Hukum Perlilldullgall KOllsumell
423
HAK-HAK PRODUSEN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh: Agus Brotosusilo Pembicaraan mengenai perlindungan konsumen dewasa ini semakin banyak dibahas oleh berbagai kalangan, khususnya para sadana hukum, yang melihat pentingnya adanya peruncumgan mengenai perlindungan konsumen. Oleh karena selama In! banyak masyarakat, yang sebagian konsumen sangat terbatas pemahamanny.a mengenai hukum perlindungan konsumen. Datam tulisan ini penulis mencoba mengkaji beberapa masalah yang berkaitan erat dengan kepentingan konsumen disamping hak-hak produsen, dan dilengkapi studi perbandingan mengenai rejim hukum perlindungan konsumen di berbagai negara sebagai rujukan.
Sistem hukum Denmark menganllt prinsip bahwa: "Bila prodllsen tidak mampll menghasilkan produk yang aman (bagi pemakai), mereka harus dilarang memproduksi" (Leloczky, 1989). Prinsip yang merupakan inti rezim hllkum perlindungan konsumen ini menunjukkan seberapa besar tanggung-jawab produsen atas produknya. Telaah ini didasarkan pada keyakinan bahwa adalah wajar bilamana tanggung-jawab produsen yang tidak ringan ini disertai dengan jaminan atas hak-hak yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam upaya menjalankan usaha yang jujur. Usaha yang jlljur hanya dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang, apabila ada konsllmen yang sehat dan bersedia memanfaatkan produk lIsaha yang bersangkutan.
Oktober 1992
Hukum dan Pembangunan
424
Dengan demikian, mengingat sifat-hakekatnya, telaah atas hak-hak produsen tidak dapat terlepas dari kajian atas perlindungan konsumen. Mengingat masih sangat terbatasnya pemahaman atas hukum perlindungan konsumen dikalangan masyarakat, sebelum membahas hak-hak produsen, kajian ini akan ·diawali dengan telaah atas beberapa masalah yang berkaitan sangat erat dengan kepentingan konsumen, yaitu: (\)
siapa yang dimaksud dengan konsumen;
(2)
hak -hak pokok konsumen;
(3)
hambatan atau kendala yang dihadapi, yang meliputi POSIS( konsumen, sarana hukum yang tersedia, maupun proses peradilan kasus konsumen.
dan
Kajian didasarkan pada kepentingan produsen maupun konsumen Indonesia. Namun berhubung sangat sedikitnya bah an kepustakaan maupun hasil penelitian tentang hal ini, telaah akan dilengkapi dengan studi perbandingan mengenai rezim hukum perlindungan konsumen di berbagai negara yang telah lebih dahulu mengkaji upaya perlindungan terhadap kepentingan konsumen, terutama negara-negara (anggota Masyarakat Ekonomi) Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin. Studi perbandingan ini semakin reI evan untuk dilakukan, mengingat bahwa akibat makin derasnya arus globalisasi, perkembangan yang sangat pesat dalam perlindungan konsumen di berbagai negara tersebut akan langsung dirasakan akibatnya oleh para pelaku ekonomi di Indonesia yang memasarkan komoditinya ke negara-negara tersebut. Sebaliknya, produk-produk yang dihasilkan oleh sementara produsen yang tidak bertanggung jawab (termasuk dari negara-negara tersebut) dapat beredar di pasaran Indonesia, sehingga tidak saja akan merugikan konsumen, tetapi juga merugikan produsen yang jujur. Namun kedua hal tersebut ditelaah dengan tidak mengabaikan hak-hak produsen dan perlindungan konsumen Indonesia terhadap prod uk lokal yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak.
Nomor 5 Tahull XXII
425
Hukum Perlindungan Konsumen
Siapa yang dimaksud dengan "Konsumen"? Sampai saat ini Indonesia belum memiliki ketentuan hukum yang komprehensif dan integratif tentang perlindungan konsumen. 1 Berbagai peraturan yang sudah ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Bahkan sementara aparat pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan ketentuan yang belum memadai tersebut menyatakan: ketentuan yang ada belum dapat dilaksanakan, akibat kurangnya tenaga dan prasarana,z Ketentuan dalam Burgeri ijk Wetboek (BW) hanya memberikan perlindungan kepada ·pembeli" (pasal 1473-1512), atau pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian (pasal 1320-1328), padahal BW tidak berlaku bagi warganegara Indonesia asli/pribumi (kecuali bila pribumi yang bersangkutan menundukkan dirinya secara sukarela, atau pernah mengalami proses huk,um "persamaan haklgelijkstelling).3 Beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana memang dapat dipakai untuk menindak produsen yang "nakal" (pasal-pasal 204; 205; 359; 360; dan 386), tetapi tidak memberikan kompensasi apapun kepada konsumen yang dirugikannya. Berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen perumusannya sedemikian luas, sehingga tidak dapat secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Misalnya saja Undang-undang No.6 Tahun 1960 tentang Pokok Kesehatan, pada pasal 9 memberi tugas kepada pemerintah untuk meningkatkan kesadaran rakyat akan pemeliharaan dan perlindungan kesehatan; dan pasal 10 menugasi pemerintah untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat, antara lain dengan melakukan pengawasan atas perlengkapan obat-obatan, alat-alat kesehatan, dan tenaga kesehatan. Tetapi ketentuan 1
Kesimpulan penelitian tentang perlindungan konsumen di perkotaan lawa·Bali dan
pedesaan lawa Tengah. dalam: "Nasknh Final Sementara Rancangan Akademik Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen". disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam rangka kerjasama dengan Badan Penelitian Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan RI. Jakarta, Mei 1992.
2
dan
Diskusi dalam Seminar Nasional tenlang Perlindungan Konsumen. Yogyakarta, 11-13
Desember 1991.
3
Pasal 131 jo . 163 1.5. , 5 .1879 No.54 ; 5.1917 No.129; S. J 924 No.556. Penundukan subrela diatur dalam S . 1917No.12,sedangkan gelijkslclling dalam S.1883No.192jo . 163I.S.:(5).
Olaober 1992
Hukum dan Pembangunan
426
ini hanya bersifat preventif, sehingga konsumen yang menderita kerugian tidak dapat memperoleh kompensasi atas kerugian (kesehatan, jiwa, maupun materiel) yang menimpanya. Babkan ketentuan yang sebenarnya bersifat preventif/peneegaban ini, dalam praktek seringkali hanya diterapkan seeara reaktif, yaitu sebagai reaksi bila telab jatuh korban, misalIiya saja dalam kasus biskuit beraeun yang menelan eukup banyak korban jiwli. Demikian juga bagian terbesar dari ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, yaitu berbagai peraturan selctoral yang biasanya berbentuk keputusan menteri, belum mampu dimanfaatkan seeara langsung untuk melindungi kepentingan 4 Babkan pengertian "konsumen" itu sendiri hampir tidak konsumen. dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pemabaman pengertian "konsumen" akan lebih jelas bila dilakukan studi perbandingan atas beberapa negara yang telab mengembangkan perlindungan konsumen yang memadai di dalam sistem hukumnya. Pengertian "konsumen" di Amerika Serikat. Adams (1989) mengemukakan babwa sampai di awal abad ke-XX hukum di Amerika Serikat hanya memberikan jaminan ganti-rugi akibat produk eaeat . bagi seseorang yang terikat dalam kontrak pribadi ("in privity of contract") dengan Produsen atau Penjual. Namun di tabun 1916 timbul kemajuan dalam hukum perlindungan Konsumen, karena sejak saat tersebut Produsen memiliki tanggung-jawab terhadap seluruh Pemakai produknya, babkan juga terhadap bukan Pemakai, yang menjadi korban hanya karena kebetulan berada di dekat Produk eaeat yang menimbulkan kerugian . Tetapi perkembangan paling pesat dalam "negligence theory" dial ami pada tabun 1960an, dengan di terapkannya "strict liability" bagi Produsen atas produ\mya yang eaeat ("defect"). Jadi, meskipun arti kata "konsumen" sebenarnya adalab "pemakai", di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi
4
Misalnya saja: Peraturan Menteri Kesehatan No.79/1978 lentang Label dan Perik.lanan; Peraturan Menlen Keachatan No.329/J976tentang Produksi dan Pered.ran Mlkanan; dan berbagai peraturan menteri tentang: mutu barang. standlr industri Indonesia, elektronib.
bndaraan bennotor.
Nomor 5 Tahun XXII
Hukum Perlilldullgall KOllsumell
4Z7
sebagai "korban pemakaian produk yang eaeat", baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karen a perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.
Pengertian "konsumen" di negara-negara (anggota masyarakat ekonomi) Eropa. Upaya perlindungan terhadap Konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota Eorupean Economic Community (EC) dilakukan dengan cara menyusun "(Product Liability) Directive" yang nantinya harus diintegrasikan ke dalam infrastructur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui "Statutory orders· yang berlaku terhadap warganegara seluruh negara anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam "Directive" harus di implementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan ·Statutory orders" dapat langsung berlaku bagi semua warganegara dari negara-negara anggota EC. Usaha persiapan penyusunan "Directive· telah dimulai sejak tahun 1974, sehingga di tahun 1976 draft pertama "Directive" telah berhasil diselesaikan. Melalui proses yang panjang, kompromi atas draft baru tercapai pada bulan Juni 1985 . Negara- negara anggota diwajibkan untuk mengimplementasikan "Directive" ini melalui perundang-undang nasional masing-masing selambat-Iambatnya pada tanggal 30 July 1988 (Haveman, 1989) . Sampai awal 1989, belum semua negara anggota, kecuali Inggris, Junani dan Itali, berhasil mengimplementasikan "Directive". Belanda, Jerman Barat, Luxemburg dan Denmark sampai saal itu sedang berusaha mematangkan perundang-undang untuk implementasi "Directive" tersebut. Sebaliknya, beberapa negara Eropa yang bukan anggota EC, seperti Austria, telah berhasil menyusun peraturan perundang-undangan yang isinya sesuai dengan "Directive· (Leloczky, 1989).
"Directive" ini mengedepankan konsep "liability without fault".5 Pengertian "konsumen" (consumers) tidak dijabarkan secara rinei dalam
5
Alinea ke 6 preambuJ "Directive".
Oktober 1992
428
Hukum dan Pembangunan
"Directive". Untuk memahaminya dapat dilakukan dengan meneIaah pasal 1, dikaji bersama-sama dengan pasaI 9 "Directive" yang isinya sebagai berikut.
Anicle 1 The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product. Anicle 9 For the purpose of Article 1, 'damage' means: (a) damage caused by death or by personal lI!Junes; (b) damage to, or destruction of, any item ofpropeny other than the defective product itself, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property: (I) is a type ordinarily intended for private use or consumption, and (Ii) was used by the injured person mainli for his own private use or consumption. This Anicle shall be without prejudice to national provisions relating to non-material damage. Berdasarkan kedua pasaI tersebut dapat disimpuIkan bahwa "konsumen" berdasarkan "Directive" adaIah pribadi yang menderita kerugian Giwa, kesehatan , maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperIuan pribad inya. Jadi konsumen yang dapat memperoIeh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah "pemakai produk eaeat untuk keperIuan pribadi" . Perumusan ini sedikit Iebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat . DaIam "Naskah FInal Sementara Raneangan Akademik Undang-undang Tentang Periindungan Konsumen", yang disusun oIeh FakuItas Hukum Universitas Indonesia, dalam rangka kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan RI, pengertian konsumen dirumuskan sebagai:
Nomor 5 Tahun XXII
429
Hukum Perlindungan Konsumen "Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan". 6
Perumusan ini sedikit lebih mendekati konsep dalam "Directive" jadi tidak seluas ketentuan di Amerika Serikat, yang memasukkan korban bukan pemakai sebagai pihak yang berhak untuk mendapatkan kompensasi.
Hak-hak pokok konsumen
Hasil penelitiim yang dilakukan oleh Tim Penyusun Naskah Akademik RUU tentang Perlindungan Konsumen dari FH-UI (selanjutnya disebut Tim FH-UI) di tahun 1991-1992 menunjukkan bahwa: tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya, baik di perkotaan maupun di pedesaan, masih sangat rendah. Tidak seorangpun diantara responden maupun narasumber yang dirugikan oleh produk cacat pernah me1akukan tindakan hukum, baik secara pribadi, melalui YLKl/YLK Daerah/YLK Mandiri, maupun melalui saluran Pengadilan. Tidak terbatas pada konsumen awam, dua ibu Doktor di bidang hukum (dari Jakarta dan Semarang) mengakui telah sering menderita kerugian akibat produk cacat, tetapi tidak pernah mengambil tindakan hukum apapun. Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut. Presiden Amerika Serikat yang terbunuh di tahun enampuluhan, J.F. Kennedy, mengemukakan empat hak konsumen sebagai berikut: (1). the right to safety; (2). the right to choose;
(3). the right to be informed; (4). the right to be heard.
6
Pasal 1 (Ketentuan Umum) sub (8), "Naskah F'maJ Sementara Rancangan Akademik Undang-undang Tentang Perlindlwgan KODSumen" , yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, delam rangka kerjasams dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan RI, Jakarta, Mei 1992.
Oktober 1992
Hukum dan Pembangunan
430
Keempat hak konsumen ini disempurnakan kemudian oleh L.B. Johnson yang mengemukakan periunya pengembangan konsep producy warranty dan product liability. Dengan memanfaatkan perkembangan hukum tentang periindungan konsumen di negara tetangganya, Amerika Serikat, Mexico mengembangkan hukum periindungan konsumennya sendiri. Perangkat hukum utama dalam periindungan Konsumen di Mexiko dirumuskan dalam "the Federal Consumer Protection Act of 1975 (the FCPA)", yang banyak dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan sejenis di Amerika Serikat. Tujuh prinsip utama yang diperjuangkan oleh salah satu organisasi buruh (the National Mixed Commission for the Protection of the Salary) yang mempunyai hubungan erat dengan "the Laborer's Confederation of Mexico (the "CIM") berhasil diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan ini, yaitu: (1)
ketentuan-ketentuan tentang periindungan . Konsumen bersifat mengikat (tidak dapat dikesampingkan atas kesepakatan para pihak);
(2)
hubungan hukum antara Pedagang (pengecer) dengan Konsumen harus di dasari oleh prinsip kejujuran ("principle of truthfulness ");
(3)
kontrak antara Pedagang (pengecer) dengan Konsumen harus tunduk pada "principle of transparency", jadi dirumuskan dalam kata-kata yang tepat dan jelas;
(4)
jaminan ("waranties') atas suatu produk harus dapat dipaksakan oleh hukum;
(5)
pemerintah memiliki wewenang untuk menetapkan tingkat bunga maksimum dan jumlah pengeluaran untuk transaksi kredit;
(6)
Konsumen memiliki hak untuk memodifikasi persyaratan perjanjian yang ditentukan secara sepihak oleh Produsen barang dan jasa;
(7)
Konsumen harus dapat memanfaatkan prosedur administratif untuk memperbaiki atau merubah: praktek bisnis tidak jujur oleh Pengusaha, atau segal a perlakuan tidak wajar yang ditujukan terhadap Konsumen.
Nomor 5 Tahun XXII
431
Hukum Perlilldungall KOllsumell
YLKI merumuskan hak-hak konsumen sebagai: (I) (2) (3) (4) (5)
hak hak hak hak hak
atas keamanan dan keselamatan; mendapatkan informasi yang jelas; memilih; untuk didengar pendapatnya dan keluhannya; atas lingkungan hudup.
Tim Penyusun Naskah Akademik RUU tentang Perlindungan Konsumen dari FH-UI berusaha untuk menampung aspirasi YLKI, tetapi juga berupaya untuk menyesuaikan dan bahkan mengantIslpasi perkembangan perekonomian yang sangat pesat akir-akir ini. Sebagai hasilnya, tim tersebut merumuskan hak-hak konsumen sebagai: (I) (2) (3) (4) (5)
hak atas keamanan; hak untuk memilih; hak atas informasi; hak untuk didengar; hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya; dan (6) hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya, tetapi juga adanya persepsi yang salah dikalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap produsen. Hal inilah yang menjadi penyebab utama bahwa RUU tentang perlindungan konsumen yang pernah diajukan ke berbagai pihak oleh YLKI (termasuk ke kalangan wakil-wakil rakyat di DPR-RI) tidak pernah mendapatkan tanggapan yang memadai. Persepsi yang keliru dikalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan sebagai berikut: (I) bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan; usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat.
Oktober 1992
432
Hukum dan Pembangunan
(2) bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggung-jawab; (3) kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan us aha bagi produsen yang bertanggung-jawab dapat dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya; (4) bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat telah diperhitungkan sebagai konponen produksi, sehingga beban tersebut tidnk ditanggung oleh produsen, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang tidak cacat. Berbekal pemahaman atas hal-hal diatas, berikut akan ditelaah: posisi konsumen, sarana hukum yang tersedia, dan proses peradilan kasus konsumen. Gambaran tentang posisi konsumen Indonesia dapat dilihat dari hasil penelitian Tim FH-UI. Sebagian besar responden maupun narasumber pernah menderita gangguan kesehatan maupun kerugian materiel akibat mengkonsumsi suatu produk. Gangguan maupun kerugian tersebut timbul antara lain karena: produk yang cacat (cacat desain maupun cacat produksi); kualitas barang yang tidak sesuai dengan pengeluaran yang telah mereka lakukan; kuantitas barang yang tidak sesuai dengan ukuran, timbangan atau takaran yang seharusnya; terbujuk oleh iklan yang merugikan; janji fasilitas purna jual yang tidak ditepati; pembelian prod uk akibat tergiur fasilitas kredit padahal sebenarnya barang tersebut tidak diperlukan; dan korban dari perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh penjual produk. Namun hasil penelitian manunjukkan bahwa tidak ada satu orangpun diantara responden maupun narasumber yang mender ita gangguan kesehatan maupun kerugian materiel menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum. Para peneliti menarik kesimpulan bahwa sikap masa-bodoh para konsumen yang mendekati keputus-asaan tersebut disebabkan antara lain karena:
Nomor 5 Tahull XXII
Hukum Perlilldullgall KOllSUmen
433
(1) hukum yang ada belum cukup menjamin kepentingan perlindungan
atas konsumen; (2) aparat penegak hukum belum mampu melaksanakan ketentuan perundang-undang yang ada (akibat tidak memadainya sarana atau rendahnya rasa tanggung-jawab aparat); (3) tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih sangat rendah; dan (4) masih bertahannya sistem nilai yang tidak mendukung pelaksanaan upaya perlindungan konsumen secara efektif 7 Tim juga melihat bahwa car a berfikir sebagian pengusaha masih bersifat profit oriented jangka pendek semata, tanpa memperhatikan keselamatan konsumen yang merupakan bag ian dari jaminan kelangsungan usaha pengusaha dalam jangka panjang. Dalam perspektif yang lebih luas, Tim juga menilai bahwa selama ini suara pengusaha lebih didengar oleh pemerintah dari pada jeritan konsumen yang dirugikan. Sikap ini antara lain karena dipengaruhi oleh suasana pembangunan yang dianggap sangat membutuhkan sumbangan pengusaha, baik untuk bidang perpajakan, ketenaga-kerjaan, maupun pembangunan daerah. 8 Kajian diatas menunjukkan betapa lemahnya posisi konsumen, apabila dia harus berhadapan dengan pengusaha, apalagi bila dalam hal ini pemerintah tidak mengambil sikap untuk bertanggung-jawab melindungi kepentingan konsumen. Telaah diatas sekaligus menunjukakan betapa tidak memadainya sarana hukum yang tersedia untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen di negara kita. Kekurangan meliputi baik komponen sistem hukum yang struktural, substantif, maupun bidang budaya hukum.
7
Kesimpulan penelitian lenlang perlindungan konsumen di perkotaan Jaws-Bali dan pedesaan
Jawa Tengah. dalam: "Naskah Vwal Sementurn Rancangao Akadewik Undang-undang Teotang Perlindungan Konsumeo", disusun oleh FakuilAs Hukum Universitas Indonesia, dalam rangka ketjasama dengan Badan Penelitian dan Pcngembangan Perdagangan, Departemen Pcrdagangan RI, Iakarta, Mei 1992,hal. 36-37.
8
"Naskah Final Sementara Raocangan Akademik Undallg-undang Tentang Perlindungan Kowumen", disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam rangka Icerjasama dengon Badan Penelilian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan RI. Jakarta, Mci 1992,hal. 1-2.
Oktober 1992
434
Hukum dan Pembangunan
Proses peradilan kasus konsumen Tim FH-UI menekankan bahwa salah satu hak konsumen adalah: hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Meskipun Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menjamin peradilan yang murah dan cepat, hal ini tetap merupakan impian para pencari keadilan sampai saat ditulisnya kajian ini. Keadaan tersebut berlaku pula terhadap konsumen yang ingin mendapatkan perlindungan melalui sistem peradilan kita, bila tidak diadakan suatu terobosan yang akan mampu mewujudkan imp ian akan peradilan yang murah dan singkat yang dijamin oleh undang-undang tersebut. Untuk mengenali bentuk terobosan semacam apa yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undang di negara kita, akan ditelah berbagai bentuk proses peradilan yang diterapkan terhadap kasus konsumen di beberapa negara. Di Amerika Serikat, cacat pada produk yang menimbulkan "strict liability" terhadap Produsennya dapat dibedakan dalam: (1) production defect; (2) desaign defect; dan (3) warning defect. Ganti-rugi yang tibul dari produk cacat yang dikategorikan dalam "desaign defect" dapat dituntut berdasarkan teori "the consumer expectation test", dan teori "the risk benefit test". Namun teori "the risk benefit test" memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada Konsumen, karena berdasarkan teori ini diterapkan "beban pembuktian terbalik" dalam membuktikan adanya "design defect": bukan !corban yang harus membuktikan "design defect", tetapi Produsenlah yang harus membuktikan tidak terjadinya "design defect", dan bilamana gagal, dia harus bertanggung-jawab atas !cerugian yang timbul dari produknya. Di Mexico, untuk penyelesaian perselisihan antara Konsumen dan Pengusaha (produsen, Pedagang/Pengecer, Perusahaan milik negara, lembaga independen, lembaga pemerintah lainnya), FCPA menyediakan sarana konsiliasi dan arbitrase, terlepas dari proses berdasar hukum perdata dan dagang biasa. Jadi penyelesaian melalui !consiliasi dan arbitrase tidak menutup kemungkinan di tempuhnya proses berdasar hu!cum perdata dan dagang biasa. Dalam rangka mengejar kemajuan teknologi dan perkembangan dalam praktek bisnis sambil tetap mempertahankan prinsip perlindungan terhadap Konsumen ,FCPA telah mengalami amandemen sebanyak 29 kali sampai Februari 1989. Nomor 5 Tahun XXII