang terjadi di pasar tanaman obat. Supply yang masih rendah ditambah dengan potensi luas lahan yang dimiliki menjadikan tanaman obat prospektif untuk dibudidayakan. Lempuyang merupakan salah satu jenis tanaman obat yang berpotensi untuk dibudidayakan. Lempuyang berkhasiat sebagai obat gatal, obat perut nyeri, obat borok, obat disentri, obat sesak nafas, obat wasir, obat cacing dan penambah nafsu makan. Kebutuhan lempuyang sendiri sangat besar, pada tahun 2008 kebutuhan lempuyang mencapai 9.882 ton. Akan tetapi, kebutuhan yang sangat besar tersebut tidak diimbangi dengan pasokan bahan baku yang hanya 5.773 ton (Pribadi 2009). Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar hutan mempunyai peluang mengembangkan tanaman obat yang cukup potensial. Luasnya area yang dikelola Perum Perhutani ditambah dengan banyaknya masyarakat yang menetap di sekitar hutan merupakan aspek potensial di dalam mengembangkan tanaman obat. Tanaman obat sangat mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan sisa area di bawah tegakan tanaman hutan. Sampai dengan bulan Desember 2006, area yang dikelola Perum Perhutani mencapai 2.426.206 ha dengan pembagian tiap unit pengelolaan untuk Unit I Jawa Tengah seluas 630.720 ha, Unit II Jawa Timur seluas 1.136.479 ha, dan Unit III Jawa Barat dan Banten seluas 659.007 ha.
3
Pengembangan tanaman obat di area hutan tanaman, akan menghasilkan keuntungan majemuk bagi Perum Perhutani, yaitu keberhasilan pengelolaan hutan tanaman melalui penyediaan sumber pendapatan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar hutan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar hutan. Untuk mencapai peningkatan pendapatan dari tanaman obat di bawah tegakan hutan, maka perlu dilakukan penelitian tentang kelayakan usaha budidaya serta prospek pasarnya.
1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Blora merupakan sentra tanaman obat lempuyang dengan kualitas yang baik, komoditi ini terutama dijumpai di Desa Ngliron Kecamatan Randublatung. Lempuyang merupakan salah satu dari sepuluh komoditi utama yang diperjualbelikan oleh pedagang pengepul di Randublatung. Sepuluh komoditi tersebut adalah lempuyang (basisnya ada di Randublatung), jati belanda, secang, sambiloto, ulet-ulet, kunci pepet, kunci sayur, temu lawak, temu ireng, dan kunir. Pada tahun 2009, harga lempuyang kering berkisar Rp 6000/kg. Namun pada tahun 2010, harga lempuyang kering di Desa Ngliron yang dibeli pedagang pengepul II mencapai Rp 9000/kg. Sudah sejak lama masyarakat di Desa Ngliron memanfaatkan lempuyang untuk menambah pendapatan mereka. Namun seiring berjalannya waktu, petani merasa kesulitan dalam memanfaatkan lempuyang ini. Setiap tahun, para petani harus mencari lempuyang hingga masuk jauh ke dalam hutan. Meskipun tenaga yang diperlukan untuk mendapatkan lempuyang sangat besar, namun hasil yang didapatkan sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Faktor utama semakin sulitnya mencari lempuyang adalah menurunnya sebaran serta jumlah lempuyang di dalam hutan. Dalam memanfaatkan lempuyang, masyarakat mengambil seluruh rimpangnya tanpa meninggalkan sedikit rimpangpun. Sehingga, saat panen tiba untuk tahun selanjutnya, lempuyang yang didapatkan dari dalam hutan semakin sulit. Dalam jangka panjang, eksploitasi yang berlebihan ini dapat mengakibatkan semakin menurunnya potensi lempuyang dari Desa Ngliron atau bahkan akan membuat lempuyang menjadi punah.
4
Melihat kondisi ini, maka perlu dilakukan upaya budidaya lempuyang oleh masyarakat Desa Ngliron agar jumlah lempuyang yang dimanfaatkan setiap tahunnya tidak semakin habis. Selain itu, dengan adanya kegiatan budidaya lempuyang ini, diharapkan pula potensi lempuyang dari Desa Ngliron dapat dioptimalkan sebaik mungkin.
1.3 Tujuan 1. Mengetahui kelayakan usaha budidaya lempuyang wangi di Desa Ngliron Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora, Jawa Tengah. 2. Mengkaji prospek pasar lempuyang wangi di Desa Ngliron Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
1.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak terkait dalam pelaksanaan kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.
1.5 Keluaran yang Diharapkan Prospek pasar lempuyang dan kelayakan usaha budidaya lempuyang bagi masyarakat sekitar hutan.
1.6 Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi analisis terhadap aspek-aspek produksi, pemasaran, dan kelayakan usaha tanaman obat di bawah tegakan. Aspek-aspek kelayakan tersebut meliputi : 1. Analisis terhadap aspek pemasaran lempuyang. 2. Analisis terhadap aspek teknis dan teknologis. 3. Analisis terhadap aspek manajemen dan organisasi. 4. Analisis terhadap aspek finansial di dalam pengembangan lempuyang. 5. Dampak usaha budidaya lempuyang.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) Nama lain dari lempuyang wangi adalah lempuyang rum. Dinamakan lempuyang wangi karena memang mempunyai bau yang lebih harum bila dibadingkan dengan jenis lempuyang lainnya. Lempuyang sendiri mempunyai tiga jenis berbeda, yakni lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val), lempuyang gajah (Zingiber zerumbet Linn), dan lempuyang emprit (Zingiber Americans Bl) (Kumalasari 2006). Menurut Anonim 2009, lempuyang wangi mempunyai banyak khasiat, diantaranya adalah 1. Menambah nafsu makan. 2. Mengobati batuk. 3. Mengobati sakit empedu. 4. Hepatitis. 5. Wasir. 6. Kurang darah. 7. Mengobati kaki bengkak setelah melahirkan. Bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah rimpangnya. Pada tumbuhan ini, banyak kandungan kimia di dalamnya dan yang sudah diketahui diantarnya adalah minyak atsiri, resin, pati, dan gula. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan bahwa lempuyang wangi memiliki sifat rasa pahit, wangi, mengaktifkan kelenjarkelenjar, dan anti inflamasi. Budidaya atau perbanyakan tanaman ini sangat mudah. Tanaman ini diperbanyak menggunakan rimpangnya, berat per bibit adalah 15 gram dan memiliki jarak tanam 50 cm x 30 cm (Indriyanto et al. 1991). Seperti halnya tanaman lain, lempuyang juga membutuhkan air dalam jumlah yang cukup dengan cara penyiraman atau dengan menjaga kelembaban tanahnya. Lempuyang akan semakin tumbuh subur bila dipupuk, terutama menggunakan pupuk dasar berupa kompos atau pupuk organik. Lempuyang sama halnya dengan temulawak, mengendaki tempat yang cukup matahari atau sedikit terlindung.
6
Gambar 1 Tanaman lempuyang wangi (Anonim 2009).
2.2 Hutan Jati dan Sumber Kekayaan Alamnya Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Meskipun mempunyai keanekaragaman hayati yang melimpah namun sebagian besar belum diketahui manfaatnya. Baru sekitar 600 jenis tumbuhan, 1000 jenis hewan, dan 100 jenis jasad renik yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah dan belum termanfaatkan secara optimal, mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai lahan pengembangan industri herbal medicine dan health food yang berorientasi ekspor. Kondisi lahan yang variatif tersedia mulai dari pantai sampai pegunungan dengan sebagian besar lahan yang ada belum termanfaatkan dengan baik (Pusat Studi Biofarmaka 2009). Salah satu formasi hutan yang memiliki sumber daya alam melimpah adalah hutan jati. Hutan jati memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Perum Perhutani sebagai pengelola lahan hutan negara di Pulau Jawa bersama masyarakat sekitar hutan dapat melakukan pengembangan tanaman obat di area hutan.
7
2.3 Pemanfaatan Tanaman Obat di Bawah Tegakan Hutan jati sebagai salah satu bentuk atau formasi hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tanaman obat
yang tinggi. Namun dalam
pemanfaatannya sangat tergantung dari pengetahuan masyarakat di sekitarnya. Ada beberapa jenis tanaman obat yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, baik untuk konsumsi keluarga maupun dijual. Tanaman obat tersebut dalam pemanfaatannya dapat berupa akar, batang, buah, maupun akar tinggalnya (Ernaningsih 2004). Tanaman obat merupakan salah satu kekayaan alam yang telah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Pemanfaatan tanaman obat untuk obat tradisional ini merupakan warisan budaya yang berakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Meskipun pemanfaatan tanaman obat untuk setiap suku atau daerah memiliki perbedaan, baik ditinjau dari segi spesies, jumlah spesies maupun komposisi ramuannya. Hal ini merupakan daya tarik pengembangan usaha pemanfaatan tanaman obat yang menguntungkan dari segi ekonomi karena adanya peluang diversifikasi produksi, namun juga menciptakan kondisi yang merangsang tingginya pemanfaatan tanaman obat dari alam dan sekaligus memperluas skala geografis permasalahan yang dihadapi dalam upaya pelestarian pemanfaatannya (Fakultas Kehutanan IPB dan LATIN 1994). Jenis-jenis tanaman dari hutan jati yang telah dikenal dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat menurut Poerwokoesoemo (1981) antara lain : 1.
Pule pandak/akar tikus (Rouvolfia serpentine Bentham ex Kurz). Akar pule pandak yang sangat pahit mengandung zat serpentin yaitu jenis racun seperti bisa ular, karena itu akarnya di kalangan kehutanan digunakan untuk obat sakit gigitan ular berbisa. Sekarang pule pandak sering digunakan untuk penyakit hipertensi.
2.
Lempuyang pait (Zingiber zerumbet Bl). Akarnya digunakan untuk obat dalam, sakit basau atau clerosis, untuk menambah nafsu makan, susah buang air besar, dan kejang.
3.
Kedawung (Parkia biglobosa Benth). Bijinya yang berbau seperti pete untuk campuran jamu sakit perut.
8
4.
Temu kunci (Kaempheria pandurata Roxb). Rimpangnya digunakan untuk bumbu masak dan untuk batuk kering, obat sariawan, sakit kencing pada anak-anak, kadas, dan panu.
5.
Temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb). Rimpangnya digunakan untuk jamu bersih darah.
6.
Temu giring (Curcuma heyneana Val).
7.
Temu lawak (Curcuma xanthorhiza Roxb).
8.
Temu putih (Curcuma zeodaria Rosc).
9.
Kunyit (Curcuma domestica Val). Rimpangnya digunakan untuk bumbu masak, pewarna makanan, obat sakit perut, masuk angin, dan diare.
10. Temu putri (Kaemferia galanga Linn). 11. Gadung (Dioscorea hispida Dennist). Umbinya digunakan untuk sakit lepra. 12. Pulai (Alstonia scholaris). Kulit batang dan akarnya digunakan untuk membersihkan darah, sakit malaria, kencing nanah, dan diabetes melitus. 13. Kacang-kacangan
(Clitoria
laurifolia).
Bijinya
digunakan
untuk
membersihkan darah. 14. Iles-iles (Amorphophallus variabilis BL). Umbinya menjadi komoditas ekspor.
2.4 Prospek Pasar Tanaman Obat Secara nasional, tanaman obat yang beraneka ragam jenis, habitus, ekologi, dan khasiatnya mempunyai peluang dan memberi kontribusi yang tidak ternilai bagi pembangunan dan pengembangan hutan tanaman di Indonesia.
Karakteristik
berbagai
tanaman
obat
yang
menunjang
pertumbuhannya untuk menghasilkan produk berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan dikembangkan bersama jenis-jenis dalam hutan tanaman di daerah tertentu. Bagaimanapun, hal ini tetap berlandas pada sosial budaya setempat yang mempengaruhi ekosistem pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dengan berperannya tanaman obat dalam hutan tanaman adalah : pendapatan, kesejahteraan, konservasi terhadap sumber daya, pendidikan non-formal,
9
keberlanjutan usaha, dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan sosial. Pemberdayaan aset hutan tanaman yang bijaksana dapat membantu program pembangunan hutan di berbagai daerah di Indonesia yang di dalamnya terkandung pula upaya menyehatkan sumber daya alam nasional (Dephut 2001). Kecenderungan masyarakat saat ini adalah ingin kembali ke alam (back to nature) menyebabkan banyak industri obat untuk memproduksi obat-obatan dengan bahan baku tradisional (jamu). Dengan meningkatnya produksi akan meningkatkan pula permintaan (demand) bahan bakunya yang berupa tanaman obat (Ernaningsih 2004). Di Indonesia, volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai US$ 150 juta, padahal sekitar 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai jamu. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta), justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya (Balitbang Pertanian 2007). Pengolahan dan diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia) mempunyai nilai tambah sebesar 7-15 kali, sedangkan pengolahan dari rimpang menjadi ekstrak memberikan nilai tambah sebesar 80-280 kali (Balitbang Pertanian 2007). Pasar tanaman obat (biofarmaka) merupakan keragaan supply dan demand dari bahan baku tanaman obat yang dibutuhkan oleh pabrik (industri) dibedakan atas rimpang dan simplisia. Demand dan kebutuhan akan jenis biofarmaka yang diperlukan oleh industri obat tradisional baik IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) maupun IOT (Industri Obat Tradisional) sangat variatif. Hampir semua jenis biofarmaka dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan obat tradisional/jamu oleh berbagai industri obat tradisional Indonesia. Namun, ada beberapa jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan industri obat tradisional dalam jumlah besar, antara lain adalah jahe (Zingiber officinale Roxb) sebesar 5.000 ton/tahun, kapulaga (Ammomum cardomamum Auct) 3.000 ton/tahun, temu lawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) 3.000
10
ton/tahun, adas (Foeniculum vulgare Mill) 2.000 ton/tahun, kencur (Kaemferia galanga Linn) 2.000 ton kering/tahun, kunyit (Curcuma domestica Val) 3.000 ton kering/tahun dan 1.500 ton basah/tahun (Pusat Studi Biofarmaka 2009). Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa agribisnis biofarmaka tidak berkembang dengan baik dan merata di seluruh Indonesia karena petani dan para pelaku usaha kurang memahami kebutuhan pasar domestik dan ekspor yang menginginkan produk siap pakai yang telah diolah. Kurangnya pemahaman tersebut karena menjual biofarmaka memang tidak semudah menjual tanaman hortikultura lainnya seperti sayur-sayuran atau buah-buahan. Di samping itu, keengganan petani untuk mengusahakan biofarmaka karena permintaannya yang belum sebanyak komoditas sayur-sayuran ataupun buah-buahan dan diantara ratusan jenis yang diperlukan industri obat tradisional hanya sedikit tanaman yang biasa dibudidayakan petani, seperti kencur di Nogosari dan jahe emprit di Ampel-Boyolali (Pusat Studi Biofarmaka 2009). Dalam pemasaran tanaman obat dari masyarakat sekitar hutan hingga ke pengguna (industri) melalui beberapa macam pola distribusi yang melibatkan masyarakat sebagai produsen, pedagang pengepul, pedagang besar, dan industri (Ernaningsih 2004) 2.5 Analisis Kelayakan Usaha Menurut Husnan dan Muhammad (2000), analisis kelayakan usaha adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu usaha dilaksanakan dengan berhasil. Pada umumnya, suatu studi kelayakan usaha akan menyangkut tiga aspek, yaitu : 1. Manfaat ekonomis usaha terhadap industri/institusi yang menjalankan usaha itu. 2. Manfaat ekonomi bagi negara tempat usaha itu dijalankan. 3. Manfaat sosial bagi masyarakat sekitar. Tujuan dilakukannya analisis kelayakan usaha adalah untuk menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar terhadap kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan. Penilaian terhadap keadaan dan prospek suatu usaha, dilakukan atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Kriteria-kriteria ini bisa
11
hanya dengan memperhatikan manfaat usaha bagi perusahaan, bisa pula dengan mempertimbangkan aspek yang lebih luas, yaitu manfaat bagi negara dan masyarakat luas. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas studi kelayakan usaha, diantaranya adalah : 1. Besarnya dana yang ditanam. 2. Tingkat ketidakpastian proyek. 3. Kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi suatu usaha.
2.6 Aspek Pasar dan Pemasaran Soeharto (2002), memberikan sistematika proses pengkajian pasar yang meliputi
berturut-turut
adalah
penilaian
situasi,
menyusun
strategi
pengumpulan data dan informasi serta analisis dan peramalan. Lingkup menyusun strategi termasuk mendefinisikan masalah yang akan dikaji. Dalam hal ini, agar pengkajian aspek pasar dapat efektif harus dilakukan penjadwalan yang tepat, memilih metode yang dapat memberikan hasil yang akurat, dan memiliki relevansi erat dengan subyek yang dikaji. Ditambahkan oleh Soeharto (2002), meskipun aspek pasar secara keseluruhan mencakup lingkup yang amat luas, tetapi untuk studi kelayakan suatu usulan usaha dengan tujuan menghasilkan produk tertentu umumnya membatasi penekanan kepada analisa masalah-masalah berikut : 1. Perkiraan penawaran (supply) dan permintaan (demand), yang meliputi perincian permintaan, permintaan saat ini dan yang akan datang, penawaran, konsumen, kebijakan, peraturan, dan perencanaan pemerintah. 2. Pangsa pasar dan persaingan, yang meliputi pangsa pasar, persaingan dan harga. 3. Strategi pemasaran,yang meliputi promosi dan distribusi. Sutojo (2002) menyatakan bahwa dalam mengkaji aspek pasar dan pemasaran hal yang perlu diperhatikan adalah kedudukan produk dalam pasar saat ini, komposisi dan perkembangan permintaan produk di masa lalu dan sekarang, proyeksi permintaan di masa yang akan datang, kemungkinan adanya persaingan dan peranan pemerintah dalam menunjang perkembangan produk dan pemasaran.
12
2.7 Agroforestri Dalam bahasa Indonesia, Agroforestry lebih dikenal dengan istilah Agroforestri atau Wanatani. Menurut Friday et al. (2000), dalam pengertian sederhana agroforestri adalah membudidayakan pepohonan pada lahan pertanian. Ada dua macam agroforestri, yakni sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. 1. Sistem Agroforestri Sederhana merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan beberapa jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang biasa ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi atau rendah. Bernilai ekonomi tinggi seperti : kelapa, jati, karet, cengkeh, dll. Bernilai ekonomi rendah seperti : dadap, lamtoro, kaliandra, dll. Tanaman-tanaman ini biasanya dipadukan dengan tanaman semusim seperti padi, jagung, palawija, sayur
mayur,
rerumputan, dll. 2. Sistem Agroforestri Kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Sistem ini mencakup sejumlah besar komponen pepohonan, perdu, tanaman semusim dan atau rumput. Penampakan fisik dan keadaan didalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistem agroforestri ini dibedakan atas pekarangan berbasis pepohonan dan agroforest komplek. a. Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0,1-0,3 ha, dengan demikian sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh : kebun talun, karang kitri, dsb. b. Agroforest Komplek, hutan masif yang merupakan gabungan dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, yang letaknya jauh dari tempat tinggal dan biasanya dikelola secara intensif. Contoh agroforest karet, agroforest damar, dsb. Pertimbangan jenis tanaman yang akan ditanam didasarkan pada : 1. Kondisi iklim dan tanah setempat. 2. Kebutuhan untuk pasar dan untuk sendiri. 3. Sistem pemilikan lahan.
13
4. Ketersediaan tenaga. 5. Ketersediaan kredit untuk modal, pupuk, bahan tanam, dan masukan lainnya. 6. Pelayanan penyuluhan. 2.8 Bentuk Kerjasama Perum Perhutani dengan Masyarakat Perhutani di dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan, selalu berusaha mengajak masyarakat untuk berpartisipasi pula di dalam kegiatan tersebut. Bentuk kerjasama yang terjalin antara Perhutani dengan masyarakat, yakni : 1. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan
atau para pihak
yang
berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan meningkatkan potensi sumber daya manusia yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ini dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. Tujuan dari kegiatan PHBM sendiri adalah untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat sekitar hutan, dan semua stakeholder terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan. 2. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Untuk membantu meningkatkan kemandirian dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat
sekitar
hutan,
Perum
Perhutani
melalui
pengembangan usaha produktif dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) juga memberikan bantuan pinjaman lunak kepada masyarakat yang dikenal dengan dana PKBL (Progam Kemitraan & Bina Lingkungan). Dengan bantuan yang diberikan ini diharapkan dapat mengembangkan usaha produktif yang dirintis oleh masyarakat dan lebih jauh diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan.Tujuan akhir dari PKBL ini sebenarnya
14
adalah untuk dapat menjamin keberlangsungan pengelolaan kawasan hutan menuju kelestarian.
2.9 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Masyarakat (community) mempunyai arti sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Sedangkan menurut tipologi, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan. Guna mengatur interaksi yang terjadi di dalam masyarakat desa hutan, biasanya mereka membentuk lembaga. Melalui lembaga ini, diharapkan dapat dijadikan wadah bagi sekumpulan yang berinisiatif untuk memenuhi kebutuhan bersama dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga yang menaungi masyarakat desa hutan biasa disebut dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan atau LMDH. Lembaga masyarakat desa hutan adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya (Awang et al. 2008).
2.10 Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai kelayakan pengusahaan tanaman obat : 1. Plasmanutfah tumbuhan obat Indonesia yang berlimpah merupakan aset nasional bernilai tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedicine. Aset ini perlu dikelola dengan bijaksana secara lestari untuk menghindari kelangkaan atau kepunahan suatu spesies tumbuhan obat. Permintaan yang tinggi akan obat alami di dalam maupun di luar negeri merupakan peluang besar
yang menggiurkan namun harus tetap
memperhatikan dan memprioritaskan penyediaan bahan obat alami yang
15
berkualitas, aman, dan bermanfaat. Menghadapi era pasar bebas dan persaingan global, kemampuan ekspor berbagai komoditas tumbuhan obat akan menghadapi persaingan yang lebih ketat (Dorly 2005). 2. Agrobisnis dan Agroindustri berbasis tanaman obat mempunyai prospek ke depan yang bagus sebagai sumber pendapatan pembangunan. Selain trend back to nature yang saat ini mengemuka juga karena keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Namun demikian pengembangan tanaman obat ini memerlukan daya dukung teknologi, infrastruktur dan kelembagaan serta dukungan politik dari pemerintah (Nurkhazanah 2006).
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mengenai Studi Kelayakan Usaha Budidaya dan Prospek Pasar Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val) oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron di BKPH Ngliron KPH Randublatung ini dilaksanakan selama bulan Juni tahun 2010, bertempat di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung.
3.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan usaha budidaya lempuyang harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisa pemasaran, analisa ketersediaan bahan baku, analisa teknis dan teknologis, analisa manajemen dan organisasi, analisa dampak usaha, serta analisa finansial. Hasil dari analisa tersebut dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan dan kendala-kendala yang mungkin ada, sehingga dapat disusun rekomendasi pengembangannya. Teknik yang dilakukan untuk pengembangan industri ini adalah mengumpulkan data yang dibutuhkan, baik data primer atau sekunder. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dihitung perincian biaya investasi. Sebelum perincian biaya, terlebih dahulu ditentukan asumsi. Asumsi-asumsi finansial yang digunakan antara lain umur proyek, biaya-biaya operasional, kapasitas produksi, jumlah produk yang terjual, dan sebagainya. Diagram kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.3 Data 1. Hasil wawancara dengan responden (pelaku pasar tanaman obat) di Desa Ngliron. 2. Studi literatur melalui buku dan media internet.
17
Masyarakat Desa Hutan di Ngliron
LMDH Desa Ngliron
Rencana Pengembangan Usaha Budidaya Lempuyang
Studi Kelayakan Usaha
Aspek Non-Finansial
Aspek Finansial
1. Aspek Pasar 2. Aspek Teknis 3. Aspek Manajemen dan Organisasi 4. Dampak Usaha Budidaya Lempuyang
1. 2. 3. 4.
NPV BCR IRR PBP
Tidak Layak
Re-evaluasi
Layak
Implementasi
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data Metode yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi berkaitan dengan prospek pasar serta kelayakan usaha budidaya lempuyang adalah dengan survei, sedangkan dalam pengambilan responden menggunakan metode snowball sampling atau penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya. Responden pertama ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu responden diambil dengan maksud atau tujuan tertentu, seseorang atau sesuatu diambil sebagai responden karena
18
peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Responden terdiri dari pelaku pasar tanaman obat di Desa Ngliron, yaitu petani, pedagang pengepul, dan anggota LMDH. Pengumpulan data dan informasi mengikuti tahapan berikut : a. Melakukan wawancara kepada sejumlah responden, wawancara diperlukan untuk menggali informasi permintaan pasar terhadap suatu jenis tanaman obat, harga, dan pola distribusi. Responden dibedakan berdasarkan perannya yaitu terdiri dari : 1) Masyarakat pengambil tanaman obat di bawah tegakan. 2) Pedagang pengepul I: pedagang yang membeli tanaman obat dari masyarakat, menjualnya kepada pedagang pengepul II dan tidak mempunyai hubungan kedekatan dengan industri. 3) Pedagang pengepul II: pedagang yang membeli tanaman obat dari pedagang pengepul I, menjualnya kepada pedagang besar dan tidak mempunyai hubungan kedekatan dengan industri. 4) Lembaga Masyarakat Desa Hutan. b. Wawancara dimulai dari masyarakat yang telah memanfaatkan tanaman obat di bawah tegakan hutan.
Informasi dari masyarakat tersebut akan
menentukan responden selanjutnya. c. Informasi yang diperoleh dari wawancara dianalisis untuk mengetahui supply-demand, harga di setiap pelaku pasar dan pola distribusi dalam pemasaran tanaman obat.
E. Analisis Data Kegiatan yang dilakukan adalah analisis terhadap data primer maupun sekunder yang didapatkan untuk studi kelayakan pengembangan tanaman obat . 1. Analisis Pemasaran Pada analisis pemasaran, aspek yang dikaji adalah mengetahui bentuk dan prospek pasar, proyeksi permintaan dan penawaran, pangsa pasar yang mungkin diraih, dan strategi pemasaran untuk mencapai pangsa pasar tersebut. Semua aspek tersebut diukur dengan menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan sumber data yang diperoleh.
19
2. Analisis Kelayakan Usaha, Meliputi: Aspek Teknis dan Teknologi, Dampak Kegiatan Usaha, dan Finansial. Aspek teknis dan teknologi meliputi penentuan kapasitas produksi dan lokasi serta pemilihan teknologi proses dan peralatan. Tujuan analisis dampak kegiatan usaha adalah untuk mengetahui sejauh mana kegiatan usaha ini memberikan dampak kepada lingkungan, kepada masyarakat, dan negara. Pengkajian dampak kegiatan usaha ini sangat penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi ketika kegiatan usaha tersebut sedang berjalan, perubahan tersebut bisa bersifat negatif maupun positif. Analisis aspek finansial diperlukan untuk mengkaji jumlah dana yang dibutuhkan dalam mendirikan suatu usaha dan menjalankannya. Pada aspek finansial dilakukan evaluasi terhadap kriteria investasi. Menurut umar (2003). Kriteria investasi yang dibutuhkan adalah Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, dan Pay Back Period. a. Net Present Value (NPV) Metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih. Formulanya adalah sebagai berikut : n Bt - Ct NPV = ∑ t = 0 (1 + i) t
Dimana :
NPV = Net Present Value Bt
= Keuntungan pada tahun ke-t
Ct
= Biaya pada tahun ke-t
n
= Umur ekonomis dari suatu proyek
i
= Suku bunga yang berlaku
Apabila NPV ≥ 0, maka proyek dinilai menguntungkan untuk dijalankan. Namun bila NPV ≤ 0, maka proyek dinilai tidak menguntungkan untuk dijalankan. b. Internal Rate of Return (IRR) Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di
20
masa-masa mendatang. Menurut Kadariah et al. (1999), IRR adalah nilai faktor diskonto (i) yang membuat NPV sama dengan nol. Pendekatan untuk menghitung IRR yaitu :
NPV (+) IRR = i + [i - i ] (+) NPV - NPV (-) (+) (+) (-) Dimana :
IRR
= Internal Rate of Return
NPV(+)
= NPV bernilai positif
NPV(-)
= NPV bernilai negatif
i(+)
= suku bunga yang membuat NPV positif
i(-)
= suku bunga yang membuat NPV negatif
Jika IRR dari suatu proyek sama dengan tingkat suku bunga, maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR ≥ suku bunga, maka proyek layak untuk dijalankan, begitu pula sebaliknya. c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Untuk menghitung indeks ini terlebih dahulu dihitung selisih antara keuntungan dan biaya untuk setiap tahun t. Formulanya adalah
n ∑ B t=1 N et = n C ∑ t=1
Bt -Ct (1 + i) t
, untuk Bt-Ct > 0
Bt -Ct (1 + i) t
, untuk Bt-Ct < 0
d. Pay Back Period (PBP) Metode ini mencoba menghitung seberapa cepat investasi bisa kembali. Menurut
Nugroho (2008) periode pengembalian modal merupakan
jangka waktu yang diperlukan oleh suatu usaha untuk mengembalikan seluruh dana yang diivestasikan, yaitu ukuran lamanya waktu yang diperlukan
agar
seluruh
modal
yang
ditanamkan
dapat
dikembalikan/dibayar oleh manfaat yang dihasilkan dari investasi tersebut. Oleh karena itu, satuan hasilnya adalah satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Apabila periode yang dibutuhkan lebih cepat dari yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungakan. Namun bila
21
tidak sesuai dengan periode yang disyaratkan, maka proyek dikatakan tidak menguntungkan. Pendekatan yang digunakan : PBP = n +
Dimana :
m (B -C ) n+1 n+1 PBP
= Pay Back Period
n
= Periode investasi pada saat nilai kumulatif arus kas negatif yang terakhir (tahun)
m
= Nilai kumulatif arus kas negatif yang terakhir (Rp).
Bn
= Benefit bruto pada tahun ke-n (Rp).
Cn
= Biaya bruto pada tahun ke-n (Rp).
F. Aliran Kas Proyek (Cash Flow) Laporan aliran kas (cash flow statement) disusun untuk menunjukkan perubahan kas selama satu periode tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan menunjukkan dari mana sumber-sumber kas dan penggunaan-penggunaanya. Kas mempunyai tiga komponen utama, yaitu Aliran Kas Awal, Aliran Kas Operasional, dan Terminal Cash Flow.
1. Aliran Kas Awal Identifikasi pola aliran kas yang berhubungan dengan investasi diperlukan untuk menentukan komponen Initial Cash Flow. Beberapa contoh yang terdapat pada Initial Cash Flow adalah pembayaran untuk tanah, pembuatan pabrik, pembayaran mesin-mesin, pengeluaran untuk biaya pendahuluan dan sebelum operasi, serta penyediaan modal kerja.
2. Aliran Kas Operasional Operational Cash Flow merupakan rencana keluar masuk dana jika proyek sudah dioperasionalkan. Untuk menaksir aliran kas operasional perlu ditentukan waktu yang diperkirakan. Pada umumnya, waktu yang digunakan dalam menaksir aliran kas operasional ini disesuaikan dengan umur ekonomis investasi yang akan dijalankan.
22
3. Terminal Cash Flow Terminal Cash Flow terdiri dari nilai sisa aliran kas dan pengembalian modal kerja.
G. Asumsi 1. Jenis tanaman obat lempuyang yang dikaji pasarnya adalah jenis yang dikenal oleh masyarakat setempat, yakni lempuyang wangi. 2. Potensi tanaman obat lempuyang adalah potensi yang ada di lokasi penelitian. 3. Harga jual tanaman obat lempuyang adalah harga yang berlaku di lokasi penelitian pada saat penelitian dilakukan. 4. Untuk selanjutnya, penyebutan lempuyang wangi disederhanakan menjadi lempuyang.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Geografi, Luas Wilayah, dan Kependudukan Desa Ngliron terletak di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, dengan batas wilayah sebagai berikut : Barat
: Ds. Tanggel
Timur
: Kecamatan Kedung Tuban
Utara
: Ds. Semanggi
Selatan
: Ds. Kalisari
Secara geografis, Desa Ngliron memiliki ketinggian 65 mdpl dengan luas 1.835 ha. Sekitar 85,9% (1.577 ha) dari luas total tersebut merupakan hutan. Alokasi penggunaan lahan di Desa Ngliron dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Penggunaan lahan di Desa Ngliron pada tahun 2009 No. 1 2 3 4 5
Penggunaan Hutan Jalan Sawah dan Ladang Pemukiman Lain-lain Jumlah Sumber : Sekretariat Desa Ngliron.
Luas (ha) 1.577 5 192 51 10 1.835
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat Desa Ngliron, pada tahun 2009 jumlah penduduk di Desa Ngliron tercatat 3.040 jiwa, dimana sebagian besar bekerja sebagai petani (1.308 jiwa). Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.512 jiwa dan perempuan sebanyak 1.528 jiwa.
4.2 Potensi Hasil Hutan dan Pertanian 1. Hasil Hutan Hutan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan warga Desa Ngliron, setiap hari warga berinteraksi dengan hutan. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya interaksi ini adalah keberadaan Desa Ngliron yang berada di dekat hutan. Interaksi yang terjadi disini sebagian besar berupa pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non kayu.
24
Hasil hutan kayu yang dimanfaatkan oleh warga sekitar adalah kayu bakar. Berdasarkan data yang terdapat di BKPH Ngliron, pada tahun 2008 pemanfaatan kayu bakar ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 400 jiwa. Sedangkan hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk Desa Ngliron adalah pemanfaatan empon-empon atau tanaman obat. Tanaman obat yang banyak dimanfaatkan adalah lempuyang dan kunci pepet. Kedua jenis tanaman ini dimanfaatkan dengan mengambil langsung dari dalam hutan tanpa adanya kegiatan budidaya. Berdasarkan data yang terdapat di BKPH Ngliron, pada tahun 2008 pemanfaatan tanaman obat ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 210 jiwa dan sebagian besar meliputi wanita (205 jiwa).
2. Pertanian Selain memanfaatkan hasil hutan, warga Desa Ngliron juga memanfaatkan komoditi dari sektor pertanian untuk menambah pendapatan. Komoditi yang diusahakan dari sektor pertanian adalah palawija dan padi. Untuk komoditi palawija, warga setempat memanfaatkan lahan Perhutani pada area teresan. Komoditi yang banyak diusahakan adalah jenis jagung. Sedangkan untuk komoditi padi, warga menggunakan lahannya sendiri. Tenaga kerja yang terserap untuk sektor pertanian sangat tinggi, mencapai 1308 jiwa.
4.3 Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron (LMDH Sidodadi Mulyo) merupakan salah satu LMDH di area KPH Randublatung yang memiliki pengelolaan cukup baik. Dampak dari baiknya aspek manajemen LMDH ini adalah pemberian sharing hasil tebangan kayu yang tinggi. Sejak tahun 2003 LMDH Desa Ngliron sudah menerima dana sharing hingga Rp 489 juta (rata-rata per tahunnya Rp 70 juta). Dana tersebut digunakan untuk empat hal, yakni untuk usaha produktif, pembangunan biofisik desa, keterlibatan dalam pengelolaan hutan, dan untuk kegiatan sosial. Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron beranggotakan semua masyarakat di Desa Ngliron (571 KK).
25
4.4 Deskripsi Proyek Budidaya Tanaman Obat Lempuyang Menurut Umar (2003), proyek dapat diartikan sebagai suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas. Proyek usaha budidaya lempuyang ini berlokasi di hutan jati sekitar Desa Ngliron yang menjadi naungan KPH Randublatung BKPH Ngliron. Usaha budidaya lempuyang ini membutuhkan lahan seluas enam hektar. Kegiatan budidaya ini melibatkan banyak pihak, yakni Perhutani selaku pemilik lahan, LMDH Desa Ngliron selaku lembaga yang menaungi masyarakat desa hutan, dan petani selaku pelaksana kegiatan budidaya. Komposisi biaya kegiatan usaha budidaya lempuyang ini bila ditarik pada tahun ke-0 (present value) sebesar Rp 28.200.000,00, sedangkan komposisi manfaat dilihat dari aspek finansial bila ditarik pada tahun ke-0 (present value) sebesar Rp 32.295.383,00. Ada dua dampak yang akan dihasilkan dari kegiatan proyek budidaya ini, yakni dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Terhadap aspek lingkungan, proyek budidaya ini mendukung pelestarian lingkungan karena tidak menggunakan bahan produksi yang dapat mengganggu lingkungan dan berperan dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati yang tidak termanfaatkan secara optimal. Terhadap masyarakat, proyek budidaya ini dapat memberikan pemasukan kepada masyarakat sekitar hutan yang terlibat langsung dalam kegiatan ini dengan total pemasukan sebesar Rp 1.256.513,00 pada tahun ke-1 dan akan terus meningkat hingga Rp 1.949.263,00 pada tahun ke-10. Jangka waktu budidaya lempuyang adalah 10 tahun, hal ini didasarkan pada pemanfaatan ruang hutan selama kelas umur.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kelayakan Usaha Budidaya Tanaman Obat Lempuyang 1. Aspek Teknis Analisis dari aspek teknis dan teknologis ini berhubungan dengan penyediaan bahan baku dan keluaran yang dihasilkan. a. Bahan Baku dan Budidaya Penghimpunan bibit lempuyang dilakukan dengan membeli bibit dari petani seharga Rp 1.500/kg. Jarak tanam yang digunakan 50 cm × 30 cm dan berat masing-masing bibit 15 gram (Indriyanto et al. 1991), sehingga akan membutuhkan bibit sekitar satu ton per ha. Kegiatan budidaya lempuyang ini diterapkan di hutan jati di BKPH Ngliron seluas enam ha (membutuhkan total bibit enam ton). Luas area budidaya ini didasarkan pada pengoptimalan penggunaan biaya investasi, dengan biaya investasi sebesar Rp 28.200.00,00 maka dapat digunakan untuk membeli beberapa kebutuhan awal guna memulai kegiatan budidaya. Sejumlah kebutuhan awal tersebut dapat dialokasikan penggunaannya secara maksimal untuk area seluas enam hektar. Untuk menjaga produksi lempuyang tetap tinggi, maka dilakukan pemberian pupuk kompos (1.500 kg/ha). b. Kapasitas Produksi Kapasitas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai keuntungan maksimal. Dalam kajian kelayakan usaha budidaya lempuyang ini, kapasitas produksi lempuyang setelah dikurangi untuk penyediaan bibit (pada lahan seluas enam ha) adalah sebesar 54 ton basah (9,2 ton kering) per tahun. Kapasitas produksi ini didasarkan pada potensi lempuyang di kabupaten Blora sebesar 10 ton/ha (Sarjana et al. 2009). c. Teknologi Proses Teknologi proses dalam menghasilkan simplisia lempuyang tergolong masih sederhana. Ada dua proses utama yang harus dilalui setelah kegiatan penanaman hingga produk siap dijual, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
27
Pemanenan
Penanaman
Pasca Panen
Penyimpanan Awal
Pembersihan dan Sortasi
Perajangan
Pengeringan
Penyimpanan Akhir
Gambar 3 Jalur proses pembuatan simplisia lempuyang. a) Pemanenan Lempuyang dipanen saat tanaman ini mati secara alami, yakni ketika sudah berumur sembilan bulan. Kegiatan panen dilakukan pada musim kemarau, antara bulan enam hingga sembilan tiap tahunnya, agar memudahkan dalam proses pengeringan. b) Pasca Panen 1) Penyimpanan Awal Lempuyang yang telah dipanen, kemudian dikumpulkan dan disimpan.
Tujuannya
adalah
untuk
memudahkan
dalam
pelaksanaan proses lanjutan. 2) Pembersihan dan Sortasi Tahap selanjutnya adalah pembersihan dan sortasi. Tujuan proses ini untuk menjamin bahwa komoditi yang dijual merupakan lempuyang terbaik serta untuk pemilihan bibit lempuyang guna kegiatan produksi pada tahun berikutnya. 3) Perajangan Perajangan merupakan pengolahan pendahuluan untuk semua hasil panen lempuyang. Lempuyang yang telah dibersihkan dari tanah dan disortasi, kemudian diiris miring tipis dengan tebal sekitar 0,5 cm. Tujuan perajangan ini untuk mempercepat proses pengeringan.
28
Teknologi yang digunakan masih sederhana, yakni cukup dengan menggunakan pisau biasa. 4) Pengeringan Pengeringan merupakan tahap terpenting dalam proses penyiapan komoditi simplisia lempuyang karena pada proses ini kadar air lempuyang dikurangi, sehingga komoditi lempuyang yang terjual akan memiliki added value yang tinggi. Kadar air yang diinginkan pedagang pengepul setempat adalah 17%. Proses pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari, ketika matahari sedang bagus pengeringan akan membutuhkan waktu 4-5 hari. Pada proses ini, lempuyang dikeringkan di atas tenda/terpal.
Gambar 4 Pengeringan lempuyang. 5) Penyimpanan Akhir. Setelah mencapai kadar air yang diinginkan, lempuyang disimpan di dalam karung, sehingga akan memudahkan penyetoran simplisia ke pedagang pengepul. Berdasarkan analisis aspek teknis di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan budidaya lempuyang layak dijalankan serta tidak ada hambatan. Penggunaan peralatan yang masih sederhana didasarkan pada pendekatan kebiasaan masyarakat setempat. Namun, kegiatan budidaya ini mempunyai
29
kelemahan, yakni masih ketergantungan dengan musim. Kegiatan panen dan pasca panen lebih optimal dan mudah dilakukan ketika musim kemarau tiba.
2. Aspek Finansial Tujuan menganalisis aspek finansial adalah untuk menentukan rencana investasi melalui penghitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan penerimaan. Menurut Imelda (2010), aspek finansial dipandang beberapa investor sebagai aspek yang paling utama untuk dianalisis karena pada aspek ini tergambar jelas hal-hal yang berkaitan dengan keuntungan, sehingga merupakan aspek yang sangat penting. Sebagai tolok ukur analisis finansial diperlukan parameterparameter, sehingga dapat diketahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Untuk menentukan perkiraan biaya diperlukan asumsi-asumsi yang menjadi dasar penghitungan biaya. Asumsi-asumsi tersebut antara lain : a. Periode budidaya (1 periode pemeliharaan) adalah sembilan bulan, umur proyek direncanakan selama 10 tahun. Ada dua alasan dalam menentukan umur proyek, yakni untuk memanfaatkan ruang tumbuh pada kelas umur dan untuk memaksimalkan penggunaan alat yang memiliki masa pakai lebih dari satu tahun. b. Produksi lempuyang tiap tahun sebesar 9,2 ton simplisia dengan masa produksi tiga bulan per tahun. c. Potensi budidaya lempuyang adalah 10 ton/ha (Sarjana et al. 2009). d. Proyek dimulai pada tahun ke-0. e. Tingkat suku bunga menggunakan tingkat suku bunga bank BRI tahun 2010 sebesar 13% (Hasanuddin 2010). f. Inflasi yang diperkenankan tiap tahunnya sebesar 5% (Bank Indonesia 2010). Aspek finansial yang dibahas dalam penelitian ini menyangkut hal-hal sebagai berikut : a. Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memulai usaha. Biaya investasi yang dikeluarkan untuk memulai usaha budidaya lempuyang ini adalah sebesar Rp 28.200.000,00. Pembiayaan investasi
30
berasal dari dana sharing hasil tebangan yang dilakukan oleh KPH Randublatung, sejak tahun 2003 LMDH Desa Ngliron sudah menerima Rp 489 juta atau Rp 70 juta per tahunnya. Tabel 2 Komposisi biaya investasi No 1 2 3 4 5
Komponen Pupuk Kompos Timbangan Gantung Karung Pembelian bibit dari petani Biaya pengolahan tanah dan penanaman Total
Jumlah
Satuan
9.000 3 60 6.000 48
kg unit karung kg orang
Nilai Satuan 1.500 400.000 3.000 1.500 100.000
Nilai Total 13.500.000 1.200.000 180.000 9.000.000 4.320.000 28.200.000
b. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan ketika kegiatan produksi sedang berjalan dan dikeluarkan selama periode investasi. Sebagian besar pengeluaran untuk biaya operasional terletak pada alokasi dana untuk petani sebagai pengganti sistem upah, besarnya nilai ini mencapai 73% dari total penerimaan (27 % lainnya dialokasikan untuk pengelolaan LMDH). Penentuan persentase alokasi dapat dicapai atas dasar kesepakatan bersama antara petani dengan pengelola LMDH serta untuk memaksimalkan persentase alokasi. Tujuan penggunaan sistem alokasi ini untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekitar hutan yang turut andil dalam kegiatan budidaya lempuyang ini berdasarkan azas keadilan. Rincian biaya operasional bisa dilihat pada Lampiran 2. d. Prakiraan Penerimaan Prakiraan penerimaan usaha budidaya lempuyang kering tiap tahunnya naik 5%, persentase ini didasarkan pada besaran inflasi yang ditargetkan pemerintah. Besarnya penerimaan diperoleh dari hasil kali harga jual lempuyang dengan berat simplisia yang dihasilkan (9,2 ton).
31
Tabel 3 Prakiraan penerimaan Tahun Ke-
Harga (Rp)
1 2 3 4 6 7 8 9 10
9.000 9.450 9.923 10.419 10.940 11.487 12.061 12.664 13.297
Penerimaan (Rp) 82.620.000 86.751.000 91.088.550 95.642.978 105.446.383 110.718.702 116.254.637 122.067.369 128.170.737
e. Kriteria Kelayakan Investasi Kriteria investasi yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha dalam penelitian ini adalah NPV, BCR, IRR, dan PBP. Analisis ini menggunakan tingkat suku bunga sebesar 13%. Tingkat suku bunga ini merupakan tingkat suku bunga pada bank BRI yang terdapat di dekat lokasi penelitian dan digunakan selama penelitian dilaksanakan. Alasan pemilihan tingkat suku bunga didasarkan pada sumber pendanaan investasi, yaitu modal investasi yang digunakan untuk usaha budidaya lempuyang merupakan modal sendiri. Usaha ini memberikan pilihan kepada investor yaitu menginvestasikan uangnya pada proyek budidaya lempuyang atau di bank. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada menginvestasikan uangnya di bank, maka proyek tersebut layak dijalankan. Hasil penghitungan kelayakan finansial usaha budidaya lempuyang pada tingkat suku bunga 13% dapat dilihat pada aliran kas usaha budidaya lempuyang pada Lampiran 3. Kriteria investasi pada usaha budidaya lempuyang oleh LMDH Desa Ngliron dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4 Hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya lempuyang pada tingkat suku bunga 13% Kriteria NPV BCR IRR PBP
Nilai Rp 4.725.383,00 1,17 16,15% 6,05 tahun
Keterangan NPV > 0 (Layak) BCR > 1 (Layak) IRR > Suku Bunga (Layak) Lebih cepat dari periode investasi (layak)
32
a) Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit
Cost Ratio (BCR). Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai kini manfaat dan biaya dari suatu kegiatan investasi (nilai kini manfaat bersih). Besarnya NPV pada proyek pendirian usaha budidaya lempuyang adalah Rp 4.725.383,00. Nilai tersebut lebih besar dari nol (0) yang berarti bahwa proyek tersebut layak untuk dijalankan.
Internal Rate of Return (IRR) atau arus pengembalian internal merupakan tingkat kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan keuntungan atau sebagai tingkat suku bunga pinjaman yang menghasilkan nilai NPV aliran kas masuk sama dengan aliran kas keluar. Untuk menentukan kelayakan suatu proyek, maka sebagai patokan dasar pembanding adalah tingkat suku bunga yang berlaku di lembaga keuangan yang ada, yaitu ditetapkan sebesar 13%. Besarnya IRR pada usaha ini sebesar 16,15% yang berarti bahwa pendirian usaha budidaya lempuyang layak untuk dijalankan. Nilai IRR ini juga menunjukkan bahwa modal yang dimiliki akan lebih menguntungkan apabila ditanamkan pada usaha budidaya ini dari pada disimpan dalam bentuk tabungan di bank (Prasetyani 2010).
Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan rasio nilai kini manfaat dengan nilai kini biaya. Pada proyek yang dikaji, nilai BCR diperoleh sebesar 1,17 yang berarti bahwa proyek ini layak untuk dijalankan. Nilai BCR ini berarti bahwa investasi yang dikeluarkan sekarang sebesar satu rupiah untuk usaha budidaya akan menghasilkan nilai pendapatan bersih sebesar Rp 1,17. b) Pay Back Period (PBP)
Pay Back Period (PBP) merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal suatu investasi, yang dihitung dari aliran kas bersih. Berdasarkan hasil penghitungan, nilai PBP untuk proyek ini adalah 6,05 tahun yang berarti untuk mengembalikan investasi awal dibutuhkan waktu enam tahun setelah proyek dijalankan. Sehingga kegiatan budidaya lempuyang yang dikaji layak
33
didirikan karena waktu pengembalian modal lebih cepat bila dibandingkan dengan umur proyek. Menurut Imelda (2010), metode PBP ini sangat sederhana, sehingga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan utamanya adalah tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah pay back, sehingga metode ini umumnya hanya digunakan sebagai pendukung metode lainnya. Berdasarkan semua kriteria investasi yang telah dipaparkan di atas maka kegiatan budidaya lempuyang di Desa Ngliron layak untuk dijalankan. Secara lengkap, penghitungan kriteria investasi dapat dilihat pada lampiran. f. Analisis Sensitivitas Finansial Analisis sensitivitas finansial dilakukan untuk meneliti kembali pengaruh dari keadaan yang berubah-ubah. Analisis ini juga untuk melihat berapa besar perubahan yang dapat membuat proyek ini menjadi tidak layak. Komponen perubahan yang diamati adalah perubahan volume produksi dan besaran alokasi untuk petani. Volume produksi merupakan komponen terpenting di dalam aliran kas. Secara tidak langsung juga berhubungan dengan biaya penyimpanan, distribusi, dan besarnya nilai alokasi kepada petani yang terlibat dalam kegiatan budidaya. Perubahan yang terjadi pada volume produksi akan berakibat luas terhadap penerimaan. Analisis sensitivitas pada komponen penurunan volume produksi bertujuan untuk mengetahui kepekaan kegiatan budidaya apabila pada suatu ketika ada faktor dari luar yang menyebabkan terjadinya penurunan volume produksi. Selain volume produksi, komponen alokasi yang diberikan kepada masyarakat petani juga akan berdampak kepada kelayakan usaha. Analisis sensitivitas pada komponen kenaikan alokasi kepada petani bertujuan untuk mengetahui kepekaan kegiatan budidaya apabila pada suatu ketika petani yang terlibat menginginkan kenaikan persentase alokasi. Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil analisis sensitivitas budidaya lempuyang di Desa Ngliron.
34
Tabel 5 No 1 2 3
Hasil analisis sensitivitas usaha budidaya lempuyang pada tingkat suku bunga 13% Kriteria NPV PBP BCR
Satuan Rp Tahun -
A -1.447.815 7,63 0,95
B -22.133.689 > 10 0,28
Keterangan : A = Jika terjadi penurunan volume produksi sebesar 5% dari target yang ditetapkan. B = Jika terjadi kenaikan alokasi sebesar 5% menjadi 78% tiap tahunnya. Tabel 6 memperlihatkan bahwa kegiatan usaha budidaya peka terhadap perubahan kedua komponen. Hal ini terlihat dari nilai NPV, BCR, dan PBP. Oleh karena itu, LMDH Desa Ngliron perlu menjaga agar tidak terjadi perubahan terhadap kedua komponen.
3. Aspek Manajemen dan Organisasi a. Struktur Organisasi Struktur organisasi yang diusulkan menganut sistem pelimpahan wewenang sentralisasi, ini bertujuan agar kebijakan yang seragam dan dapat meminimumkan kompleksitas suatu permasalahan. Struktur organisasi fungsional untuk kegiatan usaha budidaya lempuyang oleh LMDH di Desa Ngliron dapat dilihat pada Gambar 5. Ketua LMDH
Manajer Produksi
Manajer Pemasaran
Petani
Petani
Keuangan dan Administrasi
Gambar 5
Struktur organisasi fungsional kegiatan usaha budidaya lempuyang oleh LMDH Desa Ngliron. b. Kebutuhan Tenaga Kerja Tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan budidaya lempuyang terdiri dari tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Tenaga kerja langsung merupakan tenaga kerja yang terlibat langsung di dalam kegiatan produksi, sedangkan tenaga kerja tidak langsung adalah sebaliknya. Tenaga kerja langsung adalah petani, sedangkan tenaga kerja tidak langsung terdiri dari ketua LMDH, Manajer Produksi, Manajer
35
Pemasaran, serta Bagian Keuangan dan Administrasi. Target petani yang terlibat dalam kegiatan budidaya ini adalah 48 petani, diharapkan masing-masing petani akan mewakili satu keluarga. Target jumlah petani yang terlibat ini didasarkan pada pengoptimalan penggunaan biaya investasi, dengan biaya investasi sebesar Rp 28.200.00,00 maka dapat digunakan untuk membeli beberapa kebutuhan awal guna memulai kegiatan budidaya. Sejumlah kebutuhan awal tersebut dapat dialokasikan penggunaannya secara maksimal untuk 48 petani. Sistem pengelolaan lahan budidaya adalah pengelolaan kelompok, artinya setiap hektar lahan budidaya dikelola oleh satu kelompok (per kelompok terdiri dari 8 orang anggota). Adapun kebutuhan tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6 Kebutuhan Tenaga Kerja No. 1 2 3 4 5
Jenis Pekerjaan Ketua LMDH Manajer Produksi Manajer Pemasaran Keuangan dan Administrasi Petani Total
Jumlah 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 48 orang 52 orang
c. Deskripsi Pekerjaan Deskripsi tugas dan tanggung jawab disusun untuk memudahkan petugas dalam melaksanakan pekerjaannya. Deskripsi tugas dan tanggung jawab masing-masing jabatan antara lain sebagai berikut : a) Ketua LMDH, bertanggung jawab memimpin LMDH, memberi arahan pada para pegawai, dan fasilitator dengan Perhutani. b) Manajer Produksi bertugas melakukan pengawasan kegiatan produksi, kualitas bahan baku dan produksi. c) Manajer Pemasaran bertanggungjawab merencanakan penjualan produk dan pengorganisasian sistem distribusi produk. d) Keuangan
dan
Administrasi
bertanggungjawab
untuk
mengoordinasikan kegiatan dan pengawasan pencatatan keuangan serta pengatur sistem keuangan.
36
e) Petani bertanggungjawab sebagai tenaga kerja langsung yang bekerja pada kegiatan penanaman, pemanenan, pembersihan dan sortasi, pengeringan, dan penjualan.
4. Dampak Usaha Budidaya Lempuyang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kegiatan usaha akan selalu dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitar tempat usaha tersebut dilaksanakan. Perubahan tersebut bisa bersifat positif maupun negatif. Oleh sebab itu, besar kemungkinan jika usaha budidaya yang dijalankan oleh LMDH Desa Ngliron akan menyebabkan dampak yang luas terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar hutan di Desa Ngliron serta terhadap negara. Lingkungan merupakan komponen yang akan mendapatkan dampak secara langsung akibat adanya kegiatan budidaya lempuyang ini. Hal ini karena usaha budidaya lempuyang bergerak di bidang hasil hutan bukan kayu yang mengandalkan area di bawah tegakan jati. Dampak terhadap masyarakat berkaitan dengan peran masyarakat sebagai subyek pelaksana budidaya lempuyang ini. Usaha ini juga akan memberikan dampak bagi negara, karena secara tidak langsung negara merupakan pihak yang menaungi dan bertanggungjawab atas semua aktivitas yang terjadi di dalam negara tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain : a. Dampak Terhadap Aspek Lingkungan a) Usaha budidaya ini sangat mendukung pelestarian lingkungan karena tidak menggunakan bahan produksi yang dapat mengganggu lingkungan. Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang) yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan lempuyang secara tidak langsung akan dimanfaatkan oleh tanaman pokok (jati). Selain itu, budidaya ini juga dapat mencegah kepunahan lempuyang. b) Usaha lempuyang berperan dalam memanfaatkan lahan di bawah tegakan jati yang belum dimanfaatkan secara optimal. b. Dampak Terhadap Masyarakat a) Pemberdayaan masyarakat desa hutan.
37
b) Masyarakat merupakan aktor utama di dalam kegiatan budidaya
lempuyang ini, sehingga dengan adanya kegiatan usaha budidaya ini dapat memberikan pemasukan kepada masyarakat sekitar hutan yang terlibat langsung dalam kegiatan ini dengan total pemasukan pada tahun ke-1 sebesar Rp 1.256.523,00 dan akan naik hingga Rp 1.949.263,00 pada tahun ke-10.
5.2 Prospek Pasar Tanaman Obat Lempuyang Sebuah kegiatan usaha memerlukan suatu analisis mengenai aspek pasar dan pemasaran dari komoditi yang dihasilkan. Aspek ini menganalisis bentuk dan potensi pasar, proyeksi permintaan dan penawaran, pangsa pasar yang mungkin diraih, dan strategi pemasaran untuk mencapai pangsa pasar tersebut. Semua aspek tersebut diukur dengan menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan sumber data yang diperoleh. Melalui aspek ini, suatu kegiatan usaha dapat mengantisipasi segala kemungkinan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan.
1. Bentuk Pasar, Prospek Pasar dan Produk, Proyeksi Permintaan serta Penawaran Pasar yang terbentuk dari usaha budidaya lempuyang ini adalah pasar persaingan sempurna, yakni sebuah bentuk pasar yang terdapat banyak produsen dan banyak konsumen (Umar 2003). Hal ini dikarenakan di Kabupaten Blora, pedagang pengepul tanaman obat jumlahnya lebih dari satu demikian pula penghasil tanaman obat. Prospek pasar yang dimaksud adalah prospek pasar di Desa Ngliron Kecamatan Randublatung terhadap komoditi yang akan dihasilkan oleh LMDH Desa Ngliron. Pengkajian prospek pasar lokal dilakukan dengan pendekatan empat potensi keunggulan daerah yang dimiliki Desa Ngliron. Empat potensi keunggulan daerah yang menjadi landasan analisis potensi pasar lokal adalah ketersediaan lahan, kemampuan lahan, kualitas komoditi yang sangat baik, dan keberadaan pedagang pengepul tanaman obat di sekitar Desa Ngliron.
38
Ketersediaan lahan dan kemampuan lahan yang mendukung potensi pasar adalah adanya area di bawah tegakan jati yang belum dimanfaatkan secara optimal dan kecocokan tanah terhadap budidaya lempuyang. Selama ini, warga setempat memanen lempuyang liar dari hutan jati di BKPH Ngliron KPH Randublatung. Menurut data di BKPH Ngliron, hingga tahun 2009 BKPH Ngliron mempunyai luas 3.117,3 ha (sekitar 88,9% atau 2.771,5 ha merupakan hutan jati). Secara faktual, saat ini produksi lempuyang di Desa Ngliron relatif menurun dari tahun ke tahun dan cukup sulit diukur. Menurunnya produksi lempuyang diketahui dari menurunnya suplai kepada pedagang pengepul setempat. Menurunnya produksi komoditi ini lebih disebabkan belum adanya kesadaran masyarakat setempat terhadap keberlanjutan produksi lempuyang pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat yang mengambil seluruh rimpang yang ditemukan tanpa meninggalkan rimpang dengan harapan agar dapat tumbuh lagi sehingga dapat dipanen pada tahun berikutnya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan belum adanya kegiatan budidaya oleh masyarakat setempat. Menurut pedagang pengepul di sekitar Desa Ngliron, pada tahun 2009, simplisia lempuyang merupakan komoditi utama tanaman obat yang diperjualbelikan (mencapai 50% dari berat total simplisia tanaman obat yang diperjualbelikan). Komoditi lainnya adalah jati belanda, secang, sambiloto, ulet-ulet, kunci pepet, kunci sayur, temu lawak, temu ireng, dan kunir. Asumsi target pasar yang mungkin diraih berdasarkan ketersediaan lahan dan kemampuan lahan adalah sebesar 18% dari total komoditi lempuyang yang diperjualbelikan di lokasi setempat. Dalam mengkaji prospek pasar lempuyang, permintaan pasar terhadap bahan simplisia lempuyang merupakan indikator penting untuk menentukan besaran potensi pasar yang mungkin diraih. Selain itu, kualitas simplisia yang dihasilkan juga merupakan salah satu indikator yang tidak kalah penting. Menurut pedagang pengepul setempat, simplisia lempuyang dari Desa Ngliron merupakan salah satu simplisia terbaik di Blora.
39
2. Segmentasi Pasar Setiap kegiatan usaha harus mengetahui pasar produk yang ditawarkan. Tahap berikutnya dari penentuan pasar adalah melakukan segmentasi pasar, karena sifat pasar yang heterogen. Dengan adanya segmentasi pasar, sebuah perusahaan dapat lebih mudah untuk memasuki pasar, sehingga pasar yang bersifat heterogen akan menjadi lebih homogen. Setelah pasar yang dituju lebih homogen, selanjutnya suatu perusahaan memilih sasaran yang lebih jelas. Hal ini dilakukan karena perusahaan memiliki sumberdaya yang terbatas untuk dapat memenuhi pasar walaupun telah disegmentasikan. Segmentasi pasar dari komoditi simplisia lempuyang yang dihasilkan oleh LMDH Desa Ngliron didasarkan pada kemudahan penjualan produk, yaitu pedagang pengepul II. Pedagang pengepul II ini merupakan pedagang pengepul terdekat dari Desa Ngliron (sekitar 10 km dari Desa Ngliron). Kondisi persaingan yang semakin meningkat, menuntut setiap kegiatan usaha untuk memiliki keunggulan yang dapat membedakan produknya di pasar. Komoditi lempuyang kering yang dihasilkan oleh LMDH Ngliron merupakan komoditi dengan kualitas terbaik (KA 17% sesuai dengan spesifikasi dari pedagang pengepul dan pedagang besar).
3. Strategi Pemasaran a. Produk (Product) Sebuah investasi industri hanya akan memiliki kelayakan secara finansial jika produk yang dihasilkan tersebut memiliki nilai untuk konsumen atau dengan kata lain produk dapat dijual di pasaran. Keputusan mengenai produk yang akan dipasarkan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan kecenderungan konsumen (Kertajaya 2004). Komoditi yang dihasilkan oleh LMDH Desa Ngliron adalah lempuyang dalam bentuk kering (simplisia) dengan kadar air 17% (sesuai keinginan pedagang pengepul II). Simplisia lempuyang yang dihasilkan merupakan simplisia dengan kualitas terbaik. Simplisia lempuyang ini dijual langsung ke pedagang pengepul II untuk kemudian dijual kembali
40
kepada pedagang besar (supplier). Lempuyang dibudidayakan di bawah tegakan jati di BKPH Ngliron KPH Randublatung. b. Harga (Price) Penentuan tingkat harga produk merupakan bagian dari strategi investasi dan pemasaran jangka panjang. Secara relatif, produk dengan kualitas rendah umumnya membutuhkan strategi harga rendah, sementara untuk strategi harga tinggi akan membutuhkan kualitas produk yang tinggi. Penetapan harga jual berfungsi untuk mengetahui tingkat pendapatan yang akan diperoleh LMDH Desa Ngliron, selain itu harga juga akan mempengaruhi keinginan pedagang pengepul II untuk membeli produk yang dipasarkan. Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngliron menetapkan harga simplisia lempuyang yang berlaku di pasaran pada tahun ke-1 sebesar Rp 9.000 /kg dan akan meningkat 5% pada tahuntahun berikutnya (dapat dilihat pada Tabel 4). c. Tempat (Place) Desa Ngliron terletak di kawasan yang sangat strategis untuk pengembangan lempuyang, hal ini dilihat dari ketersediaan lahan dan kemampuan tanah. Selain itu, jarak distribusi ke pedagang pengepul II relatif dekat (sekitar 10 km). Selama ini, jalur distribusi simplisia lempuyang dari petani hingga ke konsumen mengikuti Gambar 6. Petani Pedagang Pengepul I Pedagang Pengepul II Supplier/Pedagang besar Industri Jamu Konsumen
Gambar 6 Jalur distribusi lempuyang di Desa Ngliron.
41
Namun demikian, ada beberapa petani yang menjual simplisia lempuyang langsung ke pedagang pengepul II (harga yang ditetapkan sama dengan harga dari pedagang pengepul I ke pedagang pengepul II). Dari jalur di atas dapat diketahui bahwa jalur distribusi lempuyang tersebut tidak efektif karena petani masih menjual komoditinya ke pedagang pengepul I. Dengan adanya kegiatan budidaya lempuyang, diharapkan petani dapat memotong jalur distribusi langsung ke pedagang pengepul II sesuai yang dapat dilihat pada Gambar 7. Petani
Pedagang Pengepul II
Supplier/Pedagang besar Industri Jamu
Konsumen
Gambar 7 Jalur distribusi baru lempuyang. d. Promosi (Promotion) Promosi merupakan kegiatan untuk mengenalkan produk yang dihasilkan kepada konsumen. Kegiatan promosi ini dapat memudahkan pelaksanaan penjualan. Promosi yang akan dijalankan masih tergolong sederhana, yaitu dengan cara memberitahukan secara lisan ke pedagang pengepul II.
5.3 Kontribusi Budidaya Tanaman Obat Terhadap Pengelolaan Hutan Pada tahun 1994 komitmen pengelolaan hutan lestari telah disepakati berbagai lembaga dunia dengan terbentuknya Forest Stewardship Council (FSC). Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management adalah suatu proses pengelolaan hutan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dengan memperhatikan keberlanjutan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi secara berimbang (KPH Randublatung 2010).
42
Tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, setiap unit manajemen pengelolaan hutan juga harus memperhatikan aspek sosial karena lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap kelestarian hutan. Perum Perhutani sebagai pengelola sumberdaya hutan di Pulau Jawa berkomitmen: 1. Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari di seluruh wilayahnya dengan sasaran mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari sebagai bentuk pengakuan dunia internasional. 2. Pengelolaan sumberdaya hutan dilakukan dengan tetap mempertahankan dan meningkatkan kelestarian produksi, kelestarian lingkungan dan kelestarian sosial kemasyarakatan. 3. Bersama-sama dengan masyarakat sekitar hutan menjalin kemitraan dalam bentuk implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk memberikan kemanfaatan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berimbang. 4. Meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan sumberdaya manusia sebagai aset perusahaan yang berharga dan memberi jaminan kesehatan dan keselamatan kerja melalui pemenuhan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. 5. Penerapan sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) secara transparan dan konsisten. Dari komitmen Perhutani di atas, dapat diketahui bahwa aspek sosial merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan lestari (Perum Perhutani 2010). Melalui kegiatan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar hutan, diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada Perhutani berupa : 1. Terpenuhinya salah satu aspek di dalam pengelolaan hutan lestari, yakni aspek sosial. 2. Bentuk implementasi PHBM untuk memberikan kemanfaatan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berimbang. 3. Secara tidak langsung Perhutani akan dimudahkan dalam kegiatan penjagaan tegakan dari pencurian, hal ini berkaitan dengan tanaman obat yang membutuhkan naungan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis terhadap kelayakan usaha, kegiatan budidaya lempuyang di Desa Ngliron layak dijalankan. Hal ini dapat terlihat pada hasil analisis aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen dan organisasi, serta aspek dampak usaha. Namun untuk kedepannya, kegiatan budidaya lempuyang di Desa Ngliron masih perlu perbaikan terkait dengan penggunaan teknologi dan penambahan keterlibatan masyarakat Desa Ngliron dalam kegiatan budidaya. Terkait dengan aspek finansial, kegiatan budidaya lempuyang di Desa Ngliron juga layak dijalankan. Hal ini dapat diketahui dari besarnya NPV Rp 4.725.383,00 (lebih besar dari 0), BCR 1,17 (lebih besar dari 1), IRR 16,15% (IRR > 13%), dan PBP 6,05 tahun (PBP < periode investasi). 2. Berdasarkan analisis terhadap potensi dan strategi pasar dapat disimpulkan bahwa kegiatan budidaya ini layak dijalankan. Hal ini dikarenakan besarnya potensi pasar bila dilihat dari sisi permintaan, penawaran, harga serta pangsa pasar yang mungkin diraih. Asumsi target pasar yang mungkin diraih berdasarkan ketersediaan lahan dan kemampuan lahan adalah sebesar 18% dari total komoditi lempuyang yang diperjualbelikan di lokasi setempat. Menurut pedagang pengepul di sekitar Desa Ngliron, pada tahun 2009, simplisia lempuyang merupakan komoditi utama tanaman obat yang diperjualbelikan (mencapai 50% dari berat total simplisia tanaman obat yang diperjualbelikan).
6.2 Saran 1. Perlu dilakukan kajian aspek pemasaran khusus dan pengujian pasar produk hasil olahan lempuyang, sehingga dapat ditentukan strategi pengembangan usaha lanjutan. 2. Perlu adanya teknologi yang tepat untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja, karena selama ini teknologi yang digunakan masih sederhana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum). http://www. jamuherbal.com [26 November 2010]. Anonim. 2009. Tanaman Obat – Lempuyang Wangi. http://cesstone.blogspot.com [1 Juli 2009]. Awang SA, Widayanti WT, Himmah B, Astuti A, Septiana RM, Solehudin, Novenanto A. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Harapan Prima. Jakarta. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Edisi Kedua. Balitbang Pertanian, Jakarta. [BI] Bank Indonesia. 2010. Penetapan Target Inflasi. http://www.bi.go.id [28 Agustus 2010]. [BI] Bank Indonesia. 2009. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK):Budidaya Tanaman Bahan Jamu (Pola Pembiayaan Konvensional). Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan Tanaman. http://www.dephut.go.id [9 September 2009]. Dorly. 2005. Potensi Tumbuhan Obat Indonesia Dalam Pengembangan Industri Agromedisin. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ernaningsih Y. 2004. Peranan Tumbuhan Obat dalam Peningkatan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus di Desa Sumberejo, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora) [skripsi]. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Friday KS, Drilling ME, Garrity DP. 2000. Rehabilitasi Padang Alang-Alang Menggunakan Agroforestri dan Pemeliharaan Permudaan Alam [terjemahan]. International Centre for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Programme, Bogor, Indonesia. Hasanuddin. 2010. BRI Telah Empat Kali Turunkan Suku Bunga Kredit. http:://www.tribunnews.com [28 Agustus 2010]. Husnan S dan Muhammad S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Unit Penerbit dan Percetakan, Yogyakarta. Imelda. 2010. Analisis Kelayakan Usaha dan Kepuasan Konsumen “Bakso Atom” [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
45
Indriyanto, Harianto SP, Hadi MS.1991. Pengaruh Penaungan Tajuk Sonokeling, Kayu Putih, dan Mahoni Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rimpang Lempuyang Wangi. Balittro, Bogor. [IPB] Institut Pertanian Bogor dan LATIN. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor. Kadariah L, Karlina dan Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Kertajaya H. 2004. Hermawan Kertajaya on Marketing. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kotler, P. 2003. Manajemen Pemasaran. Edisi Kesepuluh. Jilid Kesatu. Terjemahan. PT. Prenhallindo, Jakarta. KPH Randublatung. 2010. Mengapa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Penting..?. http://www.kphrandublatung.perumperhutani.com [1 Oktober 2010]. Kumalasari LOR. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan Keamanannya. Universitas Jember. Nugroho B. 2008. Analisis Investasi Proyek Kehutanan & Pertanian : Pendeketan Ekonomi Keteknikan (Engineering Economics Approach). Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurkhazanah. 2006. Bahan Obat Alam Sumber Pendapatan Pembangunan. Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. [PERHUTANI] Perum Perhutani. 2006. Luas Area http://www.perumperhutani.com [10 September 2009]. [PERHUTANI] Perum Perhutani. Berdaya http://www.perumperhutani.com [23 Januari 2010]. [PERHUTANI] Perum Perhutani. Pengelolaan Hutan http://www.perumperhutani.com [1 Oktober 2010].
Perhutani.
Masyarakat.
Lestari.
Poerwokoesoemo RS. 1981. Tumbuh-Tumbuhan dalam Hutan Jati yang Berkhasiat Obat. Perum Perhutani. Jakarta. Prasetyani M. 2010. Analisis Kelayakan Usaha dan Strategi Perusahaan Pelatihan Mathmagic, Studi Kasus pada Lembaga Pelatihan Matematika Yayasan Rumah Akal di Bukit Cimanggu, Bogor [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pribadi ER. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia serta Arah Penelitian dan Pengembangannya. Balittro. Bogor.
46
Pusat Studi Biofarmaka. 2009. Pasar Domestik Tanaman Obat (Biofarmaka). Bogor.
dan
Ekspor
Produk
Sarjana, Basuki S, Yunus A, Setiani C, Ambarsari I, Zamawi. 2009. Kajian Peningkatan Kualitas Produk Olahan dan Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Empon-Empon (2006). BPTP Jawa Tengah. Soeharto I. 2002. Studi Kelayakan Industri. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sutojo S. 2002. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Umar H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
48
49
50
13,500,00
51
52
53