RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan
I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH. (Ketua Umum FKHK); 2. Achmad Saifudin Firdaus, SH. (Sekretaris Jenderal FKHK); 3. Kurniawan, SH. (Ketua Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Publik FKHK); 4. Okta Heriawan, SH. (Ketua Bidang Advokasi FKHK); 5. Syaugi Pratama, SH. (Ketua Bidang Hukum FKHK); 6. Bayu Segara, SH. (Ketua Bidang Pelatihan dan Pengembangan Organisasi FKHK); 7. Sodikin, SH. (Ketua Bidang Publikasi dan Pusat Informasi FKHK). II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan para Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
1
3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
2
c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Pemohon adalah badan hukum yang berbentuk badan hukum perkumpulan, yang memiliki tugas pokok melakukan penelitian dan pengkajian dalam bidang hukum dan konstitusi. 4. Bahwa Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP, karena Pemohon adalah badan hukum yang aktif melakukan sosialisasi serta advokasi kepada masyarakat yang terkena persolanan hukum. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU KUHAP : 1. Pasal 50 ayat (1): “Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.” 2. Pasal 50 ayat (2): “Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.”
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 28C ayat (2): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” 3
3. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berlaku saat ini, seorang tersangka memiliki hak untuk segera diperiksa oleh penyidik, segera dimajukan ke persidangan dan segera diadili oleh pengadilan. Bahwa menjadi persoalan dalam pasal aquo dalam perpektif kepastian hukum adalah frasa “segera” tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin dan memberikan ruang bagi seorang tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum bagi seorang tersangka. 2. Bahwa frasa “segera” tersebut tidak memberikan batasan jangka waktu yang jelas, sebagaimana penahanan misalnya. Sepintas, batasan waktu penyidikan memang akan bertentangan dengan pilihan sistem peradilan pidana yang dianut negara ini, sistem due proses of law karena akan mengarah pada sistem peradilan pidana yang dianut adalah crime control model yang mengutamakan efisiensi, kecepatan, dan asas praduga bersalah. Akan tetapi, apabila melihat kenyataan dalam tataran praktis, banyak seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan dengan melimpahkanya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas penyidikan, tanpa adanya batasan waktu tentu dapat saja terjadi seorang menjadi tersangka selamanya, bahkan seumur hidupnya menyandang status tersangka, tentu hal tersebut justru bertentangan hak tersangka untuk mendapat proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. 3. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sejalan dengan argumentasi pemohon yang menganggap frasa “segera” dalam pasal aquo telah menciderai hak dasar warga negara untuk mendapatkan 4
kepastian
hukum.
Dalam
pertimbangan
hukumnya,
Mahkamah
memberikan tafsir pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana yang telah dijamin pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga
Mahkamah
memberikan
tafsir
“surat
pemberitahuan
penangkapan harus sudah diberikan kepada keluarganya dalam jangka waktu selama 7 hari”.(Vide, Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 3/PUU-XI/2013). 4. Bahwa dalam rancangan KUHAP, ternyata permasalahan mengenai batasan jangka waktu penyidikan mendapat perhatian. Hak tersangka untuk diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan yang dalam hukum acara saat ini hanya berupa kata “segera”, maka dalam rancangan hukum acara pidana diatur lebih limitatif, segera diperiksa penyidik adalah satu hari setelah ditangkap/ditahan. Untuk segera diserahkan penuntut umum adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak ditahan). Sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat belas hari dan dapat diperpanjang empat belas hari. 5. Bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya berpotensi akan dirugikan apabila permohonan judicial review ini tidak dikabulkan. Hal ini dikarenakan keberadaan Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP dapat menghambat upaya Pemohon dalam menjaga dan menegakan nilai-nilai konstitusionalisme dengan berperan aktif melakukan sosialisasi serta advokasi, seperti yang telah diamanatkan pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
VII. PETITUM 1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan para Pemohon; 5
2. Menyatakan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (conditionaly unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “bahwa berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai. Dalam hak tersangka tidak ditahan, berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai.”; 3. Menyatakan Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “bahwa berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai. Dalam hak tersangka tidak ditahan, berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai.”; 4. Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
6