HAK-HAK POLITIK MAHASISWA DALAM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (Perspektif Hukum Islam)
OLEH:
MOHD HARUN BIN ESA NIM: 106045203753
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M / 1429 H
HAK-HAK POLITIK MAHASISWA DALAM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (Perspektif Hukum Islam)
SKRIPSI Diajukan kepadaFakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
OLEH: MOHD HARUN BIN ESA NIM: 106045203753
Di Bawah Bimbingan Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Tabrani Syabirin, Lc, M.Ag. NIP: 150 312 427
Iding Rosyiding, S.Ag, M.Si. NIP:150 371 091
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M / 1429 H
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orangorang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.
2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami. 3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 5. Drs. Tabrani Syabirin, Lc, M.Ag dan Bapak Iding Rosyiding, S.Ag, M.Si Dosen
Pembimbing
skripsi
penulis,
yang
dengan
sabar
telah
memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Semoga apa yang telah Bapak ajarkan
mendapat balasan dari Allah SWT. 6. Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah. 7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum. 8. Ayahanda Esa bin Awang dan Ibunda Chah binti Abdul Karim yang telah banyak membantu dan sentiasa mendoakan penulis. 9. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Ustadzah
Zaitun,
Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah
Nabilah,
Ustadzah
Yazidah,
Ust.
Kamaruzaman, Ust. Syahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Wan Zul, dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan di sini. 10. Teman-teman
Indonesia
yang
telah
banyak
membantu
dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Oyok Tolisalim dan
beberapa teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 11. Teman-teman satu perjuangan dari Malaysia, yang sama-sama dalam perjuangan (A.hadi, Faisal, Baihaqi, Khairil, Amir, Mustofa, Mawardi) serta teman Malaysia yang berada di Aspa dan Aspi ( Baha, Siti Hajar, Nur Masyitah, Hajar Harun, Salwa, Anisah, Hazrin, Ikram, N. Syazwani, Halimah dll).
Penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya
menyampaikan
kepada
harapan
semua
yang
pihak
begitu
pada
besar
agar
umumnya. skripsi
ini
Penulis dapat
memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang baik di sisiNya.
Jakarta: 28 Juli 2008 M 25 Rajab 1429 H Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………..
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………….
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………… 6 D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan …………………….. 6 E. Kajian Terdahulu (Review) ……..…………………………….
8
F. Sistematika Penuliasan ………………………………………... 9 BAB II
HAK-HAK POLITIK A. Pengertian Hak-Hak Politik ………………………………….. 11 B. Sejarah Singkat Hak Politik dalam Islam ……………………. 17 C. Macam-macam Hak Politik ………………………………….. 24
BAB III GAMBARAN UMUM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (AUKU) DI MALAYSIA A. Sejarah Dibentuk AUKU …..…………………………………. 33 B. Beberapa Hal Yang Diatur Dalam AUKU ….………………… 38 C. Hak Politik Mahasiswa Dalam AUKU ...…………………….. 41 BAB IV
ANALISIS HAK POLITIK MAHASISWA MALAYSIA DALAM AUKU A. Hak Berkumpul dan Beserikat ………………………………... 44 B. Hak Mengeluarkan Pendapat …………………………………. 57
C. Hak Memilih dan Dipilih ……………………………………… 63 D. Akibat Adanya AUKU ………………………………………... 66 E. Pemerintah Harus Melindungi Hak Politik Mahasiswa………… 70 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………… 73 B. Saran ………………………………………………………….. 75
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 78 LAMPIRAN 1. Akta Universiti Kolej Universiti 1971 2. Perlembagaan Persekutuan Malaysia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara maju adalah negara yang mampu menjalankan tugasnya, bukan hanya untuk menjaga dan memelihara keamanan, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya. Dan kemajuan suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari segi kemajuan ekonominya saja, akan tetapi harus dilihat dari segi yang lain seperti politik dan sosial budaya. Artinya bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu tidak hanya diukur dengan kemajuan ekonomi saja, akan tetapi dilihat dari terpenuhinya semua hak-hak rakyat seperti hak hidup, hak milik, hak perlindungan keamanan dan kehormatan, hak politik dan lain-lain. Jaminan hak-hak rakyat biasanya di negara-negara moderan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hak-hak rakyat yang harus diberikan dan dijamin oleh negara itu pada hakikatnya adalah hak asasi manusia yang bersifat kodrati berasal dari Tuhan. Oleh karena itu sebenarnya hak-hak dasar
manusia
(rakyat)
tidak
memerlukan
legatimasi
yuridis
untuk
memberlakukannya dalam sistem hukum nasional maupun internasional.1 Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak
1
Bambang Sutiyoso, Aktuarita Hukum dalam Era Reformasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Cet. 1, h. 100
itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Namun terkadang adanya penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap perampasan, perkosaan, dan pemanipulasian HAM oleh manusia satu kepada manusia yang lain atau oleh manusia kepada rakyatnya, sehingga HAM memerlukan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia. Hak politik merupakan salah satu hak rakyat yang harus diberikan dan dijamin oleh negara. Misalnya hak rakyat untuk berkumpul atau berserikat, berpendapat di muka umum dan turut serta dalam pemerintahan. Adanya pemenuhan dan jaminan hak-hak dasar rakyat -termasuk hak politik- merupakan suatu ciri sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu suatu pemerintahan yang melibatkan peran rakyat dan tidak memasung kehendak rakyat karena pada hakikatnya demokrasi itu adalah suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Malaysia merupakan negara yang menganut sistem Raja Beparlemen (monarki konstitusional), semua undang-undang yang dilaksanakan dibuat oleh parlemen dan disetujui oleh Yang Di-Pertuan Agong.2 Undang-undang yang telah ditetapkan ini harus di jalankan untuk menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat, memenuhi dan menjamin hak-hak rakyat demi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran.
2
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006), Cet. III, h. 293
Pada tahun 1971 satu akta atau undang-undang telah dikeluarkan oleh parlemen Malaysia yaitu Akta Universiti kolej Universiti (AUKU) yang merupakan akta ke 30 dari 655 semua akta yang telah disahkan oleh parlemen hingga 5 April 2008.3 AUKU ini mengatur berbagai hal yang berhubungan dengan universitas dan kolej Universitas, seperti untuk mengatur pembentukan, struktur organisasi Universitas dan Kolej universitas, etika dan disiplin pelajar (mahasiswa). Akan tetapi ada beberapa pasal dalam AUKU yang mengatur larangan bagi mahasiswa untuk ikut berpolitik, yaitu misalnya dalam pasal 15 dan 16. Kedua pasal ini menyebutkan antara lain bahwa mahasiswa atau suatu organisasi perkumpulan mahasiswa tidak boleh mengadakan hubungan dan dukungan terhadap partai politik. Seharusnya dalam AUKU itu menjamin hakhak mahasiswa. Dengan adanya AUKU ini telah timbul berbagai masalah yang melibatkan hak mahasiswa terutamanya dalam hak kebebasan berpolitik. AUKU ini bertujuan untuk mengontrol pergerakan mahasiswa terutama dalam politik, membendung faham kesukuan serta melumpuhkan potensi pelajar sebagai pengkritik pemerintah. Akta ini mendapat tentangan dari dosen-dosen dan mahasiswa yang merasakan hal itu, karena merupakan satu upaya pemerintah untuk menyekat aktivitas mahasiswa dalam politik luar kampus.4
3
http://www.agc.gov.my/agc/oth/listTLawbm_1.htm. diakses pada tanggal 26 Juni pukul 15.30 WIB.
Ini menunjukkan adanya pengekangan dan diskriminasi terhadap hak politik rakyat dalam hal ini mahasiswa, sehingga gerak-gerik mahasiswa dibatasi. Padahal mahasiswa adalah generasi muda yang dianggap memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, kekuatan semangat, cita-cita, dan idealisme serta mempunyai sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga mahasiswa diharapkan akan mampu memberikan perubahan untuk kemajuan bangsa. Kita dapat melihat di berbagai negara bahwa adanya gerakan-gerakan yang bersifat radikal dan reformis kebanyakan dilakukan oleh para mahasiswa atau generasi muda. Misalnya reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 tidak lepas dari gerakan mahasiswa. Oleh karenanya ada suatu istilah yang sering digunakan dan ditujukan kepada mahasiswa bahwa mereka adalah sebagai agen of change. Ini terbukti dari sejarah perkembangan pergerakan mahasiswa di Malaysia, bahwa dalam dekade tahun 60-an gerakan mahasiswa di Malaysia telah mengalami zaman keemasannya, karena mereka dipuji dan dihormati bahkan suara mereka didengar oleh semua pihak. Akan tetapi setelah adanya AUKU, pada tahun 70-an gerakan mahasiswa tidak lagi bebas sehingga pada tahun 1974 terjadi peristiwa Baling yang mengakibatkan adanya penangkapan terhadap para aktivis mahasiswa.5 Mula dari sinilah hingga sekarang mahasiswa di Malaysia
4
Riduan Mohamad Nor, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, (Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, 2007), Cet.I, h. 29 5 Ibid., h. vi
tidak lagi kelihatan ‘taringnya’, karena mereka tidak memiliki kebebasan untuk bersuara terutama untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini sebenarnya bukan berarti mahasiswa tidak mempunyai keberanian dan kemampuan untuk melakukan hal itu melainkan ini disebabkan karena adanya peraturan yang mengekang mahasiswa. AUKU ini jelas-jelas mengekang gerakan mahasiswa dari bersikap proaktif dalam politik dan membatasi hubungan politik dengan partai politik diluar kampus. Memang mahasiswa di Malaysia dibolehkan untuk aktif dalam berbagai organisasi tetapi hanya dalam kampus yang tidak berkaitan dengan politik praktis dan organisasi mereka tidak diperbolehkan mengkritik pemerintah karena apabila ini terjadi akan ada penangkapan terhadap mereka.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk mengkaji hak-hak politik mahasiswa di Malaysia dan menjadikan sebagai tema skripsi dengan judul “Hak-hak Politik Mahasiswa dalam Akta Universiti Kolej Universiti (Perspektif Hukum Islam)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar perbahasan dalam skripsi ini tidak meluas, maka penulis perlu kiranya melakukan perbatasan masalah, apa lagi pembahasan tentang hak politik. Untuk itu penulis memfokuskan bahasan hanya seputar hak politik mahasiswa Malaysia yang diatur dalam AUKU.
Berdasarkan uraian dari pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan hak politik mahasiswa di Malaysia ? 2. Apakah dalam AUKU telah menjamin hak-hak politik mahasiswa ? 3. Bagaimana seharusnya pemerintah melindungi hak-hak politik mahasiswa ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skrip ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaturan hak berpolitik mahasiswa di Malaysia. 2. Untuk mengetahui apakah hak politik mahasiswa di Malaysia telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. 3. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya pemerintah melindungi hak-hak politik mahasiswa. Adapun dari segi manfaat, hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada: 1. Mahasiswa, yaitu memberikan kesadaran khususnya kepada teman-teman mahasiswa bahwa selama ini ada hak-hak mahasiswa yang dibatasi dan tidak dipenuhi oleh negara yaitu dalam hal hak berpolitik. 2. Memberikan masukan dan saran kepada para pengambil keputusan
atau
kebijakan di Malaysia bahwa perlu adanya peraturan yang dapat menjamin hak-hak mahasiswa.
3. Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah khazanah kepustakaan, khususnya dalam bidang kajian Fiqih Siyasah.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian normatif dan kualitatif deskriftif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif. 2. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini studi pustaka, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi/ bahan tertulis, kemudian sumber yang diambil pun sepenuhnya adalah data-data perpustakaan yang dipandang mewakili (representatif) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian, yaitu yang terbagi ke dalam data primer dan data sekunder. Yang menjadi data primer dalam kajian ini adalah AUKU dan literatur yang membahas secara khusus tentang hak-hak politik. Sedangkan data sekunder adalah data tambahan yang ada relevansinya dengan permasalahan. 3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan kosep, serta analisis hukum yang bersifat yuridis normatif yang menggambarkan tentang hak politik mahasiswa di Malaysia. 4. Tehnik Penulisan Dalam tehnik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. E. Kajian Terdahulu (Riview) Dalam riview kajian terdahulu ini penulis berusaha mendata dan membaca skripsi yang membahas tema yang berkaitan dengan topik yang penulis angkat. Ada beberapa skripsi yang penulis temukan antara lain: 1. “Hak Berpolitik Seorang Muslimah (Perspektif Fiqih Politik)”. Skripsi ini menjelaskan tentang gambaran umum mengenai hak-hak politik dan titik berat utamanya adalah hak politik perempuan. Lebih jauh skripsi ini juga melihat hak politik muslimah dalam tinjauan fiqih politik.6 2. “Hak Politik Non Muslim Dalam Perspektif Islam”. Skripsi ini menjelaskan mengenai hak politik non muslim, dijelaskan secara terperinci pada bab II dan bab III. Di dalam kajiannya disebutkan sejarah hak-hak politik non muslim, pengertian dan tinjauan hukum Islam mengenai hak politik non muslim.
6
Jamalullail, “Hak Berpolitik Seorang Muslimah (Perspektif Fiqih Politik)”, (Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)
Penulis mencoba menganalisa hak-hak politik yang diberikan Islam kepada non muslim, di mulai dari hubungan antara muslim dan non muslim, di lanjutkan dengan perbuatan baik dan adil kepada non muslim, dan di akhiri dengan konsep kebebasan beragama dan kebebasan melakukan aktivitas.7 3. “Hak Politik Non Muslim Dalam Perspektif Al-Qur’an ( Sebuah Analisis Tafsir Tematik dalam Studi Al-Qur’an)”. Kajian skripsi ini tidak jauh berbeda dengan skripsi nombor dua di atas, namun di dalam bab IV ada kajian khusus yaitu mengenai hak politik non muslim dalam Al-Qur’an. Dalam bahasan ini ada bahasan mengenai memilih pemimpin, hubungan antara muslim dengan non muslim.8 Dari beberapa skripsi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum membahas tentang hak-hak politik. Fokus bahasannya antara lain tentang hak berpolitik seorang muslimah, hak politik non muslim menurut Al-Quran dan hak politik menurut Islam. Yang kesemua itu berbeda dengan fokus bahasan yang penulis angkat yaitu masalah politik mahasiswa di Malaysia yang sejauh pengamatan penulis, belum ada yang membahasnya.
F. Sistematika Penulisan
7
Edy Sofyan, “Hak Politik Non Muslim dalam Perspektif Islam”, (S1, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 8 Ali, “Hak Politik Non Muslim dalam Perspektif Al-Qur’an ( Sebuah Analisis Tafsir Tematik dalam Studi Al-Qur’an)”, Skripsi S 1, Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis susun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
Merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaan penulisan, metode penelitian dan tehnik penulisan, tinjauan kajian terdahulu (review) dan sistematika penulisan.
BAB II
Menjelaskan tentang hak-hak politik meliputi tentang pengertian hak politik, sejarah hak politik dalam Islam dan macam-macam hak politik.
BAB III Menjelaskan gambaran umum tentang AUKU, meliputi sejarah terbentuknya AUKU, beberapa hal yang diatur dalam Akta Universiti Kolej Universiti dan hak politik mahasiswa dalam AUKU. BAB IV Menguraikan tentang analisis doktrin hak politik mahasiswa di malaysia
dalam
AUKU
yaitu
meliputi
hak
berserikat,
hak
mengeluarkan pendapat, memilih dan dipilih serta bagaimana pemerintah harus melindungi hak politik mahasiswa. BAB V
Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II HAK-HAK POLITIK
D. Pengertian Hak-hak Politik Kata hak politik terdiri dari dua kata yaitu hak dan politik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hak berarti benar, milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu dan hak juga berarti derajat atau mertabat.9 Kata hak berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi mengandung beberapa arti. Dalam al-Quran terdapat beberapa makna untuk kata hak. Makna hak sebagai ketetapan dan kepastian terdapat dalam al-Quran surat Yasin/36: 7. Makna hak sebagai menetapkan dan menjelaskan terdapat dalam surat al-Anfal/8: 8. Makna hak sebagai bagian yang terbatas terdapat dalam al-Ma’arij/70: 24-25. Kata hak dengan arti benar, lawan dari batil, terdapat dalam surat Yunus/10: 35.10 Dalam kamus Lisan al-Arab, kata hak diartikan dengan ketetapan, kewajiban, yakin, yang patut dan benar.11
9
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. I, h. 292 10 11
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Logos, 2004), Cet. I, h. 9
Jalaluddin Muhammad Ibnu Manzhur, Lisan al-'Arab, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li alTa'lif wa al-Tarjamah, t.th), Juz 11, h. 332-343
Sedangkan kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).13 Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.14 Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan 12
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. II, h. 34 13 14
Ibid., h. 292
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 608
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.15 Selanjutnya sebagai suatu sistem Munawir Sadzali menerangkan, bahwa poltik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenagan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggungjawab dan bagaimana bentuk tanggungjawabnya.16 Politik dalam bahasa Arab disebut dengan siyâsah yang berasal dari kata
ﺳﻴﺎﺳﺔ- ﻳﺴﻮس- ﺳﺎس, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan:
أﻣ ْﺮﺗُﻬﺎ و َﻧ َﻬ ْﻴﺘُﻬﺎ: ﺳ ًﺔ َ ﻋ ﱠﻴ َﺔ ﺳِﻴﺎ ِ ﺖ اﻟ ﱠﺮ ُ ﺴ ْﺳ ُ
yang berarti
saya memerintahnya dan melarangnya.17 Politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urursan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.18 Difinisi ini diambil dari hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban
15
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. XXVII, h. 8 16
Munawir Syazili, Islam dan Tata Negara, (Jakarta:UI Press. 1990), h. 41
17
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496 18
Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), Cet. II, h. 11
untuk mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan umat atau rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
ﻦ َﻳﺴَﺎ ٍر ﻓِﻲ َ ﻞ ْﺑ َ ﻦ ِزﻳَﺎ ٍد ﻋَﺎ َد َﻣ ْﻌ ِﻘ َ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ َﺒ ْﻴ َﺪ ا ُ ن ﻦ َأ ﱠ ِﺴ َﺤ َ ﻦ ا ْﻟ ْﻋ َ ﺐ ِ ﺷ َﻬ ْ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌ ْﻴ ٍﻢ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َأﺑُﻮ ا ْﻟَﺄ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ِ ﻦ َرﺳُﻮ ْ ﺳ ِﻤ ْﻌ ُﺘ ُﻪ ِﻣ َ ﺣﺪِﻳﺜًﺎ َ ﻚ َ ﺤ ﱢﺪ ُﺛ َ ﻞ إِﻧﱢﻲ ُﻣ ٌ ل َﻟ ُﻪ َﻣ ْﻌ ِﻘ َ ت ﻓِﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﺿ ِﻪ اﱠﻟﺬِي ﻣَﺎ ِ َﻣ َﺮ ﻄﻬَﺎ ْ ِﻋ ﱠﻴ ًﺔ َﻟ ْﻢ ُﻳﺤ ِ ﷲ َر ُ ﺳ َﺘ ْﺮﻋَﺎ ُﻩ ا ْ ﻋ ْﺒ ٍﺪ ا َ ﻦ ْ ﻣَﺎ ِﻣ:ل ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻲ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ َو 19(ﺔ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ِ ﺠ ﱠﻨ َ ﺤ َﺔ ا ْﻟ َ ﺠ ْﺪ رَا ِﺋ ِ ﻻ َﻟ ْﻢ َﻳ ﺤ ٍﺔ ِإ ﱠ َ ﺼ ْﻴ ِ ِﺑ َﻨ Artinya: Diceritakan kepada kami Abu Nu’aim diceritakan kepada kami Abu AlAsyhab diriwayatkan dari Al-Hasan bahwasanya Abdullah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar ketika dia sakit menjelang matinya berkata Ma’qil kepadanya (Ziyad): saya akan memberitahukan kepadamu apa yang telah saya dengar dari Rasulullah SAW., aku mendengar Nabi SAW bersabda:“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan ummat dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (rakyat) dia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari)
ﻦ ِ ﺿ ﱠﺒ َﺔ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ ِﺴ َﺤ َ ﻦ ا ْﻟ ْﻋ َ ﺤﻴَﻰ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َﻗﺘَﺎ َد ُة ْ ﻦ َﻳ ُ ي ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َهﻤﱠﺎ ُم ْﺑ ﻦ ﺧَﺎِﻟ ٍﺪ ا ْﻟَﺄ ْز ِد ﱡ ُ ب ْﺑ ُ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َهﺪﱠا ن َ ن ُأ َﻣﺮَا ُء َﻓ َﺘ ْﻌ ِﺮ ُﻓ ْﻮ ُ ﺳ َﺘ ُﻜ ْﻮ َ :ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأ ﱠ َ ﻦ ُأمﱢ ْﻋ َ ﻦ ٍﺼ َ ﺤ ْ ِﻣ ﻣَﺎ،َ ﻻ:ﻞ َ ﻼ ﻧﻘَﺎ ِﺗُﻠ ُﻬ ْﻢ َﻗ َ ﻗَﺎُﻟﻮْا َأ َﻓ.ﻲ َوﺗَﺎ َﺑ َﻊ َﺿ ِ ﻦ َر ْ ﻦ َﻣ ْ ﺳِﻠ َﻢ َوَﻟ ِﻜ َ ﻦ َأ ْﻧ َﻜ َﺮ ْ ئ َو َﻣ َ ف َﺑ ِﺮ َ ﻋ َﺮ َ ﻦ ْ ن َﻓ َﻤ َ َو ُﺗ ْﻨ ِﻜ ُﺮ ْو 20 (ﺻﻠﱡﻮ ْا )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ َ Artinya: Diceritakan kepada kami Hadab bin Khalid Al-Azdi diceritakan kepada kami Hammam bin Yahya diceritakan kepada kami Katadah daripada Dayyabah bin Mihshon daripada Ummi Salamah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara’), maka dia tidak diminta tanggung-jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang yang redha (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara’) dan mengikutinya maka dia berdosa. Para sahabat bertanya: apakah kita
19
Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim al-Bukhâri, Sahîh Bukhâri,(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz XXII, h. 62, hadits no. 6617 20
Muslim bin al-Haj Abu al-Husin al-Qusairi al-Nisaburi, Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihya’ al-Tharashi al-Arabi), Juz IX, h. 400, hadits no. 3445
memerangi mereka? Rasul menjawab: tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam).” (HR. Muslim). Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada dasarnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas sejarah pembentukan negara, hakekat negara serta bentuk dan tujuan negara.21 Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah halhal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Mengacu pada pengertian tersebut, politik yang berasal dari kata polis yang berarti Negara bisa juga diartikan sebagai bentuk kumpulan yang sengaja dibentuk untuk mendapatkan suatu yang baik. Karenanya, setiap negara (polis) sudah barang tentu harus memiliki suatu aturan main yang disebut undang-undang atau hukum, pemegang otoritas hukum yang kemudian disebut sebagai politicos atau raja, dan yang melaksanakan aturan pemerintahan dalam hal ini semua lapisan masyarakat yang mengakui terhadap kekusaan seorang pemimpin. Oleh karenanya, persoalan politik kelihatannya tidak bisa dilepaskan dari persoalan kesepakatan, legitimasi,
21
J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles; Seri Filsafat Politik, (Jakarta: CV. RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. I, h. 3-4.
bai’at terhadap seseorang pimpinanan produk hukum yang lahir sebagai aturan dalam melaksanakan roda pemerintahan.22 Ilmu politik adalah salah satu disiplin ilmu kemasyarakatan yang membahas masalah-masalah pemerintahan, lembaga-lembaga, negara, proses politik, hubungan internasional, tata negara dan pemerintahan. Semuanya itu merupakan kegiatan perseorangan maupun kelompok yang menyangkut hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat mendasar.23 Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami, karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa.24 Dalam hal ini al-Quran dan alSunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti al-Quran menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu kemampuan dan
22
h. 9
Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), Cet. I,
23
H. M. Darwis Hude, (ed), Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. I, h. 471 24
h.75
H. Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), Cet. I,
perkembangan zaman. Kendati demikian al-Quran memberikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.25 Dari penjelasan di atas, secara garis besar hak politik dapat diartikan sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu ataupun diambil oleh siapa pun dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara. Menurut para ahli hukum hak politik adalah hak yang dimiliki dan diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik (negara), seperti hak memilih (dan dipilih), mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara,26 atau hak politik itu adalah hak-hak di mana individu memberi andil melalui
hak
tersebut
dalam
mengelola
masalah-masalah
negara
atau
memerintahnya.27 Hak politik merupakan hak asasi setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.
E. Sejarah Hak Politik dalam Islam
25
Munawir Syazili, Islam Dan Tata Negara, h. 41 A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I, h. 17 26
27
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. I, h. 17
Islam merupakan manhaj ketuhanan yang diturunkan kepada nabi besar Muhammad SAW untuk umat manusia agar mereka berada dalam jalan yang benar dan selamat di dunia dan di akhirat. Dilihat dari sejarah sebelum datang Islam, keadaan manusia pada waktu itu berada dalam keadaan Jahiliyyah. Kehidupan beragama di jazirah Arab sebelum Islam adalah penyembah berhala, mereka telah menyimpang jauh dari ajaran keTuhanan yang dibawa oleh Nabinabi mereka. Hukum yang berlaku berdasarkan kepada hukum adat istiadat, dan dalam tatanan masyarakat menganut paham kesukuan (kabilah). Selain penyembah berhala, juga sering terjadi peperangan antara kabilah, terjadi perbudakan, dan hal-hal lain yang berbau Jahiliyyah. Dalam keadaan seperti itulah Islam datang dengan al-Quran sebagai petunjuk hidup. Al-Quran yang berisi hukum-hukum atau pera-turan-peraturan yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunnahnya telah membawa bangsa Arab keluar dari kejahilan sehingga mereka menjadi bangsa yang beradab. Bahkan, Rasulullah SAW telah berhasil membuat suatu peradaban baru yaitu suatu tatanan masya-rakat yang teratur dan dinamis, dalam bentuk kepemimpinan Beliau di Madinah. Rasulullah SAW telah memperkenalkan dasardasar dan prinsip-prinsip pemerintahan (kenegaraan). Misalnya dapat dilihat dari praktik-praktik yang dicontohkan Nabi dalam musyawarah dengan para sahabat. Walaupun beliau sebagai pemimpin agama (rasul) dan pemimpin negara, akan tetapi beliau tidak bersikap otoriter terhadap para sahabat dan kaum muslimin.
Beliau memberikan dan menjamin hak-hak warga masyarakat termasuk dalam hal yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan (politik). Ada beberapa peristiwa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan hak politik masyarakat misalnya ketika kaum Muslimin hendak melakukan Perang Uhud. Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat, beliau meminta pertimbangan mereka apakah sebaiknya tetap tinggal dan berlindung di Madinah saja atau keluar menyongsong pasukan kaum kafir Quraiys. Ada sahabat yang mengusulkan untuk keluar menyongsong kaum kafir Quraiys dan Nabi pun menerimanya.28 Demikian juga Nabi menerima pendapat sahabat Salman Al-Farisi agar membuat parit dalam peperangan Ahzab, sehingga perang ini disebut juga dengan perang Khanddak (parit).29 Pasca Rasulullah SAW wafat, sahabat Khulafah ar-Rasyidin pun telah memberikan contoh berkenaan dengan hak politik masyarakat misalnya ketika Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah beliau berkhutbah: “Amma Ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan bukanlah saya orang terbaik diantara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik bantulah saya, dan jika saya melakukan tindakan yang menyeleweng luruskanlah saya. Sebab kebenaran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak-haknya untuknya, sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di hadapanku sehingga saya ambilkan hak orang lain darinya… Taatlah kalian pada ku selama saya taat kepada Allah dan jika saya 28
Akram Dhiya Al-Umuri, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, edisi Indonesia Seleksi Sirah Nabawiyyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Oleh Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Darul Falah, 2004), Cet. I, h. 408 29
Ibid., h. 458
melakukan maksiat kepada Allah dan RasulNya, maka tidak ada kewajiban taat kalian kepada ku.”30 Dari pidato Abu Bakar tersebut dapat dipahami bahwa beliau bersedia untuk
ditegur
dan
diluruskan
jika
melakukan
penyelewengan
dalam
pemerintahannya. Ini berarti bahwa Khalifah Abu Bakar menjamin dan memberikan hak politik dalam berpendapat kepada rakyatnya. Umar Ibn al-Khaththab tidak pernah memaksakan pendapat apa lagi mendiktekan kehendaknya. Bagi Umar musyawarah bukanlah hanya sekadar untuk menguatkan pendapatnya semata, akan tetapi untuk mencari kebenaran. Umar pernah berkata: “Janganlah tuan-tuan mengemukakan pendapat yang menurut
persangkaan
tuan-tuan
sesuai
dengan
keinginan
saya,
tetapi
kemukakanlah buah fikiran menurut perkiraan tuan-tuan sesuai dengan kebenaran.”31 Satu ketika Umar berpidato dihadapan rakyatnya: “Tuan-tuan jangan memberi maskawin melebihi 40 ugiah! Barang siapa yang melebihinya, maka kelebihannya akan saya masukkan ke baitulmal.” Tiba-tiba dari barisan wanita muncul seorang ibu-ibu yang menyanggahnya dengan berkata: “tidak ada hak
30
Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Samson Rahman, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. I, h. 75 31 Khalid Muhammad Khalid, Khulafa ar-Rasul, alih bahasa oleh Mahyuddin Syaf, dkk., Mengenal Pola Kepimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), Cet. IV, h. 220-221
anda untuk berbuat demikian!.” Lalu Umar bertanya: “Kenapa?” seorang ibu itu menjawab bukankah Allah telah berfirman: ⌧
……
⌧ (20 :4/)ﺳﻮرة اﻟ ّﻨﺴﺎء ☺ Artinya: “…Dan kalian telah memberi ia harta yang banyak, maka janganlah kalian ambil kembali harta itu sedikitpun, apakah kalian hendak mengambilnya secara tidak sah dan dengan melakukan dosa yang nyata?”. Mendengar sanggahan itu wajah Umar pun berseri-seri dan tersenyum. Lalu berkata: “benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”32 Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat telah memberikan contoh dalam hal kebebassan berpendapat dan bermusyawarah dalam mejalankan kepemimpinannya. Selain itu adanya kebebasan berkumpul atau berserikat dan berpendapat dapat kita lihat dari adanya golongan-golongan yang ada pada masa para sahabat seperti adanya golongan Khawarij, Jabariah, Qadariah, Asy’ariah dan bahkan sempat terjadi perpecahan kaum muslimin kedalam golongan pada masa khalifan Ali bin Abi Thalib, yang mana beliau pada waktu itu didukung oleh satu golonggan yang kemudian menjadi golongan syiah. Jika kita bandingkan dengan dunia Barat, maka pembahasan tentang sejarah perjuangan hak politik berkaitan erat dengan sejarah Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu usaha manusia untuk mendapatkan hak-haknya yang dirampas oleh
32
Ibid., h. 227
manusia yang lain. Usaha ini merupakan sebagai reaksi terhadap keabsolutan rajaraja dan kaum feodal pada abad ke-17 dan 18 terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka peker-jakan. Manusia pada zaman tersebut terdiri dari dua lapisan besar, yakni lapisan atas yang minoritas dan lapisan bawah yang mayoritas jumlahnya. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa
atas diri
mereka. Mereka diperlakukan sebagai budak yang dapat diperlakukan sekehendak pemilik-nya. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, timbul gagasan untuk mempersamakan kedudukan lapisan bawah dan lapisan atas karena mereka sama-sama manusia. Muncullah ide persamaan, persaudaraan, dan kebebasan yang ditonjolkan oleh revolusi Perancis pada akhir abad kedelapan belas.33 Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahir HAM di kawasan Eropa di mulainya dengan kelahiran Magna Charta 15 Juni 1215, suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka.34 Dokumen ini antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Kelahiran Magna Charta ini kemudian diikuti oleh kemunculan Bill of Righs di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu, mulai timbul
33
Harun Nasution, “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus, 1995), Cet. II, h. vi 34 Miriam Budiardjo, Ibid.
pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbul negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus diwujudkan, betapa pun berat resiko yang harus dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.35 Untuk mewujudkan semua itu, maka lahir teori kontrak sosial J.J. Roussseau (social contract theory),36 teori trias politika Montesquieu,37 dan John Locke di Inggris dengan teori hukum kodrati.38 Perkembangan HAM selanjutnya, ditandai dengan munculnya The Amarican declaration of Independence. yang lahir dari paham kontrak sosial Rousseau dan trias politika Montesquieu. Mulai dipetegas bahwa manusia adalah
35
Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Keawarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyrakat Madani, (Jakarta: Tim ICCE UIN Syyarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media, 2003), Cet. I, Edisi Revisi, h. 202 36
Menurut Rousseau, manusia yang tinggal dalam keadaan primitif memiliki suatu kebebasan asli. Lalu pada suatu ketika manusia yang memiliki kebebasan asli itu membentuk suatu kehidupan bersama orang lain yang juga memiliki kebebasan itu. Hal ini terjadi melalui suatu proses yang oleh Rousseau disebut kontrak sosial. Lebih jelasnya lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. XV, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 88 37
Yaitu suatu teori tentang pembagian kekuasaan, menurutnya kekkuasan Negara dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga dan masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri-sendiri, yaitu kekuasan perundang-undangan (legislative), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudikatif). Lihat Suhino, Ilmu Negara, cet. V, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h. 117, dapat dilihat juga pada Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Cet. IV, h. 222 38
Menurut John Locke, secara kodratnya manusia sejak lahir telah mempunyai hak-hak kodrat atau hak-hak asasi atau hak-hak alamiah, yaitu hak-hak yang dimilikinya secara pribadi. Mustahillah manusia itu menyerahkan hak-hak aslinya itu kepada instansi lain, oleh sebab hak-hak itu melekat pada manusia sebagai pribadi. Hanya kalau orang telah melanggar undang-undang atau dikalahkan dalam perang terdapat kemungkinan mencabut hak-hak pribadi itu. Tujuan negara tidak lain dari pada menjamin hak-hak pribadi tersebut. Lebih jelasnya silahkan lihat Suhino, Ibid., h. 107-108 dan juga pada Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, h. 81-83
merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidak logis ia dibelenggu bila sudah lahir. Selanjutnya pada tanggal 4 Agustus tahun 1789 lahir The French Declaration (Deklarasi Perancis), yang memuat lima hak utama yang harus dihormati, yakni propiete (hak pemilikan harta) liberte (hak kebebasan), egalite (hak persamaan), securite (hak keamanan), dan resistense a l’oppresion (hak perlawanan terhadap penindasan.39 Perkembangan aturan tentang perlindungan HAM mencapai puncaknya dengan dideklarasikannya The Universal Declaration of Human Right oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak berdirinya padanya tanggal 24 Oktober 1945, PBB telah banyak menghasilkan deklarasi dan perjanjian internasional di bidang HAM. Di antara sekian banyak konvensi internasional yang bersifat penting dan universal yaitu Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Hak-hak Sosial dan Politik.40
F. Macam-macam Hak Politik Menurut Muhammad Anis Qasim Ja’far, hak-hak politik itu ada tiga macam, yaitu: 1. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum;
39 40
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 43 Ibid.., h. 53
2. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga setempat; dan 3. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal-hal lain yang mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik; 41 Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi orangorang yang memenuhi syarat-syarat tertentu di samping syarat kewarganegaraan. Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-hak politik tersebut tanpa ikatan apa pun.42 Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki hak-hak politik di antaranya hak memilih, hak musyawarah, hak pengawasan, hak pemecatan, hak pencalonan dalam pemilihan dan menduduki jabatan.43 Secara umum hak-hak politik dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hak Berkumpul dan Beserikat Hak berkumpul dan berserikat merupakan hak dasar bagi umat (rakyat) untuk bebas berserikat dan membentuk partai-partai atau organisasi-organisasi. Hak ini tunduk pada aturan-aturan hukum tertentu, dan harus dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran, bukan untuk menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Allah berfirman:
41
Mujar Ibnu Syarif, M. Ag, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67 42 43
Ibid. A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, h. 17-19
☺ ) ⌧ ☺ (110 :3 /ﺳﻮرة ال ﻋﻤﺮان Artinya: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Kamu menyuruh berbuat kebajukan dan melarang kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah”. Ini berarti bahwa merupakan kewajiban dan tugas seluruh umat muslim untuk melarang melakukan kejahatan. Apabila umat muslim seluruhnya tidak melaksanakan tugas ini maka sesuai dengan firman Allah:
☺ (104 :3 /) ﺳﻮرة ال ﻋﻤﺮان ☺ Artinya: “Hendaklah ada sekelompok orang dari kamu yang menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran” . Ini jelas menunjukkan bahwa apabila masyarakat semuanya mulai melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka mutlak penting di sana ada paling tidak sekelompok masyarakat yang bersedia melakukannya. Agama Islam telah menganugerahkan kepada rakyat hak untuk membentuk perkumpulan dan partai atau organisasi. 44 Sebagai mana telah dinyatakan dalam ayat di atas, hak ini bukan merupakan sebuah hak yang mutlak, namun harus dijalankan menurut pembatasan-pembatasan umum tertentu. Yakni hak ini harus dilaksanakan untuk tujuan propaganda (dakwah) amal-amal kebaikan dan
44
Abul A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. III, h. 32
kesolehan, serta harus dipergunakan untuk menumpas kejahatan dan kesesatan. Rakyat dapat bebas mengadakan dan mengorganisasikan pertemuanpertemuan, serta sebuah negara Islam tidak boleh melarang hak ini kecuali kalau mengadakan pelanggaran yang nyata.45 Oleh sebab itu setiap orang berhak untuk turut serta bersama-sama dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik dari masyarakatnya dan mendirikan lembaga-lembaga di mana berdasarkan ini ia menikmati hakhaknya dan mengembangkan sepenuhnya diri kepribadiannya. Allah berfirman: ⌧ ⌧ (38/26 :) ﺳﻮرة اﻟﺸﻌﺮاء ⌧ Artinya: “Dan bagi orang yang menerima (mematuhi) suruhan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka”. Ayat ini dapat menjadi pengangan untuk berkumpul atau berserikat serta berpendapat. Bahkan menjadi konsep dasar untuk bermasyarakat dan bernegara yang menghendaki pendapat. Jelasnya “syura atau bermusyawarah jadi pokok dalam pembangun masyarakat dan bernegara dalam Islam. Inilah
45
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet.I , h. 84
dasar politik pemerintah dan pemimpin negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman dan ketika terancam bahaya”.46 Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang menghendaki pergaulan atau diistilahkan dengan jama’ah bahwa setiap muslim selalu menyediakan diri untuk menjunjung tinggi panggilan Tuhan dengan mengerjakan shalat berjema’ah. Akan mengerjakan shalat saja sudah ada jema’ah dan mulai bermusyawarah untuk memilih imam shalat yang akan memimpin jama’ah. Dari musyawarah itu sudah menghendaki pemikiran dan pendapat. Menurut ajaran Islam dengan melalui lembaga perserikatan dan perkumpulan dan mengadakan hubungan-hubungan (musyawarah) konslultasi dan sebagainya suatu kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak manusia dalam suasana persaudaraan. Jelasnya bahwa Islam menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat bagi setiap orang. Hal ini tidak hanya sekedar jaminan melainkan dituntut untuk mewujudnya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Hak Mengeluarkan Pendapat Hak mengeluarkan pendapat pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hak berkumpul dan berserikat. Syariat memiliki pijakan yang kuat pada hak-hak ini, bukti dasarnya tercakup dalam prinsipprinsip al-Quran dan al-Sunnah yang mengatur kebebasan berbicara dan berekspresi. Oleh karena itu prinsip-prinsip Islam tentang hisbah, yang
46
Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Quran, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), Cet. II, h. 57
menyeru untuk berbuat baik dan melarang kejahatan (amar ma’ruf
nahi
mungkar), saling menasihati (nashîhah), dan musyawarah (syura) dapat samasama dikutip, kemudian doktrin ijtihad (penalaran pribadi para ahli hukum yang memenuhi syarat), di samping hak-hak warga negara untuk melontarkan kritik membangun terhadap pemerintah (hak al-mu’âradhah) semuanya termaktub dalam pengakuan syariat atas kebebasan mendasar untuk berbicara, berekspresi dan berserikat.47 Dalam Islam kebebasan berpendapat adalah hak individu yang mengantarkannya kepada kepentingan dan nuraninya yang tidak boleh dikurangi negara atau ditanggalkan oleh individu. Sungguh, hal ini penting bagi kondisi pemikiran dan kemanusiaan setiap individu dan diperlakukan agar seorang muslim melakukan kewajiban-kewajiban Islam. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban dalam Islam yang terpenting dan untuk merealisasikannya dituntut kecekatan mengutarakan pendapat dengan bebas. Umat dan individu memiliki hak mengawasi kepala negara dan seluruh pejabat dalam pekerjaan dan tingkah laku mereka yang menyangkut urusan negara. Hak pengawasan ini dimaksudkan untuk meluruskan Kepala Negara jika dia menyimpang dari jalan yang lurus (jalan Islam dalam memerintah). Tahap pertama untuk meluruskannya ialah memberi nasihat dengan ikhlas. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahihnya:
47
M. Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 104
ِﻟّﻠ ِﻪ:ل َ ﻦ َﻗﺎ ْ ُﻗ ْﻠ َﻨﺎ ِﻟ َﻤ.ﺤ ُﺔ َ ﺼ ْﻴ ِ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ُ َاﻟ ﱢﺪ ْﻳ:ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ي َأ ﱠ ﻦ َﺗﻤِﻴ ٍﻢ اﻟﺪﱠا ِر ﱢ ْﻋ َ 48 (ﻋﺎ ﱠﻣ ِﺘ ِﻬﻢ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ َ ﻦ َو َ ﺴِﻠ ِﻤ ْﻴ ْ ﻷ ِﺋ ﱠﻤ ِﺔ اﻟ ُﻤ َ ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ َو ُ َوِﻟ ِﻜ َﺘﺎ ِﺑ ِﻪ َوِﻟ َﺮ Artinya: Diriwayatkan dari Tamin al-Dari r.a., bahwa Nabi SAW pernah bersabda:“Agama itu nasihat, kami berkata untuk siapa? Nabi berkata, untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin umat Islam dan orang awam”. (HR. Muslim ) Jika nasihat sudah tidak berguna, maka hak umat menggunakan kekuatan yang diperlukan guna meluruskan dan menariknya dari kesesatan dan semua bentuk penyelewengan. Nabi SAW bersabda:
ﻦ َأﺑِﻲ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َﻗ ْﻴ ْﻋ َ ﻦ أَﺑِﻲ ﺧَﺎِﻟ ٍﺪ ُ ﻞ ْﺑ ُ ﺳ َﻤﻌِﻴ ْ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ِإ ْ ن َأ َ ﻦ هَﺎرُو ُ ﻦ َﻣﻨِﻴ ٍﻊ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َﻳﺰِﻳ ُﺪ ْﺑ ُ ﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ْ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َأ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ﻖ ِ ﺼﺪﱢﻳ ﻦ أَﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ٍﺮ اﻟ ﱢ ْﻋ َ ﺣَﺎ ِز ٍم س َ ن اﻟ ﱠﻨﺎ ِا ﱠ:ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ ُل ٍ ﷲ َﺑ ِﻌ َﻘﺎ ُ ن َﻳ ُﻌ ﱠﻤ ُﻬ ُﻢ ا ْ ﻚ َأ َﺷ َ ﻋَﻠﻰ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َأ ْو َ ﺧ ُﺬ ْوا ُ ﻈﺎِﻟ ِﻢ َﻓَﻠ ْﻢ َﻳ ْﺄ ِا َذا َرَأ ْوا اﻟ ﱠ ب ِﻣ ْﻨ ُﻪ )رواﻩ 49 (اﻟﺘﺮﻣﺬي Artinya: Diceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ diceritakan kepada kami Yazid bin Harun dikhabarkan kepada kami Ismail bin Abi Khalid daripada Koisi bin Abi Hazim daripada Abi BakarAs-Siddiq beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang zhalim dan mereka tidak menarik tangannya (menarik dari perbuatan zalim), maka dikhwatirkan Allah akan meratakan siksaan kepada mereka” (HR. At-Tarmizi)
ﻦ ِ ق ْﺑ ِ ﻦ ﻃَﺎ ِر ْﻋ َ ﺴِﻠ ٍﻢ ْ ﻦ ُﻣ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َﻗ ْﻴ ْﻋ َ ن ُ ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ﻦ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ َﺑﺸﱠﺎ ٍر ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻣ ْ َأ ﻦ َرَاى ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ْ َﻣ:ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ل أَﺑُﻮ َ ب ﻗَﺎ ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ن ِ ﻻ ْﻳ َﻤﺎ ِﻒا ُ ﺿ َﻌ ْ ﻚ َا َ ﻄ ْﻊ َﻓ ِﺒ َﻘ ْﻠ ِﺒ ِﻪ َوذِﻟ ِ ﺴ َﺘ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ْ ﺴﺎ ِﻧ ِﻪ َﻓِﺎ َ ﻄ ْﻊ َﻓ ِﺒِﻠ ِ ﺴ َﺘ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ْ ِﻣ ْﻨ َﻜ ًﺮا َﻓ ْﻠ ُﻴ َﻐ ﱢﻴ ْﺮ ُﻩ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ َﻓِﺎ 50 ()رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ
48 Muslim bin al-Haj Abu al-Husin al-Qusairi al-Nisaburi, Sahîh Muslim, Juz 1, h. 181, hadits no. 82 49
Muhammad bin Isâ Abu Isâ al-Tirmizi al-Sâlimi al-Jâmi’, al-Sahîh Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Tharashi al-Arabi, t.th), Juz. VIII, h. 73, hadits no. 2094 50
Ahmad bin Syuib Abu Abd al-Rahmân al-Nasâ’i, Sunan al-Nasâ’i, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2005), Cet. II, Juz XV, h. 204, hadits no. 4922
Artinya: Diceritakan kepada kami Muhammad bin Basyir diceritakan kepada kami Abdul Rahman diceritakan kepada kami Sufyan dari Qaisi bin Muslim dari Tharik bin Syihab telah berkata Abu Said beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan hatinya dan itu adalah iman yang paling rendah” (HR. An-Nasâi). Hak individu untuk mengawasi para pejabat dan memberi nasihat kepada mereka serta menilai tingkah laku mereka, semuanya menuntut pentingnya setiap individu untuk menikmati kebebasan berpendapat. Diakuinya prinsip musywarah dan diskusi-diskusi yang menyertainya serta hak memilih, juga menuntut hak kebebasan berpendapat karena perlaksanaan musyawarah tidak mungkin tanpa kebebasan seperti itu. Adalah ketololan yang berlebihan manakala negara menetapkan untuk memegang prinsip musyawarah dan mendorong kebebasan berpendapat, kemudian negara mencabut kebebasan itu dari individu.51 Islam memberikan hak kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat bagi seluruh warganegara Islam, sepanjang kebebasan tersebut digunakan untuk menyebarluaskan kebenaran dan kebajikan , bukannya untuk menyebarkan kejahatan dan kekejian.52 Islam juga telah memberi hak kepada umat untuk memecat atau memberhentikan seseorang Khalifah (Kepala Negara), jika dia keluar dari pensyaratan seorang Khalifah atau tidak 51
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, h. 71
52
Abu Al-A’la Maududi, HAM dalam Islam, h. 31
melaksanakan tugas
dengan baik, atau karena ketidak mampuan. Hal ini
ditegaskan para ahli fiqih, di antaranya Imam Ibnu Hazm al-Dzahiri dan Ibnu Rajjab al-Hambali.53 Orang yang memiliki hak menetapkan, memiliki juga hak memecat. Umatlah yang memilih Kepala Negara, maka Umat pun memiliki hak menggesernya. Pelaksanaan langsung hak ini memerlukan pengesahan dari syara’, yaitu melanggar peraturan tentang perwakilan atau tidak mampu melakukan kewajibannya.54 3. Hak Memilih dan Dipilih Semua individu memiliki hak memilih Kepada Negara dan anggotaanggota majelis syuro’ (wakil-wakil rakyat). Siapa yang terpilih untuk jabatan ini, maka ia adalah Kepala Negara, dalam syara’ disebut bai’ah, dan hak bai’ah ini adalah hak tiap Muslim baik laki-laki atau perempuan. Sabda Rasulullah SAW:
ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ ُﻣﻌَﺎ ِو َﻳ َﺔ ﻗَﺎل َرﺳُﻮ ْﻋ َ ﺢ ٍ ﻦ أَﺑِﻲ ﺻَﺎِﻟ ْﻋ َ ﺻ ٍﻢ ِ ﻦ ﻋَﺎ ْﻋ َ ﺧﺒَﺮَﻧَﺎ َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ْ َﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ أ ُ ﺳ َﻮ ُد ْﺑ ْ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َأ ت َﻣ ْﻴ َﺘ ًﺔ ﺟَﺎ ِهِﻠ ﱠﻴ ًﺔ )رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ ﻋﻦ َ ت ِﺑ َﻐ ْﻴ ِﺮ ِإﻣَﺎ ٍم ﻣَﺎ َ ﻦ ﻣَﺎ ْ َﻣ:ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻗﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ 55 (ﻣﻌﺎوﻳﺔ Artinya: Diceritakan kepada kami Aswad bin Amir dikhabarkan kepada kami Abu Bakar daripada ‘Asim daripada Abi Salleh daripada Muawiyyah berkata Rasulullah SAW telah bersabda: “Barang siapa yang mati 53
A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, h. 19
54
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h.43
55
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbâl, Musnad Ahmad bin Hanbâl, (Beirut: Maktab alIslâmi 1398 H / 1978 M), Juz XXXIV, h. 234, hadits no. 16271
tanpa adanya imam, maka matinya seperti mati jahiliyyah”(HR. Imam Ahmad dan Tabrani dari Muawiyah). Para ahli fiqh berpendapat bahwa “siapa saja yang kepimpinan dan prasetianya disepakati kaum Muslimin, maka kepimpinan itu sah dan wajib membelanya”. Juga pendapat mereka: “Imamah -yaitu kepemimpinan negaradikukuhkan melalui bai’at (prasetia) semua orang (baginya), bukan dengan penunjukan pendahulunya”. Jadi Kepala Negara adalah seorang yang dipilih dan disetujui oleh masyarakat dan kekuasaannya berasal dari kerelaan dan pemilihan ini.56 Di negara-negara moderen sekarang, hak memilih biasanya diwujudkan dalam pemilihan umum (pemilu), yaitu bahwa setiap warga negara yang telah memiliki syarat-syarat tertentu mempunyai hak untuk memilih Kepala Negara atau kepala pemerintahan dan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan hak untuk dipilih adalah hak seseorang untuk mencalonkan dirinya menduduki salah satu jabatan pemerintahan atau fungsi umum. Akan tetapi tidak semua individu memiliki hak untuk dipilih, karena hak ini dibatasi oleh suatu aturan. Misalnya hak untuk dipilih menjadi pemimpin rakyat (Kepala Negara) demikian juga hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, harus memiliki syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan baik oleh syara’ maupun undangundang. Selain hak memilih dan dipilih, terdapat juga hak untuk memegang suatu jabatan. Menurut syariat Islam hak untuk memegang suatu jabatan bukan hanya hak individu, melainkan kewajiban atasnya dari negara. Dalam hal ini, 56
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h.17-18
kewajiban Kepala Negara (khalifah) dan seluruh perangkatnya memilih orang yang paling cocok bagi tiap pekerjaan dalam pemerintahan.
BAB III GAMBARAN UMUM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (AUKU) DI MALAYSIA
D. Sejarah Dibentuk AUKU Akta Universiti dan Kolej Universiti 1971 (AUKU 1971) merupakan satu akta57 yang dibuat oleh kerajaan Malaysia, yang dikemukakan oleh Almarhum Dato’ Hussien Onn (Menteri Pendidikan ketika itu) di Parlemen pada tanggal 17 Maret 1971 dan disahkan oleh Duli Yang Maha Mulia Seri Paduka Yang diPertuan Agong58
pada tanggal 27 April tahun 1971 dan diberlakukan mulai
tanggal 30 April 1971. Ia merupakan suatu akta yang memberikan kewenangan kepada Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia dalam pembentukan dan penyelenggaraan universitas-universitas dan kolej-kolej universitas59 dan hal-hal lain yang berkenaan dengannya.60 Akta ini telah diamandemen tiga kali yaitu pada tahun 1975, 1983 dan 1996.61
57
Istilah Akta dalam bahasa Indonesia dapat dipersamakan dengan Undang-undang
58
Malaysia terdiri dari negara-negara bagian yang diketuai oleh seorang raja. Setiap lima tahun (satu periode) diadakan pemilihan ketua raja-raja, dan seorang raja dari satu negara bagian yang terpilih itu diberi gelar Duli Yang Maha Mulia Seri Paduka Yang di-Pertuan Agong. 59
Kolej Universitas di Indonesia sama dengan Institut atau perguruan tinggi khusus dalam bidang tertentu seperti Institut Teknologi, institut Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan lain-lain 60
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku. diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
AUKU diperkenalkan pada tahun 1971 berkaitan dengan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam politik negara. Manifesto yang dikeluarkan oleh mahasiswa telah mendapat sambutan yang baik dari rakyat. Gerakan mahasiswa tersebut baik di dalam maupun di luar kampus (di masyarakat) telah mengkhawatirkan pemerintah karena mahasiswa banyak mengkritik kesalahan pemerintah. Gerakan mahasiswa ini menyebabkan pihak pemerintah merasa perlu adanya satu akta atau undang-undang untuk mengatur dan mengawasi gerakan mahasiswa agar tidak
berlebihan. Bahkan pemerintah
berpendapat bahwa gerakan
mahasiswa perlu dihapuskan. Akhirnya, Akta Universiti dan Kolej Universiti (AUKU) 1971 dikemukakan oleh Menteri Pendidikan, Dato’ Hussien Onn di Parlimen pada 17 Maret 1971, kemudian diberlakukan pada 30 April 1971.62 Pembentukan AUKU 1971 jelas berkaitan erat dengan tindakan para mahasiswa yang berpusat di Universitas Malaya yang mengkritik pemerintah di bawah pimpinan Tunku Abdul Rahman. Pada waktu itu mahasiswa jelas sekali terlibat dalam kampanye Pilihan Raya Umum (PRU / Pemilu) ke-4 tahun 1969, dengan manifestonya yang mendukung oposisi. Keberanian mahasiswa yang bertindak aktif sangat mengkhawatirkan pihak
61
http://ms.wikipedia.org/wiki/Akta Universiti dan Kolej Universiti 1971 diakses pada tanggal 10 Juli pukul 20.00 WIB. 62 http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
pemerintah, sehingga pemerintah membentuk AUKU yang bertujuan mengekang aktivis kampus untuk bebas bersuara.63 Di antara sebab terbentuknya Akta Universiti Kolej Universiti (AUKU) yang sering menghantui pelajar di universitas-universitas Malaysia dan dianggap menyekat serta mengekang kebebasan bersuara dan berpartaisipasi dalam partai politik di kampus adalah: 1. Persatuan Mahasiswa Universiti Malaya (PMUM) menyatakan dukungannya kepada oposisi dalam Pilihan Raya Umum (PRU) ke-4 sehingga dikatakan antara sebab yang mencetuskan Peristiwa 13 Mei 1969.64 2. Adanya demontrasi Anti Tunku Abdul Rahman oleh PMUM di Universiti Malaya (UM) pada 29 Agustus 1969. 3. Demontrasi yang berlaku pada tanggal 5 Oktober 1970 yang merupakan pertembungan PMUM (sosialis) dan Persatuan Bahasa Melayu Universitas Malaya PBMUM (nasionalis) hingga menampakkan banyak kelemahan Kerajaan dalam isu bahasa Melayu dan pendidikan.65 4. Pada tanggal 14 Juni 1971 diadakan demontrasi pertama oleh Persatuan Mahasiswa Islam Universiti Malaya (PMIUM) sebanyak 2000 mahasiswa dari
63
http://www.evaluasireformasi.blogspot.com/8.html diakses pada tanggal 12 Juli pukul
21.00 WIB.
64
Peristiwa 13 Mei 1969 adalah merupakan peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi antara suku Melayu dan Cina di Malaysia yang disebabkan adanya kesenjangan ekonomi di mana pada waktu itu pertumbuhan ekonomi dikuasai oleh Cina sedangkan bangsa Melayu merasa tertinggal. 65
http://suara-utmkl.blogspot.com/2007/09/auku-perlu-dimansuhkan-bukandipinda_ 7401 html#c4795340316545903198 diakses pada tanggal 10 Juli pukul 20.00 WIB.
Universitas Malaya (UM) & Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) berkaitan dengan kunjungan Thanam Kitikachorn (Perdana Menteri Thailand) karena adanya kasus pembunuhan umat Islam Patani. Dalam peristiwa ini banyak mahasiswa diamankan. 5. Pada tanggal 15 Juni 1971, sebanyak 3000 orang yang dipimpin saudara Anwar Ibrahim dari PBMUM dipukul Polisi ketika berdemontrasi di luar Universitas Malaysia. Dalam kasus ini lebih banyak mahasiswa di tahan. 66 Berdasarkan peristiwa-peristiwa di atas pemerintah telah membentuk “Jawatan kuasa Mengkaji Kampus” hingga terbentuk dan diumumkan AUKU pada 27 April 1971. Setelah AUKU diperkenalkan, mahasiswa merasakan adanya pembatasan terhadap aktivitas mereka dan hal ini menyebabkan gerakan mahasiswa semakin agrasif dengan melakukan aksi protes sebagai perlawanan mereka terhadap akta ini, antaranya terjadi demontrasi-demontrasi: 1. Pada tanggal 15 Mei 1972, PMUM melakukan demontrasi dalam rangka memprotes AUKU 1971. 2. Persatuan Sosialis Universitas Malaya (yang dibentuk pada 1973) kembali menguasai PMUM yang berada di bawah pimpinan Hishamuddin Rais & Datuk Sri Anwar Ibrahim membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) tahun 1971 demi membantu PMIUM (di bawah pimpinan Siddiq Fadhil) & berjaya kuasai PKPM pada tahun 1974 yang bangkit memimpin
66
http://qanunfiatdunia.blogspot.com/2008/03/hujah-mengapa-auku-perlu-dimansuhkan. html diakses pada tanggal 20 Juli pukul 15.30 WIB.
mahasiswa nasional berdemontrasi membantah campur tangan Amarika Syarikat (AS) dalam Perang Arab-Israel pada tanggal 13 Oktober 1973, Polisi bertindak menyembur gas pemedih mata dan tiga pemimpin telah ditangkap. Sebanyak 4000 mahasiswa sekali lagi berdemontrasi di depan kedutaan AS pada 16 Oktober 1974 atas maksud yang sama. 3. Puncaknya pada tanggal 21 September 1974, pada pukul 14.30, PMUM membentuk Majlis Tiertinggi Sementara (MTS) untuk mengambil alih UM sebagai protes terhadap tertangkapnya lima aktivis dalam Demo Tasik Utara pada bulan september 1974 dan Demontrasi Baling (sebanyak 400 orang) pada bulan Nopember 1974 yang mengakibatkan 1000 mahasiswa ditahan polisi.67 Berkaitan dengan beberapa peristiwa di atas, AUKU telah di amandemen buat pertama kalinya pada tahun 1975, oleh Tun Dr. Mahathir bin Mohamad yang merupakan Menteri Pendidikan pada waktu itu. Amandemen ini lebih menekan dan memperkosa hak-hak asasi mahasiswa, dan AUKU menjadi lebih dzalim dibanding dengan sebelum diamandemen. Tujuan utama Tun Mahathir mengamandemen AUKU 1971 ialah untuk menghapuskan suara atau gerakan-gerakan mahasiswa yang pada waktu itu semakin berpengaruh, karena memperjuangkan aspirasi masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Untuk menghentikan kritikan ini, dengan menggunakan AUKU Tun Mahathir
67
berhasil membuat
http://qanunfiatdunia.blogspot.com/2008/03/hujah-mengapa-auku-perlu- dimansuhkan. html diakses pada tanggal 20 Juli pukul 15.30 WIB.
mahasiswa menjadi takut. Akibatnya, di kalangan mahasiswa sampai hari ini sudah menjadi ‘culture of fear’ yang menyebabkan kebanyakan mahasiswa sudah hilang kepedulian sosialnya akibat lesunya idealisme.68
E. Beberapa Hal Yang Diatur Dalam Akta Universiti Kolej Universiti Akta Universiti Kolej Universiti merupakan akta ke 30 dari 655 akta yang ada di Malaysia. AUKU mengatur berbagai hal yang berhubungan dengan universitas dan kolej Universitas, seperti untuk mengatur pembentukan, struktur organisasi Universitas dan Kolej universitas, etika dan disiplin pelajar (mahasiswa). AUKU terdiri dari 27 seksyen (pasal) yang dibagi menjadi lima bagian, dan terdapat dua jadual (lampiran) yaitu jadual pertama terdiri dari 55 pasal dan jadual kedua terdiri dari 9 pasal. Secara garis besar isi AUKU dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagian Pertama Mukaddimah terdiri dari 2 pasal, yaitu; a. Tentang nama akta yaitu Akta Universiti Kolej Universiti (pasal 1) b. Tentang penjelasan istilah-istilah yang berkaitan dengan isi akta seperti Canselor (Pimpinan Rektorat), Fakultas, Institut Perguruan Tinggi,
68
http://akhienaim.blogspot.com/2008/04/auku-tiba-masanya-dipinda-semula.html diakses pada tanggal 22 Juli pukul 10.10 WIB.
Kampus, Menteri (Menteri Pendidikan), Pelajar (Mahasiswa) dan Senat (pasal 2). 2. Bagian kedua tentang Pelajaran Tinggi terdiri dari 2 pasal (Pasal 3-4), yaitu: a. Tanggungjawab Menteri Pengajian Tinggi untuk menjaga kestabilan perguruan tinggi agar sesuai dengan undang-undang (pasal 3) b. Kuasa atau wewenang Menteri Pengajian Tinggi untuk melantik orang atau badan untuk mengawasi keberadaan dan penyelenggaraan perguruan tinggi (pasal 4) 3. Bagian ketiga tentang Universitas terdiri dari 9 pasal (pasal 5-18) a. Ketentuan larangan pembentukan Universitas, bahwa tidak diperbolehkan mendirikan perguruan tinggi (universitas) kecuali dengan izin dan mengikuti AUKU (pasal 5); b. Ketentuan tentang pembentukan Universitas: 1)
Wewenang Yang Di-Pertuan Agong untuk mengizinkan pembentukan Perguruan Tinggi, memberikan nama dan tempatnya (pasal 6)
2)
Tentang pengesahan pembetukan perguruan tinggi berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Yang Di-Pertuang Agung (pasal 7);
c. Kelembagaan Universitas (pasal 8); d. Tentang kesekretariatan univetsitas: 1) Tentang kantor rektorat dan kantor-kantor struktur pimpinan perguruan tinggi (pasal 9) 2) Tentang arsip-arsip yang berkaitan dengan perguruan tinggi (pasal 10)
e. Pendanaan dan penggunaannya yaitu sumber keuangan dan membuat laporan penggunaannya yang akan diaudit setahun sekali oleh biro audit (pasal 11); f. Pembukaan cabang universitas di tempat lain (pasal 12-14); g. Pengaturan organisasi-organisasi atau himpunan-himpunan mahasiswa dan keterlibatan dengan partai politik (pasal 15); h. Pembubaran organisasi-organisasi atau kumpulan mahasiswa oleh Rektorat (pasal 16); i. Asuransi universitas (pasal 17); dan j. Wewenang Yang Di-pertuang Agong atas perubahan yang dianggap perlu Universitas (pasal 18) 4. Bagian keempat tentang Kolej Universitas terdiri dari 4 pasal (pasal 19-22): a. Larangan pembentukan Kolej Universitas (pasal 19); b. Pembentukan sesuatu Kolej Universitas (pasal 20); c. Kelembagaan Kolej Universitas (pasal 21); d. Ketentuan berlakunya bagian tiga pada Kolej Universitas (pasal 22). 5. Bagian kelima tentang umum, yaitu terdiri dari 5 pasal (pasal 23-27): a. Kesalahan pembentukan Universitas atau Kolej Universitas yaitu jika tidak mengikuti perundan-undangan dapat dikenakan denda sebanyak RM 10.000 atau dipenjara selama tidak melebihi lima tahun (pasal 23); b. Larangan-larangan tertentu terhadap Universitas atau Kolej Universitas, yaitu larangan membentuk universitas baru tanpa izin dan larangan
mengelurkan ijazah palsu, dapat dikenakan denda sebanyak RM 5.000 atau penjara selama tiga tahun (pasal 24); c. Status Universitas Malaya yang dibentuk sebelum adanya AUKU pembentukannya dianggap berdasarkan dengan AUKU (pasal 25); d. Wewenang Yang Di-pertuan Agong dalam merubah status Perguruan Tinggi (pasal 26); dan e. Tentang penghapusan Ordinan No. 74 (kuasa-kuasa perlu) Darurat oleh AUKU (pasal 27). F. Hak Politik Mahasiswa Dalam AUKU Mahasiswa sebagai warganegara mempunyai hak-hak yang sama dengan warga masyarakat yang lainnya, baik itu hak sipil dan politik maupun hak dalam bidang sosial ekonomi dan budaya. Hak-hak ini harus dijamin dan dilindungi oleh pemerintah melalui konstitusi atau undang-undang. Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah selayaknya dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan negara terutama melalui pikiran atau ide dan gagasan. Bahkan -sebagai intelektual- mahasiswa harus memiliki sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sehingga apabila ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat maka mahasiswa bersama dengan rakyat dapat mengkritik bahkan menentang kebijakan tersebut. Inilah hak politik mahasiswa yaitu peran serta mahasiswa dalam pemerintahan. Di Malaysia AUKU merupakan
akta atau undang-undang yang
berkaitan langsung dengan mahasiswa, karena selain aturan dalam AUKU itu
berkaitan dengan pembentukan dan penyelenggaraan universitas juga berkaitan dengan pengaturan aktivitas mahasiswa. Pengaturan tentang hak-hak politik mahasiswa dalam AUKU, misalnya dapat dilihat pada bagian dua pasal 15 tentang pengaturan organisasi-organisasi atau himpunan-himpunan mahasiswa dan keterlibatan dengan partai politik dan pasal 16 tentang pembubaran organisasi-organisasi atau kumpulan mahasiswa oleh Rektorat.69 Dalam pasal 15(1) disebutkan bahwa setiap pelajar (mahasiswa) dilarang bekerjasama dengan badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, pasal 15(2) menyatakan bahwa setiap organisasi mahasiswa yang telah disahkan atau diakui oleh pihak kampus dilarang bekerjasama dengan badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, pasal 15(3) setiap mahasiswa dilarang memberikan dukungan kepada badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, pasal 15(4) menyatakan bahwa setiap organisasi mahasiswa dilarang memberikan dukungan kepada badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik sedangkan pasal 15(5) mengatur tentang hukuman pelanggaran terhadap pasal 15(1), (2), (3) atau (4) dikenakan denda tidak lebih dari RM 1.000 atau pidana kurungan selama tidak lebih dari 6 bulan. Kemudian dalam pasal 15A(1) dinyatakan bahwa setiap mahasiswa atau organisasi mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus dilarang memungut atau mengumpulkan dana (uang). Pasal 15A(2) menjelaskan apabila ketentuan
69
Riduan Mohamad Nor, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, (Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, 2007), Cet. I, h. 30
pasal 15A(1) dilanggar maka dikenakan denda tidak lebih dari RM 1.000 atau pidana kurungan selama tidak lebih dari enam bulan. Dalam pasal 15A(3) menyebutkan tentang campur tangan Menteri dalam satu kasus tertentu (melanggar pasal 15A(1)). Selanjutnya dalam pasal 15B(1) dan (2) menjelaskan tentang pimpinan organisasi harus bertanggungjawab dan menanggung sanksi pidana jika anggota organisasi melakukan pelanggaran pidana walaupun dia mungkin tidak terlibat dalam kasus tersebut. Pasal 15D(1) menyebutkan bahwa mahasiswa yang dituduh melakukan pelanggaran pidana dapat di berikan sangsi oleh pihak rektorat sebelum kasusnya itu diselesaikan oleh pengadilan. Dalam pasal 16, disebutkan bahwa pihak rektorat bisa membubarkan organisasi mahasiswa jika mereka dianggap dapat merusak atau membahayakan kepentingan rektorat. Sedangkan dalam pasal 16C bahwa AUKU memberi kuasa atau wewenang kepada pihak lembaga perguruan tinggi untuk membuat tatatertib atau kode etik mahasiswa. Selanjutnya dalam jadual pertama bagian V pasal 48 mengatur tentang struktur persatuan mahasiswa; bahwa mahasiswa hanya dibenarkan membentuk majlis perwakilan mahasiswa dengan empat struktur organisasi yaitu ketua, wakil ketua, seketaris dan bendahara.
BAB IV ANALISIS HAK POLITIK MAHASISWA MALAYSIA DALAM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (AUKU)
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa dalam mukadimah AUKU jelas dinyatakan tujuan dibentuk AUKU untuk mengatur pembentukan, struktur organisasi Universitas dan Kolej universitas, dan penyelenggaraannya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan universitas, tetapi masih ada hal-hal di dalamnya, terutama pasal-pasal baru yang dimasukkan setelah amandemen pada tahun 1975 yang dilakukan oleh Menteri Pelajaran pada waktu itu, Tun Dr. Mahathir bin Mohamad, yang dibuat untuk membatasi dan mengekang kebebasan mahasiswa dalam berpolitik, seperti pasal 15, dan 16 tentang pengaturan hak politik mahasiswa di Malaysia
dan ini jelas-jelas
bertentangan dengan undang-undang, prinsip-prinsip keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM).70 Dilihat dari sejarahnya bahwa terbentuknya AUKU dilatar belakangi oleh adanya gerakan-gerakan mahasiswa yang aktif dan progresif dalam mengkritik pemerintah sehingga seringkali terjadi aksi-aksi bahkan terjadi insiden atau bentrokan dengan aparat keamanan (polisi). Dengan adanya peristiwa-peristiwa tersebut, pemerintah Malaysia memandang perlu adanya suatu aturan yang
70
http://ms.wikipedia.org/wiki/Akta_Universiti_dan_Kolej_Universiti_1971 pada tanggal 10 Juli pukul 20.00 WIB.
diakses
mengatur aksi-aksi mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya. Jadi, pada awalnya AUKU dibentuk untuk mengatur gerakan mahasiswa agar tidak terjadi bentrokan, kerusuhan dan supaya mahasiswa tidak terlalu berani mengkritik pemerintah. Akan tetapi ternyata beberapa pasal yang mengatur tentang hak politik mahasiswa dalam AUKU telah mengekang dan memasung mahasiswa. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa AUKU itu jelek dan harus dihapuskan. Tidak semua pasal yang ada di dalamnya bertentangan dengan Perlembagaan Persekutuan (Undang-undang Dasar) dan prinsip-prinsip HAM. AUKU adalah suatu undang-undang yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan universitas, di dalamnya diatur tentang bagaimana pembentukan universitas, larangan dan pembubarannya, tanggungjawab Menteri Pengajian Tinggi untuk menjaga kestabilan perguruan tinggi dan lain-lain. Yang mana ini semua memang harus ada aturan yang jelas untuk menjamin keberadaan dan perjalanan universitas. Demikian juga harus ada aturan yang jelas dan tegas yang mengatur aktivitas mahasiswa termasuk dalam hal politik, misalnya dalam berorganisasi, ketika mengekspresikan pendapat atau dalam melakukan aksi-aksi, akan tetapi aturan itu janganlah kemudian memasungnya. Pembatasan diperlukan, hal ini demi untuk menjaga kestabilan dan keamanan sehingga mahasiswa dalam melaksanakan aksi-aksinya tidak berlebihan dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Dalam bab IV ini penulis mencoba akan menguraikan dan menganalisis dua pasal dalam AUKU (pasal 15 dan 16) yang berkaitan dengan hak politik mahasiswa dan itu dianggap bertentangan dengan undang-undang, prinsip-prinsip keadilan dan HAM karena pasal-pasal tersebut memasung dan mengebiri hak politik mahasiswa, terutama hak berkumpul atau berserikat dan hak berpendapat sehingga hal ini menyebabkan adanya diskriminasi terhadap mahasiswa sebagai bagian dari warga negara Malaysia.
F.
Hak Beserikat Berkenaan dengan hak berserikat atau berkumpul bagi mahasiswa yang diatur dalam AUKU terdapat dalam pasal 15: (1) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menjadi seorang ahli, atau boleh dengan apa-apa cara bersekutu dengan, mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apa-apa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntukkan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor. (2) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, sama ada ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau selainnya, boleh ada apa-apa gabungan, persekutuan atau apa-apa jua urusan lain dengan mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apa-apa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntukkan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor. (3) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai
menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram. (4) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau manamana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti lain, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram. Pasal 15 (1) dan (2) jelas-jelas melarang mahasiswa atau organisasi mahasiswa menjadi anggota atau bersekutu dengan badan perkumpulan seperti partai politik, kesatuan (syarikat) sekerja dan lain-lain kecuali sebagaimana dibenarkan oleh Lembaga Universitas atau diizinkan terlebih dahulu secara tertulis oleh Rektorat. Kedua ayat ini jelas bertentangan dengan pasal 10 (1b) dan (1c) Perlembagaan Persekutuan yang memberi kebebasan kepada semua rakyat Malaysia untuk berserikat. Dalam Pasal 10 (1b) disebutkan bahwa: ”semua warganegara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa senjata.” Sedangkan dalam ayat (1c) dinyatakan bahwa: “semua warga negara berhak untuk membentuk persatuan.” Selanjutnya, pasal 15 (3) dan (4) menyatakan bahwa setiap mahasiswa dan organisasi atau perkumpulan mahasiswa dilarang memberikan simpati dan dukungan kepada badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, ini pun bertentangan dengan pasal 10 (1a) Perlembagaan Persekutuan yang
menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak kepada kebebasan berbicara dan bersuara.” Jika merujuk kepada pasal 10 Perlembagaan Persekutuan, maka kita akan mendapatkan bahwa mahasiswa Malaysia mempunyai hak berkumpul atau berserikat dan bersuara (berpendapat). Walaupun hak-hak ini diberikan secara bebas, namun hak ini juga diberikan batasan. Sebagai contoh, hak untuk berkumpul atau berserikat dibatasi dengan Akta Pertubuhan tahun 1966. Pasal 5 akta ini memberi kuasa atau wewenang kepada menteri Hal Ehwal Dalam Negeri untuk membolehkan pembentukan persatuan atau organisasi oleh rakyat dan mahasiswa dengan syarat masih memelihara kepentingan dan keselamatan dalam negeri. Menteri tersebut juga mempunyai hak untuk melarang pembentukan suatu organisasi dan membubarkannya jika membahayakan kepentingan tersebut. Misalnya larangan pembentukan Partai Sosialis Malaysia (PSM) karena organisasi ini mempunyai unsur komunisme yang tidak boleh dikembangkan di Malaysia. Walaupun demikian mahasiswa masih dijamin hak-hak mereka untuk berkumpul dan berserikat dalam suatu organisasi yang resmi, yang diizinkan oleh pihak kampus baik di dalam mau pun di luar kampus. Mahasiswa Universiti Malaya (UM) misalnya dibolehkan untuk ikut dalam Persatuan Mahasiswa Islam Universitas Malaya (PMIUM), Majlis Persatuan Mahasiswa Universiti Malaya
(MPMUM), Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya (PBMUM) dan sebagainya karena semua organisasi tersebut sah sebagai organisasi kampus. Dengan demikian mahasiswa juga seharusnya boleh berhubungan dan berpartisipasi dalam partai politik seperti Partai Islam Semalaysia (PAS), Partai Keadilan Rakyat (PKR), Malayan India Congress (MIC), Partai Kualisi China (DAP), Partai Rakyat Malaysia (PRM) dan sebagainya, karena partai-partai politik tersebut juga sah dan terdaftar dalam Registrastion of sociaty (ROS) 1966, sebagaimana yang telah dijamin dalam pasal 10 Perlembagaan Persekutuan.71 Selanjutnya, keempat ayat pasal 15 AUKU tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam pasal 20 Declaration of Human Right, yang menyatakan: (1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan. Jelaslah bahwa keempat ayat dalam pasal 15 tersebut telah menyekat mahasiswa untuk berkumpul atau berorganisasi dalam satu badan tertentu dan menyatakan
sokongan
(dukungan),
memberi
simpati
atau
bangkangan
(menentang) terhadap parti politik atau kesatuan sekerja atau perkumpulan yang tidak diizinkan oleh pihak universitas. Padahal dalam pasal 10 (1b dan 1c) Perlembagaan Persekutuan jelas membolehkan setiap warga negara untuk membentuk suatu perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, serikat kerja,
71
http://zainulfaqar.wordpress.com/2008/03/31/mansuhlah-auku-karena-banyak manfaat -nya/diakses pada tanggal 10 Juli pukul 20.00 WIB.
dan lain-lain sedangkan dalam pasal 10 (1a) setiap warganegara mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat. Dari sini, timbul satu pertanyaan: ”mengapa harus ada undang-undang draconion (merujuk kepada AUKU)
yang jelas merampas hak-hak politik
mahasiswa padahal telah dijamin dalam Perlembagaan Persekutuan?.” Dari pertanyaan ini maka timbullah pertanyaan lain: Pertama, antara AUKU dan Perlembagaan Malaysia, manakah yang lebih tinggi?. AUKU merampas hak-hak politik mahasiswa sedangkan Perlembagaan Persekutuan menjaminnya. Apakah AUKU merupakan pengecualian dari ”semangat” Perlembagaan?. Padahal kalau kita merujuk ke pasal
4 (1)
Perlembagaan Persekutuan yang menyatakan: ”Perlembagaan ini adalah undang-undang utama persekutuan dan apa-apa undang-undang yang disahkan setelah Hari Kemerdekaan dan yang bertentangan dengan perlembagaan ini hendaklah batal undang-undang itu.” Kedua, jika AUKU ini diberlakukan juga, berarti mahasiswa Malaysia sedang didiskriminasikan melalui tatacara undang-undang, dan ini bertentangan dengan pasal 8 (1) Perlembagaan Persekutuan yang menyatakan: “Semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang.” Keadaan seperti ini mengakibatkan kalangan mahasiswa atau organisasi mahasiswa ada yang mencari suaka politik dari luar, misalnya dengan Non Gaverment Organisation (NGO) yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan
mahasiswa seperti Suruhanjaya Hak Asasi Manusia (SUHAKAM) dan lainlainnya. Terkadang juga mereka mendapat dukungan dari partai politik. Hingga saat ini, apabila seseorang aktivis dibawa ke pengadilan karena melanggar AUKU, hanya pemimpin partai oposisi saja yang mengulurkan tangan untuk membela. Akhirnya sasaran kezaliman AUKU tersebut cendrung pada partaipartai oposisi. Mengapa tidak United Malay National Organisation (UMNO), Malayan Chines Association (MCA), atau Malayan India Congress (MIC) yang tampil membela hak-hak mahasiswa apabila mereka dibawa ke pengadilan AUKU?. Adalah suatu kenyataan yang aneh dan ironis bahwa parti pemerintah, contohnya melalui sayap Pemuda dan Puteri UMNO atau Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu, bebas bergerak di dalam kampus.72 Ini berarti telah terjadi diskriminasi terhadap mahasiswa, bahwa larangan mahasiswa berpolitik hanya di berlakukan kepada mereka yang mendukung atau bersimpati pada partai-partai politik oposisi (penentang pemerintah), sedangkan bagi mahasiswa yang pro pemerintah (partai politik yang berkuasa) sah-sah sahaja terlibat dengan partai politik tersebut. Ini terbukti misalnya mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan seperti
diskusi-diskusi
atau
seminar-seminar
dalam
kampus
dengan
mendatangkan pembicara-pembicara dari tokoh-tokoh partai politik tersebut. Bagi mahasiswa yang kontra dengan partai penguasa (pemerintah) atau pendukung
72
http://202.190.73.171/index.php?option=com_content&task=view&id=014865&Itemid=28 telah diakses pada tanggal 24 Juli pukul 15.00 WIB.
partai oposisi tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini, bahkan jika diketahui mempunyai hubungan dan mendukung partai politik oposisi dapat ditangkap dan dikenakan sangsi sesuai dengan pasal 15 (5) AUKU: (5) Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi peruntukan subseksyen (1), (2), (3) atau (4) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya. Selanjutnya dalam pasal 15A (1) dinyatakan bahwa setiap mahasiswa atau organisasi mahasiswa baik di dalam maupun diluar kampus dilarang memungut atau mengumpulkan dana (uang): 15A. (1) Tiada seseorang pelajar Universiti, atau sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, boleh, di dalam atau di luar Kampus, atau di dalam atau di luar Malaysia, memungut atau cuba memungut, atau menganjurkan atau cuba menganjurkan apa-apa pemungutan, atau membuat apa-apa rayuan secara lisan atau secara bertulis atau selainnya atau cuba membuat sesuatu rayuan itu untuk, apa-apa wang atau harta lain daripada sesiapa jua, iaitu bukan wang atau harta yang genap atau hampir genap masanya diperoleh di bawah atau menurut mana-mana undang-undang bertulis, kontrak atau kewajipan lain di sisi undangundang. Larangan dalam pasal ini berlaku pada semua organisasi mahasiwa yang ada di Malaysia baik yang di dalam maupun di luar kampus. Larangan ini dapat dipahami bahwa bagi organisasi mahasiswa yang ada di dalam kampus memang sudah mendapatkan suntikan dana dari pihak rektorat untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya. Akan tetapi bagi organisasi di luar kampus, untuk menjalankan kegiatannya biasanya memerlukan dana yang besar, dan untuk mendapatkan dana tersebut memerlukan sumber dana yang lain misalnya dari donatur atau iuran dari anggota organisasi tersebut. Jika hal ini terjadi, maka
dapat dikenakan sanksi tidak lebih dari RM 1.000 atau pidana kurungan selama tidak lebih dari enam bulan, sesuai pasal 15A (2): Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi subseksyen (1) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya. Tetapi dalam kasus tertentu, misalnya telah terjadi pengumpulan dana oleh mahasiswa untuk kegiatan suatu organisasi dan diketahui oleh yang berwenang maka Menteri yang berkaitan (Menteri Pengajian Tinggi) dapat memberikan pengecualian dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15A (2). hal ini ditegaskan dalam pasal 15A (3): Menteri boleh, dalam sesuatu kes tertentu, menurut budi bicara mutlaknya memberikan pengecualian kepada sesiapa jua daripada kuat kuasa subseksyen (1), tertakluk kepada apa-apa terma dan syarat dan bagi apa-apa tempoh sebagaimana yang difikirkannya patut menurut budi bicara mutlaknya. Dalam pasal 15B (1) dan (2) dinyatakan: (1) Jika sesuatu kesalahan telah dilakukan di bawah mana-mana undangundang bertulis, sama ada atau tidak seseorang telah disabitkan atasnya, dan kesalahan itu telah dilakukan atau berupa sebagai telah dilakukan atas nama atau bagi pihak sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan, atau mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang lain, tiap-tiap pemegang jawatan bagi pertubuhan, badan atau kumpulan itu dan tiap-tiap orang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan pertubuhan, badan atau kumpulan itu pada masa berlakunya kesalahan itu hendaklah disifatkan sebagai bersalah atas kesalahan itu dan boleh dikenakan hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang bagi kesalahan itu, melainkan jika dia membuktikan dengan memuaskan mahkamah bahawa kesalahan itu telah dilakukan tanpa pengetahuannya dan bahawa dia telah menjalankan segala usaha yang sewajarnya untuk mencegah berlakunya kesalahan itu.
(2) Seseorang pemegang jawatan bagi, atau seseorang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan, mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan seperti yang disebut dalam subseksyen (1) boleh didakwa di bawah seksyen ini, walaupun dia mungkin telah tidak mengambil bahagian dalam melakukan kesalahan itu. Kedua ayat pasal pasal 15B mengatur tentang setiap pimpinan organisasi harus bertanggungjawab dan menanggung sanksi pidana jika anggota organisasi melakukan pelanggaran pidana walaupun dia mungkin tidak terlibat dalam kasus tersebut kecuali dapat dibuktikan bahwa pimpinan organisasi tersebut telah berusaha mencegahnya. Pasal ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan, karena mereka yang tidak terlibat dengan kesalahan akan turut didakwa dan dikenakan hukuman. Dengan demikian hal ini bertentangan dengan prinsip natural justice yaitu hanya orang yang bersalah saja yang dapat dijatuhkan hukuman.73 Selanjutnya pasal 15D (1) disebutkan bahwa: 15D (1) Jika seseorang pelajar Universiti dipertuduh atas suatu kesalahan jenayah, dia hendaklah dengan itu serta-merta digantung daripada menjadi seorang pelajar Universiti dan dia tidak boleh, dalam masa menunggu keputusan prosiding jenayah itu, tinggal atau masuk dalam Kampus Universiti itu atau Kampus mana-mana Universiti lain. Pasal ini memberikan kuasa kepada pihak universitas untuk menjatuhkan hukuman pra pradilan ketika kasus sedang diproses di pengadilan. Ini berarti bahwa mahasiswa yang dituduh melakukan pelanggaran pidana dapat diberikan sanksi oleh pihak rektorat dengan menon-aktifkan dalam masa tertentu bahkan
73
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
bisa diberhentikan sebagai mahasiswa sebelum kasusnya itu diselesaikan oleh pengadilan. Apabila terbukti bersalah, secara otomatis mahasiswa bersang-kutan akan dikeluarkan dari kampus dan sekiranya terbukti tidak bersalah, akan diterima kembali untuk melanjutkan perkuliahannya. Tetapi sudah maklum bahwa suatu kasus yang diproses di pengadilan memakan waktu yang lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun) untuk dapat diselesaikan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan menindas mahasiswa bersangkutan. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip presumption of inncocent74 dalam disiplin ilmu hukum yaitu seorang individu dianggap tidak bersalah selama dia belum dibuktikan bersalah (a man is not guilty until is proven guilty).75 Pasal 16C(1) menyebutkan bahwa AUKU memberi kuasa atau wewenang kepada pihak lembaga Perguruan Tinggi untuk membuat Kaidah-Kaidah Tata Tertib atau kode etik mahasiswa: Lembaga mempunyai kuasa untuk membuat apa-apa kaedah tatatertib sebagaimana yang difikirkannya perlu atau suai manfaat untuk mengadakan peruntukan mengenai tatatertib bagi kakitangan, pegawai dan pekerja Universiti dan pelajar Universiti; kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat di bawah subseksyen ini hendaklah disiarkan dalam Warta.
74
Istilah ini dipakai dalam Ilmu Hukum Acara Pidana, seperti dalam KUHP di Indonesia dalam Penjelasan Umum butir 3c disebutkan: “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapan di muka sidang pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”, dapat dilihat pada Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, cet X, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 351 75
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
Kaidah-Kaidah Tata Tertib mahasiswa merupakan undang-undang kecil yang berisi aturan Tata Tertib Mahasiswa yang diberlakukan disemua perguruan tinggi. Kaedah ini dibuat oleh rektorat sesuai dengan kewenangannya yang diberikan oleh pasal 6C (1) AUKU. Akan tetapi kewenangan lembaga perguruan tinggi untuk membentuk atau membuat tatatertib sangat berlebihan, hal ini terbukti dengan adanya Kaedah-Kaedah Tata Tertib Mahasiswa tersebut, pihak rektorat mempunyai kuasa yang sangat luas dalam menindak mahasiswa yang dianggap bersalah, yaitu meliputi pengusutan, mendakwa, dan menjatuhkan hukuman pada mahasiswa yang terbukti bersalah. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan, dimana tidak ada jaminan bagi mahasiswa yang didakwa untuk melakukan perlawanan atau pembelaan. Tidak ada jaminan baik dalam AUKU maupun dalam Kaedah Tata Tertib Mahasiswa bagi mahasiswa yang didakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari pengacara. Dalam hal ini terlihat adanya diskriminasi terhadap mahasiswa, hal ini bertentangan dengan pasal 8(1) Perlembagaan Persekutuan yang menjamin hak pesamaan di depan hukum dan hak persamaan untuk mendapatkan perlindungan. Berdasarkan kepada Kaidah Tata Tertib Mahasiswa, setiap mahasiswa yang terbukti bersalah karena melanggar Tata Tertib dapat dikenakan satu atau dua hukuman bahkan lebih sesuai dengan hukuman berikut: 1) Peringatan; 2) Denda;
3) Dilarang menggunakan fasilitas tertentu; 4) Diskorsing dalam jangka waktu tertentu, dan 5) Di keluarkan dari Kampus. Yang menjadi permasalahan adalah hukuman ini bersifat umum karena tidak ditentukan urutan hukuman yang harus ditetapkan. Bentuk hukuman yang hendak dijatuhkan adalah berdasarkan kepada pertimbangan atau kehendak rektorat yang berwenang tanpa ada aturan yang jelas. Hal ini mengakibatkan tidak adanya proporsionalitas dalam menjatuhkan hukuman, karena dalam beberapa kasus mahasiswa ada yang dikenakan hukuman diberhentikan (Drop Out) dari kampus padahal ia baru pertama kali melakukan kesalahan dan kesalahan tersebut bukanlah kesalahan yang besar seperti mencuri dan memperkosa.76
G. Hak Mengeluarkan Pendapat Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa sebelum adanya AUKU, mahasiswa di Malaysia aktif menyuarakan aspirasi dalam membela masyarakat, berani mengeluarkan
pendapat
dalam mengkritik kebijakan
pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Akan tetapi di Malaysia sekarang ini, hak mengeluarkan pendapat bagi mahasiswa jelas-jelas telah dibatasi bahkan terhalang oleh AUKU. Hak mereka untuk menyuarakan kebenaran kepada masyarakat dikekang dengan adanya pasal 15(3) AUKU yang menyatakan bahwa
76
http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg03504.html diakses pada tanggal 24 Juli pukul 15.00 WIB.
setiap mahasiswa dilarang memberikan simpati dan dukungan kepada badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik atau serikat kerja.77 Hak mengeluarkan pendapat sangat berkaitan erat dengan hak berkumpul atau berserikat, karena biasanya suatu badan perkumpulan atau suatu organisasi baik itu berupa partai politik, serikat kerja dan lain-lainnya dibentuk sebagai suatu wadah untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, apabila hak untuk berkumpul atau berserikat dibatasi dan dikekang secara otomatis hak untuk mengeluarkan pendapat menjadi terhalang atau terkekang. Dengan demikian, hak untuk berkumpul atau berserikat mahasiswa yang telah dibatasi dan dipasung oleh AUKU mengakibatkan hak mahasiswa untuk bersuara pun menjadi terpasung pula. Hal ini terbukti dengan adanya larangan bagi mahasiswa maupun organisasi mahasiswa di Malaysia mempunyai hubungan dan mendukung atau menjadi partisipan badan perkumpulan seperti partai politik dan lain-lainnya. Adanya pembatasan dan pemasungan hak berkumpul atau berserikat dan hak berpendapat mahasiswa oleh AUKU tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti pasal 8 dan 10 Perlembagaan Persekutuan, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan ajaran Islam.
77
Hal Ehwal Pelajar, Buku Peraturan Pelajar Kolej Universiti Sains dan Teknologi Malaysia, (Bahagian Hal Ehwal Pelajar KUSTEM, 2005), Cet. II, h. 53
Islam telah memberikan dan menjamin hak berserikat karena ia merupakan hak dasar dalam politik yaitu untuk membentuk suatu organisasi atau partai politik. Politik dalam Islam adalah bermakna mengatur urusan umat baik yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun (rakyat). Politik pemerintah dalam mengatur urusan umat, berarti pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengurus dan membuat rakyat makmur dan sejahtera. Dalam menjalankan tugas atau kewajibannya itu, pemerintah punya wewenang untuk membuat kebijakan atau peraturan. Akan tetapi apabila kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut tidak sesuai dengan kehendak atau aspirasi rakyat atau bertentangan dengan norma agama, maka rakyat punya hak untuk mengoreksi pemerintah. Berkaitan dengan hak rakyat untuk mengoreksi kinerja pemerintah ini, maka rakyat punya hak untuk berkumpul atau membentuk organisasi politik sebagai wadah dalam menyampaikan pendapat. Akan tetapi, hak berserikat atau berkumpul dan berpendapat dalam Islam harus berpatokan kepada prinsip amar ma’ruf nahi munkar, nashihah dan syura’ (musyawarah). Allah berfirman di dalam al-Qur’an: ☺ ⌧
☺ (110 :3 /) ﺳﻮرة ال ﻋﻤﺮان Artinya: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Kamu menyuruh berbuat kebajukan dan melarang kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah”.
Rakyat (umat) mempunyai hak dan kewajiban memberikan nasihat, teguran dan kritikan kepada pemerintah apabila dalam melaksanakan tugasnya terdapat kesalahan atau penyimpangan, bahkan rakyat pun punya hak (melalui perwakilannya) memberhentikan pemerintah yang berkuasa apabila sudah tidak lagi menjalankan amanat undang-undang dan amanat rakyat. Ini berarti bahwa umat dan individu memiliki hak mengawasi pemerintah, rakyat mempunyai kewajiban untuk meluruskan pemerintah dengan cara amar ma’ruf nahi mungkar.
ق ِ ﻦ ﻃَﺎ ِر ْﻋ َ ﺴِﻠ ٍﻢ ْ ﻦ ُﻣ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َﻗ ْﻴ ْﻋ َ ن ُ ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ل ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ﻦ ﻗَﺎ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ل ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ﻦ َﺑﺸﱠﺎ ٍر ﻗَﺎ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻣ ْ َأ ﻦ َرَاى ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ُﻣ ْﻨ َﻜ ًﺮا ْ َﻣ:ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ل أَﺑُﻮ َ ب ﻗَﺎ ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ْﺑ
ن ِ ﻻ ْﻳ َﻤﺎ ِﻒا ُ ﺿ َﻌ ْ ﻚ َا َ ﻄ ْﻊ َﻓ ِﺒ َﻘ ْﻠ ِﺒ ِﻪ َوذِﻟ ِ ﺴ َﺘ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ْ ﺴﺎ ِﻧ ِﻪ َﻓِﺎ َ ﻄ ْﻊ َﻓ ِﺒِﻠ ِ ﺴ َﺘ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ْ َﻓ ْﻠ ُﻴ َﻐ ﱢﻴ ْﺮ ُﻩ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ َﻓِﺎ 78 ()رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ Artinya: Diceritakan kepada kami Muhammad bin Basyir diceritakan kepada kami Abdul Rahman diceritakan kepada kami Sufyan daripada koisi bin Muslim daripada Thorikbin Syihab telah berkata Abu Said beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan hatinya dan itu adalah iman yang paling rendah” (HR. An-Nasâi). Hak rakyat untuk mengawasi pemerintah dan memberi nasihat kepada mereka merupakan hak berpendapat bagi rakyat. Atas dasar ini, mahasiswa di Malaysia yang merupakan bagian dari rakyat, mempunyai hak untuk berkumpul atau berserikat dan mengeluarkan pendapat termasuk memberikan masukan,
78
Ahmad bin Syuib Abu Abd al-Rahmân al-Nasâ’i, Sunan al-Nasâ’i, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2005), Cet. II, Juz XV, h. 204, hadits no. 4922
bahkan kritikan kepada pemerintah apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, kebebasan atau hak berkumpul atau berserikat dan berpendapat bagi mahasiswa di Malaysia telah dibatasi dan dikekang oleh AUKU. Semenjak AUKU di amademen tahun 1975, gerakan-gerakan mahasiswa mulai hilang, karena setiap ada gerakan atau aksi mahasiswa yang mengkritik kebijakan pemerintah selalu mendapatkan tindakan represip dari aparat pemerintah. Misalnya hal ini pernah terjadi pada bulan September tahun 1974 yaitu dalam Demo Tasik Utara yang menyebabkan tertangkapnya lima aktivis mahasiswa dan Demontrasi Baling pada tahun 1974 sebagai aksi protes mahasiswa terhadap pemerintah karena adanya kasus kelaparan masyarakat di Baling,79 dalam aksi ini sebanyak 400 orang ditangkap aparat, dan aksi-aksi lainnya hingga pada bulan November 1974 telah mengakibatkan 1000 mahasiswa ditahan polisi.80 Semenjak itulah aksi-kasi mahasiswa jarang kelihatan lagi hingga sekarang. Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, di mana mahasiswa Indonesia sejak pasca reformasi (Maret 1998) mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya dan mengkritik pemerintah ketika ada kebijakan politik pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Misalnya aksi
79 Riduan Mohamad Nor, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, (Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, 2007), Cet. I, h. 33 80
http://qanunfiatdunia.blogspot.com/2008/03/hujah-mengapa-auku-perlu-dimansuhkan. html diakses pada tanggal 20 Juli pukul 15.30 WIB.
mahasiswa di Indonesia yang menentang kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi tuntutan pemberantasan korupsi dan lain-lain. Memang hak untuk mengeluarkan pendapat bagi rakyat Malaysia dibolehkan yaitu melalui partai-partai politik oposisi. Yang menjadi permasalahan adalah adanya larangan dalam AUKU (pasal 15) bahwa mahasiswa tidak diperbolehkan memiliki hubungan atau memberikan dokongan kepada partai politik. Demikian pula mahasiswa tidak punya kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya melalui cara lain seperti media masa, karena kebebasan peres (baik itu telivisi maupun media cetak) dikuasai oleh pemerintah. Jika sekiranya hal ini terjadi mahasiswa bersangkutan dapat ditangkap. Kalau pun ada aksi atau gerakan mahasiswa itu hanya seputar isu-isu yang tidak terkait dengan kebijakan pemerintah dan ini pun harus mendapat izin dari pihak keamanan dengan melalui prosedur yang tidak mudah. Misalnya pernah terjadi aksi mahasiswa di Malaysia mengutuk karikatur yang menghina Nabi Muhammad di Denmark, aksi solidaritas penindasan muslim di Palestina dan pada Agustus 2007 pernah terjadi aksi mahasiswa untuk menuntut agar AUKU dihapuskan. Jelaslah bahwa mahasiswa sebagai warga negara tidak mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapat yang berkaitan dengan mengkritik atau mengontrol kebijakan pemerintah. Padahal dalam Islam, hal ini telah diberikan contoh oleh Nabi dan para sahabat bahwa sah-sah saja bagi rakyat tanpa terkecuali untuk memberikan pendapat bahkan mengkritik pemimpin. Misalnya
Nabi sendiri mau menerima pendapat dari sahabat selagi tidak ada ketentuan dari wahyu, demikian juga khalifah Abu Bakar as-Sidiq dalam pidato ketika diangkat menjadi Khalifah siap menerima nasihat dan minta agar diluruskan apabila ada kesalahan atau pelanggaran dalam kepemimpinannya. Khalifah Umar bin al-Khattab tidak pernah memaksakan kehendak atau pendapatnya tetapi beliau lebih suka untuk bermusyawarah dan menerima masukan dari para sahabat bahkan dari rakyat biasa seperti yang terjadi dalam kasus tentang mahar maskawin yang menerima usulan dari seorang ibu-ibu.
H. Hak Memilih dan Dipilih Dengan adanya pengekangan terhadap hak mahasiswa untuk berkumpul atau berserikat dan berpendapat seperti yang telah dijelaskan di atas, ini berpengaruh pada hak mahasiswa dalam hal memilih dan dipilih. Bahwa mahsiswa di Malaysia hanya mempunya hak memilih saja, sedangkan hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat menjadi hilang karena adanya larangan untuk bergabung dengan partai politik. Setiap warga negara Malaysia mempunyai hak memilih dan dipilih dan ini dijamin oleh undang-undang persekutuan. Menurut pasal 47 Perlembagaan Persekutuan Malaysia, bahwa: Setiap warganegara yang menetap di Malaysia layak menjadi anggota: (a) Dewan Negara, jika dia berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun; (b) Dewan Rakyat, jika dia berumur tidak kurang dari dua puluh satu tahun
Hak untuk memilih diberikan kepada setiap warganegara yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen atau pemerintahan. Sedangkan hak untuk dipilih yaitu hak seetiap warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dipilih menjadi wakil rakyat. Dalam prakteknya bahwa untuk dapat dipilih menjadi wakil rakyat biasanya harus melalui partai politik yang berkompetisi dalam pemilu, tapi ada juga peraturan yang membolehkan melalui perseorangan (independen). Yang menjadi permasalahan adalah adanya larangan bahwa mahasiswa tidak diperbolehkan ikut serta dalam partai politik, dan larangan ini berlaku bagi mahasiswa tanpa terkecuali baik itu mahasiswa program Sarjana (S1), Magister (S2) atau pun Doktor (S3). Dengan adanya larangan ini, maka hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat bagi yang statusnya masih mahasiswa menjadi hilang. Padahal dalam pasal 47 Perlembagaan Persekutuan maupun dalam undang-undang tentang pemilu tidak disebutkan persyaratan bagi yang akan dipilih menjadi wakil rakyat bahwa ia bukan mahasiswa. Jelaslah bahwa bagi rakyat yang memiliki status sebagai mahasiswa tidak memiliki hak untuk dipilih. Para aktivis partai politik yang hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, harus menonaktifkan dirinya dari kegiatan partai politik, sehingga ketika ada pemilu mereka tidak dapat dijadikan calon wakil rakyat oleh partainya.
Lagi-lagi hal ini mendiskriminasikan mahasiswa. Padahal mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang punya hak untuk memilih dan dipilih. Dengan demikian tidak ada hak persamaan bagi mahsiswa dengan warga negara yang lain dalam hal hak berpolitik, karena mahasiswa didiskriminasikan dalam berserikat, berpendapat dan dipilih. Padahal semua ini sudah dijamin oleh perlembagaan persekutuan. Adanya diskriminasi terhadap mahasiswa ini tidak hanya bertentangan dengan pasal 8 (1) perlembagaan persekutuan dan prinsip-prinsip HAM, juga sangat bertentangan atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam. Islam telah meletakkan hak dan kewajiban yang sama sebagai warganegara. Islam tidak membenarkan adanya diskriminasi, karena dalam Islam kedudukan manusia adalah sama baik dalam kenegaraan maupun di sisi-Nya. Setiap rakyat (umat) memiliki hak atau kewajiban yang sama sebagai warga negara. Islam telah memberikan kebebasan kepada umatnya dan sekaligus memberikan batasannya dengan aturan yang tegas yaitu syari’ah. Kebebasan adalah napas kehidupan umat manusia. Manusia tanpa kebebasan laksana benda mati. Kita tidak mengenal satu prinsip yang memuliakan kehidupan dan menjunjung tinggi kebebasan dan orang-orang merdeka, seperti Islam. Walaupun Islam menjunjung tinggi kebebasan, akan tetapi kebebasan itu bukanlah suatu kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan dalam Islam dibatasi oleh aturan-aturan (Hukum Syara’), sehingga selain manusia memiliki hak juga mempunyai kewajiban.
Karena hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, selalu bergandengan, menyatu dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan urutannya. Kewajiban harus didahulukan sebelum hak diperjuangkan. Dengan kata lain, kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, setiap adanya pemenuhan hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat kewajiban yang merupakan pro kondisi.81 Adapun piagam kebebasan dalam Islam, telah diproklamirkan oleh Sayidina Umar bin Khathab ra. Ketika mengatakan kepada seseorang yang menindas orang lain, “Sejak kapan kalian memperbudak orang sedangkan ibu mereka melahirkannya dalam keadaan bebas merdeka.” Islam datang untuk menjamin dan melepaskan kemerdekaan ummat manusia, untuk melindunginya dari pelecehan dan perkosaan, baik dalam lapangan agama, politik maupun berpikir.82 Kebebasan individu, kebebasan rakyat dan kebebasan negara, adalah hal-hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.83 Bagaimana individu yang merdeka dapat menikmati hak-haknya dalam suatu negara, apabila negara tidak memberikan atau tidak menjamin hak-haknya.
81
Noryamin Aini, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 84 82 Mustafa Muhammad Ath-Thahan, Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, (Solo: Era Intermedia, 2000), Cet. I, h. 81 83
Ibid., h.82
I. Akibat Adanya AUKU Semenjak adanya AUKU dan kaitannya dengan hak politik mahasiswa yang diatur di dalamnya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa akibat yang ditimbulkan yaitu: 1. AUKU Membunuh Bakat Mahasiswa Adanya AUKU telah membunuh aktivitas pergerakan mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi bebas berfikir, berkumpul atau berorganisasi untuk menyuarakan pendapat (secara idealis dan akademik) karena aktivitas mereka senantiasa diancam. Akhirnya, mahasiswa Malaysia dasawarsa ini tidak lagi menjadi jurubicara ummah demi pembangunan negara sebagaimana mahasiswa Malaysia era 1960-an dan 1970-an. Berkenaan dengan hal ini Mohamad Suhaimi al-Maniri berkata: “Dengan adanya AUKU ini mahasiswa tidak bebas lagi memperjuangkan konsep 'bersama rakyat' sebagaimana yang dipelopori oleh rakan-rakan mereka sebelum AUKU diberlakukan. Setelah adanya AUKU mahasiswa seolah-olah di-'penjara' dikampus-kampus dengan kehidupan mereka yang tersendiri. AUKU telah merampas secara halus kekuatan mental mahasiswa, akibatnya kegiatan mahasiswa menjadi semakin suram dan tidak berdaya.”84 2. AUKU Telah Menyuburkan Beberapa Budaya Kurang Sehat di Kalangan Mahasiswa. AUKU telah menyuburnya nilai-nilai individualistik dan materialistik di kalangan mahasiswa, mereka beranggapan kampus hanya tempat mereka
84
AUKUhttp://www.jim.org.my/module2.php?module=bahumum&id=68 telah diakses pada tanggal 24 Juli pukul 15.00 WIB.
mendapatkan ijazah dan seterusnya mendapat pekerjaan yang baik. Akhirnya, mereka mati rasa dengan isu-isu masyarakat di luar. Timbulnya budaya takut apabila melanggar AUKU. Akhirnya beasiswa dipotong, dimarahi orang tua, tidak ada peluang untuk melanjutkan pendidikan dan sebagainya. Mahasiswa dibayangi oleh undang-undang yang mengekang dan akhirnya hilangnya rasa berani untuk bersuara, mengkritik dan mengemukakan gagasan baru dalam masyarakat. Mahasiswa hanya menfokuskan kepada aktivitas dalam kampus saja, yang kadangkala bersifat hedonistik. Hanya segelintir saja yang berminat dengan kegiatan intelektual dan ilmiah. Jadi tidak heranlah kalau kita melihat hari ini mahasiswa tidak selantang mahasiswa sebelum akta dahulu. Mahasiswa kini begitu pasif melihat isu-isu yang ada di sekeliling mereka seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa. Isu-isu seperti pengharaman Purdah (cadar), amandemen undangundang, Peristiwa Tanjung Periuk, Proyek Mewah, Tragedi Memali, Isu Tuntutan Bertindih Pulau Batu Putih, Ligitan dan sebagainya, korupsi dan skandal seks di kalangan pemimpin negara, pelacuran dan lain-lainnya tidak dipedulikan lagi oleh mahasiswa.85 Selain memasung kebebasan hak politik mahasiswa, AUKU juga telah mengekang civitas akademika, karena mereka tidak dibenarkan: 1. Terlibat secara aktif dengan sembarang partai politik.
85
http://idealis-mahasiswa.net/gerakansiswa/gerakansiswa3.3.html diakses pada tanggal 12 Juli pukul 21.00 WIB.
2. Berkampanye mendukung atau menentang sembarang partai politik. 3. Menulis atau menerbitkan sesuatu yang dianggap sebagai mengkritik Universitas atau Pegawai universitas dan juga pemerintah. 4. Mengumpulkan atau menganjurkan pungutan apa pun. Tentang kedisiplinan civitas akademika diuraikan lebih jelas dalam berbagai peraturan yang dibuat oleh universitas. Salah satunya adalah “akujanji” (sumpah) yang harus ditandatangani setiap civitas akademika. Universitas menetapkan civitas akademika agar mematuhi semua peraturan, termasuk peraturan yang belum dibuat. AUKU dan semua peraturan, termasuk “akujanji” memasung kebebasan berfikir civitas akademika dan menghambat prestasi mereka. Profesor atau dosen-dosen yang kritis jarang diberi peluang menjadi pegawai universitas, bahkan dihilangkan haknya menjadi anggota Senat. Kenaikan pangkat selalu kurang memperhatikan prestasi akademik, terutama pengajaran, penelitian dan penerbitan. Otonomi kampus terkikis dan ini merupakan salah satu faktor mengapa mutu universitas merosot. Institusi Perguruan Tinggi yang seharusnya bersifat bebas sebagai pusat untuk melatih kemahiran, mencari pengetahuan, menegakkan kebenaran dan mengembangkan kebudayaan seolah-olah menjadi boneka pemerintah, yang tunduk pada banyak kepentingan politik pemerintah. Dengan keadaan seperti itulah, AUKU mendapat tentangan dari dosendosen dan mahasiswa yang merasakan hal itu merupakan satu upaya
pemerintah untuk menyekat aktivitas mahasiswa dalam politik luar kampus.86 Namun sampai saat ini hanya sedikit dari kalangan mahasiswa yang berani menyuarakan agar AUKU dihapuskan. Mereka yang berupaya agar AUKU dihapuskan membentuk suatu gerakan yang dikenal dengan Gerakan Mahsuhkan AUKU (GMA) yang beranggotakan antara lain Gabungan Mahasiswa Islam Malaysia (GAMIS), Persatuan Mahasiswa Universiti Malaya (PMUM), Persatuan Mahasiswa Islam Universiti Malaya (PMIUM) dan Persatuan Bahasa Cina Universiti Malaya (PBCUM). Dari penjelasan di atas, adanya pengekangan dan pemasungan terhadap mahasiswa ini menunjukkan bahwa dampak negatifnya sangat besar sekali. Namun demikian, tidak menuntup kemungkinan ada dampak positifnya, tetapi sangat sedikit sekali. Misalnya sebagaimana ada yang mengatakan bahwa dengan tidak ikut campur dengan urusan politik, mahasiswa dapat memfokuskan dirinya untuk belajar dan bisa cepat selesai dalam menempuh pendidikannya. Sehingga tidak banyak membuang-buang waktu dan biaya, dan mungkin ini dapat meringankan beban orang tua. Akan tetapi hal ini sebenarnya bersifat relatif, artinya tergantung kepada mahasiswa itu sendiri. Keaktifan mahasiswa dalam organisasi, belum tentu dapat menyebabkan tidak dapat menfokuskan dan menghambat pendidikannya.
86
Riduan Mohamad Nor, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, h. 29
Justeru bisa jadi itu akan membuat ia lebh cerdas, teliti dan kritis terhadap persoalan yang ada dalam masyarakat.
J. Pemerintah Harus Melindungi Hak Politik Mahasiswa Adalah merupakan suatu kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM.87 Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban negara untuk tidak melakukan intervensi Negara yang tidak pada tempatnya dapat mengakibatkan adanya masalah pelanggaran HAM. Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban Negara untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang legislatif, administratif, dan yudikatif. Sedangkan kewajiban untuk melindungi HAM memerlukan sikap atau tindakan positif dari negara bahwa dalam menghormati dan memenuhi hak asasi individu tidak melanggar hak asasi individu lainnya. Setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama kepada negara. Kewajiban warganegara adalah taat dan patuh kepada semua peraturan yang ada, selain itu juga berkewajiban dalam bela negara. Sedangkan hak warganegara adalah mendapatkan jaminan penghidupan yang layak, adil dan makmur. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya, bukan hanya menjaga dan
87
Untuk penjelaskan lengkapnya mengenai kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM, dapat dilihat pada Manfred Nowak, Introduction to The International Right Regime, (Leiden, the Netherlands: Nijhoff Publishers, 2003), h. 49-50
memelihara keamanan, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya. Kemakmuran suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari segi kemajuan ekonominya saja, akan tetapi harus dilihat dari segi yang lain seperti politik dan sosial budaya. Artinya bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu tidak hanya diukur dengan kemajuan ekonomi saja, akan tetapi dilihat dari terpenuhi semua hak-hak rakyat seperti hak hidup, hak milik, hak perlindungan keamanan dan kehormatan, hak politik dan
lain-lain.
Berkaitan dengan hak-hak politik rakyat, sebenarnya di negara Malaysia telah dijamin dalam undang-undang Perlembagaan Persekutuan, bahwa setiap warga negara Malaysia mempunyai hak untuk berkumpul atau berserikat, bersuara atau berpendapat serta hak memilih dan dipilih. Ini berarti bahwa setiap warga negara Malaysia mempunyai hak politik yang sama. Dengan demikian, seharusnya tidak terdapat undang-undang di bawah Perlembagaan Persekutuan yang bertentangan dengannya, seperti AUKU. Seharusnya di dalam AUKU tidak ada pasal yang bertentangan dengan Undang-undang Persekutuan seperti pasal 15 dan 16 AUKU sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah harus berorientasikan pada kepentingan rakyat, karena ia dibuat untuk mengatur agar tercipta keadaan rakyat yang tertib, teratur dan aman. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat memberikan dan melindungi hak-hak rakyat.
Mahasiswa sebagai bagian dari rakyat pun tidak terkecuali hak-haknya harus mendapatkan jaminan dan perlindungan dari pemerintah melalui peraturan perundang-undangan termasuk hak untuk berkumpul atau berserikat, bersuara atau berpendapat serta hak memilih dan dipilih (hak-hak politik). Sehingga, negara dalam memberikan dan melindungi hak-hak rakyatnya tidak bersikap diskriminatif. Secara umum, penulis sebenarnya setuju dengan adanya AUKU karena memang perlu adanya aturan atau undang-undang yang mengatur hal-hal berkaitan dengan universitas termasuk di dalamnya adanya aturan mengenai aktivitas mahasiswa. Akan tetapi, penulis menjadi tidak setuju ketika dalam AUKU ada beberapa pasal yang tidak menjamin hak-hak mahasiswa. Seharusnya aturan itu lebih mangatur kepada bagaimana mahasiswa diberi batasan tertentu dalam bertindak atau memenuhi hak-hak politiknya. Misalnya mahasiswa boleh untuk melakukan aksi tapi dengan damai, mengkritik pemerintah tetapi dengan alasan yang jelas, dan berorganisasi selama tidak membahayakan kepentingan umum atau negara. Artinya batasan aturan itu bukan mengangkat atau memasung sehingga hak-hak politik mahasiswa menjadi hilang.
DAFTAR PUSTAKA Abadi, Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Bairut: Dâr al-Fikir, 1995 Abas,Tun Mohd Salleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006 Cet. III Aini, Noryamin Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim, Sahîh Bukhâri,Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, Juz XXII Al-Nasâ’i, Ahmad bin Syuib Abu Abd al-Rahmân, Sunan al-Nasâ’i, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2005, Cet. II, Juz XV Al-Nisaburi, Muslim bin al-Haj Abu al-Husin al-Qusairi, Sahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihya’ al-Tharashi al-Arabi, Juz IX Al-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Samson Rahman, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, Cet. I Alh-Thahan, Mustafa Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, Solo: Era Intermedia, 2000, Cet. I Al-Umuri, Akram Dhiya, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, edisi Indonesia Seleksi Sirah Nabawiyyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Oleh Abdul Rosyad Shidiq, Jakarta: Darul Falah, 2004, Cet. I Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim dan Terjemah, Bandung; PT. Syamil Cipta Media, t.th Hal Ehwal Pelajar, Buku Peraturan Pelajar Kolej Universiti Sains dan Teknologi Malaysia, Bahagian Hal Ehwal Pelajar KUSTEM, 2005, Cet. II
Hanbâl, Abu Abdillah Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbâl, Beirut: Maktab alIslâmi 1398 H / 1978 M, Juz XXXIV Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, Cet X Hude, H. M. Darwis, (ed), Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, Cet. I Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 2006, Cet. XV Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet I Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Logos, 2004, Cet. I Kamali, Muhammad Hashim, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh Eva Y.Nukman dan Fatiah Basri, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Jakarta: Mizan, 1996 Kencana, Inu, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, Cet. I Khalid, Khalid Muhammad, Khulafa ar-Rasul, alih bahasa oleh Mahyuddin Syaf, dkk., Mengenal Pola Kepimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: CV. Diponegoro, 1996, Cet. IV Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, Cet. IV Manzhur, Jalaluddin Muhammad Ibnu, Lisan al-'Arab, Mesir: Dâr al-Mishriyah li alTa'lif wa al-Tarjamah, tt., Juz 11 Maududi, Abul A’la, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), Jakarta: Bumi Aksara, 2005, Cet. III Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, Cet. I Nasution, Harun, dan Bakhtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam Jakarta:Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus, 1995, Cet. II Nor, Riduan Mohamad, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, 2007, Cet. I
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, Surabaya: Arkola, 1994 Putra, Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Quran, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995, Cet. II Rapar, J. H., Filsafat Politik Aristoteles; Seri Filsafat Politik, Jakarta: CV. RajaGrafindo Persada, 1996, Cet. I Rosyada, Dede, dkk., Pendidikan Keawarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyrakat Madani, Jakarta: Tim ICCE UIN Syyarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media, 2003, Cet. I,Edisi Revisi Saefuddin, A. M., Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. I Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, Cet. II Suhino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2005, Cet. V Sutiyoso, Bambang, Aktuarita Hukum dalam Era Reformasi, Jakarta: Rajawali Press, 2004, Cet. I Syarif, Mujar Ibnu, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, Bandung: Penerbit Agkasa, 2003, Cet. I Syazili, Munawir, Islam Dan Tata Negara, Jakarta:UI Press. 1990) Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, Cet. I Zaidan, Abdul Karim, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. I Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, Bangil: Al-Izzah, 2004, Cet. II
Artikel dan Website: http://ms.wikipedia.org/wiki/Akta_Universiti_dan_Kolej_Universiti_1971
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ http://www.evaluasireformasi.blogspot.com/8.html http://suara-utmkl.blogspot.com/2007/09/auku-perlu-dimansuhkan-bukan 7401.html#c4795340316545903198
dipinda_
http://qanunfiatdunia.blogspot.com/2008/03/hujah-mengapa-auku-perludimansuhkan. html http://akhienaim.blogspot.com/2008/04/auku-tiba-masanya-dipinda-semula.html http://zainulfaqar.wordpress.com/2008/03/31/mansuhlah-auku-karena-banyak manfaatnya/ http://202.190.73.171/index.php?option=com_content&task=view&id=014865&Item id=28 http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg03504.html http://www.jim.org.my/module2.php?module=bahumum&id=68 http://idealis-mahasiswa.net/gerakansiswa/gerakansiswa3.3.html http://www.agc.gov.my/agc/oth/listTLawbm_1.htm.
LAMPIRAN I
Undang-Undang Malaysia Akta 30 Akta Universiti dan Kolej Universiti 1971
Pasal 15
Pelajar atau pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar dilarang bersekutu dengan persatuan, dsb. kecuali sebagai mana diperuntukkan di bawah Perlembagaan, atau diluluskan oleh Naib Canselor
Pasal 15. (1) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menjadi seorang ahli, atau boleh dengan apa-apa cara bersekutu dengan, mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apaapa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntukkan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor.
Pasal 15 (2) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, sama ada ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau selainnya, boleh ada apa-apa gabungan, persekutuan atau apa-apa jua urusan lain dengan mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apa-apa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntukkan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor.
Pasal 15 (3) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram.
Pasal 15 (4) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti lain, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram.
Pasal 15 (5) Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi peruntukan subseksyen (1), (2), (3) atau (4) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau keduaduanya.
Pelajar atau pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar dilarang memungut wang
Pasal 15A (1) Tiada seseorang pelajar Universiti, atau sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, boleh, di dalam atau di luar Kampus, atau di dalam atau di luar Malaysia, memungut atau cuba memungut, atau menganjurkan atau cuba menganjurkan apa-apa pemungutan, atau membuat apa-apa rayuan secara lisan atau secara bertulis atau selainnya atau cuba membuat sesuatu rayuan itu untuk, apaapa wang atau harta lain daripada sesiapa jua, iaitu bukan wang atau harta yang genap atau hampir genap masanya diperoleh di bawah atau menurut mana-mana undang-undang bertulis, kontrak atau kewajipan lain di sisi undang-undang.
Pasal 15A (2) Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi subseksyen (1) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit ataudipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya.
Pasal 15A (3) Menteri boleh, dalam sesuatu kes tertentu, menurut budibicara mutlaknya memberikan pengecualian kepada sesiapa jua daripada kuat kuasa subseksyen (1), tertakluk kepada apa-apa terma dan syarat dan bagi apa-apa tempoh sebagaimana yang difikirkannya patut menurut budi bicara mutlaknya.
Pasal 15A (4) Tanpa menyentuh peruntukan mana-mana undang-undang bertulis yang lain berhubung dengan pewakilan kuasa, Menteri boleh, melalui pemberitahuan dalam Warta, mewakilkan penjalanan kuasanya di bawah subseksyen (3) kepada Naib Canselor mengenai pemungutan wang dalam Kampus daripada orang dalam Kampus, tertakluk kepada apa-apa syarat dan sekatan sebagaimana yang ditetapkan dalam pemberitahuan itu.
Pasal 15A (5) Peruntukan seksyen ini tambahan kepada dan tidak mengurangkan kuasa peruntukan mana-mana undang-undang bertulis yang berhubungan dengan pungutan rumah ke rumah dan di jalan, pungutan awam, atau pungutan wang atau jualan lencana.
Tanggungan jenayah pemegang kumpulan pelajar
jawatan, dll., pertubuhan, badan atau
Pasal 15B. (1) Jika sesuatu kesalahan telah dilakukan di bawah mana-mana undang-undang bertulis, sama ada atau tidak seseorang telah disabitkan
atasnya, dan kesalahan itu telah dilakukan atau berupa sebagai telah dilakukan atas nama atau bagi pihak sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan, atau mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang lain, tiap-tiap pemegang jawatan bagi pertubuhan, badan atau kumpulan itu dan tiap-tiap orang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan pertubuhan, badan atau kumpulan itu pada masa berlakunya kesalahan itu hendaklah disifatkan sebagai bersalah atas kesalahan itu dan boleh dikenakan hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang bagi kesalahan itu, melainkan jika dia membuktikan dengan memuaskan mahkamah bahawa kesalahan itu telah dilakukan tanpa pengetahuannya dan bahawa dia telah menjalankan segala usaha yang sewajarnya untuk mencegah berlakunya kesalahan itu.
Pasal 15B. (2) Seseorang pemegang jawatan bagi, atau seseorang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan, mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan seperti yang disebut dalam subseksyen (1) boleh didakwa di bawah seksyen ini, walaupun dia mungkin telah tidak mengambil bahagian dalam melakukan kesalahan itu.
Pasal 15B. (3) Dalam sesuatu pendakwaan di bawah seksyen ini terhadap seseorang pemegang jawatan bagi, atau terhadap seseorang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan, mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan seperti yang disebut dalam subseksyen (1), apa-apa dokumen yang dijumpai dalam milik seseorang pemegang jawatan bagi, atau orang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan, pertubuhan, badan atau kumpulan itu, atau dalam milik seseorang ahli pertubuhan, badan atau kumpulan itu adalah menjadi keterangan prima facie mengenai kandungannya bagi maksud membuktikan bahawa sesuatu telah dilakukan atau berupa sebagai telah dilakukan oleh atau bagi pihak pertubuhan, badan atau kumpulan itu.
Anggapan
Pasal 15C. Dalam sesuatu pendakwaan di bawah Akta ini—
(a) tidaklah perlu bagi pihak pendakwa membuktikan bahawa sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan orang mempunyai sesuatu nama atau bahawa ia telah ditubuhkan atau biasanya dikenali dengan sesuatu nama tertentu; (b) jika apa-apa buku, akaun, tulisan, senarai ahli, meterai, panji-panji atau insignia bagi, atau yang berhubungan dengan, atau berupa sebagai yang berhubungan dengan, sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan orang dijumpai dalam milik, simpanan atau di bawah kawalan seseorang, hendaklah dianggap, sehingga dibuktikan sebaliknya, bahawa orang itu seorang ahli pertubuhan, badan atau kumpulan itu, dan pertubuhan, badan atau kumpulan itu hendaklah dianggap, sehingga dibuktikan sebaliknya, sebagai wujud pada masa buku, akaun, tulisan, senarai ahli, meterai, panjipanji atau insignia itu dijumpai sedemikian; dan (c) jika apa-apa buku, akaun, tulisan, senarai ahli, meterai, panji-panji atau insignia bagi, atau yang berhubungan dengan, sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan orang dijumpai dalam milik, simpanan atau di bawah kawalan seseorang, hendaklah dianggap, sehingga dibuktikan sebaliknya, bahawa orang itu membantu dalam pengurusan pertubuhan, badan atau kumpulan itu. Penggantungan dan pembuangan pelajar yang dipertuduh atas suatu kesalahan jenayah atau yang terhadapnya suatu kesalahan jenayah dibuktikan
Pasal 15D. (1) Jika seseorang pelajar Universiti dipertuduh atas suatu kesalahan jenayah, dia hendaklah dengan itu serta-merta digantung daripada menjadi seorang pelajar Universiti dan dia tidak boleh, dalam
masa menunggu keputusan prosiding jenayah itu, tinggal atau masuk dalam Kampus Universiti itu atau Kampus mana-mana Universiti lain.
Pasal 15D. (2) Jika mahkamah mendapati sesuatu pertuduhan atas suatu kesalahan jenayah dibuktikan terhadap seorang pelajar Universiti, pelajar itu dengan itu serta-merta terhenti menjadi seorang pelajar Universiti itu dan dia tidak boleh tinggal atau masuk dalam Kampus Universiti itu atau Kampus mana- mana Universiti lain.
Pasal 15D. (3) Seseorang pelajar Universiti yang ditahan, atau yang tertakluk kepada apa-apa perintah yang mengenakan sekatan ke atasnya, di bawah mana-mana undang-undang bertulis yang berhubungan dengan tahanan pelindungan atau keselamatan dalam negeri dengan itu serta-merta terhenti menjadi seorang pelajar Universiti itu dan dia tidak boleh tinggal atau masuk dalam Kampus Universiti itu atau Kampus mana-mana Universiti lain.
Pasal 15D. (4) Seseorang pelajar Universiti yang digantung daripada menjadi seorang pelajar Universiti di bawah subseksyen (1) tidak boleh, semasa dia digantung sedemikian, diterima menjadi seorang pelajar mana-mana Universiti lain dalam Malaysia tanpa kelulusan bertulis Menteri, dan jika Menteri memberikan kelulusan itu, Menteri boleh mengenakan apa-apa terma dan syarat sebagaimana yang difikirkannya patut dikenakan, menurut budi bicara mutlaknya.
Pasal 15D. (5) Seseorang pelajar Universiti yang terhenti menjadi seorang pelajar Universiti di bawah subseksyen (2) atau (3) tidak boleh diterima menjadi seorang pelajar Universiti itu atau mana-mana Universiti lain dalam Malaysia tanpa kelulusan bertulis Menteri, dan jika Menteri memberikan kelulusan itu, Menteri boleh mengenakan apa-apa terma dan syarat sebagaimana yang difikirkannya patut dikenakan, menurut budi bicara mutlaknya.
Pasal 15D. (6) Seseorang yang tinggal atau masuk dalam Kampus manamana Universiti bersalahan dengan subseksyen (1), (2) atau (3)atau yang dapat masuk menjadi pelajar mana-mana Universiti bersalahan dengan subseksyen (4) atau (5) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya.
Pasal 15D. (7) Subseksyen (1), (2), (3), (4) dan (5) hendaklah terpakaibagi seseorang walaupun keputusan masih ditunggu dalam mana- mana mahkamah atau di hadapan mana-mana pihak berkuasa lain mengenai apa-apa permohonan, petisyen, rayuan atau apa-apa jua prosiding lain yang dibuat olehnya atau oleh mana-mana orang lain berkenaan dengan prosiding jenayah, tahanan, atau perintah yang mengenakan sekatan itu, mengikut mana-mana yang berkenaan: Dengan syarat bahawa selepas sahaja diputuskan permohonan petisyen, rayuan atau prosiding lain Menteri boleh, menurut budi bicara mutlaknya, memberi perhatian kepada keputusan itu dan memberikan pengecualian kepada pelajar itu daripada kuat kuasa subseksyen (1), (2), (3), (4) atau (5), mengikut mana-mana yang berkenaan, atas apa-apa terma dan syarat sebagaimana yang difikirkannya patut dikenakan menurut budi bicara mutlaknya.
Pasal 15D. (8) Menteri boleh, pada bila-bila masa, dalam sesuatu kes tertentu, menurut budi bicara mutlaknya, memberikan pengecualian kepada seseorang daripada kuat kuasa subseksyen (1), (2), (3), (4) atau (5), mengikut mana-mana yang berkenaan, sama ada tanpa syarat, atau atas apa-apa terma dan syarat, atau bagi apa-apa tempoh sebagaimana yang difikirkannya patut menurut budi bicara mutlaknya.
Pasal 15D. (9) (Dihapus oleh Akta A946).
Kuasa Naib Canselor untuk menggantung atau membubarkan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar
Pasal 16. Jika mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti menjalankan urusannya dengan cara yang, pada pendapat Naib Canselor, boleh merosakkan atau mendatangkan mudarat kepada kepentingan atau kesentosaan Universiti, atau kepada kepentingan atau kesentosaan mana-mana daripada pelajar atau kakitangan Universiti, atau kepada ketenteraman atau keselamatan awam, atau jika mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan itu melanggar mana-mana undangundang bertulis, Naib Canselor boleh menggantung atau membubarkan pertubuhan, badan atau kumpulan itu. Tatatertib kakitangan, pegawai dan pekerja Universiti
Pasal 16A. (1) Lembaga hendaklah mempunyai kuasa tatatertib ke atas tiaptiap kakitangan, pegawai dan pekerja Universiti dan hendaklah menjalankan kawalan tatatertib berkenaan dengan kesemua orang itu mengikut Akta ini dan apa-apa kaedah yang dibuat di bawah seksyen 16C.
Pasal 16A. (2) Lembaga boleh, melalui pemberitahuan dalam Warta, menubuhkan jawatankuasa tatatertib yang berlainan bagi kategori yang berlainan kakitangan, pegawai dan pekerja.
Pasal 16A. (3) Jawatankuasa tatatertib hendaklah menjalankan kuasanya dalam segala perkara yang berhubungan dengan tatatertib tiap-tiap kakitangan, pegawai dan pekerja yang diletakkan di bawah bidang kuasanya.
Pasal 16A. (4) Seseorang kakitangan, pegawai atau pekerja yang menjadi ahli sesuatu jawatankuasa tatatertib tidak boleh berpangkat lebih rendah
daripada mana-mana kakitangan, pegawai atau pekerja yang ke atasnya jawatankuasa tatatertib itu mempunyai kuasa tatatertib.
Pasal 16A. (5) Dalam apa-apa hal jika seseorang ahli jawatankuasa tatatertib itu sendiri merupakan pengadu dalam apa-apa prosiding tatatertib di hadapan jawatankuasa tatatertib itu, dia tidak boleh hadir dalam prosiding itu dan Lembaga hendaklah melantik mana-mana orang lain untuk mengambil bahagian dalam prosiding itu.
Pasal 16A. (6) Subseksyen (4) hendaklah terpakai bagi mana-mana orang lain yang dilantik untuk menganggotai jawatankuasa tatatertib di bawah subseksyen (5).
Pasal 16A. (7) Pada menjalankan fungsi dan kuasa tatatertibnya, jawatankuasa tatatertib hendaklah mempunyai kuasa untuk mengambil apa-apa tindakan tatatertib dan mengenakan apa-apa hukuman tatatertib atau apa-apa gabungan dua atau lebih hukuman tatatertib yang diperuntukkan di bawah kaedah-kaedah yang dibuat di bawah seksyen 16C.
Pasal 16A. (8) Jawatankuasa tatatertib tidak mempunyai bidang kuasa berkenaan dengan Canselor, Pro-Canselor dan Naib Canselor.
Pasal 16A. (9) Mana-mana kakitangan, pegawai atau pekerja yang tidak berpuas hati dengan keputusan jawatankuasa tatatertib boleh, dalam masa tiga puluh hari dari tarikh penyampaian keputusan itu kepadanya, merayu secara bertulis terhadap keputusan itu kepada Lembaga.
Pasal 16A. (10) Apabila Lembaga menimbangkan apa-apa rayuan di bawah subseksyen (9), ahli jawatankuasa tatatertib yang terhadap keputusannya rayuan itu dibuat tidak boleh hadir atau mengambil bahagian dalam apa-apa cara dalam apa-apa prosiding yang berhubungan dengan rayuan itu.
Pasal 16A. (11) Lembaga hendaklah mempunyai kuasa untuk mengesahkan, mengakaskan atau mengubah keputusan jawatankuasa tatatertib atau memberikan apa-apa arahan tentang rayuan itu sebagaimana yang difikirkan patut dan wajar olehnya.
Pasal 16A. (12) Keputusan Lembaga tentang suatu rayuan muktamad. Pihak berkuasa tatatertib mengenai pelajar Universiti
Pasal 16B. (1) Pihak berkuasa tatatertib Universiti berkenaan dengan tiap-tiap pelajar Universiti ialah Naib Canselor.
Pasal 16B. (2) Naib Canselor yang menjadi pihak berkuasa tatatertib di bawah subseksyen (1) mempunyai kuasa untuk mengambil apa-apa tindakan tatatertib dan mengenakan apa-apa hukuman tatatertib sebagaimana yang diperuntukkan di bawah mana-mana kaedah tatatertib yang mungkin dibuat oleh Lembaga di bawah seksyen 16C.
Pasal 16B. (3) Naib Canselor yang menjadi pihak berkuasa tatatertib di bawah subseksyen (1), boleh mewakilkan mana-mana daripada fungsi, kuasa atau kewajipan tatatertibnya kepada mana-mana Timbalan Naib Canselor, mana-mana kakitangan, mana-mana pegawai atau mana-mana pekerja Universiti, atau kepada mana-mana lembaga kakitangan, pegawai atau pekerja Universiti, mengenai mana-mana pelajar tertentu, atau manamana golongan atau kategori pelajar Universiti, dan Timbalan Naib Canselor kakitangan, pegawai atau pekerja atau lembaga yang kepadanya
diwakilkan fungsi, kuasa atau kewajipan itu hendaklah melaksanakan, menjalankan dan menyempurnakannya di bawah arahan dan kawalan Naib Canselor itu yang mempunyai kuasa untuk mengulang kaji, membatalkan atau mengubah apa-apa keputusan atau kesimpulan Timbalan Naib Canselor kakitangan, pegawai atau pekerja itu dan lembaga itu: Dengan syarat bahawa tiada apa-apa pewakilan boleh dibuat di bawah subseksyen ini kepada Canselor atau Pro-Canselor.
Pasal 16B. (4) Seseorang pelajar yang tidak berpuas hati dengan keputusan Naib Canselor yang menjadi pihak berkuasa tatatertib di bawah subseksyen (1) atau keputusan mana-mana orang atau lembaga yang kepadanya diwakilkan fungsi, kuasa atau kewajipan di bawah subseksyen (3) boleh dalam masa tiga puluh hari dari tarikh penyampaian keputusan itu kepadanya, merayu terhadap keputusan itu kepada Menteri yang boleh, jika difikirkannya patut, menolak secara terus rayuan itu.
Pasal 16B. (5) Jika Menteri tidak menolak secara terus sesuatu rayuan di bawah subseksyen (4), dia hendaklah melantik suatu jawatankuasa terdiri daripada dua orang atau lebih, dari dalam atau luar Universiti, untuk menimbangkan rayuan itu dan membuat syornya kepada menteri, dan, apabila syor itu diterima, Menteri boleh memberikan apa-apa keputusan mengenai rayuan itu sebagaimana yang difikirkan sesuai dan patut.
Kaedah-kaedah tatatertib
Pasal 16C. (1) Lembaga mempunyai kuasa untuk membuat apa-apa kaedah tatatertib sebagaimana yang difikirkannya perlu atau suai manfaat untuk mengadakan peruntukan mengenai tatatertib bagi kakitangan, pegawai dan pekerja Universiti dan pelajar Universiti; kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat di bawah subseksyen ini hendaklah disiarkan dalam Warta.
Pasal 16C. (2) Kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat oleh Lembaga di bawah seksyen ini boleh termasuk peruntukan bagi menahan kerja dengan dikurangkan gaji atau saraan lain, atau peruntukan bagi menggantung tanpa gaji atau saraan lain, seseorang kakitangan atau seseorang pegawai atau pekerja Universiti, dan bagi menggantung seseorang pelajar Universiti, dalam masa menunggu keputusan prosiding tatatertib.
Pasal 16C. (3) Kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat di bawah seksyen ini hendaklah mewujudkan apa-apa kesalahan tatatertib dan mengadakan peruntukan bagi apa-apa hukuman tatatertib sebagaimana yang difikirkan sesuai oleh Lembaga, dan hukuman yang diperuntukkan sedemikian boleh termasuk hukuman pembuangan kerja atau penurunan pangkat kakitangan, pegawai atau pekerja Universiti atau pembuangan pelajar Universiti dari Universiti.
Pasal 16C. (4) Kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat di bawah seksyen ini hendaklah pada menetapkan tatacara bagi prosiding tatatertib, mengadakan peruntukan bagi peluang untuk rayuan dibuat oleh orang yang terhadapnya prosiding tatatertib itu dijalankan sebelum sesuatu keputusan dicapai oleh pihak berkuasa tatatertib atas pertuduhan tatatertib yang dibuat terhadap orang itu.
Pasal 16C. (5) Kekhususan perkara yang disebut dalam subseksyen (2), (3) dan (4) adalah tanpa menyentuh keluasan kuasa Lembaga di bawah subseksyen (1).