HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ushuluddin
Oleh : Fitroh Fuadi NIM : 105034001205
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Theologi Islam
Oleh :
Fitroh Fuadi NIM : 105034001205
Dosen Pembimbing:
Dr. Bustamin, M.Si. NIP : 196307011998031003
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Dengan Ra’y ; Studi Pemahaman Hadis Nabi” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 23 September 2010 Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003
Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19770120 200312 1 003
Anggota,
Dr. M. Isa H. A. Salam, MA NIP : 19531231 198603 1 010
Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19770120 200312 1 003
Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur selalu tercurahkan kepada Allah Swt. ‘Azza Wajalla yang senantiasa memberikan rahmat, taufik serta inayah-Nya dan selalu mengiringi langkah-langkah penulis dalam melewati jalan panjang dan berliku dalam proses penulisan skripsi ini. Dan atas segala nikmat dan karunia-Nya itu pula, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan selalu kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyyah ke zaman yang beradab. Semoga kita selaku ummatnya mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Amîn. Penulis menyadari bahwa dukungan, dorongan dan do’a dari pihak-pihak luar sangat berperan dalam membantu penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, sebagai wujud syukur dan hormat penulis, kiranya sangat perlu untuk memaparkan nama-nama tersebut, akan tetapi karena adanya keterbatasan, penulis tidak mampu untuk menuliskannya satu persatu secara lengkap namun pada hakikatnya penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang telah banyak membantu penulisan skripsi ini. Terlebih dahulu sembah bakti dan terimakasih penulis haturkan kepada ayahanda H. Bahruddin dan ibunda Hj. Choziah tercinta, yang telah mendidik dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan keikhlasan serta tak bosan-bosannya mendo’akan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allas Swt. Senantiasa memberikan kesehatan i
kepada beliau sehingga bisa terus membimbing penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, dan semoga Allah Swt. mengampuni segala kesalahan mereka serta menempatkan derajat keduanya pada derajat yang tinggi. Amîn. Demikian pula kepada adik penulis Umi Hani, Inayatullah, Nawa Syarif, Very Mahmudi serta seluruh keluarga besar yang penulis cintai. Selanjutnya ucapan syukur dan hormat penulis haturkan dan tujukan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. selaku dekan Fakultas Ushuluddin beserta para Pembantu Dekan I, II, dan III. 3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaannya rela meluangkan waktu, bimbingan dan saran-sarannya mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Lalu Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, yang selalu memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan dan keikhlasannya dalam memberikan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. semoga ilmu dan pengalaman yang telah diajarkan menjadi amal jariyah bagi mereka semua dan senantiasa membawa berkah dan manfaat bagi masa depan penulis.
5. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama’, yang telah membantu pengadaan sumber bacaan dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. 6. Keluarga besar pondok pesantren al-Khiyaroh Buntet Cirebon yang telah banyak memberikan sumbangsih dalam bidang keagamaan kepada penulis sehingga dapat membantu penulis dalam memahami dan mengerjakan skripsi ini. 7. Ustadzuna Sururi yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis sehingga dapat membuka cakrawala pemahaman dalam menyelesaikan masalah. 8. Kawan-kawan seperjuangan di Tafsir Hadis, Syahid Akhyari yang selalu menjadi motivator yang dapat membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Alvin yang menjadi target agar bisa wisuda bareng, Haris yang udah ngebet banget mau kawin, Kojek, Manaf, Bangkit, Amar MD, Taufik, Jazuli, Lukman, Tezar, Noval, yang masih sering ngelobi dosen untuk ngeluarin nilai, sorry ga bisa wisuda bareng bro, abis pada lama-lama sih lu. Tak lupa pula untuk Baihaqi, Ghafar, Sofyan, Dillah, Asep, Labib, Bedah, Indri, Sumi, Mona, Qurtubi, Hazami, Umam, Irfan, Fauzi, Farhan, Farel, Nyinyip, dan seluruh kawan-kawan lainnya, semoga Allah Swt. selalu melindungi kalian dan semoga kita semua dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Amîn.
9. Kawan-kawan sepenanggungan, Kayis, Zulham, Azri, Petoy, Bolay, Farqo, Fauzan, Andre, Panca, Ajik, dan lain-lainnya. sorry ga bisa ngumpul-ngumpul bersama dulu sebelum skripsi selesai. 10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mengakhiri rangkaian pengantar ini, Penulis hanya bisa memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan meraka. Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya. Hanya kepada Allah Swt. penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuan hadis di Fakultas Ushuluddin tercinta.
ﺟﺰاھﻢ اﷲ أﺣﺴﻦ اﻟﺠﺰاء Jakarta, 22 September 2010 Penulis, Fitroh Fuadi
Pedoman Transliterasi Berdasarkan Buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006” A. Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ھـ ء ي
tidak dilambangkan b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ (koma terbalil di atas, menghadap ke kanan) g f q k l m n w h ’ (apostrof) y
B. Vokal 1. Vokal Tunggal Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ــــــ َ
a
fathah
ــــــ ِ
i
kasrah
ـــــــ ُ
u
dammah
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
َـــ ي َـــ و
ai au
a dan i a dan u
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ـــــــﺎ َ
â
a dengan topi di atas
ـــــﻲ ِ
î
i dengan topi di atas
ــــــﻮ ُ
û
u dengan topi di atas
2. Vokal Rangkap
3. Vokal Panjang
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..…………………………………………………………… PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………….....…. DAFTAR ISI………………………………………………………………………. BAB I.
PENDAHULUAN………………………………………….…………… A. Latar Belakang Masalah……………………………..……….…….. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………………..…….………. C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan………………………..…………… D. Kajian Pustaka………………………………………..……….……. E.
Metodologi Penelitian…………………………………..…………..
F.
Sistematika Penulisan………………………………..…….………..
BAB II. PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS……………………………… A. Problematika Pemahaman Hadis………………….…..….…………. B. Metodologi Pemahaman Hadis………….…….………..…….……...
BAB III. STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN DENGAN RA’Y...………………………….…………………….. A. Takhrîj Hadis………….……………………………………..……… B. Penelitian Sanad Hadis……………………..……………….………. C. Kesimpulan (Natijah)………………………………………………..
BAB IV. PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y.....… A. Tafsir bi al-Ra’y.………………………………………………..…... B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y…………………..…………………………………….. C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y……………………………………..……………………...
BAB V. PENUTUP………………………………………………………….…… A. Kesimpulan………………………………………………………….. B. Saran-saran…………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Umat Islam mengakui bahwa hadis Rasulullah Saw. itu merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam Hadis. Meskipun keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, namun hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat al-Qur’an berlangsung secara mutawâtir1, sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahâd.2 Oleh karenanya, al-Qur’an memiliki kedudukan qat‘î al-wurûd sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat‘î al-wurûd dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zannî al-wurûd.3 Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya seluruh 1
Istilah mutawâtir secara bahasa yaitu berurutan, sedangkan dalam terminologi ‘Ulûm al-Hadîts, istilah mutawâtir arti berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio serta kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut bersepakat untuk berdusta. Lihat Subhi al-Salîh, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayîn, 1977), h. 146. 2
Istilah ahâd dalam ‘Ulûm al-Hadîts memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutâwatir. 3
Maksud dari qat‘î al-wurûd atau qat‘î al-tsubût adalah kebenaran beritanya bersifat absolut (mutlak), sedangkan zannî al-wurûd atau zannî al-tsubût adalah tingkatan kebenaran dari beritanya bersifat nisbi (relatif). Subhi al-Salîh, ‘Ulûm. al-Hadîts wa Mustalâhuhu, h. 151.
al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi Saw. khususnya yang termasuk kategori ahâd, maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya. 4 Sebagaimana telah diakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. yang kemudian dihimpun dalam hadis-hadis nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al-Qur’an itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu fungsi Nabi Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an baik lisânî maupun fi’lî agar maksud al-Qur’an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan terus berkembang sementara sang penjelas (Nabi Saw.) telah wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara-cara yang dilakukan oleh Nabi Saw. agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur’an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sâ1ih 1ikulli zamân wa makân. Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan
dengan
berbagai
kemungkinan
persamaan
dan
perbedaan
masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran-ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal. 5 Menurut petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. 4 5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 4.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 4.
untuk semua umat manusia, seperti pada surat al-Sabâ’ ayat 28 :
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Dan Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-‘âlamîn), seperti pada surat al-Anbiyâ’ ayat 107 :
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Dalam pengertian bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad Saw. dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad Saw. dalam hadis-hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.6 Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang-orang terdekat maupun orang-orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang 6
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 4.
memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat maupun saat menerima musibah.7 Hal-hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi Saw. dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabi‘în yang secara sungguh-sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi Saw. untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi Saw. demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.8 Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya
memuat
berbagai
persoalan
yang
tak
habis-habisnya
untuk
diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut. Guna
memecahkan
persoalan-persoalan
tersebut,
perlu
kiranya
mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y”, dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi Saw. tersebut sekaligus bentuk-bentuk pelarangannya. Salah satu 7
Yûsuf Qardâwî, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, (Jakarta : Media Dakwah, 1994), h. 35. 8
Yûsuf Qardâwî, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, h. 35.
hadis tersebut adalah hadis riwayat al-Turmudzî:
ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺪﺒ ﻋﻦﺔﹶ ﻋﺍﻧﻮﻮ ﻋﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣﺮﹴﻭ ﺍﻟﹾﻜﹶﻠﹾﺒﹺﻲﻤ ﻋﻦ ﺑﺪﻳﻮﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﻴﻊﹴ ﺣﻛ ﻭﻦﺎﻥﹸ ﺑﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﺣ ﻳﺚﹶﺪﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺤ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺗﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨﺎﺱﹴ ﻋﺒﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺮﹴ ﻋﻴﺒﻦﹺ ﺟ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﻦﻋ ﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦﻣﺎﺭﹺ ﻭ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﺍ ﻓﹶﻠﹾﻴﺪﻤﻌﺘ ﻣﻠﹶﻲ ﻋ ﻛﹶﺬﹶﺏﻦ ﻓﹶﻤﻢﺘﻠﻤﺎ ﻋﻲ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﻨﻋ ٩
( )ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯﻦﺴﻳﺚﹲ ﺣﺪﺬﹶﺍ ﺣﻰ ﻫﻴﺴﺎﺭﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻮ ﻋ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘ ﻓﹶﻠﹾﻴﺃﹾﻳﹺﻪﺑﹺﺮ
Sufyân bin Wakî’ menceritakan kepada kami, (Sufyân berkata): Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abû ‘Awânah menceritakan kepada kami dari ‘Abd al-A’lâ dari Sa‘îd bin Jubair dari Ibn ‘Abbâs dari Nabi Saw., beliau bersabda: “takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. Abû ‘Îsâ (al-Turmudzî) berkata: hadis ini hasan. Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra’y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebut sebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra’y yang dikenal saat ini. Tentang tafsir bi al-ra’y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-ra’yi, yaitu tafsir bi al-ra’y yang mahmûd (terpuji) dan tafsir bi al-ra’y yang mazmûm (tercela).10 Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata al-ra’y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas. Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang 9 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmî, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.), juz 5, h. 199. 10 Fahd bin ‘Abd al-Rahmân al-Rumî, Ulûm al-Qur’an: Studi Kompleksitas al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1999), h. 210.
memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.11 Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, mengingat banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam pembahasan tentang penafsiran menggunakan al-ra’y terdapat beberapa hadis yang membolehkan dan ada yang melarangnya, dan dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan dengan hanya mengangkat hadis-hadis yang melarang menafsirkan dengan ra’y saja dengan disertai kajian sanad melalui metode takhrîj al-hadîts serta rijâl al-hadîts dan juga kajian matan hadis melalui metode pemahaman hadis, dengan harapan pembahasan yang berbelit-belit dan 11 Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h. 106-107.
tidak mengarah kepada maksud dapat dihindari. Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitian skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kualitas sanad dari hadis-hadis larangan menafsirkan alQur’an dengan al-ra’y? 2. Bagaimanakah kandungan dan juga maksud dari hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y? 3. Apakah tafsir bi al-ra’y itu termasuk yang dilarang dalam hadis tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan
rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan
untuk: 1. Untuk mengetahui kualitas sanad hadis-hadis larangan menafsirkan alQur’an dengan al-ra’y. 2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dan mengkorelasikannya dengan tafsir bi al-ra’y.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Menambah wawasan serta memperkaya khazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. 2. Menambah kepustakaan bagi Universitas, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi lainnya, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang sudah ada atau memiliki kesamaan. Hasil penulusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat pembahasan ataupun pendekatan yang sama, dengan harapan semoga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan, ditemukan satu skripsi yang membahas tentang tafsir al-Qur’an bi al-Ra’y, yaitu skripsi yang berjudul “studi hadis nabi tentang penafsiran al-Qur’an dengan akal (tafsîr bi alra’y)” yang ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis Muhammad Hafizh Lidinillah pada tahun 2006. Yang mana skripsi tersebut menjelaskan tentang seputar tafsir bi al-ra’y disertai dengan takhrij hadis yang berkaitan pembahasan tersebut. Sedangkan kajian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Muhammad Hafizh, walaupun membahas tema yang hampir sama. Dalam skripsi Muhammad Hafizh hanya fokus kepada metode pentakhrijan hadis saja, sedangkan pada skripsi ini lebih mengkaji secara khusus terhadap hadis-hadis yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y dengan disertai
pemahaman kandungan hadis serta mengkorelasikannya dengan tafsir bi al-ra’y yang berkembang hingga saat ini.
E. Metode Penelitian Dalam
penulisan
skripsi
ini,
penulis
menyusunnya
dengan
langkah-langkah metodologis sebagai berikut; 1. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data-data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data-data kepustakaan. 2. Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab-kitab hadis Nabi. Adapun sumber-sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab-kitab syarh hadis juga kitab-kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al-Qur’an bi alra’y. 3. Pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006”.
F. Sistematika Penulisan Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis. Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang terbentuknya masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua berisi pengantar tentang problematika pemahaman hadis dengan disertai metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab ketiga berisi redaksi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y berikut penelitian kualitas sanadnya. Bab keempat berisi tentang pemahaman tekstual dari hadis, penjelasan tentang tafsir bi al-ra’y serta kolerasi antara hadis larangan menafsirkan dengan ra’yu dan tafsir bi al-ra’y. Dan pada bab kelima berisi kesimpulan serta saran-saran.
BAB II PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS
A. Problematika Pemahaman Hadis Keberadaan Hadis Nabi Saw. sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu kedudukan hadis Nabi Saw. sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia memiliki otoritas tertinggi setelah al-Qur’an karena di dalamnya memuat sejumlah sunnah
Nabi
Saw.
yang
menuntut
umat
Islam
menggunakan
atau
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada mulanya sunnah Nabi Saw. diikuti secara langsung oleh sahabat-sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahî (lisan), Kemudian berangsur-angsur atsâr Nabi Saw. ini dikhawatirkan memudar bahkan menjadikan hilangnya sunnah Nabi Saw. yaitu seiring dengan mulai sedikitnya penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’în yang memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang dipikirkan ‘Umâr bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama, yaitu penghimpunan hadis-hadis Nabi Saw.12
12
h.16-17.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan hadis secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar-benar bersumber dari Nabi Saw., lebih-lebih di antara periwayatan dengan masa pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang terkait dengan ideologi, politik dan sebagainya.13 Hal itulah yang menjadikan pengkajian terhadap keotentikan suatu hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis terhadap hadis Nabi Saw. Problem tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah dipastikan hadisnya sahih, sebab rentang waktu yang panjang itu pula yang menyebabkan proses pemahaman terhadap suatu hadis ada kalanya mudah dan segera dapat dipraktekkan namun sebagian yang lain dipahami kurang tepat, sehingga status hadis yang sahih adakalanya ma’mûl bih adakalanya gair ma’mûl bih. Hal inilah yang mendorong lahirnya ilmu ma‘ânî al-hadîts guna menjembatani teks yang hadir pada masa Nabi Saw. hidup dengan realitas kehidupan umatnya yang terus ada sampai sekarang dan dalam ruang yang berbeda.14 Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang berkualitas sahih, secara otomatis matannya juga berkualitas sahih. M. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya: 1. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan, umpamanya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika
13
Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.12-13.
14 Indal Abror, Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi, (Yogyakarta : Juli, 2000), h. 42.
meneliti matan yang bersangkutan. 2. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad, atau 3. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman. Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi di atas, maka penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat komfirmatif semata, melainkan perlu dan penting. 15 Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas diri Nabi Saw., baik ucapan, perbuatan maupun hal-hal lain yang bersumber darinya sarat akan kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha menggambarkan secara detail yaitu berikut dengan sebab munculnya hadis (asbâb al-wurûd al-hadîts), ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya saja), sehingga bagi generasi selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan di dalam memahami maksud hadis yang sebenarnya. Terlebih suatu aktifitas Nabi Saw., ada kalanya disaksikan oleh perorangan, adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang tersebut berlangsung secara bersamaan, ada kalanya berlangsung dalam waktu yang berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda, di antaranya ada yang menjaga periwayatan secara lafzî adakalanya cukup memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh Sahabat. Hal ini pulalah yang memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang
15
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 124.
antara satu redaksi hadis dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan berbeda bahkan ada yang saling bertolak belakang (mukhtalaf). Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk kritis dalam mengkaji serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut hanya akan memunculkan selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
B. Metodologi Pemahaman Hadis Menurut M. Syuhudi Ismail, al-Qur’an telah menjelaskan fungsi serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi Saw., disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan wilayah yang terbatas. Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da‘i dan sebagainya, sehingga kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir dari aktualisasi hidupnya.16 Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal
16
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 3-4.
ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut.17 Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari aktualisasi Nabi yang kemudian dikenal dengan hadis-hadis Nabawi merupakan teks-teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat ketika dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat kalau tidak dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual.18 Menurutnya, perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna (riwâyah bi al-ma’nâ). Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah. 19 Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Untuk meneliti matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan 17
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 5.
18
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 6-7.
19
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.26.
penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan dengan masalah keyakinan tentang hal-hal gaib dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat ta‘abbudî. Dengan begitu, penelitian hadis memang membutuhkan kecerdasan penelitian dalam mengunakan cara pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan. 20 Adapun
tolak
ukur
penelitian
matan,
Salâh
al-Dîn
al-Adlabî
menyimpulkan ada empat macam, yaitu :21 1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. 3. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan juga sejarah. 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dalam buku Metodologi Hadis Nabi Saw. Karya M. Syuhudi Ismail dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu:22 1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya. 2. Meneliti susunan lafaz matan yang semakna. 3. Meneliti kandungan matan, yakni dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan ataupun tidak sejalan (bertentangan). 20
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.27-28.
21
Salâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî, Manhâj Naqd al-Matan, (Beirut: Dâr al-Afâq alJadîdah, 1993), h. 238. 22
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.122.
Syuhudi Ismail juga mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tidak sejalan atau tampak bertentangan, yaitu dengan cara :23 1. al-Tarjîh , yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat. 2. al-Jam‘u a1-Taufîq atau al-Talfîq, bertentangan
dikompromiskan,
atau
yakni kedua hadis yang tampak sama-sama
diamalkan
sesuai
konteksnya. 3. al-Nasîkh wa al-Mansûkh, petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”. 4. al-Tauqîf, “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan. Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang mendahulukan al-jam‘u, ada yang mendahulukan al-tarjîh, ada pula yang mendahulukan al-nasîkh wa al-mansûkh di atas cara yang lainnya. Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya dalam hadis-hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun ada perbedaan redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi itu karena perbedaan dalam memahami konteks masing-masing sejarah atau kapan hadis itu muncul.
23
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 73.
BAB III STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR‘AN DENGAN RA’Y
Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya
memuat
berbagai
persoalan
yang
tak
habis-habisnya
untuk
diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut. Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.24 24
Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h. 106-107.
Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y, mengingat banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak. Namun sebelum membahas pada aspek pemahaman materi hadis, penulis akan terlebih dahulu dilakukan penelitian dari segi sanad dan juga kualitas perawi hadis tersebut. A. Takhrîj Hadis Hadis yang akan diteliti adalah hadis yang berisi tentang “Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y” dan hadis yang sering dijadikan landasan ketika membahas persoalan ini adalah yang intinya berbunyi sebagai berikut:
ﺎﺭﹺ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘ ﻓﹶﻠﹾﻴﺃﹾﻳﹺﻪ ﺑﹺﺮﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦﻣ....... “……siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka” Penelitian
ini
difokuskan
kepada
beberapa
redaksi
hadis
yang
memungkinkan memuat maksud yang saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan semata-mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hadis itu sendiri. Karena objek penelitiannya adalah hadis-hadis yang tercantum dalam kitab-kitab hadis, maka dalam proses pengumpulan data dilakukan kegiatan takhrîj al-hadîts, yaitu pencarian teks hadis pada berbagai kitab hadis yang merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalamnya
disebutkan secara lengkap sanad dan matan hadisnya. Metode takhrîj yang digunakan adalah dengan penelusuran kata yang terdapat dalam hadis yang akan dibahas, dengan menggunakan kitab al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî sebagai rujukan, penulis menggunakan lafaz رأي
25
dan ﺑﻮأ
26
sebagai kata kunci dalam pencarian hadis. Melalui dua kata
kunci tersebut ditemukan banyak rujukan hadis yang dimaksud, namun setelah ditelusuri ke dalam kitab-kitab hadis, terdapat beberapa hadis yang tidak cocok terhadap inti hadis yang akan dijadikan pembahasan pada skripsi ini. Untuk itu, maka penulis hanya mengambil hadis-hadis yang berkaitan dengan pembahasan saja, yakni yang terdapat pada : 1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2874 dan 2875. 2. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1, halaman 233, 269, 323 dan 327. Ketika penulis menelusuri hadis-hadis tersebut, penulis menemukan hadis yang berkaitan dengan inti hadis di atas, hanya saja pada matannya terdapat sedikit perbedaan lafaz, dan inti hadis tersebut sebagai berikut :
ﻄﹶﺄﹶ ﺃﹶﺧ ﻓﹶﻘﹶﺪﺎﺏ ﻓﹶﺄﹶﺻﺃﹾﻳﹺﻪﻞﱠ ﺑﹺﺮﺟ ﻭﺰ ﻋﺎﺏﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺘﻲ ﻛ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦﻣ Guna mendukung upaya pemahaman hadis tentang “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y”, penulis kemudian memasukkan hadis tersebut dalam pembahan skripsi ini. Dan hadis tersebut terdapat pada : 1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2876. 2. Sunan Abî Dâwud, Kitab ‘Ilmu, bab 5.
25
A.J. Wensinck, al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, (Leiden : EJ. Brill, 1943), Juz II, h. 204. 26
A.J. Wensinck, al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, Juz 1, h. 229.
B. Penelitian Sanad Hadis Hadis yang akan diteliti kemudian ditemukan dari hasil takhrîj yang dilakukan pada pembahasan sebelumnya, yang kemudian ditelusuri hadis yang terdapat pada kitab asalnya dengan rangkaian sanad dari setiap mukharrij-nya. ِﺎﺭﺍﻟﻨ
ﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﻠﹾﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺮﹺ ﻋﻴ ﺑﹺﻐﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦﻣ
.١
a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :
ﻦﹺ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﻦﻠﹶﻰ ﻋ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺪﺒ ﻋﻦﺎﻥﹸ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣﺮﹺﻱ ﺍﻟﺴﻦ ﺑﺮﺎ ﺑﹺﺸﺛﹶﻨﺪﻠﹶﺎﻥﹶ ﺣ ﻏﹶﻴﻦ ﺑﻮﺩﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣo ﻗﹶﺎﻝﹶﻦ ﻣﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋ ﺻﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻬﻤﻤﻨﻲ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋﺿﺎﺱﹴ ﺭﺒﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺮﹴ ﻋﻴﺒﺟ ٢٧
.ٌﻴﺢﺤ ﺻﻦﺴﻳﺚﹲ ﺣﺪﺬﹶﺍ ﺣﻰ ﻫﻴﺴﺎﺭﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻮ ﻋ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﻠﹾﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺮﹺ ﻋﻴ ﺑﹺﻐﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﻓ
ﻦﻠﹶﻰ ﻋ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺪﺒ ﻋﻦﺔﹶ ﻋﺍﻧﻮﻮ ﻋﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣﺮﹴﻭ ﺍﻟﹾﻜﹶﻠﹾﺒﹺﻲﻤ ﻋﻦ ﺑﺪﻳﻮﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﻴﻊﹴ ﺣﻛ ﻭﻦﺎﻥﹸ ﺑﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣo ﺎﻲ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﻨﻳﺚﹶ ﻋﺪﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺤ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺗﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨﺎﺱﹴ ﻋﺒﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺮﹴ ﻋﻴﺒﻦﹺ ﺟ ﺑﻴﺪﻌﺳ ﺃﹾﻮﺒﺘ ﻓﹶﻠﹾﻴﺃﹾﻳﹺﻪ ﺑﹺﺮﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻣﻦ ﺎﺭﹺ ﻭ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﺍ ﻓﹶﻠﹾﻴﺪﻤﻌﺘ ﻣﻠﹶﻲ ﻋ ﻛﹶﺬﹶﺏﻦ ﻓﹶﻤﻢﺘﻤﻠﻋ ٢٨
.ﻦﺴﻳﺚﹲ ﺣﺪﺬﹶﺍ ﺣﻰ ﻫﻴﺴﺎﺭﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻮ ﻋ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﻣ
b. Teks hadis yang dikeluarkan Imâm Ahmad bin Hanbal :
ﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶﺒﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺮﹴ ﻋﻴﺒﻦﹺ ﺟ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﻦ ﻋﻠﹶﺒﹺﻲﻠﹶﻰ ﺍﻟﺜﱠﻌ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺪﺒ ﻋﻦﺎﻥﹸ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣﻴﻊﻛﺎ ﻭﺛﹶﻨﺪ ﺣo ٢٩
.ﺎﺭﹺ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﻠﹾﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺮﹺ ﻋﻴ ﺑﹺﻐﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦ ﻣﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋ ﺻﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺭ
ﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶﺒﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺮﹴ ﻋﻴﺒﻦﹺ ﺟ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﻦﻠﹶﻰ ﻋ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺎﻥﹸ ﺣﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﻞﹲ ﺣﻣﺆﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣo
27 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmi, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.),juz 5, h. 199. 28
Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 199.
29 Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillâh al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Mu‘assasah Qartah, tt), jilid 1, h. 233.
ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻣﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺁﻥ ﺑﹺﻐﻴﺮﹺ ﻋ ﹾﻠﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺘﺒﻮﺃﹾ ﻣﻘﹾﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭﹺ.
٣٠
oﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﺍﻟﹾﻮﻟﻴﺪ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔﹶ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻠﹶﻰ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦﹺ ﺟﺒﻴﺮﹴ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﻦﹺ ﻋﺒﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﺍﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺤﺪﻳﺚﹶ ﻋﻨﻲ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺘﻢ ﻓﹶﺈﹺﻧﻪ ﻣﻦ ﻛﹶﺬﹶﺏ ﻋﻠﹶﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪﺍ ﻓﹶﻠﹾﻴﺘﺒﻮﺃﹾ ﻣﻘﹾﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭﹺ ﻭﻣﻦ ﻛﹶﺬﹶﺏ ﻓﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺁﻥ ﺑﹺﻐﻴﺮﹺ ﻋﻠﹾﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺘﺒﻮﺃﹾ ﻣﻘﹾﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ.
٣١
oﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﻔﱠﺎﻥﹸ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔﹶ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﺜﱠﻌﻠﹶﺒﹺﻲ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦﹺ ﺟﺒﻴﺮﹴ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﻦﹺ ﻋﺒﺎﺱﹴ ﻋﻦﹺ ﺍﻟﻨﺒﹺﻲ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟ ﻠﱠﻬﻢ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺤﺪﻳﺚﹶ ﻋﻨﻲ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺘﻢ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭﻣﻦ ﻛﹶﺬﹶﺏ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺁﻥ ﺑﹺﻐﻴﺮﹺ ﻋﻠﹾﻢﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴﺘﺒﻮﺃﹾ ﻣﻘﹾﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭﹺ.
٣٢
.٢ﻣﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞﱠ ﺑﹺﺮﺃﹾﻳﹺﻪ ﻓﹶﺄﹶﺻﺎﺏ ﻓﹶﻘﹶﺪ ﺃﹶﺧﻄﹶﺄﹶ a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺑﻦ ﺣﻤﻴﺪ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺣﺒﺎﻥﹸ ﺑﻦ ﻫﻠﹶﺎﻝﹴ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺳﻬﻴﻞﹸ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺣﺰﻡﹴ ﺃﹶﺧﻮ ﺣﺰﻡﹴ ﺍﻟﹾﻘﹸﻄﹶﻌﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻤﺮﺍﻥﹶ ﺍﻟﹾﺠﻮﻧﹺﻲ ﻋﻦ ﺟﻨﺪﺏﹺ ﺑﻦﹺ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻣﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺁﻥ ﺑﹺﺮﺃﹾﻳﹺﻪ ﻓﹶﺄﹶﺻﺎﺏ ﻓﹶﻘﹶﺪ ﺃﹶﺧﻄﹶﺄﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻴﺴﻰ ﻫﺬﹶﺍ ﺣﺪﻳﺚﹲ ﻏﹶﺮﹺﻳﺐ.
٣٣
b. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm Abû Dâud :
ﻕ ﺍﻟﹾﻤﻘﹾﺮﹺﺉ ﺍﻟﹾﺤﻀﺮﻣﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦﹺ ﻳﺤﻴﻰ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻳﻌﻘﹸﻮﺏ ﺑﻦ ﺇﹺﺳﺤﺎ ﺳﻬﻴﻞﹸ ﺑﻦ ﻣﻬﺮﺍﻥﹶ ﺃﹶﺧﻲ ﺣﺰﻡﹴ ﺍﻟﹾﻘﹸﻄﹶﻌﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻤﺮﺍﻥﹶ ﻋﻦ ﺟﻨﺪﺏﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ٣٤
ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻣﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞﱠ ﺑﹺﺮﺃﹾﻳﹺﻪ ﻓﹶﺄﹶﺻﺎﺏ ﻓﹶﻘﹶﺪ ﺃﹶﺧﻄﹶﺄﹶ.
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 269.
30
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 323.
31
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 327.
32
Abû `Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 200.
33 34
Sulaimân bin al-Asy‘as Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sunân Abî Dâwud, (Beirut, Dâr al-Fikr, tt), juz 3, h. 320.
Hadis-hadis di atas secara umum bersumber dari dua orang sahabat, hadis pertama bersumber dari Ibn ‘Abbâs, sedangkan hadis kedua bersumber dari Jundub, artinya hadis-hadis di atas diriwayatkan oleh orang perorang (ahâd) atau tidak sampai pada derajat mutawâtir, oleh karena itu meneliti sejauh mana kualitasnya menjadi penting guna digunakannya sebagai hujjah. Pada hadis-hadis model pertama, keenam matan hadis tersebut bersamaan maknanya. Perbedaan lafaz memang ada, tetapi tidak menjadikan perbedaan makna. Untuk memperlihatkan jalur sanad hadis yang diteliti, maka penulis akan melakukan i’tibâr.35 Kegiatan i’tibâr dilakukan untuk memperlihatkan dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, termasuk juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.36 Sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu sehingga skema akan lebih mudah disusun dan dipahami. Dalam hadis model pertama, pada keenam sanadnya terdapat namanama periwayat yang ditulis secara berbeda, tetapi maksudnya sama yakni ‘Abd al-A’lâ yang pada dua sanad Ahmad bin Hanbal ditulis secara lengkap, yakni ‘Abd al-A’lâ al-Tsa’labî, yang pada sanad lainnya hanya ditulis dengan ‘Abd alA’lâ. Dan pada skema nanti, akan ditulis dengan ‘Abd al-A’lâ saja. Selanjutnya, 35
Kata i’tibâr merupakan masdar dari kata i’tabara yang berarti peninjauan terhadap berbagai hal yang dimaksud untuk dapat mengetahui yang sejenis dengannya. Sedangkan menurut ilmua hadis i’tibâr berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanadsanad lain akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52. 36
h. 52.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, tidak terdapat periwayat yang berstatus pendukung (corroboration) baik berupa syahid37 maupun mutabi’38. Pada periwayat keempat, kelima, dan bagi sanad Turmudzî periwat keenam, barulah terdapat mutabi’. Dengan demikian, mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, sanad hadis termasuk garîb, dan barulah pada periwayat keempat, sanad tersebut menjadi masyhûr. Pada hadis model kedua, pada kedua sanadnya terdapat tiga orang periwayat yang nama-nama mereka dikemukakan secara tidak seragam, yakni Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân yang pada sanad Turmudzî ditulis Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan Suhail bin ‘Abdillah, sedangkan pada sanad Abû Dâwud ditulis Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân. Dan pada skema nanti akan ditulis Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan Suhail bin ‘Abdillah. Selanjutnya, mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat
ketiga,
tidak
terdapat
periwayat
yang
berstatus
pendukung
(corroboration) baik berupa syahid maupun mutabi’. Pada periwayat keempat, kelima, dan bagi sanad Turmudzî periwat keenam, barulah terdapat mutabi’. Dan untuk memperjelas dan mempermudah proses penelitian sanad, maka diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Berikut gambaran skematis jalur periwayatan hadis-hadis di atas :
37
Pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Nabi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53. 38
Yang dimaksud mutabi’ (biasa juga disebut tabi’ dengan jamak tawabi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53.
SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN DENGAN RA’YU Hadis I ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﮫِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮭﻢ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﻦْ ﻗَﺎلَ ﻓِﻲ اﻟْﻘُﺮْآنِ ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻠْﯿَﺘَﺒَﻮﱠأْ ﻣَﻘْﻌَﺪَهُ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎرِ
ﺍﺑﻦﹺ ﻋﺒﺎﺱﹴ ﻋﻦ
ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦﹺ ﺟﺒﻴﺮﹴ ﻋﻦ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻠﹶﻰ
ﻋﻦ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺳﻔﹾﻴﺎﻥﹸ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻣﺆﻣﻞﹲ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻭﻛﻴﻊ
ﻋﻦ
ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔﹶ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺑﹺﺸﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﺮﹺﻱ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺃﹶﺑﻮ ﺍﻟﹾﻮﻟﻴﺪ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻋﻔﱠﺎﻥﹸ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺳﻔﹾﻴﺎﻥﹸ ﺑﻦ ﻭﻛﻴﻊﹴ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ
ﺳﻮﻳﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﹴﻭ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻣﺤﻤﻮﺩ ﺑﻦ ﻏﹶﻴﻠﹶﺎﻥﹶ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ
SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN DENGAN RA’YU Hadis II ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﮫِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮭﻢ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﻦْ ﻗَﺎلَ ﻓِﻲ اﻟْﻘُﺮْآنِ ﺑِﺮَأْﯾِﮫِ ﻓَﺄَﺻَﺎبَ ﻓَﻘَﺪْ أَﺧْﻄَﺄَ
ﺟﻨﺪﺏﹺ ﺑﻦﹺ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻦ
ﺃﹶﺑﻮ ﻋﻤﺮﺍﻥﹶ ﺍﻟﹾﺠﻮﻧﹺﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺳﻬﻴﻞﹸ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺣﺒﺎﻥﹸ ﺑﻦ ﻫﻠﹶﺎﻝﹴ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻋﺒﺪ ﺑﻦ ﺣﻤﻴﺪ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻳﻌﻘﹸﻮﺏ ﺑﻦ ﺇﹺﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦﹺ ﻳﺤﻴﻰ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ
ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
Pada gambaran skema sanad hadis pertama di atas, telihat hadis ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbâs dari Nabi Muhammad Saw. Secara marfû’ qawlî haqîqî.39 Hadis tersebut keseluruhannya bersumber dari Ibn ‘Abbâs, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`îd bin Jubair, lalu kepada ‘Abd al-A’lâ, melalui ‘Abd al-A’lâ inilah bercabang kepada Sufyân dan Abû ‘Awânah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyân antara lain Wakî’ dan Muammal sebagaimana di-takhrîj Imam Ahmad, sementara yang meriwayatkan dari Sufyan yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî adalah Bisyr bin al-Sariyy melalui Mahmûd bin Gailân. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abû `Awânah antara lain Suwaid bin ‘Amr yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’, rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abû ‘Awânah) Abû al-Walîd dan ‘Affân yang di-takhrîj Imam Ahmad bin Hanbal. Dan pada hadis
kedua
di-takhrîj oleh dua mukharrij yaitu Imam
al-Turmudzî dan Imam Abû Dâwud, yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî dari ‘Abd bin Humaid dari Habbân bin Hilâl dari Suhail dari Ab^u ‘Imrân al-Jaunî dari Jundub bin ‘Abdillâh. Yang lainnya di-takhrîj Imam Abû Dâwud melalui ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ dari Ya’qûb bin Ishâq al-Hadrâmî dari Suhail dengan jalur yang sama dengan jalur sanad al-Turmudzî. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaidah kesahihan hadis yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada
39
Marfû’ qawlî haqîqî ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi Saw. tentang sabdanya, bukan perbuatan atau ikrarnya. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, (Bandung : Alma’arif, 1974), h. 160.
yang berhubungan dengan keadaan pribadi atau kualitas para periwayatnya, untuk itu diperlukan penelitian secara spesifik terhadap masing-masing periwayatnya. Dan hasilnya dapat dilihat pada keterangan di bawah ini :
o Hadis I Jalur al-Turmudzî melalui Mahmûd bin Gailân 1. Al-Turmudzî Nama lengkapnya adalah Abû Îsa Muhammad bin Îsâ bin Surah, beliau adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran. Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan dzulhijjah tahun 200 H (824 M) dan wafat di Turmudz juga pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M).40 Beliau menyusun satu kitab Sunan dan kitab ‘Ilâl al-Hadîts. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mûl (dapat diamalkan).41 Beliau meriwayatkan hadis dari Qutaibah bin Sa’d, Ishâq bin Rahawaih, Muhammad bin Amru al-Sawaq al-Balkhî, Mahmûd bin Gailân, Ismâ‘îl bin Mûsâ al-Fazari, Abû Mus‘ab al-Zuhrî, Bisyri bin Mu‘âdz al-Aqdî, al-Hasan bin Ahmad bin Abî Syu‘aib, Sufyân bin Wakî’, ‘Ali bin Hujr, Hannnâd, ‘Abd bin Humaid, Yûsuf bin Îsâ, Muhammad bin Yahyâ, Khalad bin Aslam, Ahmad bin Munî’, Bukhârî, Muslim, Ahmad bin Hanbal, Abû ‘Umar al-Dârir, Muslim bin Ibrâhîm, Abû Kuraib dan lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya 40
Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 382-383.
41
Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 383.
di antaranya yaitu Abû Hamid Ahmad bin ‘Abdillah bin Dâwud al-Marwazî, Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmûd bin ‘Anbar, Hammâd bin Syakir, Ahmad bin Yûsuf al-Nasafi, ‘Abd al-Rahmân Mubârakfûrî dan lainnya. Beberapa penilaian ulama terhadapnya antara lain Ibn Hibbân menilai tsiqah, al-Khalîl menilai tsiqah muttafaq ‘alaih.42 Pernyataan al-Turmudzî bahwa ia menerima riwayat dari Mahmûd bin Gailân dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2. Mahmûd bin Gailân Nama lengkapnya Mahmûd bin Gailân al-‘Adawî, Abû Ahmad al-Marwazî al-Bagdâdî, ia wafat pada tahun 249 H. Ia meriwayatkan hadis dari Wakî’, Ibn ‘Uyainah, al-Nadr bin Syumail, Abû Ahmad al-Zubairî, ‘Abd al-Razzâq, Abû Usâmah, Basyar bin al-Sariyy, Sa`id bin ‘Amîr al-Dabî`iy, Abû Dâwud al-Badramî, Mu`awiyyah bin Hisyâm dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya cukup banyak dari kalangan ulama selain Abû Dâwud, al-Hakîm dan beberapa perawi saja. Ulama menilainya bagus seperti Al-Nasâ’î menilainya tsiqah, Ibn Hibbân juga menyebutkan namanya dalam kitab al-tsiqât.43 Pernyataan Mahmûd bin Gailân bahwa ia menerima riwayat dari Bisyr bin al-Sariyy dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang
42
Shihâb al-Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), juz 10, h. 113. 43
Ibn Hajar al-`Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 58-59.
bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Bisyr bin al-Sariyy Nama lengkapnya Bisyr bin al-Sariyy al-Basrî, Abû ‘Amr al-Makkî, ia wafat pada tahun 196 H dalam usia 63 tahun. 44 Ia meriwayatkan hadis dari Sufyân al-Tsaurî, Hammâd bin Salamah, Ibn al-Mubârak, al-Lais bin Sa‘d, Ibrâhîm bin Tuhmân, ‘Umar bin Sa‘îd bin Abî Husain, ‘Abd al-Razzâq, Nâfi’ bin ‘Umar bin Muhammad dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Yahyâ bin Adam, Ahmad bin Hanbal, Abû Haisamah, Khalid bin Yazîd al-Qarnî, Abû Sâlih (sekretarisnya al-Lais), Mahmûd bin Gailân al-Marwazî dan lainnya. Beberapa penilaian ulama di antaranya adalah Abû Hatîm menilainya Tsabt Sâlih, Ibn Sa‘d menilainya tsiqah, al-‘Ijlî menilainya tsiqah, Ahmad menyebutkan muttaqîn fî al-hadîts, ibn Ma’în menilainya tsiqah. 45 Pernyataan Bisyr bin al-Sariyy bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân alTsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 4. Sufyân Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Abû ‘Abdillah al-Kûfî. Ia lahir pada tahun 96 H di Kuffah, kemudian ia pergi ke
44
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz 11, h. 79. 45
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 394-395.
Basrah pada tahun 155 H, dan wafat pada tahun 161 H.46 Ia meriwayatkan hadis dari bapaknya Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Ibrâhîm bin ‘Abd al-A’lâ, Ibrâhîm bin ‘Uqbah, Ibrâhîm bin Muhammad bin al-Muntasyir, Usamah bin Zaid al-Laitsî, Zaid bin Aslam, Hisyâm bin ‘Urwah, , Suhail bin Abî Sâlih, ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir, ‘Abdullah bin Jâbir al-Basrî dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan hadis darinya antara lain Ibrâhîm bin Sa’d, Umayyah bin Khâlid, Bisyr bin al-Sariyy, Sufyân bin ‘Uyainah, Wakî’ bin alJarrâh, Yahyâ bin Sa‘îd al-Qattân, ‘Abdullah bin Wahab, ‘Abd al-Rahman bin Mahdî, Muhammad bin al-Hasan al-Asadî, Muammal bin Ismâ‘îl dan lainnya. Beberapa penilaian ulama terhadapnya adalah Wakî’ bin Syu’bah mengatakan Sufyân ahfazu minnî, al-‘Ijlî menilainya ahsanu isnâd, Syu’bah mengatakan bahwa Ia seorang yang wara’ dan ‘alîm.47 Pernyataan Sufyân al-Tsaurî bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd al-A’lâ dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil terhadapnya oleh kritikus hadis, serta tempat tinggal Sufyân alTsaurî dan ‘Abd al-A’lâ sama-sama di Kuffah . 5. ‘Abd al-A’lâ Nama lengkapnya ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir al-Sa’labî al-Kûfî. Ia meriwayatkan hadis dari Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulâmî, Muhammad bin Hanafiyyah, Sa‘îd bin Jubair, Bilâl bin Abî Musâ dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya adalah ‘Alî bin ‘Abd al-A’lâ, Muhammad bin Jahadah, Isrâ‘il bin Yûnus, Abû ‘Awânah, Sufyân al-Tsaurî,
46
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 7, h. 363-364.
47
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 7, h. 353-360.
Abû al-Ahwâs dan lainnya. Beberapa penilaian ulama antara lain, Abû Zur‘ah dan Ahmad bin Hanbal menilainya da’îf al-hadîts, Al-Nasâ’î dan Abû Hatim menilainya laisa bi alqawî,48 namun al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hakîm menilainya sahîh.49 ‘Abd al-A’lâ dinilai oleh ulama kritikus hadis dengan tajrih, tetapi tingkat pen-tajrih-annya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hâkim menilainya sahîh, dalam hal ini memang dikarenakan al-Turmudzî termasuk kritikus hadis hadis yang moderat (tawasut) dalam menilai perawi, sedangkan alHâkim termasuk kritikus hadis yang longgar (tasahul) dalam menilai perawi. Oleh karena itu, penulis lebih condong pada penilaian moderat al-Turmudzî yakni ‘Abd al-A’lâ adalah orang yang hasan. Dan penilaian tajrih kepadanya itu bisa dikarenakan kurangnya ke-dabit-an bukan dari keadilannya. Dan pernyataan bahwa ‘Abd al-A’lâ menerima riwayat dari Sa’îd bin Jubair dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb alKamâl dijelaskan bahwa ‘Abd al-A’lâ meriwayatkan hadis dari Sa’îd bin Jubair serta tempat tinggal mereka sama-sama di Kuffah.
6. Sa‘îd bin Jubair Nama lengkapnya Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm al-Asadî, Abû ‘Abdillah 48
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 11, h. 6-7.
49
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 6, h. 86-87.
al-Kûfî, wafat di Iraq pada tahun 94 H. Ia meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abbâs, Ibn al-Zubair, Ibn ‘Umâr, Ibn Ma’qîl, Abû Mas‘ûd al-Ansârî, Abû Hurairah, ‘Âisyah, Abî Mûsâ al-Asy‘arî, Anas bin Mâlik, Abî Sa‘îd al-Khudrî dan lainnya. Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Sa‘îd ‘Abd al-Malîk bin Sa‘îd, ‘Abd al-A’lâ, Abû Ishâq al-Sabi‘î, Adam bin Sulaimân, Mansûr bin al-Mu’tamir, Talhah bin Masrâf dan lainnya. Tentang kualitasnya, Abû al-Qâsim al-Tabarî menilainya tsiqah, Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya al-Tsiqât bahwa ia seorang yang faqîh serta ‘abîd.50 Pernyataan Sa’îd bin Jubair bahwa ia menerima riwayat dari Ibn ‘Abbâs dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 7. Ibn ‘Abbâs Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin `Abd al-Mutallib al-Hasyimî, anak laki-laki dari paman Nabi Muhammad Saw., ia dikenal dengan habr dan bahr (tinta dan lautan) karena banyaknya ilmu Ibn `Abbâs ini, ia wafat pada tahun 69 H ada juga yang menyatakan tahun 70 H. 51 Beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhamad Saw., juga dari ayahnya, ibunya (Umm Fadl), saudara laki-lakinya (Fadl), bibinya (Maimunah), Abû Bakr, ‘Umâr, ‘Utsmân, ‘Alî, ‘Abd al-Rahmân bin ‘Auf dan lainnya. Dan yang meriwayatkan hadis darinya antara lain: ‘Abdullâh Ibn ‘Umâr bin al-Khattâb, Sa’labah bin al-Hakam, al-Laisi, Sa’îd bin al-Musayyib, ‘Abdullâh bin 50
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 11-13.
51
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 5, h. 242.
al-Haris bin Naufal, Sa’îd bin Jubair dan lainnya.52 Tentang kredibilitasnya tidak dipertanyakan lagi, lebih-lebih Nabi Muhammad Saw. pernah berdo’a khusus untuknya allâhumma faqqihhu fî al-dîn wa ‘a11imhu al-ta’wîl. Oleh karena itu, pernyataan Ibn ‘Abbâs bahwa ia menerima riwayat dari Nabi Saw. dengan ungkapan qâla dan ‘an yang menunjukkan bahwa Ibn ‘Abbâs benar-benar mendapatkan hadis tersebut dari Nabi Saw. dapat diterima. Dengan demikian, antara Nabi dan Ibn ‘Abbâs telah terjadi persambungan periwayatan hadis.
Jalur al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’ 1. Al-Turmudzî (telah dijelaskan di halaman 28-29) Al-Turmudzî menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân bin Wakî’ dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2. Sufyân bin Wakî’ Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Wakî’ bin al-Jarrâh al-Ruwâsî, Abû Muhammad al-Kûfî, ia wafat pada tahun 247 H yaitu pada bulan Rabî’ al-Tsanî. Dia meriwayatkan hadis dari Abû Mu‘awiyyah, Humaid bin ‘Abd al-Rahmân al-Ruwâsî, Ibn Idrîs, Ibn ‘Uyainah, Ibn Wahhâb, Suwaid bin ‘Amr, Jarîr bin ‘Abd al-Humaid, ‘Isâ bin Yûnus dan lainnya. Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah al-Turmudzî, ibn
52
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 5, h. 243-245.
Mâjah, Ibn Makhlad, anaknya ‘Abd al-Rahmân bin Sufyân, Abû Bakar bin ‘Alî al-Marwazî dan lainnya. Penilaian para kritikus hadis terhadapnya seperti AlNasâ’î menilainya laisa bisyai’, Ibn Hibbân menyatakan kâna syaikhan fâdilan sadûqan.53 Pernyataan Sufyân bin Wakî’ bahwa ia menerima riwayat dari Suwaid bin ‘Amr dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, tempat tinggal mereka yang sama-sama di Kuffah serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Suwaid bin ‘Amr Nama lengkapnya Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî, Abû al-Walîd al-Kûfî, ia wafat tahun 203 H. ada pula yang menyebutkan tahun 204 H. Ia meriwayatkan hadis dari Hammâd bin Salamah, Zuhair bin Mu‘awiyyah al-Bimsi, Abû ‘Awânah, al-Hasan bin Sâlih, Dâwud bin Nâsir, Anas bin Huyy dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Abu Bakr bin Abî Syaibah, Sufyân bin Wakî’ dan lainnya. Komentar ulama terhadapnya antara lain al-Nasâ’î, ‘Usmân bin Sa‘îd, dan ibn Ma‘în menilainya tsiqah, al-‘IjIî menilainya tsiqah tsabat fî al-hadîts, kâna rijâlan sâlihan muta‘abbidan, 54. Pernyataan Suwaid bin ‘Amr bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awânah dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 53
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 109-110.
54
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 243-244.
4. Abû ‘Awânah Nama lengkapnya Waddah bin ‘Abdillah al-Yasykûrî budakYazîd bin ‘Ata’, Abû ‘Awânah al-Wasitî al-Bazzarî, dan ia lebih dikenal dengan Abû ‘Awânah, ia wafat tahun 176 H.55 Dia meriwayatkan dari Qatâdah, Abû Basyâr, Al-Hakim bin Utaibah, ‘Amr bin Abî Salamah, Ya’la bin Ata’, ‘Abd al-A’lâ, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair, Ibrahîm bin Muhammad bin al-Muntasyîr, Ibrahîm bin Muhâjir dan lainnya. Dan di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Abû Dâwud al-Tayalisî, Abû al-Walîd al-Tayalisî, Ahmad bin Ishâq al-Hadramî, Qutaibah bin Sa‘îd, Ibn Mubarak, ‘Affân bin Muslim bin ‘Abdullah, Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî, Yahyâ bin Hammâd. Penilaian ulama terhadapnya antara lain: al-‘Ijlî menilainya tsiqah, ibn al-Mubârak menilainya sebagai ahsan al-nâs hâditsan, Ibn Sa`d menilai tsiqah sadûq,56 Ahmad bin Hanbal menilai sahîh al-kitâb, ‘Affan bin Muslim berkata: hadis Abû Awânah lebih sahih daripada Syu’bah.57 Pernyataan Abû ‘Awânah bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd al-A’lâ dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil terhadapnya oleh kritikus hadis dan penjelasan di dalam kitab Tahdzîb al-Tahdzîb bahwa ia meriwayatkan hadis dari ‘Abd al-A’lâ . 5. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32) 6. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)
55 Al-Imâm Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân al-Dzahabî, Siar al-A’lam al-Nubalâ, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1992), Juz 8, h. 221. 56
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 103-106.
57
‘Utsmân al-Dzahabî, Siar al-A’lam al-Nubalâ, Juz 8, h. 219.
7. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)
Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Wakî’ 1. Ahmad bin Hanbal Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibânî al-Marwazî al-Bagdâdî. Beliau lahir pada bulan Rabi‘ul awal tahun 164 H di Bagdad, dan wafat pada bulan Rabi’ul awal juga pada tahun 241 H di Bagdad. Beliau sudah belajar dan mencari hadis sejak beliau berumur 16 tahun di Bagdad, beliau juga merantau ke kota Mekah, Madinah, Syam, Yaman dan Basrah untuk belajar hadis pada ulama yang ada di Negara itu. 58 Di antara guru-gurunya ialah Sufyân bin ‘Uyainah, Yahyâ bin Sa‘îd alQattan, Ibrâhîm bin Sa‘d al-Zuhrî, Abû al-Walîd, Abû Mu‘âwiyah Muhammad bin Khazim al-Tamîmî, Wakî’ bin al-Jarrah, Mu‘ammal bin Isma‘îl, ‘Affân bin Muslim, Yazid bin Harun bin Wadi dan lainnya. Dan murid-muridnya antara lain al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Yahyâ bin Ma‘în, dua orang putranya ‘Abdullah dan Sâlih dan lainnya. Penilaian kritikus hadis terhadapnya antara lain Ibn Ma‘în berkata : saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik pengetahuannya di bidang hadis melebihi Ahmad. Al-Qattân berkata: tidak ada orang yang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad, ia merupakan hiasan umat di bidang pengetahuan Islam khususnya hadis. Al-Nasâ’î menilainya tsiqah ma’mûn. Ibn
58
Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 373-375.
Hibbân menilai hafîz mutqin faqîh. Ibn Sa’ad menilai tsiqah tsabt suduq.59 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian yang diberikan kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi. Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat hadis dari Wakî’ dengan ungkapan haddatsanâ dapat dipercaya kebenarannya, dengan demikian sanad antara ia dan Wakî’ dalam keadaan bersambung. 2. Wakî’ Nama lengkapnya adalah Wakî’ bin al-Jarrah bin Malîh al-Ru‘asî, Abû Sufyân al-Kûfî al-Hafîz, beliau meninggal tahun 196 H. Ia meriwayatkan hadis dari ayahnya, Ismâ‘îl bin Abî Khalîd, ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Hisyâm bin ‘Urwah, al-A’masy, al-Auza‘î, ‘Abd al-Humaid bin Ja’far, Sufyân al-Tsaurî, Hisyâm ibn Sa’d dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain: putra-putranya yaitu Sufyân, Malih, ‘Ubaid, juga guru-gurunya seperti Sufyân al-Tsaurî, lalu Ahmad, ‘Alî, Yahyâ, Ishâq bin Rahuwaih dan lainnya. Beberapa komentar ulama terhadapnya antara lain: Ibn Ma‘în menyatakan mâ ra‘aitu atsbat al-‘Irâq min Wakî’, Ibn Sa’d menyatakan kâna tsiqah ma’mûn, al-‘Ijlî menyatakan huwa kûfî tsiqah, ‘âbid sâlîh. 60 Pernyataan Wakî’ bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân al-Tsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, tempat tinggal mereka yang sama-sama di Kuffah serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.
59
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 72-76.
60
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 109-114.
3. Sufyân (telah dijelaskan di halaman 30-31) 4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32) 5. Sa’îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33) 6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)
Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Mu’ammal 1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38) Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Mu’ammal dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2. Mu’ammal Nama lengkapnya adalah Mu’ammal bin Isma‘îl al-‘Adawi al-Khattâb ada yang menyatakan budak Banî Bakr, Abû ‘Abdillâh al-Basrî, ia tinggal di Mekkah dan wafat pada tahun 206 H, ada yang menyatakan 205 H. 61 Dia meriwayatkan hadis dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Sufyân, Syu’bah, Hammâd, Nafî’ bin ‘Umâr al-Jamhi dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Ahmad, Ishâq bin Rahuwaih, ‘Alî bin al-Madinî, Bundâr, Abû Kuraib dan lainnya. Komentar ulama terhadapnya antara lain; al-Bukhârî menyatakan munkar al-hadîts, al-Sajî menilainya sadûq katsîr al-khatâ’, al-Daruqutnî menilainya tsiqah katsîr al-khatâ’, demikian pula Ibn Sa`d menyatakan tsiqah katsîr al-
61
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 339.
galât.62 Mu’ammal dinilai tsiqah
oleh sebagian
kritikus hadis
walaupun
disandingkan dengan katsîr al-khatâ’, dan bahkan al-Bukhârî menilainya munkar al-hadîts tetapi penilaian tajrih kepadanya ini bisa dikarenakan kurangnya kedabit-an dan bukan dari segi keadilannya. Dan pernyataan Mu’ammal bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân al-Tsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb al-Tahdzîb dijelaskan bahwa Mu’ammal meriwayatkan hadis dari Sufyân alTsaurî serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Sufyân (telah dijelaskan di halaman 30-31) 4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32) 5. Sa’îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33) 6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)
Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Abû al-Walîd 1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38) Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Abû al-Walîd dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2. Abû al-Walîd Nama lengkapnya adalah Hisyâm bin ‘Abd al-Malîk al-Bahilî, Abû al-Walîd
62
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 339-340.
al-Tayâlisi al-Basrî al-Hafîz al-Imâm al-Hujjah. Ia wafat pada tahun 227 H. Dia meriwayatkan hadis dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Jarîr bin Hazîm, Mahdi bin Maimûn, Syu`bah, al-Lais, Abu ‘Awânah dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain al-Bukhârî, Abû Dâwud, Ahmad bin Hanbal dan lainnya. Ulama menilainya unggul seperti Ahmad menyatakan muttaqîn, syaikh al-Islâm, al-‘Ijlî menyatakan tsiqah sabat fî al-hadîts. 63 Pernyataan Abû al-Walîd bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awanah dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Abû ‘Awanah (telah dijelaskan di halaman 36-37) 4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32) 5. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33) 6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)
Jalur Ahmad bin Hanbal melalui ‘Affan 1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38) Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari ‘Affân dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2.
‘Affân
63
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 42-43.
Nama lengkapnya adalah ‘Affân bin Muslim bin ‘Abdillah al-Safar, Abû ‘Utsmân al-Basri budak ‘Uzrah ibn Tsâbit al-Ansarî, ia tinggal di Bagdad dan meninggal tahun 220 H. Dia meriwayatkan hadis dari ‘Abdullâh bin Bakr al-Mizzî, Sakhr Ibn Juwairiyah, Syu`bah, Abû ‘Awânah, al-Aswad Ibn Syaibân dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain; al-Bukhârî, Ahmad, Abû Bakar bin Abî Syaibah dan lainnya. Di antara penilaian ulama terhadapnya antara lain: al-‘Ijlî menilainya tsiqah tsabat sâhib al-sunnah, Abû Hâtim menyatakan tsiqah, imâm muttaqîn, Ibn Hibbân juga mencantumkan namanya dalam kitab al-Tsiqât. 64 Dengan demikian pernyataan ‘Affân bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awanah dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 3. Abû ‘Awanah (telah dijelaskan di halaman 36-37) 4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32) 5. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33) 6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)
o Hadis II 64
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 7, h. 205-209.
Jalur al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’ 1. Al-Turmudzî (telah dijelaskan di halaman 28-29) Al-Turmudzî menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd bin Humaid dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 2.
‘Abd bin Humaid Nama lengkapnya adalah ‘Abd bin Humaid bin Nasr al-Kassî, Abû
Muhammad, ada yang menyatakan namanya adalah ‘Abd al-Majîd atau ‘Abd alHamîd. Ia wafat pada tahun 249 H. Dia meriwayatkan hadis dari, Abû Usâmah, Abî al-Walîd al-Tayâlisî, Habbân bin Hilâl, Ja’far bin ‘Aun Yazîd bin Harûn, Ahmad bin Ishâq al-Hadrami, Yahyâ bin Ishâq, Sa’îd bin ‘Amîr, ‘Abd al-Razzâq, ‘Abd al-Samad bin ‘Abd al-Waris dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Muslim, al-Turmudzî, Muhammad bin ‘Abd Abû Mu‘âz al-‘Abbâs bin Idris dan lainnya. Tentang penilaian ulama, al-Zahabî menilai hâfiz, Ibn Hibbân dalam kitabnya al-Tsiqât menerangkan bahwa ‘Abd bin Humaid ini orang yang produktif dalam menghimpun dan berkarya. 65 Pernyataan ‘Abd bin Humaid bahwa ia menerima riwayat dari Habbân bin Hilâl dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan
65
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 6, h. 402-403.
tahun wafat mereka berdekatan. 3. Habbân bin Hilâl Nama lengkapnya adalah Habbân bin Hilâl al-Bahîli, ada yang menyatakan al-Kindî, Abû Habîb al-Basrî, ia meninggal di Basrah pada tahun 216 H. Dia meriwayatkan hadis dari Hammâd bin Salamah, Suhail bin ‘Abdillâh, Syu’bah, Jarîr bin Hazîm, Muslim bin Zurair, Abu ‘Awânah dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Hammâd bin Sa‘îd al-Ribati, Ahmad bin Sa‘îd al-Darimi, Ishâq bin Mansûr al-Kausaj, ‘Abd bin Humaid. Komentar ulama tentangnya antara lain: Ibn Ma‘în, al-Turmudzî dan Al-Nasâ’î menilainya tsiqah, ibn Sa’d menyatakan tsiqah tsabat hujjah. 66 Pernyataan ‘Habbân bin Hilâl bahwa ia menerima riwayat dari Suhail bin ‘Abdillâh dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 4. Suhail bin ‘Abdillâh Nama lengkapnya Suhail bin Abî Hazm, namanya mihrân, Abû Bakr al-Basri, ada yang menyatakan ‘Abdullâh al-Quta‘î. Ia saudaranya Hazm bin Abî Hazm al-Quta‘î. Menurut Ibn Hibbân, ia wafat sebelum saudaranya Hazm, Hazm wafat pada tahun 175 H.67 Dia meriwayatkan hadis dari Tsabit al-Bunânî, Abû ‘Imrân al-Jaunî, Gâlib al-Qattân, Yûnus bin ‘Ubaid, Malîk bin Dinâr dan lainnya. Dan di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Zaid bin al-Habbâb, Abû Salamah, Abû 66
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 148-149.
67
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 8, h. 190.
Qutaibah, al-Mu’afi bin ‘Imrân, Sâlim bin Nûh, Sufyân bin ‘Uyainah, Ya’qûb bin Ishâq al-Hadrami, Habbân bin Hilâl dan lainnya. Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa Suhail meriwayatkan hadis-hadis munkarah (yang diriwayatkan dari Tsâbit), Ibn Ma‘în menilainya sâlih, Abû Hâtim menyatakan laisa bî al-Qawî, yuktabu hadîtsuhu wa lâ yuhtajju bih, Al-Nasâ’î menilainya laisa bî al-Qawî, al-Bukhârî menilai laisa bî al-Qawî, hum yatakallamûna fîh.68 Suhail dinilai oleh ulama kritikus hadis dengan tajrih, tetapi tingkat pentajrih-annya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain Ibn Ma’în yang juga terkenal berkesangatan dalam mentajrih memberikan penilaian sâlih kepada Suhail. Oleh karena itu, menurut penulis hadis yang diriwayatkan oleh Suhail masih boleh untuk ditulis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah sebagaimana penilaian yang diutarakan oleh Abû Hâtim. Dan pernyataan Suhail bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Imrân al-Jaunî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl dijelaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abû ‘Imrân al-Jaunî serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 5. Abû ‘Imrân al-Jaunî Nama lengkapnya’Abd al-Maîk bin Habib al-Azdî, ada yang menyatakan al-Kindî, Abû ‘Imrân al-Jaunî al-Basrî, ia wafat pada tahun 129 H, ada yang menyatakan 128 H, bahkan Ibn Hibbân dalam kitab al-Tsiqât menyatakan bahwa
68
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 8, h. 189.
ia wafat pada tahun 123 H.69 Ia meriwayatkan hadis dari Jundub bin ‘Abdillâh al-Bajali, Anas bin Mâlik, Abî Bakr bin Abî Mûsâ al-Asy‘arî, ‘Adullâh bin al-Samit, ‘Alqamah bin ‘Abdillâh, Talhah bin ‘Abdillah dan lainnya. Di antara perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Ibn ‘Aun, Syu`bah bin al-Hajjâj, Abu Qudamah a1-Haris bin ‘Ubaid, Hammâd bin Salamah, Hamâm bin Yahyâ, ‘Abdullah bin ‘Auf, Suhail bin Abî Hazm, Ziyâd bin al-Rabî’ dan lainnya. Penilaian ulama terhadapnya seperti Abû Hâtim menilai sâlih, al-Nasâ’î menilai laisa bihi ba’s, Yahyâ bin Mu‘ayyan dan Ibn Sa‘d yang menilainya tsiqah. 70 Pernyataan Abû ‘Imrân al-Jaunî bahwa ia menerima riwayat dari Jundub bin ‘Abdillâh dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan. 6. Jundub bin ‘Abdillâh Nama lengkapnya Jundub bin ‘Abdillâh bin Sufyân al-Bajali al-‘Alaqî, Abû ‘Abdillah, ia adalah salah seorang sahabat Nabi Saw. Terkadang namanya dinasabkan kepada kakeknya, kadang disebut Jundub bin Khalid bin Sufyân. Ia meninggal antara tahun 60 H. sampai dengan 70 H. 71 Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw. dan Hudzaifah bin al-Yamân, sedangkan rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: al-Aswad bin Qais, Anas
69
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 12, h. 34.
70
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 12, h. 33-34.
71
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 101.
bin Sirin, al-Hasan al-Basri, Abû Majlaz, Abû ‘Imrân al-Jaunî, ‘Abdullah bin alHârits al-Najrânî dan lainnya dari ahli Kufah dan Basrah. 72 Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu kembali kepada prinsip keadilan sahabat. Oleh karena itu, pernyataan Jundub bahwa ia menerima riwayat dari Nabi Saw. dengan ungkapan qâla yang menunjukkan bahwa Jundub benar-benar mendapatkan hadis tersebut dari Nabi Saw. dapat diterima. Dengan demikian, antara Nabi dan Jundub telah terjadi persambungan periwayatan hadis.
Jalur Abû Dâwud melalui ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ 1. Abû Dâwud Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘âts bin Ishâq bin Basyîr bin ‘Amr al-Azdî al-Sijistânî. Beliau dilahirkan di kota Sijistan (terletak antara Iraq dan Afganistan) pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di Basrah. Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadis dan ilmu-ilmu yang lain yakni ke Iraq, Khurasan, Syam dan Mesir. 73 Beliau meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Hanbal al-Qa’nabî, Abû ‘Umar al-Dârir, Muslim bin Ibrâhîm, Abû Walîd al-Tayalisî, ‘Abdullâh bin Muhammad, Sulaimân bin ‘Abd al-Rahmân al-Dimisqî dan lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya ialah Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, Abû ‘Alî Muhammad bin Ahmad bin ‘Amr al-Lu’luay, Abû ‘Abd al-Rahmân al-Asynanî, Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, putranya Abû Bakr bin Abû Dâwud dan lainnnya. 72
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 101.
73
Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 380-383.
Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ibn Hibbân yang menilainya faqqîh, ‘Âlim, Warâ’, hâfiz. Maslamah bin Qâsim menilai Abû Dâwud adalah seorang yang tsiqah tsabt, zâhid dan orang yang mengetahui hadis. 74 Dengan demikian pernyataan Abû Dâwud bahwa ia menerima riwayat dari Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya. 2. ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ al-Tarsûsî, Abû Muhammad, yang dikenal dengan al-Dâ‘if. Ia meriwayatkan hadis dari Sufyân bin ‘Uyainah, Yazîd bin Harûn, Abû Mu‘awiyyah, Zaid bin Habbâb, Ya’qûb ibn Ishâq al-Hadrâmi, Ma’n bin ‘Îsâ, Muhammad bin al-Mugîrah dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Abû Dâwud, Al-Nasâ’î, Musâ ibn Harûn, al-Hasan bin Sâdzî al-Tarsûsî, ‘Umar bin Sa‘îd bin Sinân, Abû Bakr bin Abî Dâwud, Ibrâhîm bin Muhammad al-Mu‘addab dan lainnya. Penilaian ulama terhadapnya antara lain Abû Hâtim menilainya sudûq, alNasâ’î menilai syaikh, sâlih dan tsiqah, Maslamah menilainya tsiqah, Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya al-tsiqât sebutan al-dâ‘if disandingkan kepadanya karena banyaknya beribadah dan berzikir, Abû Muhammad menyatakan beliau da‘îf badannya bukan pada hadisnya.75 Dengan demikian pernyataan Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ bahwa ia menerima riwayat dari Ya’qûb bin Ishâq dengan ungkapan haddatsanâ dapat 74
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 11, h. 355.
75
Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 10, h. 519-520.
diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya dan penjelasan di dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl bahwa ia meriwayatkan hadis dari Ya’qûb bin Ishâq. 3. Ya’qûb bin Ishâq Nama lengkapnya adalah Ya’qûb bin Ishâq bin Zaid bin ‘Abdillah bin Abî Ishâq al-Hadramî, Abû Muhammad al-Basrî. Ia wafat pada tahun 205 H. Ia meriwayatkan hadis dari kakeknya Zaid bin ‘Abdillah, al-Aswâb bin Syaibân, Suhail bin Mihrân al-Quta‘î, Sawâdah ibn Abî al-Aswad, Sulaimân bin Mu‘âz al-Dabî, Salîm bin Hayyân dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain ‘Amr bin ‘Alî al-Fallâsî, Abû al-Rabî’ al-Zahrânî, ‘Abdullâh ibn Muhammad bin Yahyâ al-Tarsûsî, ‘Uqbah bin Mukrim al-Umayy dan lainnya. Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ahmad dan Abû Hatîm menilainya sadûq, Ibn Hibbân menyebutkan namanya dalam kitab al-tsiqât, Ibn Sa‘d menyatakan laisa huwa ‘indahum bidzâka al-tsabt.76 Dengan demikian pernyataan Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ bahwa ia menerima riwayat dari Ya’qûb bin Ishâq dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya serta masa hidup dan tahun wafat mereka yang berdekatan. 4. Suhail bin ‘Abdillâh (sudah dijelaskan di halaman 44-45) 5. Abû ‘Imrân al-Jaunî (sudah dijelaskan di halaman 45-46) 6. Jundub bin ‘Abdillâh (sudah dijelaskan di halaman 46-47)
76
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 335.
C. Kesimpulan (Natijah) Berdasarkan penelitian terhadap sanad-sanad hadis di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil peneliti antara lain: 1. Semua hadis di atas bersandar kepada Rasulullah Saw., artinya semuanya berkategori marfû’, lebih spesifiknya marfû’ qaulî haqîqî . 2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw., artinya termasuk kategori hadis qaulî. 3. Ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis di atas, hadis model pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn ‘Abbas bahkan hingga tâbi’ altabi‘în diriwayatkan oleh satu perawi saja, oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis garîb, demikian pula dengan hadis model kedua yang juga garîb mulai dari Sahabat Jundub bin ‘Abdillâh hingga tâbi’ al-tabi‘în. 4. Pada hadis model pertama semua jalurnya melalui ‘Abd al-A’lâ yang menurut sebagian ulama seperti Abû Zur‘âh menilainya da‘îf al-hadîts, Abû Hâtim dan al-Nasâ’î menilainya laisa bi al-qawî, namun menurut sebagian, seperti alTurmudzî tidak sampai tingkatan da’îf melainkan hasan, bahkan al-Hakîm menilainya sahîh, hal ini disebabkan al- Hakîm dinilai oleh ulama dari kalangan mutasahil. Tingkat pen-tajrih-annya terhadapnya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Oleh karena itu, penulis lebih condong pada penilaian moderat al-Turmudzî yakni ‘Abd al-A’lâ adalah orang yang hasan. Hanya saja pada jalur riwayat Ahmad melalui Mu’ammal saja yang secara
jelas jalurnya lemah sebab Mu’ammal dinilai sebagian ulama seperti al-Daruqutnî
dan Ibn Sa‘d yang menilainya tsiqah namun sering khata’
ataupun galat (salah) dan al-Bukhârî yang menilai munkar al-hadîts, sehingga dalam sanad ini terdapat perawi yang lemah. Akan tetapi jalur ini memiliki tabî` dari jalur Ahmad melalui wakî’, Abû al-Walîd dan ‘Affân maka kembali kepada status keseluruhan sanad hadis ini berkualitas hasan. 5. Adapun hadis model kedua, semua perawinya tidak bermasalah kecuali satu yaitu Suhail bin ‘Abdillâh, yang seluruh jalur sanad baik dari al-Turmudzî maupun Abû Dâwud melewati Suhail ini. Suhail dinilai laisa bî al-qawî, dan ulama yang menilainya seperti itu adalah ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain Ibn Ma’în yang juga terkenal berkesangatan dalam men-tajrih memberikan penilaian sâlih kepada Suhail. Oleh karena itu, menurut penulis hadis yang diriwayatkan oleh Suhail masih boleh untuk ditulis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah sebagaimana penilaian yang diutarakan oleh Abû Hâtim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keseluruhan sanad hadis ini berkualitas hasan 6. Tentang tinjauan matan hadis, tampaknya antara satu jalur sanad dengan jalur sanad lainnya tidak terlalu banyak perbedaan, hanya teknis istilah saja seperti pada kata al-ra’y dan bi gair ‘ilm, dan akan dibahas dalam bab berikutnya.
BAB IV PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA'Y
A. Tafsir Bi al-Ra’y Salah satu penjelasan syârih al-hadîts yang dikutip al-Mubârakfûrî menyebutkan secara kongkrit bentuk penafsiran yang menggunakan ra’y, di antaranya penafsiran ‘Abd al-Rahmân al-Asam, al-Jubbâ‘î, ‘Abd al-Jabbâr, al-Hanî, al-Zamakhsyarî dan mereka yang sealiran dengan mereka. Tampaknya penilaian ini lebih karena mereka dari kalangan mu’tazilî yang dikenal sebagai kelompok rasionalis yang berseberangan dengan ahl al-sunnah, sebagaimana diterangkan al-Imam Ibn al-‘Arafah al-Malikî.77 Melalui contoh ini kemudian sebagian menunjuk kepada karya tafsir seperti al-Kasysyâf dan beberapa kitab tafsir lain yang dikelompokkan oleh ulama berikutnya sebagai kelompok tafsir bi al-ra’y. Terlepas dari pembenaran atau koreksi ulang terhadap pengkategorian tersebut, penulis tertarik mengupas kembali istilah yang digunakan ulama tentang tafsir bi al-ra’y sebagai salah satu tipologi tafsir, di samping tafsir bi al-riwâyah ataupun bi al-isyâri. Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan alra’y. Kata al-ra’y memiliki beberapa pengertian, di antaranya al-i’tiqâd (paham, aliran), al-ijtihâd, al-qiyâs (analogi) sebagaimana sebutan ahl al-ra’y sering
77
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.
digunakan untuk menyebut kalangan ashâb al-qiyâs (para pengguna analogi). 78 Dalam penggunaanya, kata al-ra’y sering digunakan kalangan ulama tafsir untuk menyebut penafsiran dengan ijtihad. Sudah barang tentu mufassir yang masih menerima term al-ra’y ini sebagai ijtihad memberikan batasan tafsir bi alra’y yang dimaksudkan adalah penafsiran yang dilakukan setelah mufassir memahami ungkapan orang Arab dengan seluk beluknya, sekaligus mengetahui bentuk lafaz sekaligus cakupan maknanya serta dibantu syair Arab yang akrab digunakan, memahami latar belakang turunnya, memahami nasâkh mansûkh dari ayat-ayat al-Qur’an dan sebagainya yang dibutuhkan oleh mufassir. 79 Imam ‘Alî al-Sâbûnî berpendapat bahwasanya tafsir bi al-ra’y adalah ijtihad yang berdasarkan dasar-dasar dan juga kaidah-kaidah yang benar, bukan berdasarkan hawa nafsu, bukan berdasarkan sesuatu yang mengkhawatirkan bagi manusia dan bukan berdasarkan keinginannya sendiri.80 Sebagain ulama memaknai tafsîr bi al-ra’y sebagai bentuk penafsiran yang dibangun melalui pemahaman lafaz sekaligus mengambil hukum darinya yang mana lafaz itu sendiri menuntut adanya pengerahan kemampuan (ijtihad) atau pengerahan al-ra’y yang dibangun atau prinsip-prinsip yang benar dan lurus.81 Terlepas dari definisi di atas, tampaknya para ulama pro kontra terhadap 78
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadisah, tt), jilid 1, h. 255. 79
Hasan Yûnus ‘Ubaid, Dirâsat wa Mabâhits fî Tarîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (Mesir: Markâz al-Kitâb Ii al-Nasyr, tt), h. 100. 80 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1984), h. 155. 81 Kamîl Mûsâ dan ‘Alî Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ, (Beirut: Dâr al-Mahrusah, 1992), h. 211.
penafsiran bi al-ra’y ini, di antara mereka ada yang secara keras tidak memperkenankan, sebagian lain membolehkannya. Mereka yang menolak tafsir bi al-ra’y mengemukakan argumen di antaranya: 1. Mengungkapkan atau mengomentari ayat-ayat Allah tanpa ilmu atau hanya didasarkan pada zann (dugaan) semata condong menghasilkan sesuatu yang tercela, karenanya hal itu terlarang.82 Dengan dalil surat al-A’râf ayat 33 : Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." yang intinya haram mengada-adakan sesuatu terhadap Allah dengan apa yang tidak diketahui. Ayat yang lain adalah Surat al-Isrâ’ ayat 36 tentang larangan mengikuti atau menetapkan sesuatu yang tidak didasari pengetahuan. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. 2. Allah berfirman dalam Surat al-Nahl ayat 44 yang intinya Nabi diberikan otoritas menjelaskan isi al-Qur’an, karenanya yang lain tidak, memiliki otoritas. 82
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 256.
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
3. Hadis-hadis yang diteliti dalam penelitian ini adalah hadis-hadis yang dijadikan dasar larangan tegas menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y.
ﻠﹶﻲ ﻋ ﻛﹶﺬﹶﺏﻦ ﻓﹶﻤﻢﺘﻤﻠﺎ ﻋﻲ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﻨﻳﺚﹶ ﻋﺪﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺤ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺗﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨﻋ ﺎﺭﹺ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘ ﻓﹶﻠﹾﻴﺃﹾﻳﹺﻪ ﺑﹺﺮﺁﻥﻲ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻦﻣﺎﺭﹺ ﻭ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﹾﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﺍ ﻓﹶﻠﹾﻴﺪﻤﻌﺘﻣ Dari Nabi Saw., beliau bersabda: “takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. Sementara mereka yang membolehkan tafsir bi al-ra’y menggunakan argumen sekaligus menanggapi argumen yang melarang hal itu sebagai berikut: Tentang tanggapan poin pertama, yang memperkenankan penggunaan ra’y sebagai alat untuk menafsirkan dengan alasan: a. Allah tiada membebani manusia di atas batas kemampuannya sebagaimana tertuang dalam Surat al-Baqarah ayat 286: Allah tidak membebani kesanggupannya.
seseorang
melainkan
sesuai
dengan
b. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan umatnya untuk menggunakan seluruh kemampuan akalnya dalam memecahkan persoalan yaitu dengan
berijtihad disertai stimulan atau dorongan kepada upaya ini yaitu mereka yang berijtihad dan benar hasilnya maka ia memperoleh dua pahala, sementara mereka yang telah berusaha sungguh-sungguh (berijtihad) tetapi hasilnya salah tetap akan diberikan satu pahala. c. Nabi Saw. bangga dan berbahagia atas diri Mu‘âz yang memahami prosedur dalam memutuskan suatu perkara, ketika ia diutus ke Yaman, yaitu dengan al-Qur’an, bila tidak ditemukan maka dengan al-Sunnah dan bila tidak dijumpai, maka berijtihad. 83
Menanggapi point kedua, ulama yang memperkenankan penggunaan ra’y dalam penafsiran menjawab bahwa ayat tentang fungsi bayân Nabi Saw. adalah selama Nabi Saw. hidup dan persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an pada masanya dapat terselesaikan, namun perlu diingat bahwa tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi, disamping itu persoalan terus berkembang, sementara Nabi Saw. telah wafat, karenanya persoalan yang tidak ada penjelasan dari Nabi Saw. diserahkan kepada para ulama. 84 Tentang point ketiga ditanggapi sebagai bentuk larangan menafsirkan alQur’an yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi Saw. ataupun atsâr sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun. Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al-ra’y dalam hadis tersebut adalah upaya menafsirkan ayat-ayat yang musykil dipahami dengan akalnya 83
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 261.
84
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 261.
semata, al-ra’y dipahami pula sebagai al-hawâ (hawa nafsu) tanpa dalil atau bukti-bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia sadar bahwa kebanaran ada pada pihak lain. Al-ra’y tersebut juga dimaksudkan adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bi gair ‘ilm, dan terakhir pemaknaan al-ra’y dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara melihat dan memahami al-Qur’an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat yang terkait dengannya. 85 Imam al-Gazâlî mengatakan di dalamnya kitabnya Ihyâ ‘Ulum al-Dîn: “Sesungguhnya terdapat ruangan yang sangat luas dalam memahami makna-makana al-Qur’an. Dan sesungguhnya menukil dari tafsiran yang Nampak saja bukan batas akhir untuk memahami. Maka mendengar (menukil) di dalam menafsirkan adalah tidak benar. Dan diperbolehkan bagi setiap orang untuk ber-istinbât (menarik kesimpulan) dari al-Qur’an sebatas pemahamannya saja.”86 Untuk mengukuhkan argumen bolehnya menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, mereka mengemukakan dalil al-Qur’an Surat Muhammad ayat 24 yang memuat tentang pertanyaan retoris: “apakah mereka tiada memperhatikan al-Qur’an atau hati mereka telah terkunci?”, karenanya menurut mereka ijtihad adalah bagian yang harus ada, menghilangkan fungsi al-ra’y dalam memahami al-Qur’an berarti meniadakan ijtihad. Muhammad bin’Abdullah al-Zarkâsyî di dalam kitabnya al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân mengatakan bahwa :
85
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 258.
86 Muhammad bin Muhammad al-Gazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, tt.), Juz 1, h. 343.
“Al-Qur’an itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, jika tidak diperbolehkan menafsirkannya maka tidak dapat dijadikan petunjuk. Jika demikian maka diperbolehkan bagi seseorang untuk mengetahui bahasa Arab dan keadaan diturunkannya al-Qur’an untuk menafsirkannya. Dan bagi orang yang tidak mengetahui beberapa sudut pandang menafsirkan, maka hendaknya ia menafsirkan sebatas apa yang ia dengar (menukil).”87 Mereka juga berargumen bahwa Nabi Saw. pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan: allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘a11imhu al-ta’wî1a (Ya Allah limpahkanlah pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan), sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr (nash hadis Nabi Saw.), maka apalah gunanya do’a tersebut.88 Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi alra’y berikut argumen masing-masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y Hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yang telah dipaparkan sebelumnya, bila dipilah-pilah berdasarkan penggalan kata yang syarat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut : Pertama, َ ﻣَﻦْ ﻗَﺎلdalam riwayat lain َ ;ﻣَﻦْ ﻛَﺬَبKedua, ِ ﻓِﻲ اﻟْﻘُﺮْآنatau ِﻋَﻠَﻰ اﻟْﻘُﺮْآن,
87
Muhammad bin’Abdullah al-Zarkâsyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr alFikr, 1988), Juz 2, h. 180. 88
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.
dalam riwayat lain ِ ; ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎبِ اﻟﻠﱠﮫKetiga, ِﺑِﺮَأْﯾِﮫ, dalam riwayat lain ٍ ;ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢKeempat, ﻓَﺄَﺻَﺎبَ ﻓَﻘَﺪ أَﺧْﻄَﺄ, dan Kelima, ﻓَﻠْﯿَﺘَﺒَﻮﱠأْ ﻣَﻘْﻌَﺪَهُ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎر. Adapun penjelasan secara rinci penggalan-penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut: Pertama, hadis di atas diawali statement Nabi Saw. َ( ﻣَﻦْ ﻗَﺎلsiapa yang menyatakan), mengandung pengertian siapa saja yakni umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya dan siapa saja tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan, untuk tidak menyatakan baik secara lisan maupun tertulis, dalam syarah ‘Aun al-Ma’bûd mencakup pula makna "memperbincangkan" (takallama)89 sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata َﻛَﺬَب (berbohong) atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran (qaulan yu’lamu anna al-haqqa gairuhu), demikian pernyataan al-Qarî maupun al-Manâwî sebagaimana dikutip al-Sa‘âtî.90 Al-Manâwî juga memberikan pengertian lain dalam kitab al-Musykîl yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti.91 Kedua, sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an ( )ﻓِﻲ اﻟْﻘُﺮْآنatau dalam riwayat lain ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎبِ اﻟﻠﱠﮫ sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur’an itu sendiri. Sudah barang tentu 89
Abû al-Tayyib Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415), juz 10, h. 61. 90 Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna al-Sa‘âtî, al-Fath al-Rabbânî, (Beirut: Dâr Ihyâ’ alTuras al-‘Arabi, tt), Juz 18, h. 62. 91 Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt), juz 8, h. 223.
yang diperbincangkan bukan al-Qur’an-nya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya.92 Maksud hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih-lebih berbohong mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya dari apa-apa yang ada di dalam alQur’an baik lafaz (wilayah qira’at) maupun maknanya (wilayah takwil dan tafsir). Ketiga, keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al-Qur’an (lafaz maupun makna) tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra’y atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata ٍ( ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢtanpa pengetahuan). Al-ra’y mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nash, sebagaimana kalangan Muhadditsîn menyebut para ulama yang menggunakan qiyâs sebagai ahl al-ra’y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal-hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen di dalamnya dengan hadis atau atsâr.93 Lebih jauh para syârih al-hadîts memahami kata ﺑِﺮَأْﯾِﮫsebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah-kaedah syar‘iyyah.94 Artinya mengungkapkan makna al-Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj ‘al-syar‘iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra’yih. Lebih-lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term ٍ ِﺑِﻐَﯿْﺮﻋِﻠْﻢyang dimaknai oleh para syârih sebagai 92
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225.
93
Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî Abû al-Fadl, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990), juz 14, h. 300. 94
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.
ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqinî maupun dalil zannî baik naql (nash al-Qur’an maupun hadis) maupun ‘aql (logika-logika, mantiq, qiyâs dan sejenisnya) yang masih selaras dengan syariat.95 Sehingga hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair ‘ilm selama menggunakan kaedah-kaedah atau selaras dengan prinsip-prinsip syar‘î. Lebih-lebih Nabi Saw. sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash alQur’an maupun hadis bahkan Nabi Saw. sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyâs untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya. Keempat, hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan ﻓَﺄَﺻَﺎبَ ﻓَﻘَﺪأَﺧْﻄَﺄ (sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah-kaedah atau tidak selaras dengan prinsip-prinsip syar‘î, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangkan salahnya karena faktor prosedurnya. Sebagaimana ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalamullâh satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu, saraf, balagah, dan lainnya akan membawa konsekuensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis (sabâb al-nuzul), nasâkh mansûkh dan lain sebagainya. 96 Al-Turbutsî yang dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa yang
95
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 223.
96
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225.
dimaksudkan dengan bi al-ra’y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu ilmu asbâb al-nuzul, al-nasîkh wa al-mansûkh, ‘am dan khâs, mujmal dan sebagainya, akan tetapi pernyataan yang muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahid dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar.97 Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur (manhaj). Abû al-Tayyib Âbâdî menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al-ra’y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok-pokok serta cabang-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.98 Kelima, sebagai konsekuensi mereka yang mengungkapkan isi al-Qur’an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu-ilmu yang terkait, lebih lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu ﻓَﻠْﯿَﺘَﺒَﻮﱠأْ ﻣَﻘْﻌَﺪَهُ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎر (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama menerjemahkan kata اﻟﻨﱠﺎرdengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman-ancaman agama. Bentuk perintah di dalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi alQur’an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal-nya semata akan 97
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 226.
98
Abû al-Tayyib Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, juz 10, h. 61.
ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al-‘Asqalânî sebagaimana yang dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid‘ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur’an untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nashnya. 99 Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafaznya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur’an dengan akal semata lebih-lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al-Qur’an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islam atau siapa saja yang akan mendalami al-Qur’an memiliki bekal ilmu khususnya terhadap sunnah Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau (sebagai mubayyin al-Qur’an) guna memahami al-Qur’an secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akalnya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi Saw., karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi Saw. tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis yang sedang diteliti ini yaitu: ( اﺗﱠﻘُﻮاْ اﻟْﺤَﺪِﯾﺚَ ﻋَﻨﱢﻲ إِﻟﱠﺎ ﻣَﺎ ﻋَﻠِﻤْﺘُﻢtakutlah kalian/hati-hatilah terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu
99
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.
menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar-benar hal itu telah diajarkan Nabi Saw. (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih-lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi Saw., atau bersumber dari Nabi Saw. Dan apabila diterapkan berbagai tolak ukur penelitian matan, maka kandungan matan-matan hadis yang tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbûl (dapat diterima) dengan alasan: 1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hadis-hadis
larangan
menafsirkan
al-Qur’an
dengan
ra’y
tidak
bertentangan dengan al-Qur’an seperti pada ayat-ayat berikut: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Sâd : 29) Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad : 24) Namun ada juga ayat al-Qur’an yang lain yang mempunyai makna secara eksplisit bertentangan dengan hadis tersebut, namun secara insplisit tidak bertentangan dan dapat di-jam’u (dikompromikan), yaitu: Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. AlBaqarah : 169)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isrâ’ : 36) Ayat-ayat tersebut memerintahkan agar tidak berbicara tentang sesuatu yang belum kita ketahui hanya didasarkan pada akalnya semata atau dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah-kaedah syar‘iyyah.100 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Nabi Saw. pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan: allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘a11imhu al-ta’wî1a (Ya Allah limpahkanlah pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan), sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr (nash hadis Nabi Saw.), maka apalah gunanya do’a tersebut.101 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan juga sejarah. Larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y pada hadis tersebut adalah ra’y yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi Saw. ataupun atsâr sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun. Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al-ra’y dalam hadis tersebut adalah upaya menafsirkan ayat-ayat yang musykil dipahami dengan akalnya semata, al-ra’y dipahami pula sebagai al-hawâ (hawa nafsu) tanpa dalil atau 100
Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.
101
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.
bukti-bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia sadar bahwa kebanaran ada pada pihak lain. Al-ra’y tersebut juga dimaksudkan adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bi gair ‘ilm, dan terakhir pemaknaan al-ra’y dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara melihat dan memahami al-Qur’an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat yang terkait dengannya. 102 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan akal, indera dan juga sejarah. 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Pada matan-matan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y memiliki susunan pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri sabda nabi seperti tarhîb (hal yang memberikan ancaman) dengan maksud mendorong umatnya untuk menjauhi apa yang dilarang oleh agama yang pada matan tersebut dijelaskan dengan ancaman neraka bagi orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan hanya mengunakan ra’y semata tanpa menggunakan ilmu yang mendukung untuk menafsirkan.
C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y Untuk mendapatkan titik temu antara hadis yang melarang menafsirkan dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y maka diperlukan upaya kompromi sehingga ulama menilai kembali kepada tafsir yang ada apakah masuk dalam kategori bi al-
102
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 258.
ra’y yang diancam Nabi Saw. tersebut, ataukah masuk kategori bi al-ra’y yang komprehensif, al-ra’y yang dianjurkan Nabi Saw. untuk ditumbuh kembangkan yaitu sesuai semangat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk senantiasa mendayagunakan akal pikirannya. Tampaknya pemahaman seperti ini juga telah dilakukan beberapa ulama bahwa perbedaan yang muncul di kalangan ulama pro pelarangan tafsir bi al-ra’y dan yang membolehkannya, sebenarnya bukan pada tataran makna al-ra’y secara kontekstual, melainkan pada tataran tekstual saja. 103 Secara garis besar pemaknaan al-ra’y dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu: 1. Sekiranya al-ra’y itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an, maka penggunaan al-ra’y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan. 2. Sebaliknya, bila al-ra’y tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuanketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil-dalil
syar‘î
atau
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang
dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan alra’y yang demikian ini terlarang. Point yang kedua di atas inilah yang menurut penulis sebagai pemahaman makna al-ra’y dalam konteks hadis, mengingat hadis tersebut menekankan makna 103
Kamîl Mûsâ dan ‘Alî Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ, h. 215.
al-ra’y sebagai nalar akal ansich (tanpa didasari pengetahuan / bi gair ‘ilm). Kata bi ra’yih dalam hadis tersebut sudah sangat jelas mengacu kepada kemampuan akal belaka sehingga apabila dikaitkan dengan tafsir bi al-ra’y sangatlah berbeda, karena tafsir bi al-ra’y walaupun didominasi oleh akal namun tetap juga kembali kepada dasar syar‘î dan kaedah-kaedah yang berlaku selama penafsiran. Lebih-lebih bila kita pahami hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y tersebut dalam bingkai keutuhan dakwah Nabi Muhammad Saw., yang di dalamnya juga menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akalnya, juga tidak menyalahkan bahkan bangga kepada mereka yang senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah kemudian mencari solusi dengan ijtihad bila secara eksplisit tidak dijumpai di dalam kedua sumber ajaran tersebut. Namun demikian, sebagian juga dapat membantah pernyataan tersebut, sebab persoalan yang dihadapi adalah ketika di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ada, sementara yang diperdebatkan di dalam bahasan ini adalah memaknai sesuatu yang telah ada yaitu ayat al-Qur’an. Maka dalam rangka menjawab hal ini yang lebih tepat adalah keberadaan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak keseluruhannya mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw. Masyarakat Arab pada saat itu (para sahabatnya) tidak membutuhkan penjelasan karena ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, sehingga hanya ayat-ayat tertentu yang dianggap musykil oleh mereka sajalah yang dimintakan penjelasannya dari Nabi Saw. Dengan berjalannya waktu, juga perluasan wilayah Islam, sudah barang
tentu telah terjadi pergeseran-pergeseran, mulai dari kebahasaan orang Arab sendiri, lebih-lebih masyarakat yang bukan Arab, padahal Nabi Saw. sendiri, sebagai pemilik otoritas penjelas telah tiada, maka sekiranya Nabi Saw. masih hidup pastilah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an semakin banyak dan bisa mencapai seluruhnya, namun tidak demikian adanya. Nabi secara umum telah menunjukkan metode yang tepat di dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu dengan melalui tafsir alQur’an itu sendiri, kemudian selainnya dapat dipahami dari kandungan bahasa yang dimiliki al-Qur’an yang (setidaknya menurut ukuran bahasa para Sahabatnya pada saat itu), oleh karenanya menjadi penting untuk memahami maksud alQur’an dengan melihat cakupan bahasa berikut moment yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut. Atas dasar ini pulalah sahabat seperti ibn ‘Abbâs melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak semuanya bersumber dari Nabi Saw. melainkan curahan pemikirannya yang diakui kemampuannya sekaligus beliau dikenal mendapat do’a khusus dari Nabi Saw. agar ia mampu memahami agama dan menguasai pengetahuan tentang pentakwilan suatu ayat. Ia menafsirkan melalui telaah bahasa yang telah dikenal pada masa turunnya ayat yang kemudian dikukuhkan dengan syair-syair yang tumbuh pada saat itu, demikan pula yang terkait dengan cerita-cerita masa lalu dalam al-Qur’an, Ibn ‘Abbâs juga menyandarkan kepada cerita Isrâilliyat yang dapat dipertanggungjawabkan dan sebagainya. 104 Ibn ‘Abbâs menggunakan ra’y-nya, bukan semata-mata muncul dari nalar
104
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.
apalagi nafsunya, melainkan muncul dari pengetahuan dan dukungan dalil atau bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Sekiranya apa yang dia lakukan ini sebagaimana yang dimaksudkan Nabi Saw. dalam hal larangan menafsirkan alQur’an dengan ra’y, maka dapat dipastikan ibn ‘Abbâs tidak akan melakukan hal itu, demikian pula dengan sahabat lainnya seperti Ibn Mas‘ûd, ‘Âisyah dan lainnya. Bagi kelompok yang menolak tafsir bi al-ra’y, mereka selalu mengkategorikan sebagai tafsir Mu’tazilah yakni di luar Sunni, hal ini merupakan anggapan ideologi semata. Karya-karya tafsir bi al-ra’y di antaranya penafsiran ‘Abd al-Rahmân al-Asam, ‘al-Jubbâ‘î, ‘Abd al-Jabbar, al-Hanî, al-Zamakhsyarî dan tafsir-tafsir yang sealiran dengan mereka. Maka dari sini Husain al-Dzahabî dan juga al-Sâbûnî mengkompromikan antara pendapat yang menolak dan yang memperbolehkan tafsir bi al-Ra’y dengan menjadikan dua golongan yaitu tafsir bi al-Ra’y Mahmûd dengan bi alRa’y Mazmûm. Tafsir bi al-Ra’y Mahmûd ialah penafsiran al-Qur’an dengan pendapat (akal) yang berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu lainnya yang mendukung ilmu tafsir dan sesuai dengan syariat.105 Sedangkan tafsir bi alRa’y Mazmûm sebagaimana penjelasan Mannâ’ Khalîl al-Qattân yakni menafsirkan al-Qur’an hanya dengan sebatas pemahamannya saja dan hanya menggunakan ra’y (ijtihad) secara mutlak tanpa adanya pemahaman yang sesuai dengan syariat. 106
105
Al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 157.
106 Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1990), h. 351.
Berdasarkan pemaparan di atas maka menjadi sesuatu hal yang sangat berbeda antara hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y karena tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang dalam penafsirannya mengedepankan akal namun tetap dalam bingkai kaidah syara’. Sesungguhnya semua tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y baik yang Mu’tazilah, Syiah maupun Sunni tidak ada satupun di antaranya yang tidak menggunakan akal (ra’yu) artinya tafsir bi al-ra’y yang lebih diidentikkan dengan tafsir Mu’tazilah oleh golongan Sunni ini sebenarnya masih tetap dalam koridor penafsiran yang memperhatikan ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, kaidah-kaidah bahasa arab serta memperhatikan pendapat ulama sebelumnya. Alhasil tafsir bi al-ra’y memang dalam menafsirkannya didominasi oleh akal namun tetap dalam kaidah syara’, jadi jika dihubungkan dengan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y sangatlah berbeda, karena maksud menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y pada hadis tersebut hanya dengan pendapatnya semata. Sebagai penutup bab ini penulis ingin mengemukakan contoh dari tafsir bi al-ra’y yang dilarang dalam hadis tersebut, yakni yang dikemukakan oleh Syarîf al-Murtadâ dari kalangan Mu’tazilah dalam kitabnya Amalî al-Murtadâ. Pada firman Allah Swt. Dalam Surat al-Qiyâmah ayat 22-23 yang berbunyi: Dapat dipahami bahwa kaum mukmin dapat dan akan melihat Tuhan mereka kelak di hari Kiamat. Hal itu sejalan dengan penunjukkan tegas dan hakiki dari kata ﻧﺎﻇﺮةdalam ayat tersebut dan didukung oleh riwayat-riwayat yang sahih.
Akan tetapi Syarîf al-Murtadâ mengatakan bahwa ﻧﺎﻇﺮةdalam ayat itu tidaklah dimaksud melihat dengan mata kepala, tetapi ia membawa kepada salah satu dari beberapa kemungkinan arti lain yaitu ( اﻻٍﻧﺘﻈﺎرmenunggu) atau ( اﻟﻌﻄﻒ واﻟﺮﺣﻤﺔkasih sayang) atau ( اﻟﺘﺄﻣﻞ واﻟﺘﻔﻜﺮberfikir dan merenungkan) atau ( اﻟﺘﻮﻗﻊ واﻟﺮﺟﺎءmenunggu) atau kemungkinan arti lainnya. Di antara mereka bahkan ada yang mengatakan bahwa kata اٍﻟﻰdalam ayat tersebut bukanlah huruf, tapi merupakan kata benda yang berarti nikmat. Sehingga ayat tersebut diartikan “menunggu nikmat Tuhan mereka”. Pengertian tersebut menunjukkan suatu takwil yang sangat jauh dan menyimpang serta bertolak dari segi uslûb al-bayân dan kaedah bahasa.107 Dengan maksud membela kepentingan aliran mereka, tokoh dari aliran ini telah berani menundukkan sebagian dari lafaz dan ayat al-Qur’an dalam karyanya sesuai dengan kehendak bebas nalarnya. Sehingga ulama menilai ini sebagai tindakan yang berlebihan dalam menafsirkan al-Qur’an dan jauh dari kebenaran. 108 Demikianlah satu contoh tafsir terhadap ayat yang semata-mata hanya berlandaskan rasio, tanpa didukung oleh dalil atau bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta telah secara sengaja menakwilkan alQur’an sesuai nalar bebas mereka.
107
Kusmana dan Syamsuri, ed., Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004), h. 191. 108
Kusmana dan Syamsuri, ed., Pengantar Kajian Al-Qur’an, h. 190.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas keseluruhan hadis tidak sampai derajat sahih, melainkan hasan saja, karena terdapat perawi yang tingkat ke-dabit-annya lemah seperti ‘Abd al-A’lâ dan Mu’ammal pada jalur sanad hadis model pertama. Dan Suhail bin ‘Abdillâh pada jalur sanad model kedua. Apabila ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw., artinya termasuk kategori hadis qaulî. Semua hadis tersebut bersandar kepada Rasulullah Saw., artinya semuanya berkategori marfû’, lebih spesifiknya marfû’ qaulî haqîqî Dan apabila ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis tersebut, hadis model pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn ‘Abbâs bahkan hingga tâbi’ al-tabi‘în diriwayatkan oleh satu perawi saja, oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis garîb, demikian pula dengan hadis model kedua yang juga garîb mulai dari Sahabat Jundub bin ‘Abdillâh hingga tâbi’ altabi‘în. Tentang kandungan hadis tersebut terdapat perbedaan beberapa ulama yakni yang melarang menafsirkan dengan ra’y dan yang membolehkannya, dan apabila diteliti kembali sebenarnya perbedaan pendapat tersebut bukan pada tataran makna al-ra’y secara kontekstual, melainkan pada tataran tekstual saja.
Sehingga secara garis besar pemaknaan al-ra’y dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu: 3. Sekiranya al-ra’y itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an, maka penggunaan al-ra’y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan. 4. Sebaliknya, bila al-ra’y tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuanketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil-dalil
syar‘î
atau
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang
dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan alra’y yang demikian ini terlarang. Sehingga tafsir bi al-ra’y yang masih memenuhi persyaratan penafsiran yaitu yang menelaah dari segi kebahasaan, rnemperhatikan riwayat yang terkait dengan situasi dan kondisi saat ayat tersebut turun, memahami nasîkh mansûkh dan lainnya juga selaras dengan prinsip syar‘î, maka diperkenankan.
B. Saran-saran Setelah penulis melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama kitab-kitab tafsir yang ada, apakah masih dalam koridor tafsir bi al-ra’y yang tidak masuk pada kategori diancam Nabi Saw. atau justru tafsir tersebut benar-benar hanya menggunakan nalar atau hawa nafsunya semata.
Penulis juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw. Selebihnya, penulis berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya khususnya bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi pembaca skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Âbâdî, Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Abû al-Tayyib. ‘Aun al-Ma’bûd. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415. Abror, Indal. Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi. Yogyakarta: Juli, 2000. Abû ‘Abdillâh al-Syaibanî, Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Mesir: Mu‘assasah Qartah, tt. Abû al-Fadl, Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990. Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sulaimân bin al-Asy‘as. Sunân Abî Dâwud. Beirut, Dâr al-Fikr, tt. Al-Adlabî, Salâh al-Dîn bin Ahmad. Manhâj Naqd al-Matan. Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1993. Al-‘Asqalânî, Shihâb al-Dîn Ahmad bin `Alî bin Hajar. Tahdzîb al-Tahdzîb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984. Al-Dzahabî, Al-Imâm Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman. Siar alA’lam al-Nubalâ. Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1992. Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadisah, tt. Al-Gazâlî, Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt. Al-Mizzî, Jamaluddin Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Al-Mubârakfurî, Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm. Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt. Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Mu’assasah alRisâlah, 1990.
Al-Rumî, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân. ‘Ulûm al-Qur’ân: Studi Kompleksitas al-Qur'an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999. Al-Sa‘âtî, Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna. Al-Fath al-Rabbânî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî. Al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: ‘Alam alKutub, 1984. Al-Salîh, Subhi. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu. Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, 1977. Al-Syirbasî, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Al-Turmudzî al-Silmî, Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ. Sunan al-Turmudzî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-`Arabî, tt. Al-Zarkâsyî, Muhammad bin’Abdullah. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. _____, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Kusmana dan Syamsuri, ed. Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian. Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004. Mûsâ, Kamîl dan Dahruj, ‘Alî. Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ. Beirut: Dâr al-Mahrusah, 1992. Qardâwî, Yûsuf. Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie. Jakarta : Media Dakwah, 1994. Rahman, Fatchur. Ikhtisâr Mustalâhul Hadîts. Bandung : Alma’arif, 1974. Wensinck, A.J. Al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî. Leiden : EJ. Brill, 1943. Yunus ‘Ubaid, Hasan. Dirâsat wa Mabâhits fî Tarîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn. Mesir: Markâz al-Kitâb Ii al-Nasyr, tt.