i
POSTMODERNISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF NURCHOLIS MADJID
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Annilta Manzilah ‘Adlimah NIM. 11113004
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
ii
MOTTO
The Best Plan is No Plan.
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah Swt. skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah membantu mewujudkan mimpiku: 1. Ayahanda Sumardi dan Ibunda Kismatun yang telah memberikan mahkota kasih sayangnya kepadaku sejak diriku kecil tak mengerti apa-apa hingga kini aku mengerti makna hidup. 2. Adik-adikku tercinta Sofi Adha Mubaroka dan Azzada Ahmadul ‘Ibaad yang selalu mendukung dan memberikan semangat. 3. Guru-guruku yang telah membagikan ilmunya kepadaku sehingga aku menjadi manusia yang mengerti banyak hal. 4. Sahabat-sahabat PP. Salafiyah Pulutan yang senantiasa menemaniku selama di bangku perkuliahan, semoga Allah Swt. menjadikan kalian sebagai generasi penerus Bangsa yang sholeh-sholehah. 5. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2013. Semoga dimanapun kalian berada, selalu mengamalkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas. 6. Sahabat-sabahat PMII Kota Salatiga, UKM JQH, DEMA FTIK, DEMA Institut, Gusdurian Salatiga, dsb. yang telah mengajari dan memberikan banyak pengalamannya dalam berorganisasi sehingga aku tidak menjadi mahasiswa yang hanya aktif di bidang akademik namun juga dapat aktif di organisasi. 7. Orang yang senantiasa menemani, memberikan semangat, dan senyuman di setiap hari-hariku.
vii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم Alhamdulillahirabbil’alamin
penulis
ucapkan
sebagai
rasa
syukur
kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan junjungan kita Nabi Muhammad Saw., beliaulah suri tauladan bagi seluruh umat manusia, penyempurna akhlak yang mulia, dan pemimpin yang bijaksana bagi seluruh alam semesta. Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada bantuan, dorongan, serta bimbingan dari pihak-pihak tertentu yang terkait, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga harus penulis sampaikan kepada: 1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga
2.
Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
4.
Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan
arahan,
menyelesaikan skripsi.
ix
bimbingan
dan
motivasi
selama
5.
Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasehatnya selama penulis menjadi mahasiswanya.
6.
Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen IAIN Salatiga yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswanya.
7.
Keluarga tercinta yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan memberikan bantuan moril dan materil maupun spiritual.
8.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dan Ridho Allah Swt. serta tercatat dalam bentuk amalan ibadah. amin. Semoga jasa baik yang diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
yang lebih berarti dari Allah Swt. penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karenanya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua kalangan terutama bagi penulis sendiri. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Salatiga, 14 Maret 2017 Penulis
Annilta Manzilah ‘Adlimah NIM. 111-13-004
ix
ABSTRAK
Adlimah, Annilta Manzilah. 2017. 11113004. Postmodernisme dalam Pendidikan Islam Perspektif Nurcholish madjid. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M.Ag.
Kata kunci: Postmodernisme, Konsep Pendidikan Islam, dan Nurcholish Madjid.
Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis, atau lebih tepatnya, postmodernisme, yakni Nurcholish Madjid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada dua hal, yaitu: (1) Mengetahui konsep pemikiran postmodernisme pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid; (2) Mengetahui relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid. Data penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis peroleh dari membaca artikel, jurnal, buku-buku karya Nurcholish Madjid, dan buku-buku penunjang lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa penelitian ini termasuk penelitian library research. Hasil dari penelitian dalam skripsi ini dapat diketahui bahwa Nurcholish Madjid atau yang biasa dikenal sebagai Cak Nur adalah seseorang yang terkenal dengan gerakan pembaharuan Islamnya di Indonesia. Adapun ide pokok pemikirannya, antara lain: (1) Sekularisasi; (2) Desakralisasi; (3) Inklusifisme; dan (4) Islam dan Ideologi. Sedangkan konsep postmodernisme pendidikan Islamnya, yaitu: (1) Ketuhanan; (2) Kemanusiaan; dan (3) Keadilan. Relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid bahwa pendidikan Islam tersebut mengarahkan dalam pembentukan kepribadian yang mencerminkan ajaran Islam. Kemudian secara logis kemampuan pribadi anak didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai ajaran agama akan melahirkan konsekuensi yang mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga kemudian akan mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang bernuansakan ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap sesama.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN BERLOGO ..............................................................................
i
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .....................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..............................
v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
vi
KATA PERSEMBAHAN .............................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
ABSTRAK .....................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
5
E. Telaah Pustaka ............................................................................
6
F. Landasan Teori ............................................................................
11
G. Metode Penelitian .......................................................................
14
H. Sistematika Pembahasan .............................................................
16
BAB. II. BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID A. Sejarah Kehidupan Nurcholish Madjid .......................................
18
B. Pendidikan Nurcholish Madjid ...................................................
22
xii
C. Karya-Karya ................................................................................
41
BAB. III. PENEGASAN ISTILAH A. Definisi Postmodernisme ............................................................
45
B. Sejarah Postmodernisme .............................................................
55
C. Definisi Pendidikan Islam ...........................................................
59
BAB. IV. PEMBAHASAN A. Ide Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid ...................................
73
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid .............
77
C. Analisis Relevansi Postmodernisme terhadap Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid ..............................................
80
BAB. V. PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................
83
B. Saran-Saran .................................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN Daftar Riwayat Hidup Penulis Nota Pembimbing Skripsi Lembar Konsultasi SKK
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan ini. Allah Swt. telah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di dunia ini juga tidak bisa lepas dari pendidikan. Karena pendidikanlah yang menjadi tolak ukur dari keberhasilan atau tidaknya peran manusia dalam menjadi khalifah di dunia ini. Allah telah menganugerahkan manusia berupa akal dan pikiran inilah yang menjadikan pendidikan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Karena adanya pendidikan juga dikarenakan adanya daya pikir oleh akal manusia. Pendidikan Islam merupakan wahana bagi para peserta didik yang mengenyam pendidikan di bawah naungan pondok pesantren atau yang biasa disebut sebagai santri untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut merupakan proses transformasi untuk mempersiapkan generasi muda yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan. Bekal ilmu pengetahuan tersebut berguna sebagai implementasi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, peran dan fungsi pendidikan Islam adalah sebagai pencetak manusia menjadi makhluk yang humanisme yaitu manusia yang dapat memanusiakan manusia lain. Hal tersebut perlu ditelaah kembali mengingat proses pendidikan yang cepat atau lambat dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman. Karena
1
kehidupan yang ada akan terus berputar secara kontinu. Kemudian agar pendidikan Islam dapat bersaing di tengah berkembangan zaman, tentu saja pendidikan Islam harus sanggup menghadapi tantangan modernisasi ini saat ini. Namun, kesadaran akan hal itu belum ada dalam benak pendidikan Islam. Pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang selaras dan sesuai denga kondisi zaman perlu ditelaah. Sehingga muncullah metode baru terhadap pendidikan Islam dalam angka untuk mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam di era modernis ini. Pendidikan Islam mempunyai peran, fungsi, dan tujuan membentuk manusia yang berkembang menjadi manusia yang sempurna, yaitu manusia yang mampu menyeimbangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasardasar dalam doktrin Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaharuan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangannya. Memperbincangkan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) karena ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Dalam pandangan Cak Nur, yang akan penulis bahas lebih jauh dalam penelitian ini, bahwa pembaharuan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Dorongan melakukan pembaruan inilah menurut Cak Nur, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini
2
telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaranajaran Islam, dan kehilangan kekuatan psikologis perjuangannya. Nurcholish Madjid adalah sosok pemikir Islam yang mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme di Indonesia. Pemikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam pendidikan Islam ada sebuah wacana untuk mencari formulasi ideal seiring perkembangan IPTEK, metodologi dan permasalahan sosial-budaya yang perlu mendapat pencerahan dari dunia pendidikan Islam khususnya. Konsep ini tentu akan menjumpai hambatan-hambatan karena peristilahan pendidikan Islam yang masih umum. Adanya tarik menarik antara aspek filsafat dan teologi yang sulit dilepaskan dari Pendidikan Islam. Dimensi filsafat mungkin koheren dengan nilainilai Islam, sedangkan teologi lebih bersifat ekslusif, hanya menjustifikasikan halhal yang tekstual bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits (Widodo, 2007: 25). Secara umum dasar filsafat membawa konsekuensi bahwa rumusan pendidikan Islam harus beranjak dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim dan sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam (Nizar, 2002: 58). Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang pemikirMuslim
modernis
atau
lebih
tepatnya,
postmodernisme,
menggunakan
peristilahannya yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid berpendapat
bahwa
Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan
modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap
3
harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan. Dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis berkonsentrasi dalam penelitian ini dengan judul “Postmodernisme
dalam
Pendidikan Islam Perspektif Nurcholish Madjid”.
B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis fokus pada beberapa pokok pembahasan, di antaranya: 1. Apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid? 2. Bagaimana konsep pemikiran postmodernisme pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid? 3. Bagaimana relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penulisan penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya: 1. Untuk mengetahui apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid. 2. Untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid. 3. Untuk mengetahui Bagaimana relevansi postmodernisme dengan pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
4
D. Manfaat Penelitian Selanjutnya penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat teoritis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini merupakan sumbangsih khasanah keilmuan pendidikan Indonesia secara umum dan pendidikan Islam. b. Sebagai referensi yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain yang tertarik meneliti suatu konsep pendidikan Islam. c. Bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan tambahan koleksi kepustakaan. 2. Manfaat Praktis Segala perbuatan yang dilakukan diharapkan mengandung menafaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh sebab itu, berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan penulis, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, sebagai berikut: a. Manfaat bagi Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Sebagai bahan dokumentasi bagi pengembangan konsep pendidikan Islam, dan menjadi masukan untuk lembaga agar mempunyai pandangan yang luas terhadap ilmu pengetahuan. b. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Sebagai sarana yang bisa dibaca dan bisa menjadi sumber rujukan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan konsep pendidikan Islam
5
tokoh pembaharuan Islam. Sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. c. Manfaat bagi peneliti Menambah wawasan keilmuan tentang konsep pendidikan Islam tokoh pembaharuan Islam, sehingga mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Telaah Pustaka Kajian tentang postmodernisme pendidikan Islam memang bukan yang pertama kali dilakukan oleh para penulis, terutama penelitian jurnal maupun skripsi. Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis menjumpai hasil penelitian yang memiliki titik singgung dengan judul yang diangkat dalam penelitian skripsi ini, berikut beberapa literatur yang menjadi acuan pustaka sebagai komparasi akan keontetikan penelitian ini: Penelitian yang berkaitan dengan postmodernisme pendidikan Islam, penulis merujuk penelitian jurnal yang ditulis oleh Mukalam pada Intertextual Studies for Civilization (ISC) Yogyakarta pada tahun 2013 yang berjudul “Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini dikupas mengenai perspektif menarik dari logika postmodernisme bila ditarik ke dalam logika filsafat pendidikan Islam. Dengan logika postmodernisme, filsafat pendidikan Islam akan menjadi ruang untuk mendiskusikan kembali konsepkonsep lama seperti pengetahuan, manusia, dan sejarah di dalam sinaran konsep relasi pengetahuan dan kekuasaan, multi-identitas dan instabilitas subyek,
6
lokalotas pengetahuan dan sebagainya. Ide-ide postmodernisme mungkin terasa mencemaskan, terkesan menihilkan segala sesuatu, meragukan semua konsep dan merelatifkan semua pandangan. Namun satu hal perlu dicatat, gal tersebut bukan satu alasan untuk cepat-cepat menolak dan meninggalkannya (Mukalam, 2013: 288). Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Mukalam yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni terletak pada subjek penelitian penulis adalah perspektif Nurkholish Madjid, sedangkan pada jurnal saudara Mukalam tidak terdapat fokus subjeknya. Kajian yang kedua penulis merujuk pada skripsi Khusnul Itsariyati, Mahasiswi jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2010 yang berjudul “Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Nurcholis Madjid (Tinjauan Filosofis dan Metodologis)”. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembaharuan pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid yaitu pendidikan yang menuju pada progressivisme dan dinamika, dengan pemahaman agama menjadi dasar pemikiran Nurcholis Madjid yaitu dengan rasionalisasi yang diikuti dengan pandangan sikap terbuka dan berpikir kritis terhadap segala hal, maka pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid perlu dimulai dengan dihapusnya garis pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan agama, sehingga tidak ada dikotomi, dari keterpaduan itu diharapkan dapat menjadi pintu gerbang pendidikan Islam pada masa yang akan datang. Sehingga pendidikan Islam akan dapat mengikuti perkembangan zaman (Itsariyati, 2010). Skripsi
7
penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudari Khusnul Itsariyati yakni sama-sama membahas tentang pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid. Metode yang digunakan juga sama yakni dengan menggunakan metode literatur. Namun yang membedakannya terletak pada konsep pendidikan Nurcholis Madjid yang menuju progessivisme dan dinamika. Sedangkan pada penelitian penulis, konsep pendidikan Nurcholis Madjid dalam postmodernisme. Kajian ketiga, penulis merujuk pada skripsi saudara Ahmad Nadhif, Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2012 yang berjudul “Prinsip-Prinsip Postmodern dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konseptual pendidikan Islam dapat diinkorporasikan dengan prinsip-prinsip postmodern. 1. Konseptual pendidikan islam yang terkesan normatif dan etis harus didekonstruksi dengan pengkajian kritis dan inklusif, karena jika pendidikan Islam masih menggunakan konseptual serupa maka pendidikan akan menjadi penjara yang bertopeng keagamaan. 2. Ragam epistemologi yang terdapat dalam keilmuan pendidikan Islam dapat dipadukan dengan konsep integrasi-interkoneksi, karena disadari bahwa masing epistemologis mempunyai bahasa tersendiri. 3. Konseptual pendidikan Islam yang normatif-etis, bisa jadi atas dasar romantisme sejarah yang pernah dimiliki oleh Islam. Oleh karena itu, sejarah harus dikaji secara kritis dan reflektif (Nadhif, 2012).
8
Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Ahmad Nadhif yakni sama-sama membahasa tentang hubungannya postmodernisme dengan pendidikan Islam. Namun yang membedakan adalah penelitian dari saudara Ahmad Nadhif lebih membicarakan prinsip-prinsip postmodernisme, sedangkan penelitian penulis yakni tentang pandangan Nurcholis Madjid tentang postmodernisme pendidikan Islam. Kajian keempat, penulis merujuk pada jurnal Achmad Reyadi AR, mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel pada tahun 2011 yang berjudul “Postmodernisme;
Perspektif
Ajaran
Islam
dan
Implikasinya
Terhadap
Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini akan dikupas mengenai eksistensi postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengkritisi terhadap modernisme. Munculnya postmodernisme membawa harapan baru sekaligus menjadi tantangan bagi pendidikan Islam. Harapan bagi pendidikan Islam adalah bahwa di era postmodern akan terjadi kesemarakan kehidupan keagamaan. Akibat pengaruh kehidupan masa kini yang penuh dengan suasana kesibukan dengan memunculkan
situasi
kompetitif,
pengejaran
prestasi
secara
progresif
menyebabkan manusia menjadi letih (Reyadi AR, 2011: 82). Jurnal penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Achmad Reyadi AR yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni relevansi postmodernisme dengan pendidikan Islam, sedangkan jurnal milik saudara Achmad Reyadi AR lebih terfokus pada implikasi postmodernisme terhadap pendidikan Islam.
9
Kajian kelima, penulis merujuk pada skripsi Moh. Zainal Muhtar, mahasiswa jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul “Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di Era Postmodernisme dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Telaah Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMA Kelas X Kurikulum 2013)”. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Postmodernisme muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap era modern. Postmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan nilai-nilai keagamaan. 2. Sebagai sebuah pemikiran, postmodern memberikan kritik dan menolak atas segala bentuk ketunggalan, fondasional, linier, otoriter, dan universalisme yang menjadi postulat kebenaran modenisme. 3. Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah menjadi suatu hal mutlak dilakukan sebagai salah satu upaya penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai Islam dan kehidupan peserta didik dewasa ini dengan berbagai macam tantangan kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. 4. Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 2013 saat ini, menunjukkan bahwa tidak lagi menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, melainkan juga telah menekankan pada aspek afektif (pembentukan sikap) dan psikomotorik (tingkah laku) pada peserta didik, sehingga pada ranah konkritnya, peserta didik tidak hanya dituntut untuk sekedar mengetahui
10
tentang ajaran Islam, melainkan juga meyakini dan menghayati serta mempraktikkan ajaran Islam tesebut dalam kehidupan sehari-hari (Muhtar, 2015: 160-161). Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara postmodernisme dengan pendidikan. Namun yang membedakan adalah penelitian dari saudara Moh. Zainal Muhtar lebih membicarakan relevansi postmodernisme dengan tujuan pendidikan Islam bagi peserta didik, sedangkan penulis lebih fokus dalam relevansi postmodernisme dengan pendidikan Islam itu sendiri.
F. Landasan Teori Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dalam skripsi ini, perlu penulis batasi ruang ligkup istilah yang berkaitan dengan skripsi ini. Terutama yang berkaitan dengan istilah konsep, relevansi, postmodernisme, pendidikan Islam, dan Nurcholish Madjid. 1. Konsep Konsep adalah rancangan atau ide yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit, gambaran, mental dari objek, proses ataupun yang dari luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2005: 588). Dalam bahasa Inggris, konsep ditulis concept, yang berarti pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran atau concept is a general nation or idea od something formed by mentally combining all characteristic or particulars, artinya konsep adalah suatu paham atau ide umum, yaitu pemikiran tentang
11
sesuatu yang terbentuk secara mental yang menggabungkan seluruh karakteristik dan kekhususan. 2. Relevansi Relevansi adalah hubungan, keterkaitan, kesesuaian (KBBI, 1989: 377). Sesuatu adalah relevan dengan tugas jika kemungkinan dapat meningkatkan dan mencapai tujuan. Sebuah hal yang mungkin relevan, dokumen atau sepotong informasi mungkin relevan. Pemahaman dasar relevansi tidak tergantung pada apakah kita berbicara tentang sesuatu atau informasi (www.wikipedia.org). jadi menurut pemahaman ini, relevansi mempunyai keterkaitan atau kesesuaian antara dua premis yang berbeda. 3. Postmodernisme Menurut Bambang Sugiharto (Sugiharto, 2016: 30), terdapat tiga konsepsi tentang postmodern yang dapat digolongkan sebagai berikut. Pertama, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke pramodern. Corak pemikiran yang mistiko-mitis dan semboyan khas pemikiran ini adalah holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada persoalan linguistik. Kata kunci yang populer adalah dekonstruksi, yaitu kecenderungan untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui gagasan anti gambaran dunia sama sekali. Semangat membongkar segala unsuur yang penting dalam sebuah gambaran dunia, seperti diri, tuhan, tujuan, dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam teori-teori tersebut adalah J.F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques Derrida. Ketiga, pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak
12
modernisme secara total, namun dengan memperbaharuinya premis-premis modern di sana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. A.Toynbee menjelaskan bahwa sejarah baru telah dimulai sejak berakhirnya dominasi barat, yaitu pada tahun 1875, yang ditandai surutnya individualisme, kapitalisme, dan kristianitas, serta bangkitnya kekuatan nonBarat (Sugiharto, 2016: 21). Kecenderungan ini juga ditandai oleh zaman yang terkomputasi dan ambiguitasnya semua klaim kebenaran yang dihasilkan oleh rasional-empirik memunculkan beragam gerakan untuk mencari alternatif baru dalam peradaban. 4. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Pendidikan Islam secara bahasa berasal dari kosa kata Arab, yaitu Rabba-Yurobbi, yang mempunyai arti mendidik, merawat, melindungi, mengajari, dan lain sebagainya. Namun, dalam perkembangannya, kosa kata tersebut mempunyai tiga makna yang berbeda, yaitu tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dzib, dan mempunyai konsepsi yang berbeda pula. Oelh karena itu, pemaknaan ketiga kosa kata tersebut dapat dijadikan acuan prinsip dalam pendidikan islam, emskipun dalam tataran teoritis maupun praktis masih sebagai pendidikan yang bersifat normatif dan teologis. 5. Nurcholish Madjid urcholish Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ia lahir pada tanggal 17 Maret 1939, dari
13
kalangan keluarga pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang alim jebolan Pesantren Tebuireng, dan murid kesayangan Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy‟ari, Ra‟is Akbar dan pendiri NU. Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971 (Barton, 1999: 75).
G. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa metode, di antaranya: 1. Sumber Data Sumber data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan langsung dengan topik pembahasan. Sumber data di bagi menjadi dua, yaitu: a. Sumber data primer, yaitu data yang diambil dari sumber utamanya. Di sini penulis cantumkan beberapa sumber primernya, antara lain: 1) Madjid, Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. 2) Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 3) Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
14
4) Madjid, Nurcholish. 2007. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang. b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diambil dari sumber data kedua. Yang berfungsi untuk penguat dari sumber data yang utama. Antara lain: 1) Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2) Soyomukti, Nurani. 2016. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosiolis, Hingga Postmodern. Yogyakarta: ArRuz Media. 3) Vattimo,
Gianni.
2016.
Akhir
Modernitas;
Nihilisme
dan
Hermeneutika dalam Budaya Postmodern. Yogyakarta: Nusantara Press. 4) Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press. 5) Dll. 2. Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan membaca buku-buku, karya ilmiah, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan pembahasan Nurcholish Madjid, kemudian hasil membaca tersebut diolah menjadi pembahasan yang mudah dipahami.
15
3. Analisis Data Penulisan skripsi ini termasuk penelitian library research. Yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku dan literatur lainnya. Teknik penelitian yang menekankan sumber informasi pada bahan kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya, yang sesuai dengan obyek pembahasan penelitian (Sugiyono, 2006: 3).
H. Sistematika Pembahasan Guna memperoleh gambaran yang jelas, dan mudah dalam memahami isi pembahasan dari skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka
teori,
manfaat metode
penelitian, penelitian,
telaah pustaka, dan
sistematika
dan
peristilahan
sejarah
kemunculan
pembahasan. BAB II
Berisi tentang biografi Nurcholish Madjid.
BAB III
Berisi
pembahasan
postmodernisme,
tentang
gambaran
definisi atau
postmodernisme, dan definisi pendidikan Islam. BAB IV
Berisi ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid, konsep postmodernisme dalam pendidikan Islam menurut Nurcholish
16
Madjid, dan analisis relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid. BAB V
Berisi kesimpulan dan saran.
17
BAB II BIOGRAFI
A. Sejarah Kehidupan Nurcholish Madjid Nama pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “hamba Allah” (Malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul Husna, nama-nama Allah yang Indah) (Gaus AF, 2010: 1). Abdul malik lahir di Mojoanyar Jombang pada tanggal 17 Maret 1939 yaitu bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358. Ayah Abdul Malik adalah seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur ayah yang alim. Dia merupakan Kiai alim alumni pesantren Tebuireng dan termasuk dalam keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal memiliki hubungan khusus dengan K.H Hasyim Asy‟ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Abdul Malik semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74). Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering menderita sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama), dan karena itu perlu ganti nama. Alasan lain perubahan nama itu adalah keinginan dari Abdul Malik sendiri. Sewaktu mulai diajari mengaji oleh ibunya, dan membaca surat alFatihah, ia selalu minta agar kata „maliki‟ (yawmiddin) dalam surat itu diloncati saja: “Mak, nggak atik maliki-maliki mak!” (Mak, tidak usah pakai „maliki-
18
maliki‟ Mak). Pemberian nama Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas asalmuasalnya, kecuali bahwa nama itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya” dan cholish berarti “murni” atau “bersih”. Sementara itu nama belakangnya, Madjid, diambil dari nama belakang sang ayah. Nurcholish Madjid populer dipanggil dengan sebutan Cak Nur (Cahyo, 2014: 210). Nurcholish lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama), Hadratusy Syaikh Hasyim Asy‟ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lebih dari sekadar santri, Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercaya oleh Kiai Hasyim lantaran prestasi belajarnya, terutama di bidang tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) dan ilmu hisab atau ilmu hitung. Ketika menjadi santri Tebu Ireng, Kiai Hasyim memberinya nama Muhammad Thahir. Nama Abdul Madjid digunakan setelah pulang menunaikan ibadah haji pada 1927. Hubungan keduanya memang seperti anak dan bapak. Abdul Madjid, misalnya, kerap diminta oleh Kiai Hasyim untuk mengambilkan uang dari kantung jas di kamar sang Kiai. Ini hal yang tidak biasa, terutama bagi orang Jawa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi. Di lain waktu, Abdul Madjid juga sering terlihat sedang memijat tubuh sang Kiai. Karena kedekatan itu pula, Kiai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid dengan cucunya sendiri, Halimah. Ikatan perkawinan itu berlangsung selama dua belas tahun, namun tidak dikaruniai anak. Akhirnya mereka berpisah. Kiai Hasyim lalu menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonanh, putri Kiai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri, Jawa Timur. Fathonah adalah adik
19
dari Imam Bahri, santri Kiai Hasyim di Pesantren Tebu Ireng. Melalui Imam Bahri inilah Kiai Hasyim mengatur perjodohan Abdul Madjid dan Fathonah. Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah Nurcholish. Belum genap berusia dua tahun Nurcholish memiliki adik perempuan yang bernama Radliyah atau Mukhlishah. Setelah itu menyusul adik perempuannya yang lain yang bernama Qoni‟ah (meninggal pada usia 15 tahun akibat penyakit malaria tropika), kemudian berturut-turut lahir Saifullah Madjid dan Muhammad Adnan. Seperti halnya Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini juga disekolahkan di pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish yang menapaki jalur keilmuwan, atau Mukhlishah yang menjadi guru, Saifullah Madjid dan Muhammad Adnan memilih jalur bisnis setelah lulus kuliah (Gaus AF, 2010: 2-3). Meski terdidik secara santri, keluarga H.Abdul Madjid tidak tinggal di lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, kawasan ini masih didominasi kaum abangan (kaum muslim yang tidak menjalankan syariat Islam). Pada 1946, H. Abdul Madjid mendirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah sekolah Islam pertama di desa ini. alWathaniyah secara harfiah berarti “patriotisme”, karena didirikan pada masa revolusi. Madrasah inilah yang mengawali terbentuknya tradisi pendidikan Islam di Kecamatan Bareng. Di daerah-daerah lain di Jombang, tradisi pendidikan Islam saat itu telah tumbuh subur dengan adanya empat pesantren besar: Pesantren Bahrul Ulum di Tambak Beras, Kecamatan Jombang (didirikan pada 1838), Pesantren Darul Ulum
20
di Rejoso, Kecamatan Peterongan (didirikan pada 1885), Pesantren Tebu Ireng, Kecamatan Diwek (didirikan pada 1899), Pesantren Mambaul Maarif di Denanyar, Kecamatan Jombang (didirikan pada 1917). Keterlambatan wilayah Bareng dalam mengadopsi sistem pendidikan Islam disebabkan oleh kenyataan bahwa kultur keislaman di wilayah ini dan tidak terlalu dominan. Kendatipun Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk Bareng, namun sebagian besar mereka adalah abangan. Selain itu, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan secara lebih luas, Jombang, dengan latar belakang sejarah yang panjang, yaitu kolonialisme (Kristen), kerajaan Majapahit (Hindu-Buddha), dan gelombang kedatangan orang-orang dari daratan China pada abad ke-16 (Konghucu) (Gaus AF, 2010: 7). Nurcholish kecil adalah pribadi pendiam. Jika tidak sedang berhasrat untuk bermain, ia duduk di bawah pohon dan mengeluarkan secarik kertas berisikan
catatan
pelajaran.
Ketika
teman-temannya
satu
persatu
mengerubunginya, ia menciptakan suasana belajar dengan menanyakan kepada mereka satu orang satu pertanyaan, dan membetulkannya jika ada yang salah. Setelah itu mereka berlarian ke tepi sungai untuk menabur dedak di sekitar wuwu (alat penjaring ikan yang terbuat dari bambu). Esok harinya, sehabis subuh, mereka kembali ke tepi sungai untuk mengangkut ikan yang tersangkut pada wuwu (Gaus AF, 2010: 9).
21
B. Pendidikan Nurcholish Madjid 1. Madrasah Al-Wathoniyah dan Sekolah Rakyat (SR) Mojoanyar Jombang Pendidikan awal Nurcholish Madjid dimulai tahun 1952 yaitu pada madrasah diniyah milik keluarga. Nurcholish Madjid masuk juga pada sekolah rakyat (SR) di kampungnya. Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang diberikan oleh ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat: Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil “kiai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman yang dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut diri sebagai kiai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan ulama. Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai orang biasa, namun hal itu tidaklah membendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah. Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah al-Wathoniyah di Mojoanyar Jombang. Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah, moral, etika, atau pun dengan pembelajaran membaca al-Qur‟an saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid. Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di
22
Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang (Barton, 1999: 72). Madrasah al-Wathaniyah didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk mengimbangi pendidikan sekuler (Sekolah Rakyat/SR). Ketiadaan lembaga pendidikan agama menjadi alasan anak-anak muda di sini mewarisi kebiasaan mabuk dan berjudi. H. Abdul Madjid mengambil tanggung jawab pendidikan anak-anak Islam ke pundaknya. Mula-mula, pendidikan agama dilakukan secara semiformal di dalam mushola yang masih berupa papan dan anyaman bambu. Baru pada 1947 ia mendirikan bangunan al-Wathaniyah di atas lahan kosong miliknya, di bawah naungan Yayasan Wakaf Umat Sejahtera yang juga ia didirikan bersama Kiai Abdul Mukti. Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya merupakan sekolah pelengkap untuk membekali anak-anak dengan pendidikan agama yang memadai, yang tidak didapat di SR. untuk tujuan itu, Nurcholish Madjid mengenyam pendidikan rangkap. Pagi hari ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di Madrasah al-Wathaniyah. Guru-guru di SR semuanya beragama Kristen. Karena itu salah seorang pamannya pernah melarang Nurcholish belajar di SR. tetapi itu tidak memberikan solusi. Arus pendidikan sekular berusaha diimbangi dengan mendirikan al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk menyainginya (Gaus AF, 2010: 7). Atas pertimbangan itu, H. Abdul Madjid tetap membiarkan Nurcholish belajar di SR. bagaimanapun, ia menganggap pengetahuan umum tetap penting. Ia juga tidak melihat anaknya kesulitan menerima pelajaran pagi dan
23
sore hari. Ini terlihat dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu hitung dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu hitung atau aljabar yang selalu mendapat nilai tinggi. Pada saat yang sama, Nurcholish juga mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa Arab (nahwu-sharaf). Di SR Nurcholish diajari ilmu bumi, dan ia mampu menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan letak kota-kotanya tanpa melihat atlas. Dan pada saat yang sama, ia juga tidak kesulitan menghapal beberapa kitab berbahasa Arab seperti „Aqidah al-„Awwam dan „Imriti (Gaus AF, 2010: 8). Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh terbesarnya terletak pada asuhan yang diberikan oleh sang ayah. Jadi, sejak tingkat dasar, Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di Madrasah Wathoniyah, Nurcolish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya (Nadroh, 1999: 21). 2. Pondok Pesantren Darul „Ulum Rejoso Jombang Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya
24
pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul „Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Pesantren Darul „Ulum yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso, karena terletak di Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan. Ia tidak dikirim ke Pesantren Tebu Ireng, almamater ayahnya dulu, karena pengasuh pesantren tersebut, KH. Hasyim Asy‟ari, telah wafat. Ketika masuk ke Pesantren Rejoso atau Darul „Ulum, Nurcholish diterima di kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia melompati kelas lima karena semua mata pelajarannya telahia kuasai semenjak duduk di bangku madrasah milik ayahnya, al-Wathaniyah. Pelajaran di eklas enam pun pada dasarnya hanya mengulang pelajaran di al-Wathaniyah, sehingga ia dengan mudah menamatkan belajarnya, dan kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah pada 1954, di pesantren yang sama. Hal yang baru bagi Nurcholish ialah bahwa ia menetap di asrama dan menghirup tradisi pesantren secara penuh (Gaus AF, 2010: 12). Pada tahun pertama, Nurcholish sangat menikmati kegiatan belajar. Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah alWathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti Jurumiyah, Imrithi, Tuhfatul Athfal, dan Aqidatu Awwam. Karena itu, ia relatif tidak mendapat kesulitan ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti Alfiyah, Bad‟ul Mal, Jauharatut Tauhid, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif dalam kegiatankegiatan ekstrakurikuler, bahkan pernah menjadi juara satu lomba pidato bahasa Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah. Pergaulan
25
dengan teman-teman baru pada umumnya tidak ada masalah. Yang sangat mengganggunya ialah kondidi kamar. Ia tidak cukup kerasan untuk tidur di kamar pondokan yang kecil, yang satu kamarnya diisi sampai lima belas orang santri. Maka, hampir setiap malam ia membawa bantal dan selimut ke masjid untuk tidur karena di kamar tidak kebagian tempat (Gaus AF, 2010: 13). Mendekati pelaksanaan pemilu, pertentangan politik antara NU dan Masyumi kian memanas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kampanye muncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum-forum keagamaan dimanfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk menyerang Masyumi. Begitu juga sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun makin sering dilakukan oleh anak-anak NU di Pesantren Rejoso, sehingga ia mulai merasa tidak betah. Suatu ketika ia pulang kampung, dan menceritakan semua kejadian itu kepada ayahnya (Gaus AF, 2010: 14). H. Abdul Madjid menganngapi apa yang dialami Nurcholish sebagai sesuatu yang serius, sehingga ia memutuskan untuk menarik anaknya dari Pesantren Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu memindahkan Nurcholish ke Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Keputusan H. Abdul Madjid itu membuat heran banyak orang di kampungnya, sebab di mata mereka (dan di mata kaum Nahdliyin Jombang pada umumnya) saat itu Pesantren Gontor memiliki citra “setengah kafir”. Setidaknya, ia dianggap bukan pesantren NU, melainkan pesantren Masyumi. Belakangan, setelah belajar dan tinggal di Gontor, Nurcholish tahu bahwa pesantren ini bukan pesantren Masyumi. Para guru dan siswanya datang dari berbagai latar
26
belakang kultur keagamaan. Bahkan para pendirinya pun (KH. Ahmad Sahal, KH. Imam Zarkasyi, dan KH. Zainuddin Fanani) bukan orang-orang Masyumi (Gaus AF, 2010: 15). 3. Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Karena ayah Nurcholish tetap di Masyumi meskipun NU menyatakan keluar, maka ia pun memindahkan Nurcholis Madjid dari basis tradisional ke pesantren modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo, KMI (Kulliyat Mu‟alimien al Islamiah) pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari temantemannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi (Barton, 1999: 75). Menurut Nurcholis Madjid sendiri, di sinilah masa paling menentukan pembentukan sikap keagamaannya (Aziz, 1999: 22). Pesantren Gontor (didirikan pada 1926) adalah pesantren bercorak modern. Salah satu indikasinya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. Bahkan di masa kolonial, bahasa Belanda dan Jepang juga menjadi mata pelajaran wajib. Kiai Zarkasyi sendiri, salah seorang pendiri Pesantren Gonor, pernah belajar di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang melahirkan pujangga kenamaan Ronggowarsito. Namun, pandangan-pandangan Kiai Zarkasyi lebih banyak dibentuk ketika ia belajar kepada Mahmud Yunus di Sekolah Noormal Islam, Padang Panjang, Sumatera Barat (Gaus AF, 2010: 16). Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia
27
banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab. Santri yang masuk di pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan Bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua, seorang santri mulai diperbolehkan untuk belajar nahwu dan Sarraf. Demikian juga di kelas tiga, empat, lima dan enam. Sehubungan dengan kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur): Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri diwajibkan menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris secara aktif dalam berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya di semua kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan Penekanan pada santri-santri dalam menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar seharihari, yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan yang lebih luas. Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan
luas
dan
berfikiran
bebas”
memberikan
penekanan
keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptakan iklim yang kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Mu‟alimien alIslamiah) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid menyelesaikan studi di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas
28
almamaternya. Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu 6 tahun dengan tiga tahun yang terakhir mempelajari metode-metode pengajaran. Maka sangat lazim bahwa alumni Gontor masih menetap di pesantren paling tidak untuk satu tahun lagi mengajar. Adapun kelangsungan ekonomi para guru di pesantren ini sepenuhnya bergantung kepada pesantren, bahwa guruguru mendapat jatah makan dan rumah pondokan, tidak lebih. Pondok pesantren Gontor dan orang tuanyalah yang merupakan unsur yang cukup berpengaruh dalam perkembangan intelektual Nurcholish Madjid (Barton, 1999: 36). 4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Nurcholish yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Nurcholish mengajar di almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit memperoleh visa, sang guru tahu bahwa Nurcholish sangat kecewa dan untuk menghiburnya, KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya itu dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor
29
di IAIN tersebut, Nurcholish bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri. Ijazah Gontor waktu itu secara resmi tidak diakui oleh pemerintah Indonesia (Barton, 1999: 77). Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada awal tahun 1961, Nurcholish masuk ke Fakultas Adab (Sastra Arab), karena minatnya sangat besar di bidang ini. selain karena soal minat, pilihan ke fakultas ini juga karena pertimbangan bahwa di situ ada dosen alumnus Gontor, Abdurrahman Partosentono, yang memudahkan jalan Nurcholish masuk IAIN (Gaus AF, 2010: 26). Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya yang kritis dan keberanian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-Qur‟an „Arabiyun Lughatan Wa „Alamiyun Ma‟nan (Al-Qur‟an secara Bahasa adalah Bahasa Arab, secara Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir keislaman yang inklusif. Kuliahnya diselesaikan pada tahun 1968 dengan prediket cumlaude. Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish, bukan hanya berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Perancis dan fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus Bahasa Perancis, Nurcholish kursus di Alliance Francaise yang selesai pada tahun 1962.
30
Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru dan sedemikian Akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya dan semangat al-Qur‟an sehingga paham keislaman yang ditawarkan Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota (Hidayat, 1995: vii). Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru, termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu (Sofyan dan Madjid, 2003: 73). Nurcholish
sebagai
Ketua
Umum
HMI
Cabang
Ciputat
ternyata
menyampaikan pandangan yang keras menentang kebijakan PB HMI. Alasannya, tidak perlu menjilat penguasa, katanya. Tentu saja para koleganya di HMI Ciputat tersentak. Fatwa yang lebih senior di HMI langsung menegur Nurcholish. Bagaimanapun, itu adalah beleid PB yang harus dihargai, setelah
31
kasus
itu
tetap
intelektualitasnya;
baik.
Fatwa
sementara
menghormati
Nurcholish
Nurcholish
menghargai
Fatwa
karena karena
ketokohannya yang cemerlang di organisasi PII dan HMI (Gaus AF, 2010: 31). Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PERMIAT) periode 1967-1969 (Barton, 1999: 78). Organisasi ini merupakan gabungan dari HMI, PKPIM (Persatuan Kebangsaan PelajarPelajar Islam Malaysia), dan USMS (University ot the Singapore Moslem Society). Permiat dibentuk di Umiversiti Malaya, Petaling Jaya, dan menunjuk Nurcholish menjadi Ketua Umumnya yang pertama dengan Wakil Ketuanya Islami Daud, Ketua Umum PKPIM. Sedangkan dari USMS diwakili oleh Muhammad bin Abdullah yang duduk di jajaran kepengurusan. Kegiatan Permiat yang paling penting adalah menyelenggarakan trainingtraining perkaderan, yang dalam praktiknya lebih sering diadakan di Indonesia. Training-training itu diselenggarakan secara aksidental, tidak periodik, di mana para pemberi materinya kebanyakan adalah para aktivis Indonesia, termasuk Nurcholish sendiri. Salah seorang peserta yang kemudian menjadi tokoh di Malaysia dalam training-training itu adalah Anwar Ibrahim, yang pernah mengikuti training di Pekalongan, Jawa tengah (Gaus AF, 2010: 42). Kesadaran politik Nurcholish terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Pengalamannya bertambah saat ia menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Meskipun memimpin
32
organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish Madjid tidak menonjol di lapangan yang tajam, ia menilai ada yang kurang dalam sistem pengkaderan di HMI, yaitu segi materi keislaman. Masa itu yang menarik adalah gagasan Islam dan sosialisme, namun argumen pembahasannya banyak yang dilakukan dengan gaya apologetis. Berangkat dari situlah Nurcholish Madjid merasa tepanggil merumuskan dasar-dasar sebagai pijakan pengkaderan HMI (Aziz, 1999: 22). Ketika Nurcholish terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, para pemimpin Masyumi menaruh harapan baru kepada HMI, walaupun Nurcholish terpilih antara lain dengan mengalahkan calon yang mereka jagokan, yang bernama Farid Wajni. Harapan mereka pertama-tama didasarkan pada kenyataan bahwa Nurcholish berasal dari sebuah keluarga anggota Masyumi yang sangat taat kepada agama. Dan yang mungkin lebih penting lagi, ia adalah calon sarjana dari sebuah lembaga pendidikan agama, yakni IAIN Jakarta. Harapan mereka itu memang tidak sama sekali meleset. Nurcholish sangat condong kepada para pemimpin Masyumi, dan berusaha untuk memasukkan sebanyak mungkin gagasan dan aspirasi mereka ke dalam tubuh HMI. Tidak heran bahwa pada mulanya Nurcholish pun mendukung upaya mereka untuk menghidupkan kembali partai Masyumi (Gaus AF, 2010: 49). Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat nasional tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain, keterlibatannya pada kegiatan internasional
33
yakni kunjungannya ke Timur Tengah. Di Timur Tengah, tepatnya di Irak, Nurcholish bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu kuliah di Baghdad University, setelah mrotol dari al-Azhar yang dinilai oleh Gus Dur sangat tradisional dan konservatif, dan sejak itu keduanya sedemikian akrab dan sama-sama memiliki tendensi pemikiran yang liberal neo-modernis. Nurcholish Madjid juga melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Lawatan ke Amerika Serikat Nurcholish Madjid terjadi karena diundang USIS (United State of Islamic Student). Di AS, Nurcholish belajar lebih banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti Liberalisme, Sekularisme dan Demokrasi, sehingga sejak itu Nurcholish mengalami perubahan dan perkembangan pemikiran. Kunjungan tersebut semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. Yang dimaksud dengan Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan, aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian kental untuk konteks Indonesia disuarakan oleh eks tokoh-tokoh Masyumi semisal M. Natsir. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural yang dalam perspektif para ahli dikontraskan dengan pendekatan kultural. Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi (pada masa Orde lama dan awal Orde Baru), gerakan Islam kontemporer
34
semisal Front Pembela Islam, Laskar Islam Ahlussunnah wal Jama‟ah dan partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh NU dengan tokoh kentalnya KH. Abdurrahman Wahid dan pemikiran Nurcholish Madjid. Kunjungan Nurcholish ke Amerika disponsori oleh Council on Leaders and Specialists (CLS) yang berpusat di Washington. Waktu kunjungan yang hanya sekitar satu setengah bulan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Nurcholish untuk menemui tokoh-tokoh penting, berdiskusi dengan kalangan kampus dan mendatangi komunitas-komunitas religius. Hampir seluruh penjuru negeri itu ia kunjungi. Kendati demikian pikirannya tetap saja ke Timur Tengah. Karena itu, selama di Amerika, ia menjalin hubungan cepat dengan orang-orang dari Timur Tengah dan mengatakan kepada mereka bahwa ia akan menemui mereka di sana dalam waktu dekat. Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun dia tak bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun 1974-1976 (Nadroh, 1999: 36-37). Di Yayasan inilah Cak Nur terlibat intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu‟bah Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, bersama-sama kawankawannya tersebut Nurcholish menerbitkan majalah Islam yang sedemikian provokatif dalam menyebarkan gagasan pembaruan yakni Mimbar Jakarta. Tulisan-tulisannya di majalah ini menjadikannya dikritisi oleh orang-orang
35
yang tidak sepaham dengannya. Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah Tempo
hingga
batas
tertentu
pemikiran
Nurcholish
Madjid
telah
menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal (Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton, 1999: 83-84). Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid. Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen keKMIannya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Seperti sikap disiplin, kejujuran, keuletan, kreatif dan persiapan (Al- I‟dal Wal Isti‟dad), ketegasan dalam bertindak (Barton, 1999: 65). Dasawarsa 1960-an merupakan periode penting dan menentukan bagi perjalanan karier Nurcholish sebagai intelektual dan aktivis. Pada tahun 1965
36
ia meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra Arab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Jakarta. Tiga tahun kemudian (1968), ia menuntaskan studi strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorandus di bidang Sastra Arab di lembaga yang sama (Gaus AF, 2010: 79). Masa kepemimpinan Nurcholish di PB HMI akan berakhir pada bulan Mei 1969. Setelah nanti tidak lagi menjadi Ketua Umum HMI, pikirnya, ia akan menunaikan tugas hidupnya yang lain: menikah. Saat itu Nurcholish genap 30 tahun-usia yang cukup untuk membina hidup berumah tangga. yiga tahun sebelumnya, pada 1966, ia pernah meminta kepada gurunya di Gontor, Abdullah Mahmud, untuk dicarikan teman hidup. Abdullah Mahmud saat itu tinggal di rumah seorang aktivis pergerakan Syarikat Islam dan pengusaha bioskop di Madiun. Namanya H. Kasim. Dia juga menjadi donatur PII, karena itu sebagai aktivis PII Nurcholish sudah sangat akrab dengan nama H. Kasim. Dan memang, pesan Nurcholish itu segera ia sampaikan kepada H. Kasim yang ditindak-lanjuti dengan mengirimkan pasfoto seorang putrinya bernama Qomarijah kepada Nurcholish (Gaus AF, 2010: 55). Tahun itu juga Nurcholish berkunjung ke Madiun untuk melihat orang yang ada di foto itu. Namun, di mata Nurcholish, anak perempuan itu terlalu muda (17 tahun), sehingga ia mengatakan kepada H. Kasim untuk menunda lamaran, dan ia akan berjuang dulu, H. Kasim menyetujuinya. Dua tahun kemudian. Pada akhir tahun 1968, Nurcholish kembali menghubungi ustadz Gontornya, Abdullah Mahmud, melalui surat untuk melanjutkan proses lamaran yang dulu tertunda. Isi surat itu pendek saja, bahwa ia ingin melamar
37
Qomarijah. Pada saat itu Qomarijah sedang berada di Solo, karena ia sudah kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (sekarang Universitas Sebelas Maret). Akhirnya Qomarijah pun menerima lamaran Nurcholish. Ada dua alasan mengapa Qomarijah menerima lamaran orang yang belum ia kenal itu. Pertama, untuk menyenangkan orang tua sebagai balas budi kepada mereka yang telah melahirkan dan mendidiknya. Kedua, ia teringat kejadian seminggu yang lalu, yang ia yakini sebagai petunjuk Tuhan, yaitu setelah sembahyang istikharah ia bermimpi melihat bintang-bintang turun di atas kepalanya, dan ada satu bintang yang meluncur dengan cepatnya ke arah Barat (Gaus AF, 2010: 56). Setelah memperoleh kepastian tentang kesediaan anaknya, H. Kasim kemudian menjawab positif lamaran Nurcholish. Ia juga memberitahu keberadaan putrinya di Solo. Maka Nurcholish segera menuju ke Solo. Tetapi ia lupa dengan wajah Qomarijah, sehingga meminta bantuan temannya yang saat itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Solo, Miftah Faridl. Kemudian mereka bertemu di sebuah apotek dan mengajak Qomarijah untuk jalan-jalan. Di tengah perjalanan, Miftah pamit pulang karena masih ada keperluan. Sehingga tinggal berdua, Nurcholish dan Qomarijah. Nurcholish menyebut semua proses yang dilaluinya dari awal hingga bertemu Qomarijah di Solo dengan istilah “santri connection” (Gaus AF, 2010: 57). PB HMI menggelar kongresnya yang ke-9 di kota Malang pada tanggal 3019 Mei 1969. Sebagai Ketua Umum PB HMI, Nurcholish menyampaikan pidato pertanggungjawaban. Setelah itu, ia akan merasa lega
38
dan berkonsentrasi mengurus rencana pernikahannya dengan Qomarijah. Namun, tanggung jawab tampaknya belum akan berakhir. Kongres memberi mandat kepadanya untuk menyempurnakan naskah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang ua rumuskan. Bukan hanya itu, Kongres ternyata memilih kembali Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI untuk periode 1969-1971 (Gaus AF, 2010: 58). Setelah Kongres Malang itu Nucholish ke Madiun menemui Qomarijah. Kendatipun kesibukan sebagai Ketua Umum PB HMI kembali menyita waktu, Nurcholish rupanya tidak ingin menunda lagi rencananya menikahi Qomarijah. Pada 30 Agustus 1969, mereka menuju pelaminan diiringi suatu pesta di gedung bioskop milik H. Kasim. Setelah itu, Nurcholish pergi ke Jakarta sendirian. Ia baru memboyong Qomarijah ke Jakarta ketika istrinya itu hamil lima bulan (Gaus AF, 2010: 59). 5. Universitas Chicago Amerika Serikat Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap tokoh
tersebut.
Kekaguman
ini
disampaikannya.
39
pun
menjadi
pengakuan
yang
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago, Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama neomodernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Di perguruan inilah Fazlur Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur Rahman telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam. Nurcolish Madjid bukan hanya memiliki prestasi akademik yang menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis-pun ia dipercaya untuk menempati posisi penting pada berbagai organisasi kepemudaan. Ini menyiratkan dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu membuktikan integritasnya sebagai intelektual yang produktif. Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun 1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sanggat memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan prediket cumlaude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia dinobatkan sebagai Guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa penghargaan pihak kampus baginya yang begitu lama menggeluti dunia
40
keilmuan pada tangggl 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya sebagai guru besar berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu Percobaan Pendekatan Sistematis Terhadap Konsep Antropologis Islam” (Barton, 1999: 66-67)
C. Karya-Karya Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif. Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Nama Paramadina menurut Nurcholish, berasal dari Parama (Paramount) artinya Unggul atau ekselen, sedangkan Dina maksudnya adalah din al-Islam, sehingga makna filosofi nama yayasan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang unggul dan keunggulannya harus bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai pembawa rahmat (Cahyo, 2014: 224). Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut: 1. Khazanah Intelektual Islam (Madjid, 1984). Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, alGhazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din al-Afghani, dan Muhammad Abduh. 2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Madjid, 1987). Dalam buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman, dan
41
keindonesiaan, sebagai respon terhadap persoalan dan isu-isu yang berkembanga di saat itu. 3. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Madjid, 1992). Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini, Nurcholish berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil, inklusif, dan kosmopolit. 4. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid “Muda” (Madjid, 1994). 5. Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Madjid, 1994). Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Nurcholish di harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban. 6. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dan Sejarah (Madjid, 1995). Dalam buku ini pemikian Nurcholish lebih terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan. 7. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Madjid, 1995). Buku ini sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Nurcholish menyajikannya dengan wawasan yang lebih
42
kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. 8. Masyarakat Religius (Madjid, 1997). Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan, antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan kekuatan adialami. 9. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Madjid, 1997). Dalam buku ini Nurcholish mengetengahkan tentang peran dan fungsi Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi, dan konsep oposisi loyal. 10. Kaki Langit Peradaban Islam (Madjid, 1997), mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal alShafi‟I dalam bidang hukum, al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Ibn Rusyd dalam filsafat, Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan sosiologi. 11. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Madjid, 1997), yang membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya dalam peradaban Islam di Indonesia. 12. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Madjid, 1997). Buku yang merupakan transkip wawancara yang pernah dilakukan oleh Nurcholish memiliki mainstream bagaimana nilai-nilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik politik kontemporer. 13. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad” (Madjid, 1999). Dalam buku ini Nurcholish Madjid berusaha
43
menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen dalam harian Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). 14. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi (Madjid, 1999). Buku ini merupakan perjalanan panjang politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Nurcholish sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilainilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya sehingga tidak bertahan lama. 15. Indonesia Kita (Madjid, 2003). Dalam buku yang merupakan karya tulis terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang
yang menantang.
Dalam buku ini dimuat pokok pemikiran Nurcholish Madjid ketika mencalonkan diri sebagai Presiden RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia.
44
BAB III PENEGASAN ISTILAH
A. Definisi Postmodernisme Postmodernisme adalah gerakan pemikiran dan filsafat baru yang pengaruhnya dalam teori dan praktik pendidikan cukup besar. Postmodernisme (postmodernism) berasal dari dua kata “post” dan ”modernism”. Istilah “post” bisa diartikan “pasca” atau “setelah”, bisa juga diartikan “tidak”. Sementara modernisme merujuk pada filsafat dan gaya berpikir modern yang bercirikan rasionalisme dan logisme atau oleh kaum postmodernis dicurigai bergaya pikir “positivisme”. Jika “post” diartikan “setelah” (pasca), maka postmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi terhadap pikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan. Sementara, jika kata “post” diartikan tidak, maka postmodern mengandung arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan masyarakat linear seperti tradisional, modern, postmodern, maka yang tidak postmodern bisa saja tradisional maupun modern. Jadi, postmodernisme bukanlah tradisionalisme maupun modernisme. Meskipun demikian, tampaknya benar jika ada yang mencurigai bahwa postmodernisme adalah kebangkitan lagi tradisionalisme, yakni membangkitkan lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme (Soyomukti, 2015: 321322).
45
Awalan “post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekadar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habermas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Menurut Tony Cliff, psotmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran “isme” berarti gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern (Maksum, 2016: 262). Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah “postmodern” itu kiranya terutama adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya. Sehubungan dengan akhiran „isme‟ itu,
postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas.
Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan idologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Dalam banyak pembicaraan tentang gejala postmodernisme dan postmodernitas sering bercampur baur. Tentu saja sebenarnya antara kedua hal itu terdapat saling keterkaitan erat, namun justru keterkaitan itulah yang mengakibatkan pembicaraan tentangnya kadang menjadi kabur. Betapa pun juga dimensi teoritis memiliki sosok yang lebih jelas ketimbang tatanan praksis sosial yang serba ambigu. Catatan lain, akhiran “isme” itu juga memberi kesan seolah ia adalah sistem pemikiran tunggal tertentu, sementara nyatanya istilah yang bertebaran di segala
46
bidang itu merupakan label untuk bermacam-macam pemikiran yang kadang saling bertabrakan (Sugiharto, 2016: 24). Postmodernisme adalah “pemberontakan” terhadap –isme sebelumnya. Apabila modernisme menekankan kesadaran subjek sebagai referensi makna realitas, maka postmodernisme menekankan bahwa makna tidak hanya ditentukan oleh kesadaran dan subjek, tetapi oleh ketidaksadaran dan intersubjektivitas. Makna berada di luar kehendak subjektif pada individu atau sebuah kelompok yang berkuasa. Dengan kata lain, makna berada di luar dominasi sebuah sistem rasional. Dengan kata lain, rasionalitas postmodernisme bersifat plural, bukan tunggal, maka menjadikan kesadaran subjek dalam arti Kantian ditolak (Poespowardojo & Alexander, 2016: 214). Jika kita mencari istilah postmodernisme melalui internet, maka akan ditemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menggunakan istilah postmodern itu seperti: postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern archeology, postmodern dance, postmodern film, postmodern philosophy, postmodern political science, postmodern school, dan lain-lain. Berbagai istilah yang digunakan dalam bidang ilmiah ini membuktikan bahwa penggunaan postmodern bukan hanya menjadi pembahasan di bidang ilmu pengetahuan (terutama ilmu sosial-budaya) (Lubis, 2016: 2). Munculnya pasca-modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, karena modernisme berkaitan dengan bentuk-bentuk kebudayaan yang ditandai dengan rasionalisme, positivisme,
47
empirisme, industri dan kecanggihan teknologi. Dengan ciri-cirinya tersebut, modernisme menyuguhkan suatu keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana urusan materi atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan ada lagi kelaparan atau kekurangan material, itulah janjinya. Teknologi akan membawa kita ke kehidupan yang serbamudah, cepat, dan lebih baik. Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat kita lebih pintar, meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia (Maksum, 2016: 265). Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti Max Horkheimer, Adorno, dan Herbert Marcuse yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi. Akal mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern (Maksum, 2016: 266). Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan juga sekedar strukturalisme dan postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan Foucault. Lebih dari itu, menurut Habermas, modernisme atau modernitas telah mulai dikembangkan oleh Hegel (1770-1831) karenanya ia menganjurkan kita kembali kepada Hegel jika ingin memahami lebih jauh hubungan internal antara
48
modernitas dan rasionalitas. Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith, dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme. Mereka tetap yakin akan kehidupan kontemporer sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Lebih dari itu, modernisme mempunyai akar filosofis yang lebih jelas (Maksum, 2016: 297). Dalam filsafat Barat modernisme diacukan pada pemikiran yang berkembang setelah Renaisans dan Pencerahan (Rene Descartes dan Immanuel Kant). Modernisme adalah peningkatan kesadaran tentang aspirasi kemajuan, dan rasionalitas yang dipahami dalam konteks modern itu adalah sebagai salah satu wujud penerapan rasionalitas tersebut. Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern karena posisinya yang penting dengan pandangan dunianya yang mekanis serta menempatkan “rasio” atau “subjek” sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kant adalah tokoh penting era Pencerahan dan filsuf terkemuka di era Modern yang membahas masalah: etika, metafisika, epistemologi, yang pemikirannya memengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan modern. Meskipun Kant disebut sebagai pemikir besar era Modern, beberapa gagasannya cukup mewanai pemikiran postmodern seperti ia dianggap orang pertama yang membicarakan masalah persaudaraan global umat manusia yang sekarang menjadi pembicaraan dalam ilmu pengetahuan dengan munculnya era Informasi dan globalisasi yang mnenyertainya. Sementara itu, tokoh eksistensialis dan fenomologi seperti Husserl memperkuat dukungannya pada peran rasio (aspek rasionalitas) manusia dan cenderung mengabaikan yang lain. Pemikir modern sepertinya sangat yakin bahwa teori (ilmu pengetahuan) yang ditemukan
49
merupakan gambaran objektif-universal dari objek yang diteliti. Dalam perspektif ini, teori dianggap sebagai copy realitas atau penggambaran esensi realitas (esensialisme). Rasionalitas dan subjek (kesadaran) dalam pemikiran modern dilihat sebagai substansi transendental-ahistoris sehingga dianggap sama di mana saja. Pemikir postmodernis (seperti Derrida) justru mengkritik pemikiran modern itu sebagai satu bentuk nostalgia. Bagi para pemikir postmodernis tidak ada rasio murni, tidak ada subjek universal dan transendental, karena rasio dan subjek sendiri dikonstruksi oleh faktor sosial-budaya. Karena itu, tidak mengherankan, jika Derrida menyatakan bahwa pemikir modern menerima logosentrisme dan metafisika kehadiran dan Derrida tidak memercayainya dan mendekonstruksi cara berpikir logosentris itu. Atau dengan menggunakan istilah Francois Lyotard, filsuf dan ilmuwan modern itu memercayai metanarasi untuk menjelaskan berbagai permasalahan tanpa membedakan perbedaan ruang dan waktu (Lubis, 2014: 16). Postmodernisme tidak mempunyai pandangan fundasionalisme keilmiahan (seperti paradigma positivisme) yang dominan pada era Modern. Paradigma positivisme menuntut adanya kesatuan metode ilmu pengetahuan, kesatuan bahasa ilmiah serta kepercayaan bahwa teori merupakan penggambaran realitas (mirror of nature) secara objektif. Masyarakat postmodern tidak lagi percaya pada model penjelasan dan pemahaman totalitas dan universal seperti itu, yang dalam bahasa Lyotard itu disebut cerita agung (grand-narrative). Masyarakat postmodern lebih
50
memercayai penjelasan narasi-narasi kecil, penjelasan yang konteks lokal, sehingga bersifat plural dan kontekstual (Lubis, 2016: 19). Sementara itu pada postmodernisme, seperti yang diungkapkan Jean Baudrillard, terjadinya perubahan besar dari model mekanis dan produksi metalurgi ke suatu industri informasi dan dari produksi ke konsumsi sebagai fokus utama ekonomi. Era postmodernisme adalah era dimana berbagai perspektif media baru cenderung mengaburkan perbedaan tajam antara realitas dan fantasi (simulacra) sehingga meruntuhkan suatu keyakinan pada suatu realitas objektif. Dikotomi modern tentang realitas objektif versus citra (images) atau citra-citra subjektif misalnya, di era postmodernisme digantikan dengan suatu hiperialitas (“self-referential signs”/tanda-tanda referensi diri). Di sini tampak bahwa pemikir postmodern menggantikan konsepsi tentang adanya suatu realitas independen dari pengamat (observer) dengan gagasan keterkaitan subjek dengan dunia (subjek dengan objek) (Lubis, 2016: 20). Lalu bahasa. Pada postmodernisme bahasa dilihat bukan sekadar bersifat denotatif, bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologisnya saja. Postmodern menempatkan persoalan bahasa pada titik pusat (linguistic turn) seperti pada pergeseran pemikiran Wittgenstein dari “picture theory” ke filsafat bahasa sehari-hari (language games) atau teori “speech-act” dan pendekatan pragmatis pada Austin, Grice, dan Searle, dan dekonstruksi pada Derrida. Pembahasan bahasa ini berkaitan dengan pertanyaan: apakah bahasa hanya pernyataan tentang/realitas? Apakah bahasa merupakan sistem dan struktur tanda dan makna yang statis (strukturalisme)? Ataukah bahasa merupakan struktur tanda
51
yang dinamis (post-strukturalisme)? Apakah bahasa memiliki keanekaragaman sesuai dengan berbagai tujuan dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari? Pembahasan tentang bahasa juga berkaitan dengan bagaimana hubungan antara penalaran, makna, kebenaran, dan bahasa. Adapun Derrida dan Roland Barthes sebagai tokoh postmodernisme dan post-strukturalisme melihat bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis, sementara Richard Rorty, yang juga tokoh postmodernisme, melihat peran bahasa yang sifatnya kontingen. Bahasa dan strukturnya adalah hasil konstuksi sosial, karenanya tidak ada kesamaan antara bahasa, pikiran, dan realitas (Lubis, 2016: 20). Jika dilihat, postmodernisme menunjuk pada paham berupa kritik-kritik filosofis
atas
gambaran
dunia,
epistemologi
dan
ideologi
modern.
Postmodernisme sebagai suatu ekspresi kultural mencakup karya seni instalasi (collage) dan pastiche karya pop art, gaya arsitektur Las Vegas, pengaburan batas realitas dengan citraan (images) lewat media. Collage, parody, dan pastiche adalah istilah yang akrab dalam seni postmodern. Collage adalah membuat satu karya dengan menggabungkan potongan-potongan bagian-bagian dari berbagai karya, mode (klasik, modern, postmodern) menjadi satu karya baru. Parodi adalah sebuah komposisi sei atau sastra yang mempermainkan dan memplesetkan gaya, gagasan atau ungkapan khas seorang tokoh/seniman sehingga tampaknya menjadi absurd. Sedangkan pastiche adalah parodi yang kosong, netral, dan tanpa norma, seperti berbicara tanpa bahasa, sejarah tanpa periode historis. Tidak ada lagi realitas yang representatif (parodi yang ditiru); dalam pastiche yang ditiru adalah imajinasi kita sendiri. Kebudayaan postmodern meninggalkan rasionlitas,
52
universalitas, kepastian dan keangkuhan kebudayaan modern. Unsur-unsur lain yang ditolak adalah menolak ilmu pengetahuan sebagai filsafat utama dan pengetahuan sebagai keseluruhan dari apa yang kita ketahui. Tidak ada paradigma mutlak sebab ia akan berubah dan berganti. Postmodern juga merupakan reaksi atas filsafat “subjektivitas” atau „kesadaran ahistoris” dan transendental model Cartesian dan Husserlian. Dalam pandangan kaum postmodernis “subjek” dan “rasio” tidak terbebas dari pengaruh lingkungan sosial-budaya dan historis. Karena subjek dan rasionalitas itu terkait dengan faktor sosial budaya, maka postmodernis mengakui bahwa subjek dan rasionalitas itu tidak satu/seragam. Subjek dan rasionalitas dalam pandangan modern merupakan kostruksi manusia yang mengandaikan kehadiran objek dan dunia lingkungannya, tidak ada subjek tanpa objek dan demikian pula sebaliknya. Jadi, ada keterkaitan antara perkembangan sosial-budaya dengan cara berpikir manusia (Lubis, 2016: 21). Jadi, kesimpulan pengertian postmodernisme bahwa postmodern (isme) adalah perubahan budaya (mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir) yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Konsekuensi perubahan yang luar biasa itu adalah (salah satu) paradigma modern tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk memahami dan menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh (postmodern). Karena itu, berbagai kritik terhadap aspek-aspek kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan itu menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan postmodernisme. Postmodernisme, lewat para tokoh dan pemikirannya misalnya, menurut perubahan dalam aktivitas keilmuan, dengan mempertimbangkan aspek
53
subjektivitas, paradigma
objektivitas,
dan
aspek sosial-historis
kerangka
konseptual
(yang
(budaya), aspek semuanya
bahasa,
berperan
dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan). Postmodernisme juga mengkritik contohnya pendekatan strukturalisme yang mendambakan makna objektif teks dalam analisis teks. Untuk ini, postmodernisme meninggalkan pendekatan strukturalisme tersebut
dan
menggantinya
dengan
pendekatan
post-strukturalisme
dan
hermeneutika yang lebih memberikan kebebasan penafsiran. Salah satu ciri yang terpenting dari postmodernisme adalah penolakan terhadap fundasionalisme. Pandangan fundasionalisme ini tampak salah satunya misalnya dari pandangan kaum positivisme logis dengan unifierd science-nya. Postmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, ilmu pengetahuan yang tidak mengakui keterlibatan subjek dalam penemuan dan pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas. Postmodernisme sebaliknya mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan (partisipasi/diakletis), mengakui pengaruh faktor sosial-historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata” seseorang dalam memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial-budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas) paradigma ilmiah. Dan ketika postmodernisme menerima keanekaragaman paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas), maka kebenaran ilmu pengetahuan pun tidak lagi tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural dan berubah, serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Dan ini juga
54
berarti bahwa dalam postmodernisme, berbagai paradigma dan perspektif dapat tampil dengan ciri-ciri atau “aturan permainan” mereka masing-masing.
B. Sejarah Postmodernisme Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekontruksi-rekontruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang rasional dan objektif. Kierkegaard justru berpendapat sebaliknya, bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, “truth is subjectivity”. Pendapat tentang “kebenaran subjektif‟ ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu (Maksum, 2016: 269). Istilah postmodernisme kali pertama digunakan oleh Frederico de Onis pada 1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Pranscis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan tahap postmodernisme antara tahun 1905-1914 yang ia sebut “periode intermezzo” atau pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya dalam tahap ultramodern antara tahun 1914-1932. Kemudian pada 1947, sejarawan Arnold Toynbee memakai kata postmodern dalam buku A Study of History. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditandai perang, gejolak sosial, evolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Pada tahun yang sama, Rudolf Panwitz menggunakan istilah postmodern dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur. Dalam buku ini
55
Panwitz menyebut “manusia postmodern” sebagai manusia sehat, kuat, nasionalis, dan religius yang muncul dari nihilisme Eropa. Dan postmodernisme adalah puncak modernisme (Maksum, 2016: 262). Pada 1957, Peter Dricker menulis subjudul Laporan tentang Dunia Pascamodern
dalam
bukunya
The
Landmarks
of
Tomorrow.
Drucker
memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan baru dalam bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pasca industri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga. Tahun 1960-an, Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern Fiction. Hole menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra modern. Menurutnya, sastra postmodern menunjukkan kemerosotan disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya, sastra postmodern harus meninggalkan model modern-klasik, dan orang bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru. Kemudian sastra postmodernisme baru menunjukkan prestasinya yang penting yaitu saat berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dengan kebudayaan massa (pop culture) (Maksum, 2016: 263). Tahun 1970-an, di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition:
A
Report
on
Knowledge
(1979).
Lyotard
mengartikan
“postmodernisme” sebagai “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, dan isme-isme
56
lainnya. Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga “menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya lalu bukanlah homologi para ahli, melainkan paralogi para pencipta. Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Metanarasi itu, menurut Lyotard, telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, keunggulan Barat, dan sebagainya, yang sulit dipercaya. Dengan katalain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesalihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan sekarang adalah kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme (Maksum, 2016: 264). Dengan
pandangan
macam
itulah,
Lyotard
membawa
istilah
“postmodernisme‟ ke dalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan “postmodern”. Oleh sebab itu, istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekadar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian, istilah
57
postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigmaparadigma modern dan atas metafisika pada umumnya” (Maksum, 2016: 265). Bila kita bicara dari sudut filsafat, maka karakter yang khas dalam modernisme adalah, bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan tentang “apa”nya realitas, dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis maupun transendental). Di sana diharap ditemukan kepastian mendasar bagi pengetahuan kita tentang realitas itu, realitas yang biasanya dibayangkan sebagai “realitas luar”. Kepastian itu persisnya terdapat dalam hukum logika (Sugiharto, 2016: 33). Demikian maka klaim-klaim dari kaum postmodernisme tentang “berakhirnya
Modernisme
“biasanya
dimaksudkan
untuk
menunjukkan
berakhirnya anggapan modern tentang “subjek” dan “dunia objektif” tadi, dunia yang seolah sepenuhnya mandiri menanti subjek yang akan membuat representasi mental tentangnya saja. Lalu postmodernisme dimengerti sebagai upaya-upaya untuk mengungkapkan segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu beserta
metafisika
tentang
fondasionalisme
dan
representasionalismenya
(Sugiharto, 2016: 33). Tentang kapan persisnya awal dari tumbangnya modernisme di bidang filsafat itu ada banyak versi cerita. Dari sudut poststrukturalis, misalnya, modernisme sudah berakhir sejak serangan-serangan awal atas fenomenologi (yang dianggap semacam titik kulminasi dari Humanisme). Sedangkan di dunia yang berbahasa Inggris, modernisme baru tumbang bersama dengan munculnya „filsafat Post-analitik”. Tapi di wilayah Eropa kontinental modernisme berakhir
58
lebih awal, yaitu konon sudah sejak Nietzsche mengadakan kritik dekonstruktif atas tradisi metafisik-platonik. Namun gagasan-gagasannya itu memang kurang membawa efek pada zamannya, sehingga kalau pun ia dianggap sebagai salah seorang perintis postmodernisme tentu bukanlah dalam artian kronologis, melainkan dalam „sejarah efektif”nya (bila meminjam istilah Gadamer), yaitu dalam inspirasi-inspirasi yang dicetuskannya bagi pemikiran-pemikiran abad keduapuluh ini. Dan sebetulnya pengaruh Nietzsche ini pun baru tampil kuat lewat penafsiran Heidegger atas Nietzsche, yang problematis itu, lalu juga diperkuat oleh kultus terhadapnya di kalangan kaum Nietzschean Perancis. Sedangkan versi lain seperti dianggap awal tumbangnya modernisme. Sayang awalan ini tak membawa gema panjang (Sugiharto, 2016: 34).
C. Definisi Pendidikan Islam Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe‟ dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan (Ramayulis, 2015: 111). Ahmad D. Marimba dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam yang sering dikutip dalam berbagai pembahasan pendidikan Islam menyatakan bahwa
59
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Dari definisi ini jelas pendidikan Islam diartikan bimbingan jasmani-rohani menurut hukum agaman Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut Islam, yang berarti menitikberatkan kepada bimbingan jasmani-rohani berdasarkan ajaran Islam dalam membentuk akhlak mulia. Dalam definisi ini tercermin unsur bimbingan jasmani-rohani, berdasarkan hukum-hukum agama Islam, dan terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam (Abdullah, 2001: 34). Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengemukakan secara umum dapat dinyatakan bahwa pendidikan Islam itu adalah pembentukan kepribadian muslim. Selanjutnya digambarkan pengertian pendidikan Islam dengan pernyataan syariat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajak kaumnya untuk beriman dan beramal serta berakhlak sesuai dengan ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi, pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang terwujud dalam amal perbuatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Di segi lain pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan iman dan amal saleh, karenanya pendidikan Islam adalah pendidikan iman dan amal sekaligus. Ajaran Islam berisi ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat (Abdullah, 2001: 38).
60
Dari berbagai definisi pendidikan Islam yang dikemukakan nampak sekali persoalan usaha membimbing ke arah pembentukan kepribadian, dalam arti akhlak menjadi perhatian utama, di samping ke arah perkembangan diri dan berbagai definisi yang ditawarkan, dan hampir sebagian besar terutama pada bagian awal umumnya lebih bersifat normatif dalam memberikan pengertian, sehingga sangat terkesan kurang problematis, kurang strategis dan antisipatif terhadap berbagai masalah pokok yang dihadapi dalam perkembangan kehidupan manusia dalam rangka menunaikan tugas hidupnya dan sekaligus menjadikannya mampu
menjawab
berbagai
tantangan
dalam
kehidupan
serta
mampu
membuktikan dirinya sebagai insan yang berkualitas dari hasil proses pendidikan yang dijalaninya (Abdullah, 2001: 40). Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami kepada kedewasaan psikis (Ramayulis, 2015: 111). Di dalam sistem pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
61
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Ramayulis, 2006: 13). Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-Tarbiyah, al-Ta‟dib, al-Ta‟lim (Ramayulis, 2016: 112). Yang masing-masing memiliki karakteristik makna di samping mempunyai kesesuaian dalam pengertian pendidikan. Meskipun sesungguhnya terdapat beberapa istilah lain yang memiliki makna serupa seperti kata tabyin, tadris, dan riyadhah, akan tetapi ketiga istilah di atas dianggap cukup representatif dan memang sangat sering digunakan dalam rangka mempelajari makna dasar pendidikan Islam (Abdullah, 2001: 21). 1. Dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan kata al-Tarbiyah, namun terdapat istilah seakar dengannya, yaitu al-Rabb, rabbayani, murabbiy, yurbiy, dan rabbaniy. Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbaniy. Menurut Abdul Mujib masing-masing tersebut sebenarnya memiliki kesamaan makna, walaupun dalam konteks tertentu memiliki perbedaan (Ramayulis, 2006: 14). Menurut Mu‟jam (kamus) kebahasaan, kata al-Tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu: 1.
:
تربية
:
يربيو
:
ربا
Yang memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas QS. Ar-Rum: 39.
62
2.
:
تربية
:
يربيو
:
ربي
Yang memiliki arti tumbuh (nasya‟) dan menjadi besar (tara‟ra‟a).
3.
:
تربية
:
يرب
:
رب
Yang memiliki arti memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan. Menurut Abul A‟la al-Maududi kata rabbun ( )ربterdiri dari dua huruf “ra” dan “ba” tasydid yang merupakan pecahan dari kata tarbiyah yang berarti “pendidikan, pengasuhan, dan sebagainya. Selain itu kata ini mencakup banyak arti seperti “kekuasaan, perlengkapan pertanggungjawaban, perbaikan, penyempurnaan, dan lain-lain. Kata ini juga merupakan predikat bagi suatu kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan kepemimpinan (Ramayulis, 2006: 14). Menurut Khalid al-„Amir menyatakan bahwa menurut ilmu bahasa, Tarbiyah berasal dari tiga pengertian kata yaitu masing-masing “RabbabaRabba-Yurabbi” yang artinya “memperbaiki sesuatu dan meluruskan”. Kata “Rabba” berasal dari suku kata “Ghatha-Yughathi” dan “Halla-Yuhalli” dan yang artinya “menutupi”. Dari fi‟il “Rabba-Yurabbi” kata “Ar-rabbuTarbiyatan” ditujukan kepada Allah Swt. yang artinya Tuhan segala sesuatu, raja, dan pemiliknya. Ar-Rabb “Tuhan
yang ditaati”, Tuhan yang
memperbaiki”. Juga ditegaskan Ar-Rabbu merupakan masdar yang bermakna tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sampai menuju titik kesempurnaan sedikit demi sedikit (Abdullah, 2001: 23). MenurutM. Quraish Shihab kata Rabbika disebut dalam Al-Qur‟an sebanyak 224 kali. Kata tersebut bisa diterjemahkan dengan Tuhanmu. Kata
63
Rabb berasal dari kata Tarbiyah yang berarti Pendidikan. Kata yang bersumber dari akar kata ini memiliki arti yang berbeda-beda, namun pada akhirnya artiarti itu mengacu kepada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Menurut Zakiah Darajad, kata kerja Rabb yang berarti mendidik sudah dipergunakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. seperti di dalam Al-Qur‟an dan hadist. Dalam bentuk kata benda “Rabba” ini digunakan juga untuk „Tuhan” mungkin karena juga bersifat mendidik, mengasuh, memlihara, dan mencipta Dengan demikian kata Tarbiyah itu mempunyai arti yang sangat luas dan bermacam-macam dalam penggunaannya, dan dapat diartikan menjadi makna “pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan, pengembangan, penciptaan, dan keagungan yang kesemuanya ini menuju dalam rangka kesempurnaan sesuatu sesuai dengan kedudukannya” (Abdullah, 2001: 25). Penggunaan term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah Swt.:
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
64
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".” (QS. AlIsra‟:24) Dengan
demikian,
term
al-Tarbiyah
mengandung
arti
pemeliharaan/penjagaan atau pengaturan terhadap segala sesuatu secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa term al-Tarbiyah tersebut mengandung makna yang melebihi tuntutan dari kata pendidikan tersebut (Ramayulis, 2016: 115). 2. Istilah lain pendidikan adalah Ta‟lim, merupakan masdar dari kata „allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan (Ramayulis, 2006: 14). Jadi, makna ta‟lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa Arab dinyatakan Tarbiyah wa Ta‟lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan Pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “at-Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta‟lim dengan kata kerja “allama” juga sudah digunakan pada zaman Nabi baik di dalam AlQur‟an maupun hadist serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering digunakan daripada Tarbiyah. Kata “allama” memberi pengertian sekadar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan (Abdullah, 2001: 27). Penunjukan kata ta‟lim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan firman Allah Swt.:
65
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". (QS. Al-Baqarah: 31) Berdasarkan pengertian yang ditawarkan dari kata ta‟lim dan ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang dimaksudkan mengandung makna yang terlalu sempit. Pengertian ta‟lim hanya sebatas proses pentransferan seperangkat nilai antar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang ditransfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif. Ia hanya sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan (Ramayulis, 2006: 15). Seperti halnya istilah al-Tarbiyah, term ta‟lim-pun memiliki cakupan makna yang luas seperti yang tertera di berbagai tempat dalam Al-Qur‟an. Di antaranya ada yang bermakna informasi pengetahuan yang belum diketahui manusia sebagai sebuah keutamaan baik melalui lisan maupun tulisan, seperti yang terdapat dalam QS. Al-Kahfi: 65-66:
66
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hambahamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (65). Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (66).” (QS. Al-Kahfi:65-66) Pada ayat
di
atas, potongan ayat
“‟allama” dengan arti
memberitahukan informasi yang belum diketahui sebelumnya. Menurut Al-Qur‟an, ta‟lim dengan arti pengajaran telah dimulai sejak manusia keluar dari perut ibunya masing-masing (sejak kelahiran). Pada saat manusia muncul pertama kali di alam dunia, mereka tidak tahu apa-apa, lalu Allah anugerahi mereka dengan berbagai fasilitas kehidupan dan sarana untuk memperoleh pengetahuan seperti pendengaran, mata, hati, dan lainlainnya. Hal ini secara tegas Allah nyatakan dalam Al-Qur‟an (Ramayulis, 2016: 116). Term “ta‟lim” yang berasal dari akar kata “allama yu‟allimu-ta‟lim” sebagaimana halnya istilah tarbiyah adalah sama, bersifat transitif (mut‟addiy), menunjukkan perbuatan secara sengaja dan dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan kata benda aktifnya (isim fa‟il) adalah “mu‟allim” dengan arti guru. Dengan demikian, term al-Ta‟lim dengan arti pengajaran merupakan transmisi pengetahuan. Menurut pandangan Ibrahim „Abdullah al-Thakhis dibatasi oleh waktu, umur, dan tempat. Sedangkan tarbiyah dimulai sejak kelahiran dan
67
berakhir dengan kematian. Oleh karena itulah, term tarbiyah lebih luas jangkauannya dibanding dengan term ta‟lim. Di samping itu, apabila diamati potongan ayat dengan term al-Ta‟lim dengan berbagai bentuknya, berasal dari kata “alima” dengan arti mengetahui atau punya ilmu, menunjukkan bahwa, seseorang yang berkiprah dalam pengajaran itu haruslah menguasai ilmu dalam bidang keahliannya secara mendalam dan mempunyai wawasan dan ilmu yang luas, dalam bidang ilmu lainnya. Berdasarkan analisis kebahasaan dari kata “alima” sebagai asal kata “al-Ta‟lim” menunjukkan/mengandung konsekuensi bahwa seorang mu‟allim (guru) dalam pendidikan Islam adalah ilmuan merupakan refleksi dari orangorang yang punya kompetensi keahlian (punya skill) dalam bidang ilmu yang diajarkannya, dan mempunyai wawasan yang luas dalam bidang ilmu lainnya, terutama yang berkaitan dengan keahliannya (Ramayulis, 2016: 118). Kata ta‟lim menurut bahasa mempunyai asal kata dan dasar makna sebagai berikut: 1. Berasal dari kata dasar “allama-ya lamu” yang berarti mengecap atau memberi tanda. 2. Berasal dari kata dasar “alima-ya lamu” yang berarti mengerti atau memberi tanda. Dari kedua makna di atas, Tadjab menyimpulkan makna istilah Ta‟lim mempunyai pengertian “usaha untuk menjadikan seseorang (anak) mengenal tanda-tanda yang membedakan sesuatu dari lainnya, dan mempunyai
68
pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang sesuatu”. Kata ta‟lim mempunyai konotasi khusus dan merujuk kepada “ilmu”, sehingga konsep ta‟lim itu mempunyai pengertian sebagai “pengajaran ilmu” menjadi seseorang berilmu. 3. Kemudian salah satu konsep kunci utama lain yang merujuk kepada hakikat dari inti makna pendidikan adalah istilah ta‟dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap mewakili makna utama pendidikan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-Attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat). Dalam adab akan tercermin keadilan (adil), kearifan (hikmah). Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kenikmatan ruhaniah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta‟dib karena adab sebagaimana didefinisikan mencakup ilmu dan amal sekaligus (Abdullah, 2001: 30). Adapun kata ta‟dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti memberi adab, mendidik. Adab dalam kehidupan sering
69
diartikan sopan santun yang mencerminkan kepribadian. Istilah ini dalam kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta‟dib merupakan istilah yang dianggap tepat untuk menunjuk arti Pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, di samping alasan makna kebahasaan lainnya. Dikemukakan oleh al-Attas bahwa pendidikan dalam kenyataannya adalah ta‟dib karena adab sebagaimana didefinisikan di sini sudah mencakup ilmu dan amal. Dalam hadist berbunyi:
)أدبني فأحسه تأديبي (رواه المسعان عه أبي مسعود
Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku (HR. Ibnu Mas‟an dari Abi Mas‟ud). Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi seperti di atas. Kata addaba dalam hadist di atas dimaknai al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadist tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang
70
tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik. Berdasarkan batasan tersebut, maka al-Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya (Ramayulis, 2016: 119). Istilah al-Ta‟dib, menurut kamus Bahasa Arab “Al-Mu‟jam al-Wasith” bisa diterjemahkan dengan “pelatihan atau pembiasaan” mempunyai kata dan makna dasar sebagai berikut: 1) Ta‟dib berasal dari kata dasar “adaba-yu‟adubu” yang berarti melatih, untuk berperilaku yang baik dan sopan santun. 2) Ta‟dib berasal dari kata “adaba ya‟dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat dan berperilaku sopan. 3) Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja ta‟dib mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan. Kata addaba ( )أ د بyang berarti mendidik menurut Ibnu Manzhur merupakan padanan kata “allama” ( )علمdan oleh Az-Zajjaz dikatakan sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-Nya. Masdar addaba yakni ta‟dib yang telah diterjemahkan sebagai pendidikan yang mempunyai arti sama, dan kita dapat rekanan konseptualnya di dalam istilah ta‟lim (Ramayulis, 2006: 15).
71
Istilah al-Ta‟dib sama halnya dengan istilah-istilah sebelumnya tidak ditemukan di dalam Al-Qur‟an secara eksplisit, namun ada sejumlah hadist yang memakai term “ta‟dib” dengan bentuk kata kerja (addaba) yang berasal dari akar kata tsulatsiy mujarrad (addaba) dengan arti „allamhu al-adab mengajarinya sopan santun atau kebudayaan. Sedangkan istilah “taaddabi” berarti belajar sopan santun. Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi uga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang dan makhluk Allah lainnya. Oleh karenanya, penggunaan istilah al-Tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam Khazanah bahasa Arab. Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa Latin “educatio” atau bahasa Inggris „education”. Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara pendidikan Islam, penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi juga pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta‟dib merupakan term
yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena
mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta‟lim sudah tercakup dalam term al-Ta‟dib (Ramayulis, 2016: 120).
72
BAB IV PEMBAHASAN
A. Ide Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid Pemikiran Nurcholish Madjid yang sempat menggegerkan kalangan umat Islam adalah menganjurkan suatu keharusan sekularisme dalam Islam. Menurutnya, sekularisme berarti pembebasan manusia dari kungkungan cultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan mengahalangi manusia untuk berpikir kritis dalam memahami realitas (Taufik, 2005: 155). 1. Sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali melontarkan ide yang disebut sekularisasi. Ide ini dicetuskannya pada waktu memberikan ceramah tahun 70an. Menurut Nurcholish Madjid, dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya (Saefuddin, 2003: 225). Menurut Nurcholish, penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya tuhan, jelas dilarang. Agama Islam, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Agama Islam, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran (Nafis, 2005: 184).
73
Sekularisasi mempunyai hubungan erat dengan sekularisme, karena berarti pengetrapan sekularisme. Nurcholish Madjid melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid. Kalua soalnya seperti yang dituturkan Nurcholish, segala sesuatu menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Apabila dikatakan, yang dimaksud dengan pisang goreng adalah manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain yang tidak layak dipuja, maka tak seorangpun yang berhak melarang seseorang berbuat demikian. Mereka hanya tertawa dalam hati mereka, karena keanehan istilah tersebut. Sebenarnya, substansi pemikiran Nurcholish Madjid adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun, tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi (Saefuddin, 2003: 225). Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang merupakan respon terhadap fenomena sosial politik yang berkembang ketika itu (pada awal rezim orde baru) merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid terhadap Islam sebagai agama terbuka dan menganjurkan idea of progrees. Pada saat yang sama merupakan jawaban Nurcholish Madjid terhadap ajakan untuk senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam menghadapi dan merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer (Azra, 1986: 26).
74
2. Desakralisasi Desakralisasi, dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata Inggris “sacral”, yang berarti suci, keramat atau angker (Poerwadarminto, 1980: 29). Kata ini sepadan dengan istilah “demitologisasi”, artinya proses pembuangan nilai-nilai mitologis. Jadi bila demikian kata „desakralisasi” yang dimaksud adalah suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dari beberapa aspek kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan (Madjid, 1992: xxv). Dengan desakralisasi, Nurcholish Madjid menyerukan kaum Muslim untuk berhenti menyucikan sesuatu yang memnag tidak suci. Pada masa lalu, wilayah suci itu relatif terbatas pada objek-objek fisikal yang dikenal masyarakat awam, sekarang wilayah suci itu berkembang lebih luas dalam wujud organisasi dan partai. Menurutnya, kalau umat Islam konsekuen dengan konsep tauhid yang dianutnya, seharusnya terjadi desakralisasi pandangan terhadap semua yang selain Tuhan, karena tauhid merupakan pemutlakan transenden semata-mata kepada Tuhan. Sakralisasi kepada semua objek selain Tuhan, ujarnya, tidak lain adalah bentuk kemusyrikan, lawan dari tauhid (Gaus AF, 2010: 92). 3. Inklusifisme Inklusifisme merupakan pemikiran yang memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka. Sebagai agama terbuka, Islam menolak eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi tinggi terhadap pluralisme. Di dalam kerangka ini, umat islam harus menjadi golongan
75
terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri dan bersikap ngemong terhadap
golongan
lain.
Sedangkan
penolakan
terhadap
absolutisme
mengandung makna bahwa Islam memberikan tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan, yakni tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam (Sofyan & Roychan Madjid: 106). Apa yang hendak disampaikan oleh Nurcholish Madjid dengan teologi inklusif ini adalah bahwa Islam merupakan satu sistem yang memberikan kepedulian terhadap semua orang; termasuk bagi mereka yang bukan muslim. Di sinilah sebenarnya titik temu antara teologi inklusif dengan pluralisme. Dengan berpijak pada pemikiran (teologi) Islam inklusif, maka seseorang akan merasa nyaman dengan pluralisme (Sofyan & Roychan Madjid: 107). 4. Islam dan Ideologi Menurut Nurcholish Madjid, Islam tidak identik dengan ideology. Ideology Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideologi, kata Nurcholish Madjid sangat terikat oelh ruang dan waktu (Saefuddin, 2003: 228). Nurcholish Madjid berargumentasi bahwa Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifkan Islam sebagai ajaran yang universal. Dari pemikiran itu terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu “Islam, yes! Partai Islam, no!” dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu bahkan tidak wajib setiap orang masuk partai Islam. Yang paling penting adalah menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Sampai kini pandangan Islam jangan
76
dijadikan asas partai masih dipegang kuat oleh Nurcholish Madjid (Saefuddin, 2003: 230).
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. namun, sayangnya lembaga pendidikan Islam kita tertalu lambat menyadari ketertinggalan ini dan tokoh pendidikan kita terlalu berfikir konservatif dan terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Perubahan pendidikan dari segala aspek pendidikan mejadi koreksi awal untuk perbaikan aspek nilai yang akan dicapai pada setiap tujuan pendidikan. Sehingga, dalam implementasinya membutuhkan ketepatan dan kedewasaan sebagai sistem yang akan dijalankan. Berpangkal pada teologi inklusif, bahwa Islam adalah agama terbuka, menolak eksklusifisme, absolutisme, serta memberikan
apresiasi
yang
tinggi
terhadap
pluralisme
(Fathurkamal.staff.umy.ac.id). Menempatkan prinsip keagamaan sebagai prinsip kehidupan yaitu menegaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan di dalamnya. Nurcholish Madjid mengasumsikan ketiganya sebagai nilai-nilai dasar perjuangan keagamaan dan kehidupan untuk memahami Islam secara komprehensif. Ketiga asaa tersebut dapat digeneralkan sebagai berikut:
77
1. Ketuhanan Ketuhanan sebagai bentuk kepercayaan manusia terhadap suatu zat. Kepercayaan itu melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Ketuhanan merupakan manifestasi suasana batin dan kondisi spiritual seseorang dalam mencapai kesadaran dan kebenaran hakiki tentang adanya tuhan. Namun, kecendurang eksklusif tentang kepercayaan, akhlak, ritual, dan hubungan sosial dipahami dari perspektif hukum syariah masih teramat kaku, beku, dan mati (Mulkhan, 2002: 3). Bentuk morfologi dalam segi kepercayaan dan implementasi terhadap nilai-nilai ketuhanan dan diramu dalam sifat-sifat kemanusiaan, maka sifatsifat tersebut merupakan cerminan ketuhanan dan eksistensi ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu ajaran agama (Al-Qur‟an dan Hadits sebagai landasan beragama) akan memainkan peran masa depan jika bersedia memberi peluang partisipasi seluruh manusia dalam penafsiran ajaran agama sesuai kapasitas intelektual yang terus tumbuh dan berkembang dalam wadah sejarah dan budaya (Mulkhan, 1995: 83). 2. Kemanusiaan Manusia memiliki potensi sebagai khalifah fil „ardl untuk memelihara dan memanfaatkan dunia dan seisinya untuk kemakmurannya dan manusia memiliki suatu fitrah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanif). Bekerja dengan ikhlas yang memancar dalam hati nurani yang suci untuk memperoleh kebahagiaan.
78
Dalam masyarakat manusia cenderung ingin mendapat kemerdekaan pribadi, namun terkadang kemerdekaan pribadi menimbulkan perbedaan dengan pribadi lain, meskipun itu untuk kebaikannya. Peningkatan kemanusiaan dapat terjadi jika ada keleluasan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungan dan bakatnya (Mulkhan, 1995: 84). Bahwa inti dari kemanusiaan yang suci adalah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh. Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan intelegensi dan bimbingan hati nuraninyanya. Meskipun kebenaran itu relatif tetapi merupakan perjalanan untuk menuju kebenaran mutlak. Jadi, ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal saleh. Hanya mereka yang dibimbing ilmu pengetahuan dapat berjalan di atas kebenaran dan menyampaikannya dengan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan iman dan keluasan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai puncak yang tertinggi (Mulkhan, 1995: 85). 3. Keadilan Nurcholish Madjid memandang adanya bentuk keadilan yang menjadi bentuk sirkulasi mendasar antara kemanusiaan dan berketuhanan. Merupakan sifat dasar dan keniscayaan manusia dalam hal kekhalifahannya untuk menjadi manusia yang mulia. Ada beberapa indikator dalam mewujudkan keadilan yang merata (www.UliParulianSihombing.com): a. Adanya distribusi yanga dil atas sumber daya ekonomi, sosial, hukum, dan sebagainya.
79
b. Adanya tindakan afirmatif (diskriminatif positif) untuk masyarakat marjinal/miskin demi mewujudkan keadilan sosial. c. Keadilan
sosial
menekankan
kepada
kebutuhan
masyarakat
marjinal/miskin. d. Keadilan sosial diimplementasikan atas dasar non diskriminasi dan persamaan. e. Keadilan sosial adalah hak konstitusional dan hak azasi. Menurut Subahar, manusia diberikan unsur „aql dan qalb yang mempunyai fungsi secara spesifik. Manusia diberikan kebebasan untuk mengembangkan sekaligus menggunakannya menurut dirinya sendiri di dalam konteks pendidikan.
C. Analisis
Relevansi
Postmodernisme
Terhadap
Pendidikan
Islam
Menurut Nurcholish Madjid Problem paling mendasar pada pendidikan Islam adalah kurangnya penghayatan terhadap pandangan-pandangan filosofis bagi penyelenggaraan pendidikan Islam. Sehingga berorientasikan kepada yang tidak idealis atau pragmatis, ketidakmampuan peserta didik menghadapi tantangan hidupnya, serta membentuk paradigma yang salah bahwa pendidikan Islam sebagai pecetak pekerja. Dalam hal ini, Nurcholish madjid menekankan pada proses perenungan secara mendalam yang tentunya dengan mengarahkan pendidikan Islam tersebut dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspekaspek merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Realisasi ajaran-ajaran
80
Islam yang pada dasarnya bukan hanya dalam segi ubudiyah saja pendidikan Islam itu berjalan, melainkan juga dalam segi asasi. Kemudian secara logis kemampuan pribadi anak didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai ajaran agama secara ubudiyah dan asasi, akan melahirkan konsekuensi yang mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga kemudian akan mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang bernuansakan ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap sesama yang berujung pada sikap-sikap pasrah kepada Allah sebagai wujudal-Islam, sikap penuh dengan kedamaian dan kerelaan yang merupakan wujud dan sikap salam dan sikap perubahan diri ke arah perbaikan dalam kehidupan masyarakat dengan wujud Islam di dalamnya. Dengan ketiga asas dasar nilai-nilai kehidupan dan keagamaan yaitu ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan, Nurcholish Madjid berharap ada perubahan ke depan pada pendidikan Islam. Karena dari pendidikanlah umat Islam ini akan berubah. Mengesampingkan sesuatu yang kecil ataupun besar dan menghilangkan sikap diskriminatif pada pribadi tertentu, akan membuat kebenaran dan keyakinan menuju pada kebahagiaan. Penulis memandang sikapsikap pribadi yang ekstrem dan fundamental seiring perkembangan zaman semestinya mereka sadari dan diubah. Bahwa pemahaman agama tidaklah statis namun haruslah dinamis, agar landasan agama selalu berguna dan sesuai dengan zamannya. Bukan berarti meragukan keontetikan firman-firman Tuhan, tetapi perlu adanya pendekatan kritis-progresif terhadap wacana-wacana permasalahan
81
umat kontemporer. Dan itu bisa dilakukan jika umat Islam bisa berfikir modernis, sekularis, dan inklusif dengan landasan ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan.
82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu: a. Sekularisasi Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. b. Desakralisasi Suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dari beberapa aspek kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan. c. Inklusifisme Umat Islam harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri dan bersikap ngemong terhadap golongan lain. d. Islam dan Ideologi Bahwa Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifkan Islam sebagai ajaran yang universal.
83
2. Konsep pemikiran postmodernisme dalam pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid adalah sebagai berikut: a. Ketuhanan Bentuk morfologi dalam segi kepercayaan dan implementasi terhadap nilai-nilai ketuhanan dan diramu dalam sifat-sifat kemusiaan, maka sifat-sifat tersebut merupakan cerminan ketuhanan dan eksistensi ketuhanan Yang Maha Esa. b. Kemanusiaan Inti dari kemanusiaan yang suci adalah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh. c. Keadilan Merupakan bentuk sirkulasi mendasar antara kemanusiaan dan berketuhanan. Manusia diberikan unsur „aql dan qalb sehingga diberi kebebasan untuk mengembangkan sekaligus menggunakannya. 3.
Relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish
Madjid yaitu bahwa pendidikan Islam tersebut mengarahkan dalam pembentukan kepribadian yang mencerminkan ajaran Islam. Kemudian secara logis kemampuan pribadi anak didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai ajaran agama akan melahirkan konsekuensi yang mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga kemudian akan mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang bernuansakan ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap sesama.
84
B. Saran-Saran 1. Jika ide-ide pokok mengenai postmodernisme dan hendak diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, maka perlu upaya pencerahan intelektual dan moral keagamaan yang memadai bagi pengembangan pendidikan Islam khususnya dan masyarakat luas secara umum, berkenaan dengan pendekatan baru dalam keilmuan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar di satu sisi peserta didik kian menyadari kebebasan dan haknya untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. 2. Studi ini hanya terbatas pada persoalan relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam, masih perlu dilakukan studi lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai konsep postmodernisme. Oleh karena itu, penulis mengharap pengembangan budaya produktifitas, kreatifitas karya dan kritis pada generasi selanjutnya untuk peka terhadap persoalan mendasar dalam pemikiran kontemporer.
85
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi.
2010. Ideologi Pendidikan Islam; Teosentris.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Paradigma
Humanisme
AF, Ahmad Gaus. 2010. API ISLAM Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara: Media Nusantara.
AR, Achmad Reyadi. 2011. Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. Jurnal Tadris, Vol. 6 No. 1, Juni.
Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina.
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Fajar, A. Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.
Hidayat, Komaruddin. 1995. “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
http://Fathurkamal.staff.umy.ac.id. diakses tanggal 29 Maret 2017. 86
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04.definisi-pendidikan-perbandingan.html diakses tanggal 29 Maret 2017.
http://UliParulianSihombing.blogspot.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017.
Itsariyati, Khusnul. 2010. Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Nurcholish Madjid; Tinjauan Filosofis dan Metodologis, Skripsi Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer; Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonial hingga Multikulturalisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 2007. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 2016. 32 Khotbah Jum‟at Cak Nur; Menghayati Akhlak Allah dan Khutbah-Khutbah Pilihan Lainnya. Jakarta Selatan: PT. Mizan Publika.
87
Maksum,
Ali. 2016. Pengantar Filsafat dari Masa Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Klasik
Hingga
Muhtar, Moh. Zainal. 2015. Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di Era Postmodernisme dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam. Skripsi. Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Mukalam. 2013. Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2 No. 2.
Mulkhan, Abdul Munir. 1995. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nadhif, Ahmad. 2012. Prinsip-Prinsip Postmodern dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam, Skripsi Jurusan Kependidikan islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Nadroh, Siti. 1999. Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nafis, Muhammad Wahyuni. 2005. Kesaksian Intelektual. Jakarta Selatan: Paramadina.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
88
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
Poespowardojo, Soerjanto & Alexander Seran. 2016. Diskursus Teori-Teori Kritis; Kritik atas Kapitalisme, Modern, dan Kontemporer. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren; dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Ratna, Nyoman Khuta. 2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saefuddin, Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: PT. Grasindo.
Siswanto. 2013. Pendidikan Islam Kontekstual. Surabaya: Pena Salsabila.
Sofyan, Ahmad dan Roychan Madjid. 2003. Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Soyomukti, Nurani. 2016. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosiolis, Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
89
Sugiharto,
I. Bambang. 2016. Postmodernisme; Filsafat.Yogyakarta: PT. KANISIUS.
Tantangan
Bagi
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, R & D). Bandung: Alfabeta.
Taufik, Akhmad. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Vattimo, Gianni. 2016. Akhir Modernitas; Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Postmodern. Yogyakarta: Nusantara Press.
Widodo, Sembodo Ardi. 2007. Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi) dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia oleh Dr. Abdur Rahman Assegaf, MA., dkk. Yogyakarta: SUKA Press.
www.wikipedia.org diakses pada tanggal 29 Maret 2017.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
90
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama
: Annilta Manzilah ‘Adlimah
2. NIM
: 111-13-004
3. Fakultas/Jurusan
: FTIK/PAI
4. Tempat/Tanggal Lahir
: Batang/22 Juli 1995
5. Alamat
: Gowok RT. 02 RW. 05, Kel. Pungangan, Kec. Limpung, Kab. Batang
6. Nama Ayah
: Sumardi, S.Pd
7. Nama Ibu
: Dra. Kismatun
8. Agama
: Islam
B. Pendidikan 1. TK Al-Masyitoh lulus tahun 2001 2. SD N 1 Pungangan lulus tahun 2007 3. SMP N 1 Limpung lulus tahun 2010 4. MAPK MAN 1 Surakarta lulus tahun 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Batang, 14 Maret 2017 Penulis,
Annilta Manzilah ‘Adlimah