Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
81
FUNDAMENTALISME DAN UPAYA DERADIKALISASI PEMAHAMAN AL-QUR’AN DAN HADIS Muhammad Harfin Zuhdi* Abstrak:“Fundamentalisme identik dengan kekerasan”, stereotip ini dilestarikan oleh Barat selama berabad-abad. Islam fundamentalis menjadi penyebab terjadinya berbagai tindakan kekerasan, bom bunuh diri, pembunuhan, peperangan dan terorisme yang diperkuat olah doktrin perang suci atau jihad yang menjadi keyakinan mereka. Salah satu landasan gerakan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tentang perang. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengoreksi atau mengkritik ayat al-Qur’an atau hadis, melainkan pemahaman manusia yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tersebut. Dalam konteks inilah deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan hadis menjadi sangat signifikan karena diharapkan mampu memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah isu terorisme yang menyudutkan Islam. “Fundamentalism is identical with violence”, this stereotype is conserved by the West for centuries. Islamic fundamentalism is a cause of many violence, suicidal bomb, murder, war, and terrorism that is strengthened by holy war (jihad) doctrine. One of these movement foundations is verses of the Quran and Hadith about war. This paper is not meant to correct or criticize those Quranic verses or Hadith, but it is meant to criticize the interpretation those Quranic verses or Hadith. In this context, de-radicalization of that interpretation becomes very significant because it is expected that it can give solution for the strained situation happening in the center of terrorism issues that discredit Islam. Kata kunci: fundamentalisme, radikalisme, deradikalisasi, Islam rahmatan lil ‘alamin *. Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
Pendahuluan Kekerasan agama sering disebut radikalisme agama. Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Orang-orang radikal adalah seseorang yang menginginkan perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya (kalimat belum lengkap). Sebuah kamus menerangkan bahwa “seorang radikal adalah seseorang yang menyukai perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-metode pemerintahan” (a radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws and methods of government) (Sumber tidak disebutkan). Radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan penghancuran secara total, dan menggantikannya dengan yang samasekali baru dan berbeda. Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner yakni menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem (Juergensmeyer, 2002: 5). Munculnya fenomena radikalisme agama tidak terlepas dari problem psikologis dari para tokoh pelopornya, pengikutnya, maupun masyarakat secara keseluruhan. Lebih dari itu, radikalisme agama menggambarkan sebuah anomali, dan memungkinkan adanya deviasi sosial, dengan munculnya komunitas yang abnormal. Baik abnormalitas demografis, sosial, maupun psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual, situasional, maupun sistemik (Kartono, 2004:16). Dengan demikian abnormalitas perilaku seseorang tidak dapat diukur hanya dengan satu kriteria saja, karena bisa jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian kepribadian tetapi abnormal dalam pengertian sosial dan moral. Dalam konteks ini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menjelaskan fenomena radikalisme agama yang dilakukan oleh kelompok yang mengklaim pemahaman agamanya yang paling benar. Pembahasan A. Akar Genealogis Fundamentalisme Islam Akhir-akhir ini, nalar kesadaran kaum muslim dibenturkan dengan berbagai label pejoratif seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, “sekularis”, dan lain-lain. Singkatnya, berbagai nama tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
83
modern. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” menurut Ridwan al-Makasary telah menyedot perhatian publik, jauh sebelum Perang Dingin (the Cold War) berakhir (Ridwan al-Makasary, Mengkaji Fundamentalisme IslamSebagai Suatu Gerakan Sosial, dalam www.interseksi.org). Para sarjana telah mencermati terjadinya gelombang politisasi agama sebagai fenomena global yang baru. Mereka mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama yang merupakan tandingan dari modernisme dan sekularisme (Marty dan Scott, 2000:3). Sebenarnya istilah Fundamentalisme Islam bukanlah murni dari khazanah masyarakat Muslim. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat sebagai reaksi dan negasi terhadap modernisme. Kalangan Muslim tertentu sebenarnya berkeberatan dengan penggunaan istilah “fundamentalisme”, karena konteks historis istilah ini berawal dari “fundamentalisme” Kristen. Sebagai gantinya, mereka menggunakan istilah ushuliyun untuk menyebut “orang- orang fundamentalis”, yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Istilah lain yang digunakan adalah al-Ushuliyah al-Islamiyah (fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian: kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (syar’iyah al-hukm). Formulasi ini, terlihat lebih menekankan dimensi politik gerakan Islam dari pada aspek keagamaannya (Azra, 1996:109). Menurut Akbar S. Ahmed fundamentalisme Islam identik dengan radikalisme dengan menambahkan satu ciri dominan yaitu vulgaritas, cenderung memakai kata-kata kasar serta kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya, bahkan mereka kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan menjijikkan (Ahmed,1993: 171). Radikalisme agama sering disebut dengan al-tatharuf al-diny (Ya’qub, 2006) yang mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan, atau dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata al-tatharuf diartikan untuk hal-hal yang bersifat kongkrit. Akan tetapi perkembangan selanjutnya bermakna hal-hal yang bersifat abstrak; seperti berlebihan dalam berfikir, berbuat, dan beragama. Dengan demikian altatharuf al-diny bisa diartikan segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama.
84 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tibatiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politik, umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler dari pada umat Islam itu sendiri. Menanggapi pemikiran Gus Dur di atas, menurut Syafi’i Anwar (2006) bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganutnya mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” umat Islam dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi budaya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak matrialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif matrialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok tersebut akibat adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi. Implikasinya, pikiran mereka penuh dengan hitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadis dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah, karena tanpa mempelajari berbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada. Untuk memahami gerakan Islam radikal atau fundamentalis Islam ada sejumlah ciri penting yang melekat dalam kelompok ini. Ciri utama berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam radikal, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah adalah doktrin universal yang mencakup segala aspek kehidupan
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
85
manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Yang diutamakan adalah ketaatan mutlak kepada wahyu Tuhan yang berlaku secara universal. Iman dan ketaatan terhadap wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan sunnah nabi lebih penting dari pada penafsiran-penafsiran terhadap kedua sumber utama pedoman kehidupan umat Islam itu. Kecenderungan doktriner seperti ini terutama sekali dilandasi sikap untuk memahami dan mengamalkan doktrin secara murni dan totalitas (Lawrence,1990: 40). Menurut Syafi’i, pandangan Gus Dur di atas sebenarnya tertuju pada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama dikategorikan sebagai neofundamentalisme. Kebangkitan neo-fundamentalisme Islam dan keberadaannya di berbagai negeri Muslim menurut analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Hal ini karena neo-fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangannya bersifat literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khazanah keislaman klasik yang penuh dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh alQur’an dan budaya intelektual tradisional Islam (Rahman,1981: 25-26). Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan. Untuk dapat melihat persoalan secara jernih, maka harus dibedakan antara agama dan pemikiran keagamaan serta bagaimana pemikiran keagamaan tersebut diaktualisasikan dalam sejarah peradaban manusia. Dalam kasus Islam, pemikiran Islam mencakup sejumlah disiplin ilmu dan mazhab pemikiran. Dengan kata lain, sejarah dan pemikiran Islam adalah produk dari sebuah interaksi dan dialektika yang panjang dan kompleks antara interpretasi manusiawi dengan wahyu Ilahi. Hanya dengan memahami kenyataan ini, stigma yang dilekatkan oleh para pelaku kekerasan dengan mengatasnamakan agama dapat dihapus. Dengan kata lain, menuduh sebuah agama tertentu sebagai driving force di belakang kekerasan dari gerakan radikal agama tertentu adalah tidak fair, meskipun elemen-elemen agama yang genuine telah dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk menjustifikasi terjadinya kekerasan. Para pelaku kekerasan yang menjadikan agama sebagai pembenar berkeyakinan bahwa
86 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
mereka adalah penganut agama yang taat, apa yang mereka lakukan adalah perintah dari langit yang memiliki justifikasi Qur’ani. Secara empiris, di dalam Islam dapat ditemukan kelompok-kelompok eksklusif yang sering menjadikan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan perjuangan mereka. Mengapa hal itu terjadi? Adakah celah dalam literatur Islam yang memungkinkan perilaku seperti itu? Adalah tidak jujur mengingkari kenyataan bahwa al-Quran dan sejumlah literatur Islam menyodorkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang tidak toleran. Namun demikian kemungkinan-kemungkinan tersebut sering dieksploitasi oleh orang-orang yang memahami atau menafsirkan al-Quran secara parsial, harfiah dan ahistoris untuk mendukung ideologi tidak toleran dan orientasi eksklusif mereka, tanpa memperhatikan seting sejarah dimana sebuah ayat al-Qur’an diturunkan. Ayat-ayat al-Qur’an yang sering dikutip misalnya firman Allah:
úE ôľ ĀEûĿ úE ĄB÷_AĆĽ°Aċ þE AûAą ļÖEäA© B ¦AČ÷ĿąE Ľ úE ĄBØ ľ äE A© A¦AČĿ÷ąE Ľ ćAŦAÔĀ:÷¥Aą AÁĆBĄAČŁ÷¥ ¥ąľÄÀĿ °_Ľ¯ ē ¥ĆBĀAû AþċĿÄ÷_¥ ¦AĄċ8Ľ ¦Aċ AjĿüĿ÷¦à_ ÷¥ AùĆE ĽðŁ÷¥ ĉĿÂEĄAċ ē AĂø_÷¥ :ýĿ úE ĄBĀEûĿ ĂB ÿ_ ĿĽë “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpinpemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah: 5:51).
Ayat ini dimaknai secara literal yang kemudian menjadikan mereka eksklusif, yang tidak jarang menuntut mereka untuk melakukan penampilan dan aksi simbolik yang bertujuan untuk membedakan antara Muslim dan nonMuslim. Para kelompok radikal militan membaca ayat-ayat al-Quran dalam kesunyian, seakan-akan makna ayat tersebut begitu transparan sehingga ide moral dan konteks sejarah tidak relevan dalam penafsiran mereka. Padahal, pemahaman terhadap konteks diturunkannya ayat-ayat al-Quran sangatlah penting, karena al-Quran tidak turun dalam sebuah ruang hampa.
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
87
B. Faham Radikalisme Islam di Indonesia Perkembangan Islam di Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan wajah beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh ormas Islam dan memunculkan banyak nama seperti: Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrim, Islam militan, dan sebagainya (Geertz,1960:27). Momentum menarik terjadi ketika runtuhnya Orde Baru dengan menjamurnya gerakan Islam garis keras, militan, radikal, dan fundamental. Kemunculan kelompok ini di panggung nasional sebenarnya sudah diawali sejak berubahnya kebijakan negara pada dasawarsa 1980-an, dari peminggiran Islam ke akomodasi Islam. Baru pada era keterbukaan dan kebebasan politik, pergerakan Islam menunjukkan wataknya yang lama tenggelam dalam rezim Orde Baru. Tren Islam yang mengemuka pasca Orde Baru adalah lahirnya Islam radikal, yang diwakili sejumlah ormas Islam, seperti Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin menyusul ormas Islam sebelumnya seperti KISDI. Karakteristik kelompok ini lebih didasarkan pada corak keragaman yang bersifat integralistik antara Islam dan negara, sehingga kelompok ini mengedepankan corak legalformal Islam secara total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya syariat Islam di negara Indonesia. Laskar Jihad dalam laporannya yang berjudul “Gerakan Islam Radikal Bukan Ancaman” menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat masih beranggapan gerakan Islam radikal merupakan ancaman, gerakan ini selalu dipersepsikan dengan anarkisme. Menurut Laskar Jihad, ketakutan berbagai kalangan terhadap perkembangan Islam radikal sebenarnya tidak beralasan. Karena jika ditilik secara historis, kemunculan berbagai gerakan Islam itu sendiri merupakan reaksi dari ketidakadilan sosial-politik. Perlawanan Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah terhadap berbagai fenomena yang terjadi lebih didorong karena sikap pemerintah yang tidak mau merespon secara positif terhadap ketertindasan kaum muslimin (Laskar Jihad, edisi 14 tahun 2001: 9). Sedangkan kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua faktor; pertama, faktor internal akibat terjadinya
88 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
penyimpangan norma-norma agama terutama dengan masuknya faham sekuler dalam kehidupan umat Islam, sehingga mendorong umat Islam melakukan gerakan kembali pada otentitas Islam (Azra, 2002: 4). Sikap ini ditopang oleh pemahaman agama yang totalitas dan formalistik, bersikap kaku dalam memahami teks agama, sehingga harus merujuk pada perilaku nabi di Makkah dan Madinah secara literal. Karena itu identitas keagamaannya bersifat literalistik, kaku, dan cenderung menolak perubahan sosial. Pada gilirannya mereka frustrasi terhadap perubahan dunia yang begitu cepat, sementara respon Islam sangat lambat dan ketinggalan dibanding masyarakat Baratsekuler. Konsep-konsep modern sebagai produk Barat ditolak secara radikal seperti demokrasi dan HAM. Kedua, faktor eksternal baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat. Sikap represif penguasa terhadap kelompok Islam, seperti yang dilakukan Orde Baru telah membangkitkan radikalisme Islam. Begitu juga krisis kepemimpinan yang terjadi pasca Orde Baru yang ditunjukkan dengan lemahnya penegakan hukum, telah mendorong gerakan Islam untuk menerapkan syariat Islam sebagai solusi krisis tersebut. Pada gilirannya radikalisme Islam dijadikan jawaban atas lemahnya aparat hukum dalam menyelesaikan kasus yang terkait dengan umat Islam. Radikalisme juga terjadi dalam bentuk perlawanan terhadap Barat. Reaksi yang ditunjukkan berupa perlawanan dengan kekerasan terhadap kepentingan atau perusahaan multinasional Barat. Kantor kedutaan AS dan perusahaan AS sering menjadi sasaran kekerasan yang diilhami oleh pemahaman kaum radikal sebagai perjuangan agama. Jihad menjadi simbol perlawanan efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi ini menyebabkan permusuhan yang berlanjut antara Islam dan Barat. Bahkan, kalangan Islam radikal melihat Barat berada dalam pertarungan abadi melawan Islam. Selain faktor-faktor di atas, Islam radikal di Indonesia lahir karena pergantian kekuasaan dan situasi yang tidak menentu. Kondisi abnormal dijadikan momentum untuk menunjukkan identitas kultural dan politik secara terang-terangan oleh kelompok masyarakat, tidak terkecuali umat Islam. Dalam konteks ini, kekhawatiran Barat terhadap meluasnya gerakan Islam radikal di Indonesia bersumber pada pandangan dan citra fenomena gerakan Islam radikal di Timur Tengah. Sebab kelompok radikalisme Islam bukan hanya berusaha menentang dan menumbangkan dominasi negara oleh rezim
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
89
sekuler dan hostile terhadap Islam, tetapi juga kekuatan Barat yang mereka percayai sebagai patron pemerintahan sekuler dan anti Islam (Azra, 2002: 37). Gerakan Islam radikal telah memberikan warna berbeda bagi perjalanan corak keberagamaan di Indonesia. Misalnya dalam pengalaman umat Islam terjadi polarisasi yang sangat tajam antara Islam moderat dan Islam radikal di masa sekarang. Setelah Islam moderat berhasil mendapatkan tempat di hati penguasa sejak 1980-an, kini di era reformasi, mereka mendapat tantangan serius dari gerakan Islam radikal yang menyeruak ke dalam lapisan sosial masyarakat. Mereka berhasil merebut simpati publik secara terbatas dengan membangun opini publik dan organisasi gerakan. Tak heran jika suara mereka di pentas nasional begitu nyaring terdengar. Karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia merupakan suatu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia. Sebagai antisipasi, perlu memperluas gerakan Islam yang moderat, pluralis, dan inklusif di tengah-tengah masyarakat. Gagasan moderasi didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era mulikultural. Karena bagaimanpun, multikulturalisme merupakan realitas historis dalam masyarakat yang mesti disikapi secara positif. Dengan demikian, ekslusivitas beragama diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk memecahkan problem pluralisme di Indonesia. Itu sebabnya pendidikan pluralis menjadi prioritas dalam menjembatani doktrin ekslusif. Kedua, secara praksis, praktek kehidupan beragama dengan klaim kebenaran dan keselamatan dalam masing-masing umat beragama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lain. Problem pluralisme seringkali disebabakan fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itu upaya kongkret untuk membangun toleransi antar umat beragama terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan (Miswari, 2004: 56). C. Distorsi dan Radikalisasi Makna Jihad Agama sering dijadikan legitimasi aksi kekerasan oleh para pengusungnya melalui penafsiran yang distorsif. Memonopoli penafsiran agama membawa
90 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
implikasi destruktif pada tataran kehidupan masyarakat, sehingga muncul kesan seakan-akan agama yang dibajak penafsiranya itu telah menjadi arus utama kehidupan beragama. Padahal misi suci agama tidak sama dengan yang diekspresikan oleh para pelaku kekerasan yang selama ini selalu bersandar pada pengertian jihad. Kemudian bagaimana mestinya jihad dimaknai? Jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut penyerangan dan kekerasan. Oleh karenanya, makna jihad mestinya selalu direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial. Misalnya, membebaskan makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit. Jihad harus diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Kata jihad dalam bahasa Arab erat sekali kaitannya dengan makna ijtihad yang secara definitif diartikan sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk mencari solusi keagamaan dan persoalan sekular. Upaya pemaknaan ini lebih tepat disebut sebagai jihad dalam bidang kultural dan intelektual sebagai energi kehidupan umat menuju kemajuan peradaban. Distorsi makna jihad sebagai perjuangan dalam bentuk fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Alhasil, implikasi negatif itu tak lain hanyalah sebuah beban psikologis-historis umat yang malah menambah persoalan, bukan solusi itu sendiri. Kalangan Barat sering menuding aksi teror dan bom bunuh diri merupakan bentuk radikalisme yang berakar dari perintah jihad dalam agama. Kasus bom bunuh diri dalam bom Bali I dan II, Hotel Marriot, Ritz Cartlon dan sederetan pemboman lain di wilayah Nusantara sebagian kalangan menyimpulkan bahwa semua itu sangat kental dengan sentimen agama sebab aksi mereka dalam lima tahun terakhir, selalu berakar pada konsep “jihad” di dalam Islam. Perilaku kekerasan dan teror tersebut pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai suci keagamaan. Secara eksplisit, bom Bali jilid II di Jimbaran dan Kuta dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dikelindankan dengan keagungan ajaran agama. Agama oleh pengusung ideologi terorisme hanya melegitimasi teologi, memanipulasi penafsiran ajaran agama dengan pendekatan subjektivitas. Klaim identitas dan solusi agama yang diembel-embeli dengan jihad telah menjadi sikap sebagian kalangan Islam. Sikap dan perilaku semacam itu adalah bagian dari anakronisme sejarah yang akut. Dengan kata lain, penggunaan
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
91
makna jihad sebagai ideologi kekerasan seringkali dikaitkan dengan romantisme sejarah Islam masa lalu yang gemilang dan eksotis. Sebagai sebuah upaya mengembalikan kemenangan, justru penggempuran atas pihak lain yang dianggap sebagai representasi modernitas yang hegemon dihalalkan. Di sisi lain, makna-makna progresif dan dinamis dari ajaran Islam yang selalu mengajarkan the idea of progress secara universal-kosmopolitan dipungkiri. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat elite dan awam yang masih dangkal pemikiran dan kesalehan dengan sikap ekstrim dan eksesif dalam beragama tidak bisa dipungkiri. Sejatinya, makna jihad mesti diletakkan pada keberagamaan yang toleran, moderat, solider, beradab, dan tidak membelenggu. Dengan demikian, tujuan (teleologis) agama adalah memanusiakan manusia melalui pembebasan yang fitrah secara universal tanpa kecuali. D. Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Islam Secara etimologis deradikalisasi terbentuk dari akar kata radical yang diawali awalan de yang dalam bahasa Inggris berarti melenyapkan, menghilangkan atau menghapus sesuatu. Kata radical sendiri dalam bahasa Inggris bisa bermakna (1) bertindak radikal dan dapat juga berarti (2) sampai ke akar-akarny (Echols dan Hassan Shadily, 1995) Kata radikal yang berarti sampai ke akar-akarnya, biasanya digunakan dalam diskursus filsafat, terutama dalam mendefinisikan kata filsafat itu sendiri. Tetapi arti kata radikal yang dimaksud dalam tulisan ini mengacu kepada makna yang pertama (bertindak radikal). Dengan demikian, deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya melenyapkan, menghilangkan atau menghapus tindakan radikal. Dari tinjuan etimologis di atas, secara terminologis “Deradikalisasi Pemahaman ajaran Islam, berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, khususnya ayat atau hadis yang berbicara tentang konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menyampaikan “pemahaman baru” tentang Islam dan bukan pula pendangkalan akidah, melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman tentang apa dan bagaimana Islam. Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita ketika membaca statemen ini adalah mengapa harus ada deradikalisasi? Apa urgensi dan signifikansinya
92 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
bagi umat? Tidakkah deradikalisasi ini hanya strategi dari mereka yang ingin melemahkan sikap tegas negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam terhadap hegemoni Barat? Dan sederetan pertanyaan lainnya. Perlu diketahui bahwa gagasan deradikalisasi sesungguhnya muncul setelah Islam, sebagai agama yang mengajarkan perdamaian dan toleransi, diberi stigma negatif oleh Barat. Mereka memandang Islam tidak lebih sebagai agama yang mengajarkan umatnya untuk melakukan teror dan tindakan anarkis terhadap pemeluk agama lain. Stigma negatif itu terbentuk karena beberapa faktor; salah paham terhadap Islam, informasi media Barat yang memojokkan Islam, atau murni karena kebencian terhadap Islam yang mereka warisi dari orientalisme klasik. Dalam konteks global, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, peran Indonesia amat penting dalam memerangi terorisme. Berbeda dengan Iran atau Libya yang nampaknya dipandang sebagai “ancaman” oleh Barat (baca: Amerika dan sekutunya), Indonesia dianggap sebagai negara yang mampu membangun demokrasi, penguatan civil society dan penegakan hak-hak asasi manusia (human right). Partisipasi Indonesia dalam menanggulangi isu terorisme antara lain terlihat dari beberapa kerjasama dengan beberapa negara dengan menggelar beberapa event Internasional terkait penanggulangan ancaman terorisme global. Pada bulan Februari 2004, Indonesia menggelar “Bali Regional Ministerial Meeting on Counter Terrorism” yang dihadiri oleh 20 menteri dari Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan Konferensi SubRegional Tingkat Menteri Luar Negeri (Menlu) mengenai “Counter-Terorisme” pada tanggal 5-6 Maret 2007 di Jakarta. Konferensi itu sendiri merupakan usul dari Menlu Indonesia (Hassan Wirayuda) dan Australia (Alexander Downer). Ansyaad Mbai, Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, menyatakan bahwa Konferensi tersebut merupakan langkah awal dari pemerintah Indonesia dalam menjajaki kemungkinan menjalin kerjasama deradikalisasi terorisme dengan sejumlah Negara Islam untuk menanggulangi ancaman terorisme. Menurut Ansyaad Mbai, deradikalisasi adalah program yang telah diterapkan di sejumlah negara termasuk Eropa dan Amerika Serikat dengan tujuan untuk memberikan pelurusan kembali tentang makna Islam, terutama dari salah pemahaman makna jihad.
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
93
Dengan melihat keinginan yang kuat dari pemerintah Indonesia dalam menanggulangi ancaman terorisme, dapat dikatakan bahwa deradikalisasi adalah satu solusi yang lebih mencerahkan ketimbang menggunakan kekuatan senjata dalam menghadapi para pelaku teror. Beberapa waktu terakhir, pendekatan “hard power” dalam memerangi terorisme seperti perang terhadap negara yang dianggap sarang teroris dinilai dunia hanya akan menyuburkan aksi-aksi teror yang lebih luas dan kejam sehingga mulai beralih ke pendekatan yang lebih beradab atau “soft power” seperti pendekatan agama sebagai bentuk deradikalisasi. Di Indonesia, program ini telah berjalan namun belum optimal. Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk berlaku kasih dan sayang terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yang ada di muka bumi adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak anarkis dan menyebarkan teror. Kalaupun kemudian agama tertentu, misalnya Islam, dituduh sebagai agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme karena adanya ayat-ayat dan hadis tentang perang, maka yang harus dikoreksi atau dikritik bukanlah ayat al-Qur’an atau hadisnya, tetapi pemahaman manusia yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tersebut. Validitas dan otentisitas al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum sekaligus sebagai landasan etika dan moral tidak pernah diragukan oleh setiap Muslim. Namun demikian, ketika memasuki wilayah penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing penafsir tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Oleh karena itu, wajar jika kemudian kita menemukan tafsiran yang berbeda dari beberapa kitab tafsir tentang sebuah ayat atau hadis. Faktor sosio-politis juga dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kandungan ayat al-Qur’an dan hadis. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Marah Labid, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tak pelak dipengaruhi oleh situasi tanah airnya ketika dijajah oleh Belanda (Burhanuddin, 2006: 41). Ini menunjukkan ketika memasuki wilayah (domain) tafsir, pemahaman seorang mufassir amat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang melingkupinya. Berkaitan dengan pendekatan agama dalam upaya deradikalisasi ini, ada baiknya kita mengingat kembali pesan dari Rasulullah SAW. Dalam sebuah kesempatan, beliau menyampaikan bahwa umatnya tidak akan sesat selama
94 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
mereka berpedoman kepada dua warisannya yang paling berharga, yaitu alQur’an dan as-Sunnah (al-Hadis). Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
ĿĂ=ČĿªĽÿ ¬ľ Ā:Ë B Aą Ŀ7¥ § B ¦Ľ°óĿ :¦AüĄĿ©Ŀ úE °ľ ŁôÌ : AüĽ¯ ¦Aû ¥ĆE ø`Ø Ŀ Ľ¯ þE Ľ÷ þĿ ċEAÆûEĽ úE ôľ ČEëĿ ® B ŁóAÆĽ¯ “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.”(Ibn Anas, 2005:549)
Dengan mempertimbangkan pesan Rasulullah di atas, maka umat Islam semestinya mendasari setiap aktivitas kehidupannya di atas nilai-nilai al-Qur’an dan hadis. Baik al-Qur’an maupun hadis, keduanya mengandung prinsipprinsip etika dan moral yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Fazlur Rahman, intelektual neo-modernis asal Pakistan, dalam bukunya berjudul Islam menyatakan bahwa meskipun al-Qur’an mengandung beberapa aturanaturan hukum yang penting, namun semangat dasar dari al-Qur’an adalah prinsip-prinsip dan seruan moral bukan hukum (Rahman, 1997: 36 dan 43). Dengan statement ini, Rahman nampaknya ingin menegaskan bahwa selain metode legislasi, lebih luas al-Qur’an juga memuat aturan-aturan moral dan etika yang semestinya harus mendapatkan perhatian lebih ketimbang ayatayat hukum. Lebih jauh, Rahman menawarkan prosedur dalam upaya memahami alQur’an; pertama, seseorang harus mengkaji al-Qur’an dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya. Jika tidak, besar kemungkinan ia akan tersesat dalam memahami beberapa butir penting tertentu dari ajarannya. Kedua, seseorang harus mengkajinya dalam latar belakang sosio-historisnya. Tanpa melihat latar belakang mikro dan makronya secara memadai, seseorang bisa jadi akan salah tangkap terhadap elan dan maksud al-Quran serta aktivitas Nabi, baik di Makkah maupun di Madinah (Syafi’ii Ma’arif, 1997: viii). Terlepas dari beberapa kekurangan yang dimiliki oleh Rahman, prosedur yang ia tawarkan, yang sesungguhnya juga banyak ditawarkan oleh ilmu tafsir klasik, menarik untuk diterapkan dalam agenda deradikalisasi ini. Aspek asbab an-nuzul al-ayat atau latar belakang historis turunnya sebuah ayat, dan begitu pula aspek asbab al-Wurud sebuah hadis harus menjadi acuan dalam memahami maksud dari turunnya ayat atau hadis tersebut.
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
95
Terkait dengan upaya deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan hadis, pendekatan agama nampaknya menjadi pendekatan yang paling tepat dibandingkan model pendekatan lain. Dengan menjadikan agama sebagai landasan, upaya deradikalisasi pemahaman sebagian kelompok Muslim berkaitan dengan konsep jihad, dar al-Harb, konsep kafir harbi dan kafir zimmi, diharapkan mampu memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah isu terorisme yang menyudutkan Islam. Deradikalisasi dipandang penting dan mendesak untuk segera diterapkan di saat negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan patron-patron politiknya mengedepankan pendekatan represif dengan menyerang negaranegara yang mereka curigai sebagai ladang teroris. Serangan terhadap tentara Taliban di Afghanistan dan pembumihangusan Irak di masa rezim Saddam Husein, adalah contoh kongkit dari pendekatan hard power yang digunakan Amerika Serikat dan sekutunya dalam memecahkan problem terorisme. Lebih memperihatinkan lagi, serangan terhadap wilayah yang mereka anggap sarang teroris itu didukung oleh tesis dan analisa politik yang tidak ilmiah tetapi justeru menyesatkan. Tesis Huntington yang terkenal dengan istilah clash of civilization adalah satu diantaranya. Dalam Tesisnya, Huntington menempatkan Islam sebagai musuh Barat setelah kehancuran komunisme di Uni Soviet.** **. Samuel P. Huntington, analis politik dan guru besar hubungan internasional pada Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam sebuah esainya yang kemudian menjadi terkenal dengan judul “The Clash of Civilizations“ (Benturan Peradaban), menyatakan bahwa sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan sesuatu yang ideologis dan ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi antara negara dan kelompok dari berbagai peradaban yang berbeda. Huntington mendefinisikan peradaban sebagai entitas kultural tertinggi dan identitas terbesar yang dimiliki manusia. Lebih jauh ia juga mengidentifikasi tujuh peradaban besar, yaitu, Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-ortodoks, dan Amerika Latin. Dari ketujuh peradaban besar itu, secara provokatif, Huntington menilai bahwa Islam merupakan peradaban yang paling potensial mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak kekuasaannya. Lihat Samuel P. Huntington, “Benturan Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, no. 5, 1993, h. 11-25. Namun demikian, citra buruk tentang Islam seperti digambarkan di atas, mendapat reaksi dan tantangan cukup signifikan dari penulis Barat sendiri, John L. Esposito misalnya. Esposito adalah sarjana barat yang giat menyuarakan pandangan yang positif tentang Islam di berbagai tulisan dan media Barat.
96 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
Tesis Huntington di atas tak pelak semakin memperteguh sikap Amerika dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya. Tesis Huntington semakin diamini oleh Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 (nine eleven) yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Markas Angkatan Bersenjata Amerika di Pentagon. Analisa dan tesis Huntington yang menggunakan pendekatan emosional dan kental diwarnai sentimen religius terhadap Islam itu kemudian menimbulkan resistensi, tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi juga dari Penulis nonMuslim. John L. Esposito adalah satu dari sedikit sarjana Barat yang giat menyuarakan pandangan yang positif tentang Islam di berbagai tulisan dan media Barat. Dalam Islamic Threat: Myth or Reality? Ia menyatakan bahwa gerakan-gerakan Islam tidaklah menakutkan seperti yang umumnya digambarkan oleh media-media massa di Barat. Selain itu, menyamakan berbagai gerakan itu dengan ancaman khomeinisme, terorisme, ekstremisme, fundamentalisme dan sejenisnya merupakan sebuah simplifikasi yang berlebihan. Ia juga menyatakan, dalam jangka panjang pandangan monolitik seperti ini akan merugikan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, sebab yang akan berlangsung adalah “penyetanan” satu sama lain (mutual satanization) dan saling menghancurkan satu dengan yang lain (mutual assured destruction). Pada bagian kesimpulan bukunya, Espsosito juga mengatakan bahwa berbagai gerakan -yang ia sebut dengan istilah revivalisme Islam- yang muncul di banyak belahan dunia lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah “tantangan” (challenge) daripada “ancaman” (threat) karena gerakangerakan tersebut lebih merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik yang berorientasi pada pembentukan tatanan masyarakat yang Islami. Oleh karenanya, kata Esposito, ... most Islamic Movement are not necessarily anti-Western, anti-American, or anti-Democratic (Esposito, 1992: 212). Dengan memperhatikan realitas politik kontemporer di atas, peran serta umat Islam di seluruh Dunia untuk memperkenalkan wajah Islam yang ramah dan toleran adalah sebuah keniscayaan. Seluruh umat Muslim berkewajiban memberikan pemahaman Islam yang benar kepada setiap orang, khususnya kepada mereka yang tidak memahami pesan dasar agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
97
E. Menuju Pemahaman Islam Rahmatan Lil ‘Alamin Secara etimologis Islam seakar kata dengan salam yang berarti damai. Dalam Islam konsep kasih dan damai sangat sentral, sehingga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang berbicara tentangnya. Dalam konteks ini paling tidak terdapat tiga komponen utama konsep damai dalam Islam, yaitu: 1. Kedamaian yang muncul dari dalam (inner peace). Kedamaian ini muncul sebagai produk dari kejujuran, ketulusan, kedermawanan dan toleransi yang ditekankan oleh Islam. Disamping itu, Islam mengajarkan umatnya untuk mengontrol amarah dan memaafkan orang yang telah berbuat kesalahan kepadanya. Sebagaimana firman Allah:
AjĿĀĿÌE¼BüŁ÷¥ 8¨Ŀ¼ċB ĂB øŀ÷¥Aą Ŀɦ:Ā÷¥ ĿþAã jA ëĿ¦Aä÷Ł¥ąA ĽÞČEĽèŁ÷¥ AjĿüĿߦĽôŁ÷¥Aą ¥:ÆØ _ ÷¥Aą ¥:ÆÌ : ÷¥ ĊĿë AýĆľðĿìĀBċ AþċĿÄ÷_¥ “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran 3:134).
Dalam diskursus al-Quran, kasih bukan sekedar memaafkan atau keinginan untuk mengabaikan dosa dan kesalahan orang lain, tapi keadaan dimana setiap orang bisa berbuat adil terhadap dirinya dan orang lain dengan memberikan hak-haknya masing-masing. Secara fundamental, kasih selalu dikaitkan dengan persepsi tulus terhadap orang lain, sehingga dalam al-Qur’an kasih selalu dipasangkan dengan keharusan manusia untuk sabar dan toleran terhadap orang lain. 2. Keharmonisan sosial dalam komunitas. Islam menekankan keharmonisan sosial, dengan memerintahkan umatnya untuk selalu merefleksikan kedamaian dan kasih sayang dalam interaksi sosialnya. Rasulullah SAW bersabda:
A«AÁÆE ©B ĊĿ©Ľ þE Aã ĿĂø_÷¥ ĿÂEªAã þB ©E ÂB ċEAÆ©B ¦AĀĽ³Â: A» Ľ¬Aû¦AËľ ĆB©Ľ ¦AĀĽ³Â: A» 8ĉĿÆAăĆE A¸Ł÷¥ Âļ ČĿäAË þB ©E úB ČĿă¥AÆ©EĿ ¦AĀĽ³Â: A» AúĿøAË þE Aû Ľõ¦Ľï öľ ĽØŁëĽ AjĿüĿøEÌBüŁ÷¥ 8ĉĽ Aúø_AËAą ĿĂEČĽøAã ĂB ø_÷¥ Ĉ_øÓ A ĿĂø_÷¥ õľ ĆBËAÅ ĽöĿ¤ËB õ¦Ľï ĈAËĆBû ĊĿ©Ľ þE Aã ĿāĿÂAċą ĿĂĿÿ¦AÌĿ÷ þE ûĿ AýĆBüĿøEÌBüŁ÷¥
98 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102 “Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari Abu Usamah, menceritakan kepada kami Buraid bin Abdullah dari Abi Burdah dari Abi Musa berkata: “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang siapakah orang muslim yang paling baik? Rasulullah bersabda: Orang Muslim yang mampu membuat rasa aman muslim lainnya dari ucapan dan tangannya.” (AlTirmidzi, t.th:44).
Untuk keharmonisan sosial, Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah satu komunitas. Manusia memiliki hak hidup, hak milik, hak keadilan, hak kehormatan, hak kebebasan beragama, dan hak kehidupan yang bermoral. Hak-hak tersebut adalah hak pemberian Tuhan yang harus diimplementasikan dalam keadaan apapun. Islam menekankan keadilan (justice) dan perlakuan yang fair kepada semua orang, termasuk kepada musuh sekalipun “janganlah kebencianmu kepada sebuah kelompok menjadikanmu tidak adil, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. 3.
Menghadapi konflik. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa tak ada komunitas atau masyarakat yang sama sekali bebas dari konflik dan ketegangan. Ia selalu hadir baik di tengah kehidupan anggota masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Islam menawarkan pengelolaan konflik dengan cara damai. Cita-cita moral ideal Islam adalah membangun dunia, dimana orang Islam maupun non-Islam hidup bersama menikmati keadilan, kedamaian, kasih sayang dan keharmonisan. Inilah tantangan yang kita hadapi dalam kehipuan modern sekarang ini. Adalah tugas para pemimpin agama dan para intelektual untuk menangkap pesan-pesan moral agama yang dapat membawa kepada kehidupan yang harmonis di tengah kehidupan bangsa yang plural. Sebagai orang yang beragama, kita bertanggung jawab untuk hidup damai bersama orang lain. Daripada berbicara tentang benturan budaya (clash of civilization), mari membangun jembatan antar budaya. Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
99
yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmiah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya. Dilihat dari sisi manapun, kekerasan dan kekuatan otot yang sering ditunjukkan sebagian kelompok Muslim radikal bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Pengalaman paling dini historisitas Islam, agama ini meletakkan kerahmatan sebagai fondasi keberagamaan, dan seutuhnya sangat menghargai nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas, serta suasana dialogis. Oleh karena itu, implikasi psikologis dari radikalisme agama dan kekerasan sejenisnya hanya akan menjadikan Islam tereduksi sebagai bayang-bayang menakutkan yang kehilangan aspek kemanusiaannya. Kesyahduan beragama lalu berbias menjadi keberingasan, dan pencerahan tersungkur menjadi keangkuhan. Keberagamaan yang sejatinya dikembangkan di atas kecerdasan emosi dan nalar argumentatif berkembang menjadi kekuatan destruktif, berwujud anarkisme dan sejenisnya yang tak akan memberi dampak penyadaran dan transformasi nilai-nilai moral luhur Islam. Kesimpulan Berdasarkan paparan tentang fenomena fundamentalisme dan radikalisme, maka tergambar ideologi yang mereka bawa adalah baik, tetapi ironisnya dalam realitas radikalisme lebih menjurus kepada keberagamaan yang negatif dan penuh kekerasan. Padahal yang mereka inginkan adalah gerakan yang menginginkan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw, tetapi di sisi lain, perbuatan melawan ajaran Islam juga dilakukan. Terdapat ambiguitas, yaitu adanya penyimpangan makna radikal dalam beragama yang bersifat negatif. Karena pada dasarnya umat Islam hendaknya beragama secara positif, yaitu beragama yang membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Pada tataran nilai, Islam sejak awal mengajarkan kebaikan dan moralitas luhur, dan pada saat yang sama melarang segala perilaku jahat. Dalam Islam
100 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102
disebutkan, bahwa kehadirannya adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Namun kenyataan yang ada di sekeliling kita menunjukkan sikap dan perilaku sebagian umat Islam yang tidak mencerminkan rahmat lil ‘alamin, bahkan sebaliknya. Oleh karena itu, terkait dengan upaya deradikalisasi pemahaman alQur’an dan hadis, pendekatan agama nampaknya menjadi pendekatan yang paling tepat dibandingkan model pendekatan lain. Dengan menjadikan agama sebagai landasan, upaya deradikalisasi pemahaman sebagian kelompok Muslim berkaitan dengan konsep jihad, dar al-Harb, konsep kafir harbi dan kafir zimmi, diharapkan mampu memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah isu terorisme yang menyudutkan Islam. Islam adalah agama yang memiliki misi rahmatan lil ‘alamin yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap kelompok Muslim untuk bersikap toleran dan bertindak baik dalam menebarkan kedamaian kepada semua pihak di manapun dan kapan pun. DAFTAR PUSTAKA Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: dar al-Fikr, t.th). Anwar Syafi’i Muhammad, kata pengantar buku: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: Wahid Insitut, 2006). Azra Azyumardi, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996). Azra Azyumardi, Mereka mengambil Alih dalam Penegakan Hukum, dalam Khazanah Suplemen Republika, 1 Juni 2002. al-Makasary Ridwan, Mengkaji Fundamentalisme IslamSebagai Suatu Gerakan Sosial, dalam www.interseksi.org. E Shepard William, “Islam and Ideology: Towards Typology” dalam Internasional Journal of Middle Eastern Studies, No. 19, 1987. Bandingkan dengan Bruce Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against The Modern Age, New York: I.B. Tauris, 1990. Geertz Clifford, the Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960). Juergensmeyer Marx, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global kekerasan Agama, (Jakarta: Nizam Press & Anima Publishing, 2002). Kartono Kartini, Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004). L Esposito John., Islamic Threat: Myth or Reality, (Oxford: Oxford University Press, 1992).
Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi (M. Harfin Zuhdi)
101
M Echols John. dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1995). Marty Martin, dan Appleby Scott dikutip dalam Bassam Tibbi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000). Mâlik Ibn Anas, Al-Muwaththa’, Bâb An-Nahy ‘an al-Qaul bi al-Qadar, diedit oleh Sidqi Jamil Al-Aththar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1426 H/2005 M). Miswari Zuhari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Ciputat: LSIP, 2004)Rahman Fazlur, “Roots of Islamic neo-fundamentalism”, in PhilipH. Stoddard, et.al., (eds), change and the Muslim World, N.Y: Syracuse University Press, 1981. P Huntington Samuel., “Benturan Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, no. 5, 1993. S Ahmed Akbar., Postmodernisme and Islam:Predicement and Promise, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1993). S Burhanuddin Mamat., Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren: Analisis terhadap Tafsir Marah Labid karya KH. Nawawi Banten, (Yogyakarta: UII Press, 2006). Ya’qub Ali Mustafa, Radikalisme dan Metode Memahami Teks Agama (Makalah Seminar Nasional Islam dan Terorisme).