Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis: Ikhtiar Pengembangan Pendidikan Islam Muhammad Aminullah* Aminullah, Muhammad. “Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis: Ikhtiar Pengembangan Pendidikan Islam”, Fitrah Jurnal Studi Pendidikan, Vol. 5, No. 1 Juni 2014, h. 51-71.
Abstract: The emergence of various acts of radicalism and terrorism is generally
coming from the understanding of the text of Al-Qur‟an and Hadith. The process of textual understanding of Al-Qur‟an and Hadith leads to radical understanding of the A-Qur‟an and Hadith. De-radicalization of Al-Qur‟an and Hadith understanding is an approach in understanding al-Qur‟an and Hadith to straighten and stemming the radicalization of Al-Qur‟an and Hadith understanding. Islamic education is the door to stem and align the radical understanding of Al-Qur‟an and Hadith, as well as the effort to develop education.
Keywords: Deradicalisation, Al-Qur‟an, Hadith, Islamic Education Abstrak: Munculnya berbagai aksi radikalisme dan terorisme pada umumnya berawal dari pemahaman terhadap teks al-Qur‟an dan hadis. Proses pemahaman teks al-Qur‟an dan hadis yang tekstual mengakibatkan pemahaman yang radikal terhadap al-Qur‟an dan hadis. Deradikalisasi pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis adalah sebuah tawaran pendekatan dalam memahami al-Qur‟an dan hadis, sehingga dapat meluruskan dan membendung radikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Pendidikan Islam menjadi pintu masuk untuk membendung dan meluruskan pemahaman radikal terhadap al-Qur‟an dan hadis tersebut, sekaligus menjadi ikhtiar dalam pengembangan pendidikan. Kata kunci: Deradikalisasi, Al-Qur‟an, Hadis, Pendidikan Islam
*
Sekolah Tinggi Ilmu Quran Bima. Email:
[email protected]
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|51
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Semua umat Islam meyakini al-Qur‟an dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, syari‟at terakhir yang memberi petunjuk bagi hidup dan kehidupan manusia dari dunia hingga akhirat. Misi alQur‟an dan hadis adalah dakwah untuk mengajak manusia menuju jalan yang terbaik. Hal inilah yang menjadikan al-Qur‟an dan hadis enggan memilah-milah pesan-pesannya, agar timbul kesan bahwa satu pesan lebih penting dari pesan yang lain. Allah dan Nabi-Nya menghendaki agar pesan-pesan yang ada dalam al-Qur‟an dan hadis diterima secara utuh dan menyeluruh, sehingga terwujudnya Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam rangka memahami kandungan al-Qur‟an dan hadis yang mencakup berbagai macam aspek, memberi ruang yang luas bagi umat Islam untuk melakukan interpretasi. Sebagai pedoman hidup manusia, al-Qur‟an dan hadis memiliki karakteristik yang sangat fleksibel untuk ditafsirkan, dalam artian keduanya bisa dipahami dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Pemahaman terhadap alQur‟an dan hadis secara sistematis tidak pernah berhenti ataupun terputus, terus dan selalu berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam metode yang digunakan untuk memaknai dan memahami al-Qur‟an dan hadis. Berbagai metode interpretasi yang dirumuskan para mujtahid dalam berijtihad memburu pesan al-Qur‟an dan hadis kemudian melahirkan berbagai disiplin seperti „Ulum al-Qur‟an dan Hadis. Kedua disiplin ilmu tersebut dipahami sebagai suatu ilmu yang membahas tentang unsur-unsur yang berhubungan dengan al-Qur‟an dan hadis, yang tujuan utamanya adalah untuk memahami kalam Allah melalui penjelasan yang diberikan Rasulullah. Tanpa disadari proses interpretasi terhadap al-Qur‟an dan hadis terkadang tidak melihat dan memperhatikan unsur-unsur yang ada dalam kedua ilmu tersebut secara komperhensif. Karena itu, tidak jarang ditemukan mereka yang hanya memberikan penjelasan atas ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi dari segi internalnya (tekstual) saja dan tidak memperhatikan dari konteks eksternalnya (kontekstual), sehingga al52 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Qur‟an dan hadis terkesan normatif, kaku dan tidak dialogis dengan realitas dan bahkan jauh dari maksud teks, yang pada akhirnya akan melahirkan perilaku yang terkesan anarkis, tidak toleran dan cendrung destruktif. Melihat realitas yang terjadi, perlu adanya pemahaman yang benar (deradikalisasi) terhadap al-Qur‟an dan hadis melalui pemahaman metodologi yang komprehensif dalam memahami teks al-Qur‟an dan hadis dengan memperhatikan aspek „Ulum al-Qur‟an dan hadis. Hal mendasar yang harus dilakukan dalam rangka meluruskan pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis ini adalah melalui pendidikan Islam, mengingat pendidikan Islam adalah basis ilmu dan pengetahuan bagi masyarakat Islam. Upaya pemahaman yang benar terhadap al-Qur‟an dan hadis ini diharapkan dapat memberi arah baru dalam proses pengembangan pendidikan Islam. Melalui pendidikan Islam, setidaknya dapat memberikan kontribusi pemahaman bagi masyarakat Islam akan perlunya memahami al-Qur‟an dan hadis secara komperhensif, sehingga dapat mengahpus pemahaman alQur‟an dan hadis yang terkesan anarkis dan tidak bersahabat. Deradikalisasi: Tinjauan Etimologi dan Terminologi Secara etimologis deradikalisasi terbentuk dari akar kata radical yang diawali awalan de yang dalam bahasa inggris berarti melenyapkan, menghilangkan atau menghapus sesuatu. Kata radical sendiri dalam bahasa Inggris bisa bermakna: bertindak radikal dan juga bermakna sampai ke akar-akarnya.1 Kata radikal yang bermakna sampai keakar-akarnya, biasanya digunakan dalam diskursus filsafat, terutama dalam mendefinisikan kata filsafat itu sendiri. Tetapi makna kata radikal yang dimaksud dalam pembahasan ini mengacu pada makna bertindak radikal. Dengan demikian, deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya melenyapkan, menghilangkan atau menghapus tindakan radikal.2 1 John M.Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1995). 2 Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis,” dalam Jurnal Religia Vol.13, No. 1, April 2010),
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|53
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Berdasarkan tinjauan etimologis di atas, secara terminologis “Deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan Hadis”, dapat diartikan sebagi upaya menghapus pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis, khususnya ayat atau hadis yang berbicara tentang konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Dengan demikian, deradikalisasi merupakan upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman tentang al-Qur‟an dan hadis yang benar, dan bukan sebagi upaya untuk menyampaikan pemahaman baru tentang al-Qur‟an dan hadis dan bukan pula sebagai pendangkalan akidah. Penggunaan kata deradikalisasi dalam pembahasan ini seakan memunculkan pertanyaan besar, kenapa harus ada deradikalisasi? Perlu diperhatikan bahwa munculnya fenomena tindakan radikal yang dilakukan oleh sebagian dari kelompok umat Islam, semua itu berawal dari pemahaman yang kurang tepat (radikal) terhadap al-Qur‟an dan hadis, di antara sebabnya karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang „Ulum al-Qur‟an dan „Ulum alHadits. Bom bunuh diri misalnya, dimaknai sebagai ajaran jihad yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis dan secara pragmatis dipahami sebagai “perang suci” untuk melakukan dan penyerangan dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang tidak sepahaman dengannya. Sehingga menimbulkan stigma negatif terhadap agama Islam yang ramah, santun, dan penuh kedamaian, serta terhadap umat Islam secara keseluruhan. Memang terdapat sebagian teks al-Qur‟an maupun hadis yang berpotensi untuk disalahpahami oleh umat Islam, misalnya al-Qur‟an Surat at-Taubah ayat 5:
91.
54 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk berlaku kasih dan sayang terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yang ada di muka bumi ini adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak terdapat satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak radikal dan menyebarkan teror. Kalaupun kemudian agama Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme karena adanya ayat-ayat dan hadis tentang perang, maka yang harus dikoreksi atau dikritik bukanlah ayat al-Qur‟an atau hadisnya, tetapi pemahaman manusia yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis tersebut.3 Jika ayat di atas dipahami secara tekstual dan tidak memperhatikan asbab an-nuzul (latar belakang turunnya ayat), maka siapapun yang membaca ayat ini, tentu akan memiliki pandangan bahwa Islam mengajarkan pada umatnya untuk melakukan tindakan anarkis dan destruktif. Dalam hal ini lah dituntut pemahaman metodologi yang komprehensif dalam memahami teks al-Qur‟an dan hadis, karena pemahaman yang benar agar melahirkan tindakan yang benar sesuai dengan maksud dan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, perlunya meluruskan radikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis melalui “deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis”, sehingga melalui upaya deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis, misalnya terhadap konsep yang berkaitan dengan ayat-ayat dan hadis tentang perang, diharapkan mampu memberikan solusi bagi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah isu radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat Islam.
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Kompas-Gramedia, 2014), 6. 3
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|55
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis Otentisitas al-Qur‟an dan hadis sebagai sumber hukum sekaligus sebagai etika dan moral tidak pernah diragukan oleh setiap Muslim. Dari prinsip dasar dan keyakinan inilah lahir usaha-usaha untuk menggali dan memahami apa yang disampaikan oleh al-Qur‟an dan hadis. Maka al-Qur‟an yang dijadikan acuan pertama dan utama dalam penetapan hukum dipelajari, ditafsirkan, dan dikaji dengan serius begitu juga dengan hadis sebagai penjelas dari al-Qur‟an, sehingga nilai-nilai al-Qur‟an dan hadis terus relevan dengan perkembangan zaman. Untuk memahami substansi kitab suci al-Qur‟an, para mufassir telah merumuskan metode tafsir dalam upaya membumikan pesan Tuhan. Usaha yang sama juga dilakukan ulama hadis (muhadditsin) dengan dirumuskannya berbagai model pendekatan dalam kajian hadis dan dikarangnya sekian kitab „Ulum al-Hadits dan Syarah al-hadits sebagai upaya memahami dan menjaga otentisitas hadis Nabi saw. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua problematika penting, yaitu: pertama, metode pendekatan dalam upaya memahami nash al-Qur‟an, dan kedua, metode pendekatan dalam upaya memahami hadis Nabi, sebagai upaya menuju pendekatan kontekstual dan untuk menghindari radikalisasi pemahaman nas al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw.
Metode Memahami al-Qur’an Bagi kaum Muslimin, mu‟jizat terbesar Nabi Muhammad ini diyakini sebagai petunjuk untuk umat manusia (hudan li an-nas)4 hingga akhir zaman. Realitas ilmiahnya terbukti akurat, gaya bahasa, dan liriknya diakui indah, kisah masa lampau yang benar dan ramalan masa depan yang tepat, mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Apa saja yang termaktub dalam alQur‟an pada hakikatnya adalah ajaran yang harus dipegangi dan ditaati oleh umat Islam. 4
56 |
Lihat Q.S.al-Baqarah, [2]:185
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Untuk merealisasikan fungsi tersebut, seseorang tidak cukup hanya mampu membaca dan melagukan al-Qur‟an. Ia harus memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Dalam kontes inilah studi al-Qur‟an berperan dan diperlukan. Bagian ini tidak akan membahas berbgai macam model studi al-Qur‟an dan berbagai macam metode dan pendekatan dalam memahami al-Qur‟an (tafsir), namun lebih difokuskan pada metode tafsir yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli (w.1966), yaitu metode tafsir sastra. Metode ini dapat memberi jalan tengah, dari beragamnya metode dan pendekatan yang digunakan dalam studi al-Qur‟an. Dalam kitabnya Manahij Tajdid fi an-Nahwi wa al-Balaghah wa atTafsir wa al-Adab, al-Khuli mengedepankan dua prinsip metodologis, yang merupakan metode ideal dalam mengkaji teks sastra. Dua metode tersebut adalah:5 pertama, kajian terhadap segala sesuatu yang berada sekitar al-Qur‟an (dirasah ma hawl al-Qur‟an), kedua, kajian terhadap al-Qur‟an itu sendiri (dirasah fi al-Qur‟an nafsih). Kajian seputar al-Qur‟an (dirasah ma hawl al-Qur‟an) ini, terfokus pada pentingnya aspek-aspek historis, sosial, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke tujuh hijriah sebagai obyek langsung ketika al-Qur‟an diturunkan. Kajian ini diarahkan pada latar belakang kemunculan al-Qur‟an, mulai dari proses pewahyuan dalam rentang waktu, kemudian dikodifikasikan, dibaca, ditulis, dan berbicara untuk pertama kalinya kepada masyarakat Arab saat itu. Secara teknis kajian-kajian tersebut lebih dikenal dengan „Ulumul Qur‟an.6 Artinya seorang mufassir pada tahap ini harus melakukan identifikasi terlebih dahulu tentang bagaimana kehidupan manusia melakukan kearabannya saat itu, sebagai perangkat yang harus untuk memahami al-Qur‟an yang jelas kearabannya.
5 Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Adab Press, 2004), 64. 6 Ibid, 67.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|57
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Kemudian kajian yang selanjutnya dilakukan adalah kajian terhadap al-Qur‟an itu sendiri (dirasah ma fi al-Qur‟an nafsih). Dalam kajian ini di mulai dengan meneliti kosa kata al-Qur‟an dalam bentuk tunggalnya (mufradat), saat awal diwahyukan, perkembangannya, serta penggunaannya dalam al-Qur‟an, agar kata-kata tersebut dapat dipahami secara total. Pelacakan perkembangan mufradat tersebut diikuti kajian terhadap struktur kalimat dan frase-frase tertentu dengan perangkat ilmu bahasa Arab, agar mampu mengungkap keindahan struktur teks. Kemudian ditelusuri perkembangan makna kata dan pengaruhnya pada setiap generasi agar dapat dilihat pergeseran maknanya dalam berbagai generasi, serta pengaruh gejala psikologis, sosial, dan faktor-faktor peradaban umat terhadap pergeseran makna.7 Setelah melalui pertimbangan-pertimbangan itu, lalu menetapkan makna bahasa dari kata tersebut. Makna kata inilah yang diketahui untuk pertama kalinya ketika didengar oleh bangsa Arab berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Setelah mengakaji makna kata dari segi bahasa dan perkembangannya, dilanjutkan dengan kajian terhadap maknanya berdasarkan pemakaian dalam al-Qur‟an. Kata-kata yang ada di dalam al-Qur‟an diteliti untuk dipertimbangkan bagaimana pemakaiannya, apakah pemakaiannya bersifat menyeluruh, berlaku di berbagai masa turunnya al-Qur‟an dan di berbagai latar belakangnya yang berubahubah? Kalaupun tidak seperti itu, apa makna yang berbeda-beda tersebut terhadap pemakaiannya dalam al-Qur‟an. Dengan melalui proses ini, mufassir bisa menghasilkan penafsiran yang sesuai makna dalam ayat di mana kata tersebut berada.8 Secara garis besar usaha al-Khuli dalam mengembangkan metode sastra dalam tafsir ini, merupakan langkah untuk menjauhkan penfsiran dari subyektivitas mufassir. Langkah-langkah yang dilakukan tersebut bisa dihubungkan dengan perkembangan keilmuan modern, hermeneutika dan kajian semantik, kelihatannya bisa 7 8
58 |
Ibid, 71. Ibid, 75.
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
disandingkan dengan langkah-langkah dan metode al-Khuli dalam menafsirkan al-Qur‟an. Sumbangan paling berharga dari metode tafsir sastra al-Khuli ini, bisa dikatakan membawa sebuah prespektif baru dalam ilmu tafsir al-Qur‟an. Walaupun al-Khuli bukan orang pertama yang melakukan hal ini, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farra‟ dengan karya tafsirnya Ma‟anil Qur‟an, Abu Ubaidah, Al-Sijistani, dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh al-Khuli dengan metode tafsir sastranya tersebut, yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayan li Qur‟an Al-Karim. Gagasan alKhuli terus dikembangkan oleh para pengikutnya yang lain. Metode yang ditawarkan al-Khuli merupakan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kontemporer. Pola penafsiran yang ditawarkannya di satu sisi mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang „manusiawi‟ karena tidak hanya memperhatikan teks, tetapi juga memperhatikan keberadaan konteks yang melingkupi teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Sehingga makna yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan maksud teks tersebut, yang kemudian menjadikan al-Qur‟an benar-benar sebagai kitab petunjuk. Dengan kata lain, al-Khuli telah keluar dari tradisi penafsiran klasik, yang hanya melihat atau menafsirkan al-Qur‟an dari segi bahasa saja. Apa yang dilakukan oleh al-Khuli adalah bagaimana mengolah alQur‟an dengan hermeneutik. Hermeneutik pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah kepada analisis konteks, yang selanjutnya menarik makna yang didapat ke dalam situasi dan kondisi saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan.9 Dengan demikian, teks al-Qur‟an benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, kemudian dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur‟an, Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011), 15. 9
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|59
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Metode Memahami Hadis Dalam perkembangannya, setelah wafatnya Rasulullah Saw.sampai pada abad pertama dan kedua hijriah, hadis diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut melalui hafalan-hafalan. Sehingga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) upaya penulisan hadis secara resmi dilakukan. Sejak dari sini perkembangan ilmu hadis berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya karya-karya besar para ilmuwan tersebut setelah mereka menelaah ilmu hadis. Dalam memahami substansi hadis Nabi Saw. dan kepentingan penelitian hadis, para ulama hadis telah berhasil menyusun berbagai kaidah dan cabang kajian hadis, yang dikenal dengan „Ulum al-Hadits dan Syarah al-Hadits sebagai ikhtiar dalam memahami dan menjaga autentisitas hadis Nabi Saw. Penelitian hadis (kritik hadis)10 menjadi suatu keharusan, karena seluruh riwayat hadis dalam realitasnya tidak ditulis pada masa Nabi Saw. Selain itu, dalam proses periwayatannya tidak sedikit hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan hanya dengan mempertimbangkan faktor substansialnya saja (riwayah bil ma‟na), yaitu perawi hanya meriwayatkan hadis dengan menggunakan redaksinya sendiri. Hal ini memunculkan polemik di antara para sahabat, ada yang membolehkan, misalnya, Ali, Ibn Abbas, Ibn Mas‟ud, Anas bin Malik, Aisyah, dan lain-lain. Sahabat yang cendrung menolak antara lain; Umar bin Khattab, Ibn Umar, dan Zaid bin Arkam.11 Kondisi yang demikian ini menimbulkan celah kelemahan tertentu dan pada akhirnya konstruksi hadis tersebut harus diteliti lewat mekanisme kritik. Dalam mempelajari hadis Nabi Saw., seseorang harus mengetahui dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas hadis tersebut, yaitu sanad dan matan. Kedua unsur hadis tersebut begitu 10 Penelitian hadis mencakup; penelitian matan (naqdu al-matan) dikenal dengan istilah kritik interen, atau al-naqdu al-dakhili. Adapun untuk penelitian sanad, atau naqdu al-sanad, disebut dengan kritik eksteren, atau naqdu al-khariji. 11 Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikri, 1989), 127-128.
60 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
penting, karena antara yang satu dan yang lainnya saling berhubungan erat, sehingga apabila salah satunya tidak ada maka akan merusak dan berpengaruh terhadap eksistensi dan kualitas suatu hadis. Suatu berita yang tidak memiliki sanad, menurut ulama hadis tidak bisa di sebut sebagai hadis, dan kalupun disebut juga dengan hadis maka ia di nyatakan sebagai hadis palsu (mawdhu‟) demikian halnya juga dengan matan, sebagai materi atau kandungan yang dimuat oleh hadis, sangat menentukan keberadaan sanad, karena tidak akan dapat suatu sanad atau rangkaian para perawi di sebut sebagai hadis apabila tidak ada matan atau materi hadisnya. Dalam hal ini, sanad dan matan harus diteliti bersamaan untuk menetapkan kualitasnya, apakah shahih, hasan, atau dha‟if, karena keshahihan matan tidak sepenuhnya menjamin validitas sanad. Begitu juga sebaliknya, keshahihan sanad bukan menjadi jaminan validitas matan. Ada beberapa tahapan yang dapat digunakan dalam memahami hadis Nabi Saw.; Pertama, Memperhatikan kualitas sanad. Dapat dipahami bahwa sanad menjadi sangat urgen dalam mempelajari keberadaan sebuah hadis. Hal ini juga merujuk kepada apa yang diungkapkan Abdullah bin al-Mubarak:12 “Sanad menurutku termasuk bagian agama. Seandainya tidak ada sanad, maka setiap orang dapat berbicara sekehendaknya. Lalu apabila ditanyakan kepadanya „Siapakah yang meriwayatkan (hal itu) kepadamu?‟, maka ia akan tinggal diam”. Dari ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa sanad hadis menjadi sangat penting karena ia merupakan semacam timbangan atau neraca untuk menimbang bisa diterima atau tidaknya suatu hadis. Di mana jika terdapat salah satu sanadnya saja tidak memenuhi standar, misalnya salah satu sanad hadisnya diketahui dusta, maka hadis tersebut tidak termasuk dalam kategori hadis shahih sehingga tidak memungkinkannya dijadikan sebagai sandaran suatu hukum.
12
359.
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: Rosda Karya, 2012),
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|61
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Kualitas sanad terlebih dahulu harus diteliti sehingga kajian dalam memahami matan dapat dilakukan terhadap hadis yang sanadnya berkualitas shahih atau minimal kedha‟ifannya tidak parah. Jika kualitas sanad sebuah hadis dikategorikan sangat dha‟if, maka kajian terhadap matan tidak perlu dilakukan karena tidak akan bermanfaat bagi kehujjahan hadis tersebut.13 Kedua, setelah meneliti kualitas sanad hadis, maka tahapan berikutnya adalah mencermati susunan redaksional matan, meneliti dan memahami substansi hadis. Dalam hal ini ada beberapa tawaran pendekatan yang dikemukakan ulama hadis, di antaranya; a. Komparasi Matan yang Memiliki Kesamaan Substansi Munculnya hadis melalui riwayah bi al-ma‟na berimplikasi pada perbedaan redaksi matan hadis yang memiliki kesamaan arti. Para ulama hadis berpendapat, jika perbedaan redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan arti dan dipastikan sanadnya sama-sama shahih, maka hal tersebut dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian yang dilakukan adalah dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan substansi, sehingga dapat diketahui dari sekian matan hadis tersebut yang pantas dinisbatkan kepada Nabi Saw. Adapun metode yang digunakan oleh ulama hadis dalam mengkomparasikan matan hadis, sebagaimana dikatakan oleh Hasjim Abbas adalah sebuah upaya uji redaksional, yang berpola pada tiga hal: (1) upaya uji redaksional antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain; (2) uji redaksional antara riwayat dengan al-Qur‟an; (3) Uji redaksional antara riwayat dengan hadis mutawatir.14 b. Ilmu Gharib al-Hadits Dalam memahami hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw., para sahabat sebagai generasi pertama yang mendengar langsung dari Rasulullah Saw., tentunya tidak memilik kesulitan, Umar, Deradikalisasi …, 20. Hasjim Abbas, Kritik matan versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), 85-86. 13 14
62 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
khususnya dari segi bahasa. Rasulullah dapat menyesuaikan diri dengan para sahabatnya, walaupun mereka berasal dari berbagai macam kabilah yang memiliki dialek atau istilah yang berbeda dalam menyebut sesuatu. Setelah hadis sampai pada genarasi sekarang, apalagi hadis menjadi konsumsi orang yang bukan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibunya, yang pada akhirnya muncul kesulitan dalam memahami kata-kata yang dianggap asing (sukar) dalam hadis. Oleh sebab itu, melalui ilmu gharib al-hadis dapat diketahui kata-kata sukar dalam memahami hadis. Ilmu gharib al-hadis merupakan salah satu pendekatan yang harus digunakan dalam memahami matan hadis, mengingat tidak semua orang dapat memahami berbagai aspek dalam bahasa Arab. Melalui ilmu gharib al-hadis seseorang dapat menangkap pesan yang benar sesuai yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw., sehingga tidak membawanya pada pemahaman yang keliru. Untuk memudahkannya para ulama sekitar abad 3 H telah menulis tentang ilmu gharib al-hadis ini. c. Memahami Kalimat Sebuah hadis tidak dapat segara dipahami, setelah diketahui bahwa tidak terdapat kata-kata sukar didalamnya. Pendekatan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dalam memahami matan hadis adalah memahami maksud kalimatnya, apakah informasi itu masih berlaku, sebuah perintah berlaku umum atau khusus untuk kelompok tertentu, situasi tertentu, dan seterusnya, adalah sederetan pertanyaan yang mengantarkita memahami kalimat yang terkandung dalam hadis Nabi Saw. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami kalimat hadis; - Makna Haqiqi dan Majazi Dalam memahami kalimat suatu hadis harus benar-benar memperhatikan apakah kalimat tersebut mengandung makna kiasan atau tidak (haqiqi dan majazi). Hal ini sangat perlu dilakukan, mengingat tidak jarang makna suatu hadis terkesan
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|63
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
bertentangan dengan kenyataan, atau tidak masuk di akal hanya karena terdapat kata kiasan pada hadis tersebut. Untuk dapat memahami maksud kalimat kiasan dalam hadis yang menggunakan bahasa Arab ini, tentunya dituntut untuk mengetahui bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu-nya. Sehingga dalam memahami hadis tidak cepat mengambil sebuah kesimpulan, yang pada akhirnya tidak sesuai dengan maksud hadis tersebut. - Asbab al-Wurud Selain memperhatikan makna haqiqi dan majazi suatu hadis, hal yang terpenting juga adalah memperhatikan konteks historis munculnya suatu hadis (asbab al-wurud), untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami pesan hadis. Melalui pendekatan ini juga, suatu hadis yang mengandung makna kiasan dapat dipahami, karena dengan mengetahui konteks historisnya sehingga memberikan informasi tambahan dalam memahami hadis yang mengandung makna kiasan tersebut, selain pendekatan kebahasaan lainnya tetap menjadi pertimbangan dalam memahami hadis tersebut. Sabab al-wurud suatu hadis seringkali dimuat dalam hadis itu sendiri ketika periwayat menuturkan sebuah peristiwa secara utuh. Tetapi terkadang periwayat hanya mengutip potongan hadis tertentu karena ia hanya berkepentingan terhadap potongan hadis tersebut untuk dijadikan dalil dalam kasus tertentu pula. Dalam tradisi periwayatan hadis, sebuah matan diriwayatkan oleh perawi berulang-ulang karena di-riwayatkan melalui beberapa jalur. Semakin banyak jalur maka semakin terlihat bahwa materi hadis tersebut populer (mendekati mutawatir). Salah satu jalur yang dicantumkan sabab al-wurudnya (kalau memang ada), sementara jalur lain tidak disebutkan. Hal ini perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadis dapat ditemukan sabab al-wurudnya, seperti halnya tidak semua ayat al-Qur‟an dapat kita temukan sabab al-nuzul.15 15
64 |
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta:
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Memang tidak semua hadis memiliki sabab al-wurudnya, namun setidaknya melalui pendekatan ini, para peneliti hadis dan umat Islam pada umumnya dapat menjadikan pertimbangan dalam memahami sebuah hadis yang memiliki sabab al-wurudnya, selain mempertimbangkan unsur-unsur lainnya. De-ngan mempertimbangkan konteks munculnya sebuah hadis, akan memberikan pemahaman yang lebih terkait dengan maksud dari sebuah hadis, sehingga hadis tersebut bisa dipahami benarbenar sesuai dengan yang dikehendiki oleh Nabi Saw. Untuk memahami asbab al-wurud hadis, Imam as-Suyuti mengklasifikasikan asbab al-wurud hadis ini dalam tiga bagian, sebagai berikut:16 Pertama, asbab al-wurud hadis yang berupa ayat al-Qur‟an, yaitu kemunculan hadis disebab-kan turunnya ayatayat al-Qur‟an yang memiliki bentuk umum, tetapi yang dikehendaki ayat al-Qur‟an tersebut justru makna khusus. Kedua, asbab al-wurud hadis dalam bentuk hadis, yaitu kemunculan hadis disebabkan hadis lain yang maknanya sulit dipahami sahabat. Ketiga, asbab al-wurud hadis berupa respons terhadap sikap dan perilaku sahabat.17 Dari berbagai tahapan dan pendekatan yang telah dijelaskan di atas, diharapkan dapat memberikan rangsangan keilmuan bagi umat Islam, agar dalam memahami al-Qur‟an dan hadis tidak hanya melihat keduanya dari segi tekstualnya saja, tetapi masih ada unsur-unsur lain yang harus dijadikan pertimbangan, sehingga al-Qur‟an dan hadis tersebut benar-benar dipahami sesuai dengan maksudnya. De-ngan demikian umat Islam tidak lagi terjebak dalam radikalisasi pemahaman terhadap al-Qur‟an maupun hadis, dan pada akhirnya tidak lagi muncul gerakan-
LESFI, 2003), 63. 16 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Luma‟ fi Asbab Wurud Al-Hadits (Beirut: Dar AlKutub Al-Ilmiyyah, 1984), 18-29. 17 Contoh hadisnya dapat dilihat dalam Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Luma‟ fi Asbab Wurud Al-Hadis. Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|65
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
gerakan radikal yang berawal dari pemahaman yang tidak komprehensip terhadap al-Qur‟an dan hadis. Implikasi pada Praktik Pendidikan Islam Maraknya aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di dunia maupun Indonesia, pada dasarnya berawal dari pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis yang menjadi pedoman pokok ajaran Islam. Ajaran Jihad dalam Islam yang perintahnya termuat dalam al-Qur‟an dan hadis seringkali tidak dipahami secara benar, makna jihad dipahami oleh sebagian kelompok secara radikal, sehingga aplikasi jihad terkesan berlebihan dan tidak sesuai dengan konteks. Model pemahaman radikal terhadap al-Qur‟an dan hadis ini pada akhirnya akan menjadi pemahaman yang dianggap benar, jika tidak diluruskan sesuai dengan metode dan pendekatan yang benar. Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar benih pemahaman radikal dan sekaligus sebagai penangkal atau deradikalisasi pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis. Siswa/siswi SMA/MA menjadi target oleh kelompok-kelompok yang mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme. Momen dawrah, halaqah, dan mabit yang diadakan bagi para siswa atau siswi di satu sisi sangat positif dan membantu kerja guru agama untuk menanam akidah Islam. Namun di sisi lain, model Islam yang diajarkan cendrung mendorong peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain.18 Meskipun faktor munculnya pemahaman radikal terhadap alQur‟an dan hadis yang berakibat pada terorisme dan juga radikalisme Islam sangatlah kompleks, namun kehadiran fenomena tersebut di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi cermin pendidikan agama Islam di Indonesia khususnya. Harus diakui bahwa praktik pendidikan agama Islam yang disampaikan di sekolah-sekolah lebih bercorak eksklusivistik daripada inklusivistik. Artinya, pengajaran Abu Rokhmad, “Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, Walisongo, 20 (1) Mei 2012, 81. 18
66 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
pendidikan agama Islam lebih menonjolkan klaim kebenaran agama sendiri dan menganggap agamanya satu-satu jalan keselamatan, serta menganggap agama orang lain keliru dan tidak akan selamat.19 Doktrinasi klaim kebenaran agama sendiri dalam praktik pendidikan Islam, menjadi pintu masuk bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memasukkan paham radikal terhadap peserta didik. Dalam konteks ini, pendidikan agama Islam sebagai media pembelajaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola pemahaman yang tepat terhadap al-Qur‟an dan hadis, sehingga pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman agama yang benar. Hal ini penting sebab dengan tertanamnya pemahaman yang benar terhadap al-Qur‟an dan hadis, masyarakat tidak gampang terpengaruh dengan pemahaman radikal yang disampaikan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini semua harus dikembangkan pada level bagaimana membawa pendidikan agama Islam dalam paradigma deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Oleh karena itu, dengan menggunakan filsafat pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire yang menegaskan bahwa pendidikan harus difungsikan untuk pembebasan (liberation) dan bukan penguasaan (domination), maka pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia sehingga secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah realitas yang menindas dan sekaligus secara bersamaan dan terus menerus berusaha menumbuhkan kesadaran akan realitas dan keinginan untuk mengubah yang menindas tersebut.20 Dengan perspektif ini, maka kita mesti melakukan pembebasan terhadap pendidikan agama Islam yang selama ini dilakukan, dengan memberi warna baru melalui deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan 19 Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), 31 20 Paulo Freire, Deschooling Society (New Jersey: Penguin Books, 1986).
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|67
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
hadis. Dalam kondisi demikian, yang perlu dilakukan adalah melakukan reorientasi visi pendidikan Islam yang berbasis ekslusifmonolitis21 ke arah penguatan visi melalui deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Hal ini dilakukan karena kurangnya orientasi pembelajaran yang mene-kankan pada aspek metodologis pemahaman al-Qur‟an dan hadis yang benar dan tepat, yang pada gilirannya telah menumbuh-suburkan gerakan radikalisme agama. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa, sehingga mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, faktor kurikulum dan pendidik, perlu mendapat perhatian untuk mewujudkan gagasan tersebut. Bertolak dari faktor tersebut, maka dari faktor kurikulum, sejak dini peserta didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak hanya dengan materi pelajaran yang bersifat normatif yang tidak ada hubungan dengan konteks. Dalam hal ini, pelajaran yang bersinggungan dengan teks al-Qur‟an maupun hadis tidak disampaikan dari sisi tekstual saja, namun bagaimana memperhatikan konteks, melalui metode dan pendekatan yang benar dan tepat. Deradikalisai pemahaman al-Qur‟an dan hadis, bisa dijadikan sebagai model pembelajaran khusus untuk memahami teks al-Qur‟an dan hadis, yang terdapat dalam materi pendidikan agama Islam. Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dan pendidikan Islam yang akan di ajarkan, mengharuskan pada perpaduan secara dinamisdialektis antara teks dan konteks. Untuk itu pembelajaran yang kontekstual perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Misalnya, ayat-ayat yang sering disalahtafsirkan oleh kelompok radikal perlu dijadikan contoh untuk dibedah melalui pendekatan deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis, sehingga menghasilkan pemahaman al-Qur‟an dan hadis yang benar dan tepat sesuai dengan konteks kekinian.
Edi Susanto, Pendidikan Agama Berbasis Multikultural: Upaya Strategis Menghindari radikalisme, KARSA, IX (I) April 2006, 787. 21
68 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
Setelah aspek kurikulum, seorang pendidik yang memiliki pemahaman yang benar dan tepat terhadap al-Qur‟an dan hadis juga perlu ditekankan dalam proses pembelajaran agama di sekolah. Sabaik apa pun materi yang telah dirumuskan dan diprogramkan dalam kurikulum, jika tidak dipahami dan disampaikan pendidik yang kompeten, maka tidak akan berjalan maksimal. Oleh karena itu, penyiapan tenaga kependidikan agama, yang memiliki paradigma pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis yang benar perlu dilakukan. Dalam pendidikan Islam, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti komponen pendidikan lain tidak perlu diperhatikan. Namun, para pendidiklah yang menjadi avant grade terjadinya perubahan. Sebab, mereka selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini, berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.22 Berdasarkan pemikiran tersebut, guru memegang peran penting dalam mengimplementasikan pengetahuan tentang pemahaman keberagamaan melalui pemahaman al-Qur‟an dan hadis dengan benar dan tepat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keagamaan yang benar, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan pe-ngetahuan tersebut pada siswa di sekolah. Dalam hal ini guru mampu memberikan pemahaman yang baik terkait dengan al-Qur‟an dan hadis dan menjelaskan bahwa inti dari ajaran Islam adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Pada intinya, kurikulum pendidikan agama islam adalah kurikulum yang me-ngarah pada pengetahuan tentang pemahaman al-Qur‟an dan 22 Muqawim, “Epistemologi Pendidikan Islam dalam Konteks Masyarakat Majemuk”, Belajar dari Kisah Kearifan Sahabat: Ikhtiar Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pilar Media dan Yayasan TIFA, 2007), 33.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|69
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
hadis yang benar, melalui deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Begitu juga referensi yang digunakan di sekolah, sebaiknya buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang pemahaman keberagamaan yang baik dan benar. Penutup Dalam pandangan penulis, deradikalisasi pemaham al-Qur‟an dan hadis merupakan suatu keniscayaan, sebagai ikhtiar pengembangn pendidikan Islam, dalam rangka membendung dan meluruskan pemahaman radikal terhadap al-Qur‟an dan hadis yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam. Hal ini perlu menjadi kajian yang mendalam bagi para ahli dan praktisi pendidikan Islam dalam rangka membangun pemahaman yang benar terhadap al-Qur‟an dan hadis. Pendidikan agama yang diajarkan dilembaga pendidikan perlu dilakukan penyesuaian terkait deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Sebab munculnya radikalisme dan terorisme lebih disebabkan oleh minimnya pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis. Karena itu, tantangan dalam pendidikan tersebut harus direspons secara positif dan kreatif. Dalam hal ini, yang paling penting dilakukan adalah penguatan basis pendidikan Islam melalui deradikalisasi pemahaman al-Qur‟an dan hadis. Dengan demikian, aksi-aksi radikalisme dan terorisme bisa di bendung melalui proses pendidikan Islam, sehingga dengan pendidikan umat Islam akan menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan yang hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Daftar Pustaka Abbas, Hasjim. 2004. Kritik matan versi Muhaddisin dan Fuqaha. Yogyakarta: Teras. Ajjaj al-Khathib, Muhammad. 1987. Ushul al-Hadits „Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikri. al-Khuli, Amin dan Nashr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta: Adab Press.
70 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Muhammad Aminullah, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis…
as-Suyuthi, Jalaluddin. 1984. Al-Luma‟ fi Asbab Wurud Al-Hadits. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Baidhawi, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga. Faiz, Fahruddin. 2011. Hermeneutika al-Qur‟an, Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press. Freire, Paulo. 1986. Deschooling Society. New Jersey: Penguin Books. Harfin Zuhdi, Muhammad. 2010. Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadist, Jurnal Religia Vol.13, No. 1, April. „Itr, Nuruddin. 2012. „Ulumul Hadist, terj. Mujiyo. Bandung: Rosda Karya. M. Echols, John, dan Hasan Shadily. 1995. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia. Muqawim. 2007. “Epistemologi Pendidikan Islam dalam Konteks Masyarakat Majemuk”, Belajar dari Kisah Kearifan Sahabat: Ikhtiar Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pilar Media dan Yayasan TIFA. Rokhmad, Abu. 2012. “Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, dalam Walisongo, 20 (1) Mei. Umar, Nasaruddin. 2014. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadist. Jakarta: Kompas-Gramedia. Zuhri, Muh. 2003. Telaah Matan Hadist: Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: LESFI.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|71