HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 _______________________________________________________________________ Oleh Drs. Sidarto Danusubroto, SH (Ketua MPR RI) _______________________________________________________________________
Pengantar Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang mengacu kepada proklamasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Peringatannya sendiri baru dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli terhadap masalah HAM untuk merayakannya. Jika mengacu kepada peringatan pertama pada 1950, maka tahun ini kita akan merayakan Hari HAM Sedunia yang 63. Artinya bahwa pembicaraan tentang HAM sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, perjalanan waktu yang demikian panjang, ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan terhadap penghormatan dan penegakan HAM di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam data yang dirilis oleh perusahaan analisis global, Maplecroft, dalam Atlas Risiko HAM 2014 (Human Rights Risk Atlas/HRRA), jumlah negara dengan risiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM) meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia sendiri berada di urutan ke30 dalam peringkat negara dengan kondisi HAM terburuk dari 197 negara yang dievaluasi dalam berbagai pelanggaran HAM. Perkembangan Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Dalam Jajak Pendapat oleh Litbang Kompas yang dilansir pada 9 Desember
2013,
terungkap
bahwa
sebanyak
73,5%
responden
menyatakan tidak puas terhadap kinerja Pemerintah dalam menjamin HAM.
Hanya
sekitar
21,2%
responden
yang
menyatakan
HUT Elsam—Desember 2013
puas, 1
sementara 5,3% menyatakan tidak tahu/tidak menjawab. Dalam jajak pendapat juga terungkap bahwa menjelang berakhirnya periode kedua pemerintahan saat ini, realitas penegakan hak asasi manusia masih menunjukkan gambaran buram. Berbagai pelanggaran HAM tetap terjadi di bawah sikap pembiaran oleh negara. Kompas juga mencatat bahwa laporan HAM yang dilansir beberapa
lembaga
dalam
negeri
ataupun
internasional
mencatat
sejumlah pelanggaran yang berulang dilakukan negara. Fokus yang banyak dibicarakan terutama menyangkut pelanggaran hak kaum minoritas
agama.
The
Wahid
Institute
melaporkan,
kasus-kasus
diskriminasi terhadap kaum minoritas agama terus meningkat. Pada tahun 2009, ada 121 insiden pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sementara pada 2010 jumlahnya menjadi 184 peristiwa dan bertambah lagi menjadi 267 kasus pada 2011. Puncaknya, tahun 2102, angka tersebut telah menjadi 274 kasus. Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid bahkan mengungkap fakta, dari 274 kasus pada 2012, 166 pelanggaran justru dilakukan aparat negara. Terkait dengan persoalan hak kaum minoritas agama Kompas mencatat perlindungan terhadap kaum minoritas yang masih sangat minim tidak hanya disuarakan disuarakan oleh responden yang beragama
minoritas,
tetapi
juga
mereka
yang
memeluk
agama
mayoritas. Tak kurang dari 47 persen responden beragama Islam menyatakan kelompok minoritas agama selama ini tidak dilindungi haknya dalam beribadah berkeyakinan. Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Indoneia. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extra ordinary
crimes”
sehingga
penyelesaiannya
juga
tidak
dapat
mempergunakan ketentuan hukum yang sudah ada, seperti misalnya KUHP, namun harus melalui “jalur khusus”. Untuk itu, sesuai dengan amanat Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah dibentuk suatu Undang-Undang tentang Pengadilan Hak HUT Elsam—Desember 2013
2
Asasi Manusia (UU Nomor 26 Tahun 2000), yang diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, TAP MPR Nomor V/MPR/2000
tentang
Pemantapan
dan
Kesatuan
Nasional
yang
merupakan bagian dari pelaksanaan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara, yang sejalan dengan maksud dan tujuan Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, terutama
Pasal 28A–28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM), juga menyebutkan perlunya dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yaitu sebuah lembaga extra-yudicial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkahlangkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesty, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam pembahasan RUU KKR, hal pertama yang sudah menjadi kesepakatan semua pihak ialah bahwa Rekonsiliasi, yang di dalamnya termasuk Rehabilitasi nasional, merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan dan Kesatuan Nasional, yang berlanjut ke dalam suatu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad hoc, serta merupakan bagian dari pelaksanaan perintah konsitusi kepada segenap penyelenggara negara, yang sejalan dengan maksud dan tujuan Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 28A – 28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM). HUT Elsam—Desember 2013
3
Salah satu dasar pemikiran terpenting yang melandasi betapa mendesaknya dilakukan Rekonsiliasi dan Rehabilitasi nasional adalah untuk menunjukkan perwujudnyataan upaya bangsa Indonesia menuju ke masa depan yang lebih baik dengan meninggalkan dendam politik dan trauma masa lalu. Pembahasan UU KKR telah melalui perdebatan panjang yang melibatkan sekitar 60 institusi pemerintah dan non pemerintah, termasuk para korban, dan akhirnya dengan didukung oleh sembilan fraksi, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 7 September 2004 menyetujui RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan menjadi
Undang-Undang.
menyelesaikan
Persetujuan
perdebatan
dan
ini
tidak
tarik-menarik
serta-merta
kepentingan
yang
memang sangat mewarnai proses pembahasan RUU KKR. Perdebatan panjang yang cukup melelahkan selama 16 bulan menunjukkan bahwa proses
untuk
Rekonsiliasi
melahirkan
(KKR)
yang
UU
Tentang
diharapkan
Komisi
dapat
Kebenaran
dipergunakan
dan untuk
mengubur masa lalu yang kelam bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Walaupun undang-undangnya telah lahir dengan perjuangan yang sangat berat, namun persoalan yang dihadapi belum juga tuntas. UU KKR menetapkan tentang batas waktu pembentukan Komisi namun kenyataannya walaupun sudah berjalan selama 10 bulan, Presiden belum menandatangani dan menyerahkan 21 nama calon anggota Komisi kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan, sampai kemudian UU tentang KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menata Kehidupan Berbangsa UU No. 27 Tahun 2004 Tentang KKR memang sudah dibatalkan oleh
Mahkamah
Konstitusi
(MK).
Namun
proses
pengungkapan
kebenaran dan proses rekonsiliasi dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak boleh terhenti. Karena kasus-kasus
HUT Elsam—Desember 2013
4
ini telah menyandera bangsa Indonesia untuk maju dan melihat ke depan. Untuk itu, DPR perlu mengajukan usul inisiatif RUU pengganti UU KKR tersebut. Sambil menunggu diajukannya RUU baru sebagai pengganti UU KKR, perlu dilakukan rehabilitasi terhadap para korban dalam kaitannya dengan Rekonsiliasi (seperti yang dimaksud UU KKR Pasal
27),
kewenangan
sedangkan Presiden,
Rehabilitasi terutama
umum
dengan
adalah
adanya
merupakan
dukungan
dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui surat Ketua MA no. KMA/403/VI/2003 tanggal 12 Juni 2003 yang berisi rekomendasi dan pandangan hukum yang pada pokoknya meminta presiden mengambil langkah-langkah konkrit kearah penyelesaian hukum dan pemberian rehabilitasi
umum
bagi
para
korban
pemerintahan
orde
baru,
khususnya para korban peristiwa 1965, dukungan Wakil Ketua DPR RI melalui surat No. KS 02/3947/DPR RI/2003 tanggal 25 Juli 2003 yang meminta presiden untuk menindak lanjuti tuntutan rehabilitasi bagi para korban peristiwa 1965 sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, serta dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berupa surat dari Komnas HAM No. 147/PUA/VIII/2003 tanggal 25 Agustus 2003 yang juga meminta presiden memberikan rehabilitasi kepada para korban peristiwa 1965 berdasarkan pasal 14 ayat (1) UUD 45. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu juga harus terus diupayakan. Prinsip-prinsip transitional justice, antara lain menuntut adanya : 1. Penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu, 2. Pemulihan Hak Korban, 3. Pengakuan adanya korban, 4.
Prinsip non-recurrement, jaminan
tidak akan
terulangnya pelanggaran HAM. Dalam Pengungkapan
laporan
yang
Kebenaran
disampaikan
(KKPK)
Koalisi
terungkap
Keadilan
bahwa
dan
penyelesaian
pelanggaran berat HAM tidak hanya berkaitan dengan pengakuan kebenaran, tetapi juga perlu mendorong berjalannya proses pengadilan, HUT Elsam—Desember 2013
5
pemulihan dan reparasi korban, serta memastikan agar pelanggaran tersebut
tidak
terulang.
KKPK
juga
mencatat
bahwa
berbagai
permasalahan buntunya proses penyelesaian pelanggaran HAM, dan terus berulangnya kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, telah mengoyak rasa keadilan kepada para korban yang hingga kini masih menuntut
keadilan.
Dalam
konteks
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara, tidak adanya penyelesaian pelanggaran HAM dan membuka pintu untuk munculnya kekerasan serta pelanggaran HAM yang baru pada masa sekarang, berimplikasi pada rentannya bangunan demokrasi di Indonesia. Demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak asasi manusia hampir mustahil terwujud. Bangsa Indonesia harus belajar dari bangsa-bangsa di Amerika Latin yang berani menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM masa lalu. Negara Chile, misalnya memiliki Museum of Memory and Human Rights untuk melayani kebenaran dan memori kolektif nasional, sedangkan di Buenos Aires terdapat Monumen ESMA untuk memperingati korban pelanggaran HAM. Negara-negara di Amerika Latin; seperti Chile, Argentina dan Brazil, negara di Eropa Timur dan Afrika Selatan berhasil menyelesaikan masalah-masalah HAM secara cerdas, dengan cara yang lebih dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa they could accept their history. Hitam maupun putih-nya sejarah, mereka menerimanya sebagai bagian dari proses berdemokrasi untuk menghargai HAM. Penutup Sesungguhnya bangsa yang besar dan bergerak maju adalah bangsa yang berdamai dengan masa lalu. Agar dapat berdamai dengan masa lalu, kita harus berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada para korban HAM demi terwujudnya rekonsiliasi. Untuk Bangsa Indonesia ke depan yang lebih baik, kita perlu mengakui sejarah hitam dan putihnya bangsa ini, bahwa pernah terjadi pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights) di Indonesia. HUT Elsam—Desember 2013
6
Dalam
sejarah
kebenaran
bangsa
sejarah,
Indonesia,
Kepentingan
penguasa penguasa
memegang cenderung
otoritas merubah
kebenaran sejarah itu sendiri yang mengandung muatan politik atau disebut juga the history of victorious. Sejarah suatu bangsa sudah seharusnya didasarkan pada fakta kebenaran yang bisa dijadikan pijakan bagi pihak lain maupun bangsa itu sendiri. Selama ini kita bersembunyi, kemudian bangsa lain akan men-cap kita tidak bisa menerima kebenaran. Kalau tetap mempertahankan keadaan seperti ini, maka Indonesia tidak akan pernah memiliki history of history. Jakarta, 10 Desember 2013 Drs. Sidarto Danusubroto, SH
HUT Elsam—Desember 2013
7
Lampiran: Jajak Pendapat Kompas
HUT Elsam—Desember 2013
8