Hak Exofficio dan Aktifnya Hakim dalam Persidangan Muh. Irfan Husaeni, S.Ag., MSI.*
A. LATAR BELAKANG MASALAH Yang Mulia Prof. Takdir Rahmadi, Hakim Agung yang juga anggota Pokja Mediasi itu menyatakan bahwa mediasi yang dilakukan oleh orang yang tidak pernah belajar mediasi memiliki efek samping tersendiri. Kalau mediatornya tidak pernah belajar, itu berbahaya. Bisa jadi malah diam-diam mediator itu melanggengkan ketidakadilan. Prof. Takdir memberi contoh mediasi antara dua pihak yang tidak seimbang misalnya, dalam perkara perceraian, dimana sang suami merupakan orang kaya dan istrinya hanya ibu rumah tangga. Jika yang memediasi adalah mediator yang tidak punya skill atau tidak patuh pada kode etik, potensi terjadinya kesewenang-wenangan cukup besar.1 Peringatan Nara Sumber pada acara Lokakarya Mediasi yang difasilitasi Badilag di Jakarta pada 20 Maret 2012 itu harus menjadi perhatian hakim pada umumnya. Inspirasinya adalah dalam proses mediasi, mediator yang tidak memiliki skill dapat menimbulkan potensi terjadinya kesewenang-wenangan, maka potensi terjadinya ketidakadilan juga mungkin terjadi dalam proses persidangan ketika hakim yang memutus perkara cerai talak tidak patuh pada hukum acara dan tidak memiliki sensitivitas gender. Muhammad Isna Wahyudi mengatakan bahwa hakim harus memiliki sensitivitas gender dalam penerapan hukum yang melibatkan kaum perempuan. Dalam memeriksa perkara, setiap hakim harus berpegang pada prinsip imparsial, yaitu tidak memihak. Penerapan prinsip imparsial ini dalam praktek masih terbatas dalam memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak berperkara, namun belum menyentuh pada aspek kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
*
Hakim Pengadilan Agama Pelaihari. www.badilag.net “Berbahaya Bila Mediator Tidak Pernah Belajar Mediasi” Selasa 20 Maret 2012, diakses pada tanggal 21 Maret 2012. 1
2 Tanpa disadari, masih ada bias budaya yang menjadikan hakim menempatkan pihak perempuan sebagai objek dalam persidangan. Sebagai objek, maka pihak perempuan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pihak laki-laki, dan cenderung tidak dihargai secara layak.2 Rasa galau juga diungkapkan oleh Khoiriyah Roihan yang posting pada jejaring sosial facebook Ia mengatakan bahwa berperkara di pengadilan agama sama saja seperti berobat ke puskesmas, sakit apa saja obatnya CTM dan antibiotic. Maksudnya kalau berperkara di pengadilan agama masalah apa saja akibatnya sama yaitu cerai. Status ini mendapat respon beragam di Forum Pembaca Badilag.net, walaupun kemasannya ringan namun substansinya serius karena ungkapan itu merupakan hasil penelitian Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia.3 Dalam perkara cerai talak sering dijumpai termohon yang awam hukum tidak menuntut mut’ah, nafkah, maskan serta kiswah kepada pemohon, padahal pemohon cukup berkemampuan secara materi. Dalam kasus yang demikian maka terjadi beda pendapat di kalangan hakim pengadilan agama dengan berbagai macam argumentasinya. Ada yang menetapkan secara ex officio dan ada yang tidak. Hak ex officio dalam praktik masih jarang digunakan oleh sebagian hakim pengadilan agama dalam menetapkan mut’ah dan iddah sebagai akibat putusnya perceraian karena talak. Akibat hak ex officio yang tidak dilaksanakan secara sungguhsungguh dan tidak dipertimbangan dengan cermat, kepentingan para pihak tidak terakomodir dengan baik, khususnya pihak istri. Pada perkara cerai talak dimana amar putusan secara dispositif mengabulkan permohonan pemohon dengan memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada termohon di hadapan sidang pengadilan agama, namun tidak disertai dengan amar kondemnatoir yang menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon adalah hal yang menarik untuk didiskusikan.
2
Muhammad Isna Wahyudi “Menjadi Hakim Sensitif Gender” Catatan diuploud pada 8 November 2011, diakses dari www.facebook.com/note.php?note_id=10150380569074732 pada 21 Maret 2012. 3 Lihat www.facebook.com/groups/141830972544430 tanggal 20 Maret 2012.
3
B. RUMUSAN MASALAH Latar belakang tersebut di atas merupakan “kegalauan akademik” yang perlu untuk dibahas kembali karena hal ini sering dijumpai oleh hakim pengadilan agama. Namun untuk lebih afdhalnya penulis harus membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi beda pendapat di kalangan hakim? 2. Bagaimana putusan cerai talak tanpa mut’ah dan iddah dalam kajian akademik? 3. Bagaimana sikap hakim terhadap mut’ah dan iddah yang tidak dituntut oleh termohon?
C. PEMBAHASAN 1. Mengapa terjadi beda pendapat di kalangan hakim? Melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Begitu juga hakim dalam menentukan akibat putusnya perceraian karena talak (mut’ah dan iddah) yang tidak dituntut oleh termohon terbagi menjadi 2 (dua) pendapat, yaitu: a. Hakim tidak menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon. b. Secara ex officio hakim menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon. Bahwa putusan hakim baik yang secara ex officio menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon maupun yang tidak menghukum, secara normatif-yuridis dibenarkan berdasarkan adagium res judikata pro veritate habetur yaitu putusan hakim harus dianggap benar, karena hakim dianggap mengetahui tentang hukumnya sebagaimana adagium ius curianovit.4 Dalam memutus perkara hakim independen berdasarkan keyakinannya, maka disparitas tersebut sejatinya merupakan pilihan berdasarkan keyakinan hakim sepanjang tetap dalam koridor hukum acara perdata.
4
Sutopo, Istilah dan Adagium Hukum, (Semarang: YPPHIM Jawa Tengah, 2001), hal. 25.
4 a. Argumentasi pendapat pertama. Pendapat pertama, hakim tidak menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon melainkan hanya mengabulkan petitum pemohon semata dengan alasan termohon tidak mengajukan gugatan balik (rekonpensi), hal tersebut didasarkan pada beberapa rujukan sebagai berikut: 1) Pasal 178 ayat (3) HIR/189 ayat (3) RBg. Pasal tersebut memberi petunjuk bahwa hakim dilarang memberi putusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon karena hal itu merupakan ultra petitum partium yang melarang hakim mengabulkan lebih dari apa yang dituntut. Oleh karena itu kelompok pertama ini berprinsip tindakan hakim harus sesuai dengan hukum (accordance with the law) dan harus mengikuti prinsip rule of law, maka tindakan hakim mengabulkan melebihi dari yang dituntut nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan pasal tersebut. Sesuai dengan prinsip rule of law siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya (beyond the powers of his authority).5 2) Asas Hukum Acara : Hakim Pasif. Dalam perkara perdata hakim bersifat pasif, artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa ditentukan para pihak. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan peraturan yang ditetapkan undang-undang dijalankan oleh para pihak.6 Apakah termohon mengajukan gugatan balik, banding, ataupun kasasi, itu bukan kepentingan hakim. Dengan pemahaman tersebut, maka pendapat pertama ini tidak aktif memberikan penjelasan dan nasehat kepada para pihak tentang akibat putusnya perceraian karena talak yang melahirkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak (mut’ah dan iddah). 3) “Disiplin mati” memahami asas impartiality. Adalah Hakim tidak memihak, melainkan bersifat netral, jujur dan adil. Dengan asas imparsial tersebut, kelompok pertama ini beranggapan bahwa memberi nasehat dan bantuan hukum seperlunya kepada termohon adalah bentuk keberpihakan. Maka 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-6. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 80-801. 6 Wildan Suyuti, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, Dilengkapi dengan Permasalahan dan Pemecahan, Edisi revisi, (Jakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2005), hal. 15.
5 hakim tidak perlu memberitahukan kepada para pihak akan akibat lainnya seperti nafkah lampau (madhiah), nafkah anak dan harta bersama apa lagi memberi petunjuk kepada termohon bahwa ia berhak mengajukan rekonvensi, meskipun termohon awam hukum. 4) Adanya diskresi internal para hakim. Tidak menutup kemungkinan ada diskresi internal hakim di lingkungan pengadilan agama “tertentu” untuk tidak mempermasalahkan mu’tah iddah dan lainlain sebagai akibat perceraian karena talak, kecuali jika termohon menuntutnya dan hal ini menjadi sebuah kesepakatan bersama.
b. Argumentasi pendapat kedua. Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua dalam perkara cerai talak meskipun termohon tidak mengajukan rekonpensi tentang mut’ah dan iddah kepada pemohon, namun secara ex officio hakim karena jabatannya menjatuhkan putusan yang amarnya menghukum pemohon untuk membayar nafkah mut’ah dan iddah kepada termohon, alasan pendapat kedua adalah beberapa rujukan sebagai berikut: 1) Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut tertulis bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Kata “dapat” ditafsirkan boleh secara ex officio memberi ruang kepada hakim untuk menetapkan mut’ah dan iddah. 2) Pasal 24 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal tersebut menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. 3) Pasal 149 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam. Pasal tersebut mengatur tentang akibat putusnya perceraian karena talak dimana jika perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a) Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
6 b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; 4) Pasal 152 KHI Dalam Pasal tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. 5) Asas equality before the law. Hakim memperlakukan para pihak sama di depan persidangan dalam rangka mendapatkan putusan yang seadil-adilnya. Hakim tidak membeda-bedakan orang, para pihak diberi hak yang sama untuk mengajukan tuntutan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu: (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.7 2. Putusan cerai talak tanpa mut’ah dan iddah dalam kajian akademik . Dampak putusan cerai talak yang hanya mengabulkan petitum pemohon tanpa mengukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon walaupun secara yuridis dibenarkan namun dalam perspektif keadilan, kepastian hukum dan asas manfaat masih menyisakan persoalan. Persoalannya adalah ketika termohon hadir di pengadilan agama dengan penuh harapan bahwa kepentingannya dapat dilindungi dan akan mendapatkan hak-haknya sesuai hukum yang berlaku namun yang didapatkan hanya sekedar akta cerai. Walaupun akta cerai merupakan hal yang urgen sebagai bukti perceraian namun itu baru sebagian dari perwajahan asas kepastian hukum (validitas yuridis), belum menggambarkan nilai dasar keadilan (validitas filosofis) dan asas manfaat (validitas sosiologis).
7
Dengar redaksi yang sama lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Lihat pula Pasal 119 HIR/143 RBg dan Pasal 132 HIR/156 RBg.
7 Bagi sebagian termohon yang mengerti hukum atau yang menggunakan jasa pengacara tidak mengalami persoalan, namun jika termohon adalah masyarakat awam, siapakah yang akan memberikan bantuan atau nasehat hukum kalau bukan hakim? Memberikan bantuan atau nasehat hukum kepada para pihak adalah perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 119 HIR/143 RBg dan Pasal 132 HIR/156 RBg. jo Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Maka hakim memberitahu termohon tentang akibat putusnya perceraian karena talak, dapat dibenarkan secara hukum (justifiable). Sekiranya termohon menggunakan haknya dengan mengajukan rekonpensi, itu hak termohon. Dan hakim tidak bisa dianggap telah berpihak kepada termohon, melainkan justeru yang dilakukan hakim dalam rangka menerapkan asas keadilan kepada para pihak berperkara (equality before the law). Dampak sosiologis pada termohon yang pulang hanya membawa akte cerai maka pengadilan agama akan dianggap sebagai lembaga isbat cerai. Nyatalah kegalauan beberapa anggota jejaring sosial facebook yang tergabung dalam Forum Pembaca Badilag.net, bahwa apapun masalahnya hasil akhirnya cerai, sehingga pengadilan agama diparodikan layaknya puskesmas, apapun penyakitnya, CTM dan antibiotic obatnya. Apabila hal itu terjadi hingga beberapa kali maka termohon akan enggan datang ke pengadilan agama, untuk apa datang? Bukankah hasilnya sudah jelas yaitu cerai dan hanya dapat akte cerai. Pada titik ini maka tidak tercapai asas manfaat, karena asas manfaat disamping dirasakan oleh para pihak yang berperkara juga mengandung pembelajaran terhadap masyarakat pada umumnya (validitas sosiologis). a. Bagaimana dengan diskresi internal? Kesepakatan hakim di lingkungan internal sepanjang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan patut mendapatkan apresiasi. Namun kesepakatan yang terdapat indikasi menyimpang dari aturan, kaidah hukum dan bertentangan dengan asas keadilan, asas kepastian hukum serta asas manfaat, tidak dibenarkan.
8 Hipotesa
penulis,
seandainya
ada
kesepakatan
hakim
untuk
tidak
mempermasalahkan mut’ah dan iddah yang tidak dituntut termohon, maka kesepakatan yang demikian perlu dikesampingkan, karena hakim harus merdeka tidak terikat dengan kesepakatan yang tidak popular dan berskala lokal apalagi melanggar kaidah hukum yang sudah jelas dan pasti. Dugaan sementara penulis ini masih perlu kajian dan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bukti yang valid karena kesepkatan seperti itu biasanya tidak tertulis. Namun jika hal itu terbukti tentunya Mahkamah Agung melalui pengadilan tinggi agama sebagai kawal depan akan menegur dan melakukan pembinaan terhadap hakim yang bersangkutan. b. Alasan mengapa bercerai harus di pengadilan agama. Putusan hakim yang mengakomodir kepentingan para pihak terkait dengan akibat putusnya perceraian karena talak (mut’ah dan iddah) bahkan istri juga mendapatkan putusan yang amarnya menetapkan madhiah, nafkah anak dan pembagian harta bersama, maka secara sosiologis masyarakat akan menilai pengadilan agama sebagai lembaga yang memberikan perlindungan hukum dan keadilan. Di sinilah asas keadilan, kepastian hukum dan asas manfaat tercapai. Semua itu terjadi jika perceraian dilakukan di pengadilan agama. Peranan pengadilan agama dalam perkara perceraian bukan semata-mata mengadministrasi atau mencatatkan telah terjadinya perceraian antara dua orang yang telah terikat dalam perkawinan ditandai dengan keluarnya surat cerai. Namun jika memang perceraian itu tidak dapat dihindari pengadilan agama harus memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa merugikan salah satu pihak. Kemestian perceraian dilakukan di depan pengadilan tidak saja dipandang sebagai aturan hukum negara, tetapi juga hukum syara’ karena bersesuaian, saling mendukung, dan menunjukkan tata cara yang benar dalam pelaksanaan perceraian menurut syari’at Islam. Menurut Tahir al-Haddad, bahwa perceraian di pengadilan merupakan salah satu alternatif mempraktekkan nas/syariat yang benar, dan sekaligus dapat menggugurkan kebiasaan-kebiasaan talak yang tidak sesuai dengan nas yang
9 didukung oleh sejumlah ulama, yakni hanya berfikir tentang cerai tanpa memikirkan dampak negatifnya secara menyeluruh.8 Beberapa alasan-alasan mengapa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama yang dikemukakan oleh Tahir al-Haddad dalam bukunya Imra’atuna fi asy-Syari’ah wa al-Mujtama’, yang selanjutnya diambil sebagai pendapat majelis hakim Pengadilan Agama Painan, yakni:9 1) Pengadilan merupakan lembaga kekuatan pelindung. 2) Pengadilan diharapkan dapat berperan memberikan pelajaran kepada pihak-pihak yang berperkara, bersumber dari kasus-kasus orang lain yang sudah terjadi sebelumnya. Misalnya memberikan nasehat atau pemikiran (i’tibar) tentang akibat-akibat dari perceraian yang bersumber dari kasus-kasus sebelumnya kepada pihak-pihak yang sedang dalam proses perceraian. 3) Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak (fida’) atau mut’ah. 3. Sikap hakim ketika termohon tidak mengajukan tuntutan mut’ah dan iddah. a. Hakim menggunakan hak ex officio. Melihat kenyataan bahwa telah terjadi disparitas putusan hakim tersebut, penulis setuju dengan pendapat kedua yang secara ex officio berijtihad menjatuhkan putusan yang amarnya menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon, karena pendapat kedua ini menurut penulis lebih reasonable dan equitable. Pendapat kedua ini sejatinya bukan hal baru karena sejak lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pengadilan agama telah diberi wewenang untuk menjunjung harkat dan martabat serta melindungi hak-hak istri
8 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), hal. 257. 9 Putusan Nomor: 131/Pdt.G/2011/PA.Pn. tanggal 7 Desember 2011/11 Muharram 1433, diakses dari www.painan.net pada 16 Januari 2012.
10 dengan cara mewajibkan kepada pemohon untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.10 Untuk merealisasikan maksud di atas Mahkamah Agung telah memberikan perintah sebagaimana yang tertulis dalam Buku II secara jelas menyatakan bahwa pengadilan agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mut’ah.11 Oleh karenanya hakim pengadilan agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti serta mengetahui perkiraan rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah iddah dan mut’ah bahkan madhiah dan nafkah anak hingga dewasa. Menurut Sudikno Mertokusumo pada awalnya Mahkamah Agung dalam menerapkan Pasal 178 ayat (3) HIR dalam beberapa putusannya berpendapat bahwa mengabulkan permohonan lebih dari yang dituntut, memutuskan sebagian dari semua tuntutan yang diajukan, atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut adalah bertentangan dengan Pasal 178 ayat (3) HIR. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa pengadilan boleh memberi putusan yang melebihi tuntutan yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya.12 Dengan demikian nampak bahwa Mahkamah Agung dalam menerapkan Pasal 178 ayat (3) HIR tidak diterapkan secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak aktif dan selalu berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Dalam hal mut’ah dan iddah tidak dituntut termohon namun karena hal tersebut berkaitan
erat
dengan
hukum
akibat putusnya
perkawinan karena
talak
(interconnection of jurisdiction), maka hakim secara ex officio menghukum pemohon untuk membayarkan mut’ah dan iddah kepada termohon, bukanlah sebuah ultra
10
Baca Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Buku II, Pedoman Pelaksanakan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, edisi revisi 2010, (Mahkamah Agung RI: Jakarta, 2010), hal. 152. 12 Putusan No. 499 K/Sip/1970, lihat Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2010, (Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010), hal 286. 11
11 petitum. Kesimpulan selanjutnya adalah menegakkan keadilan bagi hakim bersifat mutlak sedangkan ultra petitum bersifat muqoyyad. Putusan pengadilan agama yang secara ex officio menghukum pemohon untuk membayar iddah dan mut’ah kepada termohon meskipun termohon tidak menuntut telah dilakukan oleh beberapa pengadilan agama. Seperti Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 249/Pdt.G/2007/PA.JP tanggal 16 Januari 2008.13 Dalam putusan tersebut hakim karena jabatannya secara ex officio menghukum pemohon untuk membayar nafkah selama iddah sebesar Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan mut’ah sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Sehingga jumlah seluruhnya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Kemudian pada tingkat PK jumlah nominal mut’ah tersebut dinaikkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 67 PK/AG/2010 tanggal 23 Desember 2010, sehingga jumlahnya menjadi
sebesar
Rp.
900.000.000,-(sembilan
ratus
juta
rupiah),
jumlah
keseluruhannya menjadi Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).14 b. Hakim memberi nasehat dan keterangan secukupnya kepada para pihak. Dalam perkara bidang perkawinan biaya perkara dibebankan kepada penggugat atau pemohon sebagaimana tersebut dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Karena pemohon yang mengajukan dan membayar biaya perkara bukan berarti kepentingan termohon tidak diperhatikan. Putusan sebagaimana pendapat pertama terkesan hanya memperhatikan kepentingan pemohon. Padahal seharusnya hakim memperhatikan kepentingan para pihak dengan tidak membeda-bedakan orang, karena hakikatnya para pihak sama di depan sidang dan berhak mendapatkan haknya secara adil (equality before the law). Memberikan nasehat dan keterangan secukupnya kepada para pihak tidaklah melanggar asas hakim yang harus bersifat pasif, karena ruang lingkup atau luas pokok sengketa telah ditentukan para pihak. Hakim hanya mengawasi supaya peraturanperaturan yang ditetapkan undang-undang dijalankan oleh para pihak. Hakim
13 Putusan Nomor: 184 K/AG/2009, tanggal 4 Agustus 2009, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No. 289 Desmber 2009, (Jakarta: IKAHI, 2009), hal. 59. 14 Putusan Nomor: 67 PK/AG/2010 tanggal 23 Desember 2010, diakses dari putusan.mahkamahagung.go.id pada 13 Januari 2012.
12 memberi nasehat dan keterangan hukum akibat putusnya perceraian karena talak (mut’ah dan iddah) adalah dalam rangka supaya hukum dijalankan dengan semestinya sehingga tercapailah asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Ahmad Kamil berpendapat bahwa pengertian pasif bukan berarti hakim tidak aktif sama sekali tetapi hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, oleh karena itu hakim berhak memberikan nasehat kepada para pihak (Pasal 119 HIR/143 RBg) dan hakim berhak menunjukkan upaya hukum dan memberikan keterangan secukupnya kepada para pihak (Pasal 132 HIR/156 RBg).15 Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah pihak berperkara serta menunjukkan uapaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka (Pasal 132 HIR/156 RBg). Diharapkan dari hakim sebagai orang yang bijaksana aktif dalam memecahkan masalah. Karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terlaksananya Negara Hukum Republik Indonesia.16 Menurut M. Yahya Harahap, membantu para pihak dari sudut pengkajian teoretis dapat dikategorikan “wajib”, jadi bersifat “imperatif” dasarnya adalah Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 maupun yang tercantum dalam Pasal 119 HIR/143 RBg. Sedangkan dilihat dari sudut pandang tujuan memberi bantuan, diarahkan untuk terwujud praktek peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ditambah lagi dari sudut pandang sistem hukum acara perdata itu sendiri, langsung dengan dengan lisan dan tidak wajib berproses dengan bantuan penasehat hukum, dihubungkan dengan tingkat kecerdasan hukum masyarakat Indonesia pada umumnya, semakin kuat alasan yang menyatakan “membantu” para pencari keadilan dalam proses pemeriksaan perkara perdata bersifat imperatif.17
15
Ahmad Kamil, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, (Mahkamah Agung RI, Jakarta: 2005), hal. 170. 16 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 13. 17 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 89.
13 Menurut A. Mukti Arto, tugas pokok hakim di pengadilan agama salah satunya adalah membantu pencari keadilan. Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan untuk dapat mewujudkan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemberian bantuan tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan dan atau diizinkan oleh hukum acara perdata, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:18 1) Membuat gugatan bagi yang buta huruf. 2) Memberi pengarahan tata cara prodeo. 3) Menyarankan penyempurnaan surat kuasa. 4) Menganjurkan perbaikan surat gugatan/permohonan. 5) Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah. 6) Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban. 7) Bantuan memanggil saksi secara resmi. 8) Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi. 9) Memberi penjelasan tentang upaya hukum. 10)Mengarahkan dan membantu memformulasikan perdamaian. Pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama kepada pemohon dan termohon dalam membela dan memperjuangkan hak-haknya (equal acces rule) termasuk berbuat adil dalam memberikan pencerahan hukum akibat putusnya perceraian karena talak kepada para pihak. Seringkali dijumpai pemohon dipandu dalam mengajukan permohonan, namun tidak demikian halnya terhadap termohon. Demi keadilan termohon juga harus mendapatkan perlakuan yang sama ketika kebetulan termohon awam hukum, hakim dapat membantu mendapatkan haknya dengan memberikan nasehat dan keterangan secukupnya, sehingga termohon bisa menuntut haknya. Para pihak harus mendapatkan standar hukum materiil yang sama (equal uniformity) dan perlindungan yang sama atas hak-haknya sesuai dengan ketentuan hukum materiil (equal protection of the law).19
18
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal. 31. 19 M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Peradilan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Pustaka Rosdakarya, 1997), hal. 67. Lihat A. Mukti Arto, “Pelayanan Prima Jasa Peradilan Membangun Kepercayaan Publik dan Jati Diri”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 298 September 2010, (Jakarta: IKAHI, 2010), hal. 83.
14 c. Hakim membuka ruang rekonpensi Terhadap pemohon yang buta huruf, pengadilan harus membantu untuk membuatkan permohonan lengkap berikut dengan identitas, posita dan petitum. Apalagi sekarang dengan aplikasi SIADPA pembuatan permohonan hanya memakan waktu 5 menit. Hal ini dibenarkan sesuai bunyi Pasal 119 HIR/143 RBg dan Pasal 132 HIR/156 RBg. jo Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pemahaman terbalik (mafhum mukholafah) jika pengadilan membantu pemohon merumuskan surat permohonan berarti pengadilan juga boleh membuatkan jawaban dan gugatan rekonpensi termohon karena Pasal tersebut di atas berlaku umum buat para pencari keadilan, bukan hanya berlaku buat pemohon. Dapat difahami pula bahwa memberikan nasehat, keterangan dan menunjukkan hukumnya kepada termohon akan hak-haknya justeru dalam rangka hakim mereflekskan nilai dasar keadilan (validitas filosofis). Hakim yang tidak menunjukkan akibat putusnya perceraian kepadapara pihak, akan merugikan termohon. Apalagi jika termohon sebagai orang awam, bagaimana mungkin ia mengetahui cara mengajukan tuntutan haknya? Menurut M. Yahya Harahap, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai pedoman hakim dalam fungsi memberi bantuan. Akan tetapi ketentuan pasal ini baru menegaskan subjeknya meliputi para pencari keadilan sehingga tidak mutlak bantuan itu terbatas kepada pemohon. Dalam perspektif hukum acara perdata, dalam proses pemeriksaan perkara, para pihak adalah pihak-pihak yang bersengketa dan sama-sama terjun ke arena pengadilan dalam rangka sama-sama mencari keadilan. Oleh karena itu bantuan diberikan hakim baik kepada pemohon maupun termohon.20 Bantuan dan nasehat terbatas sepanjang mengenai hal-hal yang yang berhubungan dengan permasalahan formal termasuk memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonpensi. Dalam rekonpensi sering ditemukan bantahan pihak termohon
20
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan …hal 91.
15 yang secara semu mengandung gugatan rekonpensi. Akan tetapi karena termohon kurang mengetahui caranya, formulasi gugatan rekonpensinya tidak jelas padahal sekiranya hakim menanyakan atau memberi penjelasan, benar-benar ada keinginan termohon untuk menuntut gugatan rekonpensi21 Dalam perkara cerai talak ketika termohonnya adalah orang yang awam biasanya pada tahap jawaban termohon hanya menjawab sekedarnya dan selanjutnya mengakui semua dalil-dalil permohonan pemohon. Patut diduga termohon mengalami beban mental di depan sidang, jangankan mengajukan rekonpensi melihat majelis hakim di ruang sidang bagi termohon adalah ketakutan tersendiri. Maka di sinilah pentingnya peranan hakim dalam memimpin jalannya persidangan. Hakim berperan aktif dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan dalam rangka menegakkan keadilan. Setelah
termohon
mengetahui
hak-haknya,
pastinya
termohon
akan
menggunakan haknya melalui rekonpensi. Dalam praktik ketika hakim bertanya kepada termohon: “Saudara Termohon, suami Saudara selaku Pemohon akan menceraikan Saudara bagaimana tanggapan Saudara?” “Pak Hakim, saya tidak menghendaki perceraian, namun kalau Pemohon berketetapan hati ingin menceraikan saya, maka saya akan mengajukan persyaratan kepada Pemohon berupa 1, 2, 3 … dst”. Selanjutnya hakim memandu dengan pertanyaan secara terperinci. Syarat yang diajukan termohon tersebut akan dinilai oleh hakim sebagai syarat atau rekonpensi. Jika hakim menilai hal itu sebagai syarat maka hakim menggunakan hak karena jabatannya secara ex officio dan jika syarat itu dinilai sebagai rekonpensi maka hakim membantu menformulasikannya secara tegas. Apakah persyaratan yang diajukan oleh termohon tersebut dinilai sebagai syarat ataukah rekonpensi? itu merupakan kewenangan hakim yang memutus, namun yang terpenting adalah point pokoknya sudah tercapai yaitu memenuhi rasa keadilan bagi termohon untuk mengajukan hak yang sama dengan pemohon (eudi et alteram partem).
21
Ibid…hal 96.
16 Peranan hakim merumuskan gugatan mut’ah dan iddah dalam rekonpensi walaupun dalam jawabannya termohon tidak siap bercerai dengan pemohon, adalah sebuah upaya preventif yang memberikan perlindungan hak-hak termohon seandainya permohonan pemohon dikabulkan. Karena jika permohonan pemohon dalam konpensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan permohonan mengandung cacat formil menurut hukum, maka dengan sendirinya rekonpensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima. Karena putusan rekonpensi asesor mengikuti putusan konpensi. Akhirnya semua putusan diserahkan sepenuhnya pada keyakinan hakim yang memutus perkara, jika seorang hakim memiliki kesadaran moral yang tinggi maka ia akan tulus memberi bantuan dalam batas-batas yang yang dibenarkan hukum, namun jika hakimnya terperangkap dalam kecongkakan kekuasaan (arrogance of power), dia tidak peduli akan jeritan permintaan bantuan pencari keadilan.22 Pendapat Basuki Rekso Wibowo, bahwa penegakan hukum oleh hakim tidak semata-mata persoalan yang menyangkut keterampilan teknikal, melainkan lebih menyangkut pada kecerdasan intelektual, kematangan dan keseimbangan antara rasionalitas dengan nurani serta emosionalitas.23 Rasululloh SAW telah “mewanti-wanti” umatnya untuk selalu membantu sesama terutama yang sedang dalam kesulitan seperti para pihak pencari keadilan dalam perkara cerai talak, khususnya termohon yang awam. Nabi bersabda:24
. ان ﻛﺎن ﻇﺎﻟﻤﺎ ﻓﻠﯿﻨﮭﮫ ﻓﺎﻧﮫ ﻟﮫ ﻧﺼﺮ.وﻟﯿﻨﺼﺮاﻟﺮﺟﻞ اﺧﺎه ﻇﺎﻟﻤﺎ او ﻣﻈﻠﻮﻣﺎ .وان ﻛﺎن ﻣﻈﻠﻮﻣﺎ ﻓﻠﯿﻨﺼﺮه Artinya: “hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang dhalim maupun yang didhalimi. Kalau ia berbuat kedhaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila didhalimi (dianiaya) maka hendaklah ia membelanya”. 22
Ibid,…hal 97. Basuki Rekso Wibowo, “Pembaruan Hukum yang Berwajah Keadilan”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXVII No. 313 Desember 2011, (Jakarta: IKAHI, 2011), hal. 10. 24 Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi lebih dikenal Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, dari Ahmad bin Abdullah bin Yunus dari Zuhair dari Abu Zubair dari Al-Jabir binAbdullah Radhiyallahu’anhu. (Kairo: Sya'bi, 1393 H/1973 M). Hadis No. 2584-62. 23
17 Umar bin Khothob telah membuat instruksi kepada para qodhi yang dikenal dengan risalatul qodho’, instruksi tersebut berisi asas hukum acara perdata yang menjadi pegangan qodhi pada saat itu dan tetap aktual hingga kini. Salah satu instruksinya yang mengandung asas equality before the law adalah sebagai berikut:25
اس اﻟﻨﺎس ﻓﻰ ﻣﺠﻠﺴﻚ وﻓﻰ وﺟﮭﻚ وﻗﻀﺎ ﺋﻚ ﺣﺘﻰ ﻻ ﯾﻄﻤﻊ ﺷﺮﯾﻒ ﺧﯿﻔﻚ .وﻻﯾﯿﺎس ﺿﻌﯿﻒ ﻣﻦ ﻋﺪﻟﻚ Artinya: “Samakan pandanganmu kepada para pihak, dudukkanlah para pihak di majelis yang sama, pandang para pihak dengan pandangan yang sama, berilah putusan yang adil kepadanya, agar orang yang terhormat tidak tamak pada kecurangan anda dan supaya orang yang lemah tidak merasa teraniaya karena putusan anda”.26
D. PENUTUP 1. Kesimpulan. Mut’ah dan iddah sebagai akibat putusnya perceraian karena talak yang tidak dituntut oleh istri, telah melahirkan disparitas putusan hakim di pengadilan agama. Pertama, hakim tidak menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon dan Kedua, hakim secara ex officio menghukum pemohon untuk membayar mut’ah dan iddah kepada termohon. Perceraian harus dilakukan dalam sidang pengadilan agama supaya hak-hak masing-masing para pihak dijamin dan dilindungi. Mut’ah dan iddah yang tidak dituntut oleh istri hakim hendaknya menggunakan hak ex officio atau memberi nasehat dan keterangan secukupnya kepada para pihak dan atau membuka ruang rekonpensi demi terwujudnya keadilan bagi para pihak. 2. Saran. Akhirnya keyakinan hakimlah yang akan menentukan perlu dan tidaknya menetapkan iddah dan mut’ah yang tidak dituntut oleh termohon, putusan diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara, namun putusan hakim harus 25
TM. Hasby Ash. Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 26. Ashshon’any, Subulussalam, Syarakh Bulughul Maram min Jami’il Adillatil Akhkam karya Ibnu Hajar Al-Asqalany, Juz III, (Mesir: Darul Ulum, 1958), hal. 119. 26
18 merefleksikan nilai dasar keadilan (validitas filosofis), kepastian hukum (validitas yuridis) dan manfaat (validitas sosiologis). Demikian artikel sederhana yang dapat penulis sajikan semoga mengispirasi pembaca, agar tulisan ini lebih bermakna penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca melalui alamat email
[email protected]
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi lebih dikenal Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Kairo, Sya'bi, 1393 H/1973 M. Ashshon’any, Subulussalam, Syarakhul Bulughul Maram min Jami’il Adillatil Akhkam karya Ibnu Hajar Al-Asqalany, Juz III, Mesir, Darul Ulum, 1958. Arto, A. Mukti, Drs., H. SH., M.Hum. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. ----------, “Pelayanan Prima Jasa Peradilan Membangun Kepercayaan Publik dan Jati Diri”, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No. 298 September 2010, Jakarta, IKAHI, 2010. Ash. Shiddieqy, Hasby, T.M. Prof. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970. Harahap, M. Yahya, SH, Beberapa Permasalahan Peradilan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bandung, Pustaka Rosdakarya, 1997. ----------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005. ----------, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-6, Jakarta, Sinar Grafika, 2007. Isna Wahyudi, Muhammad, “Menjadi Hakim Sensitif Gender” www.facebook.com/note.php?note_id=10150380569074732 Catatan diuploud pada 8 November 2011. Putusan Nomor: 184 K/AG/2009, tanggal 4 Agustus 2009, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No. 289 Desmber 2009, Jakarta, IKAHI, 2009. Kamil, Ahmad, Drs. H., SH., M.Hum. Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005. Mahkamah Agung RI, Buku II Pedoman Pelaksanakan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, edisi revisi 2010, Jakarta , Mahkamah Agung RI, 2010. Nasution, Khoiruddin, Prof. Dr. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, JakartaLeiden, INIS, 2002. Putusan Nomor: 184 K/AG/2009, tanggal 4 Agustus 2009, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No. 289 Desmber 2009, Jakarta, IKAHI, 2009. Sutopo, P, H. SH., M. Hum., Istilah dan Adagium Hukum, YPPHIM Kantor Perwakilan Jawa Tengah, Semarang, 2001.
19 Suyuti, Wildan, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, Dilengkapi dengan Permasalahan dan Pemecahan, Edisi revisi, Jakarta, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2005. Wibowo, Basuki Rekso, Prof., “Pembaruan Hukum yang Berwajah Keadilan”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXVII No. 313 Desember 2011, Jakarta, IKAHI, 2011. Peraturan perundang-undangan: HIR/RBg. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Kompilasi Hukum Islam. Putusan Nomor: 67 PK/AG/2010 tanggal 23 Desember 2010. Putusan Nomor: 131/Pdt.G/2011/PA.Pn. tanggal 7 Desember 2011/11 Muharram 1433. Akses Internet: putusan.mahkamahagung.go.id www.pa-painan.net www.facebook.com/groups/141830972544430