HAMBATAN-HAMBATAN ADAPTASI MASYARAKAT HINDU DI DAERAH TRANSMIGRASI YANG MULTIKULTUR I Komang Mertayasa * Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah
ABSTRAK Beberapa individu yang hidup dalam lingkungan masyarakat selalu memiliki perbedaan, terlebih bagi masyarakat Hindu yang merupakan masyarakat pendatang dengan budaya yang dibawa dari daerah asal. Oleh karena itu perlu dilakukan adaptasi sehingga dapat tercipta hubungan yang harmonis dengan masyarakat asli. Dalam melakukan adaptasi terdapat berbagai hambatan yang sangat penting untuk dipahami sehingga berbagai bentuk dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Dengan demikian akan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara anggota masyarakat, baik itu masyarakat pendatang yang dalam hal ini adalah masyarakat Hindu dengan penduduk asli yang ada di daerah transmigrasi. Adapun yang manjadi hambatan-hambatan dalam melakukan adaptasi oleh masyarakat Hindu di daerah transmigrasi adalah: 1) Perilaku komunal, 2) Kegiatan-kegiatan desa adat, dan 3) Perbedaan bahasa. Kata Kunci: Hambatan, Adaptasi, Multikultur
1.
Pendahuluan Masyarakat merupakan suatu wadah individu dalam melakukan interaksi dan terdiri dari kumpulan beberapa individu, oleh karena itu dalam masyarakat akan hidup beberapa individu yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari perbedaan secara horizontal meliputi perbedaan budaya, bahasa, agama, etnis dan perbedaan secara vertikal yaitu perbedaan kelas-kelas atau stratifikasi di dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat dengan berbagai macam perbedaan yang dimiliki menjadikan setiap anggotanya untuk selalu diharapkan dapat saling menyesuaikan diri di antara masyarakatnya, dengan demikian akan dapat tercipta keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat khususnya masyarakat pendatang dalam satu lingkungan tertentu menjadikan individu-individu dalam masyarakat tersebut mengalami berbagai hambatan dalam melakukan penyesuaian diri. WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
Hambatan-hambatan tersebut sebagian besar dikarenakan budaya yang dibawa dari daerah asal memiliki perbedaan dengan budaya dimana tempat berdomisili saat ini. Demikian halnya dengan masyarakat Hindu yang mengikuti transmigrasi ke daerah Sulawesi, dengan budaya-budaya yang dibawa dari daerah asal dalam hal ini adalah budaya Bali, terkadang menjadi suatu hambatan dan perlu disesuaikan dengan budaya setempat. Masyarakat etnis Bali khususnya yang beragama Hindu banyak tersebar di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Masyarakat Hindu apabila dibandingkan dengan penduduk setempat memiliki beragam perbedaan mulai dari perbedaan budaya, agama, bahasa, dan kelompok dalam kehidupan sosial. Berbagai perbedaan yang dimiliki terkadang menjadi hambatan bagi masyarakat Hindu dalam beradaptasi dengan pola-pola kehidupan masyarakat setempat. Adaptasi dapat menjaga keharmonisan antar anggota masyarakat baik individu 1
pendatang yang akan menjadi anggota masyarakat dari wilayah tertentu dengan masyarakat asli yang memang telah berdomisili di wilayah tersebut. Pentingnya keharmonisan antar anggota masyarakat menjadikan adaptasi mutlak diperlukan oleh masyarakat pendatang yang dalam hal ini adalah masyarakat Hindu yang berasal dari Bali. Dalam melakukan adaptasi biasanya terdapat berbagai hambatan, kemampuan dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut sehingga tercipta keharmonisan dan kerukunan antar pemeluk agama etnis yang hidup dalam satu lingkungan masyarakat. Masyarakat Hindu yang terdapat di wilayah Sulawesi Tengah pada umumnya adalah berasal dari Bali yang mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh masyarakat Hindu di daerah transmigrasi khususnya di Sulawesi Tengah dalam melakukan adaptasi dengan masyarakat asli? Dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap hambatan-hambatan tersebut diharapkan untuk dapat meminimalisir berbagai macam perbedaan yang disebabkan oleh hal-hal yang dibawa dari daerah asal, selain itu diharapkan dapat mengantisipasi sedini mungkin berbagai hal yang akan ditimbulkan dari berbagai perbedaan yang dimiliki. 2.
Hasil dan Pembahasan Berbagai macam bentuk kendala yang dihadapi masyarakat Hindu dalam melakukan adaptasi di daerah transmigrasi khususnya di wilayah Sulawesi Tengah adalah sebagai berikut. 2.1. Perilaku Komunal Kehidupan masyarakat pendatang dalam lingkungan masyarakat adalah membawa budaya dari daerah asal. Setiap individu selalu hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, dan dalam lingkungan masyarakat akan hidup dan berkembang pula sebuah kebudayaan sebagai hasil interaksi individu. 2
Dengan demikian interaksi antar masyarakat asli dengan masyarakat pendatang akan memunculkan suatu budaya baru yang dimiliki oleh masyarakat dalam lingkungan wilayah tertentu. Budaya berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang selalu mengalami perubahan. Perkembangan pengetahuan manusia selalu berubah dan zaman juga selalu berubah, maka kebudayaan pada hakekatnya tidak pernah berhenti untuk berubah dan selalu berkembang. Menurut Puersen (1988: 15) bahwa kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transendensi yang dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus prosesproses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi). Individu dalam lingkungan masyarakat pada umumnya selalu mengadakan hubungan atau relasi sosial. Tonnies (dalam Triguna, 2011: 37) menyatakan bahwa masyarakat itu merupakan karya ciptaan manusia untuk menyelenggarakan dan memelihara relasi sosial. Lebih lanjut Tonnies mengatakan bahwa ada dua pola relasi sosial yaitu relasi sosial yang dilandasi oleh kemauan rasional (arbitrary will) dan relasi sosial yang dilandasi oleh dorongan batin berupa perasaan (essential will). Kedua pola relasi sosial itu melandasi munculnya kelompok sosial serta bentuk relasi sosial dalam masyarakat sehingga pola kelompok secara dikotomis dapat dibedakan antara kelompok yang lebih rasional dengan kelompok yang lebih mengutamakan unsur perasaan. Kecenderungan kehidupan masyarakat Hindu terutama yang tinggal di wilayah transmigrasi masih ada yang selalu berkumpul dengan penduduk yang memiliki persamaan daerah asal. Oleh karena itu masih ada beberapa masyarakat yang hidup dan bergaul hanya dengan sesama orang Bali bahkan ada WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
yang hanya selalu berbaur dengan sesama daerah asal di Bali. Sikap yang demikian akan berimplikasi pada terbentuknya kelompokkelompok kecil dalam kehidupan masyarakat sehingga hal itu akan berdampak pada kurangnya rasa kebersamaan individu antar kelompok yang berbeda. Beberapa masyarakat Hindu yang hanya berkumpul dengan orang-orang Hindu saja, di satu sisi akan mampu menumbuhkan rasa solidaritas antar individu dalam kelompok yang sama yang sangat tinggi. Hal ini memang penting bagi kehidupan masyarakat Hindu di perantauan, akan tetapi di satu sisi terkadang akan menjadi penyebab adanya tekanantekanan dan benturan-benturan dengan penduduk asli. Perilaku komunal yang dimiliki oleh masyarakat Hindu tersebut akan menumbuhkan sikap dan perilaku yang lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Di samping itu, juga akan memunculkan benih-benih perbedaan dengan penduduk asli sehingga akan bisa menyebabkan terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu sangat diperlukan kemampuan bagi individu khususnya umat Hindu di perantauan untuk lebih memahami akan pentingnya adaptasi dalam kehidupan masyarakat. Rasa solidaritas yang dimiliki individu dalam kehidupan masyarakat di satu sisi akan dapat berdampak positif yaitu adanya rasa kebersamaan, dan segala sesuatu yang dikerjakan dapat dikerjakan secara bersamasama sehingga dapat berhasil dengan baik, dan lebih efesien. Namun di satu sisi solidaritas yang apabila salah dalam memposisikan akan dapat menyebabkan dampak negatif, terutama apabila masyarakat tersebut hidup dalam kehidupan masyarakat yang manjemuk. Pemahaman rasa kebersamaan yang keliru yaitu yang menganggap bahwa kebersamaan hanya dilakukan dalam lingkungan masyarakat yang seagama atau berdasarkan daerah asal tentu akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan masyarakat majemuk. WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
Dengan demikian rasa kebersamaan perlu dipahami secara mendalam dan secara menyeluruh sehingga akan dapat tercipta keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perilaku komunal akan menyebabkan individu terisolir oleh adanya sekat-sekat yang dalam hal ini adalah daerah asal dan agama. Apabila hal tersebut terjadi terus menerus maka akan berdampak pada tidak diterimanya individu sebagai bagian dari masyarakat, walau sesungguhnya dalam pribadi-pribadi individu dalam kelompok terdapat keinginan yang sangat tinggi untuk dapat diterima, namun pengaruh kebiasaan hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang menjadi penghalang untuk mewujudkan keinginan tersebut. Apabila melihat kembali dalam ajaran agama Hindu terkait dengan perilaku hidup yang komunal, hal itu sangat bertentangan dengan Mahawakya Tat Twam Asi yang ada dalam kitab suci agama Hindu. Tat Twam Asi mempunyai arti engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Makna mendasar yang dapat dipetik dari Tat Twam Asi tersebut adalah bagaimana menyayangi diri sendiri demikian juga menyayangi orang lain bahkan lingkungan sekalipun. Atas dasar itu maka tindakan yang tidak membeda-bedakan baik berdasarkan daerah asal maupun agama adalah sangat diperlukan bahkan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Tat Twam Asi sangat selaras dengan ideologi negara yaitu Pancasila. Dengan demikian setiap warga negara mempunyai hak untuk mengaktualisasikan ajarannya di tengahtengah masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang berlaku di masyarakat tersebut serta tetap mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Beberapa masyarakat perantauan masih beranggapan bahwa ada perebedaan di antara masing-masing individu dan perbedaan antara kelompok berdasarkan daerah asal dan etnis. Sikap yang membedakan individu berdasarkan 3
daerah asal menyebabkan masyarakat pendatang khususnya masyarakat Hindu mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan penduduk asli, karena dalam diri individu masih lekat akan rasa egois dan menganggap bahwa dirinya akan bisa berkembang apabila hidup hanya dalam kelompok orang yang satu etnis dan satu agama. Perilaku komunal individu menjadikan kepentingan kelompok menjadi perioritas dibandingkan dengan kepentingan bersama. Lebih utamanya kepentingan kelompok dibanding kepentingan bersama menjadikan setiap kelompok akan berlomba-lomba untuk dapat memenuhi kepentingan kelompoknya masing-masing. Lockwood (dalam Wirawan, 2012: 59) menyatakan bahwa kekuatankekuatan yang saling bersaing dalam mengejar kepentingannya masing-masing akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social disorder). Adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat baik itu yang didasarkan oleh etnis, agama atau adat istiadat setempat dapat mengakibatkan benturan-benturan kepentingan, sehingga untuk dapat mencapai integrasi antar anggota kelompok yang satu dengan kelompok yang lain akan mengalami kesulitan. Dampak yang ditimbulkan dari perilaku komunal oleh masyarakat Hindu di daerah transmigrasi yaitu kurangnya komunikasi dengan masyarakat di luar komunitasnya. Sujana (1994: 57) menyatakan bahwa salah satu proses sosial budaya yang menjadikan masyarakat Bali transisi yaitu proses dari budaya komunal klasik menekankan pola interaksi dan komunikasi primer menuju budaya komunal modern yang menekankan pola interaksi dan komunikasi sekunder. Kini semakin banyak warga desa yang tidak kenal satu sama lain dan hubungan-hubungan sosial semakin bersifat sekunder. Masyarakat mengalami proses formalisasi sosial yaitu hubungan-hubungan sosial terjadi manakala
4
hubungan-hubungan itu dilakukan secara formal. Perilaku komunal menjadi individu tidak terlalu menghiraukan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, individu lupa bahwa ia hidup dalam masyarakat, karena terbawa oleh kepentingan-kepentingan kelompok. Mengejar kepentingan kelompok dan bergaul hanya dengan individu dalam kelompok menjadikan individu itu tidak lagi menghiraukan individu lain di luar kelompoknya. Jika telah terjadi demikian akibatnya adalah individu suatu kelompok tidak saling mengenal dengan individu kelompok lain. 2.2. Kegiatan-Kegiatan Desa Adat Adat atau kebiasaan merupakan polapola perilaku bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Apabila kemudian ternyata pola-pola perilaku tersebut tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan pokok, krisis akan muncul dan pola-pola tradisional akan menjadi semakin lebih kokoh sehingga sulit untuk dirubah (Soekanto, 2012: 288). Kehidupan masyarakat Hindu di Bali dikenal dua istilah desa yang memiliki lingkup yang berbeda, ada yang disebut dengan desa dinas dan ada yang disebut dengan desa adat. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 pasal 1 (a) tentang pemerintah desa menyebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya Pitana (1994: 139) menyatakan bahwa desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan istilah desa dinas atau desa administratif. Dalam susunan lingkungan masyarakat adat Bali, dikenal adanya wadah desa adat WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
yang mengorganisir masyarakat secara bulat. Eksistensi desa adat benar-benar sangat dominan, bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa adat berpegang pada suatu sarana yang menyebabkan semakin bulat dengan adanya pura kahyangan tiga yang meliputi pura dalem, pura puseh dan pura desa (Artadi, 2003: 4). Pitana (1994: 139) menyatakan bahwa desa adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama Hindu dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh satu sistem budaya. Kehidupan masyarakat Hindu di daerah transmigrasi pada umumnya turut membawa budaya Bali sebagai daerah asal nenek moyang mereka, salah satu budaya yang sangat lekat pada setiap kelompok masyarakat hindu adalah organisasi desa adat. Pada masyarakat Hindu di perantauan setiap desa masingmasing memiliki desa adat tersendiri. Terkait dengan budaya desa dinas yang dimiliki oleh masyarakat Bali, masyarakat Hindu di daerah transmigrasi menyebutnya hanya dengan sebutan desa. Desa adat berada dalam lingkungan desa dan anggota desa adat merupakan bagian dari anggota desa administratif. Menutut Pitana (1994: 140), ada beberapa kemungkinan ruang lingkup dan cakupan antara desa dinas dan desa adat atau sebaliknya, beberapa kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Satu desa dinas mempunyai luas wilayah dan penduduk sama dengan satu desa adat. 2. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat. 3. Satu desa adat terdiri atas beberapa desa dinas yang umumnya terdapat di daerah perkotaan. 4. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat dan sebagian dari desa adat lain. Melihat beberapa kategori desa adat di atas, apabila melihat desa-desa adat yang ada WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
di beberapa daerah transmigrasi khususnya Sulawesi Tengah, satu desa administratif (di Bali dikenal dengan istilah desa dinas) terdiri dari satu desa adat, dan adapula yang satu desa administratif terdiri dari 2 desa adat. Jumlah anggotanya berbeda-beda karena yang termasuk ke dalam desa administratif adalah seluruh penduduk dalam satu desa, dalam hal ini tidak memandang ras, suku dan agama, semua penduduk termasuk dalam desa admnistratif. Sedangkan jumlah anggota desa adat hanya masyarakat yang beragama Hindu saja. Oleh karena itu jumlah anggota desa adat lebih kecil dibandingkan dengan jumlah desa administratif (di Bali disebut desa dinas). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh desa adat adalah berbagai macam bentuk kegiatan yang mengarah pada kegaitan sosial religius umat Hindu. Berbagai bentuk kegiatan dilaksanakan oleh desa adat, merupakan bentuk kerjasama sehingga segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dapat dilaksanakan dengan baik. Desa adat mengatur berbagai bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kahyangan tiga. Kegiatan-kegiatan anggota desa adat melakukan aktivitas dalam bentuk ngayah, sebagai akibat dari menempati karang desa. Adanya desa adat menjadikan masyarakat Hindu lebih banyak melakukan kegiatan sosial hanya dalam lingkungan desa adat saja. Hanya sebagian kecil kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena begitu banyak kegiatan-kegiatan sebagai akibat menempati karang desa yang harus dilakukan. Berbagai kegiatan sosial religius hampir keseluruhan dilakukan hanya dengan melibatkan anggota desa adat, dengan demikian keikutsertaan penduduk asli dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan sosial jarang bahkan hampir tidak ikut terlibat. Hal tersebut menjadikan kehidupan masyarakat hindu terkesan tertutup dari penduduk asli dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu keberadaan 5
desa adat hendaknya bukan merupakan pembatas dalam melakukan interaksi dengan penduduk lokal. Dalam berbagai kegiatan desa adat selalu melibatkan penduduk lokal, karena dengan demikian akan terjadi interaksi antara penduduk pendatang dalam hal ini umat Hindu yang transmigrasi dengan penduduk asli. Di samping itu juga dengan mengajak penduduk lokal dalam turut serta membantu menyelesaikan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan dalam lingkungan desa adat menjadikan penduduk asli merasa dihargai. Selain berbagai kegiatan sosial yang dilakukan dalam lingkungan desa adat, kegiatan-kegiatan sosial religius dilingkungan desa adat juga hendaknya selalu memperhatikan kegiatan-kegiatan desa. Pengaturan mengenai kegiatan-kegiatan desa adat perlu dikondisikan dengan kegiatankegiatan yang dilakukan di desa administratif. Kegiatan desa adat menyesuaikan dengan kegiatan desa administratif. Desa adat beranggotakan hanya yang beragama Hindu, sehingga apabila tidak mampu untuk menyesuaikan jadwal kegiatan dengan kegiatan desa, maka umat Hindu akan mengalami kesulitan untuk dapat diterima sebagai bagian dari desa administratif, karena jarangnya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh desa, sehingga interaksi dan hubungan dengan penduduk selain umat Hindu juga akan semakin renggang. Waktu pelaksanaan kegiatan yang bersamaan tersebut menjadikan warga masyarakat Hindu khususnya mengalami kesulitan dalam memilih. Apabila mengikuti kegiatan desa maka konsekuensinya adalah dikenakan denda dalam lingkungan desa adat dan menipisnya hubungan sosial di antara sesama anggota desa adat. Namun apabila dalam kegiatan desa administratif tidak diikuti akan memiliki dampak kesulitan dalam berbaur dengan masyarakat lokal, karena dalam kegiatan-kegiatan yang demikian merupakan momen penting dalam melakukan interaksi. 6
Arwati (dalam Pitana 1994: 139) meninjau dari sudut pandang harmoni mengandaikan keberadaan desa adat dan desa dinas seperti keberadaan dan hubungan suamiistri, yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsinya tersendiri, tetapi selalu ada dalam hubungan yang harmonis dan saling mengisi antar sesamanya, di dalam usaha menuju masyarakat yang sejahtera-sentosa. Memperhatikan uraian di atas antara desa adat dan desa dinas yang oleh desa-desa di daerah transmigrasi lebih dikenal dengan desa administratif harus dapat saling mengisi dan memiliki tujuan yang sama, walaupun memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Jika memang demikian waktu kegiatan-kegiatan desa adat apabila memungkinkan harus dapat disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan desa administarif. Strategi konflik Marxian memandang masyarakat sebagai arena individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan masyarakat mereka sendiri (Wirawan, 2012: 68). Masyarakat Hindu di daerah transmigrasi merupakan masyarakat yang termasuk dalam kategori lemah (subordinate). Keberadan desa adat dengan berbagai bentuk kegiatan sosial religius yang dilaksanakan merupakan suatu kebutuhan sosial ketika seorang individu yang beragama Hindu hidup dalam lingkungan masyarakat Hindu. Selain itu kehidupan individu dalam kehidupan masyarakat yang majemuk juga memerlukan suatu wadah kehidupan sosial yang menaungi seluruh lapisan masyarakat yaitu desa administratif. Oleh karena itu kedua lembaga tersebut harus dapat diikuti secara bersamaan oleh seorang individu, sehingga individu dapat hidup dalam lingkungan sosialnya. Kegiatan-kegiatan dalam kedua lingkungan tersebut juga harus dapat diikuti WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
oleh masyarakat Hindu, karena keduanya merupakan wadah untuk melakukan interaksi. 2.3. Bahasa Daerah Kehidupan sebagai makhluk sosial, selain berkomunikasi juga dituntut untuk dapat berbaur dan menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya bahasa, akan dapat dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pada saat beradaptasi dengan lingkungan sosial tertentu, akan memilih dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Koentjaraningrat (dalam Setyawan, 2011: 66) menjabarkan tujuh unsur kebudayaan dimana bahasa sebagai salah satu yang termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan tersebut. Pada dasarnya bahasa memiliki fungsifungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan media yang digunakan untuk melakukan interaksi dan komunikasi antara individu. Kemampuan dalam berbahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif menjadikan seseorang lebih mudah untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat mendasar, karena dengan bahasa memungkinkan individu untuk saling menukar informasi (information sharing). Trudgill (dalam Setyawan, 2011: 66) menyatakan bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai sarana pembangun hubungan sosial dan pemberitahuan informasi terhadap lawan bicara. Sedangkan Moor (dalam Dasih, 2011: 24) menyatakan bahwa manusia dilandasi kapasitas untuk menyampaikan maksud, hasrat, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman dari orang yang satu kepada orang WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
lain. Penyampaian tersebut dijembatani dengan bahasa sehingga individu yang melakukan interaksi menjadi sepaham terkait dengan apa yang ingin disampaikan. Terkait dengan ucapan sebagai salah satu wujud bahasa, Niti Sataka 5 menyebutkan sebagai berikut: Keyurani na bhusayanti purusam harah na candrojjvalah na snanam na vilevanam na kusumam nalamkrtah murddhajah vanyeka samalamkareti purusam ya sanskta dharyate ksiyante khalu bhusanani vagbhusanam bhusanam. Artinya: Bukan perhiasan yang dapat menambahkan kecantikan seseorang tetapi ucapan dan kata-kata yang baik dan manis juga dapat meluluhkan hati orang (Mertha, 2009: 31). Ungkapan kitab Niti Sataka tersebut memberi penegasan bahwa ucapan dan katakata apabila dapat diucapkan dengan baik dan sopan serta memiliki makna yang mendalam akan mampu meluluhkan hati seseorang. Demikian halnya ketika berinteraksi dengan masyarakat lokal penggunaan kata-kata dan bahasa akan mempu menjadikan lebih akrab dan dapat diterima dengan baik dalam lingkungan masyarakat setempat. Masyarakat Hindu yang merupakan orang Bali pada umumnya dalam berinteraksi dengan sesama orang Bali menggunakan bahasa Bali. Penggunaan bahasa daerah setempat dalam melakukan interaksi dengan individu dari etnis yang berbeda menjadikan suasana interaksi menjadi lebih diliputi oleh rasa kekeluargaan. Suasana ketika menggunakan bahasa daerah dalam berinteraksi menjadikan interaksi akan lebih akrab. Selain itu penggunaan bahasa Indonesia dalam melakukan komunikasi merupakan sesuatu yang sangat memungkinkan terjadinya 7
interaksi yang baik antar penduduk pendatang dan penduduk asli. Interaksi masyarakat Hindu dengan penduduk asli hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia, karena itu akan sangat membantu dalam berkomunikasi. Apabila memungkinkan akan baik juga menggunakan bahasa daerah penduduk setempat, karena hal tersebut menjadikan suasana komunikasi akan lebih akrab dan suasana kekeluargaan akan semakin erat. Setyawan (2011: 66) mengungkapkan bahwa pemilihan bahasa daerah atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi tentunya tidak mudah karena kita harus benar-benar memperhatikan variabel lain yang memaksa kita untuk memilih salah satu bahasa agar terwujudnya pola komunikasi yang baik dan benar sehingga terbangun suatu hubungan yang humanis di antara penutur dan lawan bicara. Oleh karena itu bahasa daerah sebagai salah satu pilihan bahasa yang bisa digunakan secara tepat dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi. Perbedaan bahasa memang terkadang bisa menjadikan atau memunculkan ketersinggungan hingga akhirnya pertikaian antar individu. Namun apabila setiap individu memiliki pemahaman yang sama dalam hal bahasa, tentu komunikasi akan lancar dan pesan yang disampaikan sesuai dengan maksud penyampaian pesan tersebut. Interaksi masyarakat Hindu di daerah transmigrasi dengan penduduk lokal terkadang harus menggunakan bahasa daerah, karena akan menjadikan interaksi lebih akrab. Sebagai masyarakat pendatang dalam usaha untuk menghindari ketersinggungan karena perbedaan penggunaan bahasa, maka sebagai masyarakat pendatang pada waktu-waktu tertentu ketika melakukan interaksi dengan penduduk lokal menggunakan bahasa masyarakat lokal. Holmes (dalam Setyawan, 2011: 66) mengungkapkan ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi penggunaan atau pemilihan bahasa, misalnya topik, lawan 8
bicara, dan konteks sosial serta lokasi pembicaraan. Pemakaian bahasa harus memperhatikan bahasa apa yang tepat digunakan saat berkomunikasi dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Masyarakat Hindu sebagai penduduk pendatang memiliki nada bahasa yang berbeda dengan penduduk asli. Perbedaan tersebut harus bisa dipahami oleh masyarakat Hindu, karena ketika tidak dipahami maka akan terjadi kesalapahaman terkait pesan yang disampaikan. Oleh karena itu gaya bahasa daerah penduduk lokal sangat penting untuk dipahami dan apabila memungkinkan penduduk pendatang juga dapat menggunakan gaya dan nada bahasa yang demikian, akan tetapi hanya semata-mata untuk menambah suasana akrab dalam melakukan komunikasi. Setyawan (2011: 66) menyatakan bahwa bahasa memiliki relevansi yang kuat terhadap kebudayaan pemakai bahasa, relevansi itu bisa berupa nada bahasa, konsep gramatikal bahasa ataupun konsep tingkatan bahasa. Bahasa merupakan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan, proses penyampaian pesan ini berlangsung dalam proses interaksi yaitu hubungan timbal balik antara pengirim pesan dan penerima pesan. Efektif atau tidak pesan yang disampaikan tergantung kemampuan individu dalam menyampaikannya. Bahasa memiliki pengaruh dalam penyampaikan pesan, karena ketika orang yang melakukan interaksi memiliki pemahaman sama terhadap bahasa yang digunakan dalam mengantarkan pesan, maka pesan akan dapat disampaikan dengan efektif. Namun sebaliknya apabila orang yang melakukan interaksi baik yang mengirim maupun yang menerima pesan tidak sepaham terhadap bahasa yang digunakan maka akan terjadi kesalahan persepsi terhadap pesan yang disampaikan. Pentingnya penggunaan bahasa sebagai alat dalam melakukan interaksi menjadikan penguasaan bahasa yang sama dalam melakukan interkasi menjadi penting sehingga WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
tidak terjadi kesalahpahaman di antara masyarakat yang melakukan interaksi. Masyarakat Hindu di perantauan menjadikan kemampuan berbahasa penduduk lokal menjadi suatu hal yang penting, karena interaksi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah setempat menjadikan interaksi penuh dengan rasa kekeluargaan dan keakraban. Menggunakan bahasa daerah untuk berinterkasi dalam kehidupan sehari-hari disamping menjadikan interaksi lebih harmonis, juga menjadikan penduduk asli merasa dihargai, dengan demikian akan tercipta keharmonisan. Berbagai bentuk hambatan yang dihadapi masyarakat Hindu untuk melakukan adapasi akan memberikan potensi konflik apabila tidak mampu untuk dipahami dengan baik. Kelompok-kelompok sosial akan turut serta menjadi penyebab timbulnya konflik. Ritzer (2002: 26) menyatakan bahwa teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan disintegrasi sosial. Setiadi dan Kolip (2011: 347) menyatakan bahwa konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, yaitu konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Perilaku komunal masyarakat Hindu di daerah transmigrasi, akan melahirkan benturan kepentingan antara kelompok masyarakat Hindu dengan kelompok penduduk lokal. Apabila kepentingan-kepentingan tersebut selalu berusaha untuk mendominasi dan tidak memiliki tujuan yang sama, maka di sana akan muncul konflik antar kelompok. Setiap anggota masyarakat pada umumnya sangat menghindari terjadinya konflik, demikian juga masyarakat Hindu. Oleh karena itu, perilaku komunal yang merupakan penyebab terjadinya konflik harus dapat dihilangkan, sehingga akan tercipta integrasi. Menurut para sosiolog WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
(dalam Setiadi dan Kolip, 2011: 377), beberapa akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya konflik adalah: 1) Bertambahkuatnya rasa solidaritas kelompok; 2) Hancurnya kesatuan kelompok; 3) Adanya perubahan kepribadian individu; 4) Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada; dan 5) Hilangnya harta benda (material) dan korban manusia. Masyarakat di wilayah transmigrasi secara umum dapat digolongkan ke dalam kelompok penduduk pendatang dan kelompok penduduk lokal. Kelompok penduduk pendatang adalah kelompok penduduk yang tinggal dan menetap di wilayah tersebut bedasarkan kepentingan-kepentingan tertentu, yang tergolong dalam kelompok ini adalah penduduk etnis Bali yang beragama Hindu. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok penduduk lokal, yang merupakan penduduk yang pertama kali hidup di wilayah tersebut. Dahrendrof (dalam Ritzer, 2002: 27) membedakan golongan yang terlibat konflik atas dua tipe, yaitu kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Sedangan kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas, kelompok inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Pendapat Dahrendrof di atas, apabila diaplikasikan ke dalam keadaan penduduk di wilayah transmigrasi, maka kelompok semu (quasi group) adalah penduduk lokal sedangkan kelompok kepentingan (interest group) adalah penduduk pendatang. Ketidakmampuan masyarakat Hindu sebagai masyarakat pendatang untuk mengantisipasi atau memahami hambatan-hambatan dalam melakukan adaptasi dengan masyarakat lokal akan menimbulkan dampak terjadinya 9
diistegrasi dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena perilaku komunal, ketidakmampuan berbahasa daerah setempat dan padatnya kegiatan desa adat sehingga menyebabkan tidak mampu untuk mengikuti kegiatan desa administratif menjadi suatu keadaan tidak dapat diterima oleh kelompok penduduk lokal. Ketidakterimaan tersebut akan berdampak pada terjadinya konflik sosial. 3.
Kesimpulan Adaptasi dalam suatu lingkungan masyarakat mutlak diperlukan, karena dengan adanya adaptasi yang baik, maka akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Dalam melakukan adaptasi berbagai hambatan ditemuai oleh masyarakat Hindu yang berada di wilayah transmigrasi, hambatan-hambatan tersebut adalah: 1) Perilaku komunal, yaitu adanya beberapa masyarakat Hindu yang melakukan interaksi hanya pada kelompok tertentu yang berdasarkan daerah asal dan agama yang dianut, sehingga menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok dalam masyarakat; 2) Kegiatan-kegiatan desa adat, yaitu masyarakat Hindu selalu hidup dalam organisasi adat yang segala bentuk kegiatan baik itu kegiatan sosial maupun kegiatan religius dilakukan sepenuhnya oleh anggota desa adat. Hal tersebut memberi kesan tertutup kepada masyarakat asli, dan dalam berbagai kegiatan utamanya kegiatan sosial dalam lingkungan adat sangat jarang melibatkan penduduk asli; dan 3) Perbedaan bahasa, yaitu pemahaman akan bahasa daerah penduduk asli yang kurang sehingga menyebabkan kurangnya interaksi dengan penduduk asli. DAFTAR PUSTAKA Artadi, I Ketut. 2003. Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta:
Jendra, I Wayan. 1998. Dharmatula Dialog Intern Umat Hindu. Surabaya: Paramita. Pitana, I Gde. 1994. Adi Wacana: Mosaik Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Editor I Gde Pitana. Dinamika Masyarakat dalam Kebudayaan Bali (Sebuah Ontologi). Denpasar: Balai Pustaka. Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Rejeki,
MC Ninik Sri. 2007. Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 2, Desember 2007. (akses tanggal 26 Juli 2013). Tersedia dalam URL: http://jurnal.uajy.ac.id.
Ritzer,
George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 2011. Strategi Hindu. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga. Wirawan, Agus Budi dan Darmadi, I Wayan. 2011. Perubahan Perilaku SosioReligi-Kultur Masyarakat Bali (Hindu) Di Kota Palu. Laporan Hasil Penelitian. Palu: STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah.
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para
10
WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014