BAB III PENDAPAT NURCHOLIS MADJID TENTANG HUKUM MENGUCAPKAN SALAM DAN MENGHADIRI PERAYAAN UMAT NON MUSLIM
A. Biografi Nurcolish Majid dan Karya-Karyanya 1. Latar Belakang Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid (Mojoanyar, Jombang, 17Maret 1939/26 Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah AlWathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah (sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968). Sejak Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar)
37
di Universitas Chicago, Amerika Serikat sampai meraih gelar doktor dalam bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984).1 Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 19691971; presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten
IIFSO
(International
Organizations/Federasi
Islamic
Federation
Organisasi-organisasi
of
Students
Mahasiswa
Islam
Internasional), 1968-1971. Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (19711974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan
dan
memimpin
LSIK
(Lembaga
Studi
Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974-1977). Sebelum dan sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita, Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada. Nurcholish
terkenal
dengan
gagasannya
tentang
pembaruan
pemikiran Islam. Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 104.
38
pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks keindonesiaan.2 Nurcholish
Madjid
pertama
kali
menyampaikan
ide-ide
pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam' sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (AlQur'an). Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat.
2
Ibid, hlm. 104
39
Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.3
2. Karya-Karya Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid banyak menulis artikel dan makalah, yang telah diterbitkan oleh berbagai koran dan majalah, seperti Tempo, Panji Masyarakat, Kompas, dan Pelita. la memberi kata pengantar dalam beberapa buku atau artikel berbahasa Inggris pada berbagai buku suntingan, antara lain: The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: From a Participant's Point of View" dalam buku Gloria Davis (ed.), What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979); "Islam in Indonesia: challenges and Opportunities" dalam Cyrisc K. 'Pullapilly (ed.), Islam in the Contemporary World (Notre Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980); Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibnu Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah: Suatu Persoalan Hubungan antara Akal dan Wahyu dalam Islam), disertasi yang diajukan ke University of Chicago. Karya tulisnya dalam bentuk buku antara lain: Chazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), kumpulan karangan pendek tentang Filsafat Islam Klasik, dan Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan
3
Ibid, hlm. 105
40
(Bandung: Mizan, 1987), suatu anologi yang menghimpun tulisantulisannya (30 artikel) yang ditulis dalam rentang waktu kurang lebih dua dasawarsa.4
B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Hukum Mengucapkan Salam dan Menghadiri Perayaan Umat Non Muslim Nurcholish Madjid, sebelum sampai pada kesimpulannya, ia mengawali dengan uraian cukup panjang. Uraian tersebut dapat diikuti dengan awal pernyataan sebagai berikut:
Sebelum menjawab pertanyaan, "Apa
hukum mengucapkan salam kepada orang non Muslim?," kami akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan hukum mengucapkan salam kepada orang non Muslim. Hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan .kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum. Di sini kemaslahatan adalah tujuan Syariat, sedangkan hukum adalah cara atau jalan untuk mencapai tujuan itu.5 Selanjutnya menurut Nucholish, dkk, bahwa salah satu peristiwa itu adalah pengalaman yang diceritakan seorang Buddhis, penganut Buddhisme
4 5
Ibid, hlm. 105 Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.
66
41
atau agama Buddha. la menceritakan bahwa hubungan antara dia, kerabatkerabat dan sanak saudaranya yang beragama Kristen, pada satu pihak, dan kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Islam, pada pihak lain, sebelum pertengahan 1980-an, sangat baik dan akrab. Tetapi hubungan itu mulai renggang, bahkan tegang, karena pengaruh hukum dan norma Islam yang kaku dan eksklusif. Hukum dan norma itu merusak hubungan harmonis antara orang-orang non-Muslim (dia, yang beragama Buddha, kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Kristen) dan orang-orang Muslim (kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Islam). Dulu kerabatkerabat dan sanak saudaranya itu, baik yang Muslim maupun yang nonMuslim,
tidak
mempersoalkan
"Assalamu'alaikum,"
kepada
hukum
orang-orang
mengucapkan non-Muslim,
salam,
yaitu
mengucapkan
"Selamat Natal," dan ikut serta merayakan Natal bagi orang-orang Muslim, apakah boleh atau dilarang. Mereka yang Muslim biasa mengucapkan "Assalamu'alaikum" kepada orang-orang non-Muslim, mengucapkan "Selamat Natal," dan ikut serta merayakan Natal bersama saudara-saudara mereka yang Kristen, Tetapi sejak mereka menerima fatwa para ulama bahwa tiga kebiasaan tadi itu (mengucapkan "Assalamu'alaikum" kepada orang-orang non-Muslim, mengucapkan "Selamat Natal," dan ikut serta merayakan Natal) dilarang, sikap mereka berubah terhadap kerabat-kerabat dan sanak saudara mereka yang non-Muslim. Mereka tidak mau lagi melakukan tiga kebiasaan itu. Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mau lagi bersalaman dengan kerabat-kerabat dan sanak saudara mereka yang non-Muslim. Keakraban telah
42
berubah menjadi kebencian, kedamaian telah berubah menjadi ketegangan, persaudaraan telah berubah menjadi permusuhan.6 Sangat ironis, demikian ungkap Nurcholish Madjid; Islam sebagai agama Salam (kedamaian, kesejahteraan, keselamatan), karena penetapan hukum dan normanya yang kaku dan eksklusif, telah berubah menjadi sumber kebencian dan permusuhan. Peristiwa lain adalah apa yang terjadi dalam suatu seminar agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pada September 1995. Dalam seminar itu, seorang ulama besar yang disegani banyak orang mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" kepada para peserta seminar itu, yang semuanya adalah orang Kristen. Salam itu disambut oleh para peserta itu dengan ucapan "Wa'alaikumussalamu warahmatullahi wabarakatuh." Tiba-tiba salah seorang peserta nyeletuk dengan mengatakan, "Mengapa
Bapak
mengucapkan
Assalamu'alaikum
warahmatullahi
wabarakatuh?" Bukankah bagi orang Muslim mengucapkan salam kepada orang non-Muslim dilarang oleh Islam?". Ulama itu menjawab sebagai berikut: “Dulu Nabi Muhammad saw melarang mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi dan orangorang Muslim. Sekarang saudara-saudara sebagai orang Kristen bersahabat dengan saya. Kita bersaudara, bukan bermusuhan. Karena itu, saya mengucapkan
salam
kepada
saudara-saudara.
Dulu
Nabi
melarang
mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka ketika berjumpa dengan Nabi dan orang-orang Muslim mengucapkan
6
Ibid, hlm. 66-67
43
"Assamu'alaikum" (al-sam'alaykum) (Kematian bagimu, Celaka bagimu, Kehinaan bagimu), bukan Assalamu'alaikum atau al-salam'alaikum (Salam sejahtera bagimu). Sekarang, ketika saya mengucapkan "Assalamu'alaikum," saudara-saudara
menjawab
dengan
"Assalamu'alakum."
Karena
itu,
mengucapkan salam kepada saudara-saudara sebagai non-Muslim tidak dilarang.” 7 Kemudian Nurcholish Madjid, menceritakan, bahwa pertanyaanpertanyaan yang diajukan peserta itu ("Mengapa Bapak mengucapkan Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh?" Bukankah bagi orang Muslim mengucapkan salam kepada non-Muslim dilarang oleh Islam?") menunjukkan keheranannya. la heran menyaksikan langsung seorang ulama besar melakukan sesuatu yang dilarang oleh agamanya. Keheranannya itu baru hilang setelah ia mendengar penjelasan tentang alasan bolehnya mengucapkan salam kepada orang non-Muslim. Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah haram, terlarang. Larangan ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. berkata: "Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desakkah dia ke pinggir." Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu
7
Ibid, hlm. 67-68
44
dengan mendesak siapa pun di antara mereka ke pinggir jalan. Hadis ini menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar, demikian tegas Nurcholish Madjid.8 Hadis lain menurut Nurcholish Madjid yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah hadis yang menceritakan bahwa sekelompok orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad s.a.w. sambil mengucapkan "Assamu'alaikum" (al-sam'alaikum) (Kematian bagimu, Celaka bagimu, Kehinaan bagimu). Melihat peristiwa itu, Aisyah, istri Nabi, mengucapkan "Wa'alaikumussamwalla'nah" (wa'alaykum al-sam iya al-la'nah) ("Dan bagimu kematian dan laknat") kepada para tamu Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur Aisyah, "Perlahan-lahan, hai Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua urusan." Maka Aisyah bertanya kepada beliau, "Ya Rasulullah. Apa engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?" Rasulullah menjawab, "Aku telah mengucapkan Wa 'alaikum (Bagimu kematian)." Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah. Ada sembilan hadis lain yang pada intinya, meskipun dengan redaksi-redaksi yang sedikit berbeda, sama dengan hadis ini. Sembilan hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui tiga orang: enam hadis melalui Aisyah, dua hadis melalui Abdullah ibn Umar, dan satu hadis melalui Anas ibn Malik. Jadi, ada sepuluh hadis yang pada intinya mengandung pesan yang sama.
8
Ibid, hlm. 68
45
Beberapa catatan tentang sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu "Assamu'alaikum" atau "Assamu'alaika," bukan salam perdamaian, yaitu "Assalamu 'alaikum." Kedua, yang memulai mengucapkan salam, yaitu salam penghinaan, adalah orangorang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang tidak sopan itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidaksopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan "Wa'alaikum" (Dan bagimu kematian), atau "Wa'alaika" (Dan bagi engkau kematian).9 Sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar, dan Anas ibn Malik ini memberikan gambaran wajah Islam yang berbeda dengan gambaran wajah Islam yang diberikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah tadi. Sepuluh hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar ini memberikan gambaran wajah Islam yang ramah, lembut dan bersahabat, sedangkan hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah tadi memberikan gambaran wajah Islam yang kasar, galak dan tidak bersahabat.
9
Ibid, hlm. 68
46
Hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah sering dipersoalkan karena beberapa alasan. Pertama, ia terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. Kebiasaan ini menunjukkan kecerobohan dan ketidakhati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis-hadis. Kedua, diduga keras bahwa ia adalah orang yang pelupa dan ia mengakui sifat pelupa ini. Tetapi berusaha menutupi kelemahan itu dengan kisah
ajaib
bahwa
Nabi
Muhammad
s.a.w.
pernah
menyuruhnya
membentangkan jubahnya bila beliau berbicara dan memungutnya kembali setelah beliau selesai berbicara. la mengaku bahwa dengan cara aneh ia tidak lagi melupakan sesuatu pun. Ketiga, terlalu banyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam waktu yang singkat. la meriwayatkan 5300 hadis hanya dalam waktu tiga tahun. Aisyah yang jauh lebih lama hidup mendampingi Nabi meriwayatkan tidak sampai separuh jumlah itu. Keempat, ia adalah orang pemalas yang tidak mempunyai pekerjaan tetap selain mengikuti Rasulullah ke mana pun beliau pergi. la pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar ibn al-Khattab. Kelima, banyak hadis yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang terpercaya seperti Aisyah. Beberapa hadis yang terkait tentang perempuan, misalnya, yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. 10 Hadis melalui Abu Hurairah di atas bertentangan dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian, keramahan, dan kelembutan. Hadis itu
10
Ibid, hlm. 68
47
juga bertentangan dengan hadis lain yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. (memulai) mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi), Raja Etiopia, melalui suratnya. Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Negus, Raja Etiopia. Salam bagi Anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada. sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan; hambaNya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Saya bersaksi bahwa Nabi Isa putra Maryam adalah ruh Allah dan kalam (Allah) yang menghuni rahim Maryam yang saleh. Allah menciptakannya dalam rahim ibunya tanpa ayah dengan kekuasaanNya sebagaimana la menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu. Saya mengajak Anda kepada Allah Yang Esa yang tidak bersekutu, dan meminta Anda menaati-Nya dan mengikuti agama saya. Percayalah kepada Allah yang mengangkat saya sebagai nabi. Hendaklah Anda mengetahui bahwa saya adalah Rasul Allah. Saya mengajak Anda dan seluruh tentara Anda kepada Allah Ta'ala, dan dengan mengirim surat dan duta ini saya telah melakukan tanggung jawab berat yang terpikul di pundak saya dan telah menasehati Anda. Salam atas orang-orang yang mengikuti petunjuk. Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan Nabi Muhammad adalah "Salam bagi Anda" (Salamua'alaikum). Salam ini ditujukan kepada Negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen (Nasrani). Dalam surat-surat lain, Nabi Muhammad tidak mengucapkan "Salam bagi Anda," tetapi mengucapkan "Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk" (Salamun 'ala man ittaba'a al-huda).
48
Berkenaan
dengan
masalah
mengucapkan
salam,
perlu
pula
memperhatikan hadis Nabi melalui Anas ibn Malik yang mengatakan bahwa Nabi berkata: "Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam, maka jawablah: Wa'alaykum." Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini menunjukkan bahwa orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab. Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah Ahli Kitab tentu saja salam yang wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orang-orang non-Muslim lain. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abdullah ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah mengucapkan salam kepada orang non-Muslim boleh atau dilarang. Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: "Memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal." Ketika menjelaskan makna umum hadis ini Musa Syahin Lasyin, seorang guru tafsir dan hadis di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, mengatakan bahwa di antara cabang iman yang terpenting dan perangai Islam yang paling menonjol adalah memberikan makanan dan menyebarkan salam. Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan salam) persahabatan dan persaudaraan akan terwujud, umat Islam menjadi seperti tubuh yang satu, anggota-anggotanya saling menolong untuk kebaikan, satu sama lain saling memberi kedamaian dan saling menolong kesusahan dari anggota-anggota itu, dan satu bagian benar-benar mengokohkan bagian lain
49
untuk kekuatan dan keteguhan. Menurut Musa Syahin Lasyin, hadis ini menyuruh orang-orang Muslim memberikan makanan kepada semua orang, termasuk musuh, dan kepada binatang. Dengan dua perangai ini, akan terwujud keamanan dan keselamatan bagi diri yang melakukannya dari orang yang ada di sekitarnya. la akan mempercayai orang yang bersamanya. Maka, hendaklah ia membaca salam dan memberi rasa aman dan keselamatan bagi siapa saja yang ditemuinya, dan hendaklah ia mengucapkan salam kepada siapa yang dikenalnya dan siapa yang tidak dikenalnya. Dengan mengucapkan salam jiwa-jiwa yang saling menjauh akan saling mendekat, kalbu-kalbu yang tidak akur akan saling mengharmonikan, dan ruh-ruh yang tidak saling kenal akan saling mengenal.11 Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan salam), kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan terwujud, kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomenafenomena Islam dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata. Hadis ini menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian. Mengucapkan salam (al-salam) adalah perbuatan menanam kasihsayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Buruk sangka dan saling mencurigai yang mungkin ada dalam kalbu musuh akan berbalik menjadi kepercayaan dengan ucapan
11
Ibid, hlm. 68-69.
50
selamat. Makna zahir ungkapan "siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal" (man 'arafta wa man lam ta'rif) dalam hadis ini menunjukkan keumuman pada seluruh manusia (kull al-nas), baik yang beriman maupun yang kafir, baik yang mengadakan perjanjian damai maupun yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah milik Allah, bukan untuk pemenuhan hak pengenalan. Sebagian orang yang berpegang pada keumuman makna ini menginginkan (ucapan) salam kepada orang kafir meskipun ia adalah orang yang berperang, ketika keperluan untuk itu adalah untuk nasehat dan yang serupa dengan itu, karena perangai itu adalah yang paling diharapkan untuk penerimaan mereka pada Islam. Allah telah menyuruh Musa dan Harun a.s. berlemah lembut dengan Firaun ketika Dia berfirman: "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat dan takut" (QS.Thoha : 44). Sekelompok lain berpendapat bahwa keumuman ini dikhususkan bagi orang-orang
Muslim.
Maka
seorang
Muslim
tidak
boleh
memulai
mengucapkan salam kepada orang kafir karena larangan Nabi s.a.w. melalui sabdanya: "Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan desakkah dia ke pinggir." Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari. Sebagian lain berpendapat bahwa keumuman ini muncul pertama kali untuk kemaslahatan kerukunan, kesatuan, dan saling kasih sayang
51
(mashlahatal-ta'lif), tetapi kemudian datang larangan mengucapkan salam kepada orang-orang kafir. Maka keumuman ini dihapus.12 Tiga pendapat ini perlu mendapat perhatian di sini. Pendapat pertama membolehkan mengucapkan salam kepada semua manusia, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal, baik Muslim maupun non-Muslim, baik yang berdamai maupun yang berperang dengan orang-orang Muslim, baik yang bersahabat maupun yang bermusuhan dengan orang-orang Muslim. Pendapat ini lemah karena tidak memperhatikan konteks dan situasi konkret ketika salam itu diucapkan dan dengan demikian tidak bertumpu pada tujuan syariat, yaitu kemaslahatan. Jika mengucapkan salam kepada orang-orang nonMuslim yang memerangi dan memusuhi orang-orang Muslim tidak membawa kemaslahatan, maka mengucapkan salam kepada mereka dilarang. Apalagi ucapan salam itu mereka balas dengan caci-maki dan penghinaan. Larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim seperti itu adalah untuk suatu kemaslahatan: menghindari penghinaan. Pendapat kedua melarang mengucapkan salam kepada semua orang non-Muslim. Pendapat ini juga lemah karena bertentangan dengan hadis-hadis yang membolehkan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim, seperti disebut di atas. Tentu saja yang dimaksud dengan orang-orang nonMuslim dalam konteks ini adalah mereka yang mempunyai hubungan baik dan bersahabat dengan orang-orang Muslim. Justru mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim seperti ini adalah untuk kemaslahatan; persaudaraan
12
Ibid, hlm. 69
52
dan kerukunan. Dalam konteks ini, mengucapkan salam kepada mereka dibolehkan, bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan atau disunatkan. Pendapat ketiga melarang mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim berdasarkan argumen bahwa larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim membatasi keumuman (semua manusia) pada orang-orang Muslim. Pendapat ini tidak menjelaskan alasan larangan tersebut. Padahal, menurut pendapat ini, keumuman muncul pertama kali untuk kemaslahatan kerukunan, kesatuan, dan saling kasih sayang. Tidak diketahui apakah larangan yang datang kemudian itu muncul untuk kemaslahatan. Bolehnya atau larangan mengucapkan salam kepada orangorang non-Muslim harus ditetapkan dengan mengutamakan kemaslahatan yang selalu dikondisikan oleh konteks dan situasi sosial yang konkret. Musa Syahin menjelaskan, al-salam'alaikum mempunyai dua arti. Arti pertama ialah doa (al-du'a) dengan keselamatan dan keamanan untuk orang yang diberi salam, yaitu Allah meyelamatkan dan mengamankan engkau dari malapetaka-malapetaka dunia dan akhirat. Arti kedua ialah berita atau informasi (al-khabar), yaitu saya mengucapkan salam dari (diri) saya (sendiri): saya membawa kedamaian kepada engkau, bukan memerangi engkau. Dan al-salam (salam) adalah pemberitahuan tentang keamanan dan kedamaian karena adat (kebiasaan) antara pihak- pihak yang berperang adalah bahwa satu pihak tidak saling mengucapkan salam kepada pihak lain. Adat jahiliyah adalah jika mereka saling mengucapkan salam, (hal itu berarti)
53
mereka tidak saling memerangi. Karena alasan ini, tidak boleh bagi orang Muslim mengumpat siapa yang mengucapkan salam kepadanya dan tidak boleh pula bangkit untuk melukainya karena perbuatan seperti itu mengingkari apa yang diberikannya dan keamanan yang diberitahukannya. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-salam (salam) adalah nama Allah Ta'ala. Maka arti ini adalah: Allah adalah pemelihara bagimu atau penjaga bagimu. Hadis-hadis yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Kristen muncul dalam konteks yang berbeda dengan hadis-hadis yang membolehkan memulai mengucapkan salam kepada orangorang Yahudi dan Kristen. Nabi Muhammad s.a.w. melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi ketika mereka memusuhi dan menghina Nabi dan orang-orang Muslim. Penghinaan orang-orang Yahudi itu diungkapkan dengan mengucapkan "Assamu’alaikum" (bukan Assalamu 'alaikum) pada saat sekelompok mereka mendatangi beliau. Nabi Muhammad memulai mengucapkan salam kepada Negus, Raja Etiopia, karena beliau dan orang-orang Muslim mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Raja itu. Raja itu melindungi orang-orang Muslim yang hijrah ke negeri itu. 13 Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad itu adalah untuk kemaslahatan manusia. Karena itu, kemaslahatan harus dijadikan dasar untuk menetapkan hukum mengucapkan salam: boleh atau dilarang. Dalam suatu konteks, Nabi Muhammad melarang mengucapkan salam kepada orang-orang
13
Ibid, hlm. 70
54
Yahudi dan Kristen untuk kemaslahatan, yaitu menghindari penghinaan dan pelecehan. Dalam konteks lain, Nabi Muhammad mengucapkan salam kepada Negus, Raja Etiopia, untuk kemaslahatan, yaitu memelihara persahabatan dan keakraban antara orang-orang Muslim dan Raja itu. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Abu Hurairah di atas, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Kristen, bertolak belakang dengan firman Allah, "Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang tidak sopan), mereka menjawab: Salam sejahtera (QS. 25:63). Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa mengucapkan salam kepada orangorang non-Muslim, meskipun kata-kata mereka tidak sopan, adalah ciri hamba-hamba Allah yang taat. Berbeda dengan hadis riwayat Abu Hurairah yang menampilkan wajah Islam yang kasar dan menakutkan, ayat ini menampilkan wajah Islam yang ramah dan lembut. Kembali kepada kasus yang diceritakan oleh orang Buddhis tentang hubungan antara kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang Kristen, pada satu pihak, dan kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang Muslim, pada pihak lain, yang disebut di atas. Peristiwa itu menunjukkan bahwa kebiasaan orang-orang Muslim mengucapkan "Assalamu'alaikum" dan juga "Selamat Natal" kepada orang-orang Kristen adalah ungkapan hubungan harmonis dan akrab antara pihak yang memberikan ucapan dan pihak yang menerima ucapan. Hubungan harmonis dan akrab adalah kemaslahatan. Penghentian
55
kebiasaan itu, yang berpedoman pada fatwa larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim, telah merusak hubungan itu dan menimbulkan ketegangan dan kebencian. Hubungan yang rusak, ketegangan dan kebencian adalah kemudaratan. Ironis sekali bahwa sebuah ketetapan hukum Syariat untuk menegakkan Islam, agama yang diakui mengajarkan kedamaian, persaudaraan, dan keramahan, telah melahirkan kebencian. Orang yang kritis mungkin akan bertanya-tanya tentang peristiwa ini. Bagaimana mungkin Islam sebagai agama kedamaian, persaudaraan, dan keramahan melahirkan
kebencian
dan permusuhan?
Bagaimana
mungkin
Islam
mengorbankan kemaslahatan demi hukum yang melahirkan kemudaratan? Tentu saja, kalbu yang bening dan akal yang sehat akan menjawab bahwa kebencian dan permusuhan itu jauh dari watak fitri Islam sebagai agama kedamaian, persaudaraan dan keramahan. 14 Fatwa larangan mengucapkan salam kepada non-Muslim ternyata tidak disetujui oleh semua ulama. Peristiwa yang terjadi dalam suatu seminar agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pada September 1995, ketika seorang ulama besar mengucapkan salam kepada para peserta seminar itu, yang semuanya adalah orang Kristen, seperti disebutkan di atas, membuktikan bahwa ada ulama yang membolehkan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim. Ulama itu mengucapkan salam kepada para peserta
yang
semuanya
adalah
Kristen
untuk
kemaslahatan,
yaitu
persaudaraan, persahabatan, dan kehangatan.
14
Ibid, hlm. 71
56
Penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang nonMuslim harus berdasar pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang Muslim dan orang non-Muslim bersahabat, atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan hikmah mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah tidak dilarang, alias boleh. Mengucapkan "Selamat Natal" dan Selamat Hari Raya Agama-agama Lain
Kebiasaan mengucapkan "Selamat Natal" di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain, dilakukan bukan hanya oleh orang-orang Kristen, tetapi juga oleh orang-orang non-Kristen, termasuk kaum Muslim. Mengucapkan "Selamat Natal" tentu saja ditujukan kepada orang-orang Kristen, karena Hari Raya Natal adalah hari raya agama Kristen. Kita sering menyaksikan ucapan "Selamat Natal" di negeri ini datang dari saudara-saudara mereka yang beragama Islam. Kita sering menyaksikan banyak artis, pembawa acara dan penyiar yang beragama Islam di stasiun-stasiun TV dan radio di kota-kota besar di Indonesia mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara-saudara kita yang beragama Kristen pada hari-hari bersuasana Natal pada setiap bulan Desember. Natal tahun 2002 merupakan hari raya yang paling istimewa bagi umat Kristen Ambon. Setelah hampir 3 tahun wilayah itu didera konflik dan
57
kekerasan, pada tahun ini umat Kristen Ambon tidak hanya dapat mengikuti kebaktian malam Natal dengan tenang, tanpa ancaman, tetapi juga sibuk menerima ucapan "Selamat Natal" dan kunjungan dari kerabat-kerabat dan sanak saudara mereka dari wilayah Muslim. Batas yang memisahkan wilayah permukiman
Kristen
dan
permukiman
Muslim
mulai
disingkirkan.
Permusuhan pun lambat laun dilupakan. Tony Hatane, 35 tahun (pada 2002), sebagai pengacara gereja pernah berada dalam daftar musuh komunitas Muslim di Ambon. Namun, pada tahun ini ia menerima puluhan ucapan "Selamat Natal" dari warga Muslim di Ambon, bahkan pada sore hari 25 Desember 2002 ia mendapat kunjungan sejumlah sahabatnya dari wilayah Muslim. Dua minggu sebelumnya, ia berkunjung ke rumah sahabatnya di Waihong, Ambon, untuk menyampaikan ucapan "Selamat Idul Fitri." Waihong adalah pusat wilayah pemukiman Muslim di Ambon yang berlokasi tidak jauh dari pemakaman para syuhada yang wafat selama konflik Maluku.15 Demikianlah suasana perayaan Natal tahun 2002 di Ambon, yang penuh kedamaian dan persahabatan. Tetapi, yang penting dicatat dalam kaitannya dengan masalah yang kita bicarakan di sini adalah bahwa dalam suasana itu warga Kristen di Ambon mendapat ucapan "Selamat Natal" dari warga Muslim. Orang-orang Muslim di sana mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara-saudaranya yang Kristen. Masih banyak contoh lain praktik mengucapkan "Selamat Natal" oleh orang-orang Muslim di Indonesia. Salah satu contoh itu adalah ucapan
15
Ibid, hlm. 71
58
"Selamat Natal" yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada setiap acara Natal Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional selama 16 tahun terakhir sebelum tahun 2002. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2002 Presiden tidak memberikan sambutan pada acara Natal Bersama itu. Pembatalan sambutan itu diberitahu tiga hari sebelum acara itu. Pada tahun-tahun sebelumnya Presiden dalam sambutannya pada setiap acara Natal Bersama Tingkat Nasional selalu menyampaikan "Selamat Natal" kepada umat Kristiani. Sampai sekarang semua Presiden Republik Indonesia adalah Muslim. Presiden-Presiden kita, yang semuanya adalah Muslim, mengucapkan "Selamat Natal." Banyak ulama berpendapat bahwa mengucapkan "Selamat Natal" dilarang oleh ajaran Islam. Di antara alasan larangan ini adalah bahwa mengucapkan "Selamat Natal" berarti, membenarkan ajaran Kristen. Alasan lain: bid'ah. Alasan lain: menyerupai orang-orang kafir. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan "Selamat Natal", dengan alasan teologis di atas. Pada bulan Desember 2001, seorang ulama dalam acara tanya jawab masalah-masalah keagamaan Islam di sebuah stasiun TV swasta ditanya oleh seorang pemirsa tentang hukum mengucapkan "Selamat Natal." Pertanyaan yang diajukan oleh pemirsa itu adalah: "Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim mengucapkan Selamat Natal?" Jawaban yang diberikan oleh ulama itu tidak jelas karena ia tidak memberikan jawaban yang sesuai
59
dengan pertanyaan ini. Semestinya ia menjawab tentang bolehnya atau tidak bolehnya mengucapkan "Selamat Natal," Jawaban yang diberikan adalah bahwa orang-orang Muslim harus menghormati Isa al-Masih karena ia adalah seorang nabi. Isa al-Masih dihormati bukan hanya oleh orang-orang Kristen tetapi juga oleh orang-orang Muslim. Kisah Nabi ini terdapat dalam al-Qur'an. Karena itu, untuk memperingati kemuliaan Nabi Isa orang-orang Muslim, demikian fatwa ulama itu, sebaiknya membaca ayat-ayat al-Qur'an yang terkait dengan Isa al-Masih seperti yang terdapat dalam surat-surat Al Imran, Maryam, al-Ma'idah, dan al-Nisa'. Dalam jawaban itu, ulama tersebut sama sekali tidak menyinggung apakah mengucapkan "Selamat Natal" dibolehkan atau dilarang oleh Islam. Mungkin pemirsa yang mengajukan pertanyaan itu sama sekali tidak puas dengan jawaban ulama itu, karena jawaban yang diinginkannya bukanlah itu. Barangkali, ulama itu sengaja membelokkan persoalan yang ditanyakan (hukum mengucapkan "Selamat Natal") kepada persoalan lain (keharusan menghormati Nabi Isa dan memperingati kemuliaannya dengan membaca ayat-ayat al-Qur'an tentang Nabi ini) karena ragu untuk mengatakan bolehnya atau tidak bolehnya mengucapkan "Selamat Natal." Mungkin juga ulama itu mengharamkan mengucapkan "Selamat Natal" tetapi ia tidak mau mengatakan pendapat itu untuk menghormati orang-orang Muslim, termasuk para pejabat, yang biasa mengucapkan "Selamat Natal." 16
16
Ibid, hlm. 72
60
Mungkin juga ulama itu membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" tetapi ia tidak mau mengatakan pendapat itu karena khawatir menuai protes dari orang-orang Muslim yang mengharamkan "Selamat Natal." Yang jelas adalah bahwa jawaban yang diberikan ulama itu tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pemirsa. M. Quraish Shihab, ulama terkemuka di Indonesia, mengatakan bahwa ada ayat al-Qur'an yang mengabadikan ucapan Selamat Natal yang pernah diucapkan oleh Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan "selamat" kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut al-Qur'an, demi kemurnian akidah. Mungkin orang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Beliau mengingatkan agar para pemimpin dan panutan umat bersikap arif dan bijaksana agar tidak menimbulkan kerusakan akidah dan kesalahpahaman kaum awam. Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan oleh Nabi Isa dan diabadikan oleh al-Qur'an: "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak" (QS. 19: 33). Sebelum mengucapkan salam tersebut, kita mengingat ajaran al-Qur'an bahwa "Isa adalah hamba Allah yang diperintahkan salat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka" (QS. 19: 30-32), dan ucapannya ditutup dengan berkata kepada umatnya: "Sesungguhnya Allah
61
adalah Tuhanku, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus " (QS. 19: 36). Inilah Selamat Natal ala al-Qur'an, lanjut ulama besar ini. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi ketika ucapan selamat itu diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga perasaan dan logika ini tidak keliru dan tidak pula disalahpahami.17 Quraish Shihab sangat berhati-hati menjelaskan masalah mengucapkan "Selamat Natal." Ketika mengatakan bahwa al-Qur'an mengabadikan Selamat Natal yang diucapkan Nabi Isa, tidak dilarang membacanya dan tidak pula keliru mengucapkan "selamat" kepada siapa saja, beliau mengingatkan agar umat Islam memahami dan menghayati maksudnya menurut al-Qur'an untuk menjaga kemurnian akidah. Beliau mengajak umat Islam agar pada suasana Natal mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan Nabi Isa dan diabadikan al-Qur'an: "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak'' (QS. 19:33). Selamat Natal yang dipahami dan dihayati menurut al-Qur'an adalah "Selamat Natal ala al-Qur'an." Ucapan "Selamat Natal ala al-Qur'an" tentu saja tidak dilarang. Pendapat Quraish Shihab ini tidak mudah dipahami. Beliau mengatakan bahwa mengucapkan dan membaca "Selamat Natal" tidak dilarang, dan mengucapkan "selamat" kepada siapa saja tidaklah keliru, tetapi ucapan "Selamat Natal" yang beliau maksud adalah ucapan Selamat Natal
17
Ibid, hlm. 73
62
yang diucapkan Nabi Isa dan diabadikan al-Qur'an: "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak"(QS. Maryam : 33). Apabila ini yang dimaksud dengan ucapan "Selamat Natal," yang tidak dilarang adalah ucapan Nabi Isa: "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak" (Waal-salam 'alayyayawma wulidtu waynwma amutu wayawma ub'atsu hayyan). Yang tidak dilarang adalah membaca ayat al-Qur'an ini (QS. Maryam : 33). Yang tidak dilarang bukanlah mengucapkan ucapan "Selamat Natal," atau ucapan "Merry Christmas. "Tetapi, beliau mengatakan pula bahwa mengucapkan "selamat" kepada siapa saja tidaklah keliru. "Selamat" (dengan tanda petik) di sini dapat diartikan ucapan atau kata "selamat." Apabila ini yang dimaksud "selamat" maka mengucapkan ucapan "Selamat Natal " dan ucapan-ucapan lain yang menggunakan kata "selamat" (meskipun dalam bahasa-bahasa asing digunakan kata-kata yang berbeda), tidak dilarang. Berkaitan dengan pendapat ini, sebuah pertanyaan akan muncul. Apakah yang tidak dilarang menurut pendapat ini adalah membaca ayat alQur'an (QS. Maryam:33) yang bermakna "Selamat Natal" atau mengucapkan (ucapan) "Selamat Natal" dengan memahami dan menghayati ayat al-Qur'an (QS. Maryam: 33) yang mengabadikan ucapan Nabi Isa? Jawaban yang paling tepat adalah: yang tidak dilarang menurut pendapat ini adalah mengucapkan ucapan "Selamat Natal" dengan memahami dan menghayati ayat al-Qur'an (QS. Maryam: 33) yang mengabadikan ucapan Nabi Isa.
63
Apakah orang-orang Muslim yang mengucapkan ucapan "Selamat Natal" memahami dan menghayati ucapan itu? Apabila tidak, mengucapkan ucapan "Selamat Natal" tidak dilarang. ; Apakah ucapan "Selamat Natal" bagi orang-orang Muslim tidak lebih dari sekedar ucapan selamat untuk pergaulan dan persaudaraan seperti "Selamat Pagi," "Selamat Siang," "Selamat Sore," dan "Selamat Ulang Tahun," tanpa dihayati? Apabila ya, mengucapkan ucapan "Selamat Natal" tidak dilarang. Apakah ucapan "Selamat Natal" membuat orang-orang Muslim yang mengucapkannya percaya pada ajaran Kristen tentang Isa al-Masih? Apabila tidak, mengucapkan ucapan "Selamat natal" tidak dilarang. Apakah ucapan "Selamat Natal" mendorong orang-orang Muslim yang mengucapkannya percaya bahwa Isa adalah Tuhan? Apabila tidak, mengucapkan ucapan "Selamat Natal" tidak dilarang. 18 Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan "Selamat Natal." Bagi orang-orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan, Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan, dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan "Selamat Natal" tentu saja dibolehkan. Lagi pula, apabila ucapan "Selamat Natal" dapat disamakan dengan doa untuk orang-orang Kristen, ucapan ini dibolehkan sebagaimana berdoa untuk orang-orang non-Muslim, seperti akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini, dibolehkan.
18
Ibid, hlm. 74.
64
Di antara orang-orang Muslim di Indonesia, selain ada orang-orang yang mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara-saudara mereka yang Kristen, mungkin ada orang-orang yang mengucapkan "Selamat Hari Raya Nyepi" kepada saudara-saudara mereka yang beragama Hindu, mungkin ada orang-orang yang mengucapkan "Selamat Hari Raya Waisak" kepada saudarasaudara mereka yang Buddhis, dan mungkin ada orang-orang yang mengucapkan "Selamat Tahun Baru Imlek" kepada saudara-saudara mereka yang Khonghucu. Semua hari raya yang disebutkan ini telah menjadi hari-hari libur nasional di negeri ini. Apakah ajaran Islam membolehkan para penganutnya mengucapkan selamat hari-hari raya ini? Hukum mengucapkan selamat hari-hari raya ini sama dengan hukum mengucapkan "Selamat Natal" karena Natal adalah juga hari raya keagamaan. Seperti dijelaskan di atas, hukum mengucapkan "Selamat Natal" adalah boleh. Maka hukum mengucapkan selamat hari-hari ini adalah boleh. Hal ini sejalan dengan penjelasan teologis terhadap agamaagama. Menghadiri Perayaan Hari-hari Besar Agama-agama Lain Masalah lain yang perlu dibicarakan di sini adalah hukum menghadiri perayaan
hari-hari
besar
agama-agama
lain.
Apakah
ajaran
Islam
membolehkan atau melarang para penganutnya menghadiri perayaan hari-hari
65
besar agama-agama lain? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita akan memberikan beberapa contoh. 19 Pada Jumat, 24 Desember 1999 Presiden Palestina Yasser Arafat, bersama istrinya Suha, menghadiri misa tengah malam di Gereja Saint Catherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di Gereja Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu, Arafat berdoa untuk perdamaian. Kebiasaan menghadiri dua acara itu tampaknya dilakukan oleh Yasser Arafat setiap tahun, kecuali pada Perayaan Malam Natal 2002 karena ia dilarang oleh penguasa Israel untuk menghadiri acara itu, sehingga kursi yang telah disediakan untuknya kosong. Pada malam yang sama, 24 Desember 1999, di Banja Luka, Bosnia Herzegovina, orang-orang Serbia dan orangorang Muslim bergabung dengan 400-an orang Kroasia Katolik merayakan Misa Malam Natal. Suasana itu adalah cerminan kerukunan antara komunitaskomunitas dari agama-agama yang berbeda di kota yang selama beberapa tahun sebelumnya dilanda konflik berdarah yang penuh dengan kekerasan. Budi Prasetyo, 38 tahun (pada 1999), seorang warga Mojejer, menceritakan bahwa apabila ada perayaan Natal di Sinagoge Mojejer, semua warga di dusun itu, termasuk yang Muslim, datang ke gereja itu untuk ikut merayakan Natal. Salah seorang pemuka Muslim biasanya memberikan sambutan dalam acara itu. Pembangunan sinagoge itu dilakukan dengan gotong-royong warga Kriten bersama dengan warga Muslim. Begitu pula
19
Ibid, hlm. 75
66
ketika warga Muslim membangun surau Baitul Muttaqin, warga Kristen pun ikut gotong-royong. Dusun Mojejer terletak di Desa Mojejer, Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Ketua MPR RI Amien Rais menghadiri perayaan Natal di Gereja Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Selasa, 19 Desember 2000. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menemukan sebuah pengalaman menarik dan langka ketika menyaksikan kelompok Qasidah Kampung Jawa Tondano menyanyikan lagu Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara) dalam perayaan Natal itu yang juga dihadiri oleh para ulama Muslim. Amien tidak kuasa menahan rasa haru saat menyaksikan kelompok
Qasidah
itu.
Dengan
nada
suara
yang
bergetar
ketika
menyampaikan pidatonya, Amien berujar: "Saya betul-betul terharu menyaksikan praktik kehidupan rukun dan damai masyarakat di tempat ini. Sungguh, ini menjadi pengalaman amat berharga bagi kita semua." Sebagaimana pada acara-acara Natal Bersama Tingkat Nasional tahuntahun sebelumnya, acara Natal Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional tahun 2002 di Balai Sidang Senayan; Jakarta, pada Jumat, 27 Desember 2002 dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, para menteri, para duta besar negara-negara sahabat, dan umat Kristen dari berbagai tempat di Jakarta dan sekitarnya. Di antara orang-orang Muslim yang menghadiri acara Natal Bersama itu adalah Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufik Kiemas, Wakil Presiden Harnzah Haz dan istrinya Ny Nani
67
Hamzah Haz, Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, dan Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar.20 Kita menemukan pula orang-orang Muslim menghadiri perayaan Waisak di Indonesia. Waisak adalah hari raya agama Buddha untuk memperingati tiga peristiwa penting: kelahiran Buddha Gautama, pencapaian pencerahan tertinggi oleh Sang Buddha, dan wafatnya Sang Buddha. Ketiga peristiwa itu jatuh pada saat bulan purnama, di bulan Waisak. Pada tahun 2002 Hari Raya Waisak jatuh pada 26 Mei. Perayaan Waisak 2002 yang diselenggarakan secara nasional di Jakarta Convention Center (JCC), di Jakarta, oleh Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) dihadiri oleh ribuan umat
Buddha.
Perayaan
yang
mengambil
tema
"Mengembangkan
Pengendalian Diri Menuju Bangsa yang Damai dan Sejahtera" itu dihadiri pula oleh tokoh-tokoh agama lain, seperti KH Abdurrahman Wahid, Ketua MUI, Kardinal Julius Riyadi Darma Atmaja, Ketua PHDI, Haksu Thjie Tjai Ing (MATAKIN), Djohan Effendi, Akbar Tanjung, Kwik Kian Gie, Jacob Nuawea, dan lain-lain. KH Abdurrahman Wahid, Ketua MUI (tidak disebutkan namanya), Djohan Effendi, dan Akbar Tanjung adalah contoh orang-orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak. Pada tahun 2003 kita menemukan kembali contoh orang-orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak. Menteri Agama Said Agil Husin AlMunawar termasuk contoh orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak Nasional 2547 di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada Kamis, 15 Met 2003.
20
Ibid, hlm. 76
68
Sebagai Menteri Agama ia tidak hanya sekedar menghadiri perayaan Waisak Nasional itu tetapi juga menjadi orang penting yang diminta menyampaikan sambutan dalam pertemuan agung itu. Dalam sambutannya ia menghimbau umat Buddha dan umat-umat dari agama-agama lain agar turut mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Salah satu caranya adalah membentengi bangsa Indonesia secara moral, spiritual, dan keagamaan. la mengingatkan bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada sejumlah masalah yang cukup pelik, seperti mengatasi gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pertikaian di Papua, dan sejumlah peledakan bom di berbagai tempat. Seluruh komponen bangsa harus bersatu untuk menyelesaikan masalah itu. la meminta secara khusus kepada umat Buddha agar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Tentu saja, sebagai Menteri Agama, Said Agil harus juga menghadiri perayaan hari-hari raya agama-agama lain seperti Natal, Nyepi, dan Imlek. Selain di pelataran Candi Borobudur, perayaan Waisak Nasional pada waktu yang sama, Kamis, 15 Mei 2003, juga berlangsung di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Jakarta. Sejumlah pemimpin umat berbagai agama dan pejabat tinggi negara hadir dalam acara perayaan Waisak itu. Di antara orang-orang Muslim yang menghadiri acara itu adalah Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, cendekiawan Nurcholish Madjid, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
69
Dalam kesempatan itu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tampil pula sebagai pembicara. Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa semua agama pada dasarnya berasal dari satu sumber, yaitu Sang Satu. la berkata: "Semua agama dalam inti yang paling mendalam adalah sama. Dalam bulan yang suci ini karena bersamaan ada perayaan Waisak/Maulid Nabi Muhammad s.a.w., dan kenaikan Isa al-Masih, kita semua harus menuju pada kedamaian." 21 Sementara itu, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa kedatangan Abu Ibrahim Woila, salah seorang ulama terkemuka dari Aceh Barat, ke rumah Abdullah Faqih adalah pertanda kalahnya pendapat yang menginginkan Aceh berdiri sendiri. Karena itu, keutuhan dan kedamaian bangsa harus dijaga bersamaan.
21
Ibid, hlm. 77
70