i
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM STUDI METODE YȖSUF AL-QARDHÂWÎ
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh Acep Komarudin NIM: 1111034000088
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015 M
ii
iii
iv
ii
ABSTRAK Acep Komarudin Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non Muslim Studi Metode Yȗsuf al-Qardhâwî. Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi sekarang ini. Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status, dan autoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad Saw.) karena, imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku di kalangan orang-orang Muslim. Akan tetapi pesan-pesan hadis Nabi tersebut bisa saja keluar dari koridornya karena keliru dalam memahami teks-teks hadis tersebut. Perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti hadis untuk meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama. Larangan Nabi mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim dipahami dengan memperhatikan konteks historis, hubungan dan tujuannya, dimana orang-orang Yahudi mengucapkan al-sâm ‘alaikum bukan al-salâmu ‘alaikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu, kalaupun harus dijawab, dijawab dengan ‘alaikum (tanpa wa) yakni “terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau wa’alaikum (dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun demikian”. ‘Alaika salâm atau salam yang tidak disertai dengan wa (dan) menurut Nabi Saw., adalah salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi). Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka dengan menggunakan metode Yȗsuf al-Qardhâwî yaitu: Pertama, Fahm al-Sunnah fî Dau’i al-Qur’ân al-Karîm. Kedua, Al-Jam’u au al-Tarjîh baina Mukhtalif alHadîts. Ketiga, Fahm al-Hadîts fî Dau’i Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa Maqâsidihâ. Dengan ketiga metode ini penulis menemukan pemahaman yang mendalam terkait pesan dan tujuan hadis tersebut.
iii
KATA PENGANTAR
يم ْ ِب ِ الر ِح َّ من َّ ِس ِم هللا ِ ْالرح Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur saya ucapkan kepada Allah Swt. Sang Maha Hati, Sang Maha Segalanya, Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan cinta dan kasih-Nya, nikmat yang tidak pernah berujung, dan juga terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu bisa menengok ke atas melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat dan cobaan yang penuh dengan pelajaran, terima kasih atas segala pejaman dan ketertundukan dalam do’a yang telah membuat saya bangga bahagia hadir sebagai makhluk-Nya, dan juga memberikan kesempatan kepada saya sehingga terselesaikannya skripsi ini yang berjudul “Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non Muslim Studi Metode Yȗsuf Al-Qardhâwî” yang dipergunakan untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar S.Th.I. Terimakasih sembah sujud kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Atas segala perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud secara baik (walau masih banyak kekurangan) tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Maka perlu kiranya penulis menyampaikan rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama seluruh umat Muhammad di sisi Allah Swt nanti. Oleh karenanya, tanpa mengurangi rasa hormat serta sembahan terimakasih kepada orang-orang yang
iv
tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara khusus kepada: 1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum (Ketua Jurusan Tafsir Hadits), Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Sekjur Tafsir Hadits). 2. DR. M. Isa H.A. Salam, M.Ag selaku pembimbing skripsi yang telah banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasinya dalam prosesi penulisan skripsi ini. 3. Segenap dosen fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmunya kepada saya, sehingga saya mendapatkan setetes
air dari samudera ilmu
pengetahuan. 4. Ayah Ibu tercinta atas kasihmu, sayangmu, bimbinganmu, serta ketulusan segala upaya yang engkau berikan kepada saya. Kau tak pernah berhenti memberikan semua itu, kau pelita dalam setiap langkah saya, tanpa engkau aku tiada disini. Sembah hatur saya peruntukkan ucapan rasa syukur dan terima kasih kepadamu (Ayah Ibu) atas butiran kata dalam do’a do’amu sehingga penulis rasakan getaran do’anya dalam semangat. (Allâhumma irhamhumâ kamâ rabbayânî saghîrâ, wa-tawwil ‘umȗrahumâ fi tâ’atik). 5. Adik-adik tercinta yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan dalam morilnya, semoga kalian kelak menjadi manusia-manusia yang bermanfaat bagi manusia lain sukses dunia wal akhirah dan menyusul
v
ke jenjang perkuliahan, dunia dimana bisa menentukan pilihan kebebasan. Khususnya teruntuk almarhum adik Ikbal Maulana yang telah mendahului kami pergi ke alam keabadian dalam usia 20 tahun, Allâhummaghfirlahu warhamhu wa’âfihi wa’fu ‘anhu. 6. Keluarga saya Abah Nenek yang selalu memberikan do’anya, bibi-bibi dan mamang atas bantuannya baik dalam usaha orang tua maupun dalam apapun itu. Dan semua kerabat dekat maupun jauh semoga kalian diberikan kemudahan dalam segalanya. 7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 Tafsir Hadits khususnya kelas THc yang masih ada keberadaannya, keluarga besar IPPMK JADETABEK para senior dan teman sadulur saperjuangan, keluarga besar HMKI yang ada di kuningan, keluarga besar karang taruna babakan lor, dan para aktivis kampus yang telah mewarnai aktifitas saya dalam hari-harinya di kampus hijau biru dan BEMJ, serta keluarga besar asrama dershane khususnya cempaka satu yang akhirakhir ini penulis gunakan sebagai tempat strategis dalam menyusun skripsi. 8. Teman-teman penulis dimana pun berada, atas semua kebersamaan serta kebaikan, tidak ada sesuatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga, serta do’a semoga amal kebaikan kita semua dibalas dan diterima oleh Allah Swt,. Ȃmîn Ciputat, 22 Oktober 2015 Acep Komarudin
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN.....................................................................iii ABSTRAK.............................................................................................................iii KATA PENGANTAR..........................................................................................iv DAFTAR ISI........................................................................................................vii DAFTAR TABEL.................................................................................................ix PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 7 C. Metode Penelitian ........................................................................................ 9 1. Jenis dan sifat penelitian ....................................................................... 10 2. Metode pengunpulan data .................................................................... 10 3. Analisis data ........................................................................................... 11 D. Tinjauan Pustaka........................................................................................ 13 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 15 F. Tehnik Penulisan ........................................................................................ 16 G. Sistematika Pembahasan........................................................................... 16
BAB II YȖSUF AL-QARDHÂWÎ DAN METODE PEMAHAMAN A. Biografi Intelektual Yȗsuf Al-Qardhâwî ................................................ 19 1. Sumbangan Pemikiran Yȗsuf Al-Qardhâwî ...................................... 21 2. Karya Tulis Yȗsuf al-Qardhawî .......................................................... 22 3. Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw ............................................. 28 B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis .......................... 30 1. ( فهم السنة فى ضوء القرأن الكريمMemahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur’ân al-Karîm) .................................................. 31 2. ( جمع األحاديث الواردة فى الموضوع الواحدMengumpulkan Hadis-Hadis dalam Satu Objek) ..................................................................................... 35 3. ( الجمع أو الترجيح بين مختلف الحديثMemadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif)............................................................... 37 4. ( فهم األحاديث فى ضوء أسبابها ومالبساتها و مقاصدهاMemahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya) ...................................................................................................................... 40
vii
5. ( التمييز بين الوسيلة المتغيرة و الهدف الثابت للحديثMembedakan Antara Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis) .................. 42 6. ( التفريق بين الحقيقة و المجاز فى فهم الحديثMembedakan Antara Hakekat dan Majas dalam Memahami Hadis)....................................................... 43 7. ( التفريق بين الغيب و الشهادةMembedakan Antara yang Gaib dengan yang Nyata)................................................................................................. 44 8. ( التأكد من مدلوالت ألفاظ الحديثMengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata Hadis) .......................................................................................................... 45
BAB III HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON-MUSLIM A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim ................................................................................................ 47 1. Takhrij Hadis.......................................................................................... 48 2. Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim ................................................................... 52 B. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim................................................ 56 C. Interaksi Nabi Dengan non-Muslim Dalam Kerukunan ....................... 63
BAB IV KAJIAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM A. Memahami al-Sunnah Dengan Berpedoman Pada al-Qur’ân al-Karîm (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) ... 69 B. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) ... 78 C. Memahami Hadis Dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) ............................................................................... 81
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................. 86 B. Saran ............................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 89 LAMPIRAN ......................................................................................................... 94
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
ا
1
Keterangan Tidak dilambangkan
ب
B
be
ت
T
te
ث
Ts
te dan es
ج
J
Je
ح
H
h dengan garis bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
da
ذ
Dz
De dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis bawah
ض
D
de dengan garis bawah
ط
T
te dengan garis bawah
ظ
Z
zet dengan garis bawah
ع
،
غ
Gh
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan ge dan ha
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik Program Strata 1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013, h. 381 - 383
ix
ف
F
Ef
ق
Q
Ki
ك
K
Ka
ل
L
El
م
M
Em
ن
N
En
و
W
We
ه
H
Ha
ء
’
Apostrof
ي
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fatẖah
َِ
i
kasrah
َ
u
ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ _ي
ai
a dan i
___و
au
a dan u
x
Vokal Panjang (Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
أ
â
a dengan topi di atas
ئي
î
i dengan topi di atas
و-
ȗ
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu الdialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( َ͟ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, الض ُّررةtidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
xi
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No
Kata Arab
Alih aksara
1
طريقة
tarîqah
2
الجامعة اإلسالمية
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3
وحدة الوجود
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû H̲âmid al-Ghazâlî bukan Abû H̲âmid AlGhazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juuga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
xii
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nȗr al-Dîn al-Rânîrî. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimatkalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab
Alih Aksara
ذهب األستاذ
dzahaba al-ustâdzu
ثبت األجر
tsabata al-ajru
الحركة العصريَّة
al-harakah al-‘asriyyah
أشهد أن الإِله إالّهللا
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
موالنام ِلك الصا ِلح
Maulânâ Malik al-Sâlih
يؤثّركم هللا
yu’atsirukum Allâh
المظا ِهر العقليَّة
al-mazâhir al-‘aqliyyah
الضَّرورة تبيح المحظرات
al-darȗrat tubîhu al-mahzȗrât
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia, karena itu kerukunan dan toleransi antara umat beragama bukan sekedar hidup berdampingan yang pasif saja, akan tetapi lebih dari itu; untuk berbuat baik dan berlaku adil antara satu sama lain. Bagi umat Islam dan agama lainnya seyogianya perbedaan agama jangan sampai menghalangi untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap manusia tanpa diskriminasi agama dan kepercayaan.1 Selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih “demi mencapai rida Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Mahakuasa.”2 Dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya, dan ia merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan Islam. al-Sunnah al-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implementasi praktis terhadap al-Qur‟an.3
1
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih hubungan antar agama, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 16 2 Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h. 39-40. 3 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar terj. Saifullah Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148
1
2
Oleh karena itu imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku di kalangan orang-orang muslim, menjadi dasar bagi hukum Islam dan menjadi standar bahkan bagi kebanyakan aktivitas keduniaan. Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk yang berbeda dalam tataran prakteknya; pertama skipturalistik yang lebih berorientasi pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat subtansialistik yang berorientasi pada makna dan isi atau konteks.4 Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti al-Qur‟an dan hadis untuk meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama. Seperti dalam memahami hadis tentang larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim :
ٍِ َّ أ،َ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة، َع ْن أَبِ ِيو، َع ْن ُس َه ْي ٍل،ي ول َ َن َر ُس َّ َّر َاوْرِد َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد ال َْع ِزي ِز يَ ْع ِِن الد،َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد ِ ِ ،َح َد ُى ْم ِف طَ ِر ٍيق َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َّص َارى ِِب َ « ََل تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه:ال َ ود َوََل الن َ هللا َ فَِإذَا لَقيتُ ْم أ،لس ََلِم 5 ِِ »ضيَقو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ فَا “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim)
4
Djamhari Ma‟ruf, Iradikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesat? Dalam Bahtiar Effendi dan Soe Trisno Hadi(ed.), Agama dan Radikalisme (East Lansing: Nuqtah, 2007), h. 45 5 Imam Muslim, Sahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707
3
َِّ أَ ْخب رََن عب ي ُد،شيم ِكر ٍِ ٍ َاَّلل بْ ُن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن أَن ض َي ْ َُ َ َ ٌ ْ َ َحدَّثَنَا ُى،ََحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َش ْي بَة َ س بْ ُن َمال ُ َ َحدَّثَنَا أَن،س 6 ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أ َْىل:َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ِ َالكت َّ َوعَلَْي ُك ْم:اب فَ ُقولُوا َ َ ق:ال َ َ ق،ُاَّللُ َعنْو َ ُّ ِال الن َ ََ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ “Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami „Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî) Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik secara harfiyah dapat dipahami sebagai larangan bagi seorang muslim untuk mengucapkan salam kepada nonMuslim. Akan tetapi makna yang secara harfiyah ini tidak serta merta dapat dijadikan sebagai makna tunggal karena akan terlihat bertentangan dengan sikap dasar agama Islam yang di gambarkan di dalam al-Qur‟an.
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).7 Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisā‟ [4] ayat 86)
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku 6
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 75 7
Penghormatan dalam islam ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu `alaikum.
4
adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (alMumtahanah [60]: 8) Kedua ayat di atas setidaknya memberi penjelasan betapa indahnya Islam dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, untuk memahami makna subtansi dari hadis ini, perlu memperhatikan apa yang menjadi penyebab terlarangnya muslim mengucapkan salam terhadap non-Muslim.
Salah seorang ulama yang secara tegas melarang mengucapkan salam kepada non Muslim adalah Sayyid Quthb (1906-1966). Menurutnya, salam tidak layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan penghormatan (tahîyah) kepada sesama Muslim, salam juga merupakan budaya Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.8 Berdasarakan pada al-Qur‟an surat al-Nisâ‟ ayat 86 Ibnu Katsîr (13011372 M) memiliki pandangan yang hampir sama. Menurutnya, tidak boleh bagi seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun, Jawaban
salamnya
cukup
dengan
kalimat
yang
sepadan
(bi
mitslihâ/mutamâtsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadis shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Anas bin Mâlik r.a, yakni kalimat wa „alaikum.9 Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syekh 8
Sayyid Quth, Fî Dzilâl al-Qur‟an,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th., jild. 2, juz 5, h.
471 9
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 762
5
Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-Tâj”, umat Islam dianjurkan menjawab salam dengan kalimat wa„alaikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim. Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86 menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat salam.10 Dalam syarah kitab Riyad al-Sâlihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa al-Salâm mempunyai makna al-du‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari segala sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan. Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salâm maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat. Dalam pendekatan lain, kata “al-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika asSalâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok
10
Syekh Mansur „Ali Nasif, al-Taj al-Jam‟u Li Usul fi al-Hadits al-Rasul, penerjemah Bahrun Abu Bakar (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996 M-1381 H), h. 249
6
ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.11 Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.12 Dalam buku Kaifa Nata‟âmal Ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‟âlim wa Dhawâbith, menurut Yȗsuf al-Qardhâwî, setiap orang yang berinteraksi dengan sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan agama harus berpegang kepada 8 prinsip dasar metode dalam memahami hadis Nabi, yaitu: 1. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur‟ân al-Karîm, 2. menghimpun hadis-hadis yang setema, 3. Kompromi atau tarjih terhadap hadishadis yang kontradiktif, 4. Memahami hadis dengan memperhatikan konteks historis, hubungan dan tujuannya, 5. Membedakan antara sarana yang berubahubah dan tujuan yang tetap, 6. Membedakan antara yang hakekat dan ungkapan, 7.
92.
11
Jurnal pendidikan agama islam – Ta‟lim Vol. 9 No. 1 – 2011
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), h.
7
Membedakan antara yang gaib dan yang nyata, 8. Memastikan makna kata-kata dalam hadis13 Dari 8 prinsip dasar ini penulis hanya mengambil 3 metode saja, yaitu: 1. Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm 2. Memadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3. Memahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya. Dengan alasan bahwa ketiga metode ini lebih relevan untuk dipakai sebagai bahan kerangka dalam mengambil pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim. Tulisan ini juga sama sekali tidak mempunyai pretensi untuk „mengeluarkan‟ masalah tersebut dari wilayah khilâfiyah. Tapi, setidak-tidaknya, penulis dapat mengungkapkan bahwa pendapat ulama tentang salam yang berkembang di masyarakat bukan satu-satunya, tetapi ternyata ada pendapat lain yang berbeda yang juga berpijak pada teks al-Qur‟ân dan al-Ḥadîth yang disertai dengan argumentasi yang tidak bisa dipandang lemah. Dengan tulisan skripsi ini, diharapkan bagi para pembaca ataupun bagi penulis sendiri memiliki pemahaman yang luas tentang hukum salam terhadap non-Muslim berikut implikasi sosialnya. B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah a. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menemukan banyak akar permasalahan yang timbul dalam pemahaman penulis dan perlu adanya penelusuran lebih lanjut berkaitan dengan hadis larangan mengucapkan dan
13
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
8
menjawab salam terhadap non-Muslim yang telah disabdakan oleh Rasulullah yang jika dipahami secara tekstualis seolah kontradiktif, diantaranya : 1. Hadis ini menunjukan intoleransi Islam atas agama lain bahkan membatasi interaksi sosial umat Islam jika dipahami secara tekstualis. 2. Adanya kesalahan dalam memahami hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang mengucapkan atau menjawab kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka yaitu dengan mendesak siapapun diantara mereka ke pinggir jalan. 3. Perlunya pemahaman ulang terhadap hadis-hadis yang melarang Muslim mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim melalui metode pemahaman hadis yang lebih objektif dan komprehensif. b. Pembatasan Masalah Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadishadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al-Kutub al-Tis‟ah dan fokus yang akan dibahas dalam kajian ini ialah memahami kembali hadishadis yang menyatakan larangan mengucapkan dan menjawab salam teradap nonMuslim yang penulis anggap kontradiktif dengan menggunakan tiga metode Yȗsuf al-Qardhâwî 1. Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm 2. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3. Memahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya..
9
c. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim dengan menggunakan tiga teori Yȗsuf alQardhâwî ? 2. Bagaimana penerapan hadis tersebut dalam konteks kehidupan umat sekarang ? C. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dari sebuah penelitian sehingga metode penelitian tidak bisa dipisahkan dari sebuah penelitian. Bahkan metode penelitian akan membentuk karakteristik keilmiahan dari penelitian, karena eksistensi metode dalam sebuah penelitian ini berfungsi sebagai jalan bagaimana penelitian ini diselesaikan. Terkait dengan metode penelitian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan: 1. Jenis dan sifat penelitian Ditinjau dari obyeknya, penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang berorientasi pada datadata kepustakaan, yang dalam hal ini terutama pada kitab hadis yang sembilan
(al-Kutub
al-Tis‟ah).
Selain
itu
karena
penelitian
ini
menggunakan pendekatan metode pemahaman Yȗsuf Qardhâwî maka semua karya yang berhubungan dengan teori ini dianggap penting serta karya-karya lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
10
Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak menggunakan mekanisme statistik dan sistematik dan matematis dalam pengolahan data. Data diuraikan dan dianalisis dengan memahami dan menjelaskan. 2. Metode pengunpulan data Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.14 Sedangkan data ialah semua keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian harus relevan dengan pokok permasalahan. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperlukan suatu metode yang efektif dan efesien. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan jalan dokumentasi terhadap buku-buku atau kitab-kitab serta kajian yang masih ada kaitannya dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini sumber data dibagi atas dua kategori: primer dan skunder. Sumber data primernya adalah kitab-kitab hadis yaitu sembilan kitab induk dan bulughul maram. Pemilihan terhadap sembilan kitab induk ini didasarkan pada kehujjahan kitab dan dianggap cukup untuk mewakili kitab-kitab hadis lainnya. Selain itu penulis merujuk pada buku Yȗsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata‟aamal ma‟a al-sunnah al-nabawiyah, ma‟alim wa dhawabith, terj. Drs. H. Saifullah Kamalie, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar, serta karya-karya
14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.174
11
yang berhubungan dengan teori fungsi interpretasi Yȗsuf al-Qardhâwî. Sedangkan sumber data sekundernya ialah semua karya baik berbentuk buku, jurnal dan lainnya yang dapat mendukung argumen penelitian ini. 3. Analisis data Penelitian ini mengkaji sebuah teks hadis dengan pendekatan pemikiran tokoh yang dikenal dengan metode pemahaman Yȗsuf alQardhâwî. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh dari penelitian pustaka adalah dengan deskriptif analitis. Deskriptif analisis ialah penelitian yang menuturkan, menganalisis, serta mengklarifikasikan yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.15 Analisis ialah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.16 Dengan metode ini diharapkan nantinya akan memperoleh pemahaman yang tepat terhadap data-data yang telah diperoleh. Maka dalam penelitian ini yang dimaksud deskriptif analisis adalah memberikan gambaran secara sistematis dan akurat mengenai pemaknaan hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim dengan pendekatan metode pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî, diantaranya sebagai berikut:
15
Winano Surahmad, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode tehnik (Bandung: Tarsito, 1994), h. 45 16
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.358
12
ALUR TAHAPAN REKONSTRUKSI PEMAHAMAN HADIS NABI
HADIS (sebagai teladan ideal Nabi) Melalui Rekonstruksi TEKS-TEKS HADIS
REALITAS
Menghasilkan
PENELITIAN HADIS (METODE TAKHRIJ)
Memecahkan
Tidak Orisinal Orisinal : (dengan metode Yȗsuf al-Qardhâwî)
Tidak dipakai 1. فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرمي
Produk Pemahaman
(Memahami as-Sunnah
dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm) 2. ( اجلمع أو الرتجيح بني خمتلف احلديثMemadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif) 3. ( فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا ومَلبساهتا و مقاصدىاMemahami Hadis
dengan
Memperhatikan
Hubungan dan Tujuannya
Konteks
Historis,
13
D. Tinjauan Pustaka Telaah atau kajian pustaka dalam sebuah penelitian merupakan hal yang sangat urgen karena kajian pustaka ini akan menunjukan dan membuktikan orisinalitas sebuah karya yang tujuannya untuk menghindari plagiasi karya orang lain. Dalam penelitian ini ada dua aspek yang menjadi perhatian dalam kajian pustaka, pertama berkaitan dengan metode fungsi interpretasi Yusuf Qardhawi dan kedua hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non muslim yang menjadi objek dari penelitian ini. Hadis larangan mengucapkan salam terhadap non muslim ini sejauh penulusuran penulis ternyata udah ada karya skripsi dan jurnal yang telah menelitinya, pertama, skripsi Ai Popon Fatimah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berjudul: Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis. Oleh karena itu perlu pembacaan secara jelas agar terhindar dari pengulangan penelitian. Ai Popon Fatimah dalam skripsinya “Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis” menggunakan metode tematik (maudhu‟i). Pokok masalah dalam sekripsi ini adalah apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap non-Muslim, bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim, dan bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Bagaimana hadis mengatur tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal memulai atau menjawab salam secara langsung ataupun melalui surat”. Dan kesimpulannya adalah bahwa jawaban salam atas orang-orang non-Muslim sesuai dengan hadis yaitu “wa‟alaikum” atau “wa‟alaika”. Serta hadis membolehkan
14
membalas surat dari non-Muslim yang disertakan salam. Secara kontekstual hadis tersebut datang ketika sedang terjadi permusuhan antara muslim dan non muslim. Kedua, skripsi Said Mujahid “hadis larangan mengucapkan salam terhadap nonmuslim ditinjau studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Skripsi ini lebih memfokuskan ke dalam teori Jorge J.E Gracia yaitu dengan membagi fungsi interpretasi menjadi tiga aspek. Pertama, fungsi historis (historical function). Kedua, fungsi perkembangan makna (meaning function). Ketiga, fungsi implikatif (implikatif function). Dengan tiga fungsi interpretasi yang ditawarkan Gracia ini mendeskripsikan mulai dari pemaknaan salam, konteks dimana teks larangan tentang mengucapkan salam terhadap non-Muslim dan perkembangan makna yang diakibatkan perbedaan tempat dan kebudayaan serta implikasinya. Keseluruhan ini merupakan bahasan pokok dalam skripsinya.17 Ketiga, Jurnal Johar Arifin, hadis-hadis Nabi dalam berinteraksi dengan non-Muslim “Muharibun”, jurnal Ushuluddin vol. XVII No. 1, januari 2011. Dalam jurnalnya hadis-hadis aplikatif dalam penataan konsep berinteraksi dengan non Muslim difokuskan pada kelompok muharibun.18
Jurnal ini membahas
tentang berinteraksi dengan non Muslim Muharibun, pandangan Islam terhadap
17
Said Mujahid, Hadits larangan mengucapkan salam terhadap non muslim (Studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia),( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014). 18
Berasal dari kata “haraba-yuharibu-muharabah-muharib”, al-Harbu berarti musuh, contohnya “Fulan harab Fulan” bermakna Fulan itu memusuhinya. Secara terminologi menurut ulama fiqh: orang yang memusuhi atau memerangi kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung.
15
peperangan, dan sikap Rasulullah Saw., dalam berinteraksi dengan kelompok muharibun.19 Keempat, Buku Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 66-78 dalam bab dua dengan judul besarnya, Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam, dan dalam judul kecilnya, Mengucapkan Salam kepada non-Muslim. Dalam buku ini mereka menjelaskan bahwa fatwa larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim tidak disetujui oleh semua ulama. Dan penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim harus berdasarkan pada kemaslahatan dan hikmah. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam hadis tersebut tidak hanya pada ranah harfiah saja melainkan menggali makna subtansinya. Lebih jelasnya untuk mengungkapkan pesan yang akan disampaikan hadis tersebut dengan ditinjau melalui prinsip metode Yȗsuf al-Qardhâwî. 2. Membantu memberikan kontribusi serta pemahaman dalam konteks dunia sosial sekarang ini.
19
Johar Arifin, Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non Muslim “Muharibun”, Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 1, Januari 2011.
16
3. Dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya dalam menambah wacana ilmu pengetahuan di bidang hadis larangan mengucapkan salam terhadap non Muslim dengan tinjauan teori Yȗsuf alQardhâwî. 2. Dengan penelitian ini diharapkan pula bisa menjadikan pemahaman terhadap konsep teori Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami hadis Nabi. F. Tehnik Penulisan Adapun tehnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman akademik program strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013, dan buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) cetakan ke-1 (Ciputat: Center for quality development and assurance UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 Januari 2007), dalam bentuk pdf. G. Sistematika Pembahasan Dalam penelitian ini diperlukan sistematika pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan dalam mengolah data. Disamping itu, sistematika pembahasan juga berfungsi untuk mengatur kedisiplinan dalam sebuah penelitian agar penelitian dapat diselesaikan dengan baik dan teratur.
17
BAB Pertama, brupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah penulisan skripsi, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah yang diangkat, serta metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian ini. Selain itu, di bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan sistematika pembahasan. BAB Kedua, berupa biografi intelektual Yȗsuf al-Qardhâwî, sumbangan pemikirannya dan metode pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami hadis Nabi; Memahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟an al-Karim, Mengumpulkan hadis-hadis dalam satu objek, Memadukan atau mentarjih antara hadis-hadis yang kontradiktif, Memahami hadis berpedoman pada sebab-sebab, hubungan dan tujuannya. BAB Ketiga, berupa hadis-hadis tentang mengucapkan salam terhadap non-Muslim, teks hadis, Takhrij Hadis, Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim, Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim, dan interaksi Nabi dengan non-Muslim dalam kerukunan. BAB Keempat, berupa penerapan pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî; Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim), Memadukan atau mentarjih antara hadis-hadis yang kontradiktif (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim), Memahami hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim).
18
BAB Kelima, berupa penutup, yang meliputi; Kesimpulan, yang berisi jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan saran, berisi saran-saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang ditulis.
BAB II YȖSUF AL-QARDHÂWÎ DAN METODE PEMAHAMAN A. Biografi Intelektual Yȗsuf Al-Qardhâwî Perubahan di Dunia Islam dewasa ini secara keseluruhan berpengaruh dan mendorong kepada perubahan-perubahan di kalangan umat Islam Indonesia. Perkenalan, pengenalan, dan penyerapan pikiran-pikiran pembaruan, pemurnian, dan reorientasi pemikiran Islam di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi oleh adanya teknik pencetakan buku dan terbitan berkala, media komunikasi dan transportasi tentu akan, dan memang sedang dan sudah berpengaruh kepada keadaan umat Islam Indonesia.1 Dalam hal ini agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat. Tak ada yang menandingi kekuatan agama, karenanya, ia merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi kehidupan manusia.2 Seorang pemikir, sarjana dan intelek kontemporer abad 20 (tahun 90-an sampai sekarang) Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di seluruh dunia khususnya di Indonesia. Beliau adalah Yȗsuf bin „Abd Allâh bin „Alî bin Yȗsuf al-Qardhâwî.3 Dilahirkan pada tanggal 09 september 1926 di desa Shaft At- Turâb terletak antara kota Thanta (Ibu kota provinsi Al Gharbiyah), dan kota Al-Mahallah Al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di provinsi Al-Gharbiyyah. Ia berjarak sekitar 21 kilo meter dari Thantha 1
Budi Munawar Rachaman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 1 2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer. Penerjemah As‟ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 51 3 Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: n lh ll mih h h penerjemah: Cecep Taufikurrahman, dan Nandang Burhanuddin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 103 19
20
dan 9 kilo meter dari Al-Mahallah. Desa tersebut adalah tempat dimakamnya salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Abdullah bin Harist RA.4 Kata “al-Qardhâwî” dinisbahkan kepadanya karena kakek Qardhâwî, „Ali, berasal ari desa al-Qardhah yang pindah ke Shafth Turab.5 Qardhâwî tumbuh di keluarga petani dan lingkungan yang agamis dari sudut pandang tradisional. Ciri tradisional-agamis masyarakat Shafth Turab terlihat dari ramainya aspek-aspek formal tradisi keagamaan yang dilakukan, seperti keterikatan masyarakat pada ma hab al-Sy fi‟ dan Hanaf dalam pelaksanaan ibadah keterikatan kepada tarekat Sy d iliyyah,
yȗmiyyah dan Kh liliyyah serta kepada Ihy ‟ „Ulȗm al-
n, karya Abȗ H mid al-Ghazâlî, yang diakui Qardhâwî cukup berpengaruh pada pemikirannya, dalam bertasawuf. Masyarakat Shaft Turab juga melakukan berbagai tradisi yang umumnya ada pada masyarakat tradisional, seperti perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw., perayaan Isra‟ Mi‟raj, peringatan malam Nisfu Sya‟ban, bahkan perayaan hari lahir
l
syaikh-syaikh tarekat, yang
dikemudian hari tradisi-tradisi itu menjadi sasaran kritik pemikiran Qardhâwî.6 Ayahnya meninggal dunia ketika Qardhâwî masih berumur dua tahun dan bondanya ketika berumur 15 tahun sudah pasti memberikan kesan yang mendalam kepada dirinya (Al-Qaradawi, 2010a; 2010b), dan ia bersama pamannya, bernama A mad, A mad mengantarkan Qardhâwî ke surau tempat mengaji (kuttâb) ketika
4
Yusuf Al-Qaradhawi, Huda Al- l m F ‟ hi alih bahasa Abdurrahman Ali Bauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-III, h. 45 5 Karena keturunan orang al-Qardhah inilah maka sebagian orang di mesir dan Timur Tengah memanggilnya dengan sebutan al- Qardh w (tanpa “a” setelah huruf “r”). uku-bukunya yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan nama Qardhâwî, baru belakangan inilah ia dikenalkan dan ditulis dengan Qaradh w (dengan “ra” yang dibaca fat ah). penulis menggunakan kata Qardhâwî, dengan alasan lebih sesuai dengan asal pembentukan katanya (wazan). 6 Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf alQardhawi: Analisis strukturalisme- emio ik k if N ‟ m l m ‟ l-Sunnah alNabawiyyah, (Tesis: 2007), h. 26-27
21
Qardhâwî masih berumur lima tahun. Beliau tidak menikmati kehidupan yang mewah. Suasana keluarganya bersama-sama bapa saudaranya yang mendidik beliau dengan didikan agama termasuk biah kampungnya yang mementingkan ilmu dan amalan agama berjaya membentuk peribadi dan aspirasi Islam dalam diri beliau.7 alam perjanan kehidupannya, Yȗsuf al-Qardhâwî pernah mengenyam “pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatanya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun. Yȗsuf al-Qardhâwî terkenal dengan khutbahkhutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang menjadi khatib di sebuah mesjid di daerah Zamalik. Alasannya, karena khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu. (1)
m
ng n Pemiki n Yȗ f Al-Qardhâwî
Fazlur Rahman seorang pemikir yang mempelopori gagasan pembaharuan neomodernisme Islam, berpandangan bahawa seorang pemikir hebat ialah mereka yang mempunyai ciri-ciri berikut: (a) Menemukan suatu gagasan utama atau prinsip dasar yang utama yang mengandung segala realita, lalu dia mentafsirkannya dengan jelas dan menjadikannya sesuatu yang baru dan penting; (b) Gagasan pokok itu seterusnya mampu merubah perspektif kita dalam berinteraksi dengan realita tersebut; dan (c) Mampu mengemukakan suatu
7
Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts Vol 3 Issue 1 (Juni 2013): h. 53.
22
penyelesaian yang baru dan jitu terhadap segala permasalahan yang setelah lama mengganggu fikiran manusia (Rahman, 1975). Berdasarkan kepada ciri-ciri pemikir hebat oleh Fazlur Rahman, Yȗsuf Al-Qardhâwî telah memenuhi setiap kriteria tersebut. Beliau bukan saja mengenal pasti prinsip dasar dengan segala realiti bahkan telah mentafsirkan, memperjelaskan dan menerangkannya dalam bentuk yang lebih segar untuk manfaat semua.8 Pemikiran Yȗsuf al-Qardhâwî mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di seluruh dunia. Pemikiran yang dinamik dan bersesuaian dengan keadaan dan suasana semasa menjadikan beliau sering menjadi rujukan dan panduan oleh umat Islam. Di antara sumbangan besar Yȗsuf al-Qardhâwî ialah memperkenalkan pendekatan dinamik untuk memahami
h i‟ h melalui
beberapa konsep fiqh dan manhaj yang beliau anjurkan dan ini termasuk fiqh alNusus, fiqh al-
qi‟ fiqh l-muwazanat, fiqh al-awlawiyyat, fiqh al-taghayyur,
fiqh al-Jihad, fiqh al-tsaurah, fiqh al-iqtisadi al-Islami, fiqh al-aqalliyyat, fiqh alwasatiyyah, fiqh al-dakwah dan manhaj al-salafi.9 (2)
T li Yȗ f al-Qardhawî
Yȗsuf al-Qardhawî merupakan ilmuan yang menguasai perbagai cabang ilmu (Talimah, 2000). Hingga kini, lebih daripada 120 buah buku telah dihasilkan dalam berbagai bidang seperti aqidah, sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟ n dan al-Sunnah, usul al-fiqh, bidang ibadat, hal ihwal wanita dan kekeluargaan, kemasyarakatan, ekonomi dan keuangan, perubahan, politik dan pemerintahan walaupun beliau teramat sibuk dengan jadwal harian. Diceritakan bahwa beliau selalu menghabiskan waktunya sehingga 14 jam sehari di perpustakaan rumahnya 8 9
Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 53 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 58
23
untuk menelaah dan menulis (Ghazali, 2012). Beliau bukan saja menghasilkan penulisan akademik yang berkualitas tinggi dan menjadi rujukan utama ilmuan tetapi menyumbangkan berbagai makalah di dalam berbagai majalah dan akhbar harian di peringkat antarabangsa.10 Diantara buku-buku karangan beliau adalah sebagai berikut : idang „Ulȗm Al-Qur'ân dan as-Sunnah11
a.
if
1)
N
‟ m l
‟
l-Sunnah al-N
i
h:
‟ lim
Dawâbith; (2) Al-Madkhal li-Dirâsât al-Sunnah al-Nabawiyyah; 2) Al-Muntaqâ fi al-Targhib wa al-Targhib (2 Juz); 3)
Al- nn h
4) N
h
n li l-
‟ h li- l-
‟ if h
l-
h
h
l-Nabawi;
5) Al-Sunnah wa al-Bi ‟ h 6) Al-
j ‟i
h l-„Ul
f
l-Islâm li al-
‟ n
l-Sunnah.
7) Ash-Shabru wal-'IImu fil-Qur'an al-Karîm 8) 'Aqlu wal-'lmu fil-Qur'an al-Kariem 9) Kaifa Nata'amal Ma'al-Qur'an al-'Azhîm 10) Tafsir Surat ar-Ra'd 11) Quthuf Daniyyah min al-Kitab was-Sunnah b. Bidang Fikih dan Ushul Fikih 1) Al-Halal wal-Haram fil-Islam 2) Fatawa Mu'ashirah juz 1 3) Fatawa Mu'ashirah Juz 2 4) Fatawa Muashirah Juz 3 10
Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 54 Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf alQardhawi., h. 26-27 11
24
5) Taysir al-Fiqh: Fiqh Shiyam 6) Al-Ijtihad Fisy-Syari'ah al-Islamiyyah 7) Madkhal Li Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah 8) Min Fiqhid-Daulah al-Islam 9) Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Muashir l 10) Al-Fatwa baina al-Indhibath wat-Tasayyub 11) Awamil as-Sa'ah wal-Murunah fisy-Syari'ah al-Islamiyyah 12) Al-Fiqh al-Islami bainal-Ashalah wat-Tajdid 13) Al-Ijtihad al-Mu'ashir bainal-Indhibath wal-Infirath 14) Ziwaj al-Misyar 15) Adh-Dhawabith asy-Syariyyah li Binaa al-Masajid 16) Al-Ghina' wal-Musiqa fi Dhau'il- was-Sunnah 17) Al-Hayat ar-Rabbaniyyah wal-'Iimu 18) An-Niyat wal-Ikhlash 19) Al-Tawakkul 20) Al-Taubat Ila Allah c. Bidang Ekonomi Islam 1) Fiqhuz-Zakat (dua juz) 2) Musykilat al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha al-Islam 3) Bai'al-Murabahah lil-Amir bisy-Syira' 4) Fawaidul-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram 5) Daurul-Qiyam wal-Akhlaq fil-Iqtishad al-Islami d. Bidang Akidah 1) Al-Iman wal-Hayat
25
2) Mauqif al-Islam min Kufr af-Yahud wan-Nashara 3) Al-Iman bil-Qadar 4) Wujudullah 5) Haqiqat at-Tauhid e. Bidang Dakwah dan Tarbiyah 1) Tsaqafat ad-Da'iyyah 2) Al-Tarbiyyah al-lslamiyyah wadrasatu Hasan al-Banna 3) Al-Ikhwan al-Muslimin 70 'Aaman fil al-Da'wah wa al-Tarbiyyah 4) Ar-Rasul wal-'lLmu 5) Rishafat al-Azhar baina al-Amsi wal-Yaum wal-Ghad 6) Al-Waqtu fi Hayat al-Muslim f. Bidang Gerakan dan Kebangkitan Islam 1) Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Juhud wat-Tatharruf 2) Ash-Shahwah al-lslamiyyah wa Humum al-Wathan al-'Arabi walIslami 3) Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Ikhtilafal-Masyru' wat-AfarruqalMadzmum 4) Min Ajli Shahwah Rasyidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya 5) Ayna al-Khalal? 6) Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyah fil al-Marhalah al-Qadimah 7) Al-Islam wal-'Almaniyyah Wajhan bi Wajhin 8) Fi Fiqh al-Awlawiyyat (FiqihPrioritas) 9) Al-Tsaqafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah baina al-Ashalah wa alMuasharah
26
10) Malamih al-Mujtama' al-Islami alladdzi Nunsyiduhi 11) Ghayrul al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami 12) Syari'at- al-Islam Shalihah lil-Tathbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin 13) Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm 14) Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir 15) Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat 'Ala Ummatina 16) Al-Hill al-Islami Faridhah wa Dharurah 17) Bayyinal-Hill
al-Islami
wa
Syubuhat
al-'ilmaniyyin
wal-
Mutagharribin 18) A'da' al-Hill al-Islami 19) Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah 20) Jailun-Nashr al-Mansyud 21) An-Naas wa al-Haq 22) Ummatuna bainal-Qarnayn g. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam 1) Syumul al-Islam 2) Al-Marji'iyyah al-'Ulya fi al-Islam li al-Qur'an was-Sunnah 3) Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kaysf wa al-Ru'aa wa min alTamaim wa al-Kahanah wa al-Ruqa 4) Al-Siyasah
al-Syar'iyyah
fi
Dhau'
Maqashidiha h. Bidang Pengetahuan Islam Yang Umum 1) Al-'Ibadah fi al-Islam 2) Al-Khashaish al-'Ammah fi al-Islam
Nushush
al-Syari'ah
wa
27
3) Madkhal li Ma'rifat al-Islam 4) Al-lslam Hadharat al-Ghad 5) Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi juz 1 6) Khuthab al-Syaikh al-Qaradliawi juz 2 7) Liqaat wa Muhawarat hawla Qadhaya al-Islam wal-'Ashr 8) Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq 9) Qadhaya Mu'ashirah 'Ala Bisath al-Bahts i. Tentang Tokoh-Tokoh Islam 1) Al-Iman Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi 2) Asy-Syaikh al-Ghazali kama 'Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn 3) Nisaa' Mu'minaat 4) Al-Imam al-Juwaini Imam al-Haramain 5) „Um
in A
l Aziz Khamis al-Khulafa' al-Rasyidin
j. Bidang Sastra 1) Nafahat wa Lafahat (kumpulan puisi) 2) Al-Muslimin Qadimum (kumpulan puisi) 3) Yusuf ash-Shiddiq (naskah drama dalam bentuk prosa) 4) 'Alim wa Thagiyyah k. Buku-Buku Kecil Tentang Kebangkitan Islam 1) Al-Din fi 'Ashr al-'Ilmi 2) Al-Islam wa al-Fann 3) Al-Niqâb lil-Mar'ah baina al-Qawl bi Bid'atihi wal-Qawl biWujubihi 4) Markaz al-Mar'ah fil-Hayah al-lslamiyyah 5) Fatawa lil-Mar'ah al-Muslimah
28
6) Jarimah ar-Riddah wa 'Uqububat al-Murtad fi Dhau' al-Qur'an wasSunnah 7) Al-Aqlliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami 8) Al-Mubasyyirat bi Intishar al-Islam 9) Mustaqbal al-Ushuliyyah al-lslamiyyah 10) Al-Quds Qadhiyat Kulli Muslim 11) Al-Muslimun wal-'Awlamah (3) Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwî, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.12 Pernyataan al-Qardhâwî tentang karakter dasar sunnah yang komprehensif, seimbang, dan memudahkan adalah konsep-konsep ideologisnya tentang hadis. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan satu model pemahaman ke dalam masyarakat. Sementara model pemahaman yang ditawarkannya itu bertujuan untuk menjaga kemurnian (keaslian) Islam, mendorong kebangkitan kembali Islam dan penguasaan syari‟ah atas negara.
12
92.
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1994), h.
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî berpandangan bahwa agama Islam adalah sangat mudah dan ringan. Terutama mengenai hal-hal yang biasanya dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang susah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt:
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi ia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S Al Maidah: 6).22
Membebaskan masyarakat dari sifat fanatik dan taklid terhadap imam atau madzhab tertentu. Karena Allah Swt tidak memerintahkan kita untuk mengikuti i i
‟ kepada madzhab atau imam tertentu, tetapi Allah Swt memerintahkan kita
agar kita mengikuti i i
‟ kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.13 Pendapat beliau
sesuai dengan perkataan Imam Hasan Al-Banna pada prinsip keenam yang merupakan bagian dari “20 prinsipnya”, “Semua orang boleh diambil atau ditinggalkan perkataannya, kecuali al-
‟sȗm (terjaga dari kesalahan dan dosa)
yaitu nabi Muhammad Saw. Semua yang datang dari generasi salaf, yang sesuai dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah maka kita terima. Sedangkan jika tidak, maka alQur‟an dan as-Sunnah lebih utama untuk diikuti.”14
13
14
Biografi Yusuf Al-Qardhawi., h. 30 Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf. Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), cet. Ke- 1, h. 9
30
B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, setiap orang yang berinteraksi dengan sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan agama harus berpegang kepada tiga prinsip dasar. (1) memastikan keshahihan hadis: prinsip pertama dalam berinteraksi dengan sunnah adalah dengan cara memastikan keotentikan hadis (shahih atau hasan) sesuai dengan kriteria dan hasil kerja para ahli hadis kemudian menerimanya sebagai hujjah. (2) memahami hadis dengan seksama: memahami hadis-hadis Nabi Saw., harus dilakukan secara seksama dan cermat. Menurut Qardhâwî, pemahaman atas hadis yang seksama adalah pemahaman yang: Sesuai dengan pengertian kebahasaan (Arab), dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dalam nash-nash al-Qur‟an dan Sunnah yang lain, dan dalam rangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan demi menyampaikan risalah (misi Nabi) dan yang bukan untuk itu. Atau dengan kata lain, antara sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri‟ (penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri‟ yang memiliki sifat umum dan permanen, dengan yang bersifat khusus dan sementara. Sebab diantara penyakit terburuk dalam pemahaman sunnah adalah pencampuradukan antara bagian yang satu dengan yang lain.15 (3) menyelesaikan atau menyelaraskan pertentangan antar hadis: tentang prinsip ketiga ini Qardhawi berkata: memastikan bahwa nash (hadis) tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Qur‟an, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya atau lebih shahih darinya, atau labih sejalan dengan ushul (pokok ajaran agama). (hadis tersebut juga) tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri‟, atau berbagai tujuan umum syari‟ah yang dinilai telah mencapai tingkat qath‟i karena disimpulkan bukan hanya dari satu 15
Yȗsuf al-Qardhâwî, Alj ‟i h l-„Ul â fi al-Islâm li-al‟ân wa al-Sunnah: Dhawabithuh wa Mahadzir fi al-Fahm wa al-Tafsîr, ( eirut: Mu‟assasah al-Risalah, 1996), h. 126
31
atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang- setelah digabungkan satu sama lain – mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaannya sebagai nash).16
Oleh karenanya, dalam bukunya N
i
h:
‟ lim
if
N
‟ m l
‟
l-Sunnah al-
Dawâbith, dijelaskan secara spesifik mengenai cara
memahami hadis Nabi dengan benar melalui 8 prinsip dasar, yaitu :
1. ( فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرميMemahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-
‟ n l-Karîm)
Menurut Al-Qardhâwî, pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur‟an agar pemahaman hadis tepat dan terhindar dari interpretasi yang bias (al-tahrif wa al-intihal), bilamana pemahamannya selalu dihadapkan kepada teks-teks al-Qur‟an yang jelas (al-muhkamat), karena alQur‟an adalah asas pokok dan pedoman utama ajaran Islam yang tak dapat disangkal.17
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al‟ n sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimatNya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui”. (alAn‟ m 6:115) Dalam ayat ini, kita dituntut untuk memahami al-Sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan dan salah menta‟wilkan harus dilakukan di bawah naungan al-Qur‟an, dalam lingkup orientasi Rabbani yang benar dan adil.
16
Yȗsuf al-Qardhâwî, Al-Marja‟iyyah, h. 126 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137 17
32
Al-Qardhâwî
bersikap
hati-hati
dalam
menerapkan
metodenya.
Menurutnya dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya, dan ia merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundangundangan Islam. al-Sunnah an-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implementasi praktis terhadap al-Qur‟an. Dan
al-Qardhâwî
berpendapat
bahwa
tidaklah
penjelasan
akan
bertentangan dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad Saw. selamanya berkisar dalam cakrawala al-Qur‟an dan tidak pernah melampauinya. Bila sebagian orang mengira adanya pertentangan dengan ayat-ayat muhkam al-Qur‟an, maka dapat dipastikan hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita terhadapnya tidak benar, atau apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki. 18 Kecendrungan keilmuan klasik justru sebaliknya: sunnah dipandang sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungin salah dan tidak mungkin dibatalkan oleh al-Qur‟an. Imam al-Sy fi‟ mempelopori pendapat yang menyatakan bahwa sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur‟an karena sunnah berperan membuat perintah-perintah al-Qur‟an yang umum menjadi spesifik. Apabila terlihat ada kontradiksi, sarana yang bisa mendorong untuk menyelesaikannya adalah ta‟wil.
18
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
33
Menurutnya karena sunnah dianggap sumber independen yang tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur‟an.19 Dan juga menurut al-Qardhâwî perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an. Mengenai hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang shahih.20 Dan adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama tidak ada penafsirannya yang dapat diterima. Karena itu, al-Qardhâwî tidak dapat begitu saja menerima hadis yang dirawikan oleh Abȗ
wud dan selainnya:
ِ ٍ صالِ ِح بْ ِن ذَ ِر ،َ َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َزائِ َدة:ال َ َ ق، َحدَّثَنَا َم ْس ُرو ُق بْ ُن ال َْم ْرُزََب ِن:ال َ َ ق،اء َ أَ ْخبَ َرََن ُُمَ َّم ُد بْ ُن َ يح ب ُع ْكبَ َر َِّ ول َّ صلَّى ُ ال َر ُس َ َ ق:ال َ َ ق،] َع ْن َع ِام ٍر255: [ص، َحدَّثَنَا أَِِب:ال َ َق ُودة َ ُ «ال َْوائِ َدةُ َوال َْم ْوء:اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َ اَّلل 21 ) ِِف النَّا ِر»( صحيح ابن حبّان “Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya dan si bayi yang terkubur hidup-hidup, kedua-duanya di neraka”
Dan hadis lain:
ِ إِالّأن تَدر َك الوائِدة،الْوائِ َدةُ والْموءودةُ ِِف النَّا ِر ِ اإلسالم فَ تُسلِ َم َ ُ َْ َ َ َ َ
19
Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits (kairo, 1989; buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi kritis atas Hadis Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, h. 19 20 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1994), h. 101 21 Muhammad bin Hibban, Sahih ibn Hibban, Juz. 4, no hadis 4717, (Bairut: Taba‟ah altsaniyah, 1414-1993) h. 230
34
“Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya yang perempuan, kedua-duanya berada di neraka, kecuali jika si perempuan (yang melakukan hal itu) mendapati agama Islam lalu ia memeluknya.” Di hadis yang kedua ini masih ada peluang baginya untuk selamat dari azab neraka, sedangkan si anak perempuan (yang menjadi korban) tidak ada peluang baginya. Dalam hal ini, para sahabat dahulu bertanya-tanya ketika mendengar Nabi Saw bersabda:
ِ ِ ُإذَا التَ َقى ال إِنَّوُ َكا َن:ول ؟ قال ُ ُفَ َما َبَ َل الَقت، ىذاال َقاتِ ُل:ول ىف النَا ِر"قَالُوا ُ ُ فَال َقاتِ ُل والَقت،س ِيفي ِه َما َ َ سلمان ب ِ ح ِريصا على قَت ِل ص ِاحبِو َ َ “Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan kedua pedang mereka masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh, kedua-duanya di neraka.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, si pembunuh memang berhak memperoleh hukuman seperti it2wu; tetapi mengapa yang terbunuh (dimasukan pula ke neraka)?” maka beliau menjawab: “sebab ia (si pembunuh) juga bertekad untuk membunuh kawannya. Begitulah Nabi Saw., menjelaskan kepada mereka, mengapa si korban juga berhak atas hukuman neraka. Yaitu, karena niatnya untuk membunuh temannya itu.22 Maka dengan keadaan hadis tadi “Jika si perempuan yang mengubur bayi perempuannya, memperoleh hukuman neraka; mengapa pula si anak yang menjadi korbannya? Bukankah hal itu berlawanan dengan firman Allah Swt23.,:
22 23
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97
35
„dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?‟ (Al-Takwîr [81]: 8-9) Tidak hanya Al-Qardhâwî yang menyatakan bahwa sunnah harus dievaluasi kembali dengan bantuan al-Qur‟an, namun Al-Ghazâlî, Rasyîd Ridhâ,24 Th
Husain dan Muhammad Husain Haikal juga pendapat mereka hampir sama.
2. ( مجع األحاديث الواردة ىف الوضوع الواحدMengumpulkan Hadis-Hadis dalam Satu Objek) Dalam memahami al-Sunnah dengan benar hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu hendaknya di kumpulkan dalam satu objek. Dimana yang bersifat mutasyâbih dikembalikan kepada yang bersifat muhkam, yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang bersifat umum ditafsirkan oleh yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadis yang dimaksud akan jelas.25 Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan “mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras kepada pelakunya. Perhatikanlah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi Saw pernah bersabda:
ِ ِ ِ ثَالَثةُ الَ ي َكلِمهم هللا يوم ِ الق ِ لعتُو َِب ِ لحللِ ال َك َذ ،اب َ والن ّف ُق َس. الَذى اليُعطَى َشيئا إِالَّ َمنّة، الَنا ُن: يامة َ َ ُ ُُ ُ َ ُوالِسبَ ُل إِ َز َاره “Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah: 1) seorang mannân (pemberi) yang tidak memberi sesuatu 24 25
Al-Manâr 12 (1911) : 693-99; dikutip dalam Juynboll, Authenticity, 30. Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 106
36
kecuali untuk diungkit-ungkit; 2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan 3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.” Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar: “Tiga jenis manusia yang kelak di hari kiamat tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiyah oleh-Nya, dan bagi mereka tersedia a ab yang pedih.” (Rasulullah Saw., mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu ar berkata: „Sungguh ya Rasulullah?‟ Maka jawab beliau): “Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan barang dagangannya dengan bersumpah bohong.” Kalau begitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan “orang yang menjulurkan sarung sampai ke bawah mata kaki”? Apakah mencakup siapa saja yang memanjangkan sarungnya, walaupun hal itu semata-mata karena kebiasaan
yang
berlaku
di
kalangan
masyarakat
dan
tanpa
maksud
menyombongkan diri?26 Mungkin saja hal itu didukung oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih al- ukhari, dari Abu Hurairah: “Sarung yang dibawah mata kaki, akan berada di neraka.” Yang dimaksud dengan “sarung” dalam hadis itu, ialah “kaki” seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya. Akan tetapi, bagi orang yang sempat membaca semua hadis yang berkenaan dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh Al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud disini adalah sikap sombong yang
26
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi., h. 107
37
menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras. Dari beberapa hadis Nabi lainnya yang telah dipaparkan di dalam buku AlQardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Sebagai konklusinya bahwa, apa yang telah menjadi adat kebiasaan, harus pula diperhitungkan, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hâfidz Al-„Ir q . Sebab, adakalanya suatu perbuatan yang menyimpang dari kebiasaan umum, mungkin justru menjadikan pelakunya makin terkenal. Sedangkan cara berpakaian yang sengaja dimaksudkan untuk tujuan seperti itu, adalah tercela pula. Maka yang paling baik adalah sikap tengah-tengah. Walaupun demikian, sekiranya ada orang yang memendekkan tsaub-nya, demi mengikuti al-sunnah dan menjauhkan diri dari tuduhan hendak menyombong, atau ingin memilih jalan yang lebih “selamat” maka, insya Allah, ia akan beroleh pahala juga. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya bahkan sampai berbuat radikalis.27
3. ( اجلمع أو الرتجيح بني خمتلِ الحلديثMemadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif) Dalam pandangan Al-Qardhâwî, pada dasarnya nash-nash syari‟at tidak akan saling bertentangan. Maka bila tampaknya ada kontradiksi,maka hal itu hanya penglihatan sepintas yang pada hakekatnya tidak demikian dan merupakan kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.28
27 28
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h.109-112 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-Sunnah Dengan Benar., h. 197
38
Tahap selanjutnya bila hadis-hadis yang memiliki tema yang sama nampak kontradiktif, maka langkah pertama adalah melakukan kompromi (al-j m‟
l-
taufiq) terhadap hadis-hadis tersebut. Dasar pemikiran Al-Qardhâwî adalah bahwa pada prinsipnya nash-nash tidak mungkin saling bertentangan secara substansi. Jika mungkin melakukan kompromi, maka hal tersebut harus terlebih dahulu dilakukan dibanding melakukan komparasi hadis (al-tarjih). Namun perlu dicatat bahwa kompromi ini hanya dilakukan terhadap hadis-hadis yang sahih saja, tidak termasuk hadis da‟if dan diragukan validitasnya.29 Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qardhâwî nampaknya kurang memilih alternatif selanjutnya yakni nasakh, karena menurutnya medan naskh dalam hadis lebih sempit dibanding pendekatan kompromi (al-j m‟
l-taufiq) maupun komparasi (tarjih). Menurut Qardhâwî
hal ini disebabkan karena sebagian hadis hanya bersifat parsial dan temporal.30 Sebagai contoh: hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi kuburan. Misalnya, hadis dari Abȗ Hurairah, bahwa Rasulullah Saw., “mel kn k m
ni
ng e ing menzi
hi k
n”. (Dirawikan oleh Ahmad, Ibn
Majah dan al-Tirmid i yang berkata: “hadis ini hasan sahih”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam sahih-nya).31 Diriwayatkan pula dari Ibn Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal: “para wanita pen iarah kuburan.”
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 118 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)., h.140 31 Lihat juga al-Tirmidzi dalam bab Janâiz (1056), Ibn Mâjah (1576) dan Ahmad (2/337). Juga dirawikan oleh Al-Baihaqi dalam al-Sunan (4/78). 30
39
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita. Namun ada hadis lain yang mengizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Diantaranya, sabda Nabi Saw.: 32
ِ وىا َ ور ُ فَ ُز،ُكنتُم نَ َهيتُ ُكم عن ِزَي َرة ال ُقبُور
“Aku pernah melarang kalian men iarahi kuburan kini iarahilah”
الوت َ ور فَإنَا تُذكِ َر َ ُوروا ال ُقب ُ ُز “Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.” Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Juga hadis yang dirawikan oleh al-Bukhârî dan Muslim, dari Anas, bahwa Nabi Saw., menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan, lalu beliau berkata: “bertakwalah kamu dan bersabarlah” wanita itu menjawab: “Menjauhlah kamu dariku. Engkau tidak mengalami musibah yang kualami.” (Rupa-rupanya ia tidak mengenali Rasulullah Saw...). Dalam hadis itu, Nabi Saw., menyatakan ketidak sukaannya kepada sikap si wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau tidak melarangnya berziarah. Meskipun hadis-hadis ini, lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya 32
Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no. 1406 juz 2, h. 1025
40
menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata “melaknat” yang tersebut dalam hadis sebagaimana dinyatakan oleh al-Qurthubi yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwârât, yang berkonotasi “amat sering”. Menurut al-Qurthubi, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada para pemenuhan hak suami, disamping kemudian membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras. Dan dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka boleh menziarahi kuburan bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Berkata al-Syauk ni: “pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya menggabungkan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut ahirnya.”33
4. ( فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا ومالبساهتا و مقاصدىاMemahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya) Untuk memahami hadis dengan benar dan mendalam, haruslah mengetahui hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan penjelasan dan mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadis tersebut dapat ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap dugaan-dugaan sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya.
33
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 121-122
41
Sehingga kita harus memahami suatu hadis dari kesimpulan dan realita konteks hadis tersebut.34 Jadi terkadang sebuah kandungan hadis yang bersifat umum dan abadi, namun bila melihat illahnya, maka akan bersifat kontekstual. Bila illah tidak terdapat, maka hilang kontekstual ini, tentu diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang hakikat agama, maqâshid al-syâri‟ah, keberanian moral, situasi dan kondisi historis hadis (asbâb al-
ȗ .
Disisi lain Qardhâwî juga mengkritik pemahaman tekstual terhadap hadis karena pemahaman tekstual terkadang tidak sesuai dengan ruh dan tujuan hadis, bahkan bertentangan. 35 Disebutkan dalam Sahih al-Bukhâri dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu‟: 36
ِ َُالت إمرأَة إالّ و َم َعها َُم َرم َ سافر َ
“Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya” „Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa dimasa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mngarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi itu,
34
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 223 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)., h. 141-142 36 Lihat al-Bukhari hadis no. 1863, juz 3, h. 19. dan Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no. 418 juz 2, h. 976 35
42
seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau – paling sedikit – nama baiknya dapat tercemar. Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti dimasa kita sekarang, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindakan pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan kandungan hadis marfu‟ yang dirawikan oleh al- ukh r , dari „Adi bin H tim: 37
يوشك أن خترج الظعينة من الحلرية تقدم البيت (أى الكعبة) الزوج معها
“Akan datang masanya ketika seorang perempuan penunggang unta pergi dari (kota) hijrah menuju ka‟bah, tanpa seorang suami bersamanya” Hadis ini, pada hakikatnya, menubuatkan tentang datangnya masa kejayaan Islam sebagai mercusuar yang memancarkan sinarnya di seluruh alam. Dan sekaligus juga menunjukan dibolehkannya seorang perempuan bepergian tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan Ibn Hazam dari hadis tersebut.38
5. ( التمييز بني الوسيلة التغرية و اهلدف الثابت للحديثMembedakan Antara Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis) Menurut Al-Qardhâwî, Di antara sebab terjadinya kesalahan pemahaman terhadap al-Sunnah adalah sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan maksud yang permanen (al-ahdaf al-tsabitah) dimana al-Sunnah berusaha 37 38
irawikan oleh ukh ri dalam ab „Al m t Al-Nubuwwah fi al-Islâm. Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 136-137
43
merealisasikannya
dan
sarana
yang
bersifat
temporal
(al-wasâil
al-
mutaghoyyirah) dan lokal yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.39
6. ( التفريق بني الحلقيقة و اجملاز ىف فهم الحلديثMembedakan Antara Hakekat dan Majas dalam Memahami Hadis) Makna metaforis (majazi) di sini adalah mencakup al-majaz al-lughawi (metaforis menurut bahasa) dan al-majaz al-„aqli (metaforis menurut rasio), alistiarah wa al-kinayah (kiasan), dan setiap bentuk kata atau kalimat yang memiiki makna konotatif. Majaz dapat diketahui dengan memperhatikan indikator makna (al-qarinah) dari sebuah kata atau kalimat.40 Al-Imam al-Rahib al-Ashfahani dalam bukunya yang bermutu Al-
ar ‟ah
Ilâ Makârimi-sy-Syar ‟ah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pembicaraan, bila diucapkan dengan perumpamaan untuk diambil pelajaran bukannya untuk memberikan berita, maka sebetulnya tidak termasuk dusta. Oleh karena itu orang-orang yang sangat berhati-hati tidak merasa rikuh menggunakannya”. Hati-hati Untuk Tidak Mudah Menta‟wilkan Ungkapan Majazi Al-Qardh w berpendapat, bahwa penta‟wilan hadis-hadis dan teks-tekas dalil pada literal, adalah masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudahmudah dilakukan kecuali bila ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli. Seringkali 39
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.248 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)., h. 143 40
44
hadis-hadis dita‟wilkan karena berdasarkan pandangan subjektif, temporal atau lokal. Penta‟wilan Yang itolak i antara penta‟wilan yang tidak boleh diterima adalah penta‟wilan kaum kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks perkataan. Ibnu Taimiyyah dan Penolakan Majaz Menurut Al-Qardhâwî, bahwa Syaikhu-I-Islam menolak adanya majaz dalam al-Qur‟an, hadis dan dalam bahasa secara umum dan pendapatnya ini diperkuat dengan sejumlah dalil dan ungkapan. Ibnu Taimiyyah ingin menutup pintu bagi mereka yang berlebih-lebihan dalam menta‟wilkan hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah „A a wa Jalla yaitu mereka yang dinamakan kaum al-Mu‟athilah. Sifat-sifat Allah ta‟ala menurut pandangan mereka hampir menjadi sekedar negatif bukan positif dan nafyun yang tidak disertai itsbat. Ia ingin menghidupkan apa yang ada pada umat terdahulu yang mengitsbatkan bagi Allah ta‟ala apa-apa yang telah diitsbatkan-Nya dalam kitabNya al-Qur‟an dan dalam sunnah Rasul-Nya dan menafikan apa-apa yang telah dinafikan al-Qur‟an dan as-Sunnah.41
7. ( التفريق بني الغيب و الشهادةMembedakan Antara yang Gaib dengan yang Nyata) 41
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.312-317
45
Kesalahan pokok dalam memahami hadis yang terkait dengan hal-hal gaib adalah menganalogikannya dengan hal-hal nyata. Sebuah analogi yang keliru (alqiyas mâ al-fariq bathil) karena hal-hal nyata memiliki perbedaan dengan hal-hal gaib. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal bersifat gaib tidak perlu diperdebatkan. Hadis-hadis tentang keadaan syurga, neraka, sirath, mizan, siksa kubur, dan sebagainya tidak perlu dianalogikan dengan kondisi alam nyata. Pendekatan AlQardhâwî nampak cenderung kepada Ahlu Sunnah yang menolak takwil terhadap eksistensi hal-hal gaib.42 Oleh karena itu, para ulama kita menetapkan bahwa agama datang membawa ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi ia tidak mungkin membawa ajaran yang dapat dirubah oleh akal. Maka bagaimanapun juga, dalil naqli yang shahih tidak bakal bertentangan dengan akal murni.43
8. ( التأكد من مدلوالت ألفاظ الحلديثMengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata Hadis) Hal yang sangat penting, menurut Al-Qardhâwî, untuk memahami hadis dengan benar adalah memahami makna kata perkata dari teks hadis, karena seringkali kata-kata tersebut berubah makna sesuai dengan konteks kalimat dan zaman. Hal ini suatu hal yang telah maklum dalam sejarah bahasa. Al-Qardhâwî mengutip perkataan al-Ghazali tentang perbedaan kalangan salaf dan khlaf tentang pergeseran penggunaan kata dalam ilmu agama yang menyebabkan pencapur adukan istilah. 42
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)., h.144 43 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 3221
46
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian ulama yang mengharamkan lukisan dalam bentuk apapun termasuk photografi. Padahal orang arab tentu tidak akan berpikir ketika menggunakan kata al-tashwir termasuk photografi. Oleh karena itu kesimpulannya bahwa kata al-tashwir bukanlah sebutan kebahasaan, tapi sebuah bahasa hukum, sehingga photografi tidak terwakili dalam kata altashwir. Jadi photografi adalah suatu yang mubah.44
44
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)., h. 144
BAB III HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON-MUSLIM A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim
ٍِ َّ أ،َ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة، َع ْن أَبِ ِيو، َع ْن ُس َه ْي ٍل،ي ول َ َن َر ُس َّ َّر َاوْرِد َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد ال َْع ِزي ِز يَ ْع ِِن الد،َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد ِ ِ ،ٍَح َد ُى ْم ِِ ََ ِر ٍي َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َّص َارى ِِب َ « ََل تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه:ال َ ود َوََل الن َ هللا َ ََِ ذَا لَِيتُ ْم أ،لس َلِِم 1 ِِ »ضيَِو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ ََا “Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali megucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim)
َِّ أَ ْخب رََن عب ي ُد،شيم ِكر ٍِ ٍ َاَّلل بْ ُن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن أَن ض َي ْ َُ َ َ ٌ ْ َ َحدَّثَنَا ُى،ََحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َش ْي بَة َ س بْ ُن َمال ُ َ َحدَّثَنَا أَن،س 2
ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أ َْىل:َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ِ َالكت َّ َو َعلَْي ُك ْم:اب ََ ُِولُوا َ َ ق:ال َ َ ق،ُاَّللُ َع ْنو َ ُّ ِال الن َ ََ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ
“Menceritakan Yahya bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami Husyaim dari Ubaidillah bin Abu Bakar ia berkata aku mendengar Anas berkata, bersabda Rasulullah saw, Haun (tahwilu sanadain), mentahditskan Ismail bin Salim kepada ku, Mentahditskan Husyaim kepada kami, mengkhabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abu Bakar dari kakeknya Anas bin Malik bahwasanya Rasulallah saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
1
Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 2 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 75
47
48
1. Takhrij Hadis Upaya penulis menguraikan mengenai hadis-hadis larangan mengucapkan salam dengan Ahl al-Kitâb Untuk ditakhrij3 hanya sebatas sebagai bahan pendukung agar mengetahui asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya-dari berbagai kitab koleksi hadis yang disusun oleh para kolektor (mutakharrij)-nya, secara langsung. Dan untuk hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim penulis menemukan dalam kitab takhrij alMu‟jam al-Mufahras l al-
al- a îts, Mausȗ‟a
râf al- a îts, dan Miftâ u
Kunȗz al-Sunah. Penjabarannya sebagai berikut: Langkah pertama, setelah ditelusuri dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l al-
al- a îts al-Nabawî dari semua lafaz yang ada dalam matan hadis, Data
yang disajikan dari penelusuran kata adalah sebagai berikut: 4
) إذاسلّم عليكم أىل الكتاب َِولوا (وعليكم: سلم
Kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l al-
al- a îts al-Nabawî
سلم Shahih al-Bukhari, kitab Isti‟dzhan no. 22, kitab
٤ مرتدين، ٢٢ استئذان: خ
murtadain no.4
٨ ۷,٩ سالم: ِم ) (ختريجdalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath )(اإلستنباط, artinya “mengeluarkan”, at-tadrîb )(التّدريب, artinya “melatih” atau “pembiasaan” dan at-tarjih )(الّتجيح ّ artinya “menghadap. Sedangkan menurut istilah, menyampaikan hadis kepada orang 3
Takhrîj
banyak dengan menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode periwayatan masing-masingnya. Lihat, M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), h. 222 4 A.J. wensinck, al-Mu‟jam al-Mu a ras l alal- a ts al-Nabawî, Jilid 5. (Leiden: E.J. Bill 1936)
49
٣ سالم: ط
Shahih Muslim, kitab salam no.9 dan 87. Muwatta Malik, kitab Salam no.3.
۷ استئدان: دي
Sunan al-Darimi, kitab Isti‟dhan no.7.
٣،٩٩،..٢،٩ : حم
Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan jilid 3 halaman 99.
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam lampiran 1. Kedua, penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan menggunakan kitab Mausuah al-Atraf, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut: ta Mausȗ‟a 5
r
al- a ts
إذاسلم عليكم أحد من أهل الكتاب
Sunan at-Tirmidly, nomor hadis 3301
٣٣۱۰ : ت
Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697
٣٦٩۷ : ه
Al-Suyuti, bab 67 nomor hadis 188
۰۷۷ :٦۷ : منشور
Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442
٤٤٢ : ٨ : ش ٢٥٢٩۷ : كنز
5
Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, Mausȗ‟a (Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah,t.t.), h. 332
r
al- a ts Jilid 1,
50
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam lampiran 2. Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak dalam kitab Kanz al-Umal nomor 25297. Ketiga, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Kanz al-„Umal. Dan data yang terdapat dalam kitab ini adalah sebagai berikut: 6
)) ت ه عن أنس1( وعليكم (حم ق: إذاسلم عليكم أحد من أىل الكتاب َِولوا
Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq „alaih (bukhari dan Muslim), al-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Selain dari metode –metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Miftâ u Kunȗz al-Sunah, dan data yang didapat dari kitab ini adalah sebagai berikut :
6
Al-Muttaqi al-Syadzaily al-Madiny, Kanz al-„Umal (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H), h. 123
Sunan al-Aqwal wa al- ‟al
51
ta M t 7
u unȗ al-Sunah
مَت وكيف يسلَّم على اليهود والنصارى ى ٢٢ و٢۱ ب۷٩ بخ – ك
Bagaimana menjawab salam non-Muslim. Menjawab salam non-Muslim dalam surat. Larangan memulai salam kepada non-
۰٣ – ۰۱ قا٩ – ٦ ح٣٩ مس – ك ۰٣۷ ب٤۱ بد – ك
Muslim. Memberi salam dalam Majlis yang berisi
۰٢ ب٤۱ ك،٤۰ ب۰٩ تر – ك ۰٣ ب٣٣ سخ – ك
kaum Muslim dan Musyrik. Bagaimana menulis surat untuk non-
۷ ب۰٩ مى – ك
Muslim. Mengucapkan salam kepada non-Muslim. Tidak
mengucapkan
dan
juga
۷۰ ص٢ ق٤ عد – ج
tidak
menjawab salam atas orang yang berdosa. Larangan membunuh non-Muslim yang
،٤٥٩ و٤٤٥ و٣٤٦ و٢٦٦ حم – اثن ص ٢۰٢ و٢۱٢ و۰۰٥ و۰۰٣ و٩٩ اثلث ص
memberi salam.
،٢٩۱ و٢۷۷ و٢۷٣ و٢٢٢ و٢۰٤ و ٣٩٨ و٢٣٣ و۰٤٣ رابع ص ٢٤٢٤ و٢۱٦٩ و۰٩۷۰ ط – ح
7
Muhammad Fu‟ad „abdul baqi, M t Sunah, 1931), h. 242
u unȗ al-Sunah, (Lahore: Isaroh Tarjamanu al-
52
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam lampiran 3. Dari hasil penelusuran di atas, ditemukan sebelas hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam poin-poin sebagai berikut : Untuk tema yang pertama, yaitu bagaimana menjawab salam non-Muslim terdapat tiga hadis yang berkaitan. Pertama, Menjawab dengan “wa „alaika”. Kedua, menjawab dengan “‟alaika” atau “wa „alaika”. Ketiga menjawab dengan “‟alaika ma qulta”.8 Tema kdua, yaitu mengucapkan salam kepada non-Muslim terdapat dua hadis yang berkaitan. Pertama, tidak perlu menarik ucapan salam kepada nonMuslim. Kedua, meminta kembali ucapan salam. Sementara untuk tema-tema yang lainnya, masing-masing hanya terdapat satu hadis saja. 2. Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim Dilalah „amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintah dalam al-Qur'an dan asSunnah itu berbeda?9 8
Ai Popon Fatimah, Salam terhadap non-Muslim perspektif hadis, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2014). h. 31-34 9
Yȗsuf al-Qardhawî, Kaedah Toleransi Dalam Masalah, h.2
53
“Al-sâmu‟alaikum [semoga kematian menimpa kalian].” Dalam riwayat Al-Kasymihani disebutkan dengan redaksi, Assâmu‟alayka (semoga kematian menimpamu) dengan bentuk tunggal pada kata ganti orang kedua tunggal. Demikian juga yang disebutkan dalam hadis Aisyah dan hadis ibnu Umar. Selain itu tidak ada yang berbeda dengan hadis Anas yang menggunakan lafaz tunggal, „ala ka. Selain itu, ada yang mengatakan, bahwa itu tidak diartikan sebagai celaan, tetapi mendo‟akan kematian yang pasti terjadi. Oleh karena itu, sebagai jawabannya beliau menjawab, ك ْم ُ ( َو َعلَْيdan semoga pula menimpa kalian). Maksudnya, kematian pasti menimpa kami dan juga kalian, sehingga do‟a tersebut tidak ada gunanya. Itulah pendapat yang diisyaratkan oleh Al-Qadhi Iyadh, dan isyarat ini pun telah dikemukakan pada pembahasan tentang meminta izin. Juga orang yang mengucapkan, السأِم ّ dengan huruf hamzah yang bermakna السامة ّ (bosan), yang artinya mendo‟akan agar bosan terhadap agama, dan ini bukan sebagai ungkapan jelas dalam mencela.10 Dalam buku Fiqih Lintas Agama, Bahwa dalam bukunya hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudlaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum.
10
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah : Fathul Baari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 64
54
Beberapa catatan sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh bukhari ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “Assamu‟alaikum” atau “Assamu‟alaika”, bukan salam
perdamaian,
yaitu
“Assalâmu‟alaikum”.
Kedua,
yang
memulai
mengucapkan salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang tidak sopan itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidak sopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan “wa‟alaikum”11 (dan bagimu [kematian], atau “wa‟alaika” (dan bagi engkau [kematian]. Sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar, dan Anas ibn Malik ini, memberikan gambaran wajah Islam yang diberikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah tadi. Sepuluh hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar ini memberikan gambaran wajah Islam yang ramah, lembut dan bersahabat, sedangkan hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah tadi memberikan gambaran wajah Islam yang kasar, galak dan tidak bersahabat.
11
Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan salamnya itu tegas “ ssalamu‟‟ala kum”, maka jawabannya adalah tetap semisal dengannya yaitu: “Wa‟ala kumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta‟ala (yang artinya), “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa‟: 86). Sebagaimana hal ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al „Utsaimin.
55
Oleh karenanya, penetapan hukum mengucapkan salam kepada orangorang non-Muslim harus berdasarkan pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang Muslim dan orang-orang non-Muslim bersahabat, atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan hikamah. Dalam kitab Syarah al-Majmu‟ al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi dijelaskan beberapa dalil dari al-Qur‟an ataupun hadis Nabi : Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin As RA;12 Seseorang bertanya kepada Nabi Saw, “(bagian) islam yang mana yang baik?” Nabi Saw menjawab, “kau memberi makan dan mengucapkan salam pada orang yang kau kenal dan yang tidak kau kenal.” (HR. Al-Bukhârî dan Muslim) Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam RA, ia berkata, “aku mendengar Rasulullah bersabda; „Wahai seluruh manusia! Sebarkan salam, berilah makanan, sambunglah tali kekerabatan, dan shalatlah saat orang-orang tidur niscaya kau masuk surga dengan aman‟.” HR. al-Darimi dan al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi berkata, “Hadis Sahih.” Al Baihaqi menyebutkan dalam kitab shahihnya; ammar berkata, “tiga hal, barangsiapa menyatukan semuanya, ia telah menyatukan imam; bersikap adil terhadap diri sendiri, mengucapkan salam terhdap siapa saja dan bersedekah saat
12
Imam Nawawi, Al-Majmu‟ Syara l Mu a a terj. H. Abdul Somad Lc., MA., Umar Mujtahid, Lc. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), hlm. 1019-1021
56
kesusahan.‟13 Kami juga meriwayatkan hadis serupa dari Rasulullah Saw., di selain Shahih Al-Bukhârî. Dalam hal ini ada banyak sekali hadis masyhur. B. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim Dalam buku Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab karangan Imam Nawawi dijelaskan bahwa Al-Mawardi menjelaskan dalam Al-Hawi; dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir. Kedua, boleh memulai salam kepada mereka, namun dengan mengucapkan; alsal mu‟alaika, bukan; al-sal mu‟alaikum. Pendapat ini nyeleneh dan lemah. Bila orang kafir dzimmi mengucapkan salam kepada orang muslim, jawaban yang diucapkan adalah; wa‟alaikum, tidak lebih. Inilah pendapat yang kuat, inilah yang
13
Muhammad bin Najib al-Muthi‟i menjelaskan, atsar ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari berbagai sanad dari Sufyan Ats-Tsauri. Juga diriwayatkan oleh Ya‟kub bin Syaibah dalam musnadnya dari sanad Syu‟bah, Zuhair bin Mu‟awiyah dan lainnya, mereka semua meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai‟i dari Shillah bin Zuhfar dari Ammar. Matan riwayat syu‟bah dari Ammar sebagai berikut; (Ada) tiga hal, barangsiapa yang tiga hal ini terdapat dalam dirinya, imannya telah sempurna. Riwayat ini intinya sama. Seperti itulah yang kami riwayatkan dalam Jami‟ Ma‟mar dari Abu Ishaq. Seperti itu pula yang disampaikan oleh Abdurrazzaq dalam mushannafnya dari ma‟mar. Abdurrazzaq menyampaikannya saat hafalannya berubah di akhir usia dan ia sambungkan sanadnya hingga Nabi Saw. Al-Hafizh Ibnu Hajar setelah menyebutkan atsar ini menyatakan, hadis ini cacat dari sisi sanadnya sebab Abdurrazzaq berubah hafalannya di akhir usia, dan mereka mendengarkan hadis ini dari abdurrazzaq di saat hafalannya telah berubah. Perlu di ketahui, hal semacam ini tidak disampaikan berdasarkan pendapat dan dihukumi sebagai hadis marfu‟. Kami meriwayatkan hadis ini secara marfu‟ dari sanad lain dari Ammar. Ath-Thabari meriwayatkannya dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir dan dalam sanadnya ada perawi dhai‟f. Hadis ini memiliki riwayat-riwayat lain yang menguatkan seperti yang disebutkan dalam ta‟liq At-Ta‟liq. Abu Zinad bin Siraj dan lainnya menyatakan, alasan kenapa orang yang menyatukan tiga hal tersebut berarti imannya telah sempurna karena poros ketiga hal tersebut adalah bila seorang hamba bersikap adil terhadap dirinya sendiri, ia tidak akan meninggalkan suatu kewajiban pun untuk Allah Saw., melainkan pasti ditunaikan dan tidaklah meninggalkan meninggalkan suatu laranganpun melainkan ia tinggalkan, hal ini menyatukan rukun-rukun iman. Berkenaan dengan mengucapkan salam, sikap ini mengandung akhlak-akhlak mulia, sikap tawadlu, tidak merendahkan orang lain, disamping karena mengucapkan salam akan menimbulkan persatuan hati dan cinta.
57
dipastikan oleh mayoritas fuqaha. Pengarang Al-Hawi menyebutkan pendapat lain, jawabannya adalah; wa rahmatullah. Pendapat ini nyeleneh dan lemah.14 Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam dalam kitabnya “Syarah Bulȗghul Marâm” bahwa, tidak boleh kaum Muslim memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Tetapi jika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu, maka hal ini dijelaskan dalam Ash-Shahihain dari hadis Anas bahwa Nabi Saw bersabda : “ pa la seorang a l k ta
mem er salam kepa amu maka
ucapkanla wa‟alaykum ( an kamu juga)”.15 Sayyid Quthb (1906-1966 M). Menurutnya, salam tidak layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan penghormatan (tahiyyah) kepada sesama Muslim, salam juga meruapakan budaya Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.16 Berpijak pada ayat 86 surat al-Nisâ‟, Quthb menjelaskan lebih jauh nilai tahiyyah (penghormatan) yang ada pada salam. Baginya, tahiyyah yang ada pada salam mengandung hal yang bersifat karateristik. Ia merupakan manhaj Islami untuk membentuk karakter umat Islam yang khas. Karenanya penggunaan tahiyyah mempunyai tata aturan (nidzam). Menurutnya, perbedaan tahiyyah dalam Islam dengan agama lainnya sama halnya perbedaan dalam masalah kiblat dan aqidah.
14
Imam Nawawi, Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab, terj. H. Abdul Somad Lc., MA dan Umar Mujtahid : Syarah Al Muhadzdzab (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1038 15 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah bulughul maram, terj. Thahirin Suparta, dkk. : Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.363 16 Sayyid Quthb, Ta s r Z lal l Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk. (Jakarta: gema Insani Press, 2000), cet. 1, jild. 2, juz 5, h. 471
58
Di samping itu, kata Quth, tahiyyah menjadi media perubahan yang paralel (kontinu) sekaligus sebagai media komunikasi untuk menguatkan tali asih dan hubungan kekerabatan antara individu-individu dalam masyarakat Islam. Mengucapkan salam dan menjawab tahiyyah dengan cara yang lebih baik adalah cara yang terbaik untuk menumbuhkan hubungan dan ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan sebagai dampak psikologis yang ditimbulkan dari ucapan salam hanya akan terjadi di kalangan umat Islam. Efektifitas dampak psilokogis akan lebih terasa jika salam disampaikan orang Islam yang belum dikenal sebelumnya.17 Dari pandangannya ini, Quth meyakini bahwa salam sebagai budaya tahiyyah dalam Islam tak akan berdampak psikologis bagi non muslim jika salam itu diucapkan kepada mereka. Berdasarakan pada ayat yang sama (Al-Qur‟an surat al-N s ‟ ayat 86), Ibnu Katsīr (1301-1372 M) memiliki pandangan yang hampir sama. Menurutnya, tidak boleh bagi seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun, kalau sekedar menjawab salam mereka diperbolehkan berdasarkan Hadîts yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbâs: Barangsiapa mengucapkan salam dari makhluk Allah (manusia), maka jawablah, meskipun dia seorang Majusi.18 Meskipun diperbolehkan menjawab salam non Muslim, tetapi isi jawabannya berbeda dengan jewaban salam kepada salam Muslim. Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi mitslihâ/mutamatsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadîts
17
Sayyid Quthb, Ta s r Z lal l Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk. h. 472 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 531 18
59
shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a, yakni kailmat wa alaikum.19 Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syakh Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-T j”, umat Islam dianjurkan menjawab salam dengan kalimat wa„ala kum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim. Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86 menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat salam.20 Dengan kata lain, salam yang wajib dijawab adalah salam yang betul-betul mengandung nilai dan pesan salam baik dari segi orang yang mengucapkan maupun dari segi kalimat yang diucapkan. Meskipun salam itu keluar dari lisan kafir Dzimmî tetapi diucapkan dengan penuh kesungguhan (berdoa dan bagian dari upaya damai) maka wajib dijawab. Namun sebaliknya, jika dalam salam itu tidak mengandung pesan-pesan salam, seperti doa, maka cukup dengan jawaban wa „ala kum atau wa alaika, meskipun salam itu diucapkan oleh seorang Islam.
19
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, h. 762 20 Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam‟u L Us ul al-Hadits al-Rasul, penerjemah Bahrun Abu Bakar (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1961 M-1381 H), h. 249
60
Hal ini berdasar pada Hadîts yang diriwayatkan melalui Salman Al-Farisi, bahwa Nabi Muhammad pernah menjawab salam dengan kalimat “‟alaika” kepada laki-laki yang mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, demi bapakku, engkau, dan ibuku, fulan dan fulan datang kepadamu dan mereka mengucapkan salam kepadamu, engkau menjawabnya dengan jawaban yang lebih lengkap daripada kepadaku”. Nabi menjawab: Sesungguhnya kamu tidak mendo‟akan apa-apa kepada kami.”21 Hadits Nabi ini semakin memperjelas bahwa menjawab salam seseorang itu tidak berkaitan dengan latar belakang agama (Islam dan Non Islam/ kafir Dzimmî), tetapi didasarkan pada kualitas dan substansi salam. Pemikiran Syekh Mansûr „Ali Nâshif tentang menjawab salam non Muslim di atas jauh lebih maju dibandingkan dengan Quthb, Ibnu Katsîr, bahkan dalam masalah mengucapkan salam ( lqa‟ al-salâm) kepada non Muslim pun juga lebih maju dariapada pendapat keduanya. Jika bagi Quthb, dan Ibnu Katsîr haram hukumnya memulai salam kepada non Muslim (pendapat yang sama juga disampaikan oleh Al-Nawawi), bagi Syekh Mansûr „Ali Nâsif, larangan yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah r.a. itu tidak mencapai haram, tatapi hanya makruh, bahkan bisa mubah jika salam itu mendatangkan manfaat dan menghindari dari bahaya.22 Muhammad Abduh (1849-1905 M) juga berpandangan bahwa wajib bagi umat Islam menjawab salam non Muslim. Selain itu, dia berpendapat sunnah hukumnya bagi mereka mengucapkan salam ( sya‟ salam) kepada kaum Dzimmî.
21
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 761 22
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam‟u L Us ul
al-Hadits al-Rasul., h. 249
61
Abduh menempatkan salam untuk syiar; bahwa Islam adalah agama damai dan aman. Al-salâm adalah seuatu yang sangat asasi dalam Islam. umat Islam adalah ahli damai dan pencinta kedamaian.23 Dengan adanya Hadis-hadis tersebut, Abduh semakin yakin bahwa mengucapkan salam kepada non Muslim bukan sesuatu yang dilarang, apalagi salam itu menurutnya merupakan hak umum. Karena dari salam didapatkan dua hal yang didambakan oleh setiap orang yaitu: (1) penghormatan yang mutlak dan (2) terwujudnya keamanan bagi pengucap dan pendengar salam dari tindakan penipuan, pesakitan, dan dari hal-hal yang tidak baik lainnya. Alasan Abduh menempatkan salam sebagai hak umum didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabranî dan Baihaqî melalui Abî Umâmah: “Sesunggu nya lla Ta‟al menja kan salam se aga ke ormatan umat kam dan sebagai keamanan bagi kaum Dzimmî.” 24 Penjelasan Qatadah tentang perbedaan jawaban tersebut, kata Abduh, tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, bahkan penjelasan tersebut bertentangan dengan hadîst yang diriwayatkan Ibn Jarîr dari Ibnu Abbâs r.a. Rasulullah bersabda:”Barangsiapa dari makhluk Allah yang mengucapkan salam kepadamu hendaklah dijawab meskipun dia seorang Majusi. Menurut Abduh, kewajiban membalas penghormatan orang lain sebagaimana dimaksud Al-Qur‟an .S. Al-Nisâ‟ ayat 86 itu sama sekali tidak melihat latar belakang agama dan status sosial seseorang. Penghormatan atau salam
yang sepadan
(mutamâtsilah /ruddûha) atau yang lebih baik (ahsana minhâ) itu dasarkan pada
23 24
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 312 Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 314
62
aspek kalimat salam yang diucapkan dan aspek tata cara, bahasa tubuh, serta keras dan pelannya suara saat menjawab salam. Dalam syarah kitab Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa al-Salām mempunyai makna al- u‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari segala sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan. Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salām maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat. Dalam pendekatan lain, kata “al-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika alSalâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.25 Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Oleh karena, hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudlaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus 25
Jurnal pendidikan agama islam – Ta‟l m Vol. 9 No. 1 – 2011
63
tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum.26 C. Interaksi Nabi Dengan non-Muslim Dalam Kerukunan Sejarah mencatat bahwa, orang-orang muslim dengan non-Muslim saling hidup berdampingan tanpa adanya permusuhan. Dengan demikian, wajar jika konsep tentang Ahli Kitab dipandang sebagai salah satu tonggak semangat kosmopolitanisme Islam. Atas dasar pandangan dan orientasi mondial konsep ini, kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi universal melalui dukungan dari semua pihak.27 Banyak hadis Nabi yang terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar tidak melanggar batas-batas kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian antara Nabi Muhammad Saw. dan umat Kristen di Gunung Sinai adalah salah satu contoh besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam masyarakat ini.28 Contoh lain dari toleransi Islam yang diajarkan oleh Nabi adalah pada waktu Fath Makkah yang dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan. Makkah perlu dibebaskan setelah sekitar 21 tahun dijadikan markas orang-orang musyrik. Saat umat Islam mengalami euforia atas keberhasilannya. Sekelompok kecil sahabat Nabi yang berpawai dengan memekikkan slogan „al-yaum yaum almalh}amah. Slogan ini dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman orang musyrik Makkah kepada umat Islam sebelumnya. Gejala tidak sehat ini dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang 26
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 66. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 44-45 28 Adeng Muchtar Ghazali, Teologi kerukunan beragama dalam Islam (Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia), Vol XIII, Nomor 2, Desember 2013, h. 285 27
64
beredarnya slogan tersebut dan menggantinya dengan slogan, al-yaum yaum almarh}amah, sehingga pembebasan Makkah dapat terwujud tanpa harus terjadi insiden berdarah.29 Sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an dapat dijadikan landasan dalam bertoleransi (tasâmuh), antara lain: Ali „Imrân (3): 19, Yȗnus (10): 99, QS. AnNahl (16): 125, Al-Kahfi (18): 29, dan Al-Mumtahanah (60): 8-9.30 Setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah dan menjadi penguasa politik, dia mendeklarasikan adanya jaminan keselamatan kepada orang-orang yang berbeda agama. Kebijakan Nabi ini termuat dalam satu dokumen sejarah Islam yang disebut dengan Piagam Madinah31 (Sjadzali , 1993: 8-17). Jaminan keselamatan atas non-Muslim dalam Islam dikenal dengan konsep ahl-dzimmah. Pemerintahan Islam memberikan perlindungan bagi penganut agama lain dengan cara menarik jizyah, sejenis pajak kepala (Rahman 1984: 28). Tindakan ini menjadi standar perlakuan Islam terhadap kaum Yahudi dan Kristen, yang selanjutnya dikenakan juga kepada penganut agama-agama lain.32 Prestasi Rasulullah Saw., dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar
29
Lihat Said Aqiel Siradj, “Meneguhkan Islam Toleran”, dalam Republika, 14 April 2007. Adeng Muchtar Ghazali, Teologi Kerukunan Beragama Dalam Islam (Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia), Vol XIII, Nomor 2, (Desember 2013) h. 284 31 Piagam Madinah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw., setelah hijrah ke Madinah antara kaum Muhajirin, Ansar dan kaum Yahudi Madinah. dalam bahasa Arab adalah صحيفة المدينةSahîfatul al-madînah. As-Sahîfah الصحيفةadalah nama yang disebut di dalam naskah. Kata صحيفةditulis delapan kali dalam teks Piagam. Selain nama itu, di dalam naskah, tertulis sebutan “kitab” dua kali. Kata treaty dan agreement menunjukan kepada isi naskah. Kata charter dan piagam lebih menunjukan pada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal. Dan kata As-Sahîfah semakna dengan charter atau Piagam. Zuraidah Hafni, Piagam Madinah dari perspektif kebudayaan, (Skripsi s 1 Program studi sastra arab, Universitas Sumatra Utara 2009), h. 21 32 Ajat Sudrajat, Relasi umat islam dan kristen: beberapa faktor penggaggu, 30
65
bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia33 dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.34 Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.) Dan juga ada hadis Nabi yang menunjukan bahwa Beliau (memulai) mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi), Raja Etiopia, melalui suratnya. Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Najasyi Raja Habasyah, Raja Etiopia. Salam bagi anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan; 33
Setelah melakukan pembebasan Aelia (nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Abbasiyah). dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh penduduk Aelia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka. Perjanjian tersebut kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Aelia ( )ميثاق ايلياatau Perjanjian Umar ()العهدة العمرية yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Pembebasan al-Quds dan perjanjian Aelia oleh Umar bin al-Khattab, Artikel diakses pada 9 September 2015 dari http://www.kitabklasik.net/2008/08/pembebasan-al-quds-dan-perjanijian.html 34 Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama., h. 6
66
hamba-Nya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Amma ba‟du: aku memuji Allah padamu yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi Aman, dan Maha Pembeda. Aku bersaksi bahawa Isa anakMaryam ruh Allah, dan firman-Nya yang diberikan kepada Maryam yang suci lagi perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya, sebagaiman Ia menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah yang Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mematuhi dengan ketaatan kepada-Nya, dan untuk mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah, aku mengajakmu dan para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Timggi. Aku telah menyampaikan pesan dan memberi nasihat, maka terimalah nasihatku. keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw., adalah “salam bagi anda” (Salamun „alayk). Salam ini ditujukan kepada negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen (Nasrani).35
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad Saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang snagat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam. Bahkan, al-Qur‟an juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, 35
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 71-72
67
dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad Saw., berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).36 Islam merealisasikan kerukunan hidup beragama dalam konteks Indonesia, dengan berpatokan pada tri kerukunan yakni, kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Khusus dalam kerukunan antar umat beragama, disebut SKB No. 1/1979 sebagai pedoman, dimana tanggung jawab dan tugas penertiban pelaksanaannya berada di atas pundak Departemen Agama dan Departemen Dalam Negri.37
36
Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama, h. 2 Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997), h. 8-10 37
BAB IV KAJIAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM A. Memahami al-Sunnah Dengan Berpedoman Pada al-Qur’ân al-Karîm (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) Dalam teorinya al-Qardhâwî, bahwa tidaklah penjelasan akan bertentangan dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan pokok. 1 Maka dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan dalam bukunya fiqih lintas agama bahwa, l- u ‟ n d n l- adîth tidak boleh dikonfrontasikan,
tetapi
justru
harus
dicari
dan
dihayati
dasar-dasar
pertemuannya.2 Langkah-langkah memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada alu‟ n
l-Karîm adalah dipastikan hadis yang kita teliti “s hih”, perlunya
penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an, Mengenai hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang sahih.3 Dan adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama tidak ada penafsirannya yang dapat diterima. Maka kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, hal itu pasti disebabkan tidak
1
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami al-Sunnah dengan Benar. Penerjemah Saifullah Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148 2 Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 55 3 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 101
68
69
sahihnya hadis yang bersangkutan, atau apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki.4 Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berbunyi :
ٍِ ول َ أَ َّن َر ُس،َ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة، َع ْن أَبِ ِيو، َع ْن ُس َه ْي ٍل،ي َّ َّر َاوْرِد َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد ال َْع ِزي ِز يَ ْع ِِن الد،َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد ِ ِ ،َح َد ُى ْم ِِف طَ ِر ٍيق َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َّص َارى ِِب َ « ََل تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه:ال َ ود َوََل الن َ هللا َ فَِإذَا لَقيتُ ْم أ،لس ََلِم 5 ِِ »ضيَقو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ فَا “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim) Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapa saja di antara mereka ke pinggir jalan. Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam terhadap orang-orang non Muslim adalah:
َِّ أَ ْخب رََن عب ي ُد،شيم ِكر ٍِ ٍ َاَّلل بْ ُن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن أَن ض َي ْ َُ َ َ ٌ ْ َ َحدَّثَنَا ُى،ََحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َش ْي بَة َ س بْ ُن َمال ُ َ َحدَّثَنَا أَن،س 6 ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أ َْىل:َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ِ َالكت َّ َو َعلَْي ُك ْم:اب فَ ُقولُوا َ َ ق:ال َ َ ق،ُاَّللُ َعنْو َ ُّ ِال الن َ ََ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ 4
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 6 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 75 5
70
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami „Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî) Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik adalah sahih. Maka teorinya al-Qardhâwî dalam memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm adalah kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan dalam memahami hadis, hal itu disebabkan apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki.7 Oleh karenanya, sesuai teorinya al-Qardhâwî pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur‟an,8 Yȗsuf Qardhâwî berpendapat bahwa, keaneka ragaman agama terjadi sesuai dengan kehendak Allah Swt., yang pasti memiliki hikmah yang besar. Dalam surat (Yunus [10]: 99) :
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau, engkau memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya. (Yunus [10]: 99). Masyarakat pertama yang menjadi gambaran kehidupan agama yang berbeda adalah masyarakat Nabawi di Madinah, ketika Rasulullah Saw., hijrah ke 7
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137 8
71
Madinah sudah ada masyarakat Yahudi yang berada di sana. Mengakui keberadaan Yahudi di sana lalu mengadakan perjanjian yang dikenal dengan piagam madinah yang terkenal. Kedua pihak ini hidup rukun, saling membantu dalam keadaan senang ataupun susah inilah yang ditetapkan Islam hidup saling menghormati satu sama lain bukan dalam permusuhan.9 Hal ini ditegaskan pula oleh firman Allah Swt., dalam surah al-Nisâ‟ ayat 86 yang berbunyi :
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]10. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (Al-Nisâ‟ [4]: 86) Ini menunjukan bahwa membalas ucapan sesuai dengan yang lebih dulu kalau tidak dapat dengan yang lebih baik darinya.11 Pada masa jahiliah, masyarakatnya bila bertemu saling mengucapkan salam antara lain yang berbunyi
( )حيّاك هللاayyâka Allâh, yakni semoga Allah memberikan untukmu kehidupan, dari sini kata tahiyyah secara umum dipahami dalam arti mengucapkan salam. Islam datang mengajarkan salam bukan dengan ayyâka Allâh atau ()أنعم صباحا n‟im sabâhan/selamat pagi dan ( )أنعم مسا ءاn‟im m s ‟ n/sel m t so e, tetapi 9
Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/
watch?v=cFT42sRfg5A dalam acara talkshow “non Muslim di tengah Masyarakat Muslim Bersama Syeikh Yusuf al Qardhâwî” Courtesy Al-Jazirah, disiarkan langsung dari Doha, Qatar. Diterbitkan 24 agustus 2013. 10
Penghormatan dalam Islam Ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu'alaikum. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah : Fathul Baari, juz 30 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 145 11
72
yang diajarkannya adalah al-s l mu „ l ikum, bahkan kata inilah yang diucapkan Allah kepada mereka yang beriman dan memperoleh anugrah-Nya. “kepada mereka dikatakan: “S l m”, sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang” (QS. Yâsîn [36]: 58). Kepada para Nabi, Allah mengucapkan/mencurahkan salam.12 Adapun maksud dari ayat di atas juga ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah memberi penghormatan yang baik kepada orang-orang Islam, atau memberi penghormatan dengan yang serupa atas orang-orang kafir. Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Salim bin Nuh menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id bin Abi Urwah menceritakan kepada kami dari Al-Qatadah, mengenai ayat (Wa idzâ huyyîtum bitahiyyatin f h yyȗ bi ahsana minhâ) “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya,” bahwa maksudnya itu untuk (kepada) kaum Muslim (Aw uddȗh ) “atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa,” kepada ahli kitab.
13
Abu Ja‟far berpendapat bahwa, itu ditujukan kepada orang-orang Islam. Maksud dari makna tersebut adalah, diharuskan menjawab salam atas orang muslim – apabila seseorang memberikan salam kepadanya – dengan yang lebih baik dari salam yang telah diucapkan untuknya, atau sama seperti yang telah diucapkan untuknya.14
12
Baca antara lain sekian banyak ayat dalam QS. Al-Safat [37]: 79, 109, 120, 130, 181. Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari, terj. Akhmad Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz 2, h. 409 14 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari., juz 2, h. 411 13
73
Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Ap bil seseo ng hli kit b membe ik n s l m kep d mu, m k j w bl h, “w „ l ikum” „D n t s k mu pul ‟.15 Dalam Tafsirnya Al Qurthubi, Ibnu Abbas dan selainnya berkata, “maksud dari ayat وإذا حيّيتم بتحيّة, Jika ia seorang Muslim فحيّوا أبحسن منهاwalaupun kepada orang non Muslim, maka balaslah salam mereka sebagaimana yang Rasulullah Saw., sabdakan dengan mengucapkan w „ l ikum. Dalam Sahih Muslim ada huruf wawu yang terkadang ditulis dan terkadang tidak („ l ik ) dan ia merupakan riwayat yang maknanya jelas. Adapun kata „alaika yang bergandengan dengan huruf wawu merupakan huruf ataf yang menyebabkan kalimat setelahnya mengikuti kalimat sebelumnya. Oleh karena itu jika hal itu di lakukan, maka non Muslim dan juga orang-orang yang telah meninggal termasuk dalam kewajiban menjawab salam. Ahli tafsir berbeda pendapat mengenai hal itu. Pertama, wawu berfungsi sebagai ataf hanya saja kita menjawab salam mereka dan mereka tidak wajib menjawab salam kita, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Saw. Kedua, wawu berfungsi sebagai isti‟naf (permulaan), namun pendapat pertama lebih utama menurutnya.16
15
Al-Bukhari dalam Al Isti‟dzan (6258), Muslim dalam As-Salam (2163), Abu Daud dalam Al Adab (5206), dan Ibnu Majah dalam Al Adab (2697) 16 Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz. 2, h. 716-717
74
Al-Tabari menukil riwayat dari jalur Ibnu Uyainah, dia berkata, “boleh memulai salam kepada orang non Muslim berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 817 :
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (alMumtahanah [60]: 8) Ibnu Abi Syaibah menukil riwayat dari jalur Aun bin Abdullah, dari Muhammad bin Ka‟ab bahwa dia menanyakan kepada Umar bin Abdul Aziz tentang memulai salam kepada ahli dzimmah, maka diapun menjawab, “kita boleh menjawab salam mereka tapi tidak boleh memulai salam kepada mereka.” Aun berkata : Lalu aku katakan kepadanya (kepada Muhammad bin ka‟ab), “menurutmu sendiri bagaimana?” ia menjawab, “menurutku, tidak apa-apa memulai salam kepada mereka.” Aku bertanya lagi, “mengapa?” ia menjawab, “karena firman Allah dalam surah Al-Zukhruf ayat 89 menyebutkan فاصفح عنهم وقل
„سَلمMaka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah, salam (selamat tinggal)‟.”18 Al-Qurthubi mengatakan tentang sabda Nabi Muhammad Saw:
17 18
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 135 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 136
75
ِ ضيَ ِق ِو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ فَا،َح َد ُى ْم ِِف طَ ِر ٍيق َ فَِإ َذا لَقيتُ ْم أ (dan jika kalian berjumpa dengan mereka di jalan, maka pepetkanlah mereka ke bagian yang sempit) maknanya adalah, “janganlah kalian mempersilahkan mereka di jalan sempit karena memuliakan dan menghormati mereka”. Dengan demikian, redaksi ini sesuai dengan makna redaksi yang pertama. Jadi, maknanya bukan jika kalian berjumpa dengan mereka di jalanan yang luas maka pepetlah mereka di sudutnya sehingga mereka kesempitan, karena sikap demikian berarti mengganggu mereka, padahal kita dilarang mengganggu mereka tanpa sebab. Dan perkataan Nabi Ibrahim kepada ayahnya (yang kafir) dalam surat maryam ayat 47 :
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Maryam [19] 47) Kendati demikian tegas ancaman orang tua Nabi Ibrahim as, Nabi agung ini masih menjawab dengan halus dengan mengucapkan salam perpisahan. Dia tidak membantah, apalagi menghardik; dia tidak membalas ancaman dengan ancaman tetapi dia berkata; „salamun „alaika” selamat berpisah semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan beristigfar memintakan ampun atau memohonkan hidayah bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
76
Janji Nabi Ibrahim as. Untuk bapaknya hanya pada saat itu, namun setelah adanya larangan, beliau tidak lagi beristigfar sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Taubah [9] 114; Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. Janji yang dimaksud ayat al-Taubah ini adalah janji yang disebut oleh ayat 47 surat Maryam ini dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 4.19 Ayat sebelumnya yang senada dengan hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim, dalam surat al-Taubah ayat 113:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (al-Taubah [9] 113) Atas dasar hasil identifikasi penulis terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik
setelah
diintegrasikan
dengan
ayat-ayat
al-Qur‟an
bahwa,
kita
diperbolehkan untuk membalas salam terhadap non-Muslim bahkan membalasnya dengan yang lebih baik dalam konteks persaudaraan, perdamaian, dan menjaga stabilitas kerukunan umat beragama. Adapun mengucapkan salam sendiri tetap 19
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 8, h. 200-201
77
tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa, surat al-Taubah ayat 113-114 memberikan penjelasan bahwa yang benar mengenai ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Uyainah.20 Mengenai hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim menunjukkan agar tidak lebih dulu memberikan salam kepada mereka, karena sikap itu merupakan bentuk penghormatan. B. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) Menurut al-Qardhâwî, nas-nas sy i‟ t tidak mungkin saling bertentangan. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Dan atas dasar itu, wajib menghilangkannya dengan cara: Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nas, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Dalam hal ini al-Qardhâwî menegaskan bahwa penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan.21 Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah yang melarang mengucapkan salam terhadap non Muslim sebagai berikut:
20
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 11, h. 299 21 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 118
78
ٍِ َّ أ،َ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة، َع ْن أَبِ ِيو، َع ْن ُس َه ْي ٍل،ي ول َ َن َر ُس َّ َّر َاوْرِد َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد ال َْع ِزي ِز يَ ْع ِِن الد،َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد ِ ِ ،َح َد ُى ْم ِِف طَ ِر ٍيق َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َّص َارى ِِب َ « ََل تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه:ال َ ود َوََل الن َ هللا َ فَِإذَا لَقيتُ ْم أ،لس ََلِم 22 ِ ِ »ضيَقو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ فَا “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim) Berkenaan dengan hadis di atas tentang larangan mengucapkan salam dan anjuran untuk berbuat kasar terhadap non Muslim, sesuai dengan arahan metode al-Qardhâwî penulis akan menggabungkan atau menyesuaikan dengan beberapa hadis Nabi lainnya yang tentu sama-sama sahih. Pertama, Perlu pula memperhatikan hadis Nabi Saw., yang melalui Anas bin Malik yang mengatakan bahwa:
َِّ أَ ْخب رََن عب ي ُد،شيم ِكر ٍِ ٍ َاَّلل بْ ُن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن أَن ض َي ْ َُ َ َ ٌ ْ َ َحدَّثَنَا ُى،ََحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َش ْي بَة َ س بْ ُن َمال ُ َ َحدَّثَنَا أَن،س 23 ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أ َْىل:َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ِ َالكت َّ َو َعلَْي ُك ْم:اب فَ ُقولُوا َ َ ق:ال َ َ ق،ُاَّللُ َع ْنو َ ُّ ِال الن َ ََ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ “Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami „Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî) Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî di atas menunjukkan bahwa orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab. Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah Ahli Kitab, tentu saja salam yang
22 23
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707 Imam Bukhari, Shahih Bukhari., h. 75
79
wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orang-orang non Muslim lain.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Fathul Bâri menjelaskan tentang mengucapkan salam dalam perkumpulan yang terdiri dari orang-orang Muslim dan orang-orang Musyrik. Pada pembahasan ini Imam Bukhârî mencantumkan hadis Usamah bin Zaid yang menceritakan kisah Abdullah bin Ubai. Dalam hadis Usamah bin Zaid disebutkan, مر ِف اجمللس فيو أخَلط من ّ ّ حّت
( املسلمني و املشركنيHingga beliau melewati suatu kumpulan orang yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum musyrikin), dan disebutkan النِب صلّى هللا عليو و سلّم ّ فسلّم عليهم (Lalu Nabi Saw., mengucapkan salam kepada mereka).
Al-Tabari berkata: tidak ada kontradiksi antara hadis Usamah yang menyebutkan ucapan salam Nabi Saw., kepada orang-orang kafir yang sedang bersama orang-orang Islam, dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan salam yang disyariatkan.24
24
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 136
80
Diriwayatkan oleh al-Darimi dan al-Tirmidzi melalui „Abdullah bin Salâm yang menjelaskan tentang anjuran menyebarkan salam kepada seluruh manusia, anjuran ini bukan hanya kepada seorang Muslim ataupun Ahli Kitab.
ٍ وََْيَي بن س ِع، وابن أَِِب َع ِد ٍي، و ُُمَ َّم ُد بن جع َف ٍر،َّاب الثَّ َق ِف ُّي ِ الوى َّ ََحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ب ،يد َ َ ق،شا ٍر َ ُْ َ َ ّ ُْ َ َْ ُْ َ َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد:ال ِ ُ ل ََّما قَ ِدم رس:ال ِ عن عب ِد، عن زرارةَ ب ِن أَو ََف،اِب ِ عن عو َِ ف بْ ِن أَِِب صلَّى َ َ ق،هللا بْ ِن َسَلٍَم ْ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ ْ َ ِِّ َجيلَةَ األَ ْع َر َ ول هللا َُ َ َْ ْ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّاَّللُ َعلَْيو َو َسلَّم ال َْمدينَةَ ْاْنَ َفل الن ِ ت ِِف الن َّ صلَّى َّ َّاس ُ قَد َم َر ُس:يل ُ فَج ْئ،اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َ ول هللا ُ َ َ َوق،اس إل َْيو َ ِ ِ ت وجو رس ِ ٍ ََّّ َن َو ْج َهوُ ل َْيس بَِو ْج ِو َك َّ ت أ َّ صلَّى اب َوَكا َن أَ َّو ُل ُ ْاَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم عَ َرف ْ فَ لَ َّما،ألَنْظَُر إِل َْيو َ ول هللا ُ َ َ ْ َ ُ استَ بَ ْن َ ِ ُّ َ َو،ام َ ََش ْي ٍء تَ َكلَّ َم بِ ِو أَ ْن ق َام تَ ْد ُخلُو َن اجلَنَّة َّ شوا ُ ْ أَف،َّاس ٌ ََّاس نِي َ َوأَطْع ُموا الطَّ َع،السَلَ َم ُ صلوا َوالن ُ ََي أَيُّ َها الن:ال ِ .سَلٍَم َب 25
ِ ِ يث .يح َ ٌ َى ََّا َحد ٌ صح
“Wahai seluruh manusia! Sebarkan salam, berilah makanan, sambunglah tali kekerabatan, dan shalatlah saat orang-orang tidur niscaya kamu masuk surga dengan aman”. (HR. Al-Darimi dan Al-Tirmidzi) AlTirmidzi berkata, “Hadis s hih”. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim melalui „Abdullah ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah mengucapkan salam kepada orang non Muslim boleh atau dilarang :
ِ ِ ِ اَّلل ب ِن َعم ٍرو ر َّ ض َي ،اَّللُ َع ْن ُه َما َ َ ق،َحدَّثَنَا َع ْم ُرو بْ ُن َخالِ ٍد ُ َحدَّثَنَا اللَّْي:ال َ ْ ْ َّ َع ْن َع ْبد، َع ْن أَِِب اخلَ ِْْي، َع ْن يَ ِزي َد،ث ِ َّ أ السَلَ َم َعلَى َم ْن َ ََي ا ِإل ْسَلَِم َخ ْي ٌر؟ ق ُّ أ:صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َّ ُ َوتَ ْق َرأ،ام َّ َِن َر ُج ًَل َسأ ََل الن َ «تُطْع ُم الطَّ َع:ال َ َِّب 26
ف ْ ت َوَم ْن ََلْ تَ ْع ِر َ َْع َرف
Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw., tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: “Memberikan
25
Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 4, hadis ke-2485, ( Daar al-Fikr,Beirut), h. 233 26 Imam Bukhari, Shahih Bukhari.,h. 12
81
makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal”. Makna zahir ungkapan “siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal” dalam hadis ini menunjukan keumuman pada seluruh manusia (kull al-nâs), baik yang beriman maupun yang kafir, karena makna zahir ini menunjukan bahwa salam adalah milik Allah Swt., bukan untuk pemenuhan hak pengenalan.
Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan salam), kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan terwujud, kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomena-fenomena Islam dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata. Hadis ini menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian.27
Karena itu, dengan menggabungkan dan menyesuaikan antara hadis Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah dengan hadis-hadis lainnya bukan berarti dalam penjama‟an ini penulis berupaya untuk menghilangkan atau menumpulkan legal standing hadis Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah tersebut, tetapi tentu keduaduanya setelah digabungkan memiliki peranan masing-masing dalam konteks masing-masing pula. Tidak ada kontradiksi antara hadis satu dengan hadis yang lainnya. Dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang terkait 27
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 73
82
dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan salam yang disyariatkan.
C. Memahami
Hadis
Dengan
Memperhatikan
Konteks
Historis,
Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu „ill h tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang „ill h-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku „ill h-nya. Oleh karenanya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah yang berbunyi:
ٍِ َّ أ،َ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة، َع ْن أَبِ ِيو، َع ْن ُس َه ْي ٍل،ي ول َ َن َر ُس َّ َّر َاوْرِد َ َحدَّثَنَا َع ْب ُد ال َْع ِزي ِز يَ ْع ِِن الد،َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد ِ ِ ،َح َد ُى ْم ِِف طَ ِر ٍيق َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َّص َارى ِِب َ « ََل تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه:ال َ ود َوََل الن َ هللا َ فَِإ َذا لَقيتُ ْم أ،لس ََلِم 28 ِ ِ »ضيَقو ْ َضطَُّروهُ إِ ََل أ ْ فَا “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim) Perlu dicatat bahwa, dalam memahami hadis Nabi ini, selain dari dipahami dengan berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm dan dengan menggabungkannya,
28
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707
83
maka selanjutnya penulis teliti melalui konteks historis (asbâb al-wu ȗd), kondisi lingkungan dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari ditetapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.29 Pada umumnya mayoritas fuqaha30 dan banyak ulama berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah haram, terlarang. Sahabat Nabi Saw., Ibn „Abbâs dan sekelompok ulama selain beliau berpendapat demikian.31 Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw., Nabi berkata: “J ng nl h k mu memul i (menguc pkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah di ke pinggi .” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapapun di antara mereka ke pinggir jalan. Hadis ini menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar. Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah hadis yang menceritakan bahwa sekelompok orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad Saw., sambil mengucapkan (al-s m „ l ikum) ”kematian bagimu”, “celaka bagimu”, “kehinaan bagimu”. 29
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 131-132 Imam Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab, penerjemah Abdul Somad, Umar Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1037 31 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 539 30
84
Melihat peristiwa itu, Aisyah, istri Nabi, mengucapkan (w ‟ l ikum l-sâm wa all ‟n h) “Dan bagimu kematian dan laknat” kepada tamu Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur Aisyah, perlahan-lahan, hai Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua urusan. Maka Aisyah bertanya kepada beliau, “Ya Rasulallah. Apa engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Rasulullah menjawab, “Aku telah mengucapkan w ‟ l ikum (bagimu [kematian]). Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah. Namun petunjuk Nabi Saw., yang melarang memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, (HR. Muslim dari Abu Hurairah) ini karena ketika itu permusuhan mereka sudah sangat
jelas:
“me ek
tid k henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu, mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh h ti me ek lebih bes
l gi” ( S. Ȃl „Im n [3]: 118).
Larangan Nabi mereka pahami dalam konteks zamannya, dimana orangorang Yahudi mengucapkan )(السام عليكم
al-s m „ l ikum bukan al-salâmu
„ l ikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu, kalaupun harus dijawab, dijawab dengan („ )عليكمalaikum (tanpa wa) yakni “terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau ( )و عليكمwa‟alaikum (dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun demikian”. („ )عليك السَلمAl ik s l m atau salam yang tidak disertai dengan wa
85
(dan) menurut Nabi Saw., adalah salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi).32 Ada sembilan hadis lain yang pada intinya, meskipun dengan redaksiredaksi yang sedikit berbeda, sama dengan hadis ini. Sembilan hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui tiga orang: enam hadis melalui Aisyah, dua hadis melalui Abdullah Ibn Umar, dan satu hadis melalui Anas Ibn Malik. Larangan hadis ini para ulama memahaminya dalam konteks zamannya. Beberapa catatan tentang sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “al-sâm „ l ikum” bukan salam perdamaian, yaitu “al-s l mu „ l ikum”. Kedu , yang memulai mengucapkan salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-orang Yahudi bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang tidak sopan itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidak sopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan “wa‟alaikum” (dan bagimu [kematian].33 Jika syariaat islam dilaksanakan sebagaimana mestinya maka tidak menjadi masalah, karena syariaat islam datang dengan kemaslahatan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Untuk muslimin dan non muslimin datang dengan 32 33
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 515 Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 69-70
86
keadilan, kebebasan, kemuliaan, kehormatan, persamaan.34 Oleh karenanya, penetapan hukum mengucapkan salam terhadap non Muslim harus berdasarkan penelusuran konteks historis dan tujuannya pada zaman Rasulullah Saw., sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dan ketidak benaran dalam menafsirkan pemahaman hadis tersebut. Di Indonesia banyak orang Muslim dan non Muslim saling hidup berdampingan, bersahabat, dan bahkan satu lingkup keluarga, dalam konteks seperti itu tidak mungkin hadis Imam Muslim yang melalui Abu Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada non Muslim bahkan menyuruhnya untuk memepetkannya hingga ke pinggir jalan diaplikasikan dalam konteks kerukunan. Tetapi, hadis tersebut bukan berarti penulis anggap tidak digunakan lagi, namun penerapan hadis tersebut harus sesuai konteks.
34
Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/
watch?v=cFT42sRfg5A dalam acara talkshow “non Muslim di tengah Masyarakat Muslim Bersama Syeikh Yusuf al Qardhâwî” Courtesy Al-Jazirah, disiarkan langsung dari Doha, Qatar. Diterbitkan 24 agustus 2013.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim dengan diteliti melalui 3 metode al-Qardhâwî, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa: 1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, setelah diteliti melalui metodenya al-Qardhâwî dengan berpedoman pada al-Qur’ân al-Karîm, kita diperbolehkan untuk membalas salam terhadap non-Muslim bahkan membalasnya dengan yang lebih baik dalam konteks persaudaraan, perdamaian, dan menjaga stabilitas kerukunan umat beragama atas dasar surat al-Nisâ‟ [4]: 86. Adapun mengucapkan salam sendiri tetap tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa, surat al-Taubah ayat 113-114 memberikan penjelasan bahwa yang benar mengenai ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Uyainah.1 Mengenai hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim menunjukkan agar tidak lebih dulu memberikan salam kepada mereka, karena sikap itu merupakan bentuk penghormatan. 2. Kedua, dengan metodenya Memadukan atau mentarjih antara hadishadis yang kontradiktif bahwa, hadis yang diriwayatkan oleh Imam 1
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 11, h. 299
87
88
Muslim melalui Abȗ Hurairah setelah dipadukan dengan hadis-hadis lain yang tentu sama-sama sahih. Yaitu dengan hadis al-Bukhârî melalui Anas bin Malik, Al-Darimi dan Al-Tirmidzi melalui „Abdullah bin Salâm, dan al-Bukhârî dan Muslim melalui „Abdullah Ibn Amru, memberikan penjelasan bahwa, kedua-duanya setelah digabungkan memiliki peranan masing-masing dalam konteks masing-masing pula. Tidak ada kontradiksi antara hadis satu dengan hadis yang lainnya. Dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan salam yang disyariatkan. 3. Dan yang terakhir dengan memperhatikan konteks historis, hubungan dan tujuannya. Larangan Nabi atas ucapan salam terhadap non Muslim dipahami dalam konteks zamannya, dimana orang-orang Yahudi mengucapkan ) (الساـ عليكمal-sâm ‘alaikum bukan al-salâmu ‘alaikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu, kalaupun harus dijawab, dijawab dengan („ )عليكمalaikum (tanpa wa) yakni “terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau ()و عليكم wa‟alaikum (dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang
89
dan terhadap kalianpun demikian”. (‘ )عليك السالـAlaika salâm atau salam yang tidak disertai dengan wa (dan) menurut Nabi Saw., adalah salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi). Dan Oleh karenanya, penetapan hukum mengucapkan salam terhadap non Muslim dengan berdasarkan penelusuran konteks historis dan tujuannya pada zaman Rasulullah Saw., dilarangnya pada waktu itu dengan alasan ketika itu permusuhan mereka sudah sangat jelas terhadap Nabi Saw. Maka, ketika konteks dimana orang-orang non-Muslim mengucapkan salamnya dalam term “al-Sâmu „alaikum” jelas kita dilarang untuk mengucapkan dan menjawabnya cukup dengan kalimat “wa‟alikum” sesuai dengan hadis al-Bukhâri yang melalui Anas bin Mâlik.
90
B. Saran Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian tentang pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim studi metode Yȗsuf al-Qardhâwî. Kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas; Dalam skripsi ini penulis membahas tentang pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim dengan menggunakan metode pemahaman hadis Yȗsuf al-Qardhâwî, Pertama, Fahm al-Sunnah fî Dau’i al-Qur’ân al-Karîm. Kedua, Al-Jam’u au al-Tarjîh baina Mukhtalif al-Hadîts. Ketiga, Fahm al-Hadîts fî Dau’i Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa Maqâsidihâ. Dengan ketiga metode ini penulis menemukan pemahaman yang mendalam terkait pesan dan tujuan hadis tersebut. Dengan demikian, dalam pemahaman hadis Nabi dapat terhindar dari sikap mudah terpancing untuk menyalahkan kesahihan hadis tersebut. Sementara setelah dipahami dengan menggunakan ketiga metode itu ternyata hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah ketika saat itu sikap orang-orang non Muslim sudah sangat jelas dalam permusuhannya dan ada hadis-hadis lain juga yang menganjurkan untuk kita supaya dapat bersikap lemah lembut dan menyebarkan salam ke seluruh manusia, kepada orang yang kita kenal dan yang tidak dikenal. Oleh karenanya disarankan kepada jurusan TH untuk lebih giat lagi mengadakan kajian-kajian kritik terhadap hadis dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang komprehensif. Sehingga hadis Nabi tidak hanya dipahami secara tekstual semata yang berakibat menjauhkan makna substansi hadis tersebut dan menjadikan kesalahan dalam memahaminya.
91
Pembahasan dalam skripsi ini bukanlah pembahasan yang sempurna. Terlepas dari kemampuan dan keterbatasan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan koreksi yang bisa lebih menyempurnakan pembahasan ini. Namun demikian tidak menghalangi adanya penelitian selanjutnya yang bisa optimal dalam membahas permasalahan ini.
92
DAFTAR PUSTAKA Al-Asqalani, Al-Hafid ibn Hajar, Bulughul Maraam, Bab kitab al-Jāmi‟, no 1474. ................. Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah : Fathul Baari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah bulughul maram, terj. Thahirin Suparta, dkk. : Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Abu Daud, Imam, Sunan Abu Daud dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Daud Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistaniy, Sunan Abu Daud jilid 4, Beirut : Daar al-a‟Alam. Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits, kairo, 1989; buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi kritis atas Hadis Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan kontekstual. al-Madiny, Al-Muttaqi al-Syadzaily, Kanz al-‘Umal fi Sunan al-Aqwal wa alAf’al, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H. al Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005. Al-Qusyairi al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim ibn al-hajjaj, Shahih Muslim, kairo: Daar ibn Jauzi. 2010. Al-Qardhâwî, Yȗsuf, Kaifa nata’âmal ma’a as-sunnah an-nabawiyah, ma’âlim wa dhawâbith, terj. Drs. H. Saifullah Kamalie, Metode Memahami AsSunnah Dengan Benar, Jakarta: media dakwah, 1994 M. .................. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma, 1994. .................. Fatwa-fatwa kontemporer, Penerjemah As‟ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
93
.................. Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: Ibn al-Qaryah wa al-Kuttâb Malâmih S rah wa Mas rah, penerjemah: H. Cecep Taufikurrahman, Lc. Dan H Nandang Burhanuddin, Lc., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003. ................. Huda Al-Islam Fatawa Mu’ashir, alih bahasa Abdurrahman Ali Bauzir, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. ................ Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf, alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Al Qurthubi, Imam, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, juz. 2. Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 1, terj. Drs. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, jakarta: Gema insan press, 1999. Artikel diakses pada 21 September 2015 dari http://menjadihebat.blogspot.co.id /2012/05/teks-asli-piagam-madinah-beserta.html Al-Turmidzy, Imam, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 5. Daar al-Fikr,Beirut. Bakhtiar, Amsal, dkk., pedoman akademik program strata 1,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012/2013. Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 2000. Bukhari, Imam,
Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat
juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz < Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th. Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997. Hambal, Imam Ahmad ibn, Musnad Imam Ahmad Hambal, (Beirut : al-Maktub al-islam, 1978 M), juz =, hadis ke-9665.
94
Hidayat, Komaruddin, Agama punya seribu nyawa, Jakarta: Noura books, 2012. Jarir Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin, Tafsir Ath Thabari, terj. Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, juz 2. Muslim, Imam, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 8. kairo: Daar ibn Jauzi. 2010. Muhayyidin, M.R. Bawa, Islam Untuk Kedamaian Dunia, Bandung: Pustaka Hidayah, 2010 M. Madjid, Nuecholish, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004. Muhammad al-Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, Abu Hajar, Maus ’ah A râf ala ts,Jilid 1, Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah,t.t. Muhammad Fu‟ad „abdul baqi, Miftâ u Kun
al-Sunah, Lahore: Isaroh
Tarjamanu al-Sunah, 1931. Ma‟ruf, Djamhari, Iradikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesat? Dalam Bahtiar Effendi dan Soe Trisno Hadi(ed.), Agama dan Radikalisme, East Lansing: Nuqtah, 2007. Nashir, Ridlwan, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: pustaka pesantren, 2014. Nazir, Moh., Metode Penelitian, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011 Nawawi, Imam, Al-Majmu’ Syarah Al Muha
ab, terj. H. Abdul Somad Lc.,
MA., Umar Mujtahid, Lc. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Nasuhi, Hamid, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Ciputat: CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Pongsibanne, Lebba Kadore, Islam dan Budaya Lokal, Ciputat: mazhab ciputat, 2013.
95
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As‟ad Yasin, dkk. Jakarta: gema Insani Press, 2000, cet. 1, jild. 2, juz 5. Rachaman, Budi Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007. Shihab, Dr. Alwi, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, Bandung: Mizan, 1999 Sayyid Quth, Fī D ilāl al-Qur’ān,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th., jild. 2, juz 5. Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam’u Li Ushul fi al-Hadits al-Rasul, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1961 M-1381 H. Siradj, Said Aqiel, “Meneguhkan Islam Toleran”, dalam Republika, 14 April 2007. Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 9. Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/ watch?v=cFT42sRfg5A. Winano Surahmad, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode tehnik, Bandung: Tarsito, 1994 Wensinck, A.J. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâ i al- a ts al-Nabawî, Jilid 5. Leiden: E.J. Bill 1936. Skripsi : Fatimah, Ai Popon, “Salam terhadap non-Muslim perspektif hadis”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2014. Mujahid, Said, “Hadis larangan mengucapkan salam terhadap non muslim”, (Studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia), Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Muhammad, Lukman Zain Sakur, “Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-Qardhâwi: Analisis strukturalisme-Semiotik atas buku Kaifa Nata‟amal
96
ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah”, Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Zuraidah Hafni, “Piagam Madinah dari perspektif kebudayaan”, Skripsi s 1 Program studi sastra arab, Universitas Sumatra Utara 2009. Jurnal : Hidayatullah, Furqan Syarif, Jurnal pendidikan agama islam – Ta’lim Vol. 9 No. 1 – 2011. Hasan, Zulkifli, “Yȗsuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts”, Vol, no 3 Issue 1 (Juni 2013): h. 53. Faizin, Afwan, “Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi)”, V 8, No. 2 (September 2006): H. 137. Ghazali, Adeng Muchtar, “Teologi kerukunan beragama dalam Islam (Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia)”, Vol Desember 2013, h. 285.
XIII, Nomor 2,
97
LAMPIRAN Takhrij Hadis: 1. Bagaimana menjawab salam Ahl al-Dhimmah a. Sumber : Sahih al-Bukhari, kitab : meminta Izin, Bab : bagaimana menjawab salam Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 6258
َِّ أَ ْخبػرََن عبػي ُد،شيم ٍ َاَّلل بْ ُن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن أَن س بْ ُن ْ َُ َ َ ٌ ْ َ َح َّدثَػنَا ُى،َ َح َّدثَػنَا ُعثْ َما ُف بْ ُن أَِِب َش ْيػبَة- 8526 ُ َ َح َّدثَػنَا أَن،س ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أ َْىل:َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ِكر ٍِ ِ َالكت َّ ض َي َو َعلَْي ُك ْم:اب فَػ ُقولُوا َ َ ق:اؿ َ َ ق،ُاَّللُ َع ْنو َ ُّ ِاؿ الن َ َمال َ ََ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ 2
"
b. Sumber : Sahih al-Bukhari, kitab : Meminta taubat orang-orang murtad dan para pembangkang serta memerangi mereka, Bab : Jika Ahl alDhimmah mencela Nabi Saw, No. Hadis : 6926
َِّ أَ ْخبػرََن عب ُد، ح َّدثَػنا ُُمَ َّم ُد بن م َقاتِ ٍل أَبو احلس ِن- 8258 ِ َش ِاـ بْ ِن َزيْ ِد بْ ِن أَن س بْ ِن َ َع ْن ِى،ُ أَ ْخبَػ َرََن ُش ْعبَة،اَّلل َ َ َْ َ َ ُ ُْ ََ ُ َِّ وؿ ِ ِ َ َ ق،ك ٍ ِت أَنَس بْن مال ٍ ِمال ِ ي بِر ُس ،ك َ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَػ َق ُ يَػ ُق،ك َّ :اؿ َ اـ َعلَْي ُ الس َ اَّلل َ َ َ ُ ََس ْع:اؿ َ َ ّّ َم َّر يَػ ُهود:وؿ َِّ ]68:وؿ [ص َِّ وؿ " :صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُ اؿ َر ُس َ ك» فَػ َق ُ اؿ َر ُس َ فَػ َق َ « َو َعلَْي:صلَّى هللاُ عَلَْي ِو َو َسلَّ َم َ اَّلل َ اَّلل
2
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 57
98
َِّ وؿ إِذَا َسلَّ َم َعلَْي ُك ْم أ َْى ُل،َ " ال:اؿ َ َ أَالَ نَػ ْقتُػلُوُ؟ ق،اَّلل َ ََي َر ُس:ك " قَالُوا َ َوؿ؟ ق ُ أَتَ ْد ُرو َف َما يَػ ُق َّ :اؿ َ اـ َعلَْي ُ الس 3
ِ ِ َالكت " َو َعلَْي ُك ْم: فَػ ُقولُوا،اب
c. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl alDhimmah, No. Hadis : 3697
ٍ َعن س ِع، و ُُمَ َّم ُد بن بِ ْش ٍر، ح َّدثَػنَا َعب َدةُ بن سلَيما َف:اؿ ِ َ عَ ْن أَن،َادة س َ َ َع ْن قَػت،يد َ َ َ َح َّدثَػنَا أَبُو بَ ْك ٍر ق- 7823 َ ْ ُْ َ َْ ُ ُْ ْ ِ ُ اؿ رس ِ " إِذَا سلَّم َعلَي ُكم أَح ٌد ِمن أ َْى ِل ال:اَّلل صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ٍ ِبْ ِن مال ِ َْكت :اب فَػ ُقولُوا َ َك ق َ َّ وؿ ْ َ ْ ْ َ َ َ ُ َ َ َ ق:اؿ َ ََ ْ ُ 4
" َو َعلَْي ُك ْم
d. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl alDhimmah, No. Hadis : 3698
ٍ َعن مسر، َعن مسلِ ٍم،ش َ َ َح َّدثَػنَا أَبُو بَ ْك ٍر ق- 7826 َ ِ َع ْن َعائ،وؽ ُ أَنَّو:َشة ْ ُ ْ ِ َع ِن ْاْلَ ْع َم،َ َح َّدثَػنَا أَبُو ُم َعا ِويَة:اؿ ُْ َ ْ 5
ِ ك َي أََب الْ َق ِ َِّب صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم ََنس ِمن الْيػه » « َو َعلَْي ُك ْم:اؿ َ فَػ َق،اس ِم َّ :ود فَػ َقالُوا َُ َ ٌ َ َ َ ْ ُ ُ الس َ َّ ِأَتَى الن َ َ َ اـ َعلَْي
e. Sumber : Musnad Ahmad, Kitab : Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, Bab : Musnad Abdullah bin Umar bin al-Khattab RA, No. Hadis : 5221
3
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 9 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 15 4 Al-Hafidz Abi „ Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah (kairo : Daar al-kutub al-Sirri), juz 6, hadis ke- 7:=;, hal. 1219. 5
Al-Hafidz Abi „ Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah (kairo : Daar al-kutub al-Sirri), juz 6, hadis ke- 7:=<, hal. 1219.
99
الر ْْح ِن ،عن س ْفيا َف ،عن عب ِد َِّ ِ اؿ: اَّلل بْ ِن ِدينَا ٍرَ ،ع ِن ابْ ِن ُع َم َر قَ َ يعَ ،ح َّدثَػنَا ُس ْفيَا ُفَ ،و َع ْب ُد َّ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ - 2556ح َّدثَػنَا َوك ٌ وؿ َِّ اـ َعلَْي ُك ْم ،فَػ ُقولُواَ :و َعلَْي ُك ْم " اؿ َر ُس ُ قَ َ ود إِذَا لَُقوُك ْم قَالُواَّ : صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم " :إِ َّف الْيَػ ُه َ الس ُ اَّلل َ
6
2. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Mengucapkan salam untuk Ahl al-Dhimmah, No. Hadis :
ٍ صالِ ٍحَ ،ع ْن أَبِ ِيوَ ،ع ْن أَِِب َ - 5322ح َّدثَػنَا قُػتَػ ْيػبَةُ قَ َ الع ِزي ِز بْ ُن ُُمَ َّمدَ ،ع ْن ُس َه ْي ِل بْ ِن أَِِب َ اؿَ :ح َّدثَػنَا َع ْب ُد َ وؿ َِّ ِ ُى َريْػ َرةَ ،أ َّ صلَّى َّ َح َد ُى ْم ِِف اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ َف َر ُس َ َّص َارى َِب َّ اؿَ « :ال تَػ ْب َدأُوا الْيَػ ُه َ ود َوالن َ اَّلل َ لس َالِـَ ،وإِذَا لَقيتُ ْم أ َ ِ يث حسن ِ ضطَُّروهُ إِ ََل أَ ْ ِ ِ يح» طَ ِر ٍيق فَا ْ ضيَقو»َ « :ى َذا َحد ٌ َ َ ٌ َ صح ٌ
7
3. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik Sumber : Sahih Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Do‟a Nabi kepada Allah dan kesabarannya dalam menghadapi gangguan orang-orang Munafik, No. Hadis : 1798
ِ ِ ِ ظ ِالبْ ِن َرافِ ٍع، يم ا ْحلَْنظَلِ ُّيَ ،و ُُمَ َّم ُد بْ ُن َرافِ ٍعَ ،و َع ْب ُد بْ ُن ُْحَْي ٍدَ ،واللَّ ْف ُ َ )6326( - 668ح َّدثَػنَا إ ْس َحا ُؽ بْ ُن إبْػ َراى َ اؿ ْاْل َخر ِ اف :أَ ْخبػرََن َع ْب ُد َّ ِ يَ ،ع ْن ُع ْرَوةَ ،أ َّ اؿ ابْ ُن َرافِ ٍعَ :ح َّدثَػنَا ،وقَ َ قَ َ ُس َامةَ َف أ َ الرزَّاؽ ،أَ ْخبَػ َرََن َم ْع َم ٌرَ ،ع ِن ا ُّلزْى ِر ِّ ََ َ ِ َّ ِ َِّب َ َّ بْ َن َزيْ ٍد ،أَ ْخبَػ َرهُ ،أ َّ ب ِْحَ ًارا َعلَْي ِو إِ َك ٌ اؼ ََتْتَوُ قَ ِطي َفةٌ فَ َدكِيَّةٌَ ،وأ َْر َد َ ُس َامةَ َف النِ َّ اءهُ أ َ ؼ َوَر َ صلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم َرك َ 6
Imam Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Hambal, (Beirut : al-Maktub al-islam, 1978 M), juz =, hadis ke-9665, hal. 182 7 Lihat Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 5. ( Daar alFikr,Beirut), h. 60
100
ادةَ ِِف ب ِِن ا ْحلا ِر ِ ْع ِة بَ ْد ٍرَ ،ح ََّّت َم َّر ِِبَ ْجلِ ٍ ط ِم َن ث بْ ِن ْ س فِ ِيو أَ ْخ َال ٌ اْلَْزَر ِجَ ،و َذ َ َو ُى َو يَػعُ ُ اؾ قَػ ْب َل َوقػ َ ود َس ْع َد بْ َن ُعبَ َ َ َ س عب ُد ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ هللا ُِبَ ،وِِف ال َْم ْجل ِ َ ْ نيَ ،وال ُْم ْش ِرك َ ال ُْم ْسل ِم َ ني َعبَ َدة ْاْل َْوََثفَ ،والْيَػ ُهود ،فيه ْم [صَ ]6257:ع ْب ُد هللا بْ ُن أ ٍَّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ّبوا َعلَْيػنَا، ُِب أَنْػ َفوُ بِ ِر َدائِِوُُ ،ثَّ قَ َ س َع َج َ بْ ُن َرَو َ اؿَ :ال تُػغَ ُّ اجةُ الدَّابَّةََ ،خََّر َع ْب ُد هللا بْ ُن أ ٍَّ احةَ ،فَػلَ َّما غَشيَت ال َْم ْجل َ اؿ عب ُد ِ ِ هللا صلَّى هللاُ َعلَيْ ِو َو َسلَّ َمُُ ،ثَّ َوقَ َ سلَّ َم َعلَْي ِه ِم النِ ُّ ف ،فَػنَػ َز َؿ فَ َد َع ُ اى ْم إِ ََل هللاَ ،وقَػ َرأَ َعلَْي ِه ِم الْ ُق ْرآ َف ،فَػ َق َ َ ْ َِّب َ فَ َ ك ،فَ َم ْن س َن ِم ْن َى َذا إِ ْف َكا َف َما تَػ ُق ُ وؿ َح ِّقا ،فَ َال تُػ ْؤ ِذ ََن ِِف ََمَالِ ِسنَا َوا ْرِج ْع إِ ََل َر ْحلِ َ ُِب :أَيػُّ َها ال َْم ْرءَُ ،ال أ ْ َح َ بْ ُن أ ٍَّ ِ ج ِ ب ص َعلَْي ِو ،فَػ َق َ ك ،قَ َ استَ َّ شنَا ِِف ََمَالِ ِسنَا ،فَِإ ََّن ُُِن ُّ احةَ :ا ْغ َ ب ذَلِ َ اؿ :فَ ْ ْص ْ اء َؾ منَّا فَاق ُ اؿ َع ْب ُد هللا بْ ُن َرَو َ ََ ِ ِ ب صلَّى هللاُ عَلَْي ِو َو َسلَّ َم َُُِّف ُ ود َح ََّّت َهَُّوا أَ ْف يَػتَػ َواثَػبُوا ،فَػلَ ْم يَػ َزِؿ النِ ُّ ال ُْم ْسل ُمو َف َوال ُْم ْش ِرُكو َف َوالْيَػ ُه ُ َِّب َ ض ُه ْمُُ ،ثَّ َرك َ اب؟ -ي ِري ُد عب َد هللاِ اؿ أَبُو ُحبَ ٍ اد َة ،فَػ َق َ َي َس ْع ُد ،أَََلْ تَ ْس َم ْع إِ ََل َما قَ َ َدابَّػتَوُ َح ََّّت َد َخ َل َعلَى َس ْع ِد بْ ِن عُبَ َ ُ َْ اؿ " :أ ْ هللا ،واص َفح ،فَػو ِ وؿ ِ اؾ، ف َع ْنوُ ََي َر ُس َ اؿَ :ك َذا َوَك َذا " ،قَ َ ُِب -قَ َ اؾ هللاُ الَّ ِذي أَ ْعطَ َ هللا ،لََق ْد أَ ْعطَ َ اؿ :ا ْع ُ َ ْ ْ َ بْ َن أ ٍَّ ِ ِِ ِ ِ ِ ك َِب ْحلَ ِّق الَّ ِذي أَ ْعطَا َكوَُ ،ش ِر َؽ صابَِة ،فَػلَ َّما َر َّد هللاُ ذَلِ َ َولَ َقد ْ اصطَلَ َح أ َْى ُل َىذه الْبُ َح ْيػ َرة أَ ْف يُػتَػ ِّو ُجوهُ فَػيُػ َع ّ صبُوهُ َِبلْع َ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم، ك ،فَ َذلِ َ بِ َذلِ َ ك فَػ َع َل بِ ِو َما َرأَيْ َ ت ،فَػ َع َفا َع ْنوُ النِ ُّ َِّب َ
8
4. Bagaimana Menulis Surat Kepada non-Muslim a. Sumber : Sahih Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Surat Nabi Saw kepada Hiraclius, No. Hadis : 1773
8
Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 3. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1422, hal.
101
ِ ِ ِ يم ا ْحلَْنظَلِ ُّيَ ،وابْ ُن أَِِب ُع َم َرَ ،و ُُمَ َّم ُد بْ ُن َرافِ ٍعَ ،و َع ْب ُد بْ ُن ُْحَْي ٍد، َ )6337( - 32ح َّدثَػنَا إ ْس َحا ُؽ بْ ُن إبْػ َراى َ اؿ ْاْل َخر ِ الرز ِ َّاؽ ،أَ ْخبَػ َرََن َم ْع َم ٌر، اؿ ابْ ُن َرافِ ٍعَ :وابْ ُن أَِِب ُع َم َرَ ،ح َّدثَػنَا ،وقَ َ ظ ِالبْ ِن َرافِ ٍع ،قَ َ َواللَّ ْف ُ اف :أَ ْخبَػ َرََن َع ْب ُد َّ َ هللا ب ِن عب ِد ِ ِ ِ اس ،أ َّ هللا بْ ِن ُع ْتػبَةََ ،ع ِن ابْ ِن َعبَّ ٍ اؿ: َف أ َََب ُس ْفيَا َف ،أَ ْخبَػ َرهُ ِم ْن فِ ِيو إِ ََل فِ ِيو ،قَ َ َع ِن ُّ يَ ،ع ْن ُعبَػ ْيد ْ َ ْ الزْى ِر ِّ ت بػي ِِن وبػني رس ِ ِ ِ اؿ :فَػبَػ ْيػنَا أ َََن َِب َّ لش ِاـ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ،قَ َ انْطَلَ ْق ُ وؿ هللا َ ت ِِف ال ُْمدَّة الَِِّت َكانَ ْ َ ْ َ َ َْ َ ُ هللا صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم إِ ََل ِىرقْل يػع ِِن ع ِظيم الر ِ وؿ ِ ِ ِ اب ِم ْن ر ُس ِ يء بِ ِكتَ ٍ اؿَ :وَكا َف وـ ،قَ َ َ َ َ ْ َ َ ُّ َ َ [ص ]6722:إ ْذ ج َ ُ َْ ََ َ ِْب جاء بِ ِو ،فَ َدفَػعو إِ ََل ع ِظ ِيم بصرى ،فَ َدفَػعو ع ِظيم بصرى إِ ََل ِىرقْل ،فَػ َق َ ِ َح ٌد ْلَ :ى ْل َى ُ اىنَا أ َ َد ْحيَةُ الْ َكلِ ُّ َ َ َُ َ ُ ُ َْ َُ َ ُ َْ اؿ ى َرق ُ َ َ ِ ِ يت ِِف نَػ َف ٍر ِم ْن قُػ َريْ ٍ ْل، ِب؟ قَالُوا :نَػ َع ْم ،قَ َ ِم ْن قَػ ْوـ َى َذا َّ اؿ :فَ ُد ِع ُ الر ُج ِل الَّ ِذي يَػ ْزعُ ُم أَنَّوُ نَِ ّّ ش ،فَ َد َخلْنَا عَلَى ى َرق َ ْت: ِب؟ فَػ َق َ ني يَ َديْ ِو ،فَػ َق َ سبًا ِم ْن َى َذا َّ اؿ أَبُو ُس ْفيَا َف :فَػ ُقل ُ الر ُج ِل الَّ ِذي يَػ ْز ُع ُم أَنَّوُ نَِ ّّ سنَا بَػ َْ فَأ ْ اؿ :أَيُّ ُك ْم أَقػ َْر ُ ب نَ َ َجلَ َ ِ اؿ لَوُ :قُ ْل ََلُ ْم إِِِّن َسائِ ٌل َى َذا َع ِن َص َح ِاِب َخل ِْفيُُ ،ثَّ َد َعا بِتَػ ْر ُُجَانِِو ،فَػ َق َ سوا أ ْ ني يَ َديْوَ ،وأ ْ س ِوِن بَػ َْ أ َََن ،فَأ ْ َجلَ ُ َجلَ ُ اؿ أَبو س ْفيا َف :و ْاْي ِ هللا ،ل َْوَال َِمَافَةُ أَ ْف يػُ ْؤثَػ َر َعلَ َّي ِب ،فَِإ ْف َك َذبَِِن فَ َك ِّذبُوهُ ،قَ َ َّ الر ُج ِل الَّ ِذي يَػ ْز ُع ُم أَنَّوُ نَِ ّّ اؿ :فَػ َق َ ُ ُ َ َ ُ ِ ِ سٍ اؿ :فَػ َه ْل َكا َف ب ،قَ َ سبُوُ فِي ُك ْم ،قَ َ تُُ ،ثَّ قَا َؿ لِتَػ ْر ُُجَانِِوَ :سلْوُ َك ْي َ اؿ :قُػل ُ ب لَ َك َذبْ ُ الْ َكذ ُ ْتُ :ى َو فينَا ذُو َح َ ف َح َ ِ اؿ :فَػ َهل ُك ْنػتُ ْم تَػتَّ ِه ُمونَوُ َِبلْ َك ِذ ِ اؿَ :وَم ْن ْتَ :ال ،قَ َ وؿ َما قَ َ ب قَػ ْب َل أَ ْف يَػ ُق َ ْتَ :ال ،قَ َ آَبئِِو َملِ ٌ اؿ؟ قُػل ُ ك؟ قُػل ُ م ْن َ ْ اؼ الن ِ ْتَ :ال، صو َف؟ قَ َ ض َع َفا ُؤ ُى ْم ،قَ َ ض َع َفا ُؤ ُى ْم؟ قَ َ يَػتَّبِ ُعوُ؟ أَ ْش َر ُ اؿ :قُػل ُ ْت :بَ ْل ُ اؿ :قُػل ُ َّاس أ َْـ ُ اؿ :أَيَ ِزي ُدو َف أ َْـ يَػ ْنػ ُق ُ اؿ :فَػ َه ْل ْتَ :ال ،قَ َ بَ ْل يَ ِزي ُدو َف ،قَ َ َح ٌد ِم ْنػ ُه ْم َع ْن ِدينِ ِو بَػ ْع َد أَ ْف يَ ْد ُخ َل فِ ِيو َس ْخطَةً لَوُ؟ قَا َؿ :قُػل ُ اؿَ :ى ْل يَػ ْرتَ ُّد أ َ ِ ِ يب ف َكا َف قِتَالُ ُك ْم إِ ََّيهُ؟ قَ َ ْت :نَػ َع ْم ،قَ َ اؿ :فَ َكيْ َ اؿ :قُػل ُ قَاتَػلْتُ ُموهُ؟ قُػل ُ ْت :تَ ُكو ُف ا ْحلَْر ُ ب بَػ ْيػنَػنَا َوبَػ ْيػنَوُ س َج ًاال يُص ُ ِ ِ ٍ ِ صانِ ٌع فِ َيها [ص،]6722: يب ِم ْنوُ ،قَ َ اؿ :فَػ َه ْل يَػ ْغ ِد ُر؟ قُػل ُ ْتَ :الَ ،وَُْن ُن م ْنوُ ِِف ُمدَّة َال نَ ْد ِري َما ُى َو َ منَّا َونُص ُ
102
اؿ :فَػو ِ اؿ: َح ٌد قَػ ْبػلَوُ؟ قَ َ اؿ :فَػ َه ْل قَ َ هللا َما أ َْم َكنَ ِِن ِم ْن َكلِ َم ٍة أُ ْد ِخ ُل فِ َيها َش ْيػئًا غَْيػ َر َى ِذهِ ،قَ َ اؿ َى َذا الْ َق ْو َؿ أ َ قَ َ َ ك َعن حسبِ ِو ،فَػز َعم َ ِ ْتَ :ال ،قَ َ ِ ِِ سٍ ث ك ُّ الر ُس ُل تُػ ْبػ َع ُ بَ ،وَك َذلِ َ قُػل ُ اؿ لتَػ ْر ُُجَانو :قُ ْل لَوُ إِِِّن َسأَلْتُ َ ْ َ َ َ ْ ت أَنَّوُ في ُك ْم ذُو َح َ ِ َحس ِ ْت آَبئِِو َملِ ٌ آَبئِِو َملِ ٌ اب قَػ ْوِم َهاَ ،و َسأَلْتُ َ ك قُػل ُ ت أَ ْف َال ،فَػ ُقل ُ ك ،فَػ َز َع ْم َ ْت :ل َْو َكا َف م ْن َ كَ :ى ْل َكا َف ِِف َ ِِف أ ْ َ ك عن أَتْػب ِ ك ِِ ْت :بَ ْل ُ َض َع َفا ُؤ ُى ْم أ َْـ أَ ْش َرافُػ ُه ْم ،فَػ ُقل َ اع ِو أ ُ ض َع َفا ُؤ ُى ْم َو ُى ْم أَتْػبَاعُ آَبئوَ ،و َسأَلْتُ َ َ ْ َ ب ُم ْل َ َ َر ُج ٌل يَطْلُ ُ كَ :ىل ُك ْنػتُ ْم تَػتَّ ِه ُمونَوُ َِبلْ َك ِذ ِ ت أَنَّوُ ََلْ يَ ُك ْن وؿ َما قَ َ ب قَػ ْب َل أَ ْف يَػ ُق َ ُّ ت أَ ْف َال ،فَػ َق ْد َع َرفْ ُ اؿ؟ فَػ َز َع ْم َ الر ُس ِلَ ،و َسأَلْتُ َ ْ َّاسُُ ،ثَّ ي ْذىب فَػي ْك ِذب علَى ِ لِي َد َ ِ ب َعلَى الن ِ َح ٌد ِم ْنػ ُه ْم َع ْن ِدينِ ِو بَػ ْع َد أَ ْف هللاَ ،و َسأَلْتُ َ َ َ َ َ َ َ ع الْ َكذ َ كَ :ى ْل يَػ ْرتَ ُّد أ َ َ شا َشةَ الْ ُقلُ ِ ك ِْ كَ :ى ْل يَ ِزي ُدو َف أ َْو اْلميَا ُف إِذَا َخالَ َ ط بَ َ وبَ ،و َسأَلْتُ َ ت أَ ْف َالَ ،وَك َذلِ َ يَ ْد ُخلَوُ َس ْخطَةً لَوُ؟ فَػ َز َع ْم َ ك ِْ ت أَنَّ ُك ْم قَ ْد اْلميَا ُف َح ََّّت يَتِ َّمَ ،و َسأَلْتُ َ ت أَنػَّ ُه ْم يَ ِزي ُدو َفَ ،وَك َذلِ َ كَ :ى ْل قَاتَػلْتُ ُموهُ؟ فَػ َز َع ْم َ صو َف؟ فَػ َز َع ْم َ يَػ ْنػ ُق ُ الر ُس ُل تُػ ْبػتَػلَى ُُثَّ تَ ُكو ُف ََلُُم ب بَػ ْيػنَ ُك ْم َوبَػ ْيػنَوُ ِس َج ًاال يَػنَ ُ ك ُّ اؿ ِم ْن ُك ْم َوتَػنَالُو َف ِم ْنوَُ ،وَك َذلِ َ قَاتَػلْتُ ُموهُ فَػتَ ُكو ُف ا ْحلَْر ُ اؿ َى َذا الْ َق ْو َؿ كَ :ى ْل قَ َ ك ُّ الر ُس ُل َال تَػغْ ِد ُرَ ،و َسأَلْتُ َ ت أَنَّوُ َال يَػغْ ِد ُرَ ،وَك َذلِ َ ال َْعاقِبَةَُ ،و َسأَلْتُ َ كَ :ى ْل يَػغْ ِد ُر؟ فَػ َز َع ْم َ ِ ٍ ِ اؿُُ :ثَّ يل قَػ ْبػلَوُ ،قَ َ ْت :لَو قَ َ َح ٌد قَػ ْبػلَوُ قُػل ُ ت أَ ْف َال فَػ ُقل ُ َح ٌد قَػ ْبػلَوُ؟ فَػ َز َع ْم َ اؿ َى َذا الْ َق ْو َؿ أ َ أَ ْت َر ُج ٌل ائْػتَ َّم ب َق ْوؿ ق َ الصلَ ِة والْع َف ِ لص َالةِ و َّ ِ ِ ِب، اؿ :إِ ْف يَ ُك ْن َما تَػ ُق ُ اؼ ،قَ َ قَ َ اؿِِ :بَ ََي ُْم ُرُك ْم؟ قُػل ُ وؿ فِ ِيو َح ِّقا فَِإنَّوُ نَِ ّّ الزَكاة َو ّ َ َ ْتََ :ي ُْم ُرََن َِب َّ َ ت لَِقاءه ،ولَو ُك ْن ُ ِ ِ ِ َوقَ ْد ُك ْن ُ ت ع ْن َدهُ َِن أَ ْعلَ ُم أِّ ِجَ ،وََلْ أَ ُك ْن أَظُنُّوُ م ْن ُك ْمَ ،ول َْو أِّ ت أَ ْعلَ ُم أَنَّوُ َخار ٌ ص إِل َْيو َْلَ ْحبَػ ْب ُ َ ُ َ ْ َِن أَ ْخلُ ُ اب رس ِ ِ ِ ت قَ َد َم َّي [ص ،]6728:قَ َ ْت َع ْن قَ َد َم ْي ِوَ ،ولَيَػ ْبػلُغَ َّن ُملْ ُكوُ َما ََتْ َ سل ُ وؿ هللا َ صلَّى هللاُ اؿُُ :ثَّ َد َعا بِكتَ ِ َ ُ لَغَ َ هللا إِ ََل ِىرقْل ع ِظ ِيم الر ِ وؿ ِ علَي ِو وسلَّم ،فَػ َقرأَه فَِإذَا فِ ِيو «بِس ِم ِ الرِح ِيمِ ،م ْن ُُمَ َّم ٍد ر ُس ِ وـَ ،س َال ٌـ عَلَى ُّ الر ْْحَ ِن َّ هللا َّ َ َ َ َْ ََ َ َُ َ ْ اْلس َالِـ أ ِ م ِن اتَّػبع ا َْل َدى ،أ ََّما بػع ُد ،فَِإِِّن أَ ْد ُع َ ِ ِ َجر َؾ َم َّرتَػ ْ ِ نيَ ،وإِ ْف َسلِ ْم يُػ ْؤتِ َ َْ َ ََ ُ َسل ْم تَ ْسلَ ْمَ ،وأ ْ ْ وؾ بِد َعايَة ِْ ْ ك هللاُ أ ْ َ
103
ِ ٍ ٍ يسيِني ،و {َي أ َْىل ال ِ ِ ت فَِإ َّف َعلَْي َ ِ ْكتَ ِ تَػ َولَّْي َ اب تَػ َعال َْوا إِ ََل َكل َمة َس َواء بَػ ْيػنَػنَا َوبَػ ْيػنَ ُك ْم أَ ْف َال نَػ ْعبُ َد إَِّال هللاَ ك إ ُْثَ ْاْلَ ِر ّ َ َ َ َ وف ِ وَال نُ ْش ِر َؾ بِ ِو َشيػئًا وَال يػت ِ ضا أَرَبَب ِمن ُد ِ هللا فَِإ ْف تَػ َولَّْوا فَػ ُقولُوا ا ْش َه ُدوا ِِب َََّن ُم ْسلِ ُمو َف}» فَػلَ َّما َّخ َذ بَػ ْع ُ ضنَا بَػ ْع ً ْ َ ْ ْ َ َ َ ِ اؿ ،فَػ ُقل ُ ِ فَػر َ ِ ِ ِ ِ اب ارتَػ َفع ِ ني طَ ،وأ ََم َر بِنَا فَأُ ْخ ِر ْجنَا ،قَ َ ات ِعنْ َدهُ َوَكثُػ َر اللَّغْ ُ َص َو ُ ْت ْل ْ ت ْاْل ْ َص َح ِاِب ح َ غ م ْن ق َراءَة الْكتَ ِ ْ َ َ ْت موقِنا ِِبَم ِر رس ِ ِ صلَّى َص َف ِر ،قَ َ َخ َر ْجنَا :لَ َق ْد أ َِم َر أ َْم ُر ابْ ِن أَِِب َك ْب َ شةَ ،إِنَّوُ لَيَ َخافُوُ َملِ ُ ك بَِِن ْاْل ْ وؿ هللا َ اؿ :فَ َما ِزل ُ ُ ً ْ َ ُ هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أَنَّوُ َسيَظ َْه ُرَ ،ح ََّّت أَ ْد َخل هللاُ َعلَ َّي ِْ اْل ْس َال َـ َ
9
b. Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Bagaimana menulis untuk pelaku kesyirikan, No. Hadis : 2717
اؿ :أَ ْخبػرِِن عبػي ُد َِّ اؿ :ح َّدثَػنا عب ُد َِّ اَّلل بْ ُن َع ْب ِد اَّلل قَ َ سَ ،ع ْن ُّ ي قَ َ َ َ َُ ْ َ - 5363ح َّدثَػنَا ُس َويْ ٌد قَ َ َ َ َ ْ الزْى ِر ِّ اؿَ :ح َّدثَػنَا يُونُ ُ َِّ ب ،أَ ْخبػره أ َّ ِ اس ،أَنَّوُ أَ ْخبَػ َرهُ أ َّ ْل أ َْر َس َل إِل َْي ِو ِِف نَػ َف ٍر ِم ْن قُػ َريْ ٍ اَّللَ ،ع ْن ابْ ِن َعبَّ ٍ شَ ،وَكانُوا َف أ َََب ُس ْفيَا َف بْ َن َح ْر ٍ َ َ ُ َف ى َرق َ وؿ َِّ ِِ اب ر ُس ِ َُّارا َِب َّ صلَّى َّ ئ ،فَِإ َذا فِ ِيو «بِ ْس ِم يث قَ َ لش ِاـ فَأَتَػ ْوهُ فَ َذ َك َر احلَ ِد َ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَػ ُق ِر َ اَّلل َ اؿُُ :ثَّ َد َعا بكتَ ِ َ ُت ً اَّلل ورسولِ ِو إِ ََل ِىرقْل ع ِظ ِيم ِ ٍ ِ ِ الر ْْح ِن َّ ِ ِ َِّ الس َال ُـ َعلَى َم ْن اتَّػبَ َع اَلَُدى أ ََّما بَػ ْع ُد»" : ُّ الروـ َّ َ َ َ اَّلل َّ َ الرح ِيم م ْن ُُمَ َّمد َع ْبد َّ َ َ ُ ِ يث حسن ِ ص ْخر بْ ُن َح ْر ٍ ب" يحَ ،وأَبُو ُس ْفيَا َف ْ َى َذا َحد ٌ َ َ ٌ َ صح ٌ اَسُوُُ َ :
10
c. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Adab, Bab : Bagaimana menulis surat kepada Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 5136
9
Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 3. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1393. 10
Lihat Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 5. ( Daar alFikr,Beirut), h. 65.
104
الرز ِ يَ ،ع ْن َّاؽَ ،ع ْن َم ْع َم ٍرَ ،ع ِن ُّ س ُن بْ ُن َعلِ ّيٍَ ،و ُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي ،قَ َاالَ :ح َّدثَػنَا َع ْب ُد َّ الزْى ِر ِّ َ - 2678ح َّدثَػنَا ا ْحلَ َ اَّلل ب ِن عب ِد َِّ ِ ِ َِّب صلَّى هللا علَي ِو وسلَّمَ ،كت ِ ِ اس ،أ َّ اَّلل بْ ِن ُع ْتػبَةََ ،ع ِن ابْ ِن َعبَّ ٍ ْل « ِم ْن ُُمَ َّم ٍد ُعبَػ ْيد َّ ْ َ ْ َف النِ َّ َ ُ َْ ََ َ َ َ ب إ ََل ى َرق َ اَّلل إِ ََل ِىرقْل ع ِظ ِيم الر ِ وؿ َِّ ر ُس ِ اس ،أ َّ اؿ ابْ ُن ََْي ََيَ ،ع ِن ابْ ِن َعبَّ ٍ َف أ َََب ُس ْفيَا َف وـَ ،س َال ٌـ َعلَى َم ِن اتَّػبَ َع ا َْلَُدى» قَ َ ُّ َ َ َ َ اب رس ِ ِ ِ اَّلل صلَّى هللا عَلَي ِو وسلَّم فَِإذَا فِيوِ ِ ِ أَ ْخبَػ َرهُ قَ َ سنَا بَػ َْ ْل فَأ ْ وؿ َّ َ ني يَ َديْوُُ ،ثَّ َد َعا بِكتَ ِ َ ُ ُ ْ ََ َ َجلَ َ اؿ :فَ َد َخلْنَا عَلَى ى َرق َ اَّلل إِ ََل ِىرقْل ع ِظ ِيم الر ِ وؿ َِّ «بِس ِم َِّ الرِح ِيم ِم ْن ُُمَ َّم ٍد ر ُس ِ وـ َس َال ٌـ َعلَى َم ِن اتَّػبَ َع ا َْلَُدى أ ََّما بَػ ْع ُد» الر ْْحَ ِن َّ ُّ اَّلل َّ َ َ َ َ ْ
11
5. Tidak Boleh memberi dan menjawab salam kepada orang yang berdosa a. Sumber : Sahih al-Bukhari, Kitab : Hukum-hukum, Bab : Bolehkah imam berhak mencegah orang berdosa dan pelaku kemaksiatan dari bicara ? No. Hadis : 7225
الر ْْح ِن ب ِن عب ِد َِّ ِ ثَ ،ع ْن عُ َق ْي ٍلَ ،ع ِن ابْ ِن ِش َه ٍ اَّلل بْ ِن َ - 3552ح َّدثَِِن ََْي ََي بْ ُن بُ َك ٍْْيَ ،ح َّدثَػنَا اللَّْي ُ ابَ ،ع ْن َع ْبد َّ َ ْ َ ْ ك ،وَكا َف قَائِ َد َكع ٍ ِ ِ ِ ِ َف عب َد َِّ ٍِ ب بْ ِن مالِ ٍ اَّلل بْ َن َك ْع ِ ب بْ َن ني َع ِم َي ،قَ َ اؿََِ :س ْع ُ ْ ب م ْن بَنيو ح َ ك ،أ َّ َ ْ َك ْع ِ َ ت َك ْع َ ب بْ ِن َمال َ وؿ َِّ وؿ َِّ مالِ ٍ ف َع ْن ر ُس ِ اَّلل وؾ ،فَ َذ َك َر َح ِديثَوَُ « ،ونَػ َهى َر ُس ُ ك قَ َ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِِف غَ ْزَوةِ تَػبُ َ اؿ :ل ََّما ََتَلَّ َ اَّلل َ َ َ وؿ َِّ صلَّى هللا َعلَي ِو وسلَّم املُسلِ ِمني َعن َكالَِمنَا ،فَػلَبِثْػنَا َعلَى ذَلِ َ ِ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو ني لَْيػلَةًَ ،وآذَ َف َر ُس ُ ك ََخْس َ اَّلل َ َ ُ ْ ََ َ ْ َ ْ وسلَّم بِتػوب ِة َِّ اَّلل َعلَْيػنَا» َ َ َ ََْ
12
11
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Daud Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistaniy, Sunan Abu Daud jilid 4 (Beirut : Daar al-a‟Alam), h. 366. 12
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 9 (Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th), h. 32
105
b. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Sunnah, Bab : Menjauhi dan benci terhadap ahli ahwa (pengikut hawa nafsu), No. Hadis : 4600
اؿ :أَ ْخبَػرِِن يُونُسَ ،ع ِن ابْ ِن ِش َه ٍ الس ْر ِح ،أَ ْخبَػ َرََن ابْ ُن َو ْى ٍ اؿ :أَ ْخبَػ َرِِن َع ْب ُد اب ،قَ َ ب ،قَ َ َ - 2822ح َّدثَػنَا ابْ ُن َّ َ ُ َف عب َد َِّ الر ْْح ِن بن عب ِد َِّ ك ،وَكا َف ،قَائِ َد َكع ٍ ِ ِ ِ ِ ٍِ ب بْ ِن مالِ ٍ اَّلل بْ َن َك ْع ِ ني َع ِم َي ْ ك ،أ َّ َ ْ َّ َ ْ ُ َ ْ ب م ْن بَنيو ح َ اَّلل بْ ِن َك ْع ِ َ ب بْ ِن َمال َ السر ِح ،قِ َّ ُّ ِ ِ ٍِ وؾ قَ َ صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِِف غَ ْزَوةِ تَػبُ َ اؿََِ :س ْع ُ َِّب َ ب بْ َن َمالكَ - ،وذَ َك َر ابْ ُن َّ ْ ت َك ْع َ صةَ ََتَلفو َع ِن النِ ِّ وؿ َِّ ِ ِ اؿ َعلَ َّي ني َع ْن َك َال ِمنَا أَيػُّ َها الث ََّالثَةََ ،ح ََّّت إِذَا طَ َ اؿَ « :ونَػ َهى َر ُس ُ قَ َصلَّى هللاُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ال ُْم ْسل ِم َ اَّلل َ ت علَي ِو ،فَػو َِّ ِ ادةََ ،و ُىو ابْ ُن َع ِّمي ،فَ َّ الس َال َـُُ ،ثَّ َسا َؽ َخبَػ َر اَّلل َما َر َّد عَلَ َّي َّ س َّوْر ُ ت ِج َد َار َحائِط أَِِب قَػتَ َ سل ْم ُ َ ْ َ َ َ تَ َ تَػ ْن ِز ِ يل تَػ ْوبَتِ ِو»
13
6. Larangan Membunuh non-Muslim yang memberi Salam Sumber : Sahih Muslim, Kitab : Tafsir, Bab : Bab, No. Hadis : 3025
ِ ِ ِ ظ ِالبْ ِن َِّب َ -واللَّ ْف ُ يمَ ،وأ ْ َْحَ ُد بْ ُن َع ْب َد َة الضُِّّ َ )7252( - 55ح َّدثَػنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َش ْيػبَةََ ،وإ ْس َحا ُؽ بْ ُن إبْػ َراى َ اؿ ْاْل َخر ِ اف :أَ ْخبَػ َرََن ُ -س ْفيَا ُفَ ،ع ْن َع ْم ٍروَ ،ع ْن َعطَ ٍاءَ ،ع ِن ابْ ِن َعبَّ ٍ اؿ " :ل َِق َي اؿَ :ح َّدثَػنَا ،وقَ َ أَِِب َش ْيػبَةَ ،قَ َ اس ،قَ َ َ ََن ِ ِ ْك الْغُنَػ ْي َمةَ، ني َر ُج ًال ِِف غُنَػ ْي َم ٍة لَوُ ،فَػ َق َ اؿَّ : َخ ُذوا تِل َ الس َال ُـ َعلَْي ُك ْم ،فَأَ َخ ُذوهُ فَػ َقتَػلُوهُ َوأ َ س م َن ال ُْم ْسل ِم َ ٌ ت ُم ْؤِمنًا) " َوقَػ َرأ ََىا ابْ ُن َعبَّ ٍ {الس َال َـ} [النساء]22 : اسَّ : (وَال تَػ ُقولُوا لِ َم ْن أَلْ َقى إِل َْي ُك ُم َّ فَػنَػ َزل ْ َس َ السلَ َم ل ْ َتَ :
13
14
Imam Hafidz Abi Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud (Beirut : Daar al-a‟Alam), hadis ke8:44, bab. Menjauhi dan benci terhadap ahli ahwa (pengikut hawa nafsu), juz 8, hal. 199. 14 Abi al-Husain Muslim ibn al-hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), hal. 1393, no.hadits 7469, jilid 7, kitab Tafsir.